laporan pbl 4 fix
DESCRIPTION
pblTRANSCRIPT
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 4 (LUTFI)
BLOK NEFROURINARY SYSTEM
“BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA”
Tutor : dr. Nur Signa Aini Gumilas, M.Biotech
Kelompok 6
1. Lutfi Maulana G1A011052
2. Annisa Farah Fadhilah G1A011053
3. Tri Susanti Wahyuputri G1A011054
4. Auladi Mizani G1A011055
5. Alvita Mega Kumala G1A011056
6. Aqmarina Rachmawati G1A011057
7. Ahmad Albera G1A011058
8. Arrosy Syarifah G1A011059
9. Ainul Mardliyah G1A011060
10. Go Ferra Marchela GIA011061
11. Aryo Widagdho G1A007129
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Informasi 1
Tn. Senpai, usian 65 tahun datang ke IGD RSMS dengan
keluhan tidak bia buang air kecil sejak 2 hari sebelum masuk RS.
Informasi 2
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien harus mengedan dulu bila akan
kencing dan air kencing baru keluar setelah di tunggu beberapa saat.
Pasien mengeluh pancaran air kencingnya lemah, alirannya terputus-
putus dan menetes setelah kencing. Pasien sering merasakan nyeri saat
buang air kecil dan marasakan tidak nyaman pada perut bagian bawah
tengah. Pasien sering merasakan sangat ingin kencing, merasa tidak
puas setelah buang air kecil dan merasa masih ada sisa air kencing. Hal
ini membuat pasien berkenginan untuk kencing lagi meskipun baru 2-3
jam yang lau buang air kecil.
Pada malam hari pasien sering terbangun untuk kencing
sampai ± 5 kali. Kencing pasien tetap tidak lancar mskipun pasien
berusaha berubah posisi seperti tiduran sesaat sebelum buang air kecil.
Dua hari sebelum masuk RS, keluhan dirasakan makin berat
dan sangat mengganggu sehingga pasien memutuskan untuk datang ke
IGD RSMS. Riwayat penyakit yang sama disangkal, riwayat trauma
pada daerah alat kelamin disangkal, riwayat nyeri saat kencing
disangkal, riwayat kencing batu disangkal, riwayat kencing darah
disangkal.
Informasi 3
Hasil Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 16x/menit
Nadi : 100x/ menit
Suhu : 36,5 C
Kepala : dalam batas normal
Thorax : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : distensi suprapubikk, teraba massa suprapubik, nyeri tekan
(+)
Pemeriksaan Rectal toucher (RT) Setelah dilakukan pemasangan
kateter
Tonus sfingter anus cukup, ampula rekti tidak kolaps, mukosa rektum
licin, teraba pembesaran pada arah jam 11-1, konsistensi kenyal, tidak
bernodul, nyeri tekan (-)
Informasi 4
Pemeriksaann laboratorium
Hb 13 gr%, Leukosit 8000/mm3, Trombosit 250.000/mm3, Ureum darah
23 mg/dl, Kreatinin 0,9 mg/dl, GDS 110mg/dl, Proteinuria (-)
Pemeriksaan Urin
Leukosit 0/LPB, Eritrosit 0/LPB, silinder leukosit (-), Protein (-), Nitrat
(-)
USG
Ginjal dan vesika urinari dalam batas normal. Transrectal USG=
pembesaran prostat volume +/- 43 cc tanpa area hipo/hiper echoic
Informasi 5
Tn Senpai menjalani operasi TURP dan selanjutnya bisa BAK normal
lagi. Jaringan prostat dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk
dilakukan pemeriksaan.
Diagnosis PA : Benign Prostat Hyperplasia
BAB II (AINUL)
PEMBAHASAN
A. Klarifikasi Istilah
1. Anuria :
Volume urin yang hanya sebesar <100ml / hari (Dorland,
2012)
2. Disuria :
Disuria adalah nyeri pada saat miksi dan terutama
desebabkan karena inflamasi pada vesika urinaria atau uretra.
