laporan monev 2014 - · pdf filedirektorat jenderal perimbangan keuangan laporan ... grafik...
TRANSCRIPT
1
EVALUASI KEBIJAKAN PENYALURAN, PELAPORAN, DAN
MONEV DAK DI DAERAH
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
L A P O R A N M O N E V
2014
Laporan berikut merupakan laporan yang menyajikan hasil evaluasi kebijakan penyaluran, pelaporan, dan
monev DAK di daerah.
iiiKata Pengantar
KATA PENGANTAR
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, transfer ke daerah
merupakan instrumen utama dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan
di daerah. Dalam satu dasawarsa lebih pelaksanaan desentralisasi fiskal, alokasi
transfer ke daerah mengalami kenaikan yang sangat siginifikan. Jika pada tahun
2001 ketika dimulainya pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia transfer
ke daerah baru mencapai sekitar Rp 81 triliun, maka pada tahun 2014 sudah
mencapai sekitar Rp 592 triliun. Mengacu pada prinsip money follows function,
kenaikan alokasi tersebut menunjukkan bahwa urusan yang diserahkan ke
daerah semakin besar dengan diskresi yang semakin besar pula, yang berarti
tantangan pembangunan akan banyak bergeser ke daerah. Dengan kata lain
bahwa pertumbuhan ekonomi akan dimulai dari daerah.
Untuk membantu pembangunan infrastruktur dasar di daerah, pemerintah
pusat sejak tahun 2003 menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK), sebagai
bagian dari dana transfer ke daerah. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus sesuai dengan
fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN yang merupakan urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional. Kegiatan khusus dimaksud adalah kegiatan
dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat sehingga diharapkan tercipta pelayanan publik yang berkualitas
dan merata antardaerah.
Dengan perannya yang strategis tersebut, kinerja pelaksanaan kegiatan DAK
menjadi sangat penting. Untuk itu, pemerintah pusat aktif melakukan monitoring
dan evaluasi serta review terhadap efektifitas pelaksanaan DAK di daerah guna
memastikan kelancaran pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. Kementerian
Keuangan sebagai pengelola keuangan negara berkepentingan atas pelaksanaan
monev guna meningkatkan kinerja DAK di daerah.
iv Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Rekomendasi dari hasil monev ini akan menjadi masukan bagi
penyempurnaan kebijakan yang berkenaan dengan DAK. Sehingga diharapkan
kinerja DAK di daerah dapat ditingkatkan pada masa yang akan datang dan
berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Akhirnya tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah ikut serta berperan aktif dan memberikan kontribusi waktu, tenaga dan
pemikiran dalam menunjang pelaksanaan monev ini sampai dengan selesainya
penulisan. Kami sadar bahwa laporan monev ini memiliki banyak keterbatasan
baik itu dari sisi sampel maupun data-data yang tersedia. Oleh karena itu, kami
mengharapkan masukan maupun saran serta kritik yang mampu mempertajam
hasil laporan monev ini maupun kebijakan yang akan disusun ke depan.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Evaluasi Pendaan dan
Informasi Keuangan Daerah,
Adijanto
vDaftar Isi
DAfTAR IsI
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................v
DAFTAR GRAFIK .....................................................................................vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ix
RINGKASAN EKSEKUTIF ...........................................................................x
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 11.1 Latar Belakang ........................................................................11.2 Tujuan .....................................................................................31.3 Ruang Lingkup ........................................................................31.4 Metodologi .............................................................................31.5 Sistematika Penulisan Laporan ................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 52.1 Desentralisasi Fiskal ...................................................................52.2 Intergovernmental Transfer .......................................................7
2.2.1 Intergovernmental Transfer di Indonesia ...............................92.2.2 Dana Alokasi Khusus dan Kerangka Regulasinya ...................9
2.3. Tinjauan Konsep Result Based Management untuk Peningkatan Kinerja ....................................................................................13
BAB 3 GAMBARAN UMUM DAK ............................................................ 173.1 Arah dan Kebijakan Dana Alokasi Khusus ..............................21
3.1.1.Arah Kebijakan DAK Bidang Pendidikan ..............................223.1.2. Arah Kebijakan DAK Bidang Kesehatan ..............................233.1.3. Arah Kebijakan DAK Bidang Infrastruktur...........................25
3.2 Penyaluran Dana Alokasi Khusus ...........................................27
vi Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
3.3 Pelaporan Dana Alokasi Khusus .............................................273.4 Monitoring dan Evaluasi Dana Alokasi Khusus .......................30
BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................ 364.1 Analisis Kebijakan Penyaluran DAK ........................................364.2 Analisis Kebijakan Dalam Pelaporan DAK ...............................554.3 Analisis Kebijakan Dalam Monitoring dan Evaluasi DAK .........69
BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 735.1 Simpulan ...............................................................................735.2 Rekomendasi .........................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 81
viiDaftar Grafik
DAfTAR GRAfIK
Grafik 2.1 RBM Siklus Hidup ......................................................................15
Grafik 3.1 Alokasi DAK Pendidikan .............................................................23
Grafik 3.2 Alokasi DAK Kesehatan ..............................................................24
Grafik 3.3 Alokasi DAK Infrastruktur ...........................................................26
Grafik 3.4. Alur Pelaporan DAK ...................................................................29
Grafik 4.1 Perspektif daerah terhadap Tahapan Penyaluran DAK Apakah
mempermudah daerah dalam menyerap DAK ............................37
Grafik 4.2 Perspektif daerah terhadap persyaratan penyaluran DAK saat ini
apakah menyulitkan daerah dalam melakukan
penyerapan DAK? ......................................................................37
Grafik 4.3 Perspektif Daerah Terhadap Alternative Pola Penyaluran DAK
Apakah Mempermudah Daerah Dalam Menyerap DAK ...............38
Grafik 4.4 Kinerja Penyaluran DAK Tahun 2010 - 2013................................42
Grafik 4.5 Penyaluran DAK Per Bulan Tahun 2013 .......................................44
Grafik 4.6 Pembatasan Waktu Penyaluran secara Tahapan ..........................48
Grafik 4.7 Pola Penyaluran secara Triwulan .................................................52
Grafik 4.8 Penyusunan Laporan DAK oleh SKPD ..........................................58
Grafik 4.9 Koordinator pelaporan DAK di Daerah .......................................58
Grafik 4.10 Perspektif Daerah Terhadap Bentuk Laporan DAK ........................58
Grafik 4.11 Perspektif Daerah Terhadap kendala penyusunan laporan DAK ....59
Grafik 4.12 Perspektif Daerah jika Laporan DAK dijadikan Syarat
Penyaluran DAK .................................................................... 59
Grafik 4.13 Perspektif Daerah atas Penggunaan Satu Aplikasi Untuk
Pelaporan ..................................................................................61
viii Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Grafik 4.14 Eksistensi TKP DAK di daerah ......................................................70
Grafik 4.15 Keterlibatan Provinsi dalam Monev DAK .....................................70
Grafik 4.16 Perspektif Daerah atas Pelaksanaan Monev Pusat apakah tumpang
tindih ........................................................................................71
Grafik 4.17 Perspektif Daerah atas adakah manfaat dari Monev yang dilakukan
Pusat ........................................................................................71
ixDaftar Tabel
DAfTAR TABEL
Tabel 3.1 Perkembangan Sektor DAK, 2008 – 2013 ...................................18
Tabel 3.2 Daftar Alokasi DAK Per Bidang ...................................................20
Tabel 4.1 Perkembangan Peraturan Penyaluran DAK ..................................42
Tabel 4.2. Realisasi Penyaluran DAK Tahap I Per 30 Juni dan 31 Juli .............45
Tabel 4.3 Data Penyaluran dan Penyerapan DAK TA 2010-2013 ................49
Tabel 4.4 Perspektif Daerah atas Alternatif Sanksi atas Ketidakdisiplinan
Penyampaian Laporan ...............................................................59
Tabel 4.5 Persentase Penyampaian Laporan Triwulanan Per Provinsi Tahun
2013 (data per 15 September 2014) ..........................................62
Tabel 4.6 Alur dan Waktu Pelaporan DAK .................................................67
x Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
RINGKAsAN EKsEKUTIf
Sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan pemenuhan kebutuhan
sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang sejalan dengan
prioritas nasional, DAK memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Hal
ini terindikasi dari besaran DAK yang selalu meningkat dan jumlah bidang
yang terus bertambah tiap tahun. Untuk itu, pemerintah pusat aktif melakukan
pemantauan terhadap efektifitas pelaksanaan DAK di daerah guna memastikan
kelancaran pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. Berdasarkan hasil pantauan
tersebut, diperoleh simpulan yang relatif sama bahwa pelaksanaan DAK di
daerah masih menemui berbagai permasalahan baik yang dari sisi kebijakan
maupun teknis pelaksanaan.
Kementerian Keuangan berkepentingan untuk membenahi permasalahan
tersebut terutama yang berkenaan dengan pola penyaluran DAK ke daerah,
mekanisme pelaporan pemerintah daerah atas realisasi DAK, serta bentuk/desain
monev itu sendiri guna meningkatkan kinerja DAK di daerah. Dalam rangka
merumuskan solusi atas permasalahan yang berkenaan dengan pelaksanaan
DAK, Kementerian Keuangan dalam hal ini, Subdit Evaluasi Dana Desentralisasi
Dan Perekonomian Daerah, Direktorat EPIKD melaksanakan Monev dalam rangka
mengevaluasi kebijakan penyaluran, pelaporan, dan monev DAK di daerah.
Monev ini bertujuan untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan
(Penyaluran, Pelaporan dan Monev) DAK saat ini serta merumuskan rekomendasi
kebijakan agar yang memungkinkan peningkatan kinerja daerah. Monev ini
akan menggunakan metodologi kualitatif seperti focus group discussion baik
yang dilakukan di level pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah, serta
kuesioner untuk mengumpulkan perspektif daerah terkait dengan kebijakan
pelaporan, penyaluran dan monev DAK saat ini. Adapun metode sampling
xiRingkasan Eksekutif
yang digunakan adalah metode purposive random sampling, atas dasar kinerja
penyaluran dan pelaporan DAK.
Hasil dari pelaksanaan FGD maupun analisis kuesioner menemukan
terlambatnya Juknis DAK Bidang Pendidikan menjadi hambatan bagi daerah
dalam percepatan penyerapan DAK. Disamping itu, mulai tahun 2015 terdapat
penggabungan beberapa bidang DAK menjadi DAK bidang transportasi yang
mempunyai potensi permasalahan dalam tahap awal pelaksanaannya. Untuk
mengatasinya, direkomendasikan dalam penetapan regulasi DAK, penyaluran
dilakukan per bidang khususnya untuk 3 (tiga) pelayanan dasar yaitu pendidikan,
kesehatan, dan bidang ke-PU-an (jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi),
sedangkan lainnya dijadikan satu.
Selanjutnya, hasil pengolahan kuesioner menunjukkan sebagian besar
pemerintah daerah menganggap kebijakan penyaluran DAK saat ini, tahapan
penyaluran dan persyaratan penyaluran, sudah tepat. Walaupun dengan pola
penyaluran DAK saat ini terdapat tidak sedikit daerah yang lambat menyerap DAK,
hal ini akan disiasati dengan rekomendasi kebijakan batasan waktu pengajuan
penyaluran DAK untuk Tahap I dan Tahap III. Apabila daerah melewati batas
waktu pengajuan penyaluran Tahap I (Februari-Juni/Juli), daerah tidak dapat
mencairkan seluruh alokasi DAK untuk tahun bersangkutan. Sedangkan Tahap
III dapat dicairkan selambat-lambatnya 15 Desember atau sejumlah tertentu
dari hari kerja sebelum tahun bersangkutan berakhir.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah tidak optimalnya kinerja pelaksanaan
DAK di daerah. Salah satu indikatornya adalah terjadinya SiLPA DAK yang cukup
signifikan setiap tahunnya. Menjawab permasalahan ini, diusulkan penyaluran
Tahap III sebesar kebutuhan yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan
sampai dengan akhir tahun anggaran, dengan batas maksimal yang dapat
disalurkan adalah 25%.
Selain itu dalam rangka menjaga kualitas pelaksanaan DAK di daerah, peran
Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK serta K/L terkait lebih
dikuatkan mengevaluasi Laporan Pelaksanaan Kegiatan dan Penggunaan DAK
xii Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
(laporan triwulanan). Selain itu, penyampaian DPA SKPD dijadikan sebagai
persyaratan penyaluran DAK untuk melihat seluruh output yang direncanakan
untuk dihasilkan pada suatu tahun anggaran. Laporan triwulanan diusulkan
disampaikan dengan menyesuaikan waktu permintaan pencairan DAK per tahap.
Adapun atas laporan triwulanan yang telah diterima, DJPK membuat check
list dan kemudian mengirimkan laporan yang diterima kepada Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan/atau Kemendagri dan/
atau kementerian teknis.
Penggunaan satu aplikasi pelaporan serta penyeragaman format pelaporan
untuk semua bidang DAK diusulkan oleh sebagian besar pemerintah daerah
untuk mempermudah dan mempercepat pelaporan, serta menyamakan alur dan
waktu pelaporan berbagai bidang DAK. Web-Based Monitoring System (WBRS)
yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan dan telah diuji coba dapat
dipilih sebagai aplikasi pelaporan DAK. WBRS dinilai cukup mampu menjadi
alat bantu yang tepat untuk meningkatkan efektivitas monitoring dan evaluasi
DAK, selain juga disarankan metodologi pemantauan fisik di lapangan untuk
mengecek keadaan sebenarnya di lapangan.
Masih terkait dengan monitoring dan evaluasi, responden daerah memandang
perlu peningkatan peran provinsi dalam pembinaan secara langsung atas
pelaksanaan kegiatan DAK. Pada tingkat pusat, umpan balik atas hasil
pelaksanaan monitoring dan evaluasi DAK perlu didiseminasi kepada daerah
karena dengan umpan balik tersebut diharapkan adanya perbaikan pelaksanaan
DAK di daerah.
Disamping rekomendasi kebijakan penyaluran untuk jangka pendek,
rekomendasi untuk jangka menengah/panjang turut dirumuskan dalam laporan
monev ini, meliputi rekomendasi penyaluran DAK dengan sistem pembayaran
pendahuluan (reimbursement system) atau output-based DAK, khususnya
untuk DAK bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, sebagaimana telah
diterapkan untuk mekanisme hibah pusat ke daerah. Penerapan reimbursement
system ini diutamakan bagi pemerintah daerah yang memiliki SiLPA tinggi
xiiiRingkasan Eksekutif
dan mempunyai kapasitas fiskal tinggi. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk
“disinsentif” atas pengelolaan APBD yang kurang baik yang ditandai dengan
tingginya SiLPA. Sedangkan untuk pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal
yang rendah, mekanisme DAK seperti saat ini masih perlu diterapkan.
1Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangPelaksanaan desentralisasi fiskal yang efektif mulai dilaksanakan pada tahun
2001 menunjukkan semakin besarnya kewenangan daerah dalam memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah daerah dituntut untuk dapat
berkinerja baik dalam mengelola pelaksanaan kewenangan tersebut dengan baik.
Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan
yang tersedia untuk menghasilkan output/pelayanan publik yang optimal.
Salah satu sumber pendanaan yang digunakan oleh Pemerintah Daerah
untuk menghasilkan pelayanan publik adalah Dana Perimbangan. Sesuai dengan
Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dana
Perimbangan dibagi dalam tiga kelompok yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Selain Dana Perimbangan,
Pemerintah Pusat juga mengalokasikan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana
Penyesuaian sebagai komponen Belanja Daerah dalam Anggaran Penerimaan
dan Belanja Negara (APBN).
Dalam pasal 39 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa DAK
dialokasikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) tertentu untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, dalam pasal
51 Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
disebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai
2 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas
nasional dan menjadi urusan daerah.
DAU dan DBH diberikan kepada daerah dalam bentuk block grants dalam
artian daerah memiliki diskresi penuh dalam membelanjakan dua sumber
pendanaan tersebut. Berbeda dengan DAU dan DBH, DAK bersifat specific
grants yang berarti daerah tidak memiliki keleluasaan dalam memanfaatkan
DAK. Oleh karena itu, meskipun pagu DAK tidak lebih besar daripada DAU
dan DBH, namun DAK saat ini memiliki peranan yang sangat penting bagi
pemerintah pusat terutama untuk menjamin terselenggaranya program yang
menjadi prioritas nasional.
Namun, beberapa laporan menyebutkan bahwa masih banyak terdapat
permasalahan yang harus diselesaikan terkait dengan DAK ini. Permasalahan
tersebut tersebar dari aspek perencanaan/keuangan, aspek pelaksanaan
sampai dengan aspek kelembagaan DAK di daerah. Dalam aspek keuangan,
permasalahan utama adalah belum optimalnya kinerja DAK bagi daerah karena
ketidaksesuaian (mismatch) antara besaran alokasi dengan kebutuhan daerah.
Dalam aspek pelaksanaan, misalnya keterlambatan juknis dan adanya juknis
yang terlalu rigid menyulitkan daerah dalam mengelola DAK (DJPK, 2011).
Dalam aspek kelembagaan, terdapat permasalahan yang berkaitan dengan
belum mantap dan optimalnya koordinasi kelembagaan antara pusat dan daerah,
belum terbentuknya tim koordinasi di Pusat dan Provinsi, serta belum optimalnya
kinerja tim koordinasi di Kabupaten/Kota. Dalam aspek tata kepemerintahan yang
baik (good governance) terdapat permasalahan yang berkaitan dengan masih
rendahnya kinerja penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
dalam pengelolaan DAK. Penyediaan data dan informasi teknis yang diperlukan
dalam perhitungan alokasi DAK juga masih lemah (Bappenas, 2011).
Oleh karena itu, perlu adanya monitoring dan evaluasi yang mampu
memberikan sumbangsih terhadap perbaikan mekanisme DAK baik di tingkat
pusat maupun di daerah mengingat peran yang dibawa DAK begitu besar dalam
pencapaian pelayanan publik di daerah. Berdasarkan hal tersebut, Subdit
3Pendahuluan
Evaluasi Dana Desentralisasi Dan Perekonomian Daerah, Direktorat EPIKD
melaksanakan Monev dalam rangka mengevaluasi kebijakan penyaluran,
pelaporan, dan monev DAK di daerah.
1.2 TujuanSebagaimana latar belakang dan permasalahan yang telah disampaikan di
atas, maka monev ini bertujuan untuk:
1. Memonitor dan mengevaluasi kebijakan (Penyaluran, Pelaporan dan Monev)
DAK saat ini agar kinerja daerah dalam mengelola daerah meningkat.
2. Merumuskan rekomendasi kebijakan (Penyaluran, Pelaporan dan Monev)
DAK yang memungkinkan peningkatan kinerja daerah.
1.3 Ruang LingkupUntuk mencapai tujuan, monitoring dan evaluasi akan dibatasi pada tahap
penyaluran, pelaporan, dan monev. Selain itu pula, untuk menjaga relevansi
dari monev ini, maka aspek perencanaan dan penganggaran DAK tidak akan
dievaluasi. Ruang lingkup penelitian adalah pelaksanaan DAK tahun 2012-2013.
1.4 MetodologiMonev ini akan menggunakan metodologi kualitatif seperti focus group
discussion baik yang dilakukan di level pusat maupun di tingkat pemerintahan
daerah. Selain itu kuesioner juga akan digunakan untuk mengumpulkan
perspektif daerah terkait dengan kebijakan pelaporan dan penyaluran DAK
saat ini.
Selanjutnya terkait dengan sampling, pemilihan responden menggunakan
metode purposive random sampling, yaitu daerah yang dijadikan sample
didasarkan atas kinerja penyaluran dan pelaporan DAK. Sebanyak 114 daerah
telah mengisi kuesioner, dan sebanyak 10 daerah dijadikan tempat pelaksanaan
focus group discussion (FGD). Selain pemerintah daerah, FGD juga dilakukan
4 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
pada tataran pemerintah pusat dengan mengundang wakil dari Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas.
1.5 Sistematika Penulisan LaporanAdapun susunan laporan studi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Menguraikan bagian latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metodologi, dan
sistematika Penulisan Laporan
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar dan teori dari adanya DAK,
peraturan perundang-undangan yang terkait, formulasi kebijakan DAK
selama ini, dan studi literatur sejenis dari studi-studi yang pernah dilakukan
sebelumnya.
Bab III Gambaran Umum Dana Alokasi Khusus dan Regulasinya
Menjelaskan tentang perkembangan DAK selama periode tahun 2003
sampai dengan 2011 untuk berbagai bidang.
Bab IV Pembahasan
Menguraikan tentang hasil dari pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan
analisa dampak dari pelaksaan DAK selama ini, khususnya pada tahun
2010 dan tahun 2011.
Bab V Penutup
Berisikan tentang simpulan yang dapat diperoleh dan saran/rekomendasi
yang dapat diberikan dari pelaksanaan monev.
5Tinjauan Pustaka
BAB 2 TINJAUAN PUsTAKA
2.1 Desentralisasi FiskalMaddick (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dekonsentrasi
dan devolusi atau penyerahan kekuasaan. Undang-undang (UU) No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan hukum semangat
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia menyebutkan bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Selanjutnya, diskusi tentang desentralisasi tidak bisa terlepas dari
pembicaraan terkait dengan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah. Secara filosofi, pelaksanaan desentralisasi dimaksudkan
untuk lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakatnya. Pemerintah
daerah dianggap yang paling mengetahui kebutuhan dan karakteristik dari
masyarakatnya, sehingga penyediaan layanan publik akan lebih efektif dan
efisien jika disediakan langsung oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, untuk
membantu daerah dalam menyediakan layanan kepada publik, penyediaan
sumber-sumber pendanaan bagi daerah dalam menjalankan fungsinya menjadi
sangat penting. Tanpa ada skema pendanaan bagi daerah untuk menjalankan
fungsinya, pelimpahan kewenangan tersebut menjadi tidak berarti (Devas, 2008).
Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi esensi
dari implementasi desentralisasi fiskal. Menurut Bahl (2001) yang pertama
6 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
harus dilakukan dalam pengimplementasian desentralisasi fiskal adalah adanya
penegasan kewenangan atau fungsi yang akan dijalankan oleh pemerintah
daerah. Hal ini sangat penting mengingat untuk merumuskan skema pendanaan
yang tepat, pembagian kewenangan antartingkatan pemerintahan harus jelas,
jika tidak maka implementasi desentralisasi fiskal tidak akan berjalan optimal.
Yang kedua adalah adanya pemberian kewenangan kepada daerah untuk
memungut pajak dalam rangka peningkatan pendapatan daerah. Untuk
membantu daerah dalam menyelenggarakan fungsinya, daerah harus diberikan
kewenangan untuk memungut pajak sendiri. Terkait dengan hal tersebut,
pemerintah pusat wajib untuk memberikan sebagian jenis pajak untuk dijadikan
pajak daerah, sekaligus memberikan transfer dana yang lain mengingat masing-
masing daerah memiliki potensi ekonomi yang berbeda, sekaligus untuk
menjawab masalah ketidakseimbangan fiskal vertikal maupun horizontal.
Yang ketiga adalah perlu dibangun sebuah mekanisme transfer
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Shah (2004),
mekanisme transfer dana ini sangat penting untuk mengatasi permasalahan
ketidakseimbangan fiskal vertikal dan horizontal sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Transfer dana tersebut secara garis besar terbagi ke dalam dua
jenis yaitu unconditional/block grants dan conditional/specific grants.
Selanjutnya, untuk efektivitas pelaksanaan desentralisasi fiskal, daerah harus
diberikan kesempatan yang luas untuk mengakses modal. Hal ini sangat penting
karena daerah membutuhkan dana yang besar untuk dapat membangun sarana
infrastruktur dan sarana layanan publik lainnya (Devas, 2008). Oleh karena
itu, pemerintah harus menyediakan berbagai alternatif mekanisme pembiayaan
daerah untuk membantu daerah dalam mendapatkan modal pembangunan.
