laporan pelaksanaan tim perekonomian global kementerian keuangan
TRANSCRIPT
i
LAPORAN
PELAKSANAAN TIM PEREKONOMIAN GLOBAL
KEMENTERIAN KEUANGAN
NOMOR LAP- 7 /KF.4/2014
JAKARTA, 29 DESEMBER 2014
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan anugerahNya kepada kita semua.
Sebagai suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, perkembangan
ekonomi global akan menjadi sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Setiap kebijakan
dan isu-isu ekonomi yang terjadi di suatu negara akan mempengaruhi perekonomian Indonesia
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menimbulkan kebutuhan perlunya
pemantauan secara intensif untuk mendapatkan informasi terkini mengenai kebijakan dan isu-
isu ekonomi dunia, terutama negara-negara yang menjadi major trading partner Indonesia
seperti Amerika, Tiongkok, Jepang, dan Eropa.
Laporan Tim Perekonomian Global 2014 ini memuat dua informasi utama yaitu
perkembangan ekonomi global terkini dalam periode satu tahun terakhir dan tantangan
perekonomian global ke depan. Dengan harapan bahwa informasi laporan ini dapat menjadi
masukan bagi pemangku kebijakan untuk mengantisipasi maupun mengambil langkah
kebijakan demi perbaikan perekonomian Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terlaksananya kegiatan tim dan kerjasamanya dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan
ini dapat memberikan manfaat bagi kebaikan perekonomian Indonesia. Saran dan masukkan
atas laporan ini akan sangat kami terima untuk perbaikan ke depannya.
Jakarta, Desember 2014
Ketua Tim
Kindy Rinaldy Syahrir NIP 19721122 200212 1 001
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Inside Cover ...................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................................. ii
Daftar Isi ............................................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II. PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
2.1. Perkembangan Perekonomian Negara Maju .............................................................. 4
2.1.1 Amerika Serikat ............................................................................................... 4
2.1.2 Eropa .............................................................................................................. 6
2.1.3 Jepang ............................................................................................................ 7
2.2. Perkembangan Perekonomian Negara Berkembang ................................................. 9
2.2.1 Tiongkok ......................................................................................................... 9
2.2.2 India ................................................................................................................ 12
iv
2.2.3 Asean 5........................................................................................................... 14
2.3. Perdagangan Dunia ................................................................................................... 15
BAB III. PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN & HARGA KOMODITAS GLOBAL . 18
3.1. Perkembangan Indeks Saham Global ........................................................................ 18
3.2. Perkembangan Obligasi Global .................................................................................. 19
3.3. Perkembangan Pasar Valas ....................................................................................... 20
3.1. Harga Komoditas Dunia dan Inflasi ............................................................................ 22
BAB IV. TANTANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL KE DEPAN .................................... 26
4.1. Likuiditas Global ......................................................................................................... 27
4.2. Harga Komoditas Dunia ............................................................................................. 28
LAMPIRAN .........................................................................................................................
1. Estimasi Model Miniatur Ekonomi Global ......................................................................
2. Hasil Estimasi Unrestricted Vector Autoregression ........................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perekonomian dunia bergerak begitu dinamis dari tahun ke tahun. Setelah
mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di tahun 2010, perkembangan perekonomian
dunia mulai mengalami perlambatan di tahun 2011, dari 5,2 persen menjadi 3,9 persen.
Perlambatan ini berlanjut di tahun 2012 dan 2013 dengan pertumbuhan masing-masing
sebesar 3,2 persen dan 3,0 persen. Pemulihan ekonomi di negara-negara maju maupun
berkembang belum dapat terpenuhi secara signifikan.
Sepanjang tahun 2014, perekonomian global belum menunjukkan pemulihan yang
signifikan. Pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan, baik negara maju maupun
berkembang cenderung moderat. Di kawasan negara-negara maju, perbaikan ekonomi
terlihat di Amerika Serikat (AS), sedangkan Eropa dan Jepang masih mengalami tekanan,
khususnya risiko deflasi. Sementara itu di kawasan negara-negara berkembang, baik
Tiongkok, India maupun negara-negara ASEAN juga masih menunjukkan moderasi
pertumbuhan.
Perbedaan kondisi di negara-negara maju juga berdampak pada perbedaaan
kebijakan yang ditempuh setiap negara. AS mulai memperketat kebijakan moneternya,
namun Eropa dan Jepang justru menambah stimulus moneternya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mencegah terjadinya deflasi yang berkepanjangan. Sementara
kebijakan fiskal juga bervariasi.
Perkembangan ekonomi global yang masih dipenuhi oleh risiko ini telah mendorong
IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2014. Pada April 2014,
pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai 3,6 persen, kemudian pada Juli 2014
direvisi menjadi 3,4 persen, dan terakhir pada Oktober 2014 IMF kembali merevisi
pertumbuhan ekonomi dunia 2014 menjadi 3,3 persen.
Di bandingkan 2013, pertumbuhan ekonomi dunia 2014 diperkirakan tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Pemulihan ekonomi di negara-negara maju yang
semula tampak akan terjadi, ternyata tidak terpenuhi secara keseluruhan. Dengan kondisi
tersebut, pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan akan mencapai 1,8
persen selama 2014, masih meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 1,4 persen.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan akan melambat dari 4,7
persen menjadi 4,4 persen pada 2014.
2
1.2. Tujuan
Laporan ini bertujuan untuk melihat bagaimana perkembangan perekonomian global
selama tahun 2014. Termasuk di dalamnya perkembangan di negara-negara maju, negara-
negara berkembang, serta kebijakan-kebijakan yang diambil baik dari sisi fiskal maupun
moenter. Di samping itu, laporan ini juga membahas mengenai perkembangan di sektor
keuangan global, harga komoditas dan inflasi global selama tahun 2014.
3
BAB II
PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
Setelah mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi di tahun 2010, perkembangan
perekonomian dunia mulai mengalami perlambatan yang dimulai sejak tahun 2011. Pada
tahun tersebut, perekonomian dunia melambat hingga mencapai 4,1 persen dari
sebelumnya yang mecapai 5,4 persen. Perlambatan ini berlanjut di tahun 2012 dan 2013
dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 3,4 persen dan 3,3 persen. Pemulihan
ekonomi di negara-negara maju maupun berkembang belum dapat terpenuhi secara
signifikan.
Di tahun 2014, perekonomian dunia diperkirakan akan tumbuh secara moderat
dengan angka pertumbuhan yang relatif sama dengan tahun sebelumnya yakni sebesar 3,3
persen. Pada proyeksi sebelumnya (April 2014), pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan
akan mencapai 3,6 persen. Namun seiring perkembangan yang terjadi dan risiko yang
semakin tampak, IMF merevisi ke bawah perkiraan pertumbuhan dunia. Pemulihan yang
terjadi di negara-negara maju tidak sepenuhnya terjadi. Indikator-indikator ekonomi AS
masih bergerak lebih baik dibandingkan Eropa dan Jepang.
Sementara di negara-negara berkembang, perlambatan terutama terjadi di Tiongkok
dan beberapa negara ASEAN. Perlambatan pertumbuhan Tiongkok, tekanan yang terjadi di
Rusia, situasi politik Thailand dan harga komoditas yang melemah selanjutnya akan
mempengaruhi permintaan eksternal di negara-negara berkembang. Di samping itu,
pengaruh pengetatan kebijakan moneter di AS juga dapat mempengaruhi volatilitas pasar
uang dan arus modal di negara-negara berkembang.
0,0
5,4
4,13,4 3,3 3,3
-4,0
-2,0
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
2009 2010 2011 2012 2013 2014f
Pertumbuhan Ekonomi Dunia (%)
Dunia Negara Maju Negara Berkembang
Sumber: WEO-IMF, Oktober2014
4
2.1. Perkembangan Perekonomian Negara Maju
Perkembangan krisis global di tahun 2012 yang disebabkan oleh utang publik di
negara-negara maju telah menekan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Pada tahun
2012 perekonomian negara maju hanya mampu tumbuh 1,2 persen setelah di tahun
sebelumnya tumbuh 1,7 persen. Kemudian di tahun 2013 kembali tumbuh secara moderat
sebesar 1,4 persen. Pada awalnya, di tahun 2014 perekonomian negara-negara maju
diperkirakan akan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia dengan
pertumbuhan di atas 2,0 persen. Namun melihat perkembangan risiko dan pemulihan
ekonomi negara-negara maju, akhirnya angka perkiraan terebut direvisi menjadi 1,8 persen.
Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju (persen)
Sumber: WEO-IMF, Oktober 2014
2.1.1. Amerika Serikat (AS)
Pada tahun 2013 perekonomian AS hanya tumbuh 2,2 persen, lebih rendah dari
tahun sebelumnya namun perkembangan indikator perekonomian AS lainnya menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Angka pengangguran AS pada bulan Desember 2013
mencapai 6,7 persen, yang merupakan angka terendah sejak tahun 2011. Kondisi ini
mendorong Bank Sentral AS (The Fed) mulai melakukan pengurangan stimulus moneternya
atau QE3 tapering secara bertahap. Sementara laju inflasi masih bergerak mix dan
cenderung rendah.
Memasuki tahun 2014 perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan, bahkan
pada kuartal II 2014 pertumbuhan ekonomi AS mencapai 4,6 persen (QoQ) atau 2,6 persen
(YoY), hal ini akhirnya mendorong The Fed mengakhiri stimulus moneternya pada bulan
Oktober 2014. Selanjutnya pada kuartal III 2014, AS tumbuh lebih lambat sebesar 3,9
persen (QoQ) atau 2,4 persen (YoY), namun angka tersebut berada di atas ekspektasi.
WEO Apr'13 WEO Okt'13 WEO Apr'14 WEO Okt'14
Negara Maju 1,2 1,4 2,2 2,0 2,2 1,8
AS 2,3 2,2 3,0 2,6 2,8 2,2
Eropa -0,7 -0,4 1,1 1,0 1,2 0,8
Jepang 1,5 1,5 1,4 1,2 1,4 0,9
2014 f2012 2013
Kawasan/
Negara
5
Sumber: Bloomberg
Tingkat pengangguran AS juga terus mengalami penurunan, bahkan pada bulan
Oktober 2014 telah mencapai 5,8 persen yang merupakan angka terendah selama tujuh
tahun terakhir. Sektor manufaktur AS mengalami ekspansi sepanjang tahun 2014. Sejak
bulan Mei 2014, produksi industri tumbuh di atas 4,0 persen (YoY), dan indeks manufaktur
terus berada di atas angka 50 yang mencerminkan terjadinya ekspansi. Dengan pemulihan
yang sedang berjalan tersebut, The Fed juga menargetkan akan meningkatkan suku bunga
acuannya pada pertengahan 2015 mendatang.
Sumber: Bloomberg
56,6
59
4,0
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
44
46
48
50
52
54
56
58
60
Kinerja Sektor Riil AS
Indeks Manufaktur Produksi Industri (persen, YoY)
5,9 5,8
1,7
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jan
-13
Fe
b-1
3
Ma
r-1
3
Ap
r-1
3
Ma
y-1
3
Jun
-13
Jul-
13
Au
g-1
3
Se
p-1
3
Oc
t-1
3
No
v-1
3
De
c-1
3
Jan
-14
Fe
b-1
4
Ma
r-1
4
Ap
r-1
4
Ma
y-1
4
Jun
-14
Jul-
14
Au
g-1
4
Se
p-1
4
Oc
t-1
4
Tingkat Pengangguran dan Laju Inflasi
Pengangguran (persen) Laju Inflasi (YoY, persen)
2,3 1,6 2,5 0,1 2,7 1,8 4,5 3,5
-2,1
4,6 3,9
3,32,8
3,1
2
1,31,6
2
3,1
1,9
2,6 2,4
-3,0
-2,0
-1,0
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0 Pertumbuhan PDB AS (persen)
% QoQ % YoY
6
2.1.2. Eropa
Kawasan Eropa pada tahun 2013 masih mengalami kontraksi sebesar 0,4 persen,
sebagai lanjutan resesi sejak 2012. Kontraksi ekonomi yang terjadi di Eropa disebabkan
oleh krisis utang di beberapa negara yang menyebabkan terbatasnya ruang fiskal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Kondisi tersebut menjadi lebih buruk dengan
meningkatnya angka pengangguran. Puncak pengangguran Eropa juga terjadi pada awal
2013 di mana tingkat pengangguran mencapai 12 persen. Spanyol, Yunani, Portugal, dan
Italia merupakan negara-negara yang berkontribusi tinggi terhadap tingkat pengangguran
kawasan tersebut, bahkan pengangguran Spanyol hingga saat ini masih berada pada
kisaran 25 persen. Menjelang akhir tahun 2013 baik indikator indeks produksi industri
maupun PMI menunjukkan perbaikan dengan tren positif yang mengindikasikan adanya
pemulihan ekonomi Eropa.