Seringkali nyeri ini dirasakan paling sakit di sekitar meatus uretra
eksternus. Disuria yang terjadi pada awal miksi biasanya berasal
dari kelainan pada uretra, dan jika terjadi pada akhir miksi adalah
kelainan pada buli-buli. Perasaan miksi yang sangat nyeri dan
disertai dengan hematuria disebut stranguria (Purnumo, 2011).
3. Retensi Urin :
Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk
mengeluarkan urin yang terkumpul dalam vesika urinaria hingga
kapasitas maksimal vesika urinaria terlampaui (Purnomo, 2011).
Retensi urin adalah suatu keadaan penumpukan urin di
kandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk
mengosongkannya secara sempurna (Brunner, 2010).
B. Batasan Masalah
Identitas : Tn Senpai
Anamnesis
1. Keluhan utama : Tidak bisa buang air kecil
2. RPS
a. Onset : 2 hari yang lalu
b. Kualitas : -
c. Kuantitas : -
d. Faktor memperberat : -
e. Faktor memperingan : -
3. Gejala penyerta : -
4. RPD : -
5. RES : -
6. RPK : -
C. Rumusan Masalah
1. Penyebab retensi urin ?
2. Mekanisme miksi ?
3. Anamnesis apa yang dapat ditanyakan untuk penegakan
diagnosis Tn. Senpai?
D. Analisis Masalah
1. Penyebab retensi urin dibagi berdasarkan lokasinya adalah
sebagai berikut (Brunner, 2010) :
a. Supra vesikal berupa
1) Kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis
2) Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian
ataupun seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan
mesenterasi pelvis
3) Kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis,
atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang
hebat
b. Intravesikal
1) kelemahan otot detrusor karena lama teregang
2) atoni pada pasien DM atau penyakit neurologist
3) divertikel yang besar
c. Infravesikal
1) pembesaran prostat
2) kekakuan leher vesika
3) batu kecil
4) tumor
5) kelainan patologi uretra
Selain itu, retensio urin juga dapat disebabkan oleh
kecemasan dan trauma psikologik. Serta beberapa obat mencakup
preparat antikolinergik antispasmotik (atropine), preparat
antidepressant, antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
(Pseudoefedrin hidroklorida = Sudafed), preparat penyekat
adrenergic (Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin)
(Brunner, 2010).
Penyebab retensi urin (Selius & Subed, 2008) :1. Obstruksi
a. Laki-lakiBenign prostatic hyperplasia; meatal stenosis; parafimosis; fimosis; kanker prostat
b. Perempuan
Organ prolaps (cystocele, rectocele, uterine prolapse); Massa di pelvis (gynecologic malignancy, uterine fibroid, ovarian cyst);
c. KeduanyaAneurysmal dilation; calculi vesica uterina; bladder neoplasm; fecal impaction; gastrointestinal atau retroperitoneal malignancy/massa; striktur uretra, Batu, edema
2. Infeksi dan inflamasia. Laki-laki
Balanitis; abses prostat; prostatitisb. Perempuan
Vulvovaginitis akut; vaginal lichen planus; vaginal lichen sclerosis; vaginal pemphigus
c. KeduanyaBilharziasis; sistitis; echinococcosis; Sindrom Guillain-Barré; virus herpes simplex; Penyakit Lyme; Abses periurethra; transverses myelitis;
sistitis tubercular; urethritis; virus varicella-zoster.
2. Mekanisme Miksi (ABE)
Mekanisme Miksi (Snell, 2006)
Vesica urinaria terisi 300ml
Peregangan otot vesica urinaria
Impuls aferen medula spinalis s2-s4
Periaquaductul grey saraf parasimpatis n. Sphlancini
pelvici
Otak (corteks cerebri) kontraksi m. Detrusor vesicae
Dan relaksasi m. Sphincter vesicae
Nukleus barrington
Terbukanya ostium urethra interna
Hambat kerja nukleus onuv
Disertai kontraksi dinding abdomen
dan
Impuls efferen n.pudendus relaksasi m. pubococcygeus
Relaksasi m. Sphincter urethra cervix vesicae turun
Urin keluar dari tractus urinarius keluar tubuh
3. Anamnesis yang ditanyakan selanjutnya adalah?
- Apakah ada keluhan kencing selalu mengedan?
