laporan penelitian pokok-pokok konsepsi … · sosial politik, pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
POKOK-POKOK KONSEPSI KERAWANAN YANG PERLU DI WASPADAI DI BALI
(OPTIMALISASI PERAN “PECALANG” DI DESA PAKRAMAN)
TIM PENELITI
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi., SH.,MH
Drs. Tri Sudirman
I Wayan Gede Suryatartha, S.E.,MBA
DENPASAR
2015
2
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Ynag Maha Kuasa/ Ida Shang Hyang
Widhi Wasa, penelitian dengan judul “Pokok-pokok Konsepsi Kerawanan yang Perlu Diwaspadai
di Bali: Optimalisasi Peran Pecalang” dapat diselesaikan sesuai dengan perencanaan. Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengetahui potret kerawanan yang perlu diwaspadai yang diperkirakan
ataupun bahkan telah terjadi sehingga perlu ditangani secara serius.
Keberhasilan pariwisata di Bali banyak mengundang perhatian terhadap pulau yang relative
kecil ini, perhatian tersebut di samping yang positif juga banyak yang sengaja untuk
memanfaatkan secra negative sehingga dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan yang dapat
membahayakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta ketidak tertiban secara
menyeluruh. Karena itu penelitian-penelitian untuk mengetahui getaran-getaran kerawanan
yang sewaktu-waktu dapat muncul atau terjadi sangat penting untuk dilakukan.
Penelitian ini dapat dilaksanakan dan diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu perkenankan melalui kesempatan ini kami tim peneliti menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
a. Forum Koordinasi Pencegahan Teroris Republik Indonesia;
b. Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Bali;
c. Kantor Kesatuan Bangsa Perlindungan Masyarakat dan Politik Provinsi Bali;
d. Para Responden dan ataupun informan di seluruh Kabupaten/Kota se Provinsi Bali yang
terdiri dari tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan, organisasi
sosial politik, pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh pemuda, dan tokoh adat, budaya,
dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
e. Demikian pulapara tenaga lapangan, mahasiswa dan beberapa dosen yang ikut terlibat
dalam penelitian ini.
Kami berharap semoga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk dipakai pegangan
dalam mengambil kebijakan menegakkan ketertiban dan keamanan di daerah Bali
Khususnya dan demi keamanan Republik Indonesia pada umumnya.
Tim Penyusun,
1
I. PENDAHULUAN
Keberhasilan pariwisata di Bali diakui menjadi sebab bertambahnya migrasi ke Bali.
Dengan demikian salah satu dampak yang ditimbulkan dari keberhasilan pariwisata adalah
masalah kependudukan. Sebagaimana dikatakan Pitana bahwa masalah kependudukan dapat
menimbulkan dampak sekunder yang berantai aseperti pengangguran, gelandangan dan
pengemis, prostitusi, penyalahguaan obat terlarang, tindakan kriminal atau berbagai penyakit
sosial lainnya (Pitana, 2000). Di berbagai tempat masalah kependudukan dapat menimbulkan
konflik sosial antar ras, suku, agama ataupun masalah ekonomi. Apabila masalah
kependudukan ini tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif bagi kelangsungan
pariwisata di Bali.
Menurut Penelitian Pitana (2000), masalah kependudukan telah menjadi persoalan yang
sangat kompleks dalam perkembangan pariwisata di Kuta. Hal ini sangat dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat di kuta baik kalangan birokrat maupun para usahawan yang bergerak di
bidang ekonomi.
Salah satu lembaga adat yang merupakan wadah masyarakat adat di Bali dalam
membina kehidupannya yang sosial relegius adalah desa pakraman. Dalam kaitannya tersebut
Desa pakraman mempunyai otonomi baik dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku
dilingkungan wilayahnya (awig-awig) termasuk mengatur masalah kependudukan baik sebagai
krama desa dan krama tamiu (penduduk pendatang). Desa pakraman juga mempunyai otonomi
dalam menyelenggarakan organisasinya yang sosial relegius, serta berwenang menyelesaikan
persoaln-persoalan hukum yang terjadi di lingkungan wilayahnya baik berupa pelanggaran
hukum mamupun sengketa (Sudantra, 2001). Di dalam desa pakraman juga ada satu lembaga
yang khusus menangani masalah keamanan juka ada kegiatan di wilayahnya yang disebut
dengan nama’pecalang’. Pecalang berasal dari kata ‘celang’ yang artinya awas, sehingga
‘pecalang’ dimaksudkan agar awas, selalu waspada untuk memantau hal-hal yang
membahayakan di lingkungan desa pakraman.
Terkait dengan keberadan penduduk Bali yang heterogen memberi peluang juga
terjadinya tindak kejahatan dan kriminal. Sebagi contoh adalah tidakan teorisme. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa Bom Bali kedua yang meledak pada tanggal 1 Oktober 2005 di tiga
2
lokasi yaitu Raja’s Restaurant, Nyoman's Cafe dan Menega's Café telah menelan korban 22
orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka. Ini semakin meneguhkan
stigma asing bahwa Indonesia bukan tempat yang aman bagi pariwisata dan investasi. Hal ini
terlihat dari tidak tercapainya sasaran kunjungan wisata 2005 dan pertumbuhan investasi yang
masih tetap bahkan cenderung menurun.
Terjadinya kasus BOM Bali mengingatkan semua orang bahwa Desa Pakraman sebagai
organisasi relegius memegang peranan yang sangat penting dalam melakukan perencanaan
(planning), pengembangan (development), pengawasan (supervision) dan pengevaluasian
(evaluation) program pengembangan pariwisata, terutama yang berdampak pada
meningkatnya tindakan teorisme. Oleh karena itu penting untuk dilakukan penelitian tentang
sejauh mana partisipasi desa pakraman dalam pencegahan aksi terorisme, dan bentuk
partispasi desa pakraman itu seperti apa. Untuk itu sangat relevan dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang “Partisipasi Desa Pakraman Dalam Pencegahan Aksi Terorisme”.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka ada beberapa permasalahan yang perlu
mendapat perhatian dalam penelitian ini yaitu :
1. Apa saja bentuk-bentuk kerawanan yang perlu diwaspadai di Bali
2. Mengapa Penting dilakukan optimalisasi ‘pecalang’ di Desa Pakraman Dalam
Pencegahan Aksi radikalisme ataupun Teorisme?
3. Apakah bentuk partisipasi dilakukan oleh ‘pecalang’ di Desa Pakraman dalam
Pencegahan Aksi radikalisme ataupun Teorisme?.
III. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kerawanan yang perlu diwaspadai di Bali ;
2. Untuk mengetahui pentingnya dilakukan Partisipasi ‘pecalang’ di Desa Pakraman Dalam
Pencegahan Aksi radikalisme atau Teorisme
3. Untuk mengetahui bentuk partisipasi ‘pecalang’ yang dilakukan di Desa Pakraman
3
dalam Pencegahan Aksi radikalisme ataupun Teorisme.
IV. Urgensi (keutamaan) Penelitian
Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam rangka membantu pemerintah mencari solusi
dalam pencegahan aksi radikalisme ataupun terorisme. Oleh karena itu, keikut sertaan desa
pakraman dalam dalam pencegahan aksi terorisme amat sangat dibutuhkan, mengingat desa
pakraman melalui optimalisasi lembaga pecalangnya merupakan pilar pertama masuknya
penduduk pendatang yang berpotensi terjadinya tindak kejahatan terutama kejahatan radikal
atau teorisme. Melalui tugas dan wewenang ‘pecalang’ diharapkan pengawasan terhadap
penduduk khususnya pendatang baru dapat dipantau lebih dini sehingga bila ada sesuatu yang
mencurigakan lebih cepat dapat diketahui dan segera dilaporkan kepada yang berwenang.
Di lain pihak perlu juga dicarikan formulasi yuridis supaya ada pengaturan hukum yang jelas
mengenai hubungan antara desa pakraman dengan pemerintah khususnya dalam hal dalam
pencegahan aksi terorisme. Dengan demikian harapan penelitian ini adalah untuk bisa
menemukan solusi dan formulasi yuridis dan sosiologis mengenai pola dan mekanisme dalam
pencegahan aksi terorisme yang dilakukan melalui lembaga pecalangnya, baik yang berbasis
aturan desa pakraman (awig-awig) maupun aturan hukum negara (peraturan perundang-
undangan), yang secara kenyataan dilakukan oleh suatu lembaga khusus pengamanan desa
pakraman yang disebut dengan ‘pecalang’ tersebut.