Berbagai kebijakan ditempuh baik oleh otoritas fiskal masing-masing negara maupun
otoritas moneter kawasan Eropa untuk terus memulihkan perekonomian mereka. European
Central Bank (ECB) telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan
tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bp menjadi 0,5 persen pada Mei 2013. Kemudian
pada bulan November 2013, ECB memotong bunga refinancing rate sebesar 25 bp menjadi
0,25 persen. Melihat perkembangan tersebut, di tahun 2014, Eropa diperkirakan akan
tumbuh positif sebesar 0,8 persen. Angka tersebut telah mengalami revisi di mana
sebelumnya Eropa diperkirakan akan tumbuh di atas 1,0 persen di tahun 2014. Hal ini
disebabkan karena perbaikan yang terjadi belum secara sepenuhnya menyentuh
permasalahan fundamental seperti rasio utang yang masih tinggi meskipun dengan tren
menurun, permasalahan ketenagakerjaan, inflasi rendah, dan pertumbuhan yang belum
merata di antara negara-negaranya.
Pertumbuhan Ekonomi Eropa Kuartalan 2014 (persen)
Sumber: Bloomberg, Eurostat
Q1 Q2 Q3 Q1 Q2 Q3
Eropa 0,3 0,1 0,2 1,0 0,8 0,8
Jerman 0,8 -0,1 0,1 2,4 1,4 1,2
Perancis 0,0 -0,1 0,3 0,8 0,0 0,4
Italia 0,0 -0,2 -0,1 -0,3 -0,3 -0,4
Spanyol 0,3 0,5 0,5 0,7 1,3 1,6
Portugal -0,4 0,3 0,2 1,0 0,9 1,0
Kawasan/
Negara
QoQ YoY
7
Dengan perkembangan tersebut, Eropa akhirnya kembali mengeluarkan sejumlah
kebijakan pelonggaran moneter untuk dapat mendorong sektor perekonomiannya. Pada
bulan September 2014 ECB, menurunkan suku bunga acuan dari 0,15 persen menjadi 0,05
persen dan menetapkan suku bunga deposito menjadi minus 0,2 persen dari sebelumnya
minus 0,1 persen. Pada bulan Oktober 2014, ECB mengumumkan kebijakan pembelian aset
berupa covered bonds dan asset backed securities dalam skema targeted longer-term
refinancing operations (TLTRO) yang dikucurkan sebesar €82,6 miliar dengan suku bunga
tetap 0,15 persen. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut Komisi Eropa memperkirakan dapat
menjaga inflasi pada tingkat 0,8 persen, pengangguran 11,8 persen dan pertumbuhan
ekonomi 0,9 persen selama 2014.
Sumber: Eurostat, Bloomberg
2.1.3. Jepang
Pada tahun 2013, perekonomian Jepang tumbuh sebesar 1,5 persen setelah
sebelumnya pada tahun 2011 mengalami kontraksi akibat bencana alam gempa bumi.
Ekspansi perekonomian Jepang ini merupakan dampak positif dari kebijakan Abenomics
yang meliputi kebijakan stimulus fiskal dan pelonggaran moneter yang kemudian berhasil
meningkatkan konsumsi swasta dan investasi. Pelonggaran moneter dilakukan Bank of
Japan (BOJ) dengan membeli Surat-surat Berharga (SSB) sebesar US$75 miliar per bulan,
terutama obligasi pemerintah (Japanese Government Bond/JGB). Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan jumlah uang beredar menjadi dua kali lipat sehingga inflasi diharapkan
meningkat menuju target 2%. Besarnya stimulus moneter tersebut berdampak pada
1210,8
5,2
10,312,5
26,1
15,7
11,5 10,1 5 10,5 12,6 24 13,60
5
10
15
20
25
30
EA18 EU28 Germany France Italy Spain Portugal
European Unemployment rate (%)
Sep'13
Sep'14
Tingkat Pengangguran Eropa
(persen)
0
0,5
1
1,5
2
2,5EA Inflation Rate (%)Laju Inflasi Kawasan Eropa
(persen YoY)
8
pelemahan nilai tukar yen yang kemudian berkontribusi pada kenaikan ekspor Jepang dan
keyakinan konsumen.
Pada kuartal I 2014, perekonomian Jepang tumbuh hingga mencapai 6,7 persen
(QoQ) atau 2,9 persen (YoY), di saat itu banyak perusahaan yang melakukan pembelian
barang untuk mengantisipasi kenaikan pajak di bulan April 2014. Kemudian pada kuartal II
2014, perekonomian Jepang jatuh dan mengalami kontraksi 7,3 persen (QoQ) atau 0,2
persen (YoY) dan berlanjut pada kuartal III 2014 dengan kontraksi sebesar 1,6 persen
(QoQ) atau 1,2 persen (YoY). Kenaikan pajak penjualan dari 5 persen menjadi 8 persen
telah berdampak pada daya beli konsumen di kuartal III dan III 2014. Menanggapi hal
tersebut, pemerintah di bulan Juni 2014 mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk
mempertahankan pertumbuhan, yakni berupa pemangkasan tingkat pajak korporasi dari
35,64 persen menjadi di bawah 30 persen, serta pelonggaran kebijakan di beberapa sektor,
termasuk ketenagakerjaan, pertanian, serta layanan kesehatan. Di bulan Oktober 2014, BOJ
juga meningkatkan stimulus moneternya dari ¥60-70 triliun menjadi ¥80 triliun per tahun atau
sekitar US$730 miliar per tahun.
Sumber: Bloomberg
4,5
-2,4 -2,2-1,2
5,6
3,22,4
-1,6
6,7
-7,3
-1,6
3,3 3,2
-0,2 -0,3 0,11,2
2,3 2,5 2,9
-0,2-1,2
-8,0
-6,0
-4,0
-2,0
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0Pertumbuhan PDB Jepang (persen)
QoQ YoY
-2
-1
0
1
2
3
4
Laju Inflasi Jepang (persen)
MoM YoY
9
2.2. Perkembangan Perekonomian Negara Berkembang
Memasuki tahun 2014 perekonomian negara berkembang dihadapkan pada
optimisme akan terjadinya perbaikan ekonomi global yang digerakkan oleh pemulihan
ekonomi Eropa dan Amerika Serikat (AS). Di awal tahun 2013, IMF memperkirakan
perekonomian negara berkembang pada tahun 2014 akan tumbuh sebesar 5,7 persen.
Namun seiring perkembangan yang terjadi, proyeksi pertumbuhan kemudian direvisi pada
Oktober 2013 menjadi 5,1 persen dan direvisi kembali menjadi 4,9 persen di awal 2014 dan
kembali diturunkan menjadi 4,4 persen di bulan Oktober tahun 2014. Perkiraan
pertumbuhan ekonomi 2014 tersebut lebih rendah dari realisasi pertumbuhan di tahun 2013
yang mampu tumbuh sebesar 4,7 persen.
Lebih rendahnya perkiraan realisasi pertumbuhan ekonomi negara berkembang
tahun 2014 dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain lambatnya pemulihan ekonomi
Eropa yang cenderung stagnan serta berbagai permasalahan dalam negeri di negara-
negara berkembang seperti melemahnya permintaan domestik.
Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang (persen)
2012 2013
2014f
WEO
Apr 13
WEO
Okt 13
WEO
Apr 14
WEO
Okt 14
Negara Berkembang 5.1 4.7 5.7 5.1 4.9 4.4
ASEAN - 5 6.2 5.2 5.5 5.4 4.9 4.7
China 7.7 7.7 8.2 7.3 7.5 7.4
India 4.7 5.0 6.2 5.1 5.4 5.6
Sumber: WEO-IMF, Oktober 2014
2.2.1. Tiongkok
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tahun 2014 terus melambat didorong oleh upaya
pemerintah dalam melakukan transisi menuju pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabil
serta meredam pertumbuhan kredit korporasi, terutama yang berasal dari shadow banking,
yang mampu mendorong terjadinya gelembung kredit. Langkah perubahan struktural yang
dilakukan Tiongkok, antara lain memerangi polusi udara, perbaikan tingkat upah,
mengurangi kelebihan kapasitas produksi, mendorong peran industri jasa, serta mendorong
konsumsi domestik menggantikan peran ekspor sebagai mesin pertumbuhan. Sementara
10
untuk mengurangi praktik shadow banking, Tiongkok mulai meliberalisasi suku bunga dan
mendorong perbankan agar lebih kompetitif. Langkah kebijakan pengetatan kredit serta
upaya pembatasan anggaran dengan ketat juga secara intensif diterapkan oleh pemerintah
daerah.
Sumber: Bloomberg
Hingga kuartal III 2014, ekonomi Tiongkok telah berekspansi sebesar 7,4 persen
(YoY). Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2014
akan tumbuh sekitar 7,5 persen, sedangkan IMF dalam WEO Oktober 2014 memperkirakan
ekonomi Tiongkok akan tumbuh sekitar 7,4 persen. Targeted support measures dan
pemulihan permintaan eksternal membantu terjaganya ekonomi dari perlambatan, namun
melemahnya pasar properti berdampak cukup signifikan bagi aktivitas ekonomi domestik
Tiongkok. Sektor perumahan, yang merupakan faktor penting bagi penggerak pertumbuhan
dalam beberapa tahun terakhir, terus melakukan penyesuaian terhadap kebijakan
pengetatan kredit dan juga terus berupaya mengurangi masalah supply mismatches yang
selama ini terjadi.
Sektor Industri Tiongkok yang merupakan komponen utama pertumbuhan ekonomi
Tiongkok menunjukkan penurunan. Hal tersebut terlihat dari menurunnya indeks produksi
industri Tiongkok serta menurunnya Purchasing Manager’s Index yang menjadi ukuran
terjadinya ekspansi perusahaan juga menunjukkan pelemahan meski masih menunjukkan
terjadinya ekspansi perusahaan.
6,800
7,000
7,200
7,400
7,600
7,800
8,000
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3
2012 2013 2014
Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok(% YoY)
11
Sumber: Bloomberg
Di sisi permintaan, konsumsi masyarakat masih melemah sejalan dengan
menurunnya sentimen ekspektasi terhadap kondisi perekonomian. Indeks keyakinan
konsumen pada tahun ini mengalami penurunan hingga 7 persen. Sementara pertumbuhan
konsumsi RT di kuartal II yang tumbuh hanya sebesar 2,4 persen merupakan pertumbuhan
terendah dalam 5 tahun terakhir. Di sisi lain, penjualan ritel terus mengalami penurunan dari
12,5 persen di awal tahun menjadi sekitar 11,5 persen di bulan Oktober 2014.
Sumber: Bloomberg
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
Ja
n-1
3
Fe
b-1
3
Ma
r-1
3
Ap
r-1
3
Ma
y-1
3
Ju
n-1
3
Ju
l-1
3
Au
g-1
3
Se
p-1
3
Oc
t-1
3
No
v-1
3
De
c-1
3
Ja
n-1
4
Fe
b-1
4
Ma
r-1
4
Ap
r-1
4
Ma
y-1
4
Ju
n-1
4
Ju
l-1
4
Au
g-1
4
Se
p-1
4
Neraca Perdagangan Tiongkok(US$ miliar)
11,00
11,50
12,00
12,50
13,00
13,50
14,00
Mar
-13
May
-13
Jul-
13
Sep
-13
No
v-1
3
Jan
-14
Mar
-14
May
-14
Jul-
14
Sep
-14
Indeks Penjualan Ritel Tiongkok
6
7
8
9
10
11
12
13
Jan
Mar
Mei Ju
lSe
pN
ov
Jan
Mar
Mei Ju
lSe
pN
ov
Jan
Mar
Mei Ju
lSe
p2012 2013 2014
Industrial Production Index Tiongkok (% yoy)
45
47
49
51
53
55
57
Jan
Feb
Mar
Ap
rM
eiJu
nJu
lA
gust
Sep
Okt
No
pD
es Jan
Feb
Mar
Ap
rM
eiJu
nJu
lA
gust
Sep
Okt
Purchasing Manager's Index Tiongkok
Non Manufacturing
Manufacturing
12
Meski pertumbuhan ekonomi cenderung mengalami perlambatan, tingkat
penyerapan tenaga kerja di Tiongkok justru mengalami peningkatan. Selama Januari -
Agustus jumlah tenaga kerja yang terserap meningkat sebanyak 9,7 juta atau mendekati
target pemerintah pada tahun 2014 yang mencapai 10 juta tenaga kerja baru. Tingginya
penyerapan tersebut terutama terjadi di sektor jasa seiring dengan transformasi struktur
perekonomian Tiongkok. Di samping itu, ekspor Tiongkok masih cukup tinggi, meskipun
pada bulan Februari sempat mencetak defisit perdagangan, namun selanjutnya neraca
perdagangan Tiongkok terus mencatatkan surplus. Ekspor rata-rata meningkat sebesar 4,0
persen (yoy) sementara impor rata-rata meningkat 2,0 persen (yoy).
Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target, pada bulan November
2014 Tiongkok melalui People’s Bank of China (PBOC) memangkas suku bunga acuan
sebesar 40 basis poin (bps) ke posisi 5,6 persen. Di samping itu, POBC juga menurunkan
suku bunga deposito satu tahun sebesar 25 bps menjadi 2,75 persen. Keputusan ini
berlaku efektif mulai 22 November. Keputusan tersebut juga diambil setelah data
pertumbuhan shadow banking menunjukkan penurunan secara kuartalan untuk pertama
kalinya sejak krisis 2008-2009. Dengan demikian tingkat persaingan sektor perbankan
Tiongkok juga dapat ditingkatkan.
2.2.2. India
Perekonomian India yang sempat melambat di bawah 5,0 persen di tahun 2012
kembali mengalami percepatan di tahun 2013 dengan pertumbuhan sebesar 5,0 persen.
Kenaikan tersebut terutama didorong oleh meningkatnya ekspor dan investasi.
Pda kuartal I 2014, perekonomian India langsung berakselerasi sebesar 6,1 persen
(YoY) atau lebih tinggi dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya di tahun 2012-2013.
Pertumbuhan ekonomi berlanjut di kuartal II meskipun sedikit melambat dengan
pertumbuhan mencapai 5,8 persen (YoY). Tingginya pertumbuhan tersebut disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas sektor industri serta sektor konstruksi, listrik, gas dan pasokan air.
Selain itu meningkatnya permintaan barang modal dan bahan baku serta investasi yang
tumbuh hingga 7 persen juga menjadi faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan
ekonomi India.
13
Tingginya inflasi yang selama ini menjadi risiko bagi pertumbuhan ekonomi India
mulai melambat di tahun 2014, bahkan hingga mencapai 5,5 persen, jauh dibandingkan
tahun sebelumnya yang mencapai dua digit. Menurunnya harga pangan serta harga minyak
mentah dunia menjadi faktor pendorong redanya tingkat pertumbuhan harga di India. Meski
demikian harga konsumen masih cukup berisiko untuk naik yang dipengaruhi oleh
pergerakan harga volatile foods.
Meski tekanan inflasi mereda, Bank Sentral India di tahun 2014 tetap
mempertahankan tingkat bunga pada level 8 persen sejak awal tahun 2014 untuk
mengantisipasi risiko inflasi yang bersumber dari volatile foods. Pendekatan kebijakan oleh
4,9034,212
5,169
4,418
6,1365,850
0,000
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2
2012 2013 2014
Pertumbuhan Ekonomi India (% yoy)
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
11,0
12,0
Inflasi India (%, yoy)
14
bank sentral dalam menjaga likuiditas dilakukan dengan menurunkan Statutory Liquidity
Ratio (Giro Wajib Miminum) dari 23 persen menjadi 22 persen.
Di sisi fiskal, pemerintahan baru India di tahun anggaran 2014 berhasil menjaga
defisit menjadi 4,6 per GDP atau 0,2 persen lebih rendah dari target. Terjaganya defisit
tersebut dapat dicapai dengan kebijakan pengetatan anggaran seperti pemangkasan
belanja social services dan belanja modal di sektor telekomunikasi, tenaga listrik dan
infrastruktur jalan.
Kebehasilan India menjaga perekonomian di tahun 2014 tersebut didukung oleh
kebijakan reformasi yang diterapkan dengan fokus implementasi efisiensi dan efektivitas.
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan antara lain deregulasi harga bahan bakar diesel
eceran, penyederhanaan aturan perburuhan, serta mengeluarkan aturan baru terkait
dengan mekanisme pengalokasian blok batubara. Selain itu, beberapa kebijakan penting
lainnya juga telah mendorong reformasi ekonomi, seperti mempermudah fasilitas
pembebasan lahan dan izin lingkungan, penguatan regulasi sektor keuangan, membuka
investasi untuk perkereta-apian serta memperluas financial inclusions.
2.2.3. ASEAN 5
Pada 2013 pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN-5 masih mengalami
pergerakan yang positif namun melambat dari 6,2 persen menjadi 5,2 persen. Perlambatan
tersebut antara lain didorong oleh pemulihan dan normalisasi kebijakan di negara-negara
maju. Arus investasi mulai berbalik arah dari negara-negara berkembang kembali ke
negara-negara maju. Di sisi lain, Tiongkok yang merupakan partner dagang bagi sebagian
negara-negara ASEAN mengalami perlambatan dan mulai membatasi impor bahan
bakunya.
Perekonomian negara-negara ASEAN-5 tahun 2014 pada awalnya diperkirakan akan
berekspansi hingga 5,5 persen, namun melihat perkembangan yang terjadi, perkiraan
tersebut terus mengalami revisi. Berdasarkan rilis proyeksi IMF pada World Economic
Outlook Oktober 2014, kawasan ASEAN-5 akan mengalami perlambatan ekonomi pada
2014 dengan pertumbuhan sebesar 4,7 persen.
15
Malaysia dan Vietnam diperkirakan masih akan mengalami percepatan pertumbuhan
ekonomi di tahun 2014. Malaysia tumbuh dari 4,7 persen menjadi 5,9 persen, sementara
Vietnam tumbuh dari 3,9 persen menjadi 5,5 persen. Perlambatan ekonomi terjadi pada
Indonesia, Filipina dan Thailand. Indonesia diperkirakan akan tumbuh 5,2 persen, lebih
lambat dibandingkan 2013 yang sebesar 5,8 persen. Hal ini disebabkan Indonesia masih
mengandalkan ekspor komoditas, sementara harga komoditas turun sehingga menekan nilai
ekspor. Di samping itu belanja pemerintah dan pertumbuhan kredit juga diperkirakan
melambat. Perekonomian Thailand yang sebelumnya tumbuh sebesar 2,9 persen juga
diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan akibat terjadinya gejolak politik di
negara tersebut. Sementara perekonomian Filipina yang pada tahun lalu tumbuh cukup
tinggi mencapai 7,2 persen pada tahun ini mengalami koreksi menjadi 6,2 persen.
2.3. Perdagangan Dunia
Di tahun 2012, volume perdagangan dunia melambat cukup siginifikan karena krisis
global terutama yang bersumber dari utang publik di negara-negara maju sehingga
menekan permintaan negara-negara maju tersebut. Pada 2013, pemulihan sektor
perdagangan dunia mulai terlihat meskipun belum signifikan. Volume perdagangan dunia
meningkat dari 2,9 persen menjadi 3,0 persen. ekspor dan impor negara berkembang masih
sedikit melambat, namun sektor industri di negara-negara maju mulai pulih dan dapat
mendorong sektor perdagangan internasionalnya.
WEO Apr 13 WEO Okt 13 WEO Apr 14 WEO Okt 14
ASEAN - 5 6,2 5,2 5,5 5,4 4,9 4,7
Indonesia 6,3 5,8 6,4 5,5 5,4 5,2
Malaysia 5,6 4,7 5,2 4,9 5,2 5,9
Vietnam 2,5 3,9 5,2 5,4 5,6 5,5
Thailand 6,5 2,9 4,2 5,2 2,5 1,0
Filipina 6,8 7,2 5,5 6,0 6,5 6,2
2012 20132014
-20,0%
-10,0%
0,0%
10,0%
20,0%
30,0%
40,0%
50,0%
60,0% Perkembangan Ekspor ASEAN-5 (% YoY)
Indonesia Malaysia Filipina
Thailand Vietnam
16
Sumber: WEO- IMF, Oktober 2014
Seiring dengan semakin membaiknya sektor industri di berbagai negara,
pertumbuhan volume perdagangan dunia tahun 2014 juga diperkirakan akan meningkat
dibanding tahun 2013. Kondisi ini didorong oleh peningkatan ekspor di negara maju yang
cukup signifikan dari 2,4 persen menjadi 3,6 persen, dan impor yang meningkat dari 1,4
persen menjadi 3,7 persen. Sementara di negara-negara berkembang, perdagangan
internasional masih relatif melambat. Ekspor di negara berkembang mengalami perlambatan
dari 5,0 persen menjadi 4,4 persen. Data indikator perdagangan dunia yang ditunjukkan
oleh baltic dry index memperlihatkan bahwa sejak awal 2014 arus barang melalui laut
mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013. Kondisi yang fluktuatif terus terjadi hingga
hingga bulan Oktober 2014. Di samping itu, purchasing manager’s index sektor manufaktur
global juga menunjukkan terjadinya perlambatan pada sektor tersebut. Meskipun masih
mengalami ekspansi, perkembangan sektor manufaktur 2014 relatif lebih lambat
dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga permintaan terhadap impor barang juga
mengalami perlambatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor perdagangan internasional
masih membutuhkan dorongan stimulus untuk kembali tumbuh signifikan dan menopang
pertumbuhan ekonomi dunia.
12,5
6,8
2,9 2,84,0
12,7 6,6 3,0 3,2 3,7
12,6
6,7
2,9 3,03,8
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
2010 2011 2012 2013 2014f
Pertumbuhan Volume Perdagangan Dunia (persen)
Impor Ekspor Perdagangan
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
2010 2011 2012 2013 2014f
Pertumbuhan Ekspor Impor Kawasan (persen)
Impor Negara Maju Ekspor Negara Maju
Impor Negara Berkembang Ekspor Negara Berkembang
17
Sumber: Bloomberg
0
500
1000
1500
2000
2500Baltic Dry Index
42
44
46
48
50
52
54
56
58 Indeks Manufaktur Global
18
BAB III
PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN
HARGA KOMODITAS GLOBAL
Sebagaimana pemulihan ekonomi yang terjadi di AS, perekonomian di negara-
negara berkembang harus siap menghadapi kebijakan moneter ketat yang diterapkan oleh
bank sentral AS. AS melalui bank sentralnya The Federal Reserves (The Fed) telah
memberhentikan stimulus moneternya yang semulai senilai US$85 miliar per bulan secara
bertahap. Di samping itu, the Fed juga diperkirakan akan meningkatkan suku bunga
acuannya pada pertengahan 2015. Mulai diperketatnya likuiditas global tentunya akan
memiliki dampak yang signifikan pada negara-negara dengan fundamental perekonomian
yang lemah dan ketergantungan yang besar pada sektor keuangan.
3.1. Perkembangan Indeks Saham Global
Pada bulan Mei 2013, isu rencana kebijakan tapering off oleh the Fed pertama kali
muncul dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan manca negara. Pada periode Mei-Juni
2013, indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) menunjukkan bahwa indeks
pasar saham negara-negara berkembang mengalami penurunan signifikan sementara
indeks pasar saham negara maju cenderung terus meningkat. Perkembangan tersebut
antara lain disebabkan oleh langkah investor untuk mengalihkan dananya ke instrumen
investasi di negara-negara maju yang dianggap lebih aman. Indeks saham negara-negara
berkembang terus bergerak pada tingkat yang cukup rendah hingga bulan September 2013.
Di bulan September 2013, the Fed memutuskan untuk menunda pelaksanaan kebijakan
tapering off hingga tahun 2014. Pada periode yang sama, kondisi AS menghadapi tekanan
akibat ketidakpastian penyelesaian krisis anggaran pemerintahnya. Hal-hal tersebut
menyebabkan aliran likuiditas ke negara-negara berkembang kembali meningkat.
Peningkatan tersebut antara lain tercermin pada peningkatan indeks saham negara-negara
berkembang di kuartal terakhir 2013. Perbaikan indeks saham negara-negara berkembang
tersebut tidak berlangsung lama. Sejalan dengan mulai dilaksanakannya kebijakan tapering
off di awal tahun 2014, indeks saham negara-negara berkembang kembali mengalami
tekanan. Fakta lain yang dapat dicermati dari perkembangan indeks MSCI adalah fluktuasi
indeks saham negara-negara berkembang relatif lebih besar dibandingkan negara maju
19
yang mengisyaratkan bahwa pasar modal di negara berkembang memiliki kerentanan yang
lebih tinggi.
Pada tahun 2014, indeks bursa saham negara-negara berkembang maupun negara-
negara maju bergerak dengan kecenderungan positif. Di awal tahun ini likuiditas global
masih melimpah dan faktor risiko cenderung membaik. Faktor domestik juga menjadi
pengamatan bagi investor pasar saham di mana potensi pertumbuhan ekonomi dan
profitabilitas negara-negara berkembang masih cukup baik. Menjelang bulan Oktober 2014,
bursa saham global mulai menunjukkan penurunan transaksi, terutama setelah The Fed
mengumumkan pemberhentian stimulus moneternya. Penurunan tersebut lebih dalam
dialami oleh bursa negara-negara berkembang. Investor cenderung melepas saham-saham
di negara berkembang dan beralih pada portofolio investasi yang dianggap lebih aman (safe
haven). Namun dibandingkan kondisi awal tahun, beberapa bursa saham negara
berkembang seperti Thailand, Indonesia dan Tiongkok masih menunjukkan perkembangan
yang signifikan.