- Pancaran lemah dan terputus putus ?
- Nyeri saat buang air kecil?
- Kencing di malam hari?
- Kencing ada darah?
- Konsumsi obat TBC (eritromicin)?
- Ada trauma?
- Ada penyakit kencing batu?
E. Diagnosis Diferensial
Striktura Uretra, Benign Prostat Hyperplasi, Prostatitis
DD Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
BPH Gejala obstruktif dan BPH biasanya dapat Pemeriksaan
gejala iritatif :
Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
Miksi terputus (Intermittency)
Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
Nokturia Miksi sulit ditahan
(Urgency) Disuria (Nyeri
pada waktu miksi)
diraba sebagai benjolan
yang kenyal di dinding
depan rektum dengan
batas atas yangdapat
diraba dan kalau sudah
besar sekali batas atas
tidak dapat diraba.
Apabila batas atas
masih dapat diraba
biasanya berat prostat
diperkirakan kurang
dari 60gram.
laboratorium pada
penderita ini kadar
ureum dan kreatininnya
sempat tinggi namun
setelah dikonsulkan ke
bagian penyakit dalam dan
dilakukan pemeriksaan
laboratorium ulang, kadar
ureum kreatinin penderita
dalam batas normal.
Kadar PSA biasanya
mengalami peningkatan.
Pemeriksaan radiologis
yang dapat menunjang
diagnosa BPH antara
lain BNO, I V P ,
U S G .
Prostatitis Demam,
Menggigil
Sering buang air
kecil pada malam
hari
Kesulitan berkemih
LUTS + tanda-tanda
infeksi
DRE: colok dubur sangat
nyeri, kadang terdapat
pus setelah colok dubur
PSA normal
TRUS: pembesaran
prostat yg hipoechoic
Adanya leukosit dan
bakteri dalam sekret
Disuria
Perbesaran prostat
Hematuria
Rasa sakit pada
saat ejakulasi.
Rasa sakit & tidak
nyaman pada perut
bag. daerah (penis,
testis, &perineum)
Urine bernanah
Terasa panas saat
BAK saat ejakulasi
prostat
Striktur
Urethrae
Pancaran urin yang
kecil dan
bercabang
Disuria
Kadang sampai ada
retensi urin
Untuk mengetahui keadaan
penderita dan juga untuk
meraba fibrosis di uretra,
infiltrat,abses atau fistula
Ureterosistograf :
melihat lokasi striktur,
panjangnya, besar
kecilnya dan jenisnya
Uretroskopi : untuk
mengetahui buntunya
saluran urethra
F. Sasaran Belajar (RINA)
1. Jelaskan mengenai anatomi kelenjar prostat?
2. Bagaimana epidemiologi BPH?
3. Jelaskan definisi dari BPH!
4. Apakah etiologi penyakit BPH?
5. Sebutkan faktor resiko BPH!
6. Sebutkan penegakkan diagnosis yang perlu dilakukan untuk
menegakkan BPH!
7. Bagaimana patogenesis terjadinya BPH?
8. Bagaimana patofisiologi tanda dan gejala BPH?
9. Bagaimana penatalaksanaan BPH?
10. Apa saja komplikasi BPH?
11. Bagaimana prognosis BPH?
G. Hasil Sasaran Belajar
Diagnosis Kerja :
Benign Prostat Hyperplasia
1. Anatomi kelenjar prostat
Prostat lobus medius
Prostat lobus posterior
Prostat lobus anterior
Prostat lobus
lateral
dextra et
sinistra
Anatomi prostat
Prostat merupakan kelenjar yang terdiri dari jaringan
fibromuskuler yang berfungsi untuk mensekresi cairan semen yang
berisikan asam sitrat dan fosfat asam yaitu merupakan cairan alkali yang
berfungsi untuk menetralkan asam vagina. Prostat berada di antara facies
inferior dari collum vesicae urinaria dan facies superior diafragma
urogenitale. Basis prostat berada di facies superior prostat yang berbatasan
dengan collum vesicae dan apex prostat berada di facies antero-inferior
prostat disaat urethra keluar dari prostat Ductus ejaculatorius menembus
bagian atas facies posterior prostat bermuara ke urethra pars prostatica
pada pinggir lateral utriculus prostaticus (Snell, 2006).