Beberapa alternatif pembiayaan yang dapat dilakukan antara lain penyediaan
mekanisme pinjaman daerah, obligasi daerah maupun metodologi pembiayaan
lainnya. Untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu kehati-hatian untuk
mencegah terjadinya gagal bayar oleh pemerintah daerah.
7Tinjauan Pustaka
Yang terakhir, untuk menjamin berjalannya desentralisasi fiskal, mekanisme
monitoring dan evaluasi oleh pemerintah pusat harus terbangun dengan baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Bahl (1999) menyebutkan bahwa banyak daerah
kurang mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dengan baik karena tidak
adanya mekanisme kontrol dan evaluasi yang kuat dari pemerintah pusat.
2.2 Intergovernmental TransferPada sub-bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa salah satu kunci dari
pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah adanya pemberian kewenangan
kepada daerah dalam melakukan pemungutan pajak untuk meningkatkan
pendapatannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah cukup, mengingat tidak
semua jenis pajak dapat dipungut oleh daerah. Oleh karena itu daerah masih
memerlukan jenis pendanaan lain yang berasal dari pusat untuk membantu
daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Fakta di beberapa negara bahkan
menunjukkan dana yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah lebih besar daripada pendapatan yang bersumber dari pajak daerah. Di
Indonesia misalnya, data menunjukkan bahwa selama satu dekade pelaksanaan
otonomi daerah, pemda masih sangat bergantung dari pemerintah pusat,
meskipun kemampuannya dalam memungut pajak daerah juga mengalami
peningkatan.
Terkait dengan dana transfer ke daerah terdapat beberapa pandangan terkait
dengan jenis dana yang diberikan oleh pusat kepada daerah. Shah (2006)
misalnya, menyebutkan bahwa intergovernmental trasfer dibagi ke dalam
dua jenis besar yaitu: General Purpose Transfer (GPT) dan Specific Purpose
Transfers (SPT). Shah juga menyatakan bahwa penggunaan GPT diserahkan
sepenuhnya pada pemerintah daerah, sedangkan SPT harus mengikuti ketentuan
dari pemerintah pusat atau nasional. Kemudian Shah membagi GPT dalam
kelompok block transfers dan block grants. Block transfers bebas digunakan
dalam pengeluaran tertentu seperti pendidikan dalam wilayah nasional tetapi
setiap daerah penerima bebas menggunakan dalam kelompok pengeluaran
8 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
tadi. Selanjutnya block grants bebas digunakan oleh daerah penerima tetapi
terbatas dalam wilayahnya. Kelihatannya hal ini tidak terlalu menjadi masalah
sebab tiap daerah adalah memang wilayah tertentu yang menjadi penerima
transfer fiskal tersebut.
Sedikit berbeda dengan Shah, Sidik (2004) menyebutkan bahwa secara
garis besar dana transfer ke daerah dibagi ke dalam dua jenis besar yaitu: Block
Grants dan Specific Grants. Sidik menyatakan bahwa transfer yang tergolong
ke dalam Block Grants berarti dana tersebut bebas digunakan oleh daerah
atau daerah memiliki diskresi yang besar dalam mengelola dana transfer yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan Specific Grants berarti daerah
tidak memiliki keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut, mengingat ada
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan harus dipenuhi
oleh daerah dalam penggunaan dana dimaksud.
Selanjutnya, dalam penelitian-penelitian terdahulu para ahli seperti Bahl
(2000) dan Bird & Smart (2002) mendeskripsikan beberapa tujuan dari adanya
intergovernmental transfer. Yang pertama adalah untuk mengatasi permasalahan
adanya ketidakseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah. Hal ini terjadi karena adanya pemberian kewenangan dan fungsi kepada
daerah yang menyebabkan pusat harus meningkatkan kapasitas daerah untuk
meningkatkan pendapatan daerahnya. Mengingat sumber penerimaan dari pajak
daerah tidak mampu mencukupi kebutuhan tersebut, maka pemerintah harus
memberikan transfer kepada daerah untuk mampu menutupi celah tersebut (Bahl,
2000). Yang kedua adalah untuk mengatasi permasalahan ketidakseimbangan
fiskal horizontal. Perbedaan kemampuan daerah dalam memungut pendapatan
daerah menyebabkan daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda-beda. Untuk
memberikan kemampuan yang relatif sama kepada daerah dalam memberikan
pelayanan publik, pemerintah harus memberikan dana yang memungkinkan
daerah memenuhi kebutuhannya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa daerah
harus diberikan sejumlah uang yang sama untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut (Bird & Smart, 2002).
9Tinjauan Pustaka
2.2.1 Intergovernmental Transfer di Indonesia
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia ditandai dengan ditetapkannya
paket undang-undang yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
25 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Penerapan paket peraturan tersebut menyebabkan terjadinya penyerahan
kewenangan pemerintahan diluar kewenangan pokok yaitu Agama, Fiskal
Nasional, Moneter, Pertahanan Keamanan, Hukum, dan Politik Luar Negeri. Oleh
karena itu, untuk membantu daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya,
pemerintah pusat memberikan beberapa jenis pendanaan kepada daerah sesuai
dengan prinsip money follows functions.
Pada dasarnya jika dilihat dari jenis transfer dana yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah di Indonesia, terdapat dua
jenis besar transfer tersebut. Yang pertama adalah dana-dana yang bersifat
block grant. Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, dana
yang bersifat block grant tersebut adalah Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi
Hasil. Selain dana yang bersifat block grants, daerah juga akan mendapatkan
dana yang bersifat conditional grants seperti Dana Alokasi Khusus dan Dana
Penyesuaian. Pemberian dana conditional grants ini dimaksudkan untuk
memastikan kegiatan yang bersifat prioritas nasional dan menjadi kewenangan
daerah dapat terlaksana dengan baik.
2.2.2 Dana Alokasi Khusus dan Kerangka Regulasinya
Pelaksanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan dari DAK mengalami perubahan
yang dinamis dari waktu ke waktu, hingga periode tahun 2012-2013 (yang
menjadi periode analisis dalam kegiatan penyusunan evaluasi ini). Hal tersebut
terjadi terutama karena adanya perubahan dalam kerangka regulasi dan
kebijakan terkait dengan DAK itu sendiri, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, rangkaian proses, siklus dan mekanisme
10 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
dari setiap aspek dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan dari
DAK juga mengalami perubahan, yang mencakup aspek kebijakan (policy
formulation), perencanaan (planning), penganggaran (budgeting), pelaksanaan
(implementation), pemantauan (monitoring), dan evaluasi (evaluation).
Secara umum, kerangka regulasi dan kebijakan DAK di Indonesia pada
Tahun 2013 adalah:
a. Regulasi Dasar:
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
• UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
• PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
• Permendagri No. 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Dana Alokasi Khusus Di Daerah;
b. Regulasi Sistem Perencanaan adalah:
• UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
• PP No. 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;
• Permeneg PPN/Kepala Bappenas No. PER.008/M.PPN/11/07 Tahun
2007 tentang Pedoman Penyusunan RKP;
• PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
• PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal;
c. Regulasi Sistem Pengendalian dan Pemantauan adalah:
• PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
• PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah;
• PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah;
11Tinjauan Pustaka
• PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD;
• PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
• PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
• PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
• PP No. 06 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah;
• Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah;
• Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri
No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
• Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
d. Regulasi Sistem Pelaporan adalah:
• PP No. 11 Tahun 2001 tentang Informasi Keuangan Daerah;
• PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
• PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
• PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
• PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala
Daerah;
• PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Kekayaan
Negara/ Daerah;
• PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah;
• PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
12 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat;
• PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah;
• PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
• Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah;
• Peraturan Menteri Keuangan No. 126 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
• Peraturan Menteri Keuangan No. 06 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
• Peraturan Menteri Keuangan No. 183 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
• Permendagri No. 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan DAK di Daerah;
• Kepmenkeu No. 141/KMK.07/2001 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah.
e. Regulasi Sistem Pengawasan dan Pemeriksaan adalah:
• UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
• UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
• UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
• UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara;
• PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
• PMK No. 21/PMK07/2009 tentang Pelaksanaan Penyaluran dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
13Tinjauan Pustaka
• Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas
No. 0239/M.PPN/11/2008, Menteri Keuangan No. SE 1722/MK
07/2008, dan Menteri Dalam Negeri No. 900/3556/SJ tentang
“Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan dan Evaluasi
Pemanfaatan DAK.
Sementara itu, terkait dengan pelaksanaan DAK Tahun 2011 sampai dengan
DAK Tahun 2013, terdapat aturan pendukung terkait dengan pelaksanaan DAK
untuk setiap tahun, yakni:
• Peraturan Menteri Keuangan No. 216/PMK.07/2010 Tentang Pedoman
Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus TA 2011;
• PMK No. 209/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana
Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012;
• PMK No. 201/PMK.07/2012 Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi
Khusus Tahun Anggaran 2013.
Untuk penggunaan per bidangnya, Kementerian/Lembaga Teknis terkait juga
menerbitkan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK untuk masing-masing bidang
dalam setiap tahun setelah keluarnya KMK atau PMK.
2.3. Tinjauan Konsep Result Based Management untuk Peningkatan Kinerja
Results-based management is a management strategy by which all actors on
the ground, contributing directly or indirectly to achieving a set of development
results, ensure that their processes, products and services contribute to the
achievement of desired results (outputs, outcomes and goals). RBM rests on
clearly defined accountability for results and requires monitoring and self-
assessment of progress towards results, including reporting on performance
(UNDP, 2010, p. 7).
Sesuai dengan definisi yang tercantum dalam The Handbook of Result Based
Management, dapat dijabarkan bahwa konsep RBM adalah merupakan sebuah
14 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
strategi manajemen di mana setiap pihak dalam manajemen secara langsung
maupun tidak langsung berkontribusi dalam pencapaian target, sekaligus
meyakinkan bahwa proses, produk dan aktivitas kegiatan dapat berkontribusi
dalam pencapaian atas hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, konsep RBM
sangat menekankan pentingnya akuntabilitas, membutuhkan monitoring dan
penilaian yang berkelanjutan terhadap kemajuan atas pencapaian tujuan,
termasuk di dalamnya pelaporan atas kinerja.
Pengenalan manajemen berbasis kinerja muncul pertama kali karena dipicu
oleh dua (2) hal pokok yaitu keinginan untuk perbaikan terhadap manajemen dan
keinginan untuk memperbaiki kinerja pelaporan atau yang sering disebut dengan
akuntabilitas (OECD, 2001). Yang menjadi perhatian utama dari perbaikan
terhadap manajemen adalah menggunakan informasi kinerja untuk perbaikan
dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh penerapannya adalah
penggunaan konsep ini ke dalam mekanisme penganggaran atau yang sering
disebut dengan performance based budgeting. Di dalam konsep performance
based budgeting, pengalokasian anggaran tidak didasarkan pada aktifitas,
melainkan didasarkan pada hasil dari sebuah program (OECD, 2001).
Selanjutnya, di dalam tujuan yang kedua yaitu untuk akuntabilitas pelaporan,
penerapan konsep result based management ini lebih menekankan pada
transparansi pelaporan dari pencapaian target yang dituju. Jika transparansi
pelaporan digunakan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap para stakeholders
maka RBM sering disebut dengan accountability-for-results, namun jika
transparansi dalam pelaporan digunakan sebagai alat managemen maka RBM
sering disebut dengan managing-for-results (OECD,2001).
Konsep RBM juga sering dilihat sebagai konsep dengan pendekatan siklus
hidup (life cycle approach) yang dimulai dari perencanaan sampai dengan proses
monitoring dan evaluasi sebagaimana terlihat pada Grafik 2.1 di bawah ini.
15Tinjauan Pustaka
Grafik 2.1 RBM Siklus Hidup
23
Gambar 2.1 RBM Siklus Hidup
Sumber: UNDP, Handbook of Planning, M&E for Development Result (2009)
Konsep pengukuran kinerja ini pertama kali dilakukan oleh Amerika Serikat di tahun
1960an melalui Nixon administration’s management. Pengukuran kinerja dilakukan pada
saat perencanaan, penyusunan program dan penganggaran. Romzek (1998)
menjelaskan bahwa pendekatan pengukuran yang dilakukan pada waktu itu adalah
melalui hierarchical accountability for inputs untuk hal-hal yang bersifat tugas rutin
seperti penganggaran dan melalui legal accountability for processes untuk monitoring
pelaksanaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970an yang diikuti dengan perubahan
sistem adminsitrasi publik di Amerika Serikat melalui Reagen Administration’s
Management, kewenangan pelayanan publik banyak yang didesentralisasikan kepada
negara bagian/ state. Salah satu program yang terkenal pada waktu itu adalah Job
Training Partnership Act (JTPA) Program. Menurut Barnow (2000,p. 119) program
Sumber: UNDP, Handbook of Planning, M&E for Development Result (2009)
Konsep pengukuran kinerja ini pertama kali dilakukan oleh Amerika Serikat di
tahun 1960an melalui Nixon administration’s management. Pengukuran kinerja
dilakukan pada saat perencanaan, penyusunan program dan penganggaran.
Romzek (1998) menjelaskan bahwa pendekatan pengukuran yang dilakukan
pada waktu itu adalah melalui hierarchical accountability for inputs untuk hal-hal
yang bersifat tugas rutin seperti penganggaran dan melalui legal accountability
for processes untuk monitoring pelaksanaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun
1970an yang diikuti dengan perubahan sistem adminsitrasi publik di Amerika
Serikat melalui Reagen Administration’s Management, kewenangan pelayanan
publik banyak yang didesentralisasikan kepada negara bagian/ state. Salah satu
program yang terkenal pada waktu itu adalah Job Training Partnership Act (JTPA)
Program. Menurut Barnow (2000,p. 119) program JTPA ini merupakan pionir
dari penerapan performance measurement di era desentralisasi. Selanjutnya
16 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Bamow (2000) dalam Heckman & Heinrich (2002) juga menyebutkan beberapa
perbedaan antara pengukuran kinerja pada JTPA dari metode sebelumnya, yaitu
(1) pengukuran kinerja terpusat pada kinerja outcome bukan pada kinerja input
maupun output, (2) pengukuran kinerja terhubung antarlevel pemerintahan, (3)
menyediakan insentif finansial bagi manajer program berdasarkan hasil evaluasi.
Namun demikian, di dalam implementasinya, sering penerapan RBM ini
tidak berjalan dengan semestinya. Beberapa studi di Amerika Serikat terdahulu
seperti yang dilakukan oleh General Accounting Office (1999), menyatakan
bahwa penerapan JPTA memiliki hambatan terutama adanya misi yang terbagi-
bagi (mission fragmentation). Selanjutnya, tantangan yang dihadapi adalah
identifikasi ukuran-ukuran kinerja yang ingin dicapai apakah tepat atau tidak.
Untuk itu Heckman dan Smith (dalam Heckman &, 2002) menyebutkan bahwa
untuk menentukan ukuran kinerja, sebaiknya dipilih berdasarkan hubungan
yang kuat dengan tujuan program/kegiatan.
Critical Success Factor dari RBM
Berbagai riset terdahulu tentang penerapan RBM dalam manajemen
menghasilkan beberapa kriteria agar konsep RBM ini dapat diimplementasikan
dengan baik. Baker (1992) memberikan beberapa kondisi agar RBM dapat
terimplementasi dengan baik. Yang pertama adalah ukuran kinerja harus sejalan
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Riset lain yang dilakukan oleh Kravchuk
and Schack (1996) juga mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa program
JTPA tidak akan mendapatkan hasil yang baik salah satunya jika ukuran kinerja
menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, syarat sukses yang kedua adalah sedapat mungkin
memperhitungkan kinerja aktual dengan tepat. Terkait dengan hal tersebut,
Murphy and Cleveland (1995) membuat studi bagaimana agar ukuran kinerja
dapat diukur dengan tepat. Melalui survei yang dilakukan pada sektor privat,
hal-hal yang mempengaruhi pengukuran kinerja antara lain adalah kompleksitas
organisasi dan koordinasi, serta kondisi ekonomi dan politik yang berjalan.
17Gambaran Umum DAK
BAB 3 GAMBARAN UMUM DAK
DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang menjadi
kewenangan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK merupakan
bantuan stimulan untuk membantu daerah dalam menyediakan sarana dan
prasarana dalam rangka mendorong percepatan pertumbuhan perekonomian
daerah.
DAK dialokasikan terutama untuk membantu membiayai kebutuhan sarana
dan prasarana pelayanan dasar masyarakat atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah. Daerah penerima DAK diwajibkan menyediakan dana
pendamping yang dianggarkan dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari alokasi
DAK. Pengecualian Pengecualian diberikan kepada daerah dengan kemampuan
fiskal tertentu. Daerah penerima DAK diwajibkan pula mencantumkan alokasi
dan penggunaan DAK dalam APBD.
Dana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional dalam rangka mendorong percepatan pembangunan
daerah dan pencapaian sasaran nasional. Alokasi DAK ke daerah ditentukan
berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut: a) Kriteria Umum, yang ditetapkan
dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, diprioritaskan
untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah
rata-rata nasional; b) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kekhususan daerah; c) Kriteria Teknis,
disusun berdasarkan indikator-indikator teknis yang didukung data-data teknis
masing-masing bidang dan ditentukan oleh kementerian teknis.
18 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Untuk tahun 2013, Dana Alokasi Khusus juga digunakan sebagai alat
affirmative policy bagi daerah tertinggal. Alokasi DAK 2013 sebesar Rp31,69
triliun dibagi menjadi dua bagian yaitu, DAK Reguler dan DAK Tambahan. DAK
regular dialokasikan sebesar Rp29,69 triliun yang terdiri dari Rp27,8 triliun
untuk sembilan belas bidang DAK, yaitu: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3)
Infrastruktur Jalan; (4) Infrastruktur Irigasi; (5) Infrastruktur Air Minum; (6)
Infrastruktur Sanitasi; (7) Prasarana Pemerintahan Daerah; (8) Kelautan dan
Perikanan; (9) Pertanian; (10) Lingkungan Hidup; (11) Keluarga Berencana; (12)
Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Perdagangan; (14) Energi Perdesaan;
(15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal;
(17) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan; (18) Perumahan dan
Permukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat, dan sebesar Rp1,88
triliun dialokasikan untuk 12 bidang DAK dalam rangka affirmative policy kepada
183 daerah yang termasuk kategori daerah tertinggal, yaitu: (1) Pendidikan
(SD); (2) Kesehatan (Pelayanan Kesehatan Dasar); (3) Infrastruktur Jalan; (4)
Infrastruktur Irigasi; (5) Infrastruktur Air Minum; (6) Infrastruktur Sanitasi; (7)
Kelautan dan Perikanan; (8) Pertanian; (9) Sarana dan Prasarana Perdagangan
(Pasar); (10) Energi Perdesaan; (11) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal;
(12) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan.
Tabel 3.1 Perkembangan Sektor DAK, 2008 – 2013
No. 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1. Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan Pendidikan
2. Kesehatan Kesehatan Kesehatan Kesehatan Kesehatan Kesehatan
3. Prasarana Jalan
Prasarana Jalan
Prasarana Jalan
Prasarana Jalan
Prasarana Jalan
Prasarana Jalan
4. Prasarana Irigasi
Prasarana Irigasi
Prasarana Irigasi
Prasarana Irigasi
Prasarana Irigasi
Prasarana Irigasi
5. Prasarana Pemerintahan
Prasarana Pemerintahan
Prasarana Pemerintahan
Prasarana Pemerintahan
Prasarana Pemerintahan
Prasarana Pemerintahan
19Gambaran Umum DAK
No. 2008 2009 2010 2011 2012 2013
6. Kelautan dan Perikanan
Kelautan dan Perikanan
Kelautan dan Perikanan
Kelautan dan Perikanan
Kelautan dan Perikanan
Kelautan dan Perikanan
7. Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
Prasarana Air Minum & Penyehatan Lingkungan
8. Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
9. Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
10 Kependudukan Kependudukan Kependudukan Kependudukan Kependudukan Kependudukan
11 Kehutanan Kehutanan Kehutanan Kehutanan Kehutanan Kehutanan
12 Sarana Pedesaan
Sarana Pedesaan
Sarana Pedesaan
Sarana Pedesaan
Sarana Pedesaan
13 Perdagangan Perdagangan Perdagangan Perdagangan Perdagangan
14 Listrik Listrik Listrik
15 Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal
Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal
Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal
16 Transportasi Pedesaan
Transportasi Pedesaan
Transportasi Pedesaan
17 Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan
Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan
Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan
18 Perumahan dan Pemukiman
Perumahan dan Pemukiman
Perumahan dan Pemukiman
19 Keselamatan dan Transportasi Darat
Keselamatan dan Transportasi Darat
Keselamatan dan Transportasi Darat
20 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
No. 2008 2009 2010 2011 2012 2013
20 Sarana dan Prasarana Perdesaan
Sarana dan Prasarana Perdesaan
Sumber: PMK tentang penetapan alokasi DAK, berbagai tahun
Selain itu, sebagaimana disebutkan di awal, bahwa di tahun 2013
dialokasikan juga DAK Tambahan sebesar Rp2,0 triliun yang dialokasikan
untuk 2 (dua) bidang DAK kepada 183 daerah yang termasuk kategori daerah
tertinggal, yaitu (1) Infrastruktur Pendidikan; (2) Infrastruktur Jalan.
Tabel 3.2 Daftar Alokasi DAK Per Bidang
28
Prasarana KawasanPerbatasan
Prasarana KawasanPerbatasan
Prasarana KawasanPerbatasan
18 Perumahan danPemukiman
Perumahan danPemukiman
Perumahan danPemukiman
19 Keselamatan danTransportasi Darat
Keselamatan danTransportasi Darat
Keselamatan danTransportasi Darat
20 Sarana danPrasaranaPerdesaan
Sarana danPrasarana Perdesaan
Sumber: PMK tentang penetapan alokasi DAK, berbagai tahun
Selain itu, sebagaimana disebutkan di awal, bahwa di tahun 2013 dialokasikan juga
DAK Tambahan sebesar Rp2,0 triliun yang dialokasikan untuk 2 (dua) bidang DAK
kepada 183 daerah yang termasuk kategori daerah tertinggal, yaitu (1) Infrastruktur
Pendidikan; (2) Infrastruktur Jalan.