V. STUDI PUSTAKA
1. Konsep Desa pakraman
Desa pakraman merupakan salah satu contoh persekutuan hukum yang ada di
Indonesia yang dalam pembentukan suatu persekutan hukum dipengaruhi oleh 2 ( dua factor)
yaitu factor genealogis dan factor teritorial. Persekutuan hukum yang dipengaruhi faktor
genealogis adalah berdasarkan atas pertalian suatu keturunan, apabila soal apakah seseorang
menjadi anggota persekutuan hukum itu, tergantung dari pertayaan, apakah orang itu masuk
suatu keturunan yang sama sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi oleh factor
teritorial adalah berdasarkan lingkungan daerah, apabila keanggotaan seseorang dari
4
persekutuan itu tergantung dari soal apakah ia bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah
persekutuan itu atau tidak1.
Persekutuan hukum dalam hal ini Desa pakraman di Bali dalam pembentukannya
umumnya dipengaruhi factor teritorial dan ada juga terbentuknya Desa pakraman dipengaruhi
factor genealogis dan teritorial. Desa pakraman yang pembentukannya dipengaruhi oleh factor
teritorial dapat kita jumpai di bagian daerah bali dataran (bagian Bali selatan).
Desa pakraman dalam perjalanan awalnya memang sudah melekat prinsip otonomi
dalam artian sejak lahirnya Desa pakraman disertai dengan hak otonom (berhak mengatur
rumah tangganya sendiri). Otonomi Desa pakraman sudah ada pengakuan dalam peraturan
perundang-undangan seperti UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) maupun dalam Undang-undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Secara lokal pengakuan Desa pakraman diatur dalam
Peraturan Daerah No. 3 tahun 2001 yang sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Daerah
Nomor 3 tahun 2003. Secara teknis yuridis istilah Desa pakraman pertama kali dipergunakan
dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001. Dalam Peraturan Daerah No. 3 tahun 2001 Dalam
Pasal 1 angka 4 dirumuskan Desa pakraman adalah “ kesatuan masyarakat hukum adat di
Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hudup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan
Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri “.
Di samping merupakan masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri-ciri seperti yang
disebutkan diatas , Desa pakraman juga memiliki kekhasan yang membedakan dengan
masyarakat hukum adat di daerah lain. Kekhasan itu adalah bahwa dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat hukum adat di wilayah Desa pakraman senantiasa dilandasi dengan konsep tri
hita karana yang merupakan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat
hindu Bali. Landasan filosofis tri hita karana adalah untuk mengharmoniskan ketiga unsure
yang terkandung dalam konsep tri hita karana yaitu :
1. mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan Tuhan
1 R Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, h. 52.
5
2. mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam semesta
3. mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan sesamanya2
Keseimbangan hubungan-hubungan di atas oleh masyarakat Bali diyakini menimbulkan
suasana yang harmonis dalam masyarakat yaitu suasana yang tertib, tentram dan sejahtera.
Penjabaran konsep Tri Hita Karana juga dapat direalisasikan kedalam 3 (tiga unsure) pokok
dalam pembentukan Desa pakraman yaitu ;
a. Parhyangan yaitu adanya khayangan desa ( khayangan tiga: pura dEsa atau Bale agung,
Pura Puseh dan Pura Dalem) sebagai tempat pemujaan bersama tehadap Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Palemahan, sebagai wilayah tempat tingga dan tempat mencari penghidupan sebagai
proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk di bawah kekuasaan hukum territorial Bale
Agung.
c. Pawongan yaitu warga ( Penduduk) Desa pakraman yang disebut karma desa sebagai
satu kesatuan hidup masyarakat Desa pakraman.
Desa pakraman sebagai organisasi sosial relegius yang otonom dapat diartikan bahwa
Desa pakraman berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi desa pkaraman ini
mempunyai landasan yang kuat disamping bersumber dari kodratnya sendiri (otonomi asli) juga
bersumber dalam struktur kenegaraan yang mendapat pengakuan yang secara yuridis diatur
dalam Ppasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan dalam perspektif lokal diatur dalam Peraturan
Daerah No. 3 Tahun 2001 yang terlah dirubah menjadi Peraturan Daerah No. 3 tahun 2003.
Sesungguhnya otonomi Desa pakraman bukanlah otonomi penuh seperti banyak dikira oleh
masyarakat luas tetapi semi otonom seperti yang disebutkan oleh Sally Falk Moore. Dia
menyatakan bahwa Desa pakraman merupakan kelompok social yang semi otonom dimana
dalam pelaksanaan otonominya itu Desa pakraman tidak boleh bertentangan atau tetap harus
tunduk pada kekuasaan Negara3.
2 P windia dan Ketut Sudantra, 2006; Pengantar hukum Adat Bali; Lembaga dokumentasi dan publikasi
Fakultas hukum Universitas Udayana, h. 45.
3 Sally Falk Moore, 2001, “ Hukum dan Perubahan sosial: Bidang Sosial semi-Otonom sebagai Suatu Topik
studi yang tepat” dalam Antropologi Hukum Subuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 52.
6
2. Konsep ’Pecalang’
Pecalang adalah Satgas (Satuan Tugas) keanaman tradisional masyarakat Bali yang
mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah baik di tingkat Banjar
Pakraman dan atau wilayah Desa Pakraman. Mewujudkan keamanan, ketertiban dan
ketentraman pelaksanaan Tri Hita Karana, baik didalam maupun di luar desa adat yang
bersangkutan, melalui koordinasi antar desa dan bersama aparat terkait lainnya. Terkait dengan
keberadaan Pacalang ini, sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang jelas terutama dalam
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan dalam PERDA Propinsi Bali No. 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman.
Secara factual, sudah sangat biasa dan sering membantu tugas-tugas polisi. Dalam hal
Pecalang melakukan tugas pamebantuan terhadap fungsi kepolisian, kepolisian memiliki
wewenang untuk mengkoordikasikan pelaksanaan tugas pembantuan itu. Dalam kaitan ini
Kepolisian dapat melakukan pengawasan pembinaan, pemberian petunjuk, mendidik dan
memberi pelatihan teknis.
Untuk menentukan luas ruang lingkup tugas/ kewenangan pecalang dibidang
Adat/Agama dapat dipakai doktrin Tri Hita Karana sebagai tolak ukurnya. Dengan demikian
maka fungsi pecalang sebagai pembantu kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban
terurai dalam 3 dimensi yakni; (1) pengaman terhadap parahyangan. (2)pengamanan terhadap
keberadaan pawongan. (3) pengamanan terhadap keperadaan palemahan4.
Pecalang memiliki fungsi pembantuan yang terbatas dibidang penegakan hukum yakni hanya
dalam peristiwa “tertangkap tangan” (ontdekking op heeterdaad). Dalam hal demikian pecalang
segera menyerahkan tersangka kepada penyelidik atau penyidik dan penyelidik atau penyidik
wajib segera melakukan pemeriksaan lanjutan di tempat kejadian.
3. Konsep Partisipasi
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikut sertaan, berperan dalam suatu kegiatan, mulai
dari perencanaan sampai dengan evaluasi5. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, partisipasi
dapat diartikan ada peran serta atau keikutsertaan6. Keikutsertaan yang dimaksud adalam
peran serta masyarakat dalam mengawasi, mengontrol dan mempengaruhi dalam
4 I Gde Parimartha, dkk,2011, Pecalang : Perangkat keamanan desa adat di Bali, Udayana University Press,
denpasar, h.70.
5 Sirajuddin, didik Sukrino, Winardi, 2011, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan
Informasi, Setara Press, Malang , h. 171. 6 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga,
Balai Pustaka Jakarta, h. 831.
7
pembentukan peraturan daerah mulai dari perencanaan sampai evaluasi pelaksanaan
peraturan daerah. Partisipasi masyarakat oleh Jazim Hamidi konsep Partisipasi dikatakan
sebagai sebagai alat komunikasi. Dimana Konsep ini melihat partisipasi sebagai alat komunikasi
bagi pemerintah (sebagai pelayan rakyat) untuk mengetahui keinginan rakyat. Selanjutnya
Jazim Hamidi juga berpendapat bahwa Partisipasi sebagai penyelesaian sengketa dalam arti
Partisipasi sebagai alat penyelesaian sengketa dan toleransi atas ketidak percayaan dan
kerancuan yang ada dalam masyarakat.7
Sepaham dengan Jazim Hamidi teori hukum responsif juga berpandangan berpandangan
bahwa hukum merupakkan cara mencapai tujuan. Hal ini dapat dipahami bahwa kelompok
masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat yang bersifat aspiratif dari
keinginan dan kehendak masyarakat8. Dalam konteks ini partisipasi desa pakraman dalam
pencegahan anti terorisme. Dengan demikian dengan memahami secara konprehensif konsep
partisipasi masyarakat, termasuk juga memahami partisipasi desa pakraman dalam pencegahan
terorisme.