Batas-batas prostat adalah (Snell, 2006)
a. Superior: facies inferior vesica urinaria tepatnya dibawah collum
vesicae dengan urethra menembus tepat di tengah dari facies
superior prostat.
b. Inferior : berada diatas facies superior diafragma urogenitale,
uretra meninggalkan prostat tepat di apex facies anterior prostat
bagian inferior.
c. Anterior : berbatasan dengan simphisis os pubis, dipisahkan oleh
lemak ekstraperitoneal di cavum retzius. Di samping kanan dan
kiri dari linea mediana terdapat ligamentum yang memfiksasi
prostat ke facies posterior simphisis os pubis yaitu ligamnetum
puboprostaticum yang merupakan penebalan fascia pelvis.
d. Posterior : berbatasan langsung dengan fascies anterior ampulla
recti dipisahkan oleh septum rectovesicale (fascia denonvillier).
Prostat dibagi menjadi lima lobus yaitu lobus anterior, lobus posterior,
lobus medius, lobus lateral dextra dan sinistra. Prostat lobus anterior
hampir tidak memiliki kelenjar sama sekali, sedangkan pada prostat lobus
medius dan lobus lateral merupakan lobus yang memiliki paling banyak
kelenjar. Prostat diperdarahi oleh arteri vesicalis inferior, arteri rectalis
media dan plexus venosus prostatica. Prostat dipersarafi oleh cabang dari
plexus hypogastricus inferior dan aktivitas saraf simpatis akan
menyebabkan kontraksi dari otot-otot disekitar kelenjar prostat sehingga
mengeluarkan cairan semen (Snell, 2006).
2. Definisi BPH (FERA)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius. BPH (Benigna Prostat
Hiperplasia) merupakan pembesaran adenomatous dari kelenjar
prostat, lebih dari setengahnya dari orang yang berusia di atas 50
tahun dari 75% pria yang usianya di atas 70 tahun menderita gejala
seperti ini (RSUD M. Yunus, 2007).
3. Etiologi BPH
Penyebab Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) hingga
sekarang masih belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (RSUD M. Yunus, 2007).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah (RSUD M. Yunus, 2007):
a. Teori Hormonal
b. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan).
c. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena
berkurangnya sel yang mati.
d. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
e. Teori Dehidrotestosteron (DHT).
4. Faktor resiko penyakit BPH?
Faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya BPH adalah
sebagai berikut:
a. Laki-laki yang memiliki umur ≥ 50 Tahun.
b. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan
kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin
pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena
pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Sesuai
dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun
secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat
pada usia 60 tahun keatas (Zucchetto, 2005).
c. Laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah menderita
BPH.
d. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar
bila pada anggota keluarganya ada yang menderita BPH
atau kanker Prostat. Dimana dalam riwayat keluarga ini
terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan fungsi gen
sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga
sel akan berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya
batas kendali (Cavendish, 2008).
e. Laki-laki dengan frekuensi yang rendah dalam
mengkonsumsi makanan berserat.
f. Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat
terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan
cukup lama di usus besar sehingga akan mencegah proses
inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel. Pada
sayuran juga didapatkan mekanisme yang multifaktor
dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti
karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol
(Nugroho, 2002).
g. Kebiasaan merokok.
h. Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada
rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen,
sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron (Platz,
2007).
i. Konsumsi alkohol.
j. Konsumsi alkohol berhubungan dengan peningkatan serum
estrogen dan penurunan kadar testosteron dan sex hormone-
binding globulin (Kang, 2004).
5. Epidemiologi BPH!
Hyperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan
jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria
mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30 tahun. Pertengahan dewasa ke-5,
prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi (Syamsuhidajat,
2007).