Tabel 3.2 Daftar Alokasi DAK Per Bidang
2010 2011 2012 2013 2014
Dana Alokasi Khusus 21,133,382,500,000 25,232,800,000,000 26,115,948,000,000 31,697,143,000,000 33,000,000,000,000
1) Pendidikan 9,334,882,000,000 10,041,300,000,000 10,041,300,000,000 11,090,774,000,000 10,041,300,000,000
2) Kesehatan 2,829,760,000,000 3,000,800,000,000 3,005,931,000,000 3,101,545,000,000 3,129,900,000,000
3) Infrastruktur Jalan 2,810,207,000,000 3,900,000,000,000 4,012,761,000,000 5,373,518,000,000 6,105,760,000,000
4) Infrastruktur Irigasi 968,402,000,000 1,311,800,000,000 1,348,508,000,000 1,614,062,000,000 2,288,960,000,000
5) Infrastruktur Air
minum 357,231,500,000 419,600,000,000 502,494,000,000 609,911,000,000 885,320,000,000
6) Infrastruktur Sanitasi 357,231,500,000 419,600,000,000 463,651,000,000 569,456,000,000 829,260,000,000
7) Sarpras Pemerintahan
Daerah 386,253,000,000 400,000,000,000 444,504,000,000 481,279,000,000 499,740,000,000
8) Kelautan Perikanan 1,207,840,000,000 1,500,000,000,000 1,547,119,000,000 1,812,301,000,000 1,851,910,000,000
9) Pertanian 1,543,633,000,000 1,806,100,000,000 1,879,588,000,000 2,542,312,000,000 2,579,560,000,000
10) Lingkungan Hidup 351,610,000,000 400,000,000,000 479,730,000,000 530,548,000,000 548,100,000,000
11) Keluarga Berencana 329,010,000,000 368,100,000,000 392,257,000,000 442,869,000,000 462,910,000,000
12) Kehutanan 250,000,000,000 400,000,000,000 489,763,000,000 539,419,000,000 558,460,000,000
13) Sarpras Daerah
Tertinggal - 356,940,000,000 716,995,000,000 754,740,000,000
14) Perdagangan 107,322,500,000 300,000,000,000 345,132,000,000 694,700,000,000 730,990,000,000
15) Keselamatan
Transportasi Darat 100,000,000,000 131,617,000,000 221,006,000,000 235,940,000,000
16) Listrik/ Energi
Perdesaan 150,000,000,000 190,640,000,000 432,491,000,000 467,940,000,000
17) Perumahan dan
Kawasan Permukiman 150,000,000,000 191,243,000,000 205,041,000,000 234,800,000,000
18) Sarpras Kawasan
Perbatasan 100,000,000,000 121,385,000,000 458,142,000,000 493,070,000,000
19) Transportasi
Perdesaan 150,000,000,000 171,385,000,000 260,774,000,000 301,340,000,000
20) Sarana Prasarana
Perdesaan 300,000,000,000 315,500,000,000 - - -
Uraian
sumber: DJPK (2014) data diolah sumber: DJPK (2014) data diolah
21Gambaran Umum DAK
Dari tahun ke tahun pemerintah pusat berupaya mengalokasikan DAK
berdasarkan bidang yang menjadi prioritas nasional yang ditetapkan setiap
tahun dalam RKP. Perubahan prioritas nasional yang tercantum dalam RKP akan
tercermin dalam perubahan alokasi pemanfaatan DAK. Jika dilihat pada tabel
3.2 maka terlihat sejak tahun 2010 sampai dengan 2014 sektor pendidikan
selalu mendapatkan alokasi yang paling besar jika dibandingkan dengan bidang
yang lainnya. Kemudian alokasi terbesar berikutnya secara berturut-turut
untuk sektor infrastruktur dan sektor kesehatan. Hal ini sesuai dengan prioritas
nasional pemerintah yang tercantum dalam RKP yaitu diprioritaskan untuk
sektor pendidikan, infrastruktur dan kesehatan. Mengingat salah satu tujuan
DAK adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah,
semakin tidak layaknya kondisi infrastruktur pelayanan suatu daerah, maka
semakin besar pula DAK yang seharusnya diterima oleh daerah tersebut. Bagi
daerah yang telah memiliki kondisi infrastruktur pelayanan yang relatif baik,
daerah tersebut akan mendapatkan DAK dalam jumlah yang kecil.
3.1 Arah dan Kebijakan Dana Alokasi KhususSecara umum arah dan kebijakan DAK tahun 2013 ditujukan untuk : (1)
membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah
dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka mendorong pencapaian
standar pelayanan minimal (SPM), melalui penyediaan sarana dan prasarana
fisik pelayanan dasar masyarakat, serta meningkatkan efektivitas belanja
daerah; (2) memantapkan perencanaan DAK dengan mendorong pendekatan
berbasis output/outcome, sesuai dengan RPJM; (3) meningkatkan koordinasi
penyusunan petunjuk teknis; (4) meningkatkan akurasi data-data teknis dan
menghindari duplikasi kegiatan antarbidang DAK; (5) memperhatikan daerah
tertinggal di masing-masing bidang DAK; (6) meningkatkan kinerja dan kualitas
pengelolaan DAK; (7) mendorong kementerian/lembaga untuk mengalihkan
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian/lembaga yang masih digunakan untuk melaksanakan urusan daerah
secara bertahap ke DAK; (8) meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK sehingga
22 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
dapat membantu sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan yang didanai dari
sumber pendanaan lainnya (APBN dan APBD); dan (9) menerapkan kebijakan
disinsentive kepada daerah yang tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan DAK
melalui penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu pertimbangan dalam
penyusunan kriteria teknis perhitungan alokasi DAK. Berikut ini disampaikan
secara detail arah kebijakan DAK untuk bidang pelayanan dasar, yaitu pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur.
3.1.1.Arah Kebijakan DAK Bidang Pendidikan
Untuk tahun 2013, DAK bidang pendidikan diarahkan untuk mendukung
penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang
bermutu dan merata dalam rangka memenuhi SPM dan secara bertahap
memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, kegiatan DAK Pendidikan
2013 juga diarahkan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan menengah
universal melalui penyediaan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas
dan mencukupi. Kegiatan DAK Pendidikan tahun 2013 akan diprioritaskan
untuk melaksanakan rehabilitasi ruang kelas dan/atau ruang belajar rusak
sedang jenjang SD/SDLB dan SMP/SMPLB, rehabilitasi ruang belajar rusak
berat ringan jenjang SMA/SMK/SMLB, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB)
dan Ruang Belajar Lain (RBL) beserta perabotnya bagi jenjang SMP/SMPLB,
pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya, penyediaan buku referensi
perpustakaan, pembangunan laboratorium bagi jenjang SMA/SMK/SMLB, dan
penyediaan peralatan pendidikan. Sekolah penerima DAK Bidang Pendidikan
tahun 2013 meliputi jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB,
baik negeri maupun swasta.
Adapun lingkup kegiatan DAK bidang pendidikan untuk tahun 2013 adalah
sebagai berikut: (1) rehabilitasi ruang kelas rusak sedang jenjang SD/SDLB; (2)
rehabilitasi ruang belajar rusak sedang jenjang SMP/SMPLB; (3) pembangunan
ruang belajar jenjang SMP/SMPLB; (4) rehabilitasi ruang belajar rusak berat
jenjang SMA/SMK/SMLB; (5) pembangunan ruang kelas baru jenjang SMP/
SMPLB; (6) pembangunan perpustakaan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan
23Gambaran Umum DAK
SMA/SMK/SMLB; (7) pembangunan ruang Laboratorium jenjang SMA/SMK/
SMLB; (8) pengadaan peralatan pendidikan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB,
dan SMA/SMK/SMLB; (9) pengadaan buku teks pelajaran/ referensi jenjang
SMP/SMPLB dan SMA/SMK/SMLB.
Grafik 3.1 Alokasi DAK Pendidikan
31
SMA/SMK/SMLB; (5) pembangunan ruang kelas baru jenjang SMP/SMPLB; (6)
pembangunan perpustakaan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB;
(7) pembangunan ruang Laboratorium jenjang SMA/SMK/SMLB; (8) pengadaan
peralatan pendidikan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB; (9)
pengadaan buku teks pelajaran/ referensi jenjang SMP/SMPLB dan SMA/SMK/SMLB.
Grafik 3.1 Alokasi DAK Pendidikan
Sumber: DJPK (2014) data diolah
3.1.2. Arah Kebijakan DAK Bidang Kesehatan
Untuk DAK Bidang Kesehatan, di tahun 2013 alokasi DAK digunakan untuk
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan
pencapaian target MDGs yang difokuskan pada penurunan angka kematian ibu, bayi
dan anak, penanggulangan masalah gizi, serta pencegahan penyakit dan penyehatan
lingkungan terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah
kesehatan (DBK), dengan dukungan penyediaan jaminan persalinan dan jaminan
kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, peningkatan sarana prasarana
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan termasuk kelas III Rumah Sakit, penyediaan
dan pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman,
Sumber: DJPK (2014) data diolah
3.1.2. Arah Kebijakan DAK Bidang Kesehatan
Untuk DAK Bidang Kesehatan, di tahun 2013 alokasi DAK digunakan untuk
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan
pencapaian target MDGs yang difokuskan pada penurunan angka kematian
ibu, bayi dan anak, penanggulangan masalah gizi, serta pencegahan penyakit
dan penyehatan lingkungan terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk
miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan
(DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), dengan dukungan penyediaan
jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan, peningkatan sarana prasarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
termasuk kelas III Rumah Sakit, penyediaan dan pengelolaan obat, perbekalan
kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat dalam
24 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
rangka mempersiapkan pelaksanaan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial
(BPJS) kesehatan 2014.
Ruang lingkup kegiatan meliputi: (1) pelayanan kesehatan dasar yakni
pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya,
antara lain meliputi: (a) pembangunan puskesmas pembantu/puskesmas di
daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan/puskesmas perawatan mampu
PONED/instalasi pengolahan limbah puskesmas/pembangunan poskesdes/
posbindu, (b) peningkatan puskesmas menjadi puskesmas perawatan di DTPK,
(c) rehabilitasi puskesmas/rumah dinas dokter/dokter gigi/paramedis (Kopel), (d)
penyediaan sarana dan prasarana penyehatan lingkungan/pengadaan UKBM
Kit; (2) pelayanan kesehatan rujukan yakni pemenuhan/pengadaan sarana,
prasarana dan peralatan bagi RSUD antara lain meliputi (a) pengadaan sarana
dan prasarana RS Siap PONEK, (b) penyediaan fasilitas tempat tidur kelas III
RS, (c) pembangunan IPL RS, (d) pemenuhan peralatan UTD RS/BDRS, (e)
pengadaan sarana dan prasarana ICU dan IGD; (3) pelayanan kefarmasian,
antara lain meliputi: (a) penyediaan obat dan perbekalan kesehatan, (b)
pembangunan baru, rehabilitasi, penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi
kabupaten/kota, (c) pembangunan baru instalasi farmasi gugus kepulauan/
satelite dan sarana pendukungnya.
Grafik 3.2 Alokasi DAK Kesehatan
32
bermutu dan bermanfaat dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan Badan
Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan 2014.
Ruang lingkup kegiatan meliputi: (1) pelayanan kesehatan dasar yakni pemenuhan
sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, antara lain meliputi:
(a) pembangunan puskesmas pembantu/puskesmas di daerah tertinggal perbatasan
dan kepulauan/puskesmas perawatan mampu PONED/instalasi pengolahan limbah
puskesmas/pembangunan poskesdes/posbindu, (b) peningkatan puskesmas menjadi
puskesmas perawatan di DTPK, (c) rehabilitasi puskesmas/rumah dinas dokter/dokter
gigi/paramedis (Kopel), (d) penyediaan sarana dan prasarana penyehatan
lingkungan/pengadaan UKBM Kit; (2) pelayanan kesehatan rujukan yakni
pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana dan peralatan bagi RSUD antara lain
meliputi (a) pengadaan sarana dan prasarana RS Siap PONEK, (b) penyediaan fasilitas
tempat tidur kelas III RS, (c) pembangunan IPL RS, (d) pemenuhan peralatan UTD
RS/BDRS, (e) pengadaan sarana dan prasarana ICU dan IGD; (3) pelayanan
kefarmasian, antara lain meliputi: (a) penyediaan obat dan perbekalan kesehatan, (b)
pembangunan baru, rehabilitasi, penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi
kabupaten/kota, (c) pembangunan baru instalasi farmasi gugus kepulauan/satelite dan
sarana pendukungnya.
Grafik 3.2 Alokasi DAK Kesehatan
Sumber: DJPK (2014) data diolahSumber: DJPK (2014) data diolah
25Gambaran Umum DAK
3.1.3. Arah Kebijakan DAK Bidang Infrastruktur
Untuk tahun 2013 ini DAK bidang infrastruktur dibagi ke dalam 4 bidang
khusus. Pertama adalah bidang infrastruktur jalan, dengan arah kebijakannya
ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan prasarana
jalan provinsi, kabupaten dan kota serta menunjang aksesibilitas keterhubungan
wilayah (domestic connectivity) dalam mendukung pengembangan koridor
ekonomi wilayah/kawasan. Adapun lingkup kegiatannya adalah untuk: (1)
pemeliharaan berkala jalan dan jembatan yang kewenangan pengaturannya
oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota; (2) peningkatan dan pembangunan
jalan yang kewenangan pengaturannya oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota;
(3) penggantian dan pembangunan jembatan yang kewenangan pengaturannya
oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
DAK bidang infrastruktur berikutnya adalah irigasi dengan arah kebijakan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja layanan jaringan irigasi/rawa
kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka mendukung
pemenuhan sasaran prioritas nasional di bidang ketahanan pangan khususnya
peningkatan produksi beras nasional menuju surplus beras 10 juta ton pada
tahun 2014. Dengan lingkup kegiatan yang akan diprioritaskan untuk kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi yang kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota
dengan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan
jaringan irigasi. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan DAK Irigasi, kegiatan
survey, investigasi, dan disain, serta operasi/pemeliharaan jaringan irigasi
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kegiatan komplementer.
Selanjutnya adalah DAK bidang infrastruktur air minum yang diarahkan untuk
meningkatkan cakupan pelayanan air dalam rangka percepatan pencapaian
target MDGs untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi
standar pelayanan minimal (SPM) penyediaan air minum di kawasan perkotaan,
perdesaan, termasuk daerah tertinggal. Sementara itu, ruang lingkup kegiatannya
adalah: (1) perluasan dan peningkatan sambungan rumah (SR) perpipaan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah perkotaan. Daerah yang menjadi sasaran
26 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
adalah kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk
dibangun SR perpipaan; (2) pemasangan master meter untuk masyarakat
berpenghasilan rendah perkotaan khususnya yang bermukim di kawasan
kumuh perkotaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah kabupaten/kota yang
memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR perpipaan; dan (3)
pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) perdesaan. Daerah yang
menjadi sasaran adalah desa-desa dengan sumber air baku yang relatif mudah.
Bidang terakhir adalah bidang sanitasi yang diarahkan untuk meningkatkan
cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi, terutama dalam pengelolaan air
limbah dan persampahan secara komunal/terdesentralisasi untuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi standar pelayanan minimal
(SPM) penyediaan sanitasi di kawasan daerah rawan sanitasi, termasuk daerah
tertinggal. Ruang lingkup kegiatan bidang sanitasi adalah sebagai berikut: (1)
subbidang air limbah: pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana
air limbah komunal; dan (2) subbidang persampahan: pembangunan dan
pengembangan fasilitas pengelolaan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse,
dan recycle) di tingkat komunal yang terhubung dengan sistem pengelolaan
sampah di tingkat kota.
Grafik 3.3 Alokasi DAK Infrastruktur
34
berpenghasilan rendah perkotaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah
kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR
perpipaan; (2) pemasangan master meter untuk masyarakat berpenghasilan rendah
perkotaan khususnya yang bermukim di kawasan kumuh perkotaan. Daerah yang
menjadi sasaran adalah kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai
untuk dibangun SR perpipaan; dan (3) pembangunan sistem penyediaan air minum
(SPAM) perdesaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah desa-desa dengan sumber air
baku yang relatif mudah.
Bidang terakhir adalah bidang sanitasi yang diarahkan untuk meningkatkan cakupan
dan kehandalan pelayanan sanitasi, terutama dalam pengelolaan air limbah dan
persampahan secara komunal/terdesentralisasi untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat dan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) penyediaan
sanitasi di kawasan daerah rawan sanitasi, termasuk daerah tertinggal. Ruang lingkup
kegiatan bidang sanitasi adalah sebagai berikut: (1) subbidang air limbah:
pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; dan (2)
subbidang persampahan: pembangunan dan pengembangan fasilitas pengelolaan
sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle) di tingkat komunal yang terhubung
dengan sistem pengelolaan sampah di tingkat kota.
Grafik 3.3 Alokasi DAK Infrastruktur
Sumber: DJPK (2014) data diolahSumber: DJPK (2014) data diolah
27Gambaran Umum DAK
3.2 Penyaluran Dana Alokasi KhususPola penyaluran DAK dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014 telah
mengalami beberapa perubahan. Secara umum, terdapat dua pola penyaluran,
yaitu penyaluran melalui mekanisme belanja dan mekanisme transfer. Penyaluran
dengan mekanisme belanja digunakan sampai dengan tahun 2007, yaitu
penyaluran DAK dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan melalui KPPN setempat.
Kepala Daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan Umum Negara (BUN)
membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan
untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau pejabat yang
ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN setempat
untuk penyaluran DAK setiap tahapnya.
Mulai tahun 2008, penyaluran DAK menggunakan mekanisme transfer
yaitu penyaluran DAK dilaksanakan langsung melalui Kuasa BUN dengan cara
memindahbukukan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum
daerah. Perubahan pola penyaluran ini seiring dengan perubahan nomenklatur
Belanja ke Daerah menjadi Transfer ke Daerah dalam struktur APBN 2008,
serta perpindahan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA)
dari pemerintah daerah menjadi Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan (DJPK). Saat ini, penyaluran DAK dilakukan secara
bertahap dengan persentase tertentu dari pagu DAK yang diterima oleh daerah
untuk masing-masing tahap. Untuk pencairan setiap tahap, terdapat beberapa
syarat seperti sisa dana DAK dari tahap sebelumnya maksimal 10% di kas daerah
dan penyampaian beberapa dokumen seperti laporan penyerapan penggunaan
DAK dari tahun/tahap sebelumnya. Pola penyaluran DAK akan dibahas lebih
detail pada bagian evaluasi peraturan penyaluran DAK di Bab IV.
3.3 Pelaporan Dana Alokasi KhususSesuai dengan Pasal 63 PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan,
pemerintah daerah diwajibkan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
dan penggunaan DAK setiap triwulan kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam
28 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Negeri, dan kementerian teknis. Penyampaian laporan triwulanan tersebut paling
lambat empat belas hari setelah triwulan yang berkenaan berakhir. Pelampuan
batas waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi berupa penundaan
penyaluran DAK. Berdasarkan laporan triwulanan yang diterima, menteri teknis
terkait menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap akhir tahun
anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pernbangunan
Nasional, dan Menteri Dalam Negeri.
Untuk melaksanakan amanat PP tersebut, diterbitkan Surat Edaran Bersama
(SEB) Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS, Menteri Keuangan, dan Menteri
Dalam Negeri No. 0239/M.PPN/11/2008, SE No. 1722/MK 07/2008, dan No.
900/3556/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan
dan Evaluasi Pemantauan Dana Alokasi Khusus (DAK)1. SEB DAK ini bertujuan
untuk meningkatkan koordinasi pemantauan dan evaluasi DAK ditingkat pusat,
namun kementerian teknis tetap dapat melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan DAK di daerah sesuai dengan kewenangan dan fungsinya.
Dalam SEB DAK tersebut diatur bahwa setiap SKPD penerima DAK harus
menyampaikan laporan sebagai berikut:
a. Laporan triwulanan. Laporan ini setidaknya berisi tentang perencanaan
pemanfaatan DAK, kesesuaian DPA-SKPD dengan Juknis, perkembangan
pelaksanaan kegiatan, dan permasalahan yang timbul sesuai dengan format
yang telah disediakan. Laporan disampaikan selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
b. Laporan penyerapan DAK. Laporan ini disampaikan kepada Menteri
Keuangan sebagai amanat peraturan menteri keuangan tentang pelaksanaan
dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah;
Dalam Laporan ini, Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS,
Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri No. 0239/M.PPN/11/2008, SE No. 1722/
MK 07/2008, dan No. 900/3556/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis
Pelaksanaan dan Evaluasi Pemantauan Dana Alokasi Khusus (DAK) disingkat menjadi SEB
DAK.
29Gambaran Umum DAK
c. Laporan akhir. Laporan ini memuat laporan pelaksanaan akhir tahun yang
disusun sesuai dengan format yang telah disediakan. Disampaikan dua
bulan setelah tahun anggaran yang berkenaan berakhir.
Alur penyampaian laporan sesuai dengan SEB DAK adalah sebagai terlihat
pada grafik berikut.
Grafik 3.4. Alur Pelaporan DAK
37
c. Laporan akhir. Laporan ini memuat laporan pelaksanaan akhir tahun yang disusun
sesuai dengan format yang telah disediakan. Disampaikan dua bulan setelah tahun
anggaran yang berkenaan berakhir.
Alur penyampaian laporan sesuai dengan SEB DAK adalah sebagai terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 3.4. Alur Pelaporan DAK
Sumber: Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK, Kementerian Dalam Negeri, 2013
Alur laporan akhir sama seperti alur laporan triwulan seperti terlihat pada Gambar 4.1.
Perbedaannya terletak pada penyampaian kompilasi laporan oleh Sekretaris Daerah
kepada menteri teknis. Penyampaian dilakukan paling lambat batas waktu dua bulan
setelah tahun anggaran berakhir. Selanjutnya, menteri teknis melakukan rekapitulasi
dan review terhadap laporan akhir dari daerah tersebut, dan dihasilnya disampaikan
kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Sumber: Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK, Kementerian Dalam
Negeri, 2013
Alur laporan akhir sama seperti alur laporan triwulan seperti terlihat pada
Grafik 4.1. Perbedaannya terletak pada penyampaian kompilasi laporan oleh
Sekretaris Daerah kepada menteri teknis. Penyampaian dilakukan paling lambat
batas waktu dua bulan setelah tahun anggaran berakhir. Selanjutnya, menteri
teknis melakukan rekapitulasi dan review terhadap laporan akhir dari daerah
tersebut, dan dihasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam
30 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Negeri. Batas waktu penyampaian laporan dari menteri teknis adalah maksimal
tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir.
3.4 Monitoring dan Evaluasi Dana Alokasi KhususPP No. 55 Tahun 2005 mengatur bahwa Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional bersama-sama dengan menteri teknis melakukan pemantauan dan
evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai
dari DAK. Disamping itu, Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi
pengelolaan keuangan DAK. Sebagaimana dengan mekanisme pelaporan DAK,
peraturan pelaksana dari amanat PP tersebut tertuang dalam SEB DAK.
Kementerian Negara PPN/BAPPENAS mengoordinasikan pelaksanaan
monitoring dan evaluasi di tingkat pusat dengan melibatkan Kementerian
Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian/lembaga teknis
terkait. Namun demikian, terdapat perbedaan fokus monitoring dan evaluasi
yang dilakukan oleh masing-masing kementerian/lembaga. Kementerian
PPN/BAPPENAS melakukan pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi
pemanfaatan DAK dari aspek pencapaian sasaran prioritas nasional. Kementerian
Keuangan melakukan pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan
DAK dari aspek keuangan terutama yang terkait dengan penyaluran DAK dari
rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah dan penyerapan
anggaran dari rekening kas umum daerah. Sedangkan, Kementerian Dalam
Negeri melakukan pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan
DAK dari aspek pelaksanaan, administrasi keuangan, dan kepatuhan daerah
dalam pelaporan DAK. kementerian/lembaga teknis melakukan pemantauan
teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK dari aspek teknis.
Secara umum, sebagaimana diatur dalam SEB DAK, tugas seluruh
kementerian tersebut dalam rangka monitoring dan evaluasi DAK adalah
sebagai berikut:
1. melakukan pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK;
31Gambaran Umum DAK
2. melakukan koordinasi dengan organisasi pelaksana provinsi dan kabupaten/
kota melalui forum koordinasi;
3. menyosialisasikan Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan
dan Evaluasi Pemanfaatan DAK kepada provinsi dan kabupaten/kota;
4. mengoordinasikan dan mengonsolidasikan laporan pemantauan teknis
pelaksanaan dan evaluasi pemanfaatan DAK;
5. menyampaikan laporan hasil pemantauan teknis pelaksanaan dan evaluasi
pemanfaatan DAK dan rekomendasi kebijakan kepada menteri terkait; dan
6. organisasi pelaksana dapat menugaskan kepada aparat pengawas fungsional
untuk menindaklanjuti hasil pemantauan evaluasi.