Mengenai partisipasi desa pakraman dan banjar dalam pencegahan aksi terorisme,
Cohen dan Uphoff sebagaimana dikutip oleh Talizuduhu Ndraha (2006) menyatakan bahwa
masyarakat desa dapat berperan serta (berpartisipasi) dalam perencanaan, pengambilan
keputusan dan pelaksanaan oprasional pembangunan. Pembangunan yang dimaksud adalah
dalam arti luas, dimana menyangkut pembangunan di segala aspek kehidupan masyarakat baik
pembangunan fisik maupun non fisik termasuk dalam konteks pencegahan aksi teorisme.
Seturut dengan hal diatas Lothar Gunding sebagaimana dikutip oleh koesnardi Hardjasoemantri
mengemukakan pentingnya apaeran serta masyarakat dalam pembangunan yaitu :
1. Memberi informasi pada pemeritah
2. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.
3. Membantu perlindungan hukum.
4. Mendemokrasikan pengambilan keputusan.
7 Jazim Hamidi, Op.cit. h 48.
8 Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Judul asli : Law & Society in transition:
toward Responsive law, Nusamedia Bandung. Sebagaimana dikutip oleh Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Konstitusi Press Khasanah Peradaban Hukum & Konstitusi, h.89.
8
Aspek partisipasi desa pakraman dalam pembangunan secara eksplisit ditegaskan dalam
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pasal 5 butir d
Peraturan Daerah ini menyatakan bahwa salah satu tugas desa pakraman adalah “…bersama-
sama Pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang…”, kemudian Pasal 6
menyatakan bahwa salah satu wewenang desa pakraman adalah “…turut serta menentukan
setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya…”. Hal ini dapat
dipahami sebagai paretisipase desa pakraman dalam pencegahan aksi teorisme. Bentuk
Partisipasi desa pakraman dalam pencegahan aksi terorisme dapat dilakukan oleh Pecalang
sebagi aparat keamanan desa pakraman.
4. Konsep Teorisme
Dalam penelitian perlu diketahui terlebih dahulu tentang konsep terorisme:
Menurut Konvensi PBB Tahun 19379 Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditunjukan langsung kepada Nrgara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap
orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme,
diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang
dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. Dalam Pasal 6 dapat dipahami dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan
9 Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, http://www.jakarta.usembassy.gov. Di akses tanggal
16 september 2015.
9
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional
2. Dalam Pasal 7 dapat dipahami : dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional .
Demikian pula halnya, seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme,
berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dengan demikian dalam konsep tindak pidana teorisme mengandung unsur-unsur :
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat
berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Menurut A.C Manulang10 Bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta
kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena
adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme
Menurut Muhammad Mustofa11 ( Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu
Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002) hal.
30) Bahwa Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan
10
A.C Manullang, “Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim”. (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) hal. 151.
11 Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI,
vol 2 no III Desember 2002, hal. 30.
10
kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada
kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.
VI. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini termasuk penelitian empiris (penelitian hukum empiris). Soetandyo
Wignjosoebroto sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono menyatakan aspek penelitian
hukum empiris juga disebut sebagai nondoctrinal research atau socio legal research (Bambang
Sunggono, 2003).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya menggambarkan permasalahan secara
rinci dan menganalisis permasalahan tersebut secara kritis mengenai partisipasi desa pakraman
dalam pencegahan aksi terorisme.
3. Jenis Data dan sumber data
Jenis data yang digali dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan ( field research) yaitu data yang
diperoleh dari informan berupa informasi-informasi yang terkait dengan pokok permasalahan.
Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan (library Research). Data
Sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1986).
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-
undnagan yang berlaku dan terkait dengan masalah yang dikaji. Bahan hukum sekunder adalah
bahan-bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer
berupa bahan-bahan kepustakaan hukum yang diantaranya buku literatur, majalah-majalah
ilmiah, media cetak (koran), internet, dokumen internal dari prajuru adat seperti monografi
desa, pararem-pararem serta karya ilmiah yang terkait maupun penelitian-penelitian terdahulu
yang sangat mendukung dalam penulisan penelitian ini.
11
4. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam terhadap
informan dan responden dengan menggunakan pedoman wawancara.Teknik wawancara
dengan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide). Pengumpulan data sekunder
digunakan teknik pencatatan yang bertumpu pada penggunaan sistem kartu (card system) baik
berupa kartu kutipan, maupun kartu ikhtiar atau ringkasan .
5. Teknik pengolahan dan analisis data
Data yang telah terkumpul baik dari hasil penelitian lapangan maupun penelitian
kepustakaan selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif. Pada tahap pengolahan, data
yang telah terkumpul dikatagorikan dan dikwalifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian,
selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan kerangka yang telah disiapkan
sebelumnya. Pada tahap analisis, data yang telah dikatagorikan dan dikwalifikasi dianalisis
dengan mengkaitkan data satu dengan data yang lainnya. Selanjutnya diadakan penafsiran data
untuk dapat menghasilkan simpulan tentang permasalahan yang diajukan. Keseluruhan hasil
analisis, selanjutnya disajikan secara deskriptif yaitu dengan memaparkan secara lengkap segala
persoalan yang terkait dengan masalah yang diteliti disertai dengan memberikan ulasan-ulasan
secara kritis.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pokok-pokok Kerawanan yang Perlu Diwaspadai di Bali
Indonesia termasuk khususnya Bali kini tengah menghadapi ancaman nyata yang bersifat
ideologi, ekonomi, serta radikalisme. Termasuk di dalamnya peredaran narkoba hingga paham
ISIS. Adapun faktor-faktor pemicu kerawanan adalah: (a). Sikap dan gaya hidup materialistis,
yaitu sikap yang megagungkan dan selalu mengejar materi. Menghargai materi memang baik,
akan tetapi mendewakan materi dan menganggap materi dapat menyelesaikan segalanya
adalah keliru; (b). Mentalitas yang berorientasi pada kekuatan dan kekerasan, dalam hal ini
mentalitas atau prilaku yang sangat gampang untuk melakukan tindakan kekerasan. Sering
main hakim sendiri, mau menang sendiri dengan mengandalkan kekuatan dan tindakan
12
kekerasan ( melalui preman). Gejala ini akan merusak budaya masyarakat (kemiskinan budaya);
(c). Persepsi yang sempit dan tertutup, padahal Indonesia masyarakatnya sangat majemuk
sehingga dibutuhkan wawasan luas yang mampu menghargai pihak-pihak atau kelompok-
kelompok lain dengan cara hidup dan pandangan dan kebudayaan yang berbeda, pandangan
sempit, cdenderung akan memicu konflik; (d). Sikap yang primordial, cara berfikir dan hanya
mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, seperti dinasti, ras, suku, golongan daerah,
dan agama.
Bentuk-bentuk atau bidang kerawanan di Bali, cukup banyak variasinya antara lain :
a. Kerawanan bidang sosial, meliputi antara lain, aksi-aksi kejahatan yang tampaknya semakin
meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, seperti kejahatan yang terjadi di siang bolong,
keprok kaca, perkosaan, pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, kekerasan terhadap
anak, dll, tidak tertibnya rumah-rumah kos (tempat merencanakan kejahatan, praktek WTS,
tempat perselingkuhan, sarang teroris, dll), tidak tertibnya penduduk pendatang, pedagang kaki
lima di sembarang tempat, dll.
b. Kerawanan bidang politik, konflik antar partai perebutan pendudkung/suara memalalui
pendekatan ’dadiya/soroh’ dan bahkan banjar-banjar ataupun desa/desa pakraman; suhu
politik menjelang pilkada serentak (kampanye, masa tenang, hari ’H’ dan penghitungan hasil),
dikhawatirkan akan berdampak pasca pemilu.
c. Bidang Agama, antar umat beragama, pelaksanaaan ibadah, pembangunan tempat ibadah,
ceramah yang sifatnya menghasut, penyebaran paham radikalisme, terorisme dan kebencian,
dalam rangka merekrut kader, memperbanyak pendukung dan mencari simpatisan baik dalam
masyarakat maupun dalam lembaga pemasyarakatan ( keliahatannya saat ini bebas dilakukan,
dan tidak siapapun yang peduli dan berani menegur).
d. Konflik yang terjadi di desa pakraman, konfilk ini bisa terjadi antar warga dengan warga desa
pakraman itu sendiri, atau warganya sendiri dengan desa pakramannya, ataupun banjar
adatnya dengan desa pakramannya, dan/atau antar desa pakraman. Modus operendi terjadinya
13
konflik ini sangat beragam, yang sering muncul kepermukaan misalnya jika desa pakraman
menjatuhkan sangksi’kasepekan’ terhadap warganya sendiri, dan juga konflik antar desa
pakraman terkait dengan batas-batas wilayah desa, yang kebanyakan batas-batasnya itu tidak
begitu jelas, dengan terjadinya perkembangan saat ini, terutama di desa pakraman yang
pariwisatanya berkembang seringkali terjadi konflik perbatasan ini.