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum dikethui tetapi
berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur
50 tahun 20 % - 30 % penderita akan memerlukan pengobatan
untuk prostat hyperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung
pada golongan umur. Sebenernya perubahan – perubahan kea rah
terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai
pada perubahan – perubahan mikroskopik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar)
dan kemudian baru manifest dengan gejala klinik (Syamsuhidajat,
2007).
Berdasarkan angka sutopsi perubahan mikroskopik pada
prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila
perubahan ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi
anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50 %
dan pada usia 80 tahun sekitar 80 %. Sekitar 50 % dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik
(Syamsuhidajat, 2007).
6. Penegakan diagnosis BPH! (PUTRI)
Penegakan Diagnosis Benign Prostat Hyperplasia (Mansjoer,
2000) :
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan iritatif, yang dikenal
dengan LUTS ( Lower Urinary Tract System)
1. Gejala Obstruktif : Pancaran lemah pada miksi ( Low
Force Stream ), miksi harus menunggu lama
( Hesitancy), harus mengedan ( Straining ), kencing
terputus-putus ( Intermittency), dan waktu miksi yang
memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin
2. Gejala iritatif : Sering miksi ( frekuensi), terbangun
untuk miksi pada malam hari ( nokturia ), perasaan
yang mendesak untuk miksi (Urgensi ), nyeri pada saat
miksi ( disuria).
b. Pemeriksaan Fisik
1. Rectal Toucher : Hiperplasia Prostat, konsistensi
kenyal, permukaan rata, asimetri, dan menonjol ke
dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat batas atas semakin sulit diraba.
2. Abdomen : Massa di suprapubik, kandung kencing
terasa penuh, nyeri tekan (+)
c. Pemeriksaan penunjang pada BPH (Purnomo, 2011)
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Pada pasien BPH yang
sudah mengalami retensi urine dan telah memakai
kateter, peme-riksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria
maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Dapat dilakukan dengan metode BUN dan kreatinin.
Peningkatan pada kedua metode ini menunjukan
adanya kelaian pada kelenjar prostat.
3. Pemeriksaan PSA (prostat spesifik antigen)
PSA merupakan senyawa yang normal ada di dalam
testis. Psa di sitesis oleh epitel prostat. Dengan adanya
peningkatan psa menunjukan laju pertumbuhan yang
cepat terjadi pada prostat.
Normal nya
40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
4. Skoring WHO
Merupakan sistem skoring yang di anjurkan oleh who
untuk menilai gejala yang timbul sehingga bisa di
lakukan penatalaksanaan dengan tepat.
5. Pemeriksaan residual urin
Untuk melihat sisa urin dalam kandung kemih.
Normalnya 0.009 – 2.24 ml dengan rata-rata 0.53 ml
6. Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi
pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian atas
maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Pemeriksaan
pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP
atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan
adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas
sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya
sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan
penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu
pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH,
kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan
adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c)
insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan
USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah
menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
7. Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd
guna memperkirakan besarnya prostat atau mencari
kelainan pada buli-buli saat ini tidak
direkomendasikan10. Namun pemeriksaan itu masih
berguna jika dicurigai adanya striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai
bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan
adanya karsinoma prostat.
8. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine
selama proses miksi secara sederhana dan elektronik
secara sederhana dapat kita lakukan tes dengan
menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
yang berlangsung.
7. Patogenesis BPH (ARYO)
Berikut beberapa teori mengenai pembesaran lobus glandula prostat.
a. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
penting bagi pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosterone di dalam sel prostat oleh enzim 5 alfa reduktase
dngan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk komplek
DHT-RA pada inti sel dan selajutnya terjadi sintesis growth
factor yang menstimulais pertumbuhan sel prostat. Pada BPH,
kadar DHT relative normal akan tetapi aktfitas enzim 5 alfa
reduktase dan jumlah RA lebih banyak. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak (Purnomo, 2010).
b. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Pada usia tua, kadar testosterone menurun sedangakan kadar
estrogen tetap. Padahal estrogen berpengaruh pada proliferasi
sel prostat dengan meningkatkan sensitifitas sel prostat terhadap
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgrn,
dan menurunkan jumlah kematian sel prostat (apoptosos).
Akibatnya sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
panjang sehingga masa prostat menjadi lebih besar (Purnomo,
2010).
c. Interaksi stroma – epitel
Setelah sel stroma mendapat stimulasi DHT dan estradiol, sel
stroma akan mensintesis growth factor yang selanjutnya
memyebabkan proliferasi sel stroma itu sendiri dan sel epitel
(Purnomo, 2010).
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
prolifersi sel dengan apoptosis. Berkurangnya jumlah sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat
menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa
prostat (Purnomo, 2010).
e. Teori sel stem
Dalam kelenjar prostat dikenal sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan proliferasi yang sangat ekstensif. Sel
ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen. Jika
hormone ini turun , maka menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi pada BPH adalah sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel stem sehingga terjadi peroduksi yang berlebihan
dari sel stroma dan sel epitel (Purnomo, 2011).
8. Patofisiologi BPH (NINIS)
?????????????????????????????????????????????????????????
9. Penatalaksanaan non medika mentosa dan medika mentosa BPH?
TATA LAKSANA BPH (OCY)
Tujuan terapi pada pasien BPH Tujuan terapi pada pasien BPH
adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ditawarkan
pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun
kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihannya adalah mulai dari
a. Tanpa terapi (watchful waiting)
Watchful waiting artinya pasien tidakmendapatkan terapi
apapun tetapi perkem-bangan penyakitnya keadaannya tetap
diawasi oleh dokter Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien
BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak
menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien
tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya (Lepor, 2002).
Contoh :
1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam
2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat)
3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolami
4) kurangi makanan pedas dan asin
5) jangan menahan kencing terlalu lama5.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan
ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan,
IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual
urine5. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain (Lepor,
2002).
b. Medikamentosa
Antiarrhythmics Disopyramide; procainamide; quinidine
Anticholinergics Atropine; belladonna alkaloids; dicyclomine; flavoxate; glycopyrrolate hyoscyamine; oxybutynin; propantheline; scopolamine
Antidepressants Amitriptyline; amoxapine;
doxepin; imipramine; maprotiline
nortriptyline
Antihistamin Brompheniramine;
chlorpheniramine;
cyproheptadine;
diphenhydramine; hydroxyzine
Antihypertensives Hydralazine; nifedipineAntiparkinsonian agents Amantadine; benztropine;
bromocriptine; levodopa
trihexyphenidyl
Antipsychotics Chlorpromazine; fluphenazine; haloperidol; prochlorperazine; thioridazine; thiothixene
Muscle relaxants Baclofen; cyclobenzaprine; diazepam
Sympathomimetics (Alfa dan beta adregenik)
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk
mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume
prostat sebagai kom-ponen statik. Jenis obat yang digunakan
adalah
1) Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
preparat non selektif adalah fenoksibenzamin, preparat
selektif masa kerja pendek adalah prazosin, afluzosin, dan
indoramin dan preparat selektif dengan masa kerja lama
adalah doksazosin, terazosin, dan tamsulosin. Pengobatan
dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi
tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah
obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama kali
diketahui mampu memper-baiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini menyebab-kan
komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya
adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain
pada sistem kardiovaskuler (Lepor, 2002).
2) inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama
yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α
redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik
menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran
prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai
15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaan urine. Finasteride digunakan bila volume prostat
>40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian
finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi
impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat
menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang
semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini
kanker prostat13 (Lepor, 2002).
3) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai
untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi
data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi
bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan
kadar sex hormon binding globulin (SHBG), inhibisi basic
fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth
factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin,
efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan
memperkecil volume prostat (Tubaro, 2000).
c. terapi intervensi (VITA)
1) Pembedahan
1) Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang
telah mengganggu adalah pembedahan, yakni mengangkat
bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Cara
ini memberikan perbaikan skor IPSS dan secara obyektif
meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja pembedahan
ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat
operasi maupun pasca bedah. Prostatektomi terbuka
merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling
efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan
memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan
terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal dan
pen-dekatan retropubik Pendekatan transvesika hingga saat
ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai
dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan
hernia inguinalis
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah
menimbulkan komplikasi diantaranya (Tubaro, 2000) :
a) retensi urine karena BPO
b) infeksi saluran kemih berulang karena BPO
c) hematuria makroskopik karena BPE,
d) batu buli-buli karena BPO,
e) gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO,
f) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO
2) Laser Prostatektomi
Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG,
Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat
dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau
intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-650C akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C
mengalami vaporisasi Jika dibandingkan dengan
pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit
menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat
tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala
miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping itu
terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap
tahun40,41,42. Kekurangannya adalah: tidak dapat
diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (Tubaro,
2000).
.
3) Invasif Minimal
a) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC
sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat.
Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain
adalah:
(1) TUMT (transurethral microwave thermotherapy),
(2) TUNA (transurethral needle ablation),
(3) HIFU (high intensity focused ultrasound),
(4) Laser.
Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik
hasil klinik yang didapatkan, tetapi makin banyak
menimbulkan efek samping. Teknik termoterapi ini
seringkali tidak memerlukan mondok di rumah sakit,
namun masih harus memakai kateter dalam jangka waktu
lama (Rosette, 2001).
b) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk
mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent
dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat
leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer
dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang
tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan.
Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi,
obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria (AUA,
2003).
Tabel 1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
Observasi Medika Mentosa Terapi intervensi
Pembedahan Invasif
minimal
Watchful waiting Antagonis
adrenergik-α
Inhibitor
reduktase-α
Fitoterapi
Prostatektomi
terbuka
Endourologi :
TURP
TUIP
TULP
Elektrovaporisasi
TUMT
HIFU
Stent Uretra
TUNA
ILC
10. Komplikasi BPH (MIZA)
Perdarahan pascaoperasi ISK
Retensi bekuan darahEjakulasi retrogradInkontinensia urin Striktura uretraBatu VUDivertikel HerniaHemoroidHematuria
11. Prognosis BPH
Kualitas baik jika dilalkukan prostatektomi
Daftar Pustaka :
AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign prostatic hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J Urol 170: 530- 547, 200.
Brunner. 2011. ’Retensio urin’ dalam ‘Kedaruratan Non Medik dan Bedah’. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. p. 95-98.
De la Rossette JJMH, Alivizatos G, Madersbacher S, Nording J, Emberton M, dan Sanz CR. EAU guidelines on benign prostatic Hyperplasia (BPH). Eur Urol 40: 256-263, 2001
Deters, Levi A. 2013. Benign Prostatic Hypertrophy. Department of Urology. Dartmouth Hitchcock Medical Center. Diperoleh dari: http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Diakses pada 22 September 2013. Pg Practice Essentials.Dorland. 2012. Kamus Kedokteran Dorland edisi 25. Jakarta:EGC
Fairman, Jennifer. 2005. Prostatitis: Symptomps, Cause and Treatment. American Urological Association. Foundation Education Research Advocacy. Pg 2.Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co.,1337-1378, 2002
Nabili, Siamak T. 2013. Urethral Stricture. What are the symptoms of urethral stricture?. MedicineNet Inc. MedicineNet.com We bring doctor,s knowledge to you. Diperoleh dari: http://www.medicinenet.com./urethral_stricture/page2.htm#what_are_the_symptoms_of_urethral_stricture. Diakses pada 22 September 2013. Pg 2.Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar – dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta:
Sagung Seto
Selius, B.A. dan Rajesh Subed. 2008. Urinary Retention in Adult: Diagnosis and Initial Management. American family physician. Vol 77:5
American Family Physician 3232
March 1, 2008 ◆ Volume 77, Number 5 www.aafp.org/afp
Snell S. Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Terris, Martha K. 2013. Urethritis. Department of Surgery, Section of Urology. Medical College of Georgia. Diperoleh dari: http://emedicine.medscape.com/article/438091-overview. Diakses pada 22 September 2013. Pg Practice Essentials.Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant differences in randomised controlled trials? Eur Urol 38(suppl): 7-17, 2000