SEB DAK membagi kegiatan monitoring dan evaluasi DAK menjadi dua
kelompok kegiatan, yaitu pemantauan teknis pelaksanaan DAK dan evaluasi
pemanfaatan DAK. Hal ini didasari oleh sifat dan tujuan kegiatan monitoring dan
evaluasi yang berbeda. Pemantauan teknis pelaksanaan DAK bertujuan untuk
memastikan pelaksanaan DAK di daerah tepat waktu dan tepat sasaran sesuai
dengan penetapan alokasi DAK dan petunjuk teknis masing-masing bidang
DAK dan mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan
kegiatan dalam rangka perbaikan pelaksanaan DAK tahun berjalan. Sedangkan
evaluasi pemanfaatan DAK bertujuan untuk memastikan pelaksanaan DAK
bermanfaat bagi masyarakat di daerah sesuai dengan tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional dan
memberikan masukan untuk penyempurnaan kebijakan dan pengelolaan DAK
yang meliputi aspek perencanaan, pengalokasian, pelaksanaan, dan pemanfaatan
DAK ke depan.
Dalam kegiatan pemantauan teknis, aspek yang dipantau adalah kesesuaian
antara kegiatan DAK dengan usulan kegiatan yang ada dalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), kesesuaian pemanfaatan DAK dalam Dokumen
Pelaksana Anggaran-Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) dengan
petunjuk teknis dan pelaksanaan di lapangan, dan realisasi waktu pelaksanaan,
lokasi, dan sasaran pelaksanaan dengan perencanaan. Selain aspek teknis,
32 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
aspek keuangan juga dimonitor dengan melihat penyediaan dana pendamping,
realisasi penyerapan yang meliputi realisasi keuangan dari rekening kas umum
negara ke rekening kas umum daerah, dan realisasi pembayaran dari rekening
kas umum daerah kepada pihak ketiga.
Pemantauan teknis pelaksanaan DAK dilakukan dengan menelaah laporan
atas aspek-aspek yang disebutkan sebelumnya dan kunjungan lapangan.
Kunjungan lapangan dilakukan secara berkala atau sesuai kebutuhan untuk
mengetahui informasi yang lebih rinci berkaitan dengan perkembangan
pelaksanaan DAK di daerah. Hasil dari telaahan laporan dan kunjungan lapangan
tersebut, dibahas dalam forum koordinasi baik di tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Forum koordinasi dapat melibatkan pemangku kepentingan
apabila terdapat permasalahan yang bersifat khusus.
Disamping itu, kegiatan evaluasi pemanfaatan DAK melihat pencapaian
sasaran DAK berdasarkan masukan, proses, keluaran, dan hasil, pencapaian
manfaat (benefit) yang diperoleh dari pelaksanaan DAK, dan dampak (impact)
yang ditimbulkan dari pelaksanaan DAK. Sama seperti halnya dengan pemantauan
teknis, tahapan yang dilakukan dalam evaluasi terdiri dari telaahan laporan akhir
untuk menilai kesesuaian masukan, proses, dan keluaran, kegiatan evaluasi
yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian keluaran, hasil, dan dampak dari
pelaksanaan DAK, dan pembahasan dalam forum koordinasi.
Pengaturan monitoring dan evaluasi pelaksanaan DAK di daerah juga diatur
dalam petunjuk teknis DAK masing-masing bidang. Sebagian K/L mengadopsi
tata cara monitoring dan evaluasi SEB DAK kedalam petunjuk teknis yang
disusunnya, namun terdapat sebagian yang mempunyai sistem monitoring
dan evaluasi sendiri. Berikut ini adalah tata cara monitoring dan evaluasi DAK
bidang kesehatan, pendidikan dan pekerjaan umum, yang disadur dari masing-
masing petunjuk teknis.
a. DAK Bidang Kesehatan
Tata cara monitoring dan evaluasi bidang kesehatan dilakukan melalui :
33Gambaran Umum DAK
a. Review atas laporan triwulan/laporan akhir yang disampaikan oleh Gubernur/
Bupati/ Walikota dan Dinas Kesehatan Provinsi setiap akhir triwulan sesuai
dengan format laporan,
b. Kunjungan lapangan atau studi evaluasi, dan
c. Forum koordinasi untuk menindaklanjuti hasil review laporan dan atau
kunjungan lapangan.
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh organisasi pelaksana dan/atau tim
koordinasi di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan petunjuk
teknis dalam SEB DAK. Mekanisme pelaporan yang merupakan salah satu tools
pelaksananaan monev yaitu Kepala Daerah menyampaikan laporan triwulan
yang memuat pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada Menteri
Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan.
Laporan dari kegiatan pemantauan teknis pelaksanaan DAK Bidang
Kesehatan terdiri:
a. Laporan triwulan yang memuat jenis kegiatan, lokasi kegiatan, realisasi
keuangan, realisasi fisik dan permasalahan dalam pelaksanaan DAK, yang
disampaikan selambat-lambatnya 14 hari setelah akhir triwulan (Maret, Juni,
September dan Desember). Laporan triwulan dapat dijadikan pertimbangan
dalam pengalokasian DAK tahun berikutnya sesuai peraturan perundang-
undangan.
b. Laporan penyerapan DAK disampaikan kepada Menteri Keuangan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Anggaran Trasfer Ke Daerah yang berlaku.
c. Laporan akhir merupakan laporan pelaksanaan akhir tahun, yang
disampaikan dua bulan setelah tahun anggaran berakhir.
b. DAK Bidang Pendidikan
Laporan pelaksanaan DAK Bidang Pendidikan dilakukan secara berjenjang,
mulai dari laporan tingkat sekolah, laporan tingkat kabupaten/kota, dan laporan
pusat. Panitia pembangunan sekolah membuat laporan kemajuan pekerjaan per
34 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
termin dan laporan akhir untuk disampaikan kepada kepala sekolah. Kepala
sekolah kemudian menyusun laporan kemajuan pekerjaan untuk disampaikan
kepada bupati/walikota melalui dinas pendidikan kabupaten/kota. Bupati/walikota
menyusun laporan per triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan DAK bidang pendidikan dasar dan mengirimkan laporan tersebut
kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (termasuk laporan elektronik). Laporan tersebut dilakukan selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
Adapun format yang digunakan adalah sebagaimana tercantum dalam SEB DAK.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan DAK bidang pendidikan dasar
dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dinas pendidikan
propinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam SEB DAK. Sementara itu pengawasan fungsional/pemeriksaan
tentang pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan program DAK bidang
pendidikan dasar dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, dan inspektorat daerah.
c. DAK Bidang Infrastruktur
Pelaksanaan monitoring dari segi teknis oleh Kementerian Pekerjaan
Umum (KemenPU) dilakukan berjenjang, baik di pusat maupun daerah. Tim
pemantau kementerian terdiri atas tim koordinasi kementerian dan tim teknis
eselon I (terdapat di setiap direktorat jenderal dan dikoordinir oleh Direktorat
Bina Program). Di tingkat daerah terdapat tim pemantau provinsi yang terdiri
atas tim koordinasi provinsi dan balai/satuan kerja pusat yang ada di derah dari
masing-masing subbidang. Untuk pelaksanaan evaluasi pemanfaatan/kinerja
DAK bidang infrastruktur dilakukan oleh Setjen KemenPU melalui tim koordinasi
kementerian dengan dibantu oleh tim teknis eselon I.
Laporan triwulanan DAK bidang infrastruktur dilakukan oleh kepala SKPD
kabupaten/kota pada tiap-tiap akhir triwulan dengan materi pelaporan yang
meliputi data umum, data dasar, dan data pelaksanaan kegiatan. Laporan
35Gambaran Umum DAK
disampaikan kepada bupati/walikota melalui kepala bappeda kabupaten/kota
dengan tembusan kepada kepala SKPD provinsi dan balai/satuan kerja pusat.
Kepala SKPD provinsi kemudian menyusun laporan triwulanan dari seluruh
satkernya untuk disampaikan pada gubernur melalui kepala bappeda provinsi
dengan tembusan pada balai/satuan kerja pusat.
Balai/satuan kerja pusat menyusun laporan triwulanan dengan dasar
laporan yang disampaikan oleh SKPD provinsi dan SKPD kabupaten/kota
untuk disampaikan pada eselon I c.q eselon II terkait sesuai masing-masing
subbidang yang ditangani. Laporan dilakukan secara online melalui http://www.
emonitoring-PU.web.id.
36 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
BAB 4 PEMBAHAsAN
4.1 Analisis Kebijakan Penyaluran DAKSebagaimana disebutkan pada pendahuluan, metodologi analisis yang
digunakan adalah melalui tabulasi hasil kuesioner dan focus group discussion
di daerah dan di pusat. Berikut ini akan dipaparkan analisis tersebut yang
akan dimulai dari analisis terhadap kebijakan penyaluran DAK dimulai dengan
paparan hasil tabulasi atas kuesioner yang telah disampaikan oleh pemerintah
daerah, yang akan dilanjutkan dengan pemaparan hasil FGD.
Terkait dengan tabulasi hasil kuesioner, jumlah kuesioner yang dilakukan
tabulasi adalah sebanyak 114 (seratus empat belas) daerah. Kuesioner terbagi
atas tiga bagian yaitu persepsi daerah atas kebijakan penyaluran, pelaporan,
dan monev DAK. Oleh karena itu, berikut akan disampaikan persepsi daerah
atas kebijakan tersebut.
Di dalam bagian ini, persepsi daerah atas kebijakan penyaluran DAK saat
ini beserta persyaratannya akan digali apakah mempermudah daerah dalam
merealisasikan DAK atau sebaliknya. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan
ketentuan dalam PMK tentang penatausahaan dan pertanggungjawaban
anggaran transfer ke daerah, sejak ditetapkannya PMK No.21/PMK.07/2009
sampai dengan PMK No.183/PMK.07/2013, DAK disalurkan secara tiga tahap,
yaitu Tahap I sebesar 30%, Tahap II sebesar 45%, dan Tahap III sebesar
25%. Terhadap regulasi tersebut, mayoritas responden yaitu sebanyak 82,5%
daerah menyatakan nyaman terhadap mekanisme penyaluran saat ini. Adapun
sebanyak 15,8% menyatakan bahwa mekanisme saat ini tidak mempermudah
penyerapan DAK di daerah. Demikian juga dengan persyaratan penyaluran
37Pembahasan
yang diatur di dalam regulasi saat ini, mayoritas daerah juga menyatakan tidak
sepakat jika dikatakan bahwa persyaratan penyaluran DAK saat ini menyulitkan
daerah dalam menyerap DAK. Sebanyak 69% responden tidak sepakat atas hal
tersebut, sedangkan 28% responden menyatakan bahwa penyaluran saat ini
mempersulit penyerapan DAK di daerah dan 3% tidak menjawab.
Grafik4.1Perspektifdaerahterhadap Grafik4.2Perspektifdaerahterhadap
Tahapan Penyaluran DAK Apakah persyaratan penyaluran DAK saat ini apakah
mempermudah daerah dalam menyerap menyulitkan daerah dalam melakukan
DAK penyerapan DAK?
45
28% responden menyatakan bahwa penyaluran saat ini mempersulit penyerapan DAK
di daerah dan 3% tidak menjawab.
Sumber: Data diolah Sumber: Data diolah
Selanjutnya, akan dilakukan pendalaman terhadap mekanisme penyaluran DAK.
Untuk itu, kuesioner akan menyajikan berbagai menu alternatif mekanisme penyaluran
seperti mekanisme pembiayaan pendahuluan (reimbursement), triwulanan, per bulan,
atau per bidang. Mekanisme pembiayaan pendahuluan yaitu DAK akan disalurkan
ketika daerah sudah melaksanakan kegiatan di tingkat penyelesaian sebagian atau
seluruhnya. Dengan demikian, dengan pola ini daerah harus mampu membiayai
terlebih dahulu kegiatan DAK-nya, untuk selanjutnya diajukan penggantian kepada
pusat. Pola triwulanan dan per bulan adalah DAK akan disalurkan secara triwulanan
maupun per bulan seperti penyaluran DAU kepada daerah. Sedangkan mekanisme
penyaluran per bidang, yaitu DAK akan disalurkan tidak secara gelondongan,
melainkan akan disalurkan per bidang DAK. Terhadap hal tersebut, mayoritas daerah
berpendapat bahwa pola penyaluran saat ini lebih dipilih oleh daerah sebagai pola
yang paling tepat dalam menyalurkan DAK. Sebagaimana terlihat pada grafik di
bawah ini pola penyaluran saat ini sepertinya masih diminati oleh sebagian besar
Grafik 4.1 Perspektif daerah terhadapTahapan Penyaluran DAK Apakah
mempermudah daerah dalam menyerapDAK
Grafik 4.2 Perspektif daerah terhadappersyaratan penyaluran DAK saat ini apakah
menyulitkan daerah dalam melakukanpenyerapan DAK?
Sumber: Data diolah Sumber: Data diolah
Selanjutnya, akan dilakukan pendalaman terhadap mekanisme penyaluran
DAK. Untuk itu, kuesioner akan menyajikan berbagai menu alternatif mekanisme
penyaluran seperti mekanisme pembiayaan pendahuluan (reimbursement),
triwulanan, per bulan, atau per bidang. Mekanisme pembiayaan pendahuluan
yaitu DAK akan disalurkan ketika daerah sudah melaksanakan kegiatan di
tingkat penyelesaian sebagian atau seluruhnya. Dengan demikian, dengan
pola ini daerah harus mampu membiayai terlebih dahulu kegiatan DAK-nya,
untuk selanjutnya diajukan penggantian kepada pusat. Pola triwulanan dan per
bulan adalah DAK akan disalurkan secara triwulanan maupun per bulan seperti
penyaluran DAU kepada daerah. Sedangkan mekanisme penyaluran per bidang,
yaitu DAK akan disalurkan tidak secara gelondongan, melainkan akan disalurkan
38 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
per bidang DAK. Terhadap hal tersebut, mayoritas daerah berpendapat bahwa
pola penyaluran saat ini lebih dipilih oleh daerah sebagai pola yang paling tepat
dalam menyalurkan DAK. Sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini pola
penyaluran saat ini sepertinya masih diminati oleh sebagian besar responden.
Alternatif lain seperti pola pembiayaan pendahuluan, triwulanan dan penyaluran
per bidang tidak mendapat respon positif dari daerah. Sebanyak 60% responden
tidak setuju dengan pola penyaluran tersebut. Demikian pula untuk pola
triwulanan, per bulan, dan per bidang, lebih dari 50% daerah juga berpendapat
sama. Lain halnya dengan pola saat ini, sebanyak 75% responden menyatakan
setuju apabila kebijakan ke depan menggunakan pola 3 tahap seperti saat ini.
Dari hasil tabulasi kuesioner di atas, dapat dikatakan bahwa mayoritas daerah
saat ini merasa nyaman dengan status quo kebijakan penyaluran DAK, walaupun
hal tersebut belum tentu membuat nyaman pemerintah pusat.
Grafik 4.3
Perspektif Daerah Terhadap Alternative Pola Penyaluran DAK Apakah
Mempermudah Daerah Dalam Menyerap DAK
46
responden. Alternatif lain seperti pola pembiayaan pendahuluan, triwulanan dan
penyaluran per bidang tidak mendapat respon positif dari daerah. Sebanyak 60%
responden tidak setuju dengan pola penyaluran tersebut. Demikian pula untuk pola
triwulanan, per bulan, dan per bidang, lebih dari 50% daerah juga berpendapat sama.
Lain halnya dengan pola saat ini, sebanyak 75% responden menyatakan setuju apabila
kebijakan ke depan menggunakan pola 3 tahap seperti saat ini. Dari hasil tabulasi
kuesioner di atas, dapat dikatakan bahwa mayoritas daerah saat ini merasa nyaman
dengan status quo kebijakan penyaluran DAK, walaupun hal tersebut belum tentu
membuat nyaman pemerintah pusat.
Sumber: Data diolah
Dari hasil focus group discussion yang dilakukan di 10 (sepuluh) daerah terdapat banyak
masukan dari daerah terkait dengan mekanisme penyaluran DAK yang dilakukan oleh
pemerintah pusat. Yang pertama adalah masukan terkait tahapan penyaluran DAK.
Beberapa hasil FGD di daerah memberikan masukan agar tahapan yang sekarang lebih
Grafik 4.1 Perspektif Daerah Terhadap Alternative Pola Penyaluran DAK ApakahMempermudah Daerah Dalam Menyerap DAK
Sumber: Data diolah
39Pembahasan
Dari hasil focus group discussion yang dilakukan di 10 (sepuluh) daerah
terdapat banyak masukan dari daerah terkait dengan mekanisme penyaluran DAK
yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Yang pertama adalah masukan terkait
tahapan penyaluran DAK. Beberapa hasil FGD di daerah memberikan masukan
agar tahapan yang sekarang lebih disempurnakan lagi, misalnya diusulkan agar
proporsi dana yang disalurkan di tahap pertama lebih rendah daripada tahap
kedua dan ketiga. Secara spesifik, peserta FGD di Provinsi Bengkulu misalnya
mengusulkan agar persentase tahap I dan tahap III dibalik, sehingga menjadi
tahap I 25% dan tahap III menjadi 30%. Alasannya adalah ketika DAK disalurkan
untuk tahap I pada awal tahun, kegiatan DAK di daerah sebagian besar masih
kegiatan yang bersifat administratif, sehingga untuk mampu menyerap 90%
sesuai dengan persyaratan penyaluran tahap berikutnya membutuhkan waktu
yang agak lambat.
Selanjutnya, beberapa daerah juga memberikan masukan jika akan dilakukan
perubahan mekanisme penyaluran ada beberapa yang diusulkan oleh daerah.
Dari beberapa usulan daerah, yang paling sering diusulkan adalah penyaluran
DAK dilakukan secara per bidang. Menurut mereka, penyaluran per bidang bisa
dilakukan untuk mengatasi permasalahan keterlambatan penyaluran karena
keterlambatan juknis DAK, seperti DAK Pendidikan. Jika penyaluran dilakukan
per bidang, maka apabila terjadi permasalahan di bidang tertentu maka tidak
akan mempengaruhi kinerja bidang yang lain. Namun demikian, terdapat
pendapat yang berbeda dari Kota Tangerang yaitu penyaluran secara gelondongan
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengatur penggunaan DAK
untuk bidang-bidang yang lebih siap melaksanakan kegiatannya.
Terkait dengan mekanisme pembiayaan pendahuluan, peserta FGD di daerah
sepakat memang mekanisme ini mampu mengatasi permasalahan adanya SILPA
DAK di daerah, namun demikian tidak semua daerah mampu menggunakan
mekanisme tersebut, mengingat adanya keterbatasan dana dalam APBD.
Pada FGD di tingkat pusat, diskusi dan pembahasan lebih difokuskan pada
pola penyaluran yang dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Terdapat
40 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
dua pola yang dibahas, yaitu penyaluran secara triwulanan dan secara tahapan.
Untuk dapat mendorong peningkatan kinerja pelaksanaan kegiatan DAK di
daerah, kedua pola penyaluran tersebut perlu didukung dengan penambahan
penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan DAK secara triwulanan sebagai
persyaratan pencairan DAK. Pembahasan pada subbagian ini difokuskan pada
pola penyaluran, sedangkan penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan DAK
secara triwulanan dibahas pada subbagian berikutnya.
Saat ini pola yang diterapkan adalah penyaluran secara tahapan yang
telah berlaku sejak perubahan dalam pengelolaan anggaran transfer ke daerah
yang dari semula disalurkan melalui KPPN kemudian dilakukan langsung
oleh DJPK ke rekening kas daerah. Pengaturan tentang penyaluran DAK yang
dijabarkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer Ke Daerah telah mengalami perubahan
sebanyak lima kali. Diawali dengan penerbitan PMK No. 04/PMK.07/2008
sampai dengan terakhir PMK No. 183/PMK.07/2013. Dalam PMK tersebut,
penyaluran dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana terlihat pada tabel
di bawah. Sejak diberlakukannya PMK No. 04/PMK.07/2008, pengaturan
penyaluran DAK dilakukan secara 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Tahap I sebesar 30%, diberikan setelah kepala daerah penerima DAK
melampirkan peraturan daerah mengenai ABPD tahun anggaran berjalan,
laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan
realisasi penyerapan DAK Tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan Surat
Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping (SP2D). DAK Tahap I dapat
dicairkan paling cepat bulan Februari;
b. Tahap II sebesar 45%, diberikan setelah kepala daerah penerima DAK
melampirkan laporan realisasi penyerapan DAK Tahap I;
c. Tahap III sebesar 25%, diberikan setelah kepala daerah penerima DAK
melampirkan laporan realisasi penyerapan DAK Tahap II;
Adapun pelaksanaan penyaluran secara bertahap tersebut tidak dapat
dilakukan sekaligus, melainkan menunggu laporan penyerapan DAK untuk
41Pembahasan
masing-masing tahap tersebut disampaikan, setelah penggunaan DAK telah
mencapai 90%. Jika pemerintah daerah telah menyerap DAK yang diterimanya
dari pencairan suatu tahap sebesar 90%, maka pencairan DAK tahap berikutnya
dapat diajukan kepada Kementerian Keuangan.
Selanjutnya, terkait dengan persyaratan penyalurannya, perubahan hanya
terjadi pada PMK No. 06/PMK.07/2012 yaitu penambahan dokumen yang
wajib disampaikan untuk penyaluran DAK Tahap I. Penambahan tersebut berupa
Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap III tahun sebelumnya dan Rekapitulasi
SP2D untuk DAK Tahap III tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
Kementerian Keuangan ingin lebih memastikan bahwa DAK benar-benar
digunakan secara benar. Namun demikian, nampaknya hal tersebut belum
cukup untuk dapat mengukur tingkat keberhasilan/kinerja DAK di daerah karena
penambahan persyaratan tersebut juga masih terkait dengan kinerja penyerapan
keuangan saja. Walapun ditambahkan dengan SP2D untuk DAK, namun hal
tersebut hanya memberikan kepastian bahwa uang dari DAK tersebut benar-
benar telah ditarik oleh SKPD di daerah namun belum memperlihatkan hasil
dari DAK yang diserap tersebut. Tabel 4.1 menyajikan perkembangan peraturan
penyaluran DAK.
Dalam FGD tingkat pusat, didiskusikan kinerja penyaluran dan penyerapan
DAK di daerah. Kinerja penyaluran DAK Tahun 2010 - 2013, berdasarkan
data Kementerian Keuangan, dapat dikatakan hampir sempurna. DAK Tahap I
berhasil disalurkan 100% pada tahun 2011-2013 kecuali pada tahun 2010
yang mencapai 99,94%. Penyaluran DAK Tahap II pada periode yang sama
juga terealisasi diatas 99%, kecuali pada tahun 2013 yang terdapat penurunan
sedikit, yaitu menjadi 98,46%. Penurunan ini sejalan dengan hasil FGD di
daerah yang terdapat beberapa responden hanya mencairkan DAK Tahap I
karena kesulitan untuk melaksanakan DAK Bidang Pendidikan. Adapun untuk
DAK Tahap III, realisasi penyaluran tertinggi terjadi pada tahun 2012, yaitu
sebesar 97,85%, sedangkan 2013 merupakan terendah dan hanya mencapai
90,80%. Grafik di bawah ini menunjukkan kinerja penyaluran DAK selama
42 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
periode 2010 – 2013 dan juga jumlah daerah yang melakukan pencairan DAK
untuk masing-masing tahap.