e. Masalah narkotika dan HIV/AID, penyalahgunaan narkotika di Bali, tidak hanya terjadi di
daerah perkotaan saja, akan tetapi saat ini sudah merambah ke plosok-plosok desa, dan tidak
hanya orang-orang dewasa dan remaja, akan tetapi juga telah merambah anak-anak di bawah
umur. Demikian pula masalah HIV/AID penyebarannya sudah tidak terbendung, berbagai upaya
penyuluhan telah dilakukan tetapi peningkatan secara kuantitas semakin meningkat, dan
bahkan banyak di kalangan remaja.
f. Masalah hukum, dalam masalah hukum pidana kasus-kasus yang terjadi baik secara kualitas
maupun kuantitas terutama di daerah perkotaan semakin meningkat, seperti misalnya kasus-
kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, kasus kekerasan terhadap anak bahkan sampai
pemunuhan. Kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur, dan kasus perkosaan antar
remaja/pelajar, dll. Dalam hal kasus-kasus perdata, mnaslah pelaksanaan eksekusi yang selalu
menjadi ribut, kasus-kasus tanah sangat menonjol, dan kasusu perceraian semakin meningkat
(misalnya di kab. Buleleng lebih dari 300 kasus perceraian dalam tahun ini).
g. Pengawasan pintu masuk pelabuhan di Bali, seperti Bandara Ngurah Rai, Ketapang-
Gilimanuk, Padang Bai-Lembar, dll. Yang pengawasannya semakin lemah, seharusnya
pengawasan harus dilakukan secara ketat, jangan sampai kita kecolongan lagi habis kunjungan
wisata kita.
h. Pengawasan terhadap kemungkinan adanya sel-sel teroris, ISIS dan radikal lainnya yang
selalu berusaha nyusup ke Bali dengan berbagai akal dan cara.
i. Dan lain-lain.
14
B. BEBERAPA KASUS ATAU KONFLIK YANG TELAH MUNCUL DAN TERJADI
Pemetaan terhadap kasus-kasus yang terjadi dapat digambarkan seperti berikut ini :
Gambar: 1.
NO POLRES/TA KAD KDKD KDL KDKT JML
1 DENPASAR 2 1 - 4 8
2 TABANAN 3 1 - - 4
3 BULELENG - 5 - - 5
4 KELUNGKUNG 1 3 - - 4
5 BANGLI 1 3 - 1 5
6 BADUNG 3 3 - 2 9
7 GIANYAR 13 6 - - 19
8 KARANGASEM - 1 - - 1
9 JEMBRANA - 1 1 - 2
JUMLAH 23 24 1 7 57
KAD : KONFLIK ANTAR DESA PAKRAMAN
KDKD : KONFLIK DESA PAKRAMAN DGN KRAMA DESA
KDLL : KONFLIK DESA PAKRAMAN DGN LEMBAGA LAIN
KDKT : KONFLIK DESA PAKRAMAN DGN KRAMA TAMIU
RAWAN
SEDANG
sumber : Kesbanglinmaspol Prov. Bali
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa cukup banyak konflik yang terjadi di Bali
yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Konflik antar desa
pakraman yang paling banyak terjadi adalah di Kabupaten Gianyar. Konflik ini tidak
hanya terjadi antar desa pakaraman dengan berbagai modus, akantetapi konflik juga
disebabkan karena internal di desa, yaitu desa dengan warganya sendiri. Selanjutnya
disusul oleh Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Buleleng.
Selanjutnya tentang sebaran dan latar belakang munculnya konflik dapat dilihat
pada ragaan di bawah ini :
Gambar : 2.
15
1 KONFLIK MASALAH
DS. KEMUNING
VS DS BUDAGA
KUBURAN & PURA
DALEM
3 KONFLIK MASALAH
• DS.PANGKUNG TIBAH
VS DS BELALANG
• DS BEDA VS
PANGKUNG KARUNG
• DS. KUWUM VS DS.
BATAN NYUH
• TAPAL BATAS
• PEMEKARAN
DESA ADAT
• TAPAL BATAS
1 KONFLIK MASALAH
DS. BELACANG
VS DS MANGGUH
PEMEKARAN
DESA ADAT
3 KONFLIK MASALAH
• DS.SADING VS DS.
DARMASABA
• DS PADANG LINJONG VS
DS. CANGGU
• DS ABIANSEMAL VS DS.
PENARUNGAN
• TAPAL BATAS
• TAPAL BATAS
• TANAH PELABA
PURA
13 KONFLIK MASALAH
• DS.TEGENUNGAN VS
KEMENUH
• DS. GUANG VS KETEWEL
• DS. KETEWEL VS
BATUBULAN
• DS.KEMENUH VS DS.
BATUAN
• TAPAL BATAS
• TAPAL BATAS
• TAPAL BATAS
• TAPAL BATAS
TABANAN
BADUNG
DENPASAR
KELUNGKUNG
KARANGASEM
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
JEMBRANA
34
Sumber : Kesbanglinmaspol Prov. Bali 2015
Kebanyakan konfilk yang terjadi disebabkan karena tapal batas antar desa
pakraman. Tapal batas seringkali menjadi masalah karena memang secara pisik
batas-batas desa menggunakan batas standar alam, seperti misalnya menggunakan
batas sungai, selokan, pohon besar, bangunan adat (balai timbang), dll. Dengan
adanya perkembangan pariwisata dan perkembangan perkotaan, perumahan, LC,
dll, terjadilah per4ebutan batas wilayah yang juga menyangkut masalah
kewenangan.
Gambar : 3
16
3 KONFLIK MASALAH
- DS. SULANG VS POK
SI
- DS.PESINGGAHAN
VS POK NGH KARYA
- DS KEMUNING VS
WARGA BUDAGA
• KASTA SI
MENJADI GUSTI
• KASEPEKANG(
USIR)
• MASALAH
KUBURAN
5 KONFLIK MASALAH
• DS.KEDIS VS POK
SUWITA
• DS.LEMUKIH VS POK
PAN RAWI 29 KK
• DS, JULAH VS POK
MADE PARSA
• DS. TAMBLINGAN VS
POK GEDE SUWETA
• PILKADA BULELENG
-TANAH KUBURAN
- REBUTAN TANAH
LABA PURA
- NGABEN
- TANAH
KUBURAN
- KEP. POLITIK
1 KONFLIK MASALAH
- DS. POH GADING VS
POK WAYAN KALIH
PEMEKARAN DESA
ADAT
3 KONFLIK MASALAH
- DS TEMBUKU VS POK 16 KK DEWA HARUM
- DS, KINTAMANI VS POK WYN MUPU
- DS. BAYUNG GEDE VS POK 29 KK WAYAN SUMADI
- PURA KAYANGAN TIGA
- KASEPEKANG
- TDK MAU IKUT TRADISI BALIAGA
JEMBRANA
TABANAN
BADUNG
KELUNGKUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
DENPASAR
3 KONFLIK MASALAH
- DS. DALUNG KUTA
UTARA VS PURI
UNTAL-UNTAL
- DS.PUNGGUL VS
POK GUSTI PT
KRUKUK
- PEMBANGUNAN
BALI INT. PARK (BIP)
PEMEKARAN DESA
ADAT
PEMBANGUNAN
BALAI BANJAR
IJIN PEMBANGUNAN
MSH BERMASALAH
1 KONFLIK MASALAH
- DS. PERASI VS
POK WAYAN RETI
KASEPEKANG /
PENGUSIRAN
6 KONFLIK MASALAH
- DS.SUMITA VS WARGA MULUNG
- DS. PENGOSEKAN VS MULUK BAB
- DS.BUNUTAN VS 9 WARGA KEDEWATAN
- DS.TAMAN KAJA UBUD VS 72 WARGA ANGKERAN
- DS.LOD TUNDUH VS POK RAI WENTEN
- DS.PEJENG KANGIN VS 2 WARGA PANGEMBUNGAN
PEMEKARAN ADAT
PEMEKARAN DESA
PEMEKARAN DESA
TANAH SUBAK
REBUTAN TANAH 53 AREALIRAN KEPERCAYAAN DASA SAMPURNA
KARANGASEM
1 KONFLIK MASALAH
- DESA PANGKUNG
KARUNG VS BEDA
PURA DESA
sumber: Kesbanglinmaspol Prov. Bali
Selanjutnya konflik sering juga terjadi antar desa pakraman dengan warganya
sendiri, hal ini disebabkan karena sebagian warga ingin memisahkan diri dengan
induknya dan mendirikan desa pakraman sendiri. Seperti misalnya desa Semita
dengan warga Mulung, Desa Bunutan dengan 9 orang/kk. Warga Kedewatan, Desa
Dalung dengan Puri Untal-untal, dll. Demikian pula desa pakraman menjatuhkan
sanksi kasepekan terhadap warganya yang dianggap tidak taat atau melanggar awig-
awig, seperti di desa Pesinggahan, desa Kintamani, dan beberapa di Gianyar.