Sumber: Bloomberg
3.2. Perkembangan Obligasi Global
Perkembangan pasar obligasi pemerintah di negara-negara berkembang relatif lebih
bervariasi dibandingkan negara-negara maju. Yield obligasi di negara-negara maju
cenderung bergerak turun selama tahun 2014. Dibandingkan AS, Inggris dan Jepang, yield
obligasi pemerintah Eropa menunjukkan penurunan yang lebih signifikan. Turunnya harga
400
450
500
550
600
650
700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
1150
Indeks MSCIEmerging Market Advanced Market (RHS)
isu pengurangan
stimulus The Fed
penundaantapering off
mulai
diberlakukannya tapering off
akhir stimulus The Fed
-4,23
-3,89
-2,61
-1,30
1,70
2,11
3,73
13,00
18,36
20,53
-8,00 0,00 8,00 16,00 24,00
Inggris
Jepang
Korea
Malaysia
HK
Singapura
AS
Tiongkok
Indonesia
Thailand
Perkembangan Indeks Saham Global (%ytd, Oktober 2014)
20
komoditas yang mengancam deflasi di kawasan Eropa telah mendorong permintaan untuk
aset pendapatan tetap, sehingga harga obligasi meningkat dan yield turun.
Di negara-negara berkembang pergerakan yield bervariasi. Yield obligasi pemerintah
Indonesia, Thailand dan India cenderung menunjukkan pergerakan yang flat selama 2014,
setelah pada 2013 lalu relatif meningkat. Faktor domestik menjadi penyebab pergerakan
yield yang flat di tahun 2014, di mana India dan Indonesia menghadapi pemilihan umum dan
Thailand juga menghadapi krisis pemerintahan. Sementara itu, yield obligasi Malaysia dan
Tiongkok justru bergerak turun setelah kuartal II 2014. Masih kuatnya faktor domestik
mendorong aliran modal masuk ke negara-negara tersebut.
Sumber: Bloomberg
3.3. Perkembangan Pasar Valas
Dampak gejolak likuiditas global juga telah menyebabkan terganggunya
keseimbangan nilai tukar mata uang berbagai negara, khususnya negara-negara
berkembang di Asia. Pada bulan Mei 2013 ketika isu pengurangan stimulus AS mulai
mencuat, nilai tukar negara-negara berkembang Asia mengalami depresiasi yang terus
berlangsung hingga September 2013. Investor tentunya lebih memilih untuk beralih
memegang Dollar AS sebagai aset safe haven ketika kondisi perkonomian global mulai
menghadapi risiko pengetatan likuiditas. Pada bulan September hingga Oktober 2013, nilai
tukar negara-negara berkembang Asia mulai menguat karena keputusan untuk menunda
kebijakan The Fed untuk mengurangi stimulus. Namun setelah rapat komite the Fed pada
akhir Oktober 2013, nilai tukar negara-negara berkembang Asia kembali melemah. Pada
4
5
6
7
8
9
10
3,0
3,4
3,8
4,2
4,6
5,0
Perkembangan Yield Obligasi 10Y Negara-negara Berkembang (%)
Thailand Malaysia Tiongkok
Indonesia (RHS) India (RHS)
0,4
0,8
1,2
1,6
2
2,4
1,5
2
2,5
3
3,5
Perkembangan Yield Obligasi 10Y Negara-negara Maju (%)
AS Inggris Jepang (RHS) Eropa (RHS)
21
rapat tersebut dibicarakan mengenai target The Fed yang akan mengurangi stimulus ketika
pengangguran tidak lebih dari 6,5 persen dan inflasi sekitar 2,5 persen.
Ketika memasuki awal tahun 2014, nilai tukar negara-negara berkembang Asia
menunjukkan apresiasi terhadap Dollar AS dan sebaliknya indeks Dollar cenderung
bergerak flat. Namun menjelang akhir tahun mulai bulan September 2014, Dollar AS
semakin menguat terhadap sejumlah nilai tukar global lainnya. Sentimen terhadap semakin
dekatnya pengetatan kebijakan moneter AS serta membaiknya indikator-indikator ekonomi
AS mendorong pengalihan investasi ke mata uang Dollar AS dan mengakibatkan mata uang
lainnya melemah. Di samping itu kondisi perekonomian negara-negara berkembang juga
tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang
melambat.
Sumber: Bloomberg
Baik kondisi di pasar modal maupun pasar uang menunjukkan bahwa negara-
negara berkembang relatif lebih rentan terhadap pembalikan modal. Kondisi fundamental
perlu diperkuat, terutama memasuki masa di mana kebijakan pengetatan likuiditas di AS
akan berlanjut dengan kenaikan suku bunga di tahun depan. Hal ini tentunya dapat
mempengaruhi sentimen investor yang berdampak pada arus modal keluar dari negara-
negara berkembang.
78
80
82
84
86
88
90Indeks Dollar AS
0,90
3,00
-3,28
-0,39
0,74
0,06
1,60
0,31
5,27
2,43
1,05
-8,09
-3,96
-1,39
-1,27
-1,00
-0,63
-0,51
-0,15
-0,14
0,07
0,84
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6
Eropa
Jepang
China
Filipina
Singapura
Vietnam
Korea
Malaysia
Indonesia
India
Thailand
Perkembangan Nilai Tukar Dunia (%)
ytd 30 Sep'14 ytd 30 Apr'14
depresiasi
22
3.4. Harga Komoditas Dunia dan Inflasi
Di tengah-tengah ketegangan geopolitik dunia, harga minyak justru mengalami
penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Penurunan harga minyak ini tidak hanya
disebabkan oleh bertambahnya penawaran dan berkurangnya permintaan, tapi juga
dikarenakan para pelaku pasar bereaksi tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya. Arab
Saudi dan AS, dua negara penyumbang minyak dunia semula diperkirakan akan
mengurangi supply minyak untuk mempertahankan harga, namun ternyata pengurangan
tersebut tidak dilakukan. Harga minyak Brent sekarang ini berada di kisaran US$84/barel,
jauh dibawah harga minyak di awal tahun yang masih sekitar US$110/barrel.
Harga Minyak Mentah Jenis Brent (US$/Barrel)
Source : Bloomberg, Oxford Economics
Di lain pihak, lambannya pertumbuhan ekonomi global saat ini dan prospek di masa
mendatang menyebabkan permintaan terhadap minyak dunia turun. Penyebab lain
berkurangnya permintaan minyak dunia adalah penurunan impor minyak mentah oleh AS
yang turun tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan AS
merupakan salah satu konsumen terbesar minyak dunia, maka berkurangnya impor negara
ini, secara keseluruhan mengurangi permintaan dunia. Di sisi lain, juga terjadi supply shock
produksi minyak AS.
23
Source : Oxford Economics
Souce: EIA, Oxford
Peningkatan supply juga terjadi karena meningkatnya produksi minyak dari Arab
Saudi yang sekarang berada di kisaran 9,8 mb/d, jauh lebih tinggi dari rata-rata produksi
mereka yang berkisar 7 mb/d. Penambahan supply ini juga dikarenakan negara-negara
yang dulunya menjadi sumber berkurangnya supply OPEC, saat ini justru mencatatkan
pertumbuhan yang signifikan, seperti Iraq dan Libya. Tren perkembangan permintaan dan
penawaran minyak dunia sepanjang tahun 2013 sampai 2014 menunjukkan bahwa secara
konsisten supply meningkat dan secara konsisten pula permintaan menurun.
Source : IEA
24
Hingga bulan Oktober 2014, harga komoditas pangan rata-rata telah mengalami
penurunan sekitar 9 persen dibandingkan akhir tahun sebelumnya. Penurunan ini
menyebabkan harga pangan mencapai titik terendahnya selama 4 tahun terakhir. Harga
pangan jenis susu dan turunannya mengalami penurunan tertinggi hingga mencapai 31
persen (ytd), disusul oleh harga pangan jenis minyak nabati yang turun 18 persen (ytd).
Kenaikan justru terjadi pada harga daging yang mengalami kenaikan permintaan.
Sementara harga pangan lainnya turun akibat iklim yang lebih mendukung sehingga
mendorong supply yang berlebihan. Untuk harga beras dunia, yang dalam hal ini diwakili
oleh India dan Thailand masih stabil di kisaran US$ 350-400/ metric ton. Dibandingkan
tahun 2013, harga beras relatif turun, namun setelah Juli 2014 harga beras mulai kebali
meningkat.
Sumber: FAO, Bloomberg
Seiring dengan perlambatan ekonomi dunia, harga barang tambang yang biasanya
digunakan sebagai bahan baku industri juga cenderung menurun. Harga tembaga bahkan
telah turun hingga lebih dari 15 persen (ytd). Permintaan tembaga dari Tiongkok dan Jepang
sebagai negara konsumen terbesar tembaga dunia mengalami penurunan seiring
melambatnya perekonomian negara-negara tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada batu
bara, kekhawatiran lesunya permintaan masih menekan harga batu bara hingga ke titik
terendah sejak 2009. Permintaan batu bara antara lain melambat di Eropa dan Tiongkok,
terutama sejak Tiongkok mengeluarkan wacana pengurangan penggunaan baru bara
berkalori rendah.
100,0
120,0
140,0
160,0
180,0
200,0
220,0
Indeks Harga Pangan Dunia (2002-2004=100)
Indeks Harga Pangan Daging
Produk Susu Biji-bijian
Minyak Nabati Gula
25
Perkembangan Harga Komoditas Tambang Dunia
Sumber: IMF, 2014
Dengan perkembangan harga-harga komoditas tersebut, inflasi dunia tahun 2014
diperkirakan akan sedikit melambat dari 3,9 persen menjadi 3,8 persen. Melambatnya inflasi
bahkan mulai terjadi di tingkat produsen, sehingga selanjutnya juga akan menurunkan
tingkat harga konsumen. Harga komoditas minyak dan logam yang semakin rendah turut
berdampak pada turunnya ongkos produksi dan harga produsen. Negara-negara maju
seperti Eropa dan Jepang yang juga menargetkan pertumbuhan laju inflasi, masih harus
berhadapan dengan melemahnya ekonomi negara tersebut. Sehingga masih akan
menerapkan kebijakan moneter longgar.
Perkembangan Laju Inflasi dan Harga Komoditas Dunia
Sumber: WEO-IMF, Oktober 2014
2009 2010 2011 2012 2013 2014f
Inflasi Dunia (%) 2,8 3,9 5,2 4,2 3,9 3,8
Harga Minyak (Indeks 2005=100) 115,8 148,1 194,9 196,8 195,1 192,6
Harga Pangan (Indeks 2005=100) 136,1 152,6 182,4 174,8 174,6 170,9
Harga Barang Tambang (Indeks 2005=100) 136,5 202,3 229,7 191,0 182,9 169,2
26
BAB IV
TANTANGAN PEREKONOMIAN GLOBAL KE DEPAN
Pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2015 diperkirakan akan lebih tinggi
dibandingkan tahun 2013 dan 2014. Dalam World Economic Outlook, IMF memperkirakan
pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2015 akan sebesar 3,8 persen dan 2016 sebesar 4,0
persen. Perbaikan ekonomi di negara-negara maju menjadi faktor pendukung pertumbuhan
ekonomi di tahun 2015. Negara-negara maju diperkirakan akan tumbuh sebesar 2,3 persen
terutama dimotori oleh pertumbuhan ekonomi AS yang sebesar 3,1 persen. Membaiknya
perekonomian negara maju tentunya berdampak positif juga terhadap perekonomian
negara-negara berkembang yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 5,0 persen. Tiongkok,
India dan Filipina menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang do tahun 2015.
Perkiraam Pertumbuhan Ekonomi Dunia (persen)
Sumber: WEO-IMF, Oktober 2014
Namun masih banyak hal yang perlu diwaspadai terkait ketidakpastian perekonomian
global yang dipicu oleh perlambatan, krisis ekonomi maupun kebijakan di berbagai negara.
Integrasi perekonomian dunia yang semakin dalam dan kompleks memberikan keuntungan
sekaligus risiko tersendiri. Keterkaitan antara perekonomian global dengan perekonomian
Kawasan/ Negara 2014f 2015f 2016f
Dunia 3,3 3,8 4,0
Negara Maju 1,8 2,3 2,4
AS 2,2 3,1 3,0
Eropa 0,8 1,3 1,7
Jepang 0,9 0,8 0,8
Negara Berkembang 4,4 5,0 5,2
Tiongkok 7,4 7,1 6,8
India 5,6 6,4 6,5
ASEAN-5 4,7 5,4 5,5
Indonesia 5,2 5,5 5,8
Malaysia 5,9 5,2 5,0
Filipina 6,2 6,3 6,0
Thailand 1,0 4,6 4,4
Vietnam 5,5 5,6 5,7
27
masing-masing negara secara umum melalui dua jalur transmisi, yakni melalui pasar
keuangan dan perdagangan. Jalur pasar keuangan umumnya lebih rentan dan reaktif dalam
merespon suatu kondisi atau kebijakan sehingga memungkinkan pergerakan arus likuiditas
menjadi lebih cepat dengan jumlah yang lebih besar. Sementara melalui jalur perdagangan,
melambatnya perkembangan sektor industri tentunya akan berdampak pada permintaan
negara tersebut terhadap ekspor dari negara-negara berkembang.