Grafik 4.4 Kinerja Penyaluran DAK Tahun 2010 - 2013
50
Grafik 4.2 Kinerja Penyaluran DAK Tahun 2010 - 2013
2010 2011 2012 2013
I 99.94% 100.00% 100.00% 100.00%
II 99.50% 99.90% 99.71% 98.46%
III 95.08% 93.37% 97.85% 90.80%
TAHUNTAHAP
517
520
520
518
513
519
516
514
486
479
503
476
2010 2011 2012 2013
DaearhPenerima
TAHAP I II III
Sumber: Kementerian Keuangan.
Sumber: Kementerian Keuangan.
Tabel 4.1 Perkembangan Peraturan Penyaluran DAK
No. KeteranganSebelum
2008PMK 04/2008 PMK 21/2009 PMK 126/2010 PMK 06/2012 PMK 183/2013
1. Tahapan dan persentase
Mekanisme belanja melalui KPPN
I: 30% II: 30%III: 30%IV: 10%
I: 30%II: 45%III: 25%
I: 30%II: 45%III: 25%
I: 30%II: 45%III: 25%
I: 30%II: 45%III: 25%
2. Persyaratan
Tahap I setelah peraturan daerah mengenai APBD diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, paling cepat dilaksanakan pada bulan Februari
a) Perda tentang APDB tahun berjalan,
b) Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya
c) surat pernyataan penyediaan dana pendamping
a) Perda tentang APDB tahun berjalan,
b) Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya
c) surat pernyataan penyediaan dana pendamping
a) Perda tentang APDB tahun berjalan,
b) Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya
c) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap III tahun sebelumnya
d)Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap III tahun sebelumnya
a) Perda tentang APDB tahun berjalan,
b) Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya
c) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap III tahun sebelumnya
d) Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap III tahun sebelumnya
43Pembahasan
No. KeteranganSebelum
2008PMK 04/2008 PMK 21/2009 PMK 126/2010 PMK 06/2012 PMK 183/2013
e) Surat Pernyataan Dana Pendamping DAK tahun berjalan.
e) Surat Pernyataan Dana Pendamping DAK tahun berjalan.
Tahap II a) laporan penyerapan penggunaan DAK tahap I
b) Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Laporan Penyerapan DAK Tahap I tahun berjalan
Laporan Penyerapan DAK Tahap I tahun berjalan
a) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap I tahun berjalan,
b) Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap I tahun berjalan.
a) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap I tahun berjalan,
b) Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap I tahun berjalan.
Tahap III a) laporan penyerapan penggunaan DAK tahap II
b) Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Laporan Penyerapan DAK Tahap II tahun berjalan
Laporan Penyerapan DAK Tahap II tahun berjalan
a) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap II tahun berjalan
b) Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap II tahun berjalan.
a) Laporan Realiasi Penyerapan DAK Tahap II tahun berjalan
b) Rekapitulasi SP2D untuk DAK Tahap II tahun berjalan.
Tahap IV a) laporan penyerapan penggunaan DAK tahap III
b) Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Jika ditelisik kinerja penyaluran per tahap per bulan dengan data yang
dianalisis adalah data penyaluran DAK Tahun 2013 per tanggal SP2D, diperoleh
beberapa fakta yang coba dijelaskan berikut ini. Grafik 4.5 memperlihatkan
penyaluran DAK Tahun 2013 per tahap dan per bulan. Penyaluran DAK Tahap
I sebagian besar dilakukan antara bulan Februari sampai dengan Juni, namun
terdapat 11 daerah yang menerima penyaluran DAK Tahap II antara bulan Juli
sampai dengan Oktober. Terdapat satu daerah yang DAK Tahap I tersalur pada
44 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
bulan September dengan nilai sebesar Rp265 juta dan satu daerah pada bulan
Oktober dengan nilai sebesar Rp1,38 miliar.
Grafik 4.5 Penyaluran DAK Per Bulan Tahun 2013
53
Jika ditelisik kinerja penyaluran per tahap per bulan dengan data yang dianalisis adalah
data penyaluran DAK Tahun 2013 per tanggal SP2D, diperoleh beberapa fakta yang
coba dijelaskan berikut ini. Grafik 4.5 memperlihatkan penyaluran DAK Tahun 2013
per tahap dan per bulan. Penyaluran DAK Tahap I sebagian besar dilakukan antara
bulan Februari sampai dengan Juni, namun terdapat 11 daerah yang menerima
penyaluran DAK Tahap II antara bulan Juli sampai dengan Oktober. Terdapat satu
daerah yang DAK Tahap I tersalur pada bulan September dengan nilai sebesar Rp265
juta dan satu daerah pada bulan Oktober dengan nilai sebesar Rp1,38 miliar.
Grafik 4.3 Penyaluran DAK Per Bulan Tahun 2013
195
128104
59
218 1 1 1 0 0
0
50
100
150
200
250
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Daerah Rupiah Tersalur
Tahap I
3,220
2,381
1,893
890
337161 26 0 1 - -
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
MiliarRupiah
Tahap II
0 0 0 1 319 27
99117
180
67
0
50
100
150
200
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 0 0 26 85432 653
2,726
3,118
4,597
1,520
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
MiliarRupiah
24 76
389235
1,119
2,796
2,103
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
M1 M2 M3 M4
9 10 11 12
MiliarRupiah
2 624 15
72
200
156
0
50
100
150
200
250
M1 M2 M3 M4
9 10 11 12
Tahap III
Sumber: Kementerian Keuangan, 2013. Data diolah.
Ketika daerah baru mencairkan DAK Tahap I pada paruh kedua dalam suatu tahun
anggaran, terdapat indikasi kuat bahwa kinerja DAK di daerah tersebut akan tidak
mencapai target yang diharapkan sehingga mempengaruhi capaian prioritas nasional.
Sumber: Kementerian Keuangan, 2013. Data diolah.
Ketika daerah baru mencairkan DAK Tahap I pada paruh kedua dalam
suatu tahun anggaran, terdapat indikasi kuat bahwa kinerja DAK di daerah
tersebut akan tidak mencapai target yang diharapkan sehingga mempengaruhi
capaian prioritas nasional. Indikasi tersebut berasal dari proses pengadaan
yang setidaknya membutuhkan waktu dua bulan, lalu diikuti dengan proses
pekerjaan, dan diakhiri dengan proses pertanggung jawaban. Hal ini terbukti
dari dua daerah yang melakukan pencairan Tahap I pada bulan September dan
Oktober tidak melakukan pencairan tahap berikutnya. Untuk itu, perlu kiranya
penetapan batas waktu DAK Tahap I dapat dicairkan dalam upaya mempercepat
45Pembahasan
pelaksanaan kegiatan DAK di daerah dan meningkatkan kemungkinan bahwa
kegiatan DAK tersebut selesai sebelum tahun anggaran berakhir.
Tabel 4.2. Realisasi Penyaluran DAK Tahap I Per 30 Juni dan 31 Juli
TAHUNPAGU (30%)
REALISASI % DAERAH SALUR BELUM %
Per 30 Juni
2014 9.900,00 8.799,06 88,88% 528 454 74 14,02%
2013 9.509,14 9.282,17 97,61% 518 507 11 2,12%
2012 7.834,78 7.382,37 94,23% 520 483 37 7,12%
2011 7.568,34 7.111,70 93,97% 520 483 37 7,12%
2010 6.340,01 6.240,12 98,42% 517 507 10 1,93%
Per 31 Juli
2014 9.900,00 9.542,89 96,39% 528 487 41 7,77%
2013 9.509,14 9.459,64 99,48% 518 515 3 0,58%
2012 7.834,78 7.794,88 99,49% 520 516 4 0,77%
2011 7.568,34 7.363,35 97,29% 520 503 17 3,27%
2010 6.340,01 6.287,36 99,17% 517 512 5 0,97%
Sejalan dengan Grafik 4.5, data dalam tabel di atas menunjukkan realisasi
penyaluran DAK Tahap I per 30 Juni dan per 31 Juli untuk lima tahun terakhir.
Terlihat bahwa untuk data penyaluran per 30 Juni penyaluran tertinggi terjadi
pada tahun 2010 dan 2013, sedangkan untuk penyaluran per 31 Juli,
pernyaluran tertinggi terjadi pada tahun 2010, 2012, dan 2013. Untuk Tahun
2014, realisasi penyaluran relatif menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan pemilihan umum
legislatif dan presiden yang menyebabkan pelaksanaan kegiatan APBD tertunda.
46 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Berdasarkan dari pola penyaluran DAK Tahap I Tahun 2013, pembatasan
waktu dapat ditetapkan paling cepat dilakukan pada bulan Februari dan paling
lambat pada akhir bulan Juni atau Juli. Penetapan bulan Februari sebagai waktu
untuk penyaluran DAK Tahap I paling cepat didasarkan pada ketersediaan kas
di Rekening Umum Kas Negara (RKUN) yang biasanya masih terbatas pada
awal tahun. Adapun pembatasan waktu maksimal penyaluran DAK Tahap I
dimaksudkan untuk mendorong kegiatan DAK dilaksanakan sejak awal tahun
dan dapat selesai sebelum tahun anggaran berakhir. Jika melihat data dalam
tabel di atas khususnya data 2010-2013, maka pembatasan bulan Juli relatif
aman untuk diterapkan karena hanya tiga sampai lima daerah saja yang
belum mencairkan DAK Tahap I. Namun demikian, jika pemerintah pusat
ingin kegiatan DAK segera dilaksanakan, penetapan batas waktu yang lebih
awal dapat ditetapkan. Dengan batas waktu 30 Juni, potensi daerah yang
tidak dapat mencairkan DAK sama sekali akan lebih sedikit jika dibandingkan
dengan batas waktu 31 Mei.
Selain untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan DAK di daerah, pembatasan
waktu tersebut juga ditujukan agar kementerian teknis lebih cepat dan siap
dalam menyusun petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan DAK yang dibutuhkan
sehingga meminimumkan potensi keterlambatan penetapan atau revisi juknis
dimaksud. Penetapan juknis yang tepat waktu juga akan membantu daerah
dalam melaksanakan kegiatan DAK lebih awal mengingat isu keterlambatan
juknis sering kali dilontarkan pemerintah daerah dalam berbagai kesempatan.
Namun demikian, dengan pembatasan waktu ini, terdapat potensi daerah
yang tidak dapat mencairkan DAK dan melaksanakan kegiatan DAK. Jika hal ini
terjadi, pemerintah daerah yang bersangkutan akan mengajukan keberatan/protes
baik secara langsung kepada Kementerian Keuangan maupun dengan cara lain
seperti melalui anggota dewan yang berasal dari daerah tersebut. Kekurangan
lainnya dari pembatasan waktu penyaluran tersebut adalah tidak tercapainya
prioritas nasional pada daerah-daerah yang tidak dapat dilakukan penyaluran
47Pembahasan
DAK Tahap I. Untuk itu, perlu diupayakan dan dipastikan seluruh pemerintah
daerah memperoleh informasi mengenai pembatasan waktu ini sejak awal.
Untuk Tahap II, penyaluran tercepat dilakukan pada bulan Mei dan terakhir
pada tanggal 24 Desember (hari terakhir penyaluran DAK ke daerah). Terdapat
satu daerah yang paling cepat mendapatkan penyaluran DAK Tahap II yaitu pada
bulan Mei dengan nilai yang cukup besar yaitu sekitar Rp26 miliar. Penyaluran
DAK Tahap II terbesar terjadi antara bulan September dan November, yaitu
79,4% dari jumlah DAK II yang tersalur. Namun demikian, terdapat 67 daerah
dengan nilai DAK sebesar 11,6% dari total nilai penyaluran DAK Tahap II, yang
baru mencairkan Tahap II pada bulan Desember dan empat daerah diantaranya
mencairkan Tahap II setelah tanggal 20 Desember. Pencairan DAK Tahap II
pada akhir tahun ini dapat mengindikasikan kinerja DAK di daerah yang tidak
tercapai 100% dan potensi SiLPA yang semakin besar.
Sebagai tahap terakhir, permintaan penyaluran Tahap III dilakukan setelah
dana Tahap II tersisa 90% di kas daerah. Untuk tahun 2013, 92,7% penyaluran
DAK Tahap III dilakukan pada bulan Desember. Jika dilihat lebih mendalam lagi,
penyaluran Tahap III terkonsentrasi pada minggu ketiga dan minggu keempat
bulan Desember. Pada dua minggu terakhir dari tahun 2013 tersebut, tersalur
Rp4,9 triliun DAK Tahap III (72,7%) kepada 356 daerah penerima. Khusus
untuk minggu keempat (23 dan 24 Desember), nilai terkecil yang tersalurkan
adalah Rp385,4 juta dan nilai terbesar adalah Rp54,17 miliar.
Seperti halnya penyaluran DAK Tahap II pada akhir tahun, penyaluran DAK
Tahap III pada akhir tahun dengan jumlah yang cukup besar berpotensi tidak
terserap sepenuhnya sehingga menjadi SiLPA pada akhir tahun. Potensi tersebut
semakin besar terjadi bila terdapat daerah yang mencairkan DAK Tahap II dan
Tahap III dalam waktu yang relatif dekat jika dilihat dari perspektif prosedur
pengeluaran/pembayaran melalui kas daerah. Berdasarkan data yang dimiliki,
terdapat 24 daerah yang mencairkan DAK Tahap II dan Tahap III pada bulan
Desember. Dari ke-24 tersebut, jeda/interval hari terlama antara tanggal SP2D
DAK Tahap II dan Tahap III adalah empat belas hari dan yang terpendek adalah
48 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
empat hari. Khusus untuk jeda waktu yang pendek tersebut, akuntabilitas
pengelolaan DAK perlu mendapatkan perhatihan.
Terkait dengan besarnya pencairan DAK pada akhir tahun, pembatasan
waktu terakhir pencairan DAK Tahap III perlu ditetapkan. Selama ini, batas
waktu permintaan pencairan ditentukan pada akhir tahun menyesuaikan batas
waktu penerbitan SP2D oleh KPPN. Kedepan, untuk memberikan kepastian bagi
pemerintah daerah dan juga memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah
daerah memproses pembayaran kepada rekanan pelaksana kegiatan DAK, batas
waktu yang diusulkan adalah selambat-lambatnya 15 Desember. Namun, jika
ingin memastikan dana Tahap III dapat terserap dan potensi SiLPA berkurang,
batas waktu yang lebih awal, seperti 1 Desember, dapat ditetapkan.
Kelebihan dari penetapan batas waktu ini selain dari yang telah disebutkan
sebelumnya, adalah berkurangnya beban kerja pegawai yang bertanggung jawab
dalam memproses permintaan pencairan DAK, baik di Ditjen Perimbangan
Keuangan maupun di Ditjen Perbendaharaan, yang semula menumpuk pada
akhir tahun bergeser pada awal atau pertengahan Desember. Namun, dengan
ada adanya pembatasan waktu tersebut, pemerintah daerah harus melakukan
upaya yang lebih keras dalam menyerap dana Tahap II agar batasan waktu
tersebut tidak terlewati. Jika batas waktu terlewati, maka pemerintah daerah
harus menggunakan sumber pendanaan lain untuk melunasi sisa pembayaran
kepada rekanan yang seharusnya menggunakan DAK Tahap III. Pendanaan lain
tersebut dapat dijadikan sebagai dana pendamping dan dilaporkan pada laporan
akhir pelaksanaan DAK tahun yang bersangkutan.
Grafik 4.6 Pembatasan Waktu Penyaluran secara Tahapan
58
Tahap III. Pendanaan lain tersebut dapat dijadikan sebagai dana pendamping dan
dilaporkan pada laporan akhir pelaksanaan DAK tahun yang bersangkutan.
Grafik 4.4 Pembatasan Waktu Penyaluran secara Tahapan
Batas Tahap IIIMasa Salur Tahap I
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
Disamping itu, berdasarkan tingginya jumlah penyaluran DAK yang terealisasi pada
akhir tahun potensi terjadinya SiLPA di kas daerah adalah sangat tinggi. Berdasarkan
laporan penggunaan DAK yang diterima Kementerian Keuangan, selama empat tahun
terakhir, selalu terdapat SiLPA DAK pada akhir tahun sebagaimana terlihat pada tabel
di bawah ini. SiLPA tersebut sebagian besar disumbangkan dari bidang pendidikan
yang tidak terserap terutama karena adanya permasalahan juknis. Potensi SiLPA
sebenarnya dapat ditekan lagi jika penyaluran DAK Tahap III berdasarkan perkiraan
kebutuhan pengeluaran untuk membayar kegiatan DAK sampai akhir tahun sesuai
dengan daftar yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian,
persentase penyaluran DAK Tahap III merupakan batas tertinggi untuk dana yang
dapat disalurkan pada tahap tersebut. Saat pemerintah daerah mengajukan pencairan
DAK Tahap III, permintaan tersebut harus dilampirkan surat pernyataan kepala daerah
yang berisi daftar kegiatan, biaya, dan sisa biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah daerah sampai akhir tahun. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan yang
dilaksanakan melalui kontrak dan swakelola.
Tabel 4.3 Data Penyaluran dan Penyerapan DAK TA 2010-20131
Tahun AlokasiPenyaluran Penyerapan Sisa di
RKUD(Rp Miliar)
Rp Miliar % Rp Miliar %
2010 21,133.4 20,952.6 99.14% 15054.3 71.85% 5,898.2
2011 25,232.8 24,803.5 98.30% 17285.1 69.69% 7,518.4
2012 26,115.9 25,941.5 99.33% 22416.8 86.41% 3,524.7
2013 29,697.1 28,807.8 97.01% 22307.2 77.43% 6,500.6Sumber: Kementerian Keuangan, 2013. Data diolah.
1Data diperoleh dari laporan daerah penerima DAK (sebagai syarat untuk penyaluran tahap I tahun
berikutnya). Untuk penyerapan 2014 berdasarkan laporan yang telah diterima sampai dengan 30
Juni 2014.
Disamping itu, berdasarkan tingginya jumlah penyaluran DAK yang terealisasi
pada akhir tahun potensi terjadinya SiLPA di kas daerah adalah sangat tinggi.
Berdasarkan laporan penggunaan DAK yang diterima Kementerian Keuangan,
49Pembahasan
selama empat tahun terakhir, selalu terdapat SiLPA DAK pada akhir tahun
sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. SiLPA tersebut sebagian besar
disumbangkan dari bidang pendidikan yang tidak terserap terutama karena
adanya permasalahan juknis. Potensi SiLPA sebenarnya dapat ditekan lagi
jika penyaluran DAK Tahap III berdasarkan perkiraan kebutuhan pengeluaran
untuk membayar kegiatan DAK sampai akhir tahun sesuai dengan daftar yang
disampaikan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, persentase penyaluran
DAK Tahap III merupakan batas tertinggi untuk dana yang dapat disalurkan
pada tahap tersebut. Saat pemerintah daerah mengajukan pencairan DAK Tahap
III, permintaan tersebut harus dilampirkan surat pernyataan kepala daerah
yang berisi daftar kegiatan, biaya, dan sisa biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah daerah sampai akhir tahun. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan
yang dilaksanakan melalui kontrak dan swakelola.
Tabel 4.3 Data Penyaluran dan Penyerapan DAK TA 2010-20131
TahunAlokasi Penyaluran Penyerapan Sisa di RKUD
Rp Miliar % Rp Miliar % (Rp Miliar)
2010 21,133.4 20,952.6 99.14% 15054.3 71.85% 5,898.2
2011 25,232.8 24,803.5 98.30% 17285.1 69.69% 7,518.4
2012 26,115.9 25,941.5 99.33% 22416.8 86.41% 3,524.7
2013 29,697.1 28,807.8 97.01% 22307.2 77.43% 6,500.6
Sumber: Kementerian Keuangan, 2013. Data diolah.
1 Data diperoleh dari laporan daerah penerima DAK (sebagai syarat untuk
penyaluran tahap I tahun berikutnya). Untuk penyerapan 2014 berdasarkan laporan
yang telah diterima sampai dengan 30 Juni 2014.
50 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Terkait dengan besaran persentase penyaluran DAK setiap tahapan, idealnya
besaran persentase Tahap I lebih besar dan Tahap III lebih kecil dari persentase
yang saat ini diterapkan. Persentase Tahap I lebih besar dimaksudkan untuk
membekali pemerintah daerah dengan kas yang cukup untuk melaksanakan
kegiatan DAK pada awal tahun. Namun demikian, persentase Tahap I yang
lebih besar dapat meningkatkan potensi terjadinya SiLPA di daerah jika suatu
kasus yang pernah terjadi pada tahun 2013 sebagaimana diilustrasikan berikut
ini. Suatu daerah mendapatkan alokasi DAK sebesar Rp27,7 miliar untuk dua
bidang, yaitu Rp26,8 miliar untuk bidang pendidikan dan Rp900 juta untuk
bidang keselamatan transportasi darat. Jika persentase Tahap I dinaikkan menjadi
45%, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAK Tahap I sekitar Rp12,5
miliar. Karena permasalahan juknis bidang pendidikan yang terlalu detail, daerah
tersebut tidak melaksanakan kegiatan DAK bidang pendidikan dan hanya dapat
melaksanakan DAK bidang keselamatan transportasi darat. Dengan demikian,
terdapat dana sekitar Rp11,6 miliar menjadi idle di kas daerah dan tidak dapat
digunakan oleh pemerintah daerah sampai tahun berikutnya melalui mekanisme
optimalisasi sisa DAK.
Pembatasan waktu penyaluran DAK Tahap I sebagaimana diusulkan
sebelumnya yang bertujuan untuk meningkatkan awarness dari kementerian
teknis dapat menjadi salah satu solusi menjawab persoalan sebagaimana
ilustrasi tersebut. Disamping itu, perlu dibuka mekanisme yang memungkinkan
daerah menyampaikan pernyataan bahwa kegiatan suatu bidang tidak dapat
dilaksanakan pada daerah tersebut. Hal ini untuk mengakomodasi permintaan
banyak daerah yang tidak dapat melaksanakan kegiatan DAK, antara lain, karena
jenis output/kegiatan yang ditentukan dalam juknis DAK sudah terpenuhi/sulit
dilaksanakan. Terhadap alokasi DAK bidang dimaksud yang seharusnya diterima
daerah tersebut, diusulkan agar tidak disalurkan dan apabila terlanjur disalurkan,
diperhitungkan dengan penyaluran tahap berikutnya atau diperhitungkan dengan
jenis transfer lain.
51Pembahasan
Disamping itu, penyaluran Tahap I yang lebih besar membawa konsekuensi
penyediaan kas yang cukup di Rekening Kas Umum Negara. Hal ini agak sulit
dilakukan mengingat keterbatasan dana yang tersedia dan penerimaan negara
dari pajak masih sangat terbatas pada awal tahun. Untuk itu, perlu koordinasi
antara Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Perbendaharaan membahas
mengenai tingkat kemampuan kas negara untuk periode Februari - Juni untuk
mentransfer DAK yang lebih besar.
Adapun penyaluran DAK Tahap III dengan persentase yang lebih kecil,
seperti 15% atau 20%, dapat dan perlu dilakukan. Saat ini, proporsi Tahap III
adalah 25% dari alokasi DAK per daerah. Persentase Tahap III yang lebih kecil
ini ditujukan untuk memperkecil terjadinya SiLPA pada akhir tahun. Dengan
semakin kecilnya persentase Tahap III (persentase Tahap I dan Tahap II semakin
besar), semakin banyak kegiatan DAK yang dapat dilaksanakan oleh daerah
sejak awal tahun. Namun demikian, persentase 25% dapat dipertahankan jika
terdapat batasan waktu penyaluran DAK Tahap III yang lebih awal dari kondisi
saat ini dan penyalurannya didasarkan atas proyeksi kebutuhan pengeluaran riil
terkait DAK sampai akhir tahun dari daerah. Pembatasan waktu yang dimaksud
disini adalah antara 30 sampai dengan 15 hari sebelum tahun anggaran
berakhir untuk memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah daerah dalam
memproses pembayaran kepada rekanannya. Adapun dengan penyaluran
berdasarkan proyeksi kebutuhan pengeluaran riil daerah, persentase Tahap
III yang ditetapkan nanti bersifat batas maksimum penyaluran Tahap III yang
diperbolehkan. Diharapkan dengan adanya dua pembatasan tersebut, potensi
SiLPA DAK pada akhir tahun dapat semakin diperkecil.