Selanjutnya kasus antara desa pakraman dengan investor atau perusahaan :
17
KONFLIK MASALAH
• DS. PENGAMBENGAN VS
PENGALENGAN IKAN
UPAH BURUH
Kasus ini terjadi di Desa Pengambengan Kabupaten Jembrana, yaitu masalah upah,
yang intinya ingin menuntut kenaikan gaji bagi buruh atau karyawannya.
Berikutnya kasus desa pakraman dengan krama ’tamiu’ atau pendatang, seperti
gambar berikut ini :
18
2 KONFLIK MASALAH
- DS. LUK LUK VS
SUGIONO Cs
- DS. DARMASABA VS
SULIHAT Cs
-BANGUN MUSHOLA
-BANGUN MUSHOLA
1 KONFLIK MASALAH
DS. KATUNG VS
WARGA NASRANI
BANGUN GEREJA
BPI. GIRI
SUWECA
4 KONFLIK MASALAH
- DS. PADANG SAMBIAN KELOD
VS WARGA NASRANI
- DS DAUH PURI KAJA VS POK
H.DJUMROH Cs
- DS, KALI UNGU VS H. HASAN Cs
- DS. JIMBARAN VS H.PAUZI. Cs
- PENOLAKAN BANGUN GEREJA
MARANATHA
- PEMBONGKARAN PURA
- PEMBANGUNAN MUSHOLA
- BANGUN MUSHOLA
sumber : Kesbanglinmaspol Prov. Bali 2015
Konflik desa pakraman dengan krama ’tamiu’ atau pendatang, banyak
dilatarbelakangi oleh pembangunan tempat ibadah, seperti di Desa Katung
kabupaten Bangli, Desa Padang Sambian Kelod, desa dauh Puri, Kaliungu di kota
Denpasar, demikian pula di Desa Lukluk dan Darma Saba di Kabupaten Badung, dll.
Selanjutnya prediksi terhadap beberapa wilayah yang dianggap rawan terhadap sel-
sel Islam Garis Keras/radikal/teroris seperti
19
Gianyar
1. Tempat kost sekitar terminal
Ubud
2. Masjid Nurul Yakin
Sumabaung Desa Bedulu Kec.
Bahbatu
3. Kp. Mulim (Musholla Nurul
Hikmah Lingk. Pas Dalem
Buleleng
1. Ds. Sangsit Kec.
Sawan.
2. Ds. Pegayaman
3. Ds. Pengastulan Seririt
4. Ds. Celukan Bawang
Kec. Gerogak.
5. Ds. Patas Kec.
Gerokgak
6. Ds. Pegametan
7. Ds. Sedang Pasir.
8. Ds. Sumber Kelampok.
Denpasar
1. Tempat kost & penginapan
Ubung Denpasar
2. Kampung Jawa J. A.Yani
(Masjid Baiturrahman)
3. Masjid Al Ghurobah Jl.
Gatsu Barat
4. Perum. Monang maning
5. Kampung Muslim Kepaon
(Yayasan Hidayatullah)
Badung
1. Nusa Dua
2. Tanjung Benoa
3. Jimbaran
4. Kp. Bugis Tuban
5. Seminyak
6. Kerobokan
Tabanan
1. Ds. Candi Kuning
Musholla (Al Amin,
baiturrohman, Arrohman)
Masjid (Al Hidayah,
Mistahul Mubin, Al Hikmah)
Jembrana
1. Ds. Pebuahan, Malaya
2. Ds. Tegal Badeng
3. Ds. Pengambengan
Klungkung
1. Kp. Muslim Ds. Gelgel
2. Ds. Lebah
3. Ds. Kusamba
4. Nusa Penida (Komunitas
lombok)
Karangasem
1. Ds. Kecicang
2. Ds. Ujung
3. Ds. Dangin
Kebon
4. Ds. Bukit Tabuan
5. Ds. Tanah Lengis
6. Kp. Buitan,
Manggis
1
234
5
6
7
8
1
2
3
1
1
2
3
4
5
61-3
4
5
1
2
3
13
2
3
1
45
4
2
6
Sumber : Kesbanglinmaspol Prov. Bali 2015
Perkiraan kerawanan hampir terjadi di seluruh Kabupaten di Bali kecuali sementara
Kabupaten Bangli. Di Kabupaten Buleleng ada di Desa Sangsit, Desa Pegayaman,
desa Pengastulan, Desa Celukan Bawang, Desa Patas, Desa Pegametan, desa
Sendang Pasir, dan desa Sumber Kelampok. Di Kota denpasar, beberapa tempat kos
di seputaran Ubung, Daerah Kampung Jawa, Daerah Gasu barat, Monang-maning,
dan Kepaon, denpasar selatan. Di Tabanan yaitu di Desa Candi Kuning, di kabupaten
Badung, daerah Nusa dua, Tanjung benua, Jimbaran, kampung bugis Tuban,
Seminyak dan Kerobokan. Di Kabupaten Kelungkung, di gelgel, Desa lebah, Kusamba,
dan Nusa Penida. Di Karangasem, Desa Kecicang, Ujung, dangin Kebon, Bukit
20
Tabuan, Tanah lengis, dan Buitan Manggis, Kabupaten Jembrana yaitu, di pelabuhan
Melaya, Tegal Badeng, dan Pengambengan, Sedangkan di Kabupaten Gianyar, yaitu
sekitar tempat kos terminal Ubud, daerah Sema Baung, serta di sekitar lingkungan
Pasdalem.
C. DASAR HUKUM KEBERADAN PACALANG
1. Peraturan Dasar
Dalam UUD 1945 tidak terdapat ketentuan yang secara tegas mengatur keberadaan
pecalang.Namun, mengingat pacalang merupakanm salah satu institusi penting dari
desa adat/ pakraman maka pengakuan atas desa adat/ pakraman itu sendiri oleh UUD
1945 telah secara implisit mencakup dasar hukum pengakuan keberadaan pacalang.
Berkaitan dengan pengakuan akan adanya masyarakat hukum adat (desa adat/
pakraman di Bli), pasal 18 B ayat (2) amandemen II UUD 1945 menyatakan sebagai
berikut : (2) Negara mengakui untuk menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat
hhukum adat, beserta hak-hak tradionalnya sepanjang masih hidup dan sesusi dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang.
Pengakuan seperti itu sebenernya secara tersirat sudah tercantum dalam
penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagai berikut :
“dalam teritoir Indonesia terdapat kurang 250 zelfbesturen de land schappen dan
volksgemen schappen seperti Desa di Jawa dan Bali, nagari di Minaangkabau, dusin dan
marga di Palembang. Daerah- daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Kesatuan Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah- daerah istimewa tersebut dan segala
Peraturan Negara yang mengenai daerah- daerah itu akan mengingati hak-hak asal-
ususl Daerah tersebut (Garis bawah dari penulis).
Pengakuan oleh konstitusi sangat penting karena konstitusi merupakan aturan
hukum tertinggi (basic law) dalam suatu neraga. Peraturan hukum yang lebih rendah
dalam hal mengatur masyarakat hukum adat tidak boleh menyimpang dari prinsip
“pengakuan “ tersebut (Kelsen, 1962; Humbolt 1993). Sekedar sebagai perbandingan,
Negara-negara demokrasi yang juga mengatur pengakuan serupa dalam konstitusinya
adalah : Philipina (pasal I Bab X konstitusin 1987), Kamboja (pasal 126 Konstitusi 1993),
Russia (pasal 131 ayat I konstitusi 1990).
2. Peraturan Perundang- undangan
21
a. Undang- Undang yang mengakui keberadaan Desa Adat dan kemudian
mempersepsikannya sebagai Desa Administratif adalah Undang-Undang No.22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pasal 1 huruf (O) UU tersebut dinaytakan :
“ Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.
Penegasan tentang maksud UU No. 22/1999 menjadikan Desa Ada sebagai Desa
Administrasi tertuang dalam Penjelasan Umum angka (9) sub (1), UU No. 22/1999
tersebut, sebagai berikut:
“ Desa berdasarkan UU ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai
suatu kesatuan masyarakat Hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-
usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD
1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi,otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.
b. Undang –Undang Yang secara langsung mengakui kebradaan Pacalang ( dengan
sebutan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”) adalah Undang- Undang No. 2/2002
tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia.
Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan :
“ Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Indonesia yang dibantu oleh :
a. Kepolisian khusus
b. Penyidik pegawai negeri sipil, dan / atau
c. Bentuk- bentuk pengamanan swakarsa.
Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa : yang dimaksud dengan “bentuk-
bentuk pengamanan swakarsa adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas
kemauan, kesadaran dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh
pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Hubungan antara kepolisian Negara dengan pengamanan swakarsa diatur dalam jpa 14
ayat (1) huruf dan pasal 15 ayat (2) huruf g.
22
Kedua ketentuan itu menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas pokoknya yang berupa : (a) memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat ; (b) menegakan Hukum ; (c) memberikan perlindungan.
Penganyoman dan pelayanan kepada masyarakat wajib melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri
sipil dan bentuk- bentuk pengamanan swakarsa. Juga Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan lain berwenang untuk memberi
petunjuk khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.
c. Peraturan Lokal
1) Peraturan local yang secara tegas mengatur keberadaan pecalang adalah Perda
propinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
Pasal 17 Perda tersebut menyatakan :
1. Keamanan dan ketertiban wilayah Desa Pekraman dilakukan oleh Pacalang
2. Pacalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa dalam
hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama.
3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan Paruman
Desa.
Kendati Perda tersebut mengatur keberadaan Pacalang secara singkat, tetapi sudah
cukup memberi kejelasan tentang apa fungsi pokok, Bidang tugas, dan wilayah kerja
pacalang.
2) Aturan local lain yang dapat dijadikan dasar hukum bagi keberadaan Pacalang adalah
ketentuan Awig- Awig khususnya ketentuan yang menyatakan salah satu tujuan desa
Adat/ Pakraman tersebut adalah untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Dengan
adanya tujuan seperti itu maka sudah barang tentu Desa Adat/ Pakraman tersebut
memerlukan aparat penyelenggara keamanan dan ketertiban yang popular dengan
sebutan “ Pacalang”. Berarti istilah “keamanan dan ketertiban” Desa Adat/ Pakraman
akan selalu beerkonotasi dengan istilah “Pecalang”.
D. Tugas dan Fungsi Pecalang
Fungsi pacalang pada mulanya adalah menjaga keamanan dan ketertiban di ranah adat
dan agama (Hindu), yang meliputi parahyangan (hubungan manusia dengan Ida
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa), pawongan (hubungan manusia dengan
manusia),dan palemahan (hubungan antara manusia dengan lingkungannya). Namun
23
kemudian, tugas dan fungsi pacalang telah terspesialisasi dan bertransformasi sesuai
dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat, yakni :
a. Pacalang Jagabaya
Pacalang Jagabaya ini mengalami transformasi yang paling besarbaik dibidang
parahyangan maupun pawongan.Dalam bidang parahyangan, pacalang Jagabaya telah
melakukan pengamanan malam Natal dan Tahun Baru di Kota Denpasar, mengamankan
malam takbiran di Desa Pegayaman Sukasada, Buleleng. Disamping itudalam bidang
pawongan, melakukan pula berbagai kegiatan seperti : melakukan penertiban penduduk
pendatang, mengamankan lomba dan hiburan, mengamankan kegiatan politik praktis,
pencegahan dan penanggulangan terorisme, dan pengamanan sidang-sidang pengadilan
kasus bom Bali.
b. Pacalang Segara (pacalang laut)
Pecalang segara ini terdapat di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng.Adapun latar
belakang pembentukan pacalang segara adalah latar belakang ekologis, ekonomis dan
ritual.Latar belakang ekologis disebabkan karena hancurnya wilayah laut dan pantai
Pemuteran oleh ulah nelayan yang menangkap ikan menggunakan bom, potasium, dan
zat beracun lainnya. Dari segi ekonomis, pembentukan pacalang segara berarti turut
juga mejaga kehidupan perekonomian warga,karena 65% penduduknya bermata
pencaharian nelayan dan petani. Sedangkan latar belakang ritual berkaitan erat dengan
struktur kepercayaan masyarakat yang disebut “samudra kertih”, yaitu upaya untuk
menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang sngan
kompleks dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dibentuklah mekanisme
penanganan pencemaran laut dengan menggunakan pranata adat yakni awig-awig
dengan sanksi adat termasuk pengusiran dari desa adat apabila sanksi lain tidak
mempan(ultimum remedum).
c. Pacalang Wana (pacalang hutan)
Seperti halnya laut, hutan di Bali juga tidak bisa dilepaskan dari struktur kepercayaan
masyarakat.Dengan demikian struktur kepercayaan tersebut memegang peranan kunci
dalam pelestarian hutan.Regveda III.51.5 menyatakan” Indra ya dyava cita aapah rayim
raksanti jirayo vanane” artinya “lindungilah sumber-sumber kekayaan alam seperti
atmosfir, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, sungai-sungai dan
sumber-sumber air dan hutan belantara”. Ajaran Regveda inilah yang kemudian
diimplementasikan dalam sistem sosial masyarakat berupa awig-awig atau perarem
sebagai norma yang harus ditaati oleh warganya. Selain itu terdapat beberapa kawasab
yang dipercaya sebagai “alas duwe” (hutan milik para dewa) seperti kawasan hutan
Sangeh (Badung), Alas Kedaton (Marga, Tabanan), Petulu (Gianyar). Masyarakat
disekitarnya pantang mengganggu flora dan fauna yang ada didalamnya karena percaya
24
bahwa para dewa selalu mengawaasi dan akan memberi ganjaran sanksi kepada siapa
yang berani mengusik keberadaan hutan tersebut (Pujaastawa, 2002: 29-30). Selain itu
dalam pengamanan sekala (nyata) dilakukan pula pembentukan pacalang pariwisata
dikawasan hutan tersebut.
d. Pacalang Subak
Pilar-pilar budaya Bali menurut Clifford Geertz (2000:102) terdisi atas desa adat,
sanggah/pemerajan dan subak.
Subak adalah organisasi pengairan tradisional Bali yang bercorak sosial religious yang
mempunyai aturan-aturan tersendiri berupa wig-awig, mempunyai pengurus, dan
kekayaan sendiri,memiliki otonomi dalam mengatur pembagian air disawah diantara
petani secara adil. Bertolak dari hal tersebut, agar pembagian air dapat dilakukan denga
tertib, maka diperlukan suatu perangkat subak,yakniPangliman Subak, yang bertugas
mengatur dan mengawasi jalannya pembagian air secara adil.
e. Pacalang Sawur Tungur
Pacalang Sawung Tungur bertugsa khusus menjaga keamanan dan ketrtiban jalannya
upacara “tabuh rah” yaitu upacara suci korban darah ayam, yang dilaksanakan pada saat
upacara keagamaan( Hindu) di Pura. Upacara “tabuh rah” sering disalah gunakan
menjadi sabung ayam (tajen) yang berdasarkan KUHP dikualifikasikan sebagai tindakan
criminal.Sebagai perbuatan melanggar hukum, maka sabung ayam (tajen) dilarang dan
sebagai akibatnya tugas Pacalang Sawung Tungur makin berkurang.
E. Kedudukan dan fungsi Pacalang Dalam Sistem Keamanan Regional
1. Kedudukan
Berdasarkan kutipan dari beberapa ketentuan Peraturan Dasar dan Peraturan
perundang – undangan tersebut diatas dapat dirumuskan bahwa antara pacalang
Kepolisian Negara berada dalam kedudukan yang koordinatif. Artinya Kepolisian
Negara diwajibkan oleh Undang- Undang untuk mengkoordinir pelaksanaan tugas
Pacalang agar di lapangan tidak terjadi benturan / tumpang tindih dengan petugas
“pengaman swakarsa” lainnya (Hansip, Satpam) dengan tugas kepolisian Negara itu
sendiri.
Kewajiban untuk mengkoordinir itu deilengkapi pula dengan kewajiban untuk
mengawasi dan membina secara teknis tugas pacalang (pasal 14 huruf f).kewajiban
mengawasi adalah kewajiban untuk melakukan pemantauan pleh kepolisian kepada
pacalang dalam hal pacaang melakukan tugasnya, apakah secara teknis demi
peningkatan kemampuan praktik dibidang pelaksanaan tugas keamanan dan
25
ketertiban Pacalang. (lihat pasal 15 ayat (2) huruf g UU No. 2/2002). Dengan
demikian terlihat jelas bahwa dibidang pelaksanaan fungsi, kedudukan kepolisian
Negara adalah lebih penting dari Pacalang.
Kedudukan yang demikian ini yang lebih jauh dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
(1) Kepolisian Negara adalah alat Negara yang bertugas dalam wilayah Negara
Republik Indonesia, sedangkan Pacalang adalah alat masyarakat hukum adat
yang bertugas hany adiwilayah Desa Adat/ Pakraman.
(2) Keberadaan desa Adat/ Pakraman (dimana Pacalang merupakan salah satu
apaaratnya) dalam suatu Negara kesatuan bukanlah sebagai Negara dalam
Negara. Oleh karena itu segala aturan adat termasuk awig-awig adat yang
mengatur Pacalang tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang Negara
terutama dengan UU Kepolisian Negara RI.