Tantangan ekonomi global ke depan tercermin dari kebijakan moneter ketat di AS
dan ketidakpastian pemulihan ekonomi di negara maju, khususnya Jepang dan Eropa.
Walaupun beberapa indikator ekonomi mulai menunjukkan perbaikan, namun masih
terdapat risiko berupa tingkat pengangguran yang masih relatif tinggi serta inflasi yang
masih rendah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi global juga dibayangi oleh perlambatan
pertumbuhan Tiongkok. Prospek perekonomian Tiongkok masih dihadapkan pada tantangan
reformasi struktural, tekanan pada sektor properti dan perbankan yang akan mempengaruhi
laju pertumbuhannya.
4.1 Likuiditas Global
Kondisi perekonomian global tahun 2014 dan ke depan masih diwarnai risiko
tekanan yang berasal dari volatilitas arus modal global. Mulai membaiknya perekonomian
AS serta pemberhentian stimulus moneter dapat menciptakan spillovers signifikan bagi
negara-negara emerging markets. Di kawasan Eropa, pemulihan ekonomi juga nampak
terjadi yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang positif. Walaupun demikian,
perekonomian kawasan tersebut masih dibayangi oleh risiko rasio utang, tenaga kerja,
inflasi rendah, dan pemerataan. Kondisi tersebut mendorong Eropa untuk mengambil
kebijakan mempertahankan pelonggaran moneter hingga 2015, berbanding terbalik dengan
AS. Hal yang sama juga terjadi di Jepang yang justru menambah besaran stimulus
moneternya.
Disparitas kebijakan moneter antara Eropa-Jepang dan AS diharapkan dapat
menyeimbangkan ketersediaan likuiditas pasar. Namun tampaknya pengaruh arah kebijakan
The Fed serta perbaikan kondisi ekonomi akan cenderung menimbulkan sentimen arus
modal ke aset-aset safe haven, sehingga masih akan terjadi persaingan likuiditas di pasar
global. Di samping itu, suku bunga acuan the Fed diproyeksikan akan meningkat di tahun
2015. Risiko pembalikan arus modal tentunya akan tetap ada, yang selanjutnya dapat
mengganggu stabilitas nilai tukar regional. Implikasi keluarnya arus modal asing selain
memiliki pengaruh terhadap nilai tukar, juga akan mengakibatkan ketatnya likuiditas dalam
negeri yang berdampak pada kinerja sektor riil.
28
4.2 Harga Komoditas Dunia
Tantangan eksternal lainnya bersumber pada risiko gejolak harga komoditas di pasar
global, terutama harga komoditas minyak mentah. Dalam jangka pendek, harga minyak
dunia memiliki risiko dari prospek pertumbuhan ekonomi dunia, pertumbuhan produksi
minyak AS, kembali naiknya produksi minyak dari negara pasca konflik seperti Lybia dan
Iraq dan respon dari negara-negara OPEC dan produsen minyak lainnya terhadap harga
minyak yang rendah. Sementara dalam jangka panjang harga minyak dunia menghadapi
ketidakpastian yang berasal dari dalam di proyek-proyek baru (hambatan pendanaan, cash-
flow yang besar dan hambatan geopolitik), seberapa lama tumbuhnya produksi minyak di
AS, seberapa lama penyebaran teknologi produksi shale-gas ke seluruh penjuru dunia dan
seberapa cepat substitusi penggunaan gas alam untuk sektor transportasi.
Di lain pihak beberapa harga komoditas tambang lainnya seperti tembaga dan
aluminium juga mengalami penurunan karena masih rendahnya permintaan dari negara-
negara konsumen terbesarnya. Rendahnya harga komoditas menjadi tantangan bagi
perekonomian negara-negara berkembang yang masih bergantung pada ekspor komoditas,
seperti halnya Indonesia. Penurunan harga komoditas ekspor di pasar global dapat
berdampak negatif pada posisi neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi suatu
negara.
Di samping itu, beberapa negara Asia selain Jepang mulai menghadapi perlambatan
laju inflasi bahkan mengarah ke deflasi. Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, Thailand dan
Filipina merupakan contoh beberapa negara Asia yang mulai terancam deflasi. Deflasi
terutama terjadi pada harga produsen yang menunjukkan bahwa produsen kehilangan
kekuatan untuk menentukan harga. Hal ini tentunya juga menjadi tantangan bagi
perkembangan ekonomi global, selanjutnya deflasi di tingkat harga produsen ini juga akan
menurunkan tingkat harga konsumen.Harga komoditas minyak dan logam yang semakin
rendah turut berdampak pada turunnya ongkos produksi dan harga produsen.
LAMPIRAN 1
ESTIMASI MODEL MINIATUR EKONOMI GLOBAL
(PENDEKATAN STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION)
Permodelan miniatur ekonomi global yang dilaksanakan pada kegiatan
FGD pada tanggal 11 dan 12 November 2014 dilakukan dengan simulasi
interaksi antara indikator perekonomian Amerika Serikat dan Indonesia, dan
menyertakan harga minyak dunia (Brent Crude Oil Price) ke dalam sistem
persamaan. Asumsi yang digunakan dalam usaha estimasi permodelan ekonomi
global ini adalah Indonesia sebagai Small Open Economy, dan Brent Oil Price
akan diletakkan sebagai variabel yang super exogenous. Super exogenous disini
memiliki pengertian bahwa indikator ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat
tidak mempengaruhi pergerakannya.
Periode observasi atas data-data yang diamati adalah dari tahun 2003
kuartal ke-2 sampai tahun 2014 kuartal ke-4, dengan frekuensi data triwulanan.
Secara keseluruhan akan terdapat sebanyak 47 series observasi. Dengan
keterbatasan waktu serta data, namun tanpa mengurangi esensi dari
permodelan makroekonomi global itu sendiri, maka variabel-variabel yang
dipilih dan kemudian dimasukkan ke dalam sistem permodelan Structural
Vector Autoregression (SVAR) adalah sebagai berikut:
1. Brent Crude Oil Price; kemudian ditransformasikan menjadi bentuk
pertumbuhannya yaitu dlogBrent_world.
2. International Central Bank Rate (IntCB_US); untuk variabel ini, indikator
yang dipilih adalah 3 Months T-Bill rate.
3. Kinerja Pasar Modal di Amerika Serikat; untuk variabel ini, indikator yang
dipilih adalah Dow Jones Industrial Average (DJIA), yang kemudian
ditransformasikan menjadi bentuk pertumbuhannya yaitu dlogSEX_US.
4. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat; untuk variabel ini, indikator
yang dipilih adalah Real Gross Domestic Product Amerika Serikat, yang
kemudian ditransformasikan menjadi bentuk pertumbuhannya yaitu
dlogGDP_US.
5. Indikator moneter Indonesia; untuk variabel ini, indikator yang dipilih
adalah SBI rate dengan jatuh tempo 3 bulan (IntCB_INA).
6. Kinerja perdagangan internasional Indonesia; untuk variabel ini,
indikator yang dipillih adalah nilai eksport Indonesia, yang kemudian
ditansformasikan menjadi bentuk pertumbuhannya yaitu
dlogExport_INA.
7. Produktivitas Indonesia; untuk variabel, indikator yang dipilih adalah
indeks produksi Indonesia, yang kemudian ditransformasikan ke dalam
bentuk pertumbuhannya (dlogIP_INA).
8. Term of Trade (ToT) Indonesia; variabel ini kemudian ditransformasikan
ke dalam bentuk pertumbuhannya (dlogTOT_INA).
9. Pertumbuhan ekonomi Indonesia; untuk variabel ini, indikator yang
dipilih adalah Real Gross Domestic Product Indonesia, yang kemudian
ditransformasikan menjadi bentuk pertumbuhannya yaitu dlogGDP_INA.
DATA
Berikut adalah statistik deskriptif dari data-data yang diamati dalam
penyusunan permodelan makroekonomi global pada kegiatan FGD ini:
Tabel. Statistik Deskriptif Data dalam Pengamatan
DLOGBRENT_WORLD INTCB_US DLOGSEX_US DLOGGDP_US INTCB_INA DLOGEXPORT_INA DLOGIP_INA DLOGTOT_INA DLOGGDP_INA
Mean -0.117941 1.547982 -0.149224 0.007843 7.854936 0.171483 -0.316437 0.092002 -0.433507
Median -4.54349 0.125 2.115536 -0.046401 7.44 -0.307382 -3.295897 -0.056586 -4.100842
Maximum 163.42 5.25 62.36597 4.195228 12.75 63.61437 37.74194 50.06801 20.86655
Minimum -123.6476 0.125 -49.0527 -5.036747 5.75 -63.1495 -27.40455 -56.58865 -21.4555
Std. Dev. 45.57419 1.877871 21.48252 2.221298 1.771975 27.35959 16.74866 19.10452 11.03108
Skewness 0.685593 0.990184 0.119167 -0.210263 1.216847 0.033497 0.520608 -0.219479 0.243216
Kurtosis 6.076659 2.426653 3.719467 2.296033 4.106749 3.155962 2.6491 4.044357 2.050342
Jarque-Bera 20.32822 8.324065 1.029199 1.204739 13.9977 0.051622 2.163009 2.299361 2.039751
Probability 0.000039 0.015576 0.59774 0.547513 0.000913 0.974519 0.339085 0.316738 0.36064
Sum -5.071465 72.75516 -6.416645 0.337236 369.182 7.37379 -13.60681 3.956103 -18.64079
Sum Sq. Dev. 87234.27 162.2144 19382.95 207.2349 144.4351 31438.98 11781.74 15329.27 5110.758
Untuk mendukung proses analisis dan estimasi, dibutuhkan pengamatan
awal atas data, yaitu dengan memperhatikan perilaku historis dari setiap
variabel sebagai berikut:
Grafik dlogBrent_World
Grafik IntCB_US
Grafik dlogSEX_US
Grafik dlogGDP_US
Grafik IntCB_INA
Grafik dlogExport_INA
Grafik dlogIP_INA
Grafik dlogTOT_INA
Grafik dlogGDP_INA
TAHAPAN ESTIMASI MODEL
Permodelan makroekonomi global dengan memanfaatkan teknik
Structural Vector Autoregression (SVAR) dengan memanfaatkan perangkat
lunak EViews adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (output tiap
tahapan tercantum):
1. Pengujian Akar Unit (Unit Root Test)
Tahapan ini dilakukan untuk menentukan derajat integrasi dari tiap
variabel dalam pengamatan. Dengan perkataan lain, untuk mengetahui apakah
variabel-variabel dalam pengamatan telah stasioner atau belum, untuk
memberikan kepastian agar hasil estimasi permodelan tidak memiliki sifat yang
bias dan/atau spurious.
Hasil pengujian akar unit, dengan memanfaatkan pendekatan Augmented
Dickey Fuller (ADF) test untuk tiap variabel adalah sebagai berikut:
Tabel ADF test for dlogBrent_World
Tabel ADF test for IntCB_US
Tabel ADF test for dlogSEX_US
Tabel ADF test for dlogGDP_US
Tabel ADF test for IntCB_INA
Tabel ADF test for dlogExport_INA
Tabel ADF test for dlogIP_INA
Tabel ADF test for dlogTOT_INA
Tabel ADF test for dlogGDP_INA
Keseluruhan hasil pengujian akar unit di atas, menunjukkan bahwa
seluruh variabel telah stasioner pada tingkat level pada significance level
sebesar 1%, dan hanya IntCB_US dan IntCB_INA yang berada pada significance
level sebesar 10%.
2. Estimasi dengan Unrestricted VAR
Estimasi ini dilakukan untuk melihat perbedaan hasilnya dengan
permodelan SVAR berikutnya, dimana, dalam pendekatan ini, seluruh variabel
akan diperlakukan sebagai variabel endogen. Hasil estimasi Unrestricted VAR
dilampirkan pada LAMPIRAN 1.
3. Pemilihan tingkat kelambanan (lag) untuk Model SVAR
Pemilihan tingkat kelambanan yang tepat akan dapat mempengaruhi
kekuatan analisis dari estimasi model dalam kelas Vector Autoregression.
Pemilihan tingkat kelambanan ini mempertimbangkan Likelihood Ratio (LR)
test, Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC),
dan Hannan-Quinn Bayesian Information Criterion (HQBC). Hasil pemilihan
tingkat kelambanan adalah sebagai berikut:
Tabel Pemilihan Tingkat Kelambanan
Hasil tersebut diatas menunjukkan dari seluruh kriteria yang ada,
disarankan penggunaan tingkat kelambanan (lag) 2 dalam permodelan kelas
Vector Autoregression.
4. Pembuatan Matriks Structural Factorization
Pendekatan yang digunakan adalah AB model untuk menganalisis
perilaku (dinamika) jangka pendek (short-run) atas variabel-variabel dalam
pengamatan.
Matriks yang dibentuk akan memiliki dimensi 9x9, dengan diagonal diisi
dengan nilai 1. Selanjutnya, nilai NA diinputkan untuk variabel yang memiliki
pengaruh terhadap variabel lain, sedangkan nilai 0 memiliki arti tidak ada
pengaruh. Bagian baris pada matriks menunjukkan variabel tersebut bertindak
sebagai variabel endogen, sedangkan kolom bertindak sebagai variabel eksogen.
Pengurutan (ordering) variabel adalah sebagai berikut:
a. dlogBrent_World
b. IntCB_US
c. dlogSEX_US
d. dlogGDP_US
e. IntCB_INA
f. dlogExport_INA
g. dlogIP_INA
h. dlogTOT_INA
i. dlogGDP_INA
Matriks A adalah seperti dibawah ini, sedangkan matriks B hanya akan
berisikan 1 untuk diagonal:
Matriks A
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9
R1 1 NA 0 0 0 NA NA NA NA
R2 0 1 NA NA NA 0 0 0 NA
R3 0 NA 1 NA NA 0 0 0 0
R4 0 0 NA 1 0 NA NA NA NA
R5 0 0 0 0 1 NA NA NA NA
R6 0 0 0 0 0 1 NA NA NA
R7 0 0 0 0 0 0 1 NA NA
R8 0 0 0 0 0 0 0 1 NA
R9 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Keterangan matriks adalah sebagai berikut:
a. dlogBrent_World ----------> C1 dan R1
b. IntCB_US ----------> C2 dan R2
c. dlogSEX_US ----------> C3 dan R3
d. dlogGDP_US ----------> C4 dan R4
e. IntCB_INA ----------> C5 dan R5
f. dlogExport_INA ----------> C6 dan R6
g. dlogIP_INA ----------> C7 dan R7
h. dlogTOT_INA ----------> C8 dan R8
i. dlogGDP_INA ----------> C9 dan R9
5. Estimasi dengan SVAR
Hasil estimasi dengan SVAR beserta parameter-parameternya dapat
dilihat dalam LAMPIRAN 2. Interpretasi dan analisis dapat dilihat pada 2 output
SVAR di bawah ini, yaitu impulse response dan variance decomposition.
6. Impulse Response
Salah satu output teknik permodelan Structural VAR, yaitu impulse
response dapat memperlihatkan bagaimana shock pada indikator-indikator
perekonomian dunia direspon oleh indikator perekonomian Indonesia, sesuai
dengan konsep dan hasil empiris terdahulu untuk developing countries. Peserta
FGD dapat mengetahui respon indikator makroekonomi Indonesia dalam
menghadapi shock dari variabel internasional, beserta lama dari dampaknya
hingga kembali pada perilaku rata-ratanya.
Analisis hasil impulse response indikator-indikator perekonomian
Indonesia terhadap guncangan faktor eksternal:
A. Respon variabel tingkat suku bunga SBI 3 bulan:
1. Terhadap guncangan 1 standar deviasi positif dari pertumbuhan harga
minyak dunia (shock 1):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
terhadap SBI Rate
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak dunia akan
direspon dengan peningkatan SBI rate 4 kuartal setelahnya. Peningkatan tingkat
suku bunga SBI di kuartal 4 adalah sebesar 0,0006% relatif terhadap trend
levelnya. Trend peningkatan tingkat suku bunga SBI berlanjut hingga kuartal ke-
7 (sebesar 0,07%) sejak guncangan pada pertumbuhan harga minyak dunia, dan
kemudian menurun hingga kuartal ke-10. Secara umum, selama 10 kuartal
observasi, guncangan 1 standar deviasi pada pertumbuhan harga minyak dunia
tidak direspon secara signifikan oleh tingkat suku bunga SBI 3 bulan.
2. Terhadap guncangan 1 standar deviasi positif dari 3 month T-Bill rate
(shock 2):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari 3 month T-Bill Rate terhadap SBI Rate
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dari 3 month T-Bill rate akan direspon dengan
peningkatan tingkat suku bunga SBI 2 kuartal setelahnya. Peningkatan SBI rate
sebagai akibat guncangan pada 3 month T-Bill rate tersebut akan terus berlanjut
hingga kuartal 7 (sebesar 1,84%), dan kemudian turun hingga kuartal 10. Secara
statistik, peningkatan SBI rate yang signifikan hanya terjadi pada kuartal ke-6
setelah guncangan pada 3 month T-Bill rate, pada tingkat kepercayaan 90%.
3. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan Dow Jones
Industrial Average (DJIA - shock 3):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan DJIA terhadap SBI Rate
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan sebesar 1 standar deviasi dari pertumbuhan DJIA akan direspon
dengan penurunan SBI rate sebesar 0,01% 2 kuartal setelah guncangan pada
pertumbuhan DJIA tersebut. SBI rate kemudian terus turun hingga kuartal ke-7
(turun sebesar 0,118%), dan kemudian perlahan naik hingga kuartal ke-10.
Respon dari SBI rate terhadap guncangan pada pertumbuhan DJIA selama 10
kuartal tersebut, secara statistik tidaklah signifikan.
B. Respon variabel pertumbuhan ekspor Indonesia:
1. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak
dunia (shock1):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
terhadap Pertumbuhan Ekspor Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dalam pertumbuhan harga minyak dunia direspon
dengan penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia secara signifikan (tingkat
kepercayaan 99%) sebesar 0.56% pada kuartal ke-3 setelah guncangan tersebut.
Hal ini disebabkan karena banyak industri masih sangat tergantung pada harga
bahan bakar dalam komponen biayanya. Peningkatan dalam harga minyak dunia
secara signifikan dapat menurunkan tingkat produksi yang berdampak pada
menurunnya volume ekspor.
2. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat (shock 4):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
terhadap Pertumbuhan Ekspor Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
direspon secara fluktuatif oleh pertumbuhan ekspor Indonesia. Respon
pertumbuhan ekpor Indonesia yang signifikan atas peningkatan pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat tersebut terjadi pada kuartal ke-3 setelah guncangan
terjadi. Peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia pada kuartal ke-3 tersebut
adalah sebesar 4,94%, dimana nilai ini signifikan pada tingkat kepercayaan
sebesar 95%. Siklus peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ini berlanjut
tepat 4 kuartal setelahnya, yaitu pada kuartal ke-7, dimana peningkatan
pertumbuhan ekspor Indonesia pada saat itu adalah sebesar 4,8%. Nilai tersebut
memiliki kedekatan dengan periode di kuartal ke-3 dengan tingkat kepercayaan
sebesar 90%. Periode-periode lain selama kurun waktu 10 kuartal sejak
guncangan dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat itu tidak memiliki
signifikansi yang nyata.
3. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari SBI rate (shock 5):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari SBI rate 3 bulan terhadap Pertumbuhan
Ekspor Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan sebesar 1 standar deviasi dalam SBI rate akan direspon dengan
penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia pada kuartal ke-3 setelah guncangan
tersebut. Penurunan pada kuartal ke-3 tersebut adalah sebesar 6,24% dengan
tingkat kepercayaan sebesar 95%. Dalam tingkat kepercayaan yang sama, siklus
penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia atas guncangan dalam SBI rate
adalah 4 kuartal, yang terjadi pada kuartal ke-7. Besaran penurunan tingkat
pertumbuhan ekspor Indonesia pada kuartal ke-7 adalah 5,49%. Fluktuasi
tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia di periode lain selama 10 kuartal adalah
tidak signifikan secara statistik.
C. Respon variabel pertumbuhan Indeks Produksi Indonesia
1. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak
dunia (shock 1):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
terhadap Pertumbuhan Indeks Produksi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dalam pertumbuhan harga minyak dunia akan
direspon dengan penurunan pertumbuhan indeks produksi Indonesia pada
kuartal ke-3 sebesar 0,59% (tingkat kepercayaan 99%). Penurunan dalam
indeks produksi Indonesia ini mengikuti meningkatnya biaya produksi, dan di
lain pihak, juga adanya peningkatan dalam tingkat suku bunga SBI yang mencoba
menahan tingkat inflasi. Siklus yang sama seperti pada pertumbuhan ekspor
dapat dilihat pada pertumbuhan indeks produksi. Pertumbuhan indeks produksi
Indonesia memiliki siklus 4 kuartalan, yaitu kemudian pada kuartal ke-7, dengan
penurunan pertumbuhan sebesar 0,31% (tingkat kepercayaan 95%). Hal ini juga
dapat dijadikan alasan mengapa pertumbuhan ekspor Indonesia juga menurun
pada siklus periode yang sama. Periode lainnya dalam 10 kuartal yang
diobservasi tidak menunjukkan signifikansi statistik.
2. Terhadap guncangan 1 standar dari pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat (shock 4):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
terhadap Pertumbuhan Indeks Produksi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan sebesar 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat direspon pada kuartal ke-3 sebesar 9,65% oleh pertumbuhan indeks
produksi Indonesia. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
dipandang dapat meningkatkan permintaan atas barang impor dari Indonesia.
Siklus yang sama diperlihatkan seperti pada pertumbuhan ekspor, yaitu pada 4
kuartal setelahnya, yaitu pada kuartal ke-7 sebesar 5,98%. Tingkat kepercayaan
peningkatan pertumbuhan indeks produksi Indonesia sebagai akibat guncangan
pada pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada kuartal ke-3 adalah 95%,
sedangkan pada kuartal ke-7 adalah 90%. Fluktuasi pada periode lainnya selama
10 kuartal adalah tidak signifikan secara statistik.
3. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari SBI rate (shock 5):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari SBI Rate terhadap Pertumbuhan Indeks
Produksi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Linier dengan apa yang terjadi dalam peningkatan pertumbuhan harga minyak
dunia, peningkatan 1 standar deviasi pada tingkat suku bunga SBI akan direspon
secara negatif dan signifikan oleh pertumbuhan indeks produksi Indonesia pada
kuartal ke-3, dan dengan siklus 4 kuartal yaitu pada kuartal ke-7, dengan tingkat
kepercayaan sebesar 95%. Penurunan pertumbuhan indeks produksi Indonesia
sebagai akibat guncangan dalam SBI rate pada kuartal ke-3 adalah sebesar
7,94%, dan pada kuartal ke-7 turun sebesar 6,36%. Peningkatan dalam SBI rate
secara umum membawa dampak kepada meningkatnya biaya atas modal dan
hutang, yang memungkinkan meningkatkan biaya produksi.
D. Respon variabel pertumbuhan ToT Indonesia
1. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak
dunia (shock 1):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
terhadap Pertumbuhan ToT Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan sebesar 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak dunia
direspon oleh penurunan pertumbuhan ToT Indonesia lebih lambat dari variabel
lainnya dalam simulasi permodelan makro global ini. Penurunan pertumbuhan
ToT Indonesia yang signifikan atas guncangan dari pertumbuhan harga minyak
dunia ini adalah pada kuartal ke-5 yaitu sebesar 0,15% dengan tingkat
kepercayaan sebesar 90%. Fluktuasi pertumbuhan ToT Indonesia pada periode
lainnya selama 10 kuartal adalah tidak signifikan secara statistik.
2. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat (shock 4):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
terhadap Pertumbuhan ToT Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
direspon oleh peningkatan pertumbuhan ToT Indonesia secara signifikan pada
kuartal ke-9 sebesar 3,78%, dengan tingkat kepercayaan sebesar 90%. Hal ini
menjawab fenomena yang terjadi sebagai akibat adanya peningkatan akumulasi
modal yang diperoleh Indonesia sebagai dampak dari peningkatan pertumbuhan
ekspor Indonesia yang signifikan di kuartal ke-3 dan kuartal ke-7 selama 10
kuartal periode observasi. Fluktuasi pertumbuhan ToT Indonesia sebagai akibat
dari guncangan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di periode lain selama
10 kuartal tersebut adalah tidak signifikan secara statistik.
3. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari SBI rate (shock 5):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari SBI Rate terhadap Pertumbuhan ToT
Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan sebesar 1 standar deviasi dari SBI rate secara umum direspon oleh
pertumbuhan negatif dari ToT Indonesia secara signifikan (tingkat kepercayaan
sebesar 95%) pada kuartal ke-3 setelah guncangan tersebut. Besaran penurunan
pertumbuhan ToT Indonesia pada kuartal tersebut adalah 4,75%. Hal ini
memperlihatkan melemahnya ekspor Indonesia, yang ditandai dengan
meningkatnya biaya produksi, dan pada saat bersamaan terjadi penurunan
indeks produksi Indonesia. Fluktuasi pertumbuhan ToT Indonesia pada periode
lain dalam kurun waktu 10 kuartal adalah tidak signifikan secara statistik.
4. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekspor
Indonesia (shock 6):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekspor Indonesia terhadap
Pertumbuhan ToT Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi pada pertumbuhan ekspor Indonesia tidak
mampu direspon secara positif dan signifikan oleh pertumbuhan ToT Indonesia
selama 10 kuartal observasi. Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan
peningkatan dan penurunan ToT dapat juga dipengaruhi pergerakan nilai tukar.
5. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan Indeks
Produksi Indonesia (shock 7):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Indeks Produksi Indonesia
terhadap Pertumbuhan ToT Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi pada pertumbuhan indeks produksi Indonesia
tidak mampu direspon secara positif dan signifikan oleh pertumbuhan ToT
Indonesia selama 10 kuartal observasi. Hal ini dimungkinkan terjadi
dikarenakan peningkatan dan penurunan ToT dapat juga dipengaruhi
pergerakan nilai tukar.
E. Respon variabel petumbuhan ekonomi Indonesia
1. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan harga minyak
dunia (shock 1):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Harga Minyak Dunia
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi pada pertumbuhan harga minyak dunia direspon
secara negatif dan signifikan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal
ke-3. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal tersebut adalah
sebesar 0,13% dengan tingkat kepercayaan sebesar 99%. Hal ini linier dengan
signifikannya penurunan dari pertumbuhan ekspor dan indeks produksi
Indonesia pada kuartal yang sama, juga, terjadinya peningkatan dalam tingkat
suku bunga SBI. Periode lain selama observasi 10 kuartal tidak menunjukkan
fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang signifikan secara statistik.
2. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat (shock 4):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
direspon dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ke-
3 yaitu sebesar 3,93%. Nilai ini kemudian dikoreksi oleh dampak peningkatan
harga minyak dunia, yaitu menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 0,13%. Fluktuasi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai akibat
guncangan pada pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada periode lainnya
selama 10 kuartal observasi adalah tidak signifikan secara statistik.
3. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari SBI rate (shock 5):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari SBI Rate terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi pada SBI rate akan direspon negatif dan signifikan
(tingkat kepercayaan 90%) oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal
ke-3 sebesar 1,55%. Hal ini linier dengan melemahnya pertumbuhan ekspor dan
pertumbuhan indeks produksi Indonesia pada kuartal yang sama. Fluktuasi
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai akibat guncangan pada SBI rate di
periode lain selama 10 kuartal observasi adalah tidak signifikan secara statistik.
4. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekspor
Indonesia (shock 6):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Ekspor Indonesia terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ekspor Indonesia direspon
secara lambat namun positif dan signifikan oleh pertumbuhan ekonomi
Indonesia (tingkat kepercayaan 90%) pada kuartal ke-9, yaitu sebesar 0,09%.
Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai akibat guncangan
pertumbuhan ekspor Indonesia pada periode lain selama 10 kuartal observasi
adalah tidak signifikan secara statistik.
5. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan indeks
produksi Indonesia (shock 7):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan Indeks Produksi Indonesia
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Peningkatan 1 standar deviasi dalam pertumbuhan indeks produksi Indonesia
tidak secara signifikan direspon oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
10 kuartal observasi. Hal ini memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
tetap berada pada rata-rata jangka panjangnya.
6. Terhadap guncangan 1 standar deviasi dari pertumbuhan ToT Indonesia
(shock 8):
Tabel Efek Guncangan 1 S.D dari Pertumbuhan ToT Indonesia terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Standard error di dalam kurung)
Seperti halnya peningkatan 1 standar deviasi pada pertumbuhan indeks
produksi Indonesia, peningkatan 1 standar deviasi pada pertumbuhan ToT
Indonesia tidak direspon secara signifikan oleh pertumbuhan ekonomi
Indonesia, selama 10 kuartal observasi. Hal ini memperlihatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tetap berada pada rata-rata jangka panjangnya.
7. Variance Decomposition
Output terakhir dari estimasi permodelan makroekonomi global dengan
pemanfaatan teknik SVAR adalah variance decomposition. Variance
decomposition memberikan gambaran kontribusi dari indikator ekonomi dunia
dan domestik dalam mempengaruhi variasi pergerakan variabel indikator
ekonomi Indonesia dalam pengamatan.
Hasil output variance decomposition untuk variabel-variabel indikator
ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel Variance Decomposition dari Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Period Shock1 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7 Shock8 Shock9
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00
2 0.04 72.85 11.33 0.45 0.00 0.02 13.27
3 0.07 78.49 12.22 0.28 0.00 0.03 5.06
4 0.09 74.79 16.71 0.25 0.00 0.03 4.35
5 0.08 69.52 18.54 0.27 0.00 0.03 5.37
6 0.09 67.28 19.22 0.30 0.04 0.03 6.20
7 0.08 67.34 18.78 0.31 0.08 0.06 6.15
8 0.09 66.23 19.43 0.32 0.08 0.07 6.05
9 0.09 65.69 19.24 0.34 0.11 0.07 6.60
10 0.09 64.23 19.57 0.34 0.11 0.07 7.13
Average 0.07 62.64 15.50 0.29 0.04 0.04 16.02
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 kuartal pengamatan lebih
banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (shock 1 -
sebagai variabel eksternal Indonesia), yang berkontribusi rata-rata sebesar
62,64%. Di lain pihak, variabel tingkat suku bunga SBI (shock 5) berkontribusi
rata-rata sebesar 15,5% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tabel Variance Decomposition dari SBI Rate
Period Shock2 Shock3 Shock5
1 0.00 0.00 99.74
2 1.52 0.00 96.55
3 7.66 0.02 89.69
4 17.97 0.05 79.54
5 31.43 0.10 66.36
6 43.71 0.14 54.30
7 52.68 0.19 45.57
8 58.35 0.21 40.04
9 61.33 0.23 37.12
10 62.52 0.24 35.99
Average 33.72 0.12 64.49
SBI rate 3 bulan selama 10 kuartal pengamatan lebih banyak dipengaruhi
oleh 3 month T-Bill rate (shock 2 - sebagai variabel eksternal Indonesia), yaitu
sebesar rata-rata 33,72%. Kontribusi pertumbuhan DJIA (shock 3) rata-rata
dalam periode yang sama hanya 0,12%.
Tabel Variance Decomposition dari Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Period Shock1 Shock4 Shock5 Shock6
1 0.00 0.00 0.00 75.71
2 0.16 37.29 25.17 2.58
3 0.27 29.35 35.06 0.90
4 0.27 22.65 46.84 0.67
5 0.27 22.39 47.63 0.66
6 0.25 27.35 44.36 0.62
7 0.23 30.07 46.19 0.52
8 0.22 29.59 47.89 0.55
9 0.22 29.47 47.76 0.62
10 0.22 29.74 46.75 0.64
Average 0.21 25.79 38.76 8.35
Pertumbuhan ekspor Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh SBI rate,
yaitu sebesar 38,76% rata-rata selama 10 kuartal observasi. Variabel eksternal
Indonesia yang paling besar berkontribusi terhadap pergerakan pertumbuhan
ekspor Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (shock 4), yaitu
sebesar rata-rata 25,79% selama 10 kuartal observasi. Di lain pihak kontribusi
pertumbuhan harga minyak dunia terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia
adalah 0,21% (rata-rata).
Tabel Variance Decomposition dari Pertumbuhan Indeks Produksi
Indonesia
Period Shock1 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7
1 0.00 0.00 0.00 0.00 48.93
2 0.12 52.12 45.00 0.27 1.07
3 0.14 54.29 41.14 0.25 0.49
4 0.14 53.59 39.41 0.28 0.46
5 0.14 53.52 39.31 0.35 0.48
6 0.14 53.41 39.47 0.42 0.47
7 0.14 52.11 41.85 0.38 0.39
8 0.14 51.35 42.75 0.36 0.36
9 0.15 51.06 42.68 0.37 0.36
10 0.15 50.81 42.78 0.38 0.39
Average 0.13 47.23 37.44 0.31 5.34
Kontribusi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (shock 4 - sebagai
variabel eksternal Indonesia) adalah yang paling tinggi terhadap pertumbuhan
indeks produksi Indonesia, yaitu sebesar 47,23% selama 10 kuartal observasi.
SBI rate (shock 5) berkontribusi sebesar 37,44% rata-rata terhadap
pertumbuhan indeks produksi Indonesia. Di lain pihak pertumbuhan harga
minyak dunia (shock 1) dan pertumbuhan ekspor Indonesia (shock 6) berturut-
turut berkontribusi pada pertumbuhan indeks produksi Indonesia sebesar
0,13% dan 0,31%.
Tabel Variance Decomposition dari Pertumbuhan ToT Indonesia
Period Shock1 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7 Shock8
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 99.69
2 0.00 4.51 35.64 0.62 0.00 8.55
3 0.00 1.96 42.37 0.85 0.00 4.17
4 0.00 2.37 43.85 0.98 0.01 4.06
5 0.03 2.29 39.98 0.88 0.02 3.63
6 0.03 6.12 33.74 0.74 0.02 3.09
7 0.03 7.81 32.59 0.70 0.02 3.02
8 0.03 9.80 31.90 0.70 0.02 3.00
9 0.03 18.88 28.95 0.64 0.02 2.68
10 0.03 21.99 29.14 0.60 0.02 2.50
Average 0.02 7.57 31.81 0.67 0.01 13.44
Pertumbuhan ToT Indonesia dalam 10 kuartal observasi, secara rata-rata
lebih dipengaruhi oleh kontribusi SBI rate (shock 5) yaitu sebesar 31,81%.
Variabel eksternal yaitu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (shock 4)
berkontribusi sebesar 7,57%. Di lain pihak, kontribusi pertumbuhan harga
minyak dunia, pertumbuhan ekspor Indonesia, dan pertumbuhan indeks
produksi Indonesia secara berturut-turut adalah 0,02%, 0,67%, dan 0,01%.
8. Kesimpulan
Simulasi miniatur permodelan makro ekonomi global dengan
menempatkan Amerika Serikat sebagai negara dengan indikator makro ekonomi
eksternal, dan harga minyak dunia sebagai variabel yang bersifat super
exogenous dijadikan determinan dari pergerakan beberapa indikator makro
ekonomi Indonesia. Indikator makro ekonomi Indonesia yang dipantau adalah
SBI rate, pertumbuhan ekspor, pertumbuhan indeks produksi, pertumbuhan
ToT, dan pertumbuhan ekonomi.
Permodelan makro ekonomi global tersebut diatas disimulasikan dengan
memanfaatkan teknik Structural Vector Autoregression (SVAR), yang hasil
outputnya dapat menunjukkan konsistensi dan sesuai dengan konsep negara
Small Open Economy.
Output dari impulse response dan variance decomposition yang
merupakan alat-alat utama dalam analisis SVAR dapat ditingkatkan akurasinya
dengan melakukan simulasi atas bagaimana determinasi dari perekonomian
China, Jepang, dan Eurozone terhadap perekonomian Indonesia. Pemilihan
variabel indikator makro ekonomi yang nantinya akan disertakan dalam sistem
SVAR untuk permodelan makro ekonomi global dengan melibatkan negara-
negara tersebut hendaknya disesuaikan dengan konsep, penelitian empiris
terdahulu, dan juga judgment professional pengambil kebijakan, yaitu
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal - Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
LAMPIRAN 2 HASIL ESTIMASI UNRESTRICTED VECTOR AUTOREGRESSION
Vector Autoregression Estimates
Sample (adjusted): 2004Q4 2014Q4
Included observations: 41 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DLOGBRENT_
WORLD INTCB_US DLOGSEX_US DLOGGDP_US INTCB_INA DLOGEXPORT
_INA DLOGIP_INA DLOGTOT_INA DLOGGDP_INA DLOGBRENT_WORLD(-1) -0.459762 -0.000327 -0.023536 0.000415 -0.002926 0.285529 0.408836 -0.003190 0.064190
(0.40539) (0.00250) (0.19065) (0.01439) (0.00559) (0.07550) (0.09557) (0.10383) (0.05245)
[-1.13411] [-0.13058] [-0.12345] [ 0.02885] [-0.52382] [ 3.78201] [ 4.27796] [-0.03072] [ 1.22390]
DLOGBRENT_WORLD(-2) -0.250476 0.001842 -0.114176 -0.007924 -0.005109 -0.099601 0.442350 0.093774 0.102458
(0.59389) (0.00366) (0.27931) (0.02109) (0.00818) (0.11060) (0.14001) (0.15211) (0.07683)
[-0.42175] [ 0.50292] [-0.40879] [-0.37577] [-0.62433] [-0.90054] [ 3.15952] [ 0.61649] [ 1.33349]
INTCB_US(-1) -23.94207 1.832499 -11.16067 -0.771816 0.427512 1.785011 -2.261361 -2.017935 -2.255148
(15.3102) (0.09443) (7.20033) (0.54362) (0.21095) (2.85123) (3.60925) (3.92125) (1.98074)
[-1.56380] [ 19.4056] [-1.55002] [-1.41977] [ 2.02662] [ 0.62605] [-0.62655] [-0.51462] [-1.13854]
INTCB_US(-2) 21.77667 -0.898967 10.42889 0.707934 -0.225344 -1.893996 2.510475 2.265608 2.107623
(14.6971) (0.09065) (6.91199) (0.52185) (0.20250) (2.73705) (3.46471) (3.76422) (1.90142)
[ 1.48170] [-9.91693] [ 1.50881] [ 1.35659] [-1.11280] [-0.69198] [ 0.72458] [ 0.60188] [ 1.10845]
DLOGSEX_US(-1) -0.136288 0.001088 -0.480984 0.010247 -0.001603 -0.253404 -0.700620 -0.385217 0.029769
(0.91168) (0.00562) (0.42876) (0.03237) (0.01256) (0.16978) (0.21492) (0.23350) (0.11795)
[-0.14949] [ 0.19353] [-1.12180] [ 0.31656] [-0.12759] [-1.49252] [-3.25990] [-1.64976] [ 0.25239]
DLOGSEX_US(-2) -0.666093 -0.004834 -0.291859 0.021749 0.008327 0.133713 -0.738467 -0.251766 -0.096659
(0.94030) (0.00580) (0.44222) (0.03339) (0.01296) (0.17511) (0.22167) (0.24083) (0.12165)
[-0.70838] [-0.83351] [-0.65999] [ 0.65143] [ 0.64274] [ 0.76358] [-3.33141] [-1.04541] [-0.79457]
DLOGGDP_US(-1) -12.17574 0.111399 -5.250509 -1.322777 0.226985 -1.127472 -0.548848 4.412719 -2.713862
(7.20414) (0.04443) (3.38808) (0.25580) (0.09926) (1.34163) (1.69831) (1.84513) (0.93203)
[-1.69010] [ 2.50707] [-1.54970] [-5.17119] [ 2.28675] [-0.84037] [-0.32317] [ 2.39155] [-2.91178]
DLOGGDP_US(-2) -6.968169 0.109731 -5.045042 -0.801939 0.181909 -0.065348 0.669003 2.741845 -2.092493
(6.45402) (0.03981) (3.03530) (0.22916) (0.08893) (1.20194) (1.52148) (1.65301) (0.83498)
[-1.07966] [ 2.75654] [-1.66212] [-3.49943] [ 2.04563] [-0.05437] [ 0.43971] [ 1.65870] [-2.50603]
INTCB_INA(-1) 10.86777 0.043185 4.478249 0.256574 1.546774 0.397026 1.532636 1.144388 1.066130
(8.94368) (0.05516) (4.20618) (0.31756) (0.12323) (1.66559) (2.10840) (2.29066) (1.15708)
[ 1.21513] [ 0.78286] [ 1.06468] [ 0.80794] [ 12.5520] [ 0.23837] [ 0.72692] [ 0.49959] [ 0.92140]
INTCB_INA(-2) -7.295155 -0.001189 -3.150512 -0.149754 -0.849350 -0.302349 -1.704012 -1.456445 -0.810563
(9.34339) (0.05763) (4.39416) (0.33176) (0.12874) (1.74003) (2.20263) (2.39303) (1.20879)
[-0.78078] [-0.02063] [-0.71698] [-0.45140] [-6.59759] [-0.17376] [-0.77363] [-0.60862] [-0.67056]
DLOGEXPORT_INA(-1) 0.089445 -0.013463 0.740862 0.017902 -0.013241 -0.646637 -0.645119 -0.389809 -0.204828
(1.04094) (0.00642) (0.48955) (0.03696) (0.01434) (0.19386) (0.24539) (0.26661) (0.13467)
[ 0.08593] [-2.09684] [ 1.51335] [ 0.48435] [-0.92323] [-3.33566] [-2.62892] [-1.46211] [-1.52095]
DLOGEXPORT_INA(-2) -0.093683 -0.005514 0.264310 0.014179 -0.006272 -0.171560 -0.113146 0.027055 -0.260388
(0.59061) (0.00364) (0.27776) (0.02097) (0.00814) (0.10999) (0.13923) (0.15127) (0.07641)
[-0.15862] [-1.51356] [ 0.95157] [ 0.67614] [-0.77076] [-1.55978] [-0.81265] [ 0.17886] [-3.40779]
DLOGIP_INA(-1) -1.151967 0.011918 -0.227899 -0.026191 0.029707 -0.635390 -1.498214 0.146769 -0.235883
(0.81320) (0.00502) (0.38244) (0.02887) (0.01120) (0.15144) (0.19170) (0.20828) (0.10521)
[-1.41659] [ 2.37621] [-0.59590] [-0.90709] [ 2.65136] [-4.19560] [-7.81526] [ 0.70469] [-2.24211]
DLOGIP_INA(-2) -1.383372 0.004021 0.238133 -0.000848 0.011905 -0.076232 -1.325030 -0.158217 -0.254023
(1.17868) (0.00727) (0.55433) (0.04185) (0.01624) (0.21951) (0.27786) (0.30188) (0.15249)
[-1.17366] [ 0.55313] [ 0.42959] [-0.02026] [ 0.73304] [-0.34729] [-4.76862] [-0.52410] [-1.66582]
DLOGTOT_INA(-1) -0.355653 -0.003985 0.003046 -0.010135 -0.015942 -0.172216 0.021402 -1.242809 -0.041472
(0.58258) (0.00359) (0.27398) (0.02069) (0.00803) (0.10849) (0.13734) (0.14921) (0.07537)
[-0.61048] [-1.10901] [ 0.01112] [-0.48993] [-1.98610] [-1.58733] [ 0.15584] [-8.32925] [-0.55024]
DLOGTOT_INA(-2) 0.063791 -0.003017 0.200735 -0.003575 -0.009389 -0.041980 0.055923 -0.648363 -0.036722
(0.56733) (0.00350) (0.26681) (0.02014) (0.00782) (0.10565) (0.13374) (0.14530) (0.07340)
[ 0.11244] [-0.86226] [ 0.75235] [-0.17746] [-1.20109] [-0.39733] [ 0.41814] [-4.46211] [-0.50032]
DLOGGDP_INA(-1) 0.733157 0.000781 0.097132 0.107622 -0.024908 1.719626 0.322365 -0.698007 -0.718057
(1.37758) (0.00850) (0.64787) (0.04891) (0.01898) (0.25655) (0.32475) (0.35283) (0.17822)
[ 0.53221] [ 0.09189] [ 0.14993] [ 2.20024] [-1.31226] [ 6.70293] [ 0.99265] [-1.97833] [-4.02898]
DLOGGDP_INA(-2) 1.497133 0.014239 -0.843891 0.067558 -0.013702 1.215081 1.421170 -0.371970 0.158473
(1.38123) (0.00852) (0.64959) (0.04904) (0.01903) (0.25723) (0.32561) (0.35376) (0.17870)
[ 1.08391] [ 1.67140] [-1.29912] [ 1.37752] [-0.71998] [ 4.72374] [ 4.36458] [-1.05147] [ 0.88683]
C -25.32013 -0.226003 -9.714744 -0.770771 2.043702 -0.355147 0.838576 2.083044 -1.751931
(36.4649) (0.22491) (17.1493) (1.29476) (0.50242) (6.79088) (8.59628) (9.33939) (4.71760)
[-0.69437] [-1.00486] [-0.56648] [-0.59530] [ 4.06768] [-0.05230] [ 0.09755] [ 0.22304] [-0.37136] R-squared 0.672002 0.993245 0.667277 0.825343 0.961313 0.968488 0.859344 0.877869 0.895527
Adj. R-squared 0.403640 0.987719 0.395050 0.682442 0.929660 0.942706 0.744262 0.777944 0.810049
Sum sq. resids 28539.62 1.085720 6312.347 35.98123 5.418018 989.8090 1586.062 1872.130 477.6845
S.E. equation 36.01743 0.222151 16.93886 1.278871 0.496260 6.707557 8.490802 9.224793 4.659713
F-statistic 2.504089 179.7222 2.451176 5.775622 30.37029 37.56414 7.467226 8.785276 10.47668
Log likelihood -192.3587 16.26576 -161.4286 -55.49970 -16.68772 -123.4472 -133.1129 -136.5123 -108.5117
Akaike AIC 10.31018 0.133378 8.801397 3.634132 1.740864 6.948646 7.420144 7.585966 6.220085
Schwarz SC 11.10428 0.927472 9.595491 4.428226 2.534959 7.742741 8.214238 8.380061 7.014179
Mean dependent -0.022665 1.612011 -0.272390 0.005596 7.817854 0.154045 0.051799 0.111342 -0.156458
S.D. dependent 46.64000 2.004594 21.77832 2.269421 1.871144 28.02271 16.79001 19.57608 10.69148 Determinant resid covariance (dof adj.) 1.34E+08
Determinant resid covariance 495858.3
Log likelihood -792.4263
Akaike information criterion 46.99640
Schwarz criterion 54.14325
LAMPIRAN 2 HASIL ESTIMASI STRUCTURAL FACTORIZATION WITH SVAR METHOD
Structural VAR Estimates
Sample (adjusted): 2004Q4 2014Q4
Included observations: 41 after adjustments
Estimation method: method of scoring (analytic derivatives)
Maximum iterations reached at 500 iterations
Structural VAR is over-identified (18 degrees of freedom) Model: Ae = Bu where E[uu']=I
Restriction Type: short-run pattern matrix
A =
1 C(1) 0 0 0 C(9) C(12) C(16) C(21)
0 1 C(3) C(5) C(7) 0 0 0 C(22)
0 C(2) 1 C(6) C(8) 0 0 0 0
0 0 C(4) 1 0 C(10) C(13) C(17) C(23)
0 0 0 0 1 C(11) C(14) C(18) C(24)
0 0 0 0 0 1 C(15) C(19) C(25)
0 0 0 0 0 0 1 C(20) C(26)
0 0 0 0 0 0 0 1 C(27)
0 0 0 0 0 0 0 0 1
B =
1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1
WARNING: B matrix is fixed (structural innovation variances not estimated)!!!
Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. C(1) -26.69885 0.250635 -106.5247 0.0000
C(2) -11.05909 0.256159 -43.17274 0.0000
C(3) 0.057002 0.016577 3.438684 0.0006
C(4) -0.018126 0.009094 -1.993125 0.0462
C(5) -0.498235 0.227202 -2.192913 0.0283
C(6) -9.333081 0.129573 -72.02928 0.0000
C(7) 0.243319 0.186738 1.302992 0.1926
C(8) 7.565434 0.160131 47.24539 0.0000
C(9) -0.828010 0.156175 -5.301812 0.0000
C(10) -0.020205 0.156205 -0.129351 0.8971
C(11) 0.016371 0.156174 0.104824 0.9165
C(12) -0.635469 0.156888 -4.050471 0.0001
C(13) 0.073403 0.157047 0.467396 0.6402
C(14) 0.003016 0.156887 0.019226 0.9847
C(15) -0.095695 0.156174 -0.612750 0.5400
C(16) -0.020650 0.158588 -0.130214 0.8964
C(17) -0.005611 0.158588 -0.035381 0.9718
C(18) -0.005070 0.158588 -0.031971 0.9745
C(19) 0.033139 0.158503 0.209075 0.8344
C(20) -0.173366 0.156174 -1.110083 0.2670
C(21) -3.013052 0.243118 -12.39336 0.0000
C(22) -0.008041 0.156373 -0.051424 0.9590
C(23) -0.098910 0.243525 -0.406159 0.6846
C(24) 0.054117 0.243116 0.222599 0.8238
C(25) 0.652530 0.220727 2.956281 0.0031
C(26) -0.997206 0.156416 -6.375334 0.0000
C(27) -0.055756 0.156174 -0.357014 0.7211 Log likelihood -27188.11
LR test for over-identification:
Chi-square(18) 52561.65 Probability 0.0000 Estimated A matrix:
1.000000 -26.69885 0.000000 0.000000 0.000000 -0.828010 -0.635469 -0.020650 -3.013052
0.000000 1.000000 0.057002 -0.498235 0.243319 0.000000 0.000000 0.000000 -0.008041
0.000000 -11.05909 1.000000 -9.333081 7.565434 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 -0.018126 1.000000 0.000000 -0.020205 0.073403 -0.005611 -0.098910
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.016371 0.003016 -0.005070 0.054117
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.095695 0.033139 0.652530
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.173366 -0.997206
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.055756
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
Estimated B matrix:
1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000