Selain dengan pola penyaluran secara tahapan, dalam FGD tingkat pusat juga
sempat dibahas mengenai pola penyaluran secara triwulanan. Pola penyaluran
per triwulan ini mengikuti pola pelaporan pelaksanaan kegiatan DAK di daerah
sesuai dengan amanat PP No. 55 Tahun 2005, sebagaimana terlihat pada
grafik di bawah ini.
52 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Grafik 4.7 Pola Penyaluran secara Triwulan
61
Grafik 4.5 Pola Penyaluran secara Triwulan
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
Salur TW1 Salur TW3 Salur TW4Salur TW2
Laporan tw4t-114 Januari
Laporan tw1t14 April
Laporan tw2t14 Juli
Laporan tw3t14 Okt
Laporan Pelaksanaan DAK
Pasal 63 PP No. 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa laporan triwulan disampaikan oleh
daerah paling lambat empat belas hari setelah triwulan yang berkenaan berakhir.
Apabila daerah terlambat menyampaikan laporan tersebut, penyaluran DAK dapat
ditunda. Penyaluran DAK per triwulan sebaiknya dilakukan setelah batas waktu
tersebut. Kelebihan dari pola penyaluran secara triwulan ini adalah dapat
mengakomodasi pelaksanaan Pasal 63 tersebut. Namun demikian, pelaksanaan
penyaluran secara triwulanan yang mengikuti pola pelaporan DAK menjadi kurang
relevan ketika RUU HKPD disahkan. Dalam RUU tersebut, pelaporan DAK
dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pada awal semester dua untuk laporan
pelaksanaan kegiatan selama semester 1 dan pada awal tahun berikutnya untuk
laporan akhir pelaksanaan kegiatan DAK.
Penyaluran secara triwulan ini sangat berbeda dengan pola penyaluran yang saat ini
dilakukan sejak enam tahun yang lalu sehingga dibutuhkan waktu untuk persiapan
agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar. Persiapan di tingkat pusat
diantaranya adalah disusunnya sistem dan prosedur yang baru terkait penyaluran
DAK per triwulan, rekomendasi penundaan penyaluran DAK dan rekomendasi
pencabutan sanksi oleh kementerian/lembaga teknis terkait, serta penundaan
penyaluran dan penyaluran pasca pencabutan sanksi oleh Kementerian Keuangan.
Instansi di tingkat pusat tidak hanya Kementerian Keuangan, melainkan juga
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas, dan seluruh K/L yang
terkait dengan 19 bidang DAK. Sosialisasi kepada seluruh SKPD terkait DAK di seluruh
daerah perlu dilakukan sehingga pelaksanaan penyaluran per triwulan dan terutama
Pasal 63 PP No. 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa laporan triwulan
disampaikan oleh daerah paling lambat empat belas hari setelah triwulan yang
berkenaan berakhir. Apabila daerah terlambat menyampaikan laporan tersebut,
penyaluran DAK dapat ditunda. Penyaluran DAK per triwulan sebaiknya dilakukan
setelah batas waktu tersebut. Kelebihan dari pola penyaluran secara triwulan ini
adalah dapat mengakomodasi pelaksanaan Pasal 63 tersebut. Namun demikian,
pelaksanaan penyaluran secara triwulanan yang mengikuti pola pelaporan DAK
menjadi kurang relevan ketika RUU HKPD disahkan. Dalam RUU tersebut,
pelaporan DAK dilaksanakan setiap enam bulan sekali, yaitu pada awal semester
dua untuk laporan pelaksanaan kegiatan selama semester 1 dan pada awal
tahun berikutnya untuk laporan akhir pelaksanaan kegiatan DAK.
Penyaluran secara triwulan ini sangat berbeda dengan pola penyaluran
yang saat ini dilakukan sejak enam tahun yang lalu sehingga dibutuhkan waktu
untuk persiapan agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar. Persiapan
di tingkat pusat diantaranya adalah disusunnya sistem dan prosedur yang baru
terkait penyaluran DAK per triwulan, rekomendasi penundaan penyaluran DAK
dan rekomendasi pencabutan sanksi oleh kementerian/lembaga teknis terkait,
serta penundaan penyaluran dan penyaluran pasca pencabutan sanksi oleh
Kementerian Keuangan. Instansi di tingkat pusat tidak hanya Kementerian
Keuangan, melainkan juga Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/
Bappenas, dan seluruh K/L yang terkait dengan 19 bidang DAK. Sosialisasi
kepada seluruh SKPD terkait DAK di seluruh daerah perlu dilakukan sehingga
pelaksanaan penyaluran per triwulan dan terutama pengenaan sanksi sudah
diketahui oleh seluruh pemerintah daerah. Disamping itu, pemerintah daerah
53Pembahasan
juga perlu diberikan waktu untuk memperbaiki sistem koordinasi pelaporan
DAK dijajarannya. Tanpa sistem koordinasi yang baik, dapat dipastikan banyak
daerah yang akan terkena sanksi penundaan penyaluran DAK.
Disamping alternatif penyaluran DAK secara triwulanan, dapat
dipertimbangkan pola penyaluran yang mengikuti mekanisme performance-
based transfer. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab II tentang konsep Result-
Based Management (RBM), konsep tersebut sangat menekankan pentingnya
akuntabilitas, membutuhkan monitoring dan penilaian yang berkelanjutan
terhadap kemajuan atas pencapaian tujuan, termasuk di dalamnya pelaporan atas
kinerja. Konsep ini memerlukan ukuran kinerja yang pasti dan memperhitungkan
kinerja aktual dengan tepat. Untuk itu, jika penyaluran DAK menggunakan
mekanisme output-based transfer, maka pemerintah pusat akan dapat
mengarahkan dan mendapatkan secara pasti peruntukan DAK dalam mencapai
target-target tertentu yang menjadi prioritas nasional.
Output-based DAK ini sebenarnya sudah diujicobakan melalui Proyek
Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) sejak tahun 2011. Tujuan P2D2
(UIP P2D2, 2010) ini adalah untuk (i) peningkatan akuntabilitas dan pelaporan
DAK pada sektor infrastruktur, (ii) peningkatan pelaporan keuangan dan pelaporan
teknis serta verifikasi output DAK, dan (iii) peningkatan persentase output fisik
dari DAK sektor infrastruktur. Dalam P2D2 ini, pemerintah memberikan dana
insentif atas pelaksanaan kegiatan DAK yang dinilai memenuhi kriteria kelayakan.
Output-based DAK ini diujicobakan pada pemerintah provinsi/kabupaten/kota di
Provinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Barat, dan Maluku
utara, dengan fokus di bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan air minum.
Dalam pelaksanaannya, P2D2 melibatkan Kementerian Keuangan sebagai
kementerian yang mengalokasikan dan menyalurkan DAK, Kementerian Pekerjaan
Umum sebagai kementerian yang membina dan mengeluarkan juknis DAK
infrastruktur, BPKP sebagai verifikator pelaksanaan kegiatan DAK di daerah,
pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan DAK, dan beberapa kementerian/
lembaga lainnya yang terkait.
54 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Dalam proyek ini, pemerintah daerah melaksanakan kegiatan DAK sesuai
petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan
kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada Kementerian Keuangan,
Kementerian PU, dan BPKP. Kemudian, BPKP memverifikasi secara sampling
pelaksanaan kegiatan DAK tersebut dengan menggunakan beberapa kriteria,
yaitu realisasi output fisik DAK yang ditandai dengan berita acara serah terima
pekerjaan, ketaatan proses pengadaan barang/jasa pada peraturan pengadaan
barang/jasa pemerintah, dan ketaatan pada petunjuk teknis tentang pengamanan
sosial dan lingkungan dalam melaksanakan kegiatan DAK. Jika output DAK
yang diverifikasi oleh BPKP dinyatakan memenuhi kriteria (layak), pemerintah
pusat memberikan dana insentif kepada pemerintah daerah sebesar 10% dari
total biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output yang layak tersebut.
Disamping memastikan realisasi fisik output kegiatan DAK melalui kegiatan
verifikasi, P2D2 memperkenalkan juga sistem pelaporan yang menggunakan
satu aplikasi secara online, yaitu Web-Based Reporting System (WBRS). WBRS
menggabungkan laporan teknis kegiatan dan laporan keuangan yang selama ini
dilaporkan melalui mekanisme yang berbeda. Disamping itu, dengan WBRS,
pemerintah daerah diwajibkan mengunggah (upload) foto perkembangan
pelaksanaan kegiatan DAK, yaitu pada akan dimulai (0%), pertengahan
pelaksanaan (50%), dan telah selesai (100%). Foto-foto tersebut dilengkapi
dengan geo-tagging yang memungkinkan verifikasi atas lokasi pelaksanaan
kegiatan.
Selain diujicobakan pada P2D2, output-based transfer sebenarnya juga
telah digunakan untuk penyaluran dana hibah ke daerah. Dalam mekanisme
hibah ke daerah sebagaimana diatur dalam PMK 188/PMK.07/2012 tentang
Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, pemerintah daerah
membiayai terlebih dahulu (prefinancing) pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan.
Pergantian biaya tersebut (reimbursement) dilakukan secara bertahap sesuai
dengan capaian kinerja/output yang telah dihasilkan. Dengan begitu, diharapkan
55Pembahasan
kegiatan hibah dapat terlaksana sesuai dengan standar yang ditentukan sekaligus
meningkatkan rasa kepemilikan (sense of belonging) oleh Pemda.
Kedua mekanisme tadi (P2D2 dan hibah ke daerah) perlu menjadi contoh
pola penyaluran DAK ke depan. Penyaluran DAK dilakukan jika output yang
ditetapkan berhasil dihasilkan oleh pemerintah daerah. Besaran DAK yang
disalurkan adalah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah. Dengan demikian, mekanisme ini dapat memastikan bahwa daerah
melaksanakan kegiatan DAK dan menghasilkan output yang diinginkan, dan
sisa DAK pada akhir tahun di kas daerah dapat ditekan.
Namun, mekanisme baru dapat dilaksanakan dalam jangka menengah/
panjang karena memerlukan persiapan di segala aspek, terutama payung hukum.
Dalam revisi UU No. 33 Tahun 2004 belum diatur tentang pola penyaluran DAK
menggunakan mekanisme reimbursement/prefinancing. Penerapan mekanisme
ini juga memerlukan pertimbangan kapasitas fiskal daerah dan oleh karena itu
mekanisme ini diperuntukkan bagi pemerintah daerah yang memiliki SiLPA
tinggi dan mempunyai kapasitas fiskal tinggi. Hal ini dimaksudkan sebagai
bentuk “disinsentif” atas pengelolaan APBD yang kurang baik yang ditandai
dengan tingginya SiLPA. Adapun untuk pemerintah daerah dengan kapasitas
fiskal yang rendah, mekanisme DAK seperti saat ini masih perlu diterapkan
tetapi dengan kualitas sistem pelaporan yang ditingkatkan, seperti penerapan
WBRS secara penuh.
4.2 Analisis Kebijakan Dalam Pelaporan DAKDi dalam bagian ini, persepsi daerah atas kebijakan pelaporan DAK saat
ini akan digali apakah mempermudah daerah dalam merealisasikan DAK atau
sebaliknya. Sebagaimana diketahui sesuai dengan SEB DAK, SKPD penerima
DAK harus menyiapkan beberapa laporan sebagai alat bagi K/L dalam melakukan
monitoring, antara lain:
56 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
a. Laporan triwulanan, memuat perencanaan pemanfaatan DAK, kesesuaian
DPA-SKPD dengan Juknis, perkembangan pelaksanaan kegiatan, dan
permasalahan yang timbul sesuai dengan format yang telah disediakan;
b. Laporan penyerapan DAK, merupakan laporan yang disampaikan kepada
Menteri Keuangan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 04/
PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah;
c. Laporan akhir, yang merupakan laporan pelaksanaan akhir tahun yang
disusun sesuai dengan format yang telah disediakan.
Seluruh laporan tersebut mempunyai peranan yang strategis dalam
meningkatkan kinerja pemerintah daerah melaksanakan kegiatan DAK dan
juga dalam meningkatkan kualitas kebijakan terkait DAK yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat. Terkait dengan kinerja pemerintah daerah, dengan
menyampaikan laporan secara rutin, pemerintah daerah akan mempersepsikan
bahwa pelaksanaan DAK selalu dimonitor oleh pemerintah pusat sehingga mereka
akan berusaha agar pelaksanaan seluruh kegiatan DAK dilaksanakan tepat waktu
dan sesuai dengan juknis yang ditetapkan. Disamping itu, umpan balik yang
diberikan oleh pemerintah pusat atas laporan yang diterima, dapat berdampak
pada penyelesaian masalah yang dihadapi oleh daerah dalam melaksanakan
kegiatan DAK. Disamping itu, dari sisi pemerintah pusat, informasi yang diperoleh
dalam laporan pelaksanaan DAK merupakan informasi yang sangat penting
dalam rangka evaluasi kebijakan DAK yang berlaku dan evaluasi mencapaian
prioritas nasional yang ingin dicapai dari DAK.
Lebih lanjut, laporan triwulanan dan laporan penyerapan DAK merupakan
instrumen bagi pemerintah pusat dalam memonitor pelaksanaan kegiatan DAK
di daerah. Setiap K/L yang terkait dapat melihat kegiatan DAK yang akan/sedang
dilakukan untuk masing-masing bidang di setiap daerah dan perkembangannya
dan kendala yang dihadapi. Sebagai tindak lanjut dari laporan tersebut,
pemerintah pusat memberikan umpan balik mengenai solusi untuk menangani
57Pembahasan
permasalahan/kendala yang terjadi sehingga kegiatan DAK dapat dilaksanakan
lebih baik sampai akhir tahun.
Sementara itu, laporan akhir merupakan sumber informasi awal bagi
pemerintah pusat mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan DAK tahun
sebelumnya. Dari laporan tersebut, setidaknya dapat diperoleh informasi
mengenai untuk output yang telah dihasilkan selama satu tahun dan kendala
yang dihadapi dalam menghasilkan output tersebut. Dengan demikian, laporan
triwulanan dan laporan akhir mempunyai arti penting untuk perbaikan kebijakan
dan pelaksanaan DAK ke depan.
Terhadap pengaturan pelaporan tersebut, dalam kuesioner ini dicoba
untuk menggali perspektif daerah terhadap mekanisme maupun substansi
dari pelaporan dimaksud. Yang pertama digali adalah terkait penyampaian
laporan-laporan selain dari laporan penyerapan DAK oleh SKPD. Dari hasil
tabulasi kuesioner, 78% responden menjawab SKPD di daerah menyampaikan
laporan DAK kepada pemerintah pusat, sedangkan 14% menjawab tidak dan
8% responden tidak menjawab. Adapun ketika ditanyakan instansi pemerintah
daerah yang mengoordinasi laporan dimaksud, sebanyak 30,6% menjawab
DPKAD dan dan 31,5% menjawab Bappeda.
58 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Grafik 4.8 Penyusunan Grafik 4.9 Koordinator pelaporan
Laporan DAK oleh SKPD DAK di Daerah
66
Sementara itu, laporan akhir merupakan sumber informasi awal bagi pemerintah pusat
mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan DAK tahun sebelumnya. Dari laporan
tersebut, setidaknya dapat diperoleh informasi mengenai untuk output yang telah
dihasilkan selama satu tahun dan kendala yang dihadapi dalam menghasilkan output
tersebut. Dengan demikian, laporan triwulanan dan laporan akhir mempunyai arti
penting untuk perbaikan kebijakan dan pelaksanaan DAK ke depan.
Terhadap pengaturan pelaporan tersebut, dalam kuesioner ini dicoba untuk menggali
perspektif daerah terhadap mekanisme maupun substansi dari pelaporan dimaksud.
Yang pertama digali adalah terkait penyampaian laporan-laporan selain dari laporan
penyerapan DAK oleh SKPD. Dari hasil tabulasi kuesioner, 78% responden menjawab
SKPD di daerah menyampaikan laporan DAK kepada pemerintah pusat, sedangkan
14% menjawab tidak dan 8% responden tidak menjawab. Adapun ketika ditanyakan
instansi pemerintah daerah yang mengoordinasi laporan dimaksud, sebanyak 30,6%
menjawab DPKAD dan dan 31,5% menjawab Bappeda.
Sumber: Data diolah Sumber: Data diolah
Grafik 4.6 Penyusunan LaporanDAK oleh SKPD
Grafik 4.7 Koordinator pelaporan DAK diDaerah
Sumber: Data diolah Sumber: Data diolah
Selanjutnya, terkait dengan bentuk laporan DAK saat ini, mayoritas dari
responden setuju jika bentuk laporan seperti saat ini. Mayoritas responden
juga tidak setuju jika ada hal-hal baru yang akan menambah isi dari laporan
DAK saat ini.
Grafik 4.10 Perspektif Daerah Terhadap Bentuk Laporan DAK
67
Selanjutnya, terkait dengan bentuk laporan DAK saat ini, mayoritas dari
responden setuju jika bentuk laporan seperti saat ini. Mayoritas responden juga tidak
setuju jika ada hal-hal baru yang akan menambah isi dari laporan DAK saat ini.
Terkait dengan kendala dalam penyusunan laporan, mayoritas responden (53%)
menyatakan bahwa penyusunan laporan menghadapi kendala. Rata-rata mereka
berargumen bahwa SKPD terlambat dalam menyampaikan laporan kepada
Bappeda/DPPKAD. Sehubungan dengan hal tersebut, responden setuju jika pelaporan
ini juga dijadikan syarat dalam penyaluran DAK. Hal ini ditujukan agar SKPD lebih
tertib dalam menyampaikan laporan. Bahkan daerah setuju jika mereka dikenakan
sanksi atas ketidakpatuhan mereka dalam membuat dan menyampaikan laporan.
Namun, ketika daerah diberikan beberapa alternatif sanksi terkait ketidakpatuhan
tersebut, mayoritas tidak setuju jika sanksi dikaitkan dengan penundaan DAU/DBH.
Daerah lebih setuju jika sanksi yang akan dikenakan adalah penundaan sejumlah
persentase tertentu atas DAK dan sanksi administratif kepada kepala SKPD.
Grafik 4.8 Perspektif Daerah Terhadap Bentuk Laporan DAK
Sumber: Data diolah
Sumber: Data diolah
59Pembahasan
Terkait dengan kendala dalam penyusunan laporan, mayoritas responden
(53%) menyatakan bahwa penyusunan laporan menghadapi kendala. Rata-
rata mereka berargumen bahwa SKPD terlambat dalam menyampaikan laporan
kepada Bappeda/DPPKAD. Sehubungan dengan hal tersebut, responden setuju
jika pelaporan ini juga dijadikan syarat dalam penyaluran DAK. Hal ini ditujukan
agar SKPD lebih tertib dalam menyampaikan laporan. Bahkan daerah setuju
jika mereka dikenakan sanksi atas ketidakpatuhan mereka dalam membuat dan
menyampaikan laporan. Namun, ketika daerah diberikan beberapa alternatif
sanksi terkait ketidakpatuhan tersebut, mayoritas tidak setuju jika sanksi
dikaitkan dengan penundaan DAU/DBH. Daerah lebih setuju jika sanksi yang
akan dikenakan adalah penundaan sejumlah persentase tertentu atas DAK dan
sanksi administratif kepada kepala SKPD.
Grafik 4.11 Perspektif Daerah Grafik 4.12 Perspektif Daerah jika
Terhadap kendala penyusunan Laporan DAK dijadikan Syarat
laporan DAK Penyaluran DAK
68
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Tabel 4.4 Perspektif Daerah atas Alternatif Sanksi atas Ketidakdisiplinan PenyampaianLaporan
1 2 3 4 5 6 7 8
Sangat tidak setuju 22.5% 7.5% 24.2% 10.0% 26.7% 30.8% 17.5% 11.7%
Tidak Setuju 38.3% 27.5% 41.7% 28.3% 38.3% 39.2% 37.5% 22.5%
Tidak Tahu 5.0% 5.0% 8.3% 9.2% 6.7% 5.0% 14.2% 8.3%
Setuju 13.3% 40.0% 5.0% 30.8% 7.5% 5.0% 10.0% 29.2%
Sangat Setuju 5.0% 4.2% 1.7% 0.8% 1.7% 0.0% 1.7% 12.5%
Tidak Menjawab 15.8% 15.8% 19.2% 20.8% 19.2% 20.0% 19.2% 15.8%
Keterangan :1. Penundaan 100% penyaluran DAK tahap berikutnya2. Penundaan persentase tertentu atas penyaluran DAK untuk tahap berikutnya3. Alokasi yang belum tersalurkan dihapuskan4. Perhitungan sisa DAK tahun sebelumnya dengan alokasi DAK tahun
bersangkutan5. Penundaan DAU/DBH6. Pemotongan DAU/DBH7. Sanksi Administrasi kepada Kepala Daerah8. Sanksi Administrasi kepada Kepala SKPD
Selanjutnya, ketika disinggung terkait dengan penggunaan satu aplikasi
pelaporan, 90% responden daerah menyatakan setuju atas wacana dimaksud.
Grafik 4.10 Perspektif Daerah jikaLaporan DAK dijadikan Syarat
Penyaluran DAK
Grafik 4.9 Perspektif Daerah Terhadapkendala penyusunan laporan DAK
Sumber: Data diolah
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Tabel 4.4 Perspektif Daerah atas Alternatif Sanksi atas
Ketidakdisiplinan Penyampaian Laporan
1 2 3 4 5 6 7 8
Sangat tidak setuju 22.5% 7.5% 24.2% 10.0% 26.7% 30.8% 17.5% 11.7%
Tidak Setuju 38.3% 27.5% 41.7% 28.3% 38.3% 39.2% 37.5% 22.5%
60 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
1 2 3 4 5 6 7 8
Tidak Tahu 5.0% 5.0% 8.3% 9.2% 6.7% 5.0% 14.2% 8.3%
Setuju 13.3% 40.0% 5.0% 30.8% 7.5% 5.0% 10.0% 29.2%
Sangat Setuju 5.0% 4.2% 1.7% 0.8% 1.7% 0.0% 1.7% 12.5%
Tidak Menjawab 15.8% 15.8% 19.2% 20.8% 19.2% 20.0% 19.2% 15.8%
Sumber: Data diolah
Keterangan :
1. Penundaan 100% penyaluran DAK tahap berikutnya 2. Penundaan persentase tertentu atas penyaluran DAK untuk tahap berikutnya 3. Alokasi yang belum tersalurkan dihapuskan 4. Perhitungan sisa DAK tahun sebelumnya dengan alokasi DAK tahun
bersangkutan 5. Penundaan DAU/DBH6. Pemotongan DAU/DBH7. Sanksi Administrasi kepada Kepala Daerah8. Sanksi Administrasi kepada Kepala SKPD
Selanjutnya, ketika disinggung terkait dengan penggunaan satu aplikasi
pelaporan, 90% responden daerah menyatakan setuju atas wacana dimaksud.