(3) Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dinyatakan bahwa
Kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian yang meliputi fungsi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, [erlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sementara Pacalang (dalam
bahasa UU disebut bentuk-bentuk pengamanan swakarsa) oleh UU dinyatakan
hanya sebagai pembatu kepolisian Negara RI dalam mengemban fungsi
kepolisian. (lihat pasal 2 dsan pasal 3 UU No. 2 Tahun 2003).
Konsekwensinya adalah bila umpamanya terjadi gangguan keamanan kestabilan
disuatu wilayah Indonesia (misalnya disuatu Desa Adat/ Pakraman tertentu)
yang bertanggung jawab adalah Kepolisian Negara dan bukan Pacalang karena
Pacalang sebagai pembantu kepolisian. Meski hanya sebagai pembatu, dalam
upaya menunjang keberhasilan tugas kepolisian, peran pacalang tidak bisa
dianggap remeh.
2. Fungsi Pacalang
Diatas telah disinggung bahwa fungsi pacalang menurut UU adalah membantu
kepolisian Negara dalam mengemban fungsi kepolisian.
Dalam posisinya sebagai pembantu kepolisian, belum jelas sampai dimana luas
ruang lingkup fungsi pengaman swakarsa pembantu lainnya Hansip, Polisi Pamong Praja,
satpam dan Lain-lainnya.Batas kewenangan dalam pelaksanaan fungsi perlu mendapat
perhatian untuk menghindari praktek tumpang tindih dilapangan.
Untuk memecahkan masalah kewenangan dapat dipakai asas-asas kejelasan
kewenangan yang meliputi 3 asas yaitu :
26
(1) Asas kewilayahan (ratione loci atau teritoir gebeid)
(2) Asas substansial (ratione materii atau zaken gebeid)
(3) Asas waktu (ratione temperi atau tidj gebeid)
Asas kewilayahan mengajarkan, suatu kewenangan itu memiliki wilayah
keberlakuan yang jelas, begitu juga kalau ada kewenangan yang berlaku transwilayah
(lintas wilayah) agar ditentukan secara jelas pula dalam aturan yang mendasari
timbulnya kewenangan itu. Asas substansial mengajarkan agar isi (materi/substansi)
kewenangan didiskripsika secara jelas sihingga tidak menimbulkan keragu-raguan bagi
kewenangan lainnya12.
Sementara asas waktu, mengajarkan bahwa pejabat/ pemilik kewenangan
memiliki kewenangan selama jangka waktu masa jabat.Bila masa jabatan berakhir maka
berakhir pulalah kewenangan yang melekat pada pejabat/ pemilik kewenangan itu.13
(a) Pacalang dan Pembantu Kepolisian Lainnya
Dalm upaya menentukan batas kewenangan Pacalang dengan pembantu kepolisian
lainnya asas kewilayahan dan asas substansial dapat dijadikan sebagai acuan
utama.Sementara asas wajtu sebagai asas pelengkap karena dilapangan pelaksanaan
asas waktu tidak begitu banyak menimbulkan masalah.
Dengan menggunkan asas kewilayahan dan asas substansial analisis batas
kewenangan antara pacalang disatu pihak dengan Polisi Pamong Praja dan Satpam
dipihak lain dapat dilakukan secara lebih mudah. Secara konseptual dasar asas
kewilayahan Polisi Pamong Paraja berwenang melakukan penyelidikan atas
tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan perda sedangkan satpam berwenang
melakukan penertiban dan keamanan lingkungan lokasi perusahaan/ kantor.
Sementara Pacalang atas dasar asas kewilayahan hanya memiliki kewenangan di
wilayah Desa Adat/ Pakraman saja, dan dari segi asas substansial Pacalang hanya
mempunyai kewenangan pada bidang pengamanan penyelenggaraan urusan adat/
agama.
12
Pasek Diantha, 2011, Pecalang Dalam Perspektif Sistem Keamanan Regional, dalam buku ‘Pecalang
Perangkat Keamanan Desa Adat di Bali, Bali Shanti, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat,
Universitas UIdayana, Denpasar, h.66-67.
13 Ibid, h. 63
27
A. Pentingnya Polri Membangun Kemitraan Dengan Pecalang
Telah diuraikan dimuka, bahwa tidak ada institusi kepolisian suatu Negara dapat
mencapai hasil dengan baik, tanpa dukungan masyarakat.Oleh karena itu, betapa
pentingnya dukungan masyarakat khususnya pacalang dalam mendukung tugas-tugas
kepolisian tersebut.Terdapat beberapa alasan rasional tentang pentingnya Polri
membangun kemitraan dengan pacalang dilihat dari perspektif pacalang, Polri dan
masyarakat.
Dilihat dari perspektif pecalang, mengadopsi pacalang dipandang sebagai
kebanggaan, pengabdian (yadnya), dan pelestarian nilai-nilai budaya yang selama ini
diakui dan tetap eksis dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat lahir bathin.
Dari perspektif Polri, mengadopsi pacalang secara umum sangat penting dalam
rangka memberdayakan segenap potensi masyarakat. Disamping itu secara khusus
pecalang memiliki basis yang kuat dalam desa adat, sehingga mengadopsi pacalang akan
memperoleh dukungan desa adat. Secara fungsional, pacalang telah pula memiliki
pengalaman dalam menjaga keamanan dan ketertiban di ranah adat dan agama. Karena
itu mengadopasi paecalang akan lebih mudah dan efisien, dan memberi akses untuk
dapat mengambil langkah-langkah sedekat, secepat dan setepat yang diharapkan
masyarakat14.
Dilihat dari pespektif masyarakat, upaya mengadopsi pacalang memungkinkan
karena tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bukan merupakan tugas
Polri saja, tetapi juga menjadi tugas masyarakat, termasuk pecalang. Dismping itu Polri
tidak dapat menjangkau seluruh wilayah karena terkendala oleh berbagai factor, yakni
keterbatasan personil,sarana prasarana yang belum memadai.
Sebagai contoh, dalam membangun sinergi antara masyarakat dengan Polri, di
Bali LSM Manikaya Kauci telah melakukan proyek percontohan Community Policing di
enak desa pada tiga Kabupaten, yakni Desa Medewi dan Pulukan di Kabupaten
Jembrana, Desa Les dan Desa Juleh di Kabupaten Buleleng; Desa Manggis dan Desa
Nyuh tebel di Kabupaten Karangasem.
Di Desa Pulukan misalnya kasus pemggunaan lahan hutan untuk penanaman
pohon pisang oleh masyarakat dipinggiran hutan, diisukan sebagai konflik antar
agama.Melalui komunikasi, konsultasi intensif dan musyawarah seluruh komponen
14
I Kertut Mertha, 2011, Transformasi Pecalang dan Pemolisian Masyarakat, dalam buku ‘Pecalang
Perangkat Keamanan Desa Adat di Bali, Bali Shanti, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat,
Universitas UIdayana, Denpasar, h.132
28
masyarakat dan Polri, kasus tersebut dapat dicegah dan tidak berkembang menjadi
konflik horizontal15.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni :
Bentuk-bentuk atau bidang kerawanan di Bali, cukup banyak variasinya antara lain :
a. Kerawanan bidang sosial, meliputi antara lain, aksi-aksi kejahatan yang tampaknya semakin
meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, seperti kejahatan yang terjadi di siang
bolong, keprok kaca, perkosaan, pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur,
kekerasan terhadap anak, dll, tidak tertibnya rumah-rumah kos (tempat merencanakan
kejahatan, praktek WTS, tempat perselingkuhan, sarang teroris, dll), tidak tertibnya
penduduk pendatang, pedagang kaki lima di sembarang tempat, dll.
b. Kerawanan bidang politik, konflik antar partai perebutan pendudkung/suara memalalui
pendekatan ’dadiya/soroh’ dan bahkan banjar-banjar ataupun desa/desa pakraman; suhu
politik menjelang pilkada serentak (kampanye, masa tenang, hari ’H’ dan penghitungan
hasil), dikhawatirkan akan berdampak pasca pemilu.
c. Bidang Agama, antar umat beragama, pelaksanaaan ibadah, pembangunan tempat ibadah,
ceramah yang sifatnya menghasut, penyebaran paham radikalisme, terorisme dan
kebencian, dalam rangka merekrut kader, memperbanyak pendukung dan mencari
simpatisan baik dalam masyarakat maupun dalam lembaga pemasyarakatan (
keliahatannya saat ini bebas dilakukan, dan tidak siapapun yang peduli dan berani
menegur).
d. Konflik yang terjadi di desa pakraman, konfilk ini bisa terjadi antar warga dengan warga
desa pakraman itu sendiri, atau warganya sendiri dengan desa pakramannya, ataupun banjar
adatnya dengan desa pakramannya, dan/atau antar desa pakraman.
15
Ibid.
29
e. Masalah narkotika dan HIV/AID, penyalahgunaan narkotika di Bali, tidak hanya terjadi di
daerah perkotaan saja, akan tetapi saat ini sudah merambah ke plosok-plosok desa, dan tidak
hanya orang-orang dewasa dan remaja, akan tetapi juga telah merambah anak-anak di bawah
umur. Demikian pula masalah HIV/AID penyebarannya sudah tidak terbendung, berbagai upaya
penyuluhan telah dilakukan tetapi peningkatan secara kuantitas semakin meningkat, dan
bahkan banyak di kalangan remaja.
f. Masalah hukum, dalam masalah hukum pidana kasus-kasus yang terjadi baik secara kualitas
maupun kuantitas terutama di daerah perkotaan semakin meningkat, seperti misalnya kasus-
kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, kasus kekerasan terhadap anak bahkan sampai
pemunuhan. Kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur, dan kasus perkosaan antar
remaja/pelajar, dll. Dalam hal kasus-kasus perdata, masalah pelaksanaan eksekusi yang selalu
menjadi ribut, kasus-kasus tanah sangat menonjol, dan kasus perceraian semakin meningkat.
g. Pengawasan pintu masuk pelabuhan di Bali, seperti Bandara Ngurah Rai, Ketapang-
Gilimanuk, Padang Bai-Lembar, dll. Yang pengawasannya semakin lemah, seharusnya
pengawasan harus dilakukan secara ketat, jangan sampai kita kecolongan lagi.
h. Pengawasan terhadap kemungkinan adanya sel-sel teroris, ISIS dan radikal lainnya yang
selalu berusaha nyusup ke Bali dengan berbagai akal dan cara.
j. Khusus masalah optimalisasi kearifan lokal lembaga keamanan desa pakraman (Pecalang) :
a. Keberadaan Pacalang memiliki dasar hukum yang jelas terutama dalam UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara RI dan dalam PERDA Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman.
b. Dalam hal Pacalang melakukan tugas pamebantuan terhadap fungsi kpolisian, kepolisian
memiliki wewenang untuk mengkoordikasikan pelaksanaan tugas pembantuan itu.
Dalam kaitan ini Kepolisian dapat melakukan pengawasan pembinaan, pemberian
petunjuk, mendidik dan memberi pelatihan teknis.
c. Pelaksanaan fungsi Pecalang terkadang tumpag tindih dengan palaksanaan Pertahanan
Sipil (Hansip) disebabkan karena tidak diterapkan secara konsekuen prinsip “zaken
gebeid” (lingkungan kuasa soal/ substandi) dan prinsip “teritoir gebeid”( lingkungan
30
kuasa, kewilayahan) dalam pembentukan institusi pemerintahan terendah dibawah
kecamatan. UU No. 22/1999 tampaknya relah merespon gejala tersebut.
d. Untuk menentukan luas ruang lingkup tugas/ kewenangan pecalang dibidang
Adat/Agama dapat dipakai doktrin Tri Hita Karana sebagai tolak ukurnya. Dengan
demikian maka fungsi pecalang sebagai pembantu kepolisian dalam menjaga keamanan
dan ketertiban terurai dalam 3 dimensi yakni; (1) pengaman terhadap parahyangan.
(2)pengamanan terhadap keberadaan pawongan. (3) pengamanan terhadap keperadaan
palemahan.
e. Pecalang memiliki fungsi pembantuan yang terbatas dibidang penegakan hukum yakni
hanya dalam peristiwa “tertangkap tangan” (ontdekking op heeterdaad). Dalam hal
demikian pecalang segera menyerahkan tersangka kepada penyelidik atau penyidik dan
penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan lanjuttan ditempat
kejadian.
f. Di Bali, Pemolisian oleh masyarakat telah dilakukan sejak lama, melalui lembaga adat yang
disebut pacalang. Pada awal pembentukannya, pacalang bertugas diranah adat dan agama
(Hindu), namun dalam perkembangannya mengalami transformasi dan memasuki ranah public
yang lebih luas dan komppleks. Factor penyebabnya bersifat eksternal, yakni perubahan
paradigma Polri- dari paradigma kekuasaan menjadi paradigma moral dan akal budi. Dengan
perubahan paradigma tersebut, ruang dan peluang partisipasi masyarakat dalam menjaga
keamanan dn ketertiban diatur ecara eksplisit dalam UU No. 28 Tahun 1997 sebagaimana
diubah dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari segi
internal, disebabkan adanya landasan filosofi Tri Hita Karana.
Saran.
a. Intensipkan program pemerintah, FKPT untuk selalu mengajak masyarakat selalu
waspada, mengawasi lingkungan serta melaporkan bila ada hal-hal yang mencurigakan,
serta memberikan pendidikan politik untuk menguatkan pemahaman dan pengamalan
ideology bangsa Pancasila, demi persatuan dan kesatuan, ketertiban dan kledamaian
bersama;
b. Waspadai dan harus peka terhadap kantong-kantong atau sel-sel radikalisme atau
teroris pada tempat-tempat tertentu, seperti perumahan developer, tempat-tempat
kos, maupun kawasan-kawasan pemukiman lainnya (optimalkan perangkat yang ada
untuk selalu memantau atau melakukan pengawasan);
31
c. Amati kerawanan terhadap pendirian tempat-tempat ibadah, agar selalu mengikuti
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan selalu berkoordinasi dengan desa
adat, majelis enam agama, kantor agama, dan tokoh-tokoh masyarakat sekitarnya.
d. Amati positif dan negatipnya terhadap jamaah tabliq yang sering kesana ke mari
memakai pakaian ‘agak aneh’ yang berasal dari luar negeri seperti dari : Pakistan, India,
Bangladesh, Suriah, dll. Demikian pula hati-hati terhadap pernyataan ‘tokoh kita’ yang
memprokasi berbau sara yang bernada menteror umat agama tertentu.
e. Untuk terwujudnya kesamaan visi dan misi terhadap fungsi pecalang, kepolisian perlu
meningkatkan intensitas koordinasi, serta pemberian pengarahan dan pendidikan
mental yang bersumber pada satu kode etik profesi pecalang yang diderivasi dan
amalog dengan kode etik aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya.
f. Untuk meningkatkan kualitas SDM pecalang disamping dilakukan pendidikan mental
perlu secara berkesinambungan diberi pelatihan teknis yang terkait dengan fungsinya
sebagai pembantu polisi dibidang keamanan dan penegakan hukum.
g. Untuk menghindari eksploitasi terhadap pecalang dalam melakukan tugas pembantuan
polisi dilarang mengerahkan pecalang keluar wilayah kerja pecalang (palemakan Desa
Adat) kecuali atas ijin Kepala Desa Adat/ Pakraman.
DAFTAR PUSTAKA
Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, http://www.jakarta.usembassy.gov. Di akses
tanggal 16 September 2015
Friedman, w ; The State And The Rule Of Law In A mixed Economy, Steven & Sons, London, 1985.
Mertha, 2011, Transformasi Pecalang dan Pemolisian Masyarakat, dalam buku ‘Pecalang Perangkat Keamanan
Desa Adat di Bali, Bali Shanti, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat, Universitas UIdayana,
Denpasar,
Manullang AC, “Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim”. (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) .
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia
FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002.
R Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta.
32
P windia dan Ketut Sudantra, 2006; Pengantar hukum Adat Bali; Lembaga dokumentasi dan publikasi Fakultas hukum Universitas Udayana.
Pasek Diantha, 2011, Pecalang Dalam Perspektif Sistem Keamanan Regional, dalam buku ‘Pecalang Perangkat Keamanan Desa Adat di Bali, Bali Shanti, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat, Universitas UIdayana, Denpasar. Sally Falk Moore, 2001, “ Hukum dan Perubahan sosial: Bidang Sosial semi-Otonom sebagai Suatu Topik studi yang tepat” dalam Antropologi Hukum Subuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta..
Sirajuddin, didik Sukrino, Winardi, 2011, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang . Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Balai Pustaka Jakarta. Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Judul asli : Law & Society in transition: toward Responsive law, Nusamedia Bandung. Sebagaimana dikutip oleh Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia, Konstitusi Press Khasanah Peradaban Hukum & Konstitusi. Hadjon,Philipus M ; Pengantar Hukum Administrai Indonesia, Gajah Mada University Press,1993.
Hamzah& Indra Dahlan ; Perbandingan KUHAP,HIR dan Komentar. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Kelsen, Han ; General Theory Of Law And State Russel & Russel New York, 1962.
Projohamidjojo; Penjelasan Sistematis Dalam Bentuk Tanya Jawab KUHAP Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
1