61Pembahasan
Grafik 4.13 Perspektif Daerah atas
Penggunaan Satu Aplikasi Untuk Pelaporan
69
Grafik 4.11 Perspektif Daerah atas Penggunaan Satu Aplikasi Untuk Pelaporan
Pada FGD di tingkat pusat, dibahas mengenai kinerja pelaporan triwulanan DAK
khususnya pada tahun 2013. Berdasarkan data Sekretariat Bersama DAK, Kemendagri,
tingkat pelaporan DAK oleh pemerintah daerah mulai meningkat sejak dilaksanakan
kegiatan dekonsentrasi koordinasi pelaporan DAK. Untuk tahun 2013, dari 518 daerah
penerima DAK 417 diantaranya telah menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
DAK triwulan I, 433 daerah menyampaikan laporan triwulan II, 413 daerah
menyampaikan laporan triwulan III, dan 341 daerah menyampaikan laporan triwulan
IV. Secara umum, 485 daerah telah menyampaikan setidaknya satu laporan triwulan.
Dilihat dari persentase, tingkat penyampaian laporan triwulan untuk masing-masing
triwulan telah mencapai rata-rata 79% kecuali untuk triwulan IV yang masih 65,8%.
Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase penyampaian laporan triwulanan per
provinsi.
Sumber: Data diolah
Sumber: Data diolah
Pada FGD di tingkat pusat, dibahas mengenai kinerja pelaporan triwulanan
DAK khususnya pada tahun 2013. Berdasarkan data Sekretariat Bersama
DAK, Kemendagri, tingkat pelaporan DAK oleh pemerintah daerah mulai
meningkat sejak dilaksanakan kegiatan dekonsentrasi koordinasi pelaporan
DAK. Untuk tahun 2013, dari 518 daerah penerima DAK 417 diantaranya
telah menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK triwulan I, 433
daerah menyampaikan laporan triwulan II, 413 daerah menyampaikan laporan
triwulan III, dan 341 daerah menyampaikan laporan triwulan IV. Secara umum,
485 daerah telah menyampaikan setidaknya satu laporan triwulan. Dilihat
dari persentase, tingkat penyampaian laporan triwulan untuk masing-masing
triwulan telah mencapai rata-rata 79% kecuali untuk triwulan IV yang masih
65,8%. Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase penyampaian laporan
triwulanan per provinsi.
62 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Tabel 4.5 Persentase Penyampaian Laporan Triwulanan
Per Provinsi Tahun 2013
(data per 15 September 2014)
70
Tabel 4.5 Persentase Penyampaian Laporan Triwulanan Per Provinsi Tahun 2013(data per 15 September 2014)
I II III IV
1 Aceh 95,83 100,00 100,00 25,00 100,00
2 Sumatera Utara 70,59 58,82 70,59 50,00 91,18
3 Sumatera Barat 70,00 100,00 100,00 100,00 100,00
4 Sumatera Selatan 75,00 93,75 62,50 56,25 100,00
5 Riau 100,00 100,00 100,00 8,33 100,00
6 Kepulauan Riau 87,50 100,00 100,00 100,00 100,00
7 Jambi 100,00 83,33 100,00 100,00 100,00
8 Bangka Belitung 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
9 Bengkulu 9,09 9,09 81,82 9,09 81,82
10 Lampung 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
11 Jawa Barat 85,19 - 74,07 88,89 96,30
12 Jawa Tengah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
13 Banten 33,33 100,00 11,11 - 100,00
14 DI Yogyakarta 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
15 Jawa Timur 74,36 38,46 25,64 20,51 79,49
16 Bali 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
17 Kalimantan Barat 26,67 60,00 60,00 26,67 80,00
18 Kalimantan Tengah 100,00 100,00 92,86 100,00 100,00
19 Kalimantan Selatan 100,00 84,62 84,62 84,62 100,00
20 Kalimantan Timur 100,00 100,00 92,31 100,00 100,00
21 Sulawesi Utara 100,00 100,00 100,00 50,00 100,00
22 Sulawesi Tengah 75,00 83,33 33,33 100,00 100,00
23 Sulawesi Selatan 88,00 100,00 84,00 84,00 100,00
24 Sulawesi Barat 100,00 100,00 100,00 - 100,00
25 Sulawesi Tenggara 84,62 92,31 100,00 100,00 100,00
26 Gorontalo 85,71 100,00 100,00 100,00 100,00
27 Nusa Tenggara Barat 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
28 Nusa Tenggara Timur 100,00 100,00 90,91 54,55 100,00
29 Maluku 8,33 100,00 100,00 8,33 100,00
30 Maluku Utara 20,00 - 20,00 20,00 30,00
31 Papua 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
32 Papua Barat 16,67 - 8,33 8,33 25,00
80,50 78,57 79,73 65,83 93,63TOTAL
% DAERAH YG MELAPORKAN
LAPORAN TRIWULANNO DATA DAERAH
% DAERAH
YANG
MELAPORKAN
Sumber: Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK, Kementerian Dalam Negeri, 2013
Dari tabel tersebut, terlihat sampai dengan bulan September 2014, masih terdapat
beberapa daerah yang belum menyampaikan laporan triwulanan tahun 2013.
Pemerintah daerah yang kurang dalam taat dalam menyampaikan laporan adalah
pemerintah daerah-pemerintah daerah di Provinsi Maluku Utara dan Papua Barat.
Adapun pemerintah daerah yang menyampaikan seluruh laporan triwulanan adalah
daerah-daerah yang berada di Provinsi Bangka Belitung, Lampung, Jawa Tengah, DIY,
Bali, NTB, dan Papua.
Sumber: Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK, Kementerian Dalam
Negeri, 2013
Dari tabel tersebut, terlihat sampai dengan bulan September 2014, masih
terdapat beberapa daerah yang belum menyampaikan laporan triwulanan tahun
2013. Pemerintah daerah yang kurang dalam taat dalam menyampaikan laporan
adalah pemerintah daerah-pemerintah daerah di Provinsi Maluku Utara dan
Papua Barat. Adapun pemerintah daerah yang menyampaikan seluruh laporan
triwulanan adalah daerah-daerah yang berada di Provinsi Bangka Belitung,
Lampung, Jawa Tengah, DIY, Bali, NTB, dan Papua.
63Pembahasan
Namun demikian, tabel di atas hanya menunjukkan daerah - daerah yang
menyampaikan laporan triwulanan melalui tim koordinasi di tingkat provinsi.
Tabel tersebut belum mengukur kinerja pelaporan DAK yang sebenarnya yaitu
ketepatan waktu penyampaian dan kelengkapan laporan. Kinerja ketepatan
waktu diukur dari penyampaian laporan sebelum batas waktu yang ditetapkan.
Adapun kelengkapan laporan terkait dengan pengisian informasi sesuai dengan
format yang ditentukan.
Untuk ketepatan waktu, berdasarkan informasi dari Sekretariat Bersama SEB
DAK, hanya sekitar 41% pemerintah daerah yang melaporkan sesuai tenggat
waktu yang diberikan. Adanya 41% daerah yang melaporkan pelaksanaan DAK
per triwulan secara tepat waktu diperoleh setelah Sekretariat Bersama SEB
DAK melaksanakan kegiatan dekonsentrasi penguatan peran provinsi dalam
pengendalian, pelaporan dan evaluasi pemanfaatan program dana alokasi khusus
(DAK). Pada dasarnya, angka tersebut masih relatif rendah walaupun kewajiban
penyampaian laporan triwulanan merupakan amanat PP No. 55 Tahun 2005.
Sebenarnya pemerintah pusat mempunyai tools yang dapat meningkatkan
kepatuhan dan ketepatan waktu pemerintah daerah menyampaikan laporan
dimaksud. Pasal 63 PP No. 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kepala daerah
menyampaikan laporan triwulan yang memuat (i) laporan pelaksanaan kegiatan
dan (ii) penggunaan DAK kepada Menteri Keuangan, menteri teknis, dan Menteri
Dalam Negeri. Laporan triwulanan disampaikan paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. Ketidakpatuhan atas
penyampaian laporan tersebut dapat dikenakan sanksi penundaan penyaluran
DAK. Selanjutnya, Pasal 65 mengamanatkan bahwa kententuan lebih lanjut
mengenai penetapan program dan kegiatan, penyaluran dan pelaporan diatur
dalam peraturan menteri keuangan.
Namun, sampai saat ini tidak ada peraturan pelaksana yang menjabarkan
lebih lanjut pelaksanaan pelaporan triwulan dan akhir serta penerapan sanksi
sehingga tidak semua daerah menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
DAK secara tepat waktu. Peraturan pelaksana yang ada saat ini adalah PMK
64 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
183/PMK.07/2013 mengenai Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer ke Daerah, yang hanya mengatur pelaporan dari sisi keuangan, yaitu
laporan realisasi penyerapan dari masing-masing tahap penyaluran dan laporan
penggunaan DAK dan tidak mengatur mengenai penundaan penyaluran DAK jika
daerah terlambat menyampaikan laporan triwulanan. Memang saat ini telah ada
SEB DAK yang mengatur tentang pelaksanaan pemantauan teknis pelaksanaan
dan evaluasi pemanfaatan DAK, termasuk didalamnya sistem pelaporan DAK.
SEB DAK tersebut ditandatangani oleh Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri.
Tetapi didalam hirarki peraturan perundangan, SEB bukan merupakan produk
hukum sehingga tidak terdapat sanksi jika pemerintah daerah tidak menjalankan
SEB tersebut.
Berbagai upaya meningkatkan kepatuhan penyampaian laporan DAK telah
dilaksanakan. Misalnya, Kementerian Dalam Negeri melaksanakan kegiatan
dekonsentrasi penguatan peran provinsi dalam pengendalian, pelaporan dan
evaluasi pemanfaatan program dana alokasi khusus (DAK) dengan membentuk
Tim Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, dan Evaluasi DAK di Tingkat
Provinsi (TKP2ED) atau disebut Tim Pokja Provinsi. Tim tersebut beranggotakan
wakil-wakil dari Bappeda, Biro Administrasi Pembangunan/sebutan lain,
satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD), dan SKPD yang berisi
perwakilan/pembina bidang-bidang DAK di Tingkat Provinsi. Tim Pokja Provinsi
memfasilitasi terbentuknya tim pokja di tingkat kabupaten/kota dengan komposisi
keanggotaan hampir sama. Tugas utama dari tim pokja tersebut adalah
melakukan koordinasi dengan organisasi pelaksana pusat dan daerah melalui
forum koordinasi, melakukan pemantauan dan evaluasi teknis pelaksanaan
DAK, dan mengoordinasikan dan mengonsolidasikan laporan pemantuan teknis
pelaksanaan DAK dari SKPD dan kemudian menyampaikan laporan tersebut
ke provinsi/pusat.
Upaya lainnya adalah melalui kebijakan untuk memasukan kinerja pelaporan
pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK sebagai salah satu indikator teknis
65Pembahasan
dalam perhitungan alokasi DAK tahun 2014. Dampak dari mekanisme ini baru
dapat dirasakan setidaknya mulai tahun 2015. Namun demikian, upaya ini
belum dapat memastikan bahwa semua daerah akan menyampaikan laporan
dimaksud karena dengan metode pengalokasian DAK yang digunakan saat ini
memungkinkan daerah yang tidak melaporkan kegiatannya tetap mendapatkan
DAK.
Untuk meningkatkan kepatuhan dan ketepatan waktu penyampaian laporan
triwulanan, pemerintah pusat perlu melaksanakan penerapan sanksi penundaan
penyaluran DAK. Tetapi mengingat adanya perbedaan waktu penyampaian
laporan yang dilakukan setiap triwulan dan penyaluran DAK yang dilakukan
berdasarkan tahapan, penerapan sanksi menjadi sulit diimplementasikan.
Seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, penyaluran secara triwulanan
menjadi salah satu alternatif pola penyaluran DAK yang sesuai dengan pola
penyampaian laporan, tetapi perubahan penyaluran secara tahapan menjadi
triwulanan membutuhkan waktu yang cukup persiapan dan diseminasi baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Salah satu solusi yang mungkin diterapkan adalah memasukan laporan
pelaksanaan DAK sebagai salah satu syarat penyaluran DAK, dengan merevisi
PMK 183/PMK.07/2013. Revisi PMK juga memuat batasan tanggung jawab
Kementerian Keuangan, yaitu hanya membuat check list laporan yang diterima
dan meneruskan laporan teknis kepada K/L terkait sebagai bahan monitoring dan
evaluasi DAK. Penyaluran DAK tetap mengacu pada kelengkapan persyaratan
laporan yang diterima Kementerian Keuangan.
Terkait dengan adanya perbedaan pola waktu penyampaian laporan dengan
penyaluran, jumlah laporan yang dilampirkan sebagai dokumen pencairan DAK
tergantung waktu permintaan pencairan DAK. Sebagai contoh, jika daerah
menyampaikan permintaan pencairan Tahap I pada bulan Mei, maka laporan
yang disampaikan harus meliputi laporan triwulan 4 tahun sebelumnya dan
laporan triwulan 1 tahun berjalan. Dengan demikian, solusi ini memungkinkan
66 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
peningkatan penyampaian laporan DAK tetapi tidak memastikan laporan tepat
waktu disampaikan.
Ukuran kinerja pelaporan lainnya adalah kelengkapan informasi. Sampai
saat ini, masih banyak laporan yang disampaikan tidak lengkap-jika dilihat
kelengkapan data yang diisi sesuai format laporan SEB DAK. Sekretariat Bersama
SEB DAK belum mendalami seberapa banyak daerah yang belum mengisi secara
lengkap informasi yang diminta sesuai format SEB DAK. Namun demikian,
ketidaklengkapan tersebut mungkin disebabkan karena adanya kebingungan
daerah atas perbedaan format laporan antara format laporan SEB DAK dan
format laporan Juknis DAK. Dari 16 K/L pembina DAK di tingkat pusat, hanya
delapan K/L yang format laporannya sesuai dengan SEB DAK, diantaranya
adalah Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kemenhub, Kemendagri,
Kementan, Kemendikbud, dan Kemenkes.
Perbedaan format laporan ini tentunya akan menambah beban kerja
SKPD dalam menyiapkan laporan triwulanan, terlebih jika pemerintah daerah
diharuskan menyampaikan laporan triwulanan empat belas hari setelah triwulan
yang berkenaan berakhir. Untuk mempermudah daerah dalam menyampaikan
laporan pelaksanaan kegiatan DAK, perlu adanya format standar yang dapat
dipakai oleh seluruh K/L pembina DAK. Beberapa data teknis yang dapat
dibutuhkan tetapi tidak dapat diakomodasi dalam format laporan standar tersebut
dapat dipisahkan dalam lampiran tersendiri.
Disamping perbedaan format, alur dan waktu pelaporan antara SEB DAK
dan Juknis DAK juga berbeda. Hanya enam dari enam belas K/L pembina DAK
yang alur dan waktu pelaporannya sesuai dengan SEB DAK. Alur pelaporan
yang sesuai adalah setiap SKPD kabupaten/kota/provinsi melaporkan kepada
sekretaris daerah untuk kemudian dikompilasi. Laporan kompilasi disampaikan
oleh kepala daerah kepada kementerian teknis, Kementerian Dalam Negeri, dan
Kementerian Keuangan, serta tembusan kepada dan gubernur. Alur pelaporan
sesuai SEB dapat dilihat pada Grafik 3.4. Tabel berikut ini menyajikan kesesuaian/
perbedaan alur dan waktu pelaporan DAK.
67Pembahasan
Tabel 4.6 Alur dan Waktu Pelaporan DAK
No Bidang Alur Pelaporan DAK Waktu Pelaporan DAK
1 Sarpras Daerah Tertinggal
Sesuai SEB Sesuai SEB
2 Keselamatan Transportasi Darat
Sesuai SEB Sesuai SEB
3 Transportasi Perdesaan Sesuai SEB Sesuai SEB
4 Pertanian SKPD Pertanian di Kab/Kota/Provinsi ke Kementerian c.q. Menkeu, Dirjen/Kepala Badan Lingkup Kementan
Sesuai SEB
5 Prasarana Pemerintahan Daerah (Praspem)
Sesuai SEB Sesuai SEB
6 Lingkungan Hidup Kepala Institusi Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota Kepala Instansi Lingkungan Hidup Provinsi KemenLH
Laporan Triwulan dan rekapnya paling lambat 2 – 3 minggu. Sedangkan Laporan akhir dan rekapnya paling lambat 4 – 6 minggu
7 Energi Perdesaan Sesuai SEB Sesuai SEB
8 Infrastruktur (Jalan, Irigasi, Air Minum, dan Sanitasi)
SKPD Bupati/Walikota/Gubernur Balai Satker Pusat Dirjen Terkait
Paling lambat 25 hari
9 Kehutanan SKPD ke Menhut Sesuai SEB
10 Perdagangan SKPD ke Menteri Perdagangan
Sesuai SEB
11 Kelautan dan Perikanan Sesuai SEB Paling lambat 5 hari
12 Perumahan dan Kawasan Permukiman
Sesuai SEB Sesuai SEB
13 Sarpras Perbatasan Bupati dan Gubernur Kepala BNPP
Setiap triwulan dan akhir tahun
68 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
No Bidang Alur Pelaporan DAK Waktu Pelaporan DAK
14 Pendidikan (Dasar dan Menengah)
PPS KepSek SKPD Kab/Kota Bupati/Walikota Pusat
Sesuai SEB
15 Kesehatan Sesuai SEB Sesuai SEB
16 KB Kepala SKPD di Kab/Kota ke Tim Pengendali DAK di Prov Pusat
Setiap triwulan dan akhir tahun
Sumber: Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK, Kementerian Dalam
Negeri, 2013
Seperti halnya dengan perbedaan format laporan, perbedaan alur dan waktu
pelaporan DAK juga akan membingungkan pemerintah daerah dalam melaporkan
kegiatan DAK. Jika mengikuti kedua alur dan waktu, waktu produktivitas setiap
SKPD akan banyak tersita untuk memenuhi kewajiban pelaporan saja. Oleh
karena itu, perlu adanya sinkronisasi antara alur dan waktu pelaporan yang
ditetapkan dalam SEB dengan juknis DAK. Disamping itu, untuk mempermudah
dan mempercepat pelaporan dari daerah, perlu digunakan satu aplikasi yang
memungkinkan penyampaian laporan secara elektronik. Seperti hasil FGD di
daerah, bahwa 90% respon setuju/sangat setuju jika pelaporan DAK dilakukan
melalui satu aplikasi. Saat ini, Kementerian Keuangan telah mengembangkan
Web-Based Reporting System (WBRS) yang telah diuji coba pada lima provinsi
percontohan untuk DAK infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum). WBRS
telah diperkenalkan kepada Sekretariat Bersama DAK dan diharapkan dapat
diterapkan secara menyeluruh baik untuk seluruh bidang dan seluruh daerah
dalam waktu tidak terlalu lama.
69Pembahasan
4.3 Analisis Kebijakan Dalam Monitoring dan Evaluasi DAK
Di dalam bagian ini, akan digali persepsi daerah atas kebijakan monitoring
dan evaluasi DAK dalam membantu daerah dalam melaksanakan DAK atau
sebaliknya. Sebagaimana dengan pelaporan, pemantauan dan evaluasi
DAK secara umum juga diatur dalam PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 64 PP tersebut, pemantauan
dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang
didanai dari DAK dilakukan secara bersama-sama antara Menneg PPN dan
Mendagri, sedangkan untuk pemantauan dan evaluasi pengelolaan keuangan
DAK dilakukan oleh Menkeu.
Selanjutnya berdasarkan SEB DAK, dalam monitoring pelaksanaan DAK
terdapat beberapa aspek yang akan dilihat, yaitu aspek teknis dan aspek
keuangan. Adapun ruang lingkup pemantauan dari aspek teknis adalah:
1. kesesuaian antara kegiatan DAK dengan usulan kegiatan yang ada dalam
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD);
2. kesesuaian pemanfaatan DAK dalam Dokumen Pelaksana Anggaran–
Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) dengan petunjuk teknis dan
pelaksanaan di lapangan;
3. realisasi waktu pelaksanaan, lokasi, dan sasaran pelaksanaan dengan
perencanaan.
Sedangkan yang menjadi ruang lingkup pemantauan dari aspek keuangan
adalah:
1. penyediaan dana pendamping;
2. realisasi penyerapan yang meliputi realisasi keuangan dari rekening kas
umum negara ke rekening kas umum daerah;
3. realisasi pembayaran dari rekenening kas umum daerah Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D) kepada pihak ketiga.
70 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam bagian ini akan digali secara
mendalam terkait dengan perspektif daerah terhadap kebijakan monev yang
ada saat ini. Yang pertama digali adalah eksistensi tim koordinasi pemantauan
DAK di daerah dan keterlibatan provinsi dalam pelaksanaan monitoring dan
evaluasi. Seperti yang terlihat pada grafik 4.14 dan grafik 4.15, terlihat bahwa
60% responden manyatakan bahwa di daerah mereka terdapat tim koordinasi
pemantauan DAK, tetapi 31% dari responden menyampaikan hal sebaliknya.
Adapun untuk keterlibatan provinsi dalam monitoring DAK, sebanyak 58%
responden menyampaikan bahwa selama ini provinsi terlibat dalam monitoring
dan evaluasi DAK di tingkat kabupaten/kota dan terdapat 35% responden dengan
pendapat yang berlawanan.
Grafik 4.14 Eksistensi TKP Grafik 4.15 Keterlibatan Provinsi
DAK di daerah dalam Monev DAK
77
3. realisasi waktu pelaksanaan, lokasi, dan sasaran pelaksanaan dengan perencanaan.
Sedangkan yang menjadi ruang lingkup pemantauan dari aspek keuangan adalah:
1. penyediaan dana pendamping;
2. realisasi penyerapan yang meliputi realisasi keuangan dari rekening kas umum
negara ke rekening kas umum daerah;
3. realisasi pembayaran dari rekenening kas umum daerah Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D) kepada pihak ketiga.
Sehubungan dengan hal tersebut, di dalam bagian ini akan digali secara
mendalam terkait dengan perspektif daerah terhadap kebijakan monev yang ada saat
ini. Yang pertama digali adalah eksistensi tim koordinasi pemantauan DAK di daerah
dan keterlibatan provinsi dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Seperti yang
terlihat pada grafik 4.14 dan grafik 4.15, terlihat bahwa 60% responden manyatakan
bahwa di daerah mereka terdapat tim koordinasi pemantauan DAK, tetapi 31% dari
responden menyampaikan hal sebaliknya. Adapun untuk keterlibatan provinsi dalam
monitoring DAK, sebanyak 58% responden menyampaikan bahwa selama ini provinsi
terlibat dalam monitoring dan evaluasi DAK di tingkat kabupaten/kota dan terdapat
35% responden dengan pendapat yang berlawanan.
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Grafik 4.13 Keterlibatan Provinsi dalamMonev DAK
Grafik 4.12 Eksistensi TKP DAK didaerah
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Hasil FGD yang dilakukan di 10 daerah juga menyampaikan hal yang sama,
dari 10 daerah tersebut, sebagian besar menyatakan bahwa peranan provinsi
boleh dibilang kurang dalam melakukan monitoring dan evaluasi DAK, alasannya
adalah ketiadaan anggaran untuk pelaporan dan monev. Kalaupun monev ada
hanya sebatas untuk SKPD provinsi yang menerima DAK saja, belum monev
ke pelaksanaan DAK di daerah.
71Pembahasan
Terkait dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, ketika ditanyakan adanya tumpang tindih pelaksanaan monev,
ternyata mayoritas daerah responden menyatakan tidak, bahkan ketika ditanyakan
dalam FGD di daerah sampel, mayoritas peserta FGD mengusulkan agar monev
dilaksanakan secara rutin untuk membantu daerah dalam melaksanakan DAK
karena mereka berpandangan bahwa monev yang dilakukan oleh pemerintah
pusat sangat bermanfaat. Hal ini sesuai dengan hasil tabulasi kuesioner yang
menyebutkan bahwa lebih dari 70% responden mendapatkan manfaat dari
adanya monev yang dilakukan oleh pusat.
Grafik 4.16 Perspektif Daerah atas Grafik 4.17 Perspektif Daerah atas
Pelaksanaan Monev Pusat apakah adakah manfaat dari Monev yang
tumpang tindih dilakukan Pusat
78
Hasil FGD yang dilakukan di 10 daerah juga menyampaikan hal yang sama, dari
10 daerah tersebut, sebagian besar menyatakan bahwa peranan provinsi boleh dibilang
kurang dalam melakukan monitoring dan evaluasi DAK, alasannya adalah ketiadaan
anggaran untuk pelaporan dan monev. Kalaupun monev ada hanya sebatas untuk
SKPD provinsi yang menerima DAK saja, belum monev ke pelaksanaan DAK di
daerah.
Terkait dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, ketika ditanyakan adanya tumpang tindih pelaksanaan monev,
ternyata mayoritas daerah responden menyatakan tidak, bahkan ketika ditanyakan
dalam FGD di daerah sampel, mayoritas peserta FGD mengusulkan agar monev
dilaksanakan secara rutin untuk membantu daerah dalam melaksanakan DAK karena
mereka berpandangan bahwa monev yang dilakukan oleh pemerintah pusat sangat
bermanfaat. Hal ini sesuai dengan hasil tabulasi kuesioner yang menyebutkan bahwa
lebih dari 70% responden mendapatkan manfaat dari adanya monev yang dilakukan
oleh pusat.
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Dalam FGD di tingkat pusat, terungkap beberapa permasalahan yang
melatarbelakangi kekurangefektifan kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan
oleh instansi pemerintah pusat atas pelaksanaan kegiatan DAK selama ini. Beberapa
Grafik 4.14 Perspektif Daerah atasPelaksanaan Monev Pusat apakah tumpang
tindih
Grafik 4.7 Perspektif Daerah atas adakahmanfaat dari Monev yang dilakukan Pusat
Sumber: data diolah Sumber: data diolah
Dalam FGD di tingkat pusat, terungkap beberapa permasalahan yang
melatarbelakangi kekurangefektifan kegiatan monitoring dan evaluasi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah pusat atas pelaksanaan kegiatan DAK
selama ini. Beberapa permasalahannya antara lain adalah adanya saling
silang (cross cutting) kewenangan monitoring dan evaluasi antara K/L, SOP
koordinasi monitoring dan evaluasi yang belum berlangsung secara efektif,
metodologi pengukuran yang belum disepakati, dan kesulitan memperoleh data
terkait hasil monitoring dan evaluasi DAK yang pernah dilakukan sebelumnya.
Disamping itu, dari sekian banyak kegiatan monitoring dan evaluasi DAK yang
72 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
telah dilakukan, umpan balik yang berikan kepada daerah guna memperbaiki
pelaksanaan DAK juga belum secara cepat diberikan sehingga mempengaruhi
pelaksanaan dan penyerapan DAK. Sebagai contoh adalah permasalahan juknis
DAK pendidikan yang berulang kali terjadi walaupun sudah banyak laporan hasil
kegiatan monitoring dan evaluasi yang mengangkat hal tersebut.
Para peserta FGD pusat sepakat akan perlunya peningkatan efektivitas
monitoring dan evaluasi DAK agar hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan
secara langsung menggambarkan manfaat yang sesungguhnya bagi perbaikan
kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk meningkatkan
efektivitas monitoring dan evaluasi DAK, diperlukan metodologi monitoring dan
evaluasi yang tepat, baik yang terkait dengan pemantauan fisik di lapangan
maupun mekanisme penyampaian laporan periodik secara elektronik. Selain itu,
perlu pula disiapkan basis data pendahuluan (baseline data) yang menjadi tolok
ukur pengukuran keberhasilan pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. Pelaporan
periodik melalui satu aplikasi yang dapat digunakan oleh seluruh pemangku
kepentingan DAK, seperti Web Based Reporting System (WBRS) sebagai tools
monitoring dan evaluasi DAK secara elektronik akan membantu pemerintah pusat
dalam mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan. Dengan
adanya instrumen pelaporan tersebut, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan
secara populasi, tidak berdasarkan sampel seperti saat ini.
73Simpulan dan Rekomendasi
BAB 5 sIMPULAN DAN REKOMENDAsI
5.1 Simpulan1. Kebijakan penyaluran DAK saat ini, tahapan penyaluran dan persyaratan
penyaluran, sudah dianggap tepat dan tidak menyulitkan oleh sebagian
besar responden dari pemerintah daerah. Hal ini diperkuat dengan jawaban
responden yang menyatakan tidak setuju atas beberapa alternatif pola
penyaluran DAK seperti triwulanan, sistem pembayaran pendahuluan,
penyaluran per bidang, dan penyaluran per bulan.
2. Dengan pola penyaluran DAK saat ini, terdapat tidak sedikit daerah yang
baru mencairkan DAK Tahap I setelah pertengahan tahun. Untuk tahap II,
tersalur sebesar Rp1,5 triliun pada bulan Desember untuk 67 daerah dan
empat daerah diantaranya baru mendapatkan dana DAK Tahap II setelah
tanggal 20 Desember. Penyaluran Tahap III terkonsentrasi pada minggu
ketiga dan minggu keempat bulan Desember dengan nilai Rp4,9 triliun
untuk 356 daerah penerima.
3. Pencairan pada akhir tahun ini berdampak pada pelaksanaan kegiatan DAK
yang mendekati akhir tahun anggaran. Disamping itu, banyak pemerintah
daerah yang mencairkan DAK Tahap II dan Tahap III ketika hampir tutup
tahun anggaran sehingga menyebabkan terjadinya SiLPA DAK pada APBD
selama beberapa tahun terakhir. SiLPA DAK juga disebabkan oleh masalah
juknis DAK yang terlambat/direvisi pada pertengahan tahun/tidak dapat
dilaksanakan.
4. Walaupun kinerja penyaluran DAK hampir mencapai 100% tetapi hal ini
kurang berbanding lurus dengan kinerja pelaksanaan DAK di daerah. Salah
74 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
satu indikatornya adalah terjadinya SiLPA DAK yang cukup signifikan setiap
tahunnya. Pada tahun 2013, terdapat Rp6,5 triliun (22,5% dari DAK
tersalur) sisa DAK yang menjadi SiLPA. Sisa DAK yang besar menunjukkan
bahwa adanya kegiatan DAK yang tidak terlaksana.
5. Bidang DAK yang sering terjadi permasalahan adalah bidang pendidikan,
khususnya terkait dengan juknis DAK. Disamping itu, mulai tahun 2015
terdapat penggabungan beberapa bidang DAK menjadi DAK bidang
transportasi yang mempunyai potensi permasalahan dalam tahap awal
pelaksanaannya. Permasalahan pelaksanaan DAK pada bidang-bidang
dengan alokasi yang besar biasanya akan mempengaruhi pelaksanaan
bidang lain terkait dengan penyerapan yang maksimal dan penyaluran DAK
tahap berikutnya tidak dapat dilakukan.
6. Persentase penyaluran DAK tahap terakhir yang cukup besar juga
menyumbang peran terhadap terjadinya SiLPA pada akhir tahun. Peran
tersebut diperbesar jika penyaluran dilakukan pada dua minggu sebelum
tahun anggaran berakhir.
7. Pola penyaluran secara triwulanan dapat dijadikan sebagai alternatif pola
penyaluran secara tahapan. Dengan per triwulan, pola penyaluran dapat
diselaraskan dengan pola pelaporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan
DAK yang wajib disampaikan oleh pemerintah daerah selambat-lambatnya
empat belas hari setelah triwulan yang berkenaan berakhir.
8. Terkait dengan pelaporan, sebagian kecil responden pemerintah daerah
mengakui bahwa SKPD penerima DAK tidak menyampaikan laporan DAK
kepada pemerintah pusat. Disamping itu, SKPD yang bertugas mengoordinasi
dan mengompilasi laporan setiap SKPD penerima DAK untuk kemudian
disampaikan kepada pemerintah pusat beragam antardaerah. Banyak
pemerintah daerah yang menugaskan Bappeda atau DPKAD sebagai SKPD
yang melakukan koordinasi, kompilasi dan penyampaian laporan DAK kepada
pemerintah pusat. Namun terdapat 24% responden yang menyatakan
75Simpulan dan Rekomendasi
terdapat SKPD penerima DAK yang melaporkan langsung kepada pemerintah
pusat.
9. Perbedaan alur pelaporan tersebut diperkuat dengan hasil temuan Tim
Sekretariat Bersama yang menyatakan bahwa dari enam belas K/L pembina
DAK, hanya enam K/L yang memiliki alur pelaporan yang sama dengan SEB
DAK.
10. Terhadap format laporan, sebagian besar responden daerah setuju jika format
laporan saat ini perlu diseragamkan antarbidang dan disederhanakan. Hal
ini terkait dengan adanya delapan K/L pembina DAK yang memiliki format
laporan yang berbeda dengan format SEB. Perbedaan format laporan ini
menyebabkan pemerintah daerah harus menyiapkan laporan DAK yang
sama dalam dua format yang berbeda.
11. Kepatuhan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan triwulanan
secara tepat waktu masih relatif rendah. Hal ini dibuktikan bahwa sampai
dengan bulan September 2014, laporan triwulan I – IV tahun 2013 belum
sepenuhnya disampaikan (lihat Tabel 4.4). Kekurangpatuhan penyampaian
laporan tersebut karena belum diterapkannya sanksi penundaan penyaluran
DAK. Peraturan menteri keuangan yang ada saat ini baru mengatur pada
penyampaian laporan dari aspek keuangan.
12. Terkait dengan penerapan sanksi tersebut, sebagian responden daerah setuju
jika laporan kegiatan DAK dijadikan syarat sebagai penyaluran DAK untuk
mendorong SKPD penerima DAK menyampaikan laporan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Atas ketidakpatuhan penyampaian laporan,
responden daerah lebih setuju jika sanksi diberikan berupa penundaan
atas penyaluran DAK atau sanksi administratif kepada SKPD yang tidak
menyampaikan laporan dimaksud.
13. Penggunaan satu aplikasi pelaporan untuk semua bidang DAK akan
mempermudah dan mempercepat pelaporan dari daerah serta menyamakan
alur dan waktu pelaporan berbagai bidang DAK.
76 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
14. Terkait dengan monitoring dan evaluasi DAK, responden daerah memandang
perlu peningkatan peran provinsi dalam melakukan kegiatan tersebut.
Pemerintah daerah kabupaten dan kota berharap mendapatkan pembinaan
secara langsung atas pelaksanaan kegiatan DAK dari provinsi.
15. Kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah
pusat dirasakan kuran efektif karena berbagai permasalahan, seperti cross
cutting kewenangan monitoring dan evaluasi antara K/L, SOP koordinasi
monitoring dan evaluasi yang belum berlangsung secara efektif, metodologi
pengukuran yang belum disepakati, dan kesulitan memperoleh data terkait
hasil monitoring dan evaluasi DAK yang pernah dilakukan sebelumnya.
5.2 Rekomendasi
a. Kebijakan Penyaluran
Rekomendasi untuk kebijakan penyaluran dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu rekomendasi untuk diimplementasikan dalam jangka pendek dan jangka
menengah/panjang. Rekomendasi kebijakan penyaluran untuk jangka pendek
adalah dijabarkan berikut ini.
a. Perlunya perbaikan kebijakan penyaluran melalui revisi PMK 183/
PMK.07/2013. Kriteria perbaikan dalam kebijakan penyaluran DAK
setidaknya harus mempertimbangkan :
- memungkinkan penggunaan DAK lebih cepat;
- menjamin ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh
DAK;
- mampu mengurangi terjadinya SiLPA DAK pada akhir tahun; dan
- menghasilkan laporan teknis pelaksanaan DAK, disamping laporan
keuangan penggunaan DAK.
b. Penyaluran secara tahapan tetap dipertahankan agar tidak terdapat
perubahan yang dramastis yang dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan
kegiatan DAK di daerah pada tahun 2015 apabila perubahan kebijakan
hendak diimplementasikan pada tahun tersebut.
77Simpulan dan Rekomendasi
c. Besaran persentase penyaluran DAK setiap tahapan, disepakati tetap sama,
yaitu Tahap I 30%, Tahap II 45%, dan Tahap III sebesar % sesuai kebutuhan
yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan sampai dengan akhir tahun
anggaran, dengan batas maksimal yang dapat disalurkan adalah 25%. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terdapat sisa DAK di daerah. Namun demikian,
persentase Tahap III diusulkan untuk dapat diperkecil dengan memperbesar
persentase Tahap I atau Tahap II, guna meminimumkan potensi terjadinya
SiLPA DAK pada akhir tahun.
d. Khusus untuk penyaluran Tahap III, selain ditentukan dengan persentase
tertentu sebagaimana dijelaskan pada huruf c, guna lebih memperkecil
potensi terjadinya SiLPA DAK, penyaluran Tahap III dapat dilakukan
berdasarkan kebutuhan pengeluaran riil terkait DAK sampai akhir tahun
dari daerah. Dengan demikian, persentase Tahap III yang ditetapkan nanti
bersifat batas maksimum penyaluran Tahap III yang diperbolehkan.
e. Penyaluran dilakukan per bidang khususnya untuk 3 (tiga) pelayanan dasar
yaitu pendidikan, kesehatan, dan bidang ke-PU-an (jalan, irigais, air minum,
dan sanitasi), sedangkan lainnya dijadikan satu. Hal ini untuk mengatasi
permasalahan yang kerap kali muncul, khususnya terkait dengan juknis
DAK bidang Pendidikan yang mempengaruhi daerah dalam menyerap DAK
dan kinerja penyaluran DAK di pusat.
f. Batasan waktu pengajuan penyaluran DAK :
- Tahap I dapat dicairkan paling cepat bulan Februari (sama seperti
aturan saat ini) dan paling lambat pada akhir bulan Juni atau Juli.
Jika melewati batas waktu tersebut, daerah tidak dapat mencairkan
seluruh alokasi DAK untuk tahun bersangkutan. Hal ini dimaksudkan
agar (1) daerah lebih disiplin dan dapat melaksanakan kegiatan DAK
lebih cepat, sehingga penyelesaian pelaksanaan kegiatan tepat waktu,
dan (2) mendorong kementerian/lembaga teknis terkait agar disiplin
dalam penetapan/revisi juknis DAK tepat waktu;
78 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
- Tahap II tidak terdapat pembatasan waktu pencairan namun harus tetap
terdapat jeda waktu yang cukup dan wajar antara pencairan tahap 2
dengan tahap sebelum atau sesudahnya;
- Tahap III dapat dicairkan selambat-lambatnya 15 Desember atau
sejumlah tertentu dari hari kerja sebelum tahun bersangkutan berakhir.
g. Monitoring kinerja pelaksanaan DAK di daerah :
- DPA SKPD dan Laporan Pelaksanaan Kegiatan dan Penggunaan DAK
dijadikan sebagai persyaratan pencairan DAK agar kepatuhan daerah
dalam menyampaikan laporan tersebut dapat ditingkatkan. Hal ini
sejalan dengan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan,
yang menyatakan bahwa kepatuhan daerah dalam penyampaian
laporan triwulanan dapat dijadikan pertimbangkan dalam penundaaan
penyaluran DAK, serta mengingat bahwa saat ini kepatuhan pelaporan
DAK dari daerah kepada masing-maisng K/L masih rendah. PP No. 55
Tahun 2005 juga mengamatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
penyaluran dan pelaporan diatur dalam peraturan menteri keuangan.
- laporan triwulanan yang disampaikan disesuaikan dengan waktu
permintaan pencairan DAK per tahap. Jika daerah menyampaikan
permintaan pencairan Tahap I pada bulan Mei, maka laporan yang
disampaikan meliputi laporan triwulan 4 tahun sebelumnya dan laporan
triwulan 1 tahun berjalan.
- atas laporan triwulanan yang telah diterima, DJPK membuat check list
dan kemudian mengirimkan laporan yang diterima kepada Kemendagri
(Sekretariat Bersama Pengendalian dan Pelaporan DAK) dan/ atau
kementerian teknis. Hal ini untuk membatasi tanggung jawab DJPK
hanya pada evaluasi keuangan saja. Adapun evaluasi teknis tetap
menjadi tanggung jawab kementerian teknis terkait.
h. Perlu dibuka mekanisme yang memungkinkan daerah menyampaikan
pernyataan bahwa kegiatan suatu bidang tidak dapat dilaksanakan pada
daerah tersebut. Hal ini untuk mengakomodasi permintaan banyak daerah
yang tidak dapat melaksanakan kegiatan DAK, antara lain, karena jenis
79Simpulan dan Rekomendasi
output/kegiatan yang ditentukan dalam juknis DAK sudah terpenuhi/sulit
dilaksanakan. Terhadap alokasi DAK bidang dimaksud yang seharusnya
diterima daerah tersebut, diusulkan agar tidak disalurkan dan apabila
terlanjur disalurkan, diperhitungkan dengan penyaluran tahap berikutnya
atau diperhitungkan dengan jenis transfer lain.
Adapun rekomendasi kebijakan penyaluran untuk jangka menengah/panjang
adalah sebagai berikut:
a. perlu dicoba penyaluran DAK dengan sistem pembayaran pendahuluan
(reimbursement system) atau output-based DAK, khususnya untuk DAK
bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini telah diterapkan
untuk mekanisme hibah pusat ke daerah.
b. Penerapan reimbursement system diutamakan bagi pemerintah daerah
yang memiliki SiLPA tinggi dan mempunyai kapasitas fiskal tinggi. Hal ini
dimaksudkan sebagai bentuk “disinsentif” atas pengelolaan APBD yang
kurang baik yang ditandai dengan tingginya SiLPA.
c. Untuk pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah, mekanisme
DAK seperti saat ini masih perlu diterapkan.
b. Kebijakan Pelaporani. Untuk mengatasi adanya perbedaan format laporan antara yang ditetapkan
dalam SEB DAK dan juknis DAK, perlu adanya format standar yang dapat
dipakai oleh seluruh K/L pembina DAK. Hal ini untuk mengurangi beban
kerja SKPD dalam menyusun laporan dan mempermudah daerah dalam
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK sehingga laporan dapat
disampaikan lebih tepat waktu. Beberapa data teknis yang dapat dibutuhkan
tetapi tidak dapat diakomodasi dalam format laporan standar tersebut dapat
dipisahkan dalam lampiran tersendiri.
ii. Guna mempermudah dan mempercepat pelaporan dari daerah, perlu
digunakan satu aplikasi yang memungkinkan penyampaian laporan secara
elektronik. Web-Based Monitoring System (WBRS) yang dikembangkan oleh
80 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Kementerian Keuangan dan telah diuji coba dapat dipilih sebagai aplikasi
pelaporan DAK. Penggunaan aplikasi ini dapat mengatasi perbedaan alur,
waktu, dan format laporan yang saat ini terjadi.
c. Kebijakan Monitoring dan Evaluasi
perlunya peningkatan efektivitas monitoring dan evaluasi DAK agar hasil
monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara langsung menggambarkan
manfaat yang sesungguhnya bagi perbaikan kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, antara lain melalui:
• metodologi monitoring dan evaluasi yang tepat, baik yang terkait dengan
pemantauan fisik di lapangan maupun mekanisme penyampaian laporan
periodik secara elektronik;
• basis data pendahuluan (baseline data) yang menjadi tolok ukur pengukuran
keberhasilan pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.
81Daftar Pustaka
DAfTAR PUsTAKA
Bahl, Roy W., 1999. Bahl, Roy (1999): “Implementation rules for !scal
decentralization”, International Studies Program Working Paper 99–1,
Georgia State University, Atlanta, Georgia
______, 2000. Intergovernmental Transfers in Developing and Transition
Countries: Principles and Practice. The World Bank, Washington.
_____¬_, 2001. "Fiscal Decentralization, Revenue Assignment, And The Case
For The Property Tax In South Africa," International Center for Public Policy
Working Paper Series, at AYSPS, GSU, International Center for Public
Policy, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University
paper0107, International Center for Public Policy, Andrew Young School
of Policy Studies, Georgia State University.
Baker, G. P. 1992. Incentive Contracts and Performance Measurement. Journal
of Political Economy, 100 (3), 598-614.
Barnow, Burt S., 2000. Exploring the Relationship between Performance
Management and Program Impact: A Case Study of the Job Training
Partnership Act, Journal of Policy Analysis and Management 19, no. 1
(2000): 118-141.
Bird, Richard M and Smart, Michael, 2002. Intergovernmental Fiscal Transfers:
International Lessons for Developing Countries. World Development Vol.
30, No. 6, PP. 899-912. Elsevier Science Ltd. Great Britain.
Devas, Nick, et al, 2008. Financing Local Government, Commonwealth
Secretariat Local Government Reform Series, London.
82 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
Heckman, James J. & Heinrich, Carolyn J. & Smith, Jeffrey A., 2002. "The
Performance of Performance Standards," IZA Discussion Papers 525,
Institute for the Study of Labor (IZA)
Kravchuk, Robert S., and Ronald W. Schack. 1996. Designing Effective
Performance Measurement Systems under the Government Performance
and Results Act of 1993. Public Administration Review 56, no. 4 (1996):
348-358
Maddick, H. 1983. Democracy, Decentralization and Development. Asia
Publishing House, London.
Murphy, K. R., & Cleveland, J. N. 1995. Understanding Performance Appraisal.
Social, Organizational, and Goal-Based Perspectives, Thousand Oaks,
CA: Sage.
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 2001.
“Evaluation Feedback for Effective Learning and Accountability.” Paris:
OECD/ DAC.
Romzek, B., 1998. Where the buck stops: Accountability in reformed
organizations. In: P. Ingraham, J. R. Thompson & R. P. Sanders (Eds),
Transforming government: Lessons from the reinvention laboratiories.
San Francisco.
Shah, Anwar, 2004. "Fiscal decentralization in developing and transition
economies: progress, problems, and the promise," Policy Research
Working Paper Series 3282, The World Bank.
______, 2006: “A Practitioner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers”,
Policy Research Working Paper, the World Bank, October 2006 (Shah,
(A), October 2006)
83Daftar Pustaka
Sidik, Mahfud (2004) “Indonesia’s Imbalance Decentralization and Its Future
Direction for a Greater Taxing Power to Sub-National Governments” in
Heru Subiyantoro and Singgih Riphat (eds). Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi (Fiscal Policy: Opinion, Concept, and
Implementation). Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Sekretariat Bersama DAK, Kementerian Dalam Negeri. 2014. Laporan Akhir
Dana Aloksi Khusus 2013.
UNDP, 2009. Handbook of Planning, M&E for Development Result. New York.
______, 2010. Result Based Management Handbook: Strengthening RBM
Harmonization for Improved Development Results.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
_______, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
_______, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
_______, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
_______, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2004 tentang Dana
Perimbangan.
_______, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 04/PMK07/2008 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 21/PMK07/2009 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK07/2010 Tentang
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
84 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di Daerah
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 06/PMK07/2012 Tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 188/PMK.07/2012 tentang Hibah
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 201/PMK.07/2012 Pedoman Umum
dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013.
_______, Peraturan Menteri Keuangan No. 183/PMK07/2013 Tentang
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
_______, Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
_______, Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri
No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
_______, Permendagri No. 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Dana Alokasi Khusus Di Daerah.
_______, Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS,
Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri No. 0239/M.PPN/11/2008,
SE No. 1722/MK 07/2008, dan No. 900/3556/SJ tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemantauan Teknis Pelaksanaan dan Evaluasi Pemantauan
Dana Alokasi Khusus (DAK).
_______, Pedoman Opersional dan Manual Proyek Pemerintah Daerah dan
Desentralisasi (P2D2). 2010.
86 Laporan Monev Evaluasi Kebijakan Penyaluran, Pelaporan, dan Monev DAK di DaerahK E M E N T E R I A N K E U A N G A N R E P U B L I K I N D O N E S I ADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN