laporan penelitian waris klu lalu sabardi
TRANSCRIPT
1
PENGELOLAAN HARTA WARIS SECARA BERSAMA DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT SASAK
( Studi di Desa Tanjung Kabupaten Lombok Utara)
ABSTRACT
This research at aiming to know how the inheritance management that must be done individually based on the share of each heir, to be done collectively in the community of Tanjung Village. In this village, one of the member of family to be appointed to manage their inheritance. Related to the land, this community differentiate its management between compound or house yard are and irrigated rice field (bangket), non irrigated rice field (rau, tegalan), and plantation (kebun). In the case of compound, each family member may build a house to live there. This house shall not be used to business activity. The compound where this house located to be owned collectively. Whereas irrigated rice field (bangket), non irrigated rice field (rau, tegalan), and plantation (kebun) are managed by one of the family member (brother) appointed based on his economic capability, namely by a family member with economically most disadvantage. The share of their member may be done distinctively under the source and the number of the costs in their management. The share accepted by each heirs is a net product of their harvest as rice, various peanut cleared from their rinds. For plantations, their harvests shall be shared in the money after selling them. Beside of maintaining the oneness of inheritance, the management of inheritance collectively to be meant to maintain consensus between heirs. There is a fear if these inheritance to be shared individually, they will be used up, so that the inheritance of their ancestors will be gone.
Key word: Inheritance, sharing and management.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan
dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris
sendiri-sendiri.Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan atas tiga corak,
yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan
ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga
antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.1
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan
1.Hilman Hadikusuma, 1993, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, hlm. 23.
2
itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud
dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah
dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.Termasuk di dalam harta warisan adalah
harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan.Pewaris adalah orang yang
meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan.Waris adalah istilah
untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta
warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris,
baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus
harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter
Haar:
“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari
abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud
dari generasi pada generasi berikut”.2
Demikian pula pada pendapat Soepomo dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang
Hukum Adat mendefinisikan hukum waris adat sebagai: …peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud
dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.3
Hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan dan bentuk
perkawinan yang dilakukan kedua orang tuanya.Dalam kaitannya dengan prinsip garis
keturunan secara umum terdapat garis keturunan patrilineal, keturunan materilineal dan
parental.Pada masyarakat yang menganut prinsip patrilineal (tetapi ini juga tidak selalu), ahli
warisnya adalah anak laki-laki saja, di Batak, yang merupakan ahli waris itu hanyalah anak laki-
laki saja demikian juga di Bali.Tetapi di Bali selain anak laki-laki (kandung, juga tergolong
sebagai ahli waris adalah anak-laki-laki angkat4.
Di Indonesia terdapat tiga sistem hukum waris yang masih berlaku sementara, selama
belum lahirnya hukum waris yang baru berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga
macamsistem hukum tersebut, adalah sistem hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris Islam. Berdasarkan
ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Hukum waris adat masih berlakukan sampai saat ini, melihat dari nilai-nilai yang
terkandung didalamnya setelah menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan
2. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,1990,Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung, hlm.47.
3Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 72.
4. Soerjono Soekanto-Soleman b. Taneko.1981, Hukum Adat Indonesia Penerbit CV. Rajawali, h.288.
3
masyarakat yang masih komunal. Di Indonesia, masih terdapat beberapa daerah yang masih
kental dengan hukum adatnya, sehingga hukum waris adatnya pun masih kental sebagai cara
memelihara mufakat keluarga.
Walaupun sebenarnya ada sistem hukum lain yang masih berlaku di Indonesia, yaitu
sistem hukum KUHPerdata (BW) dan sistem hukum Islam. Nampaknya sistem hukum
KUHPerdata (BW) dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara materiil
tidak berlaku, karena berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis. Dengan kata lain,
sistem hukum KUHPerdata tidak berlaku apabila ada hukum baru atau undang-undang baru
yang mengatur hal yang sama, undang-undang yang baru tersebut yaitu UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Namun sistem hukum KUHPerdata (BW) masih berlaku bagi orangyang menggunakan
sistem hukum BW sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan
untuk sistem hukum waris Islam, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama. Maka orang yang beragama Islam mengajukan persoalan kewarisan ke Pengadilan
Agama, sedangkan untuk orang yang beragama non-Islam dapat mengajukan persoalan
hukumnya ke Pengadilan Negeri . Dengan adanya produk hukum baru yang berbentuk undang-
undang, sangat berpengaruh terhadap ketiga sistem hukum waris yang masih berlaku di
Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya yaitu, “bagaimana ketika seseorang yang beragama Islam yang
berdomisili di daerah yang masih kental sistem hukum waris adatnya, memilih sistem hukum
waris Islam atau sistem hukum waris adat?” apakah alasannya untuk itu menggunakan salah
satu hukum waris yang ada. Disamping itu masih banyak terdapat dimasyarakat yang
beragama Islam mengelola harta warisannya secara bersama maksudnya harta waris
khususnya yang berupa tanah tidak dibagi, tetapi diserahkan pengelolaannya pada salah
seorang dari ahli waris, hal ini dimaksudkan untuk memelihara mufakat diantara saudara-
saudaranya,kemudian hasil dari harta tersebut yang dibagi, pertanyaannya bagaimana
menyangkut pembiayaan pengelolaan dan porsi pembagiannya.
B.Rumusan Masalah
a. Apakah dasar pertimbangan dilakukan pengelolaan harta waris secara bersama?
b. Bagaimanakah pembiayaan dan pembagian hasil pengelolaan harta warisan
dilakukan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
4
a. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui kehidupan hukum waris adat sehingga dapat diketahui hukum yang hidup
di masyarakat,
2. mengetahui alasan melakukan pengelolaan harta waris secara bersama.
b. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan bahan pengajaran hukum waris adat di
Fakultas Hukum Universitas Mataram,
2. Penetitian ini bermanfaat untuk mengetahui tebal tipisnya keberlakuan hukum
dimasyarakat.
BAB II.
KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. ATURAN UMUM TENTANG WARISAN
Hukum waris adat menurut Ter Haar, adalah aturan-aturan hukum yang bertalian
dengan proses penerusan, dan peralihan harta kekayaan yang berwujud (materiil) dan tidak
berwujud (inmateriil) dari satu generasi kepada generasi berikutnya5.
Sedangkan menurut Soepomo hukum adat waris adalah memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan benda
yang tidak berwujud (inmateriil goederen) dari satu angkatan manusia (generati) kepada
turunannya6,
5 Ter-Haar Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat 1987, cetakan ke sembilan, Pradnya Paramita-Jakarta, hal 202
6. Soepomo 1985, Bab-Bab Tentang Hukum Adat Pradnya Paramita-Jakarta, hal 82
5
Setiapmasyarakat pada umumnya, selalu mengalami perubahan (dinamis) dikarenakan
kebiasaan masyarakat selalu berkembang, tidak seperti hukum yang tertulis yang kadang tidak
sesuai dengan perkembangan zaman masyarakat. Perubahan tersebut akan berpengaruh dan
menimbulkan perubahan hukum secara umum, dan perubahan hukum waris adat secara
khusus. Perubahan tersebut, terutama terlihat pada munculnya harta bersama dan hak mewaris
anak perempuan pada masyarakat patrilineal dan hak mewaris anak-anak kepada harta
suarang Bapaknya padamasyarakat matrilineal, dan juga perkembangan adanya hak mewaris
bagi janda atau duda7.
Maksud dari perubahan di atas adalah sistem pewarisan yang berkaitan dengan sistem
keturunan (sistem kekerabatan atau sistem kemasyarakatan). Sistem pewarisan itu sendiri
dibagi menjadi tiga sistem yaitu :
1. Sistem Patrilineal, Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan Bapak.
2. Sistem Matrilineal,Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu.
3. Sistem Parental atau Bilateral, Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau
menurut garis dua sisi bapak dengan ibu.
Dengan adanya ketiga sistem pewarisan tersebut, maka hukum waris adat tidak bisa
lepas dari corak ketiga sistem keturunan diatas.
Sebelumnya diketahui bahwa, kedudukan ahli waris disaat sebelum Indonesia merdeka
adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dengan demikian, pengertian
ahli waris sebelum kemerdekaan selalu dikaitkan dengan hubungan darah. Dengan adanya
pendapat tersebut, mengakibatkan janda bukan menjadi ahli waris karena tidak memiliki
hubungan darah dengan suaminya8. Tetapi, setelah dibuatnya keputusan Mahkamah Agung
pada tanggal 23 Oktober 1957 No. 130 K/Sip/1957, Mahkamah Agung menetapkan bahwa
janda dari pewaris beserta anak-anaknya, bersama-sama berhak atas harta warisan almarhum
suaminya9. Tetapi dalam hal ini Mahkamah Agung masih belum menggunakan istilah “ahli
waris” untuk seorang janda, hanya saja disini kita dapat melihat salah satu perkembangan
hukum waris adat khususnya tentang kedudukan seorang janda, yang sebelumnya tidak berhak
mendapatkan harta warisan dikarenakan tidak adanya hubungan darah. Namun, selanjutnya
oleh Mahkamah Agung memberi hak atas harta warisan kepada janda.
Tetapi, untuk harta warisan berupa barang pusaka, menurut putusan ke III dari Raad
Yustisi Jakarta tanggal 17 Mei 1940, yang berhak adalah silsilah ke bawah. Jika pewaris tidak
7.Ibid hal 19
8.Dominikus Rato,2009,Pengantar Hukum Adat,.Laks Bang Pressindo Jogyakarta, hal. 234.
9.Ibid hal 16
6
memiliki silsilah kebawah (anak) maka harta kembali ke tangan keluarga. Dengan kata lain, istri
dari pewaris tidak berhak atas warisan barang pusaka tersebut10.
Seiring dengan perkembangannya zaman, janda semakin diakui sebagai ahli waris. Ini
berdasarkan keputusan Mahakamah Agung pada tanggal 25 Februari 1958 No. 387
K/Sip/1958, yang berisi bahwa, janda memiliki hak mewarisi separuh harta gono-gini (harta milik
bersama dari suami dan istri yang diperoleh selama perkawinan). Kemudian pada tahun 1960
Mahkamah Agung resmi menetapkan janda sebagai ahli waris dari almarhum suaminya.
Pada dasarnya, saat ini ada dua sistem hukum waris yang sama-sama berlaku pada
masyarakat yang sama sebagai subjek hukumnya. Kedua sistem hukum waris tersebut antara
lain hukum waris Islam dan hukum waris adat. Kedua sistem hukum waris tersebut saling
mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai hukum adat yang berlaku di lingkungan adat
masyarakat yang bersangkutan. Salah satu contohnya yaitu, dalam hukum waris Islam
mempengaruhi hukum waris adat pada penggunaan istilah hibah untuk menyebut perbuatan
hukum yang bersifat sepihak, yang berarti pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma dan
penggunaan kriterium 1/3 harta sebagai batasan harta hibah yang ditoleransikan dalam
kaitannya dengan pembagian warisan yang berbarengan adanya hibah wasiat yang dapat
merugikan para ahli warisnya11. Sedangkan, hukum waris adat sebagai wujud dari kebiasaan
yang hidup di dalam masyarakat, melalui pintu ijtihad diterima sebagai hukum, seperti yang
terdapat di dalam kompilasi hukum Islam.
B. Pilihan Hukum Dalam Hukum Waris
Di setiap Sistem Hukum waris terdapat perbedaan, seperti halnya sistem
hukum warisKUHPerdata (BW), sistem hukum warisIslam dan sistem hukum waris adat. Ketiga
sistem tersebut terdapat perbedaan. Misalnya seperti, di dalam sistem hukum waris Islam, anak
angkat haram menjadi ahli waris, karena pengangkatan anak angkat adalah semata-mata
karena kepedulian semata. Berbeda dengan sistem hukum waris adat, anak angkat mempunyai
hak waris terhadap harta kekayaan orang tua angkatnya, dengan kata lain bahwa anak angkat
di akui sebagai anak kandung oleh masyarakat adat setempat.Sedangkan dalam sistem hukum
KUHPerdata (BW), anak angkat dapat menjadi ahli waris, tetapi harus mengajukan
permohonan pengangkatan anak terlebih dahulu di persidangan.
10. Fathurrahman, 1981, Ilmu Waris, Penerbit PT. Al. Maarif Bandung,, hal 63
11Primasta, Agus S. Choice Of Law dalam Hukum Kewarisan. Makalah: Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
7
Dengan lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, orang
yang beragama Islam dapat melakukan pilihan hukum, ketika seseorang di hadapkan antara
memilih sistem hukum waris Islam dan sistem hukum waris adat. Pastilah orang akan memilih
sistem hukum waris yang menguntungkan baginya dan/ atau tidak akan memilih sistem hukum
waris yang merugikan baginya.Parahnya lagi Pengadilan Agama dan pengadilan negeri saling
mengklaim berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara kewarisan tersebut.
Namun dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama diharapkan untuk memangkas “choice of law” dalam Hukum Kewarisan. Dalam
Penjelasan Umum telah dinyatakan “Bahwa Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan,
dinyatakan dihapus”.
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menimbulkan
efek terkait eksistensi dari Pengadilan Agama dan juga kewenangannya. Sebagaimana di
dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan
Ekonomi Syariah”
Untuk mereka yang beragama Islam dalam sengketa hukum waris, idealnya
menggunakan hukum waris Islam sesuai hukum agamanya. Sedangkan hukum waris KUH
Perdata (BW) dan juga hukum waris adat tidak berlaku dan tidak mengikat baginya.Sedangkan
untuk warga beragama non-Islam, hukum yang digunakan adalah hukum waris KUH Perdata
(BW), ataupun hukum waris adat, sedangkan hukum waris Islam tidak mengikat.
Kemudian yang mempermasalahkan pembagian harta warisan apakah menganut dan
tunduk pada hukum Islam maupun adat atau KUH Perdata, tidak diberikan suatu solusi yang
dapat menengahi persoalan yang telah mengakar meskipun undang-undang menyatakan
pilihan hukum telah dihapus.
Ada beberapa aspek terkait Pilihan Hukum (choice of law) yakni,
1. Pendapat Para Ahli Hukum
Dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, Subekti menyatakan
bahwa, ketentuan pilihan hukum memberikan hak pilihan dalam penyelesaian sengketa
kewarisan.Bahkan dalam sistem hukum barat, para ahli waris diberi hak pula untuk menerima
8
penuh, menolak, atau menerima dengan bersyarat atas warisan pewaris12. Sedangkan menurut
Sudargo Gautama dalam bukunya “Segi-segi hukum antar tata hukum pada Undang-undang
Peradilan Agama” menyatakan bahwa setiap bidang hukum perdata termasuk kewarisan
bersifat mengatur “regelend” dan tidak bersifat memaksa “dwingen” dan dapat disahkan melalui
persetujuan pihak-pihak yang bersengketa. Hakim tidak berwenang memaksa pilihan hukum
tertentu bagi para pihak.Sehingga dimungkinkan adanya pilihan hukum (choice of law)13
2. Dari segi AsasHukum
a. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya.
Bahwa beberapa hakim yang menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris
terkadang berlindung pada asas ini, yakni hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan
kepadanya.Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa hakim terkadang mengklaim dirinya
(wilayah kewenangan) berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu sengketa
waris baik yang beragama Islam maupun yang berbeda agama bagi Para Ahli
Warisnya.Sehingga dalam prakteknya ada hakim masih menerima dan memeriksa bahkan
memutus atau mengklaim institusinya berwenang, walau ada Asas Personalitas Persoalannya
adalah,, personalitas ke-Islaman tersebut apakah ahli waris atau pewarisnya.14
b. Asas Personalitas Ke-Islaman.
Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jo. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, menetapkan asas dasar atau sentral adalah Personalitas Ke-
Islaman, sehingga hal tersebut membawa konsekuensi hukum, bahwa masalah kewarisan bagi
orang Islam atau setiap orang Islam, bila terjadi sengketa, maka kewenangan mengadili ada
pada Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri. Jadi berdasarkan Asas ini, tidak ada lagi
pilihan hukum dan telah jelas, bagi yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan bagi Non-
Islam di Pengadilan Negeri.Kemudian dalam tataran praktek, masalah personalitas ini masih
menjadi perdebatan, apakah personalitas dari pewaris atau ahli warisnya, disisi lain yang
memiliki harta adalah pewaris, namun yang ditinggalkan/ahli waris yang saling bersengketa.
Sebagai contoh; Pewaris beragama Islam, ahli waris ada tiga anak (satu anak laki-laki
beragama Islam, dua perempuan beragama non-Islam) dimana dua orang anak perempuan
meminta pembagian diselesaiakan di Pengadilan Negeri (karena secara kekeluargaan tidak
ditemui penyelesaian) agar nantinya mendapatkan harta waris dan bagian 1:1, kemudian pihak
laki-laki mengajukan ke PA dengan melihat personalitas dari Pewaris dan tunduk pada hukum
12.Soebekti, Hukum Waris, Liberty-Bundung 1982, h.18
13.Ibid. hal. 5
14. Ibid. hal. 7
9
Islam, karena saling berseteru, akhirnya sama-sama mengajukan ke dua wilayah Peradilan
(Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan tunduk hukum Islam atau Pengadilan
Negeri bagi yang berkeinginan “pemerataan hak” dan mendapatkan bagian 1:1 serta tunduk
pada hukum adat/KUH Perdata). Sebagaimana telah diungkapkan diatas, hal tersebut semakin
diperparah ketika para Penegak Hukum di wilayah pengadilan juga sama-sama saling
mengklaim dirinya berwenang memeriksa, mengadili dan memutus atas sengketa termaksud.
Jika sengketa tersebut terus berlanjut, jalannya keluartnya adalah dengan meminta fatwa dari
Mahkamah Agung, namun demikian tentu membutuhkan waktu yang lama.15
C. ASAS LEX SPECIALIS DEROGATE LEGI GENERALI, LEX POSTERIORI DEROGATE
LEX PRIORI.
Merujuk pada Asas Lex speciali derogate legi generali artinya aturan yang khusus
mengalahkan aturan yang umum. Sedang lex posteriori derogate lex priori artinya aturan yang
lama (yang berlaku terdahulu) dikalahkan/dibatalkan aturan yang baru (berlaku belakangan).
Bahwa dalam sistem hukum di Indonesia yang plural, yakni berlakunya Hukum Adat, Hukum
Islam dan Hukum KUH Perdata(BW), maka UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan hukum khusus. Oleh karenanya atas
dasar Asas Lex Specialis derogate Legi Generali, maka Undang-Undang yang berlaku bagi
mereka yang beragama Islam adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu berdasarkan Asas Lex Posteriori
derogate lex priori, maka aturan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sehingga dengan
berdasar dari Asas-Asas tersebut seharusnya Undang-Undang Peradilan Agama dapat
menyisihkan Undang-Undang Peradilan Umum dalam hak kewenangan mengadili perkara
kewarisanbagi orangIslam.16
Dari beberapa aspek di atas, Asas Lex Specialis derogate legi generali dan asas lex
posteriori derogate lex priorilah yang digunakan apabila terjadi sengketa mengenai hukum
waris. Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 Perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989, maka
orang yang beragama Islam tidak dapat melakukan pilihan hukum, yaitu hanya dapat
mengajukan suatu sengketa waris ke Pengadilan Agama. Konsekwensinya bagimereka yang
15. Ibid. hal. 7
16. Willy Yuberto Andrisma, 2007, Tesis: Pembagian Harta Waris Dalam Adat Tionghoa di Kecamatan Ilir Kota Palembang Selatan. hal. 72.
10
beragama Islamdan bertempat tinggal atau berdomisili di wilayah adat yang adatnya masih
kental, maka jika terjadi suatu sengketa waris harus mengajukannya ke Pengadilan Agama,
kecuali jika dapat diselesaikan secara musyawarah tidak harus mengajukannya ke Pengadilan.
Apabila salah satu pihak yang berperkara bukan orang yang beragama Islam, misalnya
pewarisnya atau caramelangsungkan perkawinannya bukan menggunakan syariat Islammaka
tidak dapat mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Agama. Sedangkan bagi orang yang
beragama selain Islam mengajukan sengketa warisnya ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, untuk menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hukum waris adat
suatu daerah, hakim harus mengetahui hukum waris adat di daerah yang ia tangani. Jika hakim
tidak tahu hukum waris adat di daerah yang bersangkutan, maka hakim yang menangani
permasalahan waris adat daerah yang bersangkutan dapat bertanya kepada tokoh atau
sesepuh dari daerah yang bersangkutan agar mengetahui bagaimana sistem hukum waris
adatnya, bagaimana cara pembagian harta warisannya, siapa saja yang dapat menjadi ahli
waris, dan sebagainya. Sehingga hakim dalam menyelesaikan perkara di pengadilan di anggap
mengetahui hukumnya.
D.AHLI WARIS BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA
Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Pengadilan Agama, tidak ada lagi pilihan hukum (choice of law) bagi orang yang beragama
Islam walaupun berdomisili di daerah yang masih kental adatnya. Namun dalam prakteknya,
tidak semua orang yang beragama Islam mengajukan suatu sengketa ke Pengadilan Agama,
karena dapat diselesaikan dengan cara musyawarah terlebih dahulu.
Di Indonesia memang masih menerapkan pilihan hukum (choice of law) bagi orang non
Islam. Jika terdapat sengketa, kita bisa memilih hukum mana yang akan digunakan yaitu hukum
waris adat atau hukum waris KUHPerdata.
Jika hukum waris adat diterapkan di daerah Batak, kedudukan perempuan tidak
seimbang dengan kedudukan laki-laki dam hal warisan.Ini disebabkan, masyarakat hukum
Batak menganut ajaran sistem patrilineal.Artinya, masyarakat hukum Batak menggunakan
sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan Bapak.
Jadi, misalnya pewaris (suami), yang berhak menjadi ahli warisnya yaitu garis lurus
kebawah, selanjutnya keatas, dan kesamping yang laki-laki. Artinya, yang berhak pertama kali
11
mendapat harta warisannya yaitu anak laki-laki dari sang pewaris. Jika tidak memiliki anak laki-
laki, diberikan kepada orang tua(ayah) sang pewaris. Jika telah meninggal orang tua (ayah)
pewaris, diberikan kepada saudara laki-laki sang pewaris.
Setelah mengetahui model hukum waris adat Batak, bisa diketahui bahwa kedudukan
istri sang pewaris bukans ebagai ahli waris. Sang istri dari pewaris dalam sistem hukum adat
Batak, tidak berhak untuk menguasai harta peninggalan dari pewaris. Tetapi, istri hanya berhak
untuk memelihara dan menikmati harta bawaan tersebut, sepanjang dia masih dalam ikatan
perkawinan yang sama, atau sampai dia menikah lagi. Jika sang istri menikah lagi, penguasaan
harta warisan dari sang pewaris diserahkan kepada anak laki-laki, orang tua (ayah), dan juga
saudara laki-laki dari sang pewaris.
Selanjutnya, jika kita melihat daerah Bali, sistem yang dianut daerah ini sama halnya
dengan daerah Batak, yaitu patrilineal. artinya, anak laki-laki sebagai ahli waris dalam
keluarganya, sedangkan perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan
orang tua atau harta peninggalan suami. Hal ini disebabkan adanya putusan Mahkamah Agung
No. 200 K/Sip/1958 tanggal 5 Desember 1958, yang isinya menyatakan bahwa “Menurut hukum
Adat Bali, yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak
angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang
Pan Sarning”
Tetapi, terdapat perubahan yang bisa membawa cukup kenikmatan bagi kaum
masyarakat perempuan Bali dalam hal pewarisan. Pada tahun 2010, dikeluarkannya Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal
15 Oktober 2010, tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali (Keputusan Pasamuhan
Agung III/2010).
Di dalam keputusan tersebut diputuskan bahwa, kedudukan suami-istri dan anak
terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak
kandung dan juga anak angkat).
Menurut I.Wayan Putu Windia pakar hukum adat FH Unud menyatakan “Sesudah 2010
wanita Bali berhak atas warisan, berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No.
01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah
dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.
12
Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris.
Jika orang tuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.”17
Sementara itu, untuk masyarakat Tionghoa di daerah Palembang, pembagian harta
warisan dilakukan pada saat pewaris meninggal dunia.Dimana kedudukan anak laki-laki tertua
atau sulung lebih tinggi dari anak perempuan.Karena, anak perempuan hanya berhak atas
harta berupa perhiasan saja, sedangkan anak laki-laki harus memperoleh jumlah yang lebih
besar dari anak perempuan.Sistem hukum yang digunakan dalam pembagian harta waris di
dalam masyarakat Tionghoa daerah Palembang ini menggunakan sistem hukum adat
Tionghoa.
Pembagian harta warisan dalam adat Tionghoa memiliki orientasi pembagian terhadap
harta-harta pusaka keluarga, seperti abu leluhur, rumah peninggalan keluarga besar (rumah
gede) dan perhiasan keturunan.
Pembagian harta warisan dalam masyarakat Tionghoa di Palembang sebagai berikut :
a. Perolehan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1 banding setengah (1:1/2),
b. Perolehan janda (orang tua yang ditinggal) disamakan dengan perolehan anak
perempuan, yaitu setengah (1/2),
c. Harta warisan baru dapat dibagi kepada ahli waris setelah orang tua meninggal,
janda meninggal dunia, atau menikah kembali,
d. Anak lai-laki tertua diberikan kuasa untuk mengolah atau mengurus harta warisan
keluarga.
Dari hal-hal diatas, bisa diketahui bahwa, pembagian warisan pada masyarakat
Tionghoa di Palembang menempatkan dominannya posisi anak tertua laki-laki sebagai ahli
waris yang paling utama, tetapi ada beberapa pengecualian dalam metode patrilineal tersebut
bagi masyarakat Tinonghoa di Palembang ini.
Penyimpangan yang dimaksud yaitu, dimungkinkan apabila diketahui secara umum
bahwa anak laki-laki memiliki sifat jelek, cacat mental atau sebab lainnya yang diperkirakan
tidak berkenan bagi pewaris.Disinilah letak alkulturasi budaya yang terjadi dalam masyarakat
Tionghoa Palembang[9].Ini membedakan hal-hal dasar yang terjadi dalam masyarakat
Tionghoa asli (China). Di Palembang, pilihan ahli waris pada anak perempuan tidak menjadi
17I.Wayan Putu Windia, 2008, Hak-hak Wanita dalam Hukum Waris Hindu Bali dan Perkembangannya, Hasil Penelitian, Universitas Udayana Fakultas Hukum, hal 18.
13
persoalan yang besar, meskipun secara umum pembagian waris anak laki-laki dan perempuan
satu berbanding setengah (1:1/2), ini hanya berupa dasar perhitungan, bukan menjadi baku
didalam kehidupan masyarakat.18
Terkait pilihan hukum, dengan lahirnya UU No. 7 tahun 1989 masih dapat melakukan
pilihan hukum. Dengan adanya pilihan hukum membuat orang akan mengajukan suatu
sengketa ke pengadilan dengan menggunakan sistem hukum waris yang menguntungkan
baginya. Oleh sebab itu diperlukan suatu undang-undang sebagai solusi dari permasalahan
itu.Yaitu dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sudah tidak ada lagi pilihan hukum bagi orang
yang beragama Islam dan tidak ada penggolongan penduduk.Namun tidak semua sengketa
waris di ajukan ke pengadilan, karena dapat diselesaikan terlebih dahulu secara musyawarah.
Dengan melihat beberapa contoh siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari
beberapa daerah di Indonesia, dapat kita ketahui bahwa, setiap daerah yang menggunakan
hukum waris adat di dalam sengketa, pihak ahli waris laki-laki lebih diuntungkan dibandingkan
dengan pihak perempuan. Bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkan harta warisan. Ini
berarti, banyak di daerah Indonesia yang menggunakan sisitem pewarisan Partilineal, jika
menggunakan hukum waris adat.Hanya saja ada beberapa pengecualian dari tiap-tiap daerah.
18. Ibid. hal 73
14
BAB III.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Sesuai dengan objek penelitian ini, maka untuk memahami pengelolaan harta waris,
Pertama-tama penelitian ini melihat secara normative hak-hak normatif menurut hukumadat,
namun untuk melihat hak dan model pengelolaan dan pembagian hasil harus dilakukan
penelitian empirik.. Sejalan dengan uraian tersebut, maka analisis penelitian ini adalah analisis
dan pendekatan kwalitatif, menurut Hamid Patilima mengemukakan,
Alasan penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian tersebut bertujuan
memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi... Pada pendekatan kualitatif, peneliti
15
merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Fokus penelitiannya pun ada pada
persepsi dan pengalaman informan dan cara mereka memandang kehidupannya, sehingga
tujuannya bukan untuk memahami realita tunggal, tetapi realita majemuk, penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada proses yang berlangsung dan hasilnya19
Oleh karena itu penentuan pendekatan dalam penelitian ini didasarkan pada karakteristik
data yang dicari, pendekatan ini didasarkan atas pandangan bahwa hukum tidak dapat
dilepaskan dengan kehidupan masyarakat tempat hukum itu berlaku. Metode kualitatif
dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistik
sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistik), dalam arti tidak mengenal
pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual kedalam aspek-aspeknya yang ekslusif yang
kita kenal dengan sebutan variabel.
Metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat seperti apa yang dipersepsikan oleh warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi
mereka sendiri yang tak diivestigasi oleh pengamat penelitinya (naturalistik)20.
Atas dasar uraian di atas, maka pada penelitian ini tidak hanya mengkaji hukum dari
aspek normanya saja, tetapi juga dari realitas hukum yang dimengerti dan dilaksanakan oleh
masyarakat, baik norma hukum negara maupun norma hukum adat, karena dalam kisaran
normatif tersebut norma itu berada, menjadi format dan motivasi bertindak.
2. Pengumpulan Data dan Analisis
Bertolak dari obyek penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian legal-sosiologis,
karena hukum yang menjadi obyek kajian dilihat dari perspektif normative-sosiologis. Oleh
sebab itu penelitian ini menggunakan sampel yang ditetapkan secara provosive rendom dengan
19 Hamid Patilima, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta Bandung, h.67
20 .Soetandyo Wignjosoebroto 2008, Bebarapa Persoalan Paradigmatik Dalam Teori Dan Konsekuensinya Atas Pilihan Metode Yang Akan Dipakai. Dalam Kumpulan Makalah Bahan Bacaan Metode Penelitian Hukum, dihimpun oleh Valerine J.L.K. Fakultas Hukum UI tanpa tahun, h, 103.
16
pertimbangan keadaan obyek penelitian homogin. Sedangkan analisis dalam penelitian ini
menggunakan analisis kwalitatif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Letak dan Geografis Daerah Penelitian
Desa Tanjung bagian dari Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara dan
merupakan desa sebagai pusat ibu Kota Kabupaten Lombok Utara .
Luas daerahnya 488.625 ha2
dan penduduknya berjumlah 8.494 orang dengan 2.570
kk.Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani, selebihnya merupakan,
pegawai negeri, pedagang, buruh tani, pengrajin dan lain-lainnya. Sebagian besar
penduduk beragama Islam, hanya sebagian kecil beragama H i n d u d a n B u d h a .
Desa Tanjung berbatasan dengan,
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sokong.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Jenggala
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tegal Maja.21
Desa Tanjung terdiri Lingkungan 11 Lingkungan dan akan berkembang menjadi
12 Lingkungan, setiap Lingkungan dikepalai oleh seorang Kepala Lingkungan yang
21. Sumber Profil Desa Tanjung Th. 2012
17
dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk
lima tahun berikutnya. Lingkungan-Lingkungan tersebut sebagai berikut :
1. Lingkungan Lading-Lading diketuai oleh Marto
2. Lingkungan Karang Langu diketuai oleh Rinajab
3. Lingkungan Karang Swele diketuai oleh I.Wy. Subade
4. Lingkungan Karang Jero diketuai oleh Kt. Subrata
5. Lingkungan Karang Bayan diketuai oleh Sumarsah
6. Lingkungan Karang Bedil diketuai oleh Alimudin
7. Lingkungan Karang Raden diketuai oleh R. Suryata
8. Karang Kauk diketui oleh Putrawadi
9. Karang Jukung diketuai oleh Zulkarnain
10. Karang Desa diketuai oleh Made Sugiartha
11. Lingkungan Gubuk Baru diketuai oleh Sofian Hadi22
Perkampungan Lingkunganan di Desa Tanjung merupakan satu kesatuan
masyarakat hukum teritorial yang kebanyakan penghuninya merupakan mereka
yang mempunyai hubungan sanak saudara (waris). Dari segi letak
perkampungan sebagian besar terletak dipinggir jalan. Desa ini dapat di tempuh dari
kota Mataram Ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat melewati daerah hutan Pusuk
(ujung barat) gunung Rinjani, atau jalan menyusuri pantai daerah Senggigi kawasan
wisata yang indah menuju Desa Pemenang, kemudian baru sampai desa Tanjung.
Desa ini merupakan Ibu Kota Kabupaten Lombok Utara sebagai Kabupaten termuda di
Provnsi NTB. Dari segi geografis desa ini terletak di Jalan Lingkar Utara Pulau
Lombok Pulau lombok, sehingga karena itu merupakan desa potensial secara ekonomi
dan budaya untuk berkembang.
Sedangkan keadaan penduduknya desa tersebut mayoritas berpenduduk asli,
kecuali s e t e l a h m e n j a d i I b u K o t a K a b u p a t e n p e n d u d u k d a r i l u a r
K a b u p a t e n m u l a i b e r d a t a n g a n u n t u k m e n g i s i p e k e r j a a n s e k t o r
s w a s t a , u t a m a n y a u s a h a k u l i n e r y a n g m u l a i r a m a i d e n g a n
p e n g e m b a n g a n p a r i w i s a t a y a n g d i l a k u k a n o l e h P e m e r i n t a h
K a b u p e t e n L o m b o k U t a r a , t i d a k j e l a s b e r a p a j u m l a h p e n d u d u k
p e n d a t a n g b a r u t e r s e b u t k a r e n a b e l u m a d a d a t a u n t u k p e n d u d u k
s e p e r t i i t u . T erlihat desa Tanjung khususnya merupakan lahan baru untuk
pengembangan kehidupan wirasuasta.
22. Wawancara dengan Sekretaris Desa Tanjung, Senin, tgl 1 Septenber 2014 di Kantor Desa Tanjung
18
Jarak antara desa satu dengan desa lainnya tidak beraturan ada yang
berdekatan adapula yang berjauhan, keadaan pedesaan seperti ini umumnya
merupakan ciri dari desa-desa tradisional yang tumbuh dan berkembang secara
alamiah, artinya pertumbuhan dan perkembangannya tidak direncanakan. Setelah
desa Tanjung sebagai pusat Ibu Kota Kabupaten Lombok Urata yang merupakan
Kabupaten termuda di provinsi Nusa Tenggaga Barat, desa Tanjung mulai ditata
sehingga terlihat dari segi fisik berangsur-angsur berubah.
a.Luas Daerah
Desa Tanjung keseluruhan luasnya terbagi dalam areal pertanian,tanah
kering,tanah basah dan hutan untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel dibawah
inimengenai luas wilayah desa Tanjung menurut penggunaan tanahnya.
Tabel1Luas WilayahDesa Tanjung
Menurut Penggunaan TanahnyaN0 JenisPenggunaannya Jumlah (Hektar)1.1
Pemukiman 652.2
Sawah 2213.3
Tanah Pecatu 4,324.3
Kebun 125.4
Kuburan 126.5
Pekarangan 1627.6
Perkantoran 1,258.7
Prasarana umum lainnya 249. Tanah Kas Desa 4,510. Tanah adat 33
Sumber Data :Profil Desa Desa Tanjung Th. 2012
Dari tabeldiatas ternyata luas areal Desa Tanjungini sebagian sudah
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan letak lahan tersebut, sedangkan sebagian lagi
belum dimanfaatkan seperti hutan.
b.Iklim
Desa Tanjung mempunyai ketinggian kira-kira 0,200 meter dari permukaan laut,
Daerah ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata 320
Csampai 310
C.
19
c.Keadaan Tanah
Keadaan areal pertanian yang datar dan luas, disebelah selatan berbatasan
dengan Desa Tegal Maja yang memiliki dataran tinggi yang cocok untuk wisata
hutan dan disebelah utara merupakan pantai yang sedang berbenah untuk menjadi
obyek wisata, untuk mendukung kawasan ggigi dan wisata gili trawangan. Ditengah-
tengah desa Tanjung mengalir sungai yang juga potensial menyumbangkan
keindahan desa Tanjung kalau dikelola dengan baik, tetapi akan memperlihatkan
panorama yang buruk kalau tidak segera dibenahi karena meninggalkan tumpukan
sampah akibat disiplin masyarakat yang buruk.
2.Sosial Budaya
Penduduk Desa Tanjung merupakan penduduk asli dan sedikit sekali
penduduk pendatang, diantara penduduknya merupakan penduduk asli yang
beragama Islam,HinduBali dan Budha. Keberagaman kepercayaan masyarakat
Desa Tanjung mewarnai budayanya, terlihat sebagai desa yang masih
memelihara tradisi adatnya.
a.Pendidikan
Bila dilihat dari penggolongan penduduk di Desa Tanjung, penduduk yang
dalam usia sekolah tetapi tidak sekolah berjumlah cukup besar yaitu sebanyak 757
orang, tidak tamat tamat SD berjumlah 339 orang, Pendidikan penduduk
terkosentrasi padatamat SLA sebanyak 1.643 orang, selebihnya tamat SLTP dan
terdapat 261 sarjana S1 dan 72 strata 2.
Di Desa Tanjung khususnya dan Kabupaten Lombok Utara belum terdapat
perguruan tinggi, pada umumnya mereka yang melanjutkan pendidikan
tinggi,menempuh pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Mataram. Sekarang ini
telah dirintis adanya filial Universitas Mataram untuk menampung kebutuhan
pendidikan masyarakat yang terjangkau dari segi ekonomi23.
b.Agama
Penduduk asl iDesa Tanjung menganut agama Islam dan agama Hindu
23 Sumber Profil Desa Tanjung dan wawancara dengan Sekretaris Desa Tanjung hari senin, 1 September 2014 di Kantor Desa Tanjung.
20
sebagiannya lagi beragama Buha,untuk lebih jelasnya dapat dilihat perincian
pendudukmenurut agamanya sebagai berikut :
Tabel3
JumlahPenduduk Menurut Agama Tahun 2012
No JenisAgama Jumlah (Jiwa)1 Islam 5.6482 Buda 5703 Hindu 2.276
Sumber Data :Profil Desa Tanjung th. 2012
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk Desa Tanjung
sejak semula merupakan penduduk asli selalu membina toleransi antara umat
beragama, sehingga tidak pernah terjadi gesekan antar penduduk yang berlainan
agama.
c. Sosial Ekonomi
Penduduk Desa Tanjung sebagian besar sebagai petani dan peternak, buruh
tani, hanya sebagian kecil yang bermata pencaharian sebagai pegawai NegeriSipi
l,pedagang, pengrajin dan wirasuasta.
3. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan yang berlaku dalam masyarakat desa t an jung ada lah :
a.SistemPerkawinan
Setiap daerahmempunyai sistem perkawinan yang berbeda, sistem perkawinan
yang berlaku dalam masyarakat Desa Tanjung ini adalah sistem indogami yaitu lebih
mengutamakan perkawinan diantara keluarga sedarah. Sekalipun dalam
perkembangannya sekarang perkawinan ke luar keluarga juga tidak dapat dicegah,
apalagi keadaan desa Tanjung yang sudah mulai terbuka menerima penduduk
pendatang
b.Bentuk Perkawinan
Bentuk perkawinan dalam masyarakat desa Tanjungini dilakukan
perkawinan–pinang (lakok)atau meminang (belakok)dan perkawinan dengan cara
21
memulang ini telah berlaku turun temurun dari nenek moyangnya, Perkawinan
dengan cara memulang lebih banyak dipilih sebagai cara melangsungkan
perkawinan, perkawinan dengan cara ini berlangsung melalui proses :
a. Tahap pertama, merupakan masa orientasi (midang), dilanjutkan
dengan beberaye (berpacaran) dalam waktu yang cukup. Kemudian
sang lelaki menyatakan niatnya kepada sang wanita untuk
melanjutkan hubungan hidup rumah tangga melalui pernikahan,
peristiwa ini disebut nenari.
b. Tahap kedua, merupakan kesepakan (pernyataan kemandirian)
masing-masing calon suami-istri menyatakan untuk melepaskan diri
dari kekuasaan orang tua yang dilakukan dengan meninggalkan rumah
masing-masing. Jadi berlangsungnya perkawinan merarik didahului
oleh inisiatif kedua calon mempelai, sama sekali tidak melibatkan
orang tua kedua belah pihak. Karena keadaannya demikian maka ada
orang tua yang tidak mengetahui atau tidak memperkirakan kalau
anaknya akan melangsungkan perkawinan merarik, sehingga kedua
orang tua calon mempelai sering menyebut perkawinan dengan cara
ini dengan istilah ”kale idup”, ”kale” artinya cobaan/kesusahan dalam
kehidupan. Oleh karena itu dari tahapan ini sudah terlihat adanya
potensi sengketa.
c. Tahap ketiga, merupakan proses menuju ke pengakuan (syahnya)
perkawinan yang dilaksanakan dengan proses yang disebut sejati,
adalah proses untuk menyatakan perbuatan menjadi terang, sesuai
dengan sifat hukum adat segala perbuatan harus dilakukan dengan
terang yaitu sepengetahuan masyarakat dan kepala persekutuan.
Dalam hal ini dilakukan melalui aktifitas keliang adat, yang
memberitahukan peristiwa merarik tersebut kepada pihak keluarga
calon mempelai wanita melalui keliang adatnya, peristiwa ini disebut
dengan mensejati.
d. Tahap keempat ialah tahap penyelesaian perkawinan adat merarik
yang dilangsungkan dengan mufakat keluarga kedua pihak yang
dihadiri oleh keliang adat, petugas adat (pembayun) dan petugas
agama.
22
e. Tahap kelima yaitu pengukuhan adanya keluarga (kurenan) baru,
pengukuhan ini dilakukan melalui acara sorong serah-ajikrama,
kemudian diumumkan kepada masyarakat melalui acara nyongkolan24.
Terhadap perkawinan pinang (lakok), jarak peminangan dengan pelaksanaan
perkawinan ini menurut hukum adat masyarakat Desa Tanjung tidak ditentukan
dengan jelas, akan tetapi jarak peminangan dengan pelaksanaan perkawinan ini
sesuai dengan kesepakan kedua keluarga yang akan melaksanakan perkawianan
tersebut. Terhadap biaya perkawinan ditanggung seluruhnya oleh keluarga laki-laki,
termasuk biaya yang dibutuhkan oleh berbagai acara dan upacara yang dilakukan
oleh keluarga wanita, biaya ini di serahkan oleh keluarga laki-laki ke pihak keluarga
wanita disebut dengan jaminan yang berfungsi untuk membiayai penerimaan
keluarga laki-laki yang datang ketempat keluarga Wanita pada saat penyelesaian
adat perkawinan berlangsung25.
c.Perceraian
Bila terjadi perceraian dan tidak dimungkinkan untuk rujuk kembali, maka yang
menjadi persoalan adalah pembagian harta. Menurut hukum adat yang berlaku di
masyarakat Desa Tanjung, maka terhadap harta keluarga dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, menurut Bapak Putrawardi, bahwa harta keluarga dapat
dibedakan tiga golongan antara lain :
a. Hartabawaan suami
b. Hartabawaanistri
c. Harta Pencaharian yaitu harta persekutuan suami istri yang di dapat dengan jerih
payah bersama.26
Harta yang dibagi ialah harta pencarian, harta persekutuan dibagi dua
sama banyak antara suami dan istri.Tetapi harta bawaan tetap tinggal pada istri
dan harta suami harus kembali kepada suami. Pembagian ini berdasarkan
sesenggak adat yangmengatakan :
24 .Wawancara dengan Haji Lalu Syafruddin, Dosen Hukum Adat di Fakultas Hukum Unram, tanggal 25 Agustus 201425 wawancara dengan Bap[ak Alimudin, Kepala Dusun Karang Bedil, tanggal 28 juli 2014 di Kantor Kepela Desa Tanjung
26. Wawancara dengan Bapak Putrawadi, tanggal 28 Juli 2014 di Kantor Desa Tanjung.
23
- harte tebagi sekutu tebelah, harte penjauk tulak bengan-bengan.
Maksud sesenggak adat tersebut adalah bercerai semasa hidup harus dijatuhkan
talak (seang), cerai karena kematian harus ditegakkan nisan diatas
perkuburan.Kalauistri meninggal pembiayaannya tanggung jawab suami,
kalausuamimeninggalpembiayaannya
Menjadi tanggung jawab persekutuan suami yang didapat karena pencaharian harus
dibagi dua, harta istri harus ditinggalkan dan harta suami harus dikembalikan.
Bila dalam perkawinan mempunyai anak,maka anak akan tetap tinggal
bersama Bapaknya (keluarga Bapak) bila perceraian itu terjadi.
d. Harta Perkawinan
Menurut hukum adat masyarakat desa Tanjung harta yang dibawa oleh
masing-masing ini di urus secara sendiri-sendiri oleh pihak yang
membawanya,tetapi bias diurus secara bersama,akan tetapi yang lebih berkuasa
tentu saja pihak yang mempunyai harta tersebut sedangkan hasil dari harta tersebut
bias mereka pergunakan selama dalam ikatan perkawinan, oleh karena itu istri
mempunyai harta bawaan berupa sawah (harta pengasek-asek),maka suami juga
menikmati hasilnya begitu juga terhadap harta bawaan suami, istri juga ikut
menikmati hasil dari harta bawaan tersebut.Sedangkan kekuasaan yang lebih kuat
terhadap harta tersebut.
Terhadap harta pencaharian, antara suami istri mempunyai hak yang sama
untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari harta tersebut27.
4. Sistem Kekeluargaan
Dimasyarakat Desa Tanjung ini berlaku system Fatrilineal, yaitu sistem yang
mengambil garis keturunan melalui garis Bapakatau garis laki-laki. Dengan perkawinan
exogami yakni menghendaki kawin dengan diluar keluarga sedarah. Menurut, Datu
Ciptawadi bahwa “sistem kekeluargaan masyarakat di Desa Tanjung atau system
kekeluargaan berdasarkan keturunan Bapak atau system geneologis Fatrilineal28.
Untuk lebih jelasnya mengenai system kekeluargaan ini maka perlu juga diketahui :
27 Wawancara dengan Bapak I.Wy. Subada, tanggal 28 Juli 2014 di Kantor Dresa Tanjung.
28 I.Wy. Subada. Ibid
24
a. Hubungan Anak Dengan Orang Tua
Di Desa Tanjung ini, anak mempunyai kedudukan yang terpenting dalam
setiap keluarga.Maka pada umumnya orangtua mempunyai kewajiban untuk
membiayai dan mendidik anak-anaknya sampai ia dewasa atau memberi nafkah
sendiri. Anak sebagai penegak dan penerus generasi dan juga dipandang sebagai
pelindung orang tua kelak bila suatu saat orang tua sudah tidak mampu lagi secara
fisik untuk mencari penghidupan atau nafkah.
Oleh karena itu sejak masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan bahkan
dalam pertumbuhan selanjutnya dalam masyarakat Desa Tanjung, diadakan berupa
syukuran-syukuran oleh orang tua yang betujuan supaya si anak tersebut
senantiasa mendapat perlindungan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Hubungan Anak dengan Keluarga
Karena system kekeluargaan masyarakat Desa Tanjung ini berbentuk
patrilineal maka anak – anak lebih dekat dengan keluarga atau kerabat Bapaknya
dibandingkan dengan keluarga Ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bapak
L a s m i n t o “bahwa anak-anak dari perkawinan ini cendrerung lebih dekat dengan
keluarga ibunya di banding keluarga bapaknya”29.
c. Pemeliharaan Anak Yatim Piatu
Apabila dalam satu keluarga, salah satu dari orang tua (bapak atau ibu)atau
kedua-duanya telah meninggal dunia,sementara anak-anak masih ada yang belum
dewasa,biasanya dipelihara oleh keluarga ibunya disebabkan oleh system
kekeluargaan yang bersifat matrilineal. Begitu juga bila terjadi perceraian maka
anak-anak tetap berada dalam lingkungan keluarga ibunya.
5 .Pewaris dan Harta Warisan Masyarakat Desa Tanjung
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dengan meninggalkan harta
bendanya yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Jadi jelaslah bahwa pewaris merupakan salah satu unsur yang terpenting
dalam hukum waris, sebab bila tidak ada pewaris maka tidak ada pewarisnya.
29. Wawancara dengan Bapak Lasminto, Ketua BPD Desa Tanjung tanggal 28 Juli 2014 di Kantor Desa Tanjung.
25
Mengenai sistem hukum waris adat yang berlaku dalam masyarakat setempat
dapat dikelompokkan kedalam 4(empat) macam harta perkawinan yang merupakan
harta warisan. Keempat harta warisan tersebut adalah:
a. Harta Pusaka
Yang dimaksud harta pusaka menurut bahasa daerah masyarakat Desa
Tanjung, yakni semua harta yang diwarisi secara turun menurun darinenek moyang
terdahulu. Disebut harta pusaka karena pewarisannya yang turun menurun lebih
dari tiga generasi. Harta pusaka ini dapat berupa tanah kering(misalnya tanah
lading atau kebun, atau dapat juga berupa tanah irigasi seperti sawah atau semua
harta dalam bentuk lainnya).
b. Harta Perkawinan
Yang dimaksud harta pencaharian, yakni semua harta yang didapat selama
ikatan perkawinan baik suami istri bekerja atau hanya suami saja yang bekerja,
harta bawaan ini dapat menjadi harta pusaka apabila telah diwariskan kepada
generasi ketiga, misalnya dari nenek kepada cucu,pada saat inilah harta
perkawinan tersebut naik statusnya menjadi harta pusaska.
c. Harta Bawaan
Hartabawaan ini ada dua yaitu :
a.Harta (harta kepunyaan istri)
Yang dimaksud dengan harta pengaseh, yakni semua harta-harta kepunyaan
istri yang dibawa kedalam perkawinan baik yang didapat melalui pewarisan atau
punjerih payahnya atau didapat dari pemberian orang lain sebelum perkawinan.
b.Harta (Harta kepunyaan suami)
Yang dimaksud dengan harta, yakni semua harta pembujang dari suami yang
didapat sebelum melangsungkan perkawinan baik berupa pemberian kerabat
maupun hasil jerih payahnya sendiri. Harta pemberian ini dapat berupa
perhiasan, sawah, ternak dan benda-benda bergerak atau benda tetap.
26
d. Harta Pemberian
Yang dimaksud dengan harta pemberian, yakni semua harta yang berasal dari
pemberian, dari keluarga atau kerabat maupun orang lain kepada suami istri
sebelum melangsungkan perkawinan atau sesudah perkawinan. Harta pemberian
sebelum perkawinan ini, akan menambah harta bawaan masing-masing pihak,
sedangkan harta pemberian sesudah melangsungkan perkawinan masing-masing
tersebut merupakan harta bersama.
Jadi pada dasarnya empat macam harta seperti yang disebutkan diatas
merupakan harta warisan menurut waris masyarakat Desa Tanjung. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan Bapak Lasminto, Ketua BPD Dera Tanjung selaku
pemuka adat, mengatakan :
Dari uraian hasil wawancara tersebut diatas,maka jelaslah oleh kita bahwa
harta pusaka tinggi inilah yang dimaksud dengan harta asal,yaitu harta yang
diterima dari nenek moyang secara turun menurun.Menurut hukum
waris adat masyarakat Desa Tanjung ini juga dikenal harta warisan
yang terbagi dan tidak terbagi–bagikan. Harta pusaka tinggi yang tidak terbagi–
bagikan ini merupakan harta bersama, sedangkan harta pusaka tinggi terbagi
merupakan harta milik perorangan. Harta pusaka yang tak terbagi-bagi dapat
dinikmati pemakainya secara bergantian atau bergiliran.
Lain halnya dengan harta pembawaan ini dapat dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya akan tetapi kembali kepada asal usul harta tersebut, bila terjadi perceraian
ataupun wafat. 30.
Sedangkan harta pemberian ini, bila di dapat sebelum perkawinan maka akan
dapat menambah harta bawaan masing-masing suami istri tersebut,dan bila
pemberian ini didapat sesudah perkawinan maka pemberian ini merupakan
harta bersama.
e. Ahli Waris
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu,bahwa anaklah yang
merupakan ahli waris yang pertama,apabila orang tuanya wafat,oleh karena itu
anggota-anggota lain tidaklah termasuk sebagai ahli waris,apabila wafatnya pewaris
meninggalkan anak, sebab pada umumnya anak pula merupakan generasi yang
30. I. Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesi, Perkembangannya dari masa ke masa,Penerbit PT Citra Aditya Bakti
Bandung, h,257
27
dibesarkan didalam keluarga si wafat yang meninggalkan harta warisan.
Kemudian menurut wawancara dengan Bapak Datu Ciptawadi, salah seorang
pemuka masyarakat di Desa Tanjung,mengatakan:
“Bahwa apabila yang wafat itu tidak meninggalkan anak atau cucu, maka
barulah ahli waris itu dapat berpindah kepada kaum kerabat yaitu ibu kandung dari si
wafat.Kalau tidak ada baru berpindah pada kaum kerabat yang lainnya”.31
Dengan demikian jelaslah oleh kita bahwa pada dasarnya yang menjadi
ahli waris dalam masyarakat Desa Tanjung ini adalah anak.Dimana anak
perempuan mempunyai hak pakai atau mewarisi, sedangkan anak laki-laki hanya
mengatur atau mengawasi terhadap harta-harta warisan,bila terjadi
kesalahpahaman atau perselisihan antara ahli waris.
Menurut hokum waris adat masyarakat Desa Tanjung ada beberapa ahli waris
bila :
a. Bila pihak istri (ibu) yang wafat, maka yang menjadi ahli warisnya yaitu :
1. Anak perempuan
2. Cucu laki dari anak laki
3. Bapak pewaris
4. Saudara laki pewaris
5. Keluarga terdekat pewaris
Bila ahli waris yang tersebut diatas semuanya masih hidup maka diantara
mereka tidak dapat mewaris secara bersama-sama. Bila pewaris mempunyai anak
maka anaklah yang menjadi ahli waris utama, sedangkan bila tak ada anak,akan
tetapi ada cucu maka akan cuculah yang menjadi ahli warisnya. Bila tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu maka yang menjadi ahli warisnya
adalah ibu dari pewaris, jika ibu pewaris juga tidak ada lagi maka barulah
saudaranya menjadi ahli warisnya.nJika semua ahli waris seperti nomor 1,2,3,4 tidak
ada lagi barulah keluarga terdekat pewaris menjadi ahli warisnya.
b. Bila pihak Suami (bapak) yang wafat,maka yang menjadi ahli warisnya yaitu:
1. Anak laki
31.Wawancara dengan Datu Ciptawadi, tanggal, 25 Agustus 2014 di Fakultas Hukum Unram
28
2. Cucu laki dari anak laki
3. Bapak pewaris
4. Saudara laki pewaris
5. Kemenakan laki pewaris
6. Keluarga terdekat pewaris
Bilaahli waris yang tersebut diatas, semuanya masih hidup maka diantara
mereka tidak dapat mewaris secara bersama-sama. Hal inisama dengan yang
tersebut terdahulu, jika ada ahli waris pertama maka ahli waris – ahli waris lain yater
tutup untuk menjadi ahli waris, seperti jika ada ahli waris. Yang dimaksud dengan
harta bujangan, yakni semua harta pembujang dari suami yang di dapat sebelum
melangsungkan perkawinan baik berupa pemberian kerabat maupun hasil jerih
payahnya sendiri.Harta bujang ini dapat berupa perhiasan,sawah,ternak dan benda-
benda bergerak atau benda tetap.
c. Harta Pemberian
Yang dimaksud dengan harta pemberian, yakni semua harta yang berasal dari
pemberian, dari keluarga atau kerabat maupun oranglain kepada suami istri
sebelum melangsungkan perkawinan atau sesudah perkawinan. Harta pemberian
sebelum perkawinan ini, akan menambah harta bawaan masing-masing pihak,
sedangkan harta pemberian sesudah melangsungkan perkawinan masing-masing
tersebut merupakan harta bersama.
Jadi pada dasarnya empat macam harta seperti yang disebutkan diatas
merupakan hartawarisan menurut waris masyarakat Desa Tanjung. Halini sesuai
dengan apa yang dikemukakan Lasminto selaku pemuka adat, mengatakan :
Dari uraian hasil wawancara tersebut diatas,maka jelaslah oleh kita bahwa
harta pusaka tinggi inilah yang dimaksud dengan harta asal, yaitu harta yang
diterima dari nenek moyang secara turun menurun. Menurut hokum
waris adat masyarakat Desa Tanjung ini juga dikenal harta warisan
yang terbagi dan tidakterbagi–bagikan. Harta pusaka yang tidak terbagi– bagikan ini
merupakan harta bersama, sedangkan harta pusaka terbagi merupakan harta milik
perorangan. Harta pusaka yang tak terbagi-bagi dapat dinikmati pemakainya secara
29
bergantian atau bergiliran, ada juga yang diserahkan pengelolaannya pada salah
seorang saudaranya yang dianggap mampu memeliharanya.
Lain halnya dengan harta pembawaan ini dapat dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya akan tetapi kembali kepada asal usul harta tersebut, bila terjadi perceraian
ataupun wafat.
Sedangkan harta pemberian ini, bila didapat sebelum perkawinan maka akan
dapat menambah harta bawaan masing-masing suami istri tersebut, dan bila
pemberian ini didapat sesudah perkawinan maka pemberian ini merupakan
harta bersama32.
d. Ahli Waris
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu,bahwa anaklah yang
merupakan ahli waris yang pertama,apabila orangtuanya wafat,oleh karena itu
anggota-anggota lain tidaklah termasuk sebagai ahli waris,apabila wafatnya pewaris
meninggalkan anak, sebab pada umumnya anak pula merupakan generasi yang
dibesarkan didalam keluarga si wafat yang meninggalkan harta warisan.
Kemudian menurutwawancara dengan Bapak Lasminto,salah seorang pemuka
masyarakat di Desa Tanjung,mengatakan:
“Bahwaapabila yang wafat itu tidak meninggalkan anak atau cucu, maka
barulah ahli waris itu dapat berpindah kepada kaum kerabat yaitu ibu kandung dari si
wafat.Kalau tidak ada baru berpindah pada kaum kerabat yang lainnya”.33
Dengan demikian jelaslah oleh kita bahwa pada dasarnya yang menjadi
ahli waris dalam masyarakat Desa Tanjung ini adalah anak.Dimana anak laki-laki
mempunyai kedudukan sebagai ahli waris.
Menurut hokum waris adat masyarakat Desa Tanjung ada beberapa ahli waris
bila :
a. Bila pihak istri (ibu) yang wafat, maka yang menjadi ahli warisnya yaitu :
1. Anak perempuan
2. Cucu laki dari anak laki
3. Bapak pewaris
32. Datu Ciptawadi Ibid
33Wawancara dengan Ketua DPD Dea Tanjjunig tanggal 21 juni 2014
30
4. Saudara laki pewaris
5. Keluarga terdekat pewaris
Bila ahli waris yang tersebut diatas semuanya masih hidup maka diantara
mereka tidak dapat mewaris secara bersama-sama. Bila pewaris mempunyai anak
maka anaklah yang menjadi ahli waris utama, sedangkan bila tak ada anak,akan
tetapi ada cucu maka akan cuculah yang menjadi ahli warisnya. Bila tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu maka yang menjadi ahli warisnya
adalah ibu dari pewaris, jika ibu pewaris juga tidak ada lagi maka barulah
saudaranya menjadi ahli warisnya. Jika semua ahli waris seperti nomor1,2,3,4 tidak
ada lagi barulah keluarga terdekat pewaris menjadi ahli warisnya.
b. Bila pihak suami (bapak) yang wafat,maka yang menjadi ahli warisnya yaitu:
1. Anak laki
2. Cucu laki dari anak laki
3. Bapak pewaris
4. Saudara laki pewaris
5. Kemenakan laki pewaris
6. Keluarga terdekat pewaris
Bila ahli waris yang tersebut diatas, semuanya masih hidup maka diantara
mereka tidak dapat mewaris secara bersama-sama. Hal ini sama dengan yang
tersebut terdahulu, jika ada ahli waris pertama maka ahli waris- ahli waris lainnya
tertutup untuk menjadi ahli waris, seperti jika ada g o l o n g a n ahli waris pertama
maka golongan ahli waris kedua tidak dapat menjadi ahli waris.Dan begitu juga
bila ada golongan ahli waris kedua maka g o l o n g a n ahli waris ketiga tidak dapat
menjadi ahli waris dan begitu seterusnya.
Bila terjadi ahli waris yang perempuan pupus atau punah, maka anak laki-laki
dapat diangkat secara ada tuntuk dapat ahli waris. Pupus maksudnya yaitu:semua
ahli waris yang perempuan tidak ada lagi yang masih hidup baik keluarga terdekat
dan keluarga jauh.
6. Pembagian Warisanpada Ahli Waris yang Berhak pada Masyarakat Desa Tanjung
31
Pembagian warisan ini terjadi apabila wafatnya pewaris dan meninggalkan
harta warisan. Apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka pembagian warisan ini
tidak dapat ber langsungmenurut hukum waris manapun. Menurut hokum waris
adat masyarakat Desa Tanjung ini juga berlaku seperti unsur-unsur yang tersebut
diatas, bila tidakterpenuhi unsur tersebut tidak terpenuhi maka warisan tidak
dibagikan34.
Pembagian warisan ini dilakukan keluarga dan ahli waris yang akan
membagikan harta kekayaan pewaris. Tentang saat pembagian warisan setelah
pewaris meninggal dunia tidak ada ketentuan waktu yang psti,dapat dilakukan setelah
40 hari setelah pewaris wafat atau 100 hari. Pembagian harta warisan ini harus dalam
keadan bersirih, maksudnya bahwa harta-harta warisan ini harus dikurangi dengan
hutang-hutang pewaris, biaya selama sakit (jika mengalami sakit) dan biaya acara
pemakaman dan biaya acara-acara lainnya.Bila harta dalam keadaan bersih barulah
harta dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Pembagian harta warisan ini di tentukan lebih dahulu harta terbagi
dan harta tak terbagi, yaitu sistem pewarisan kombinasi antara sistemindividual
dengan sistem kolektif, harta warisan yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli warisnya
ini merupakan milik perorangan, sedangkan terhadap harta warisan yang tak terbagi-
bagikan ini merupakan milik bersama.
Mengenaipembagian warisan ini ada beberapa kemungkinan terjadi :
1.Bila istri (ibu) yang wafat, maka pembagian warisannya adalah :
a. Bila suaminya kawin lagi dan tidak mempunyai anak maka suami berhak
setengah dari harta pencahariannya.
b. Bila suami kawin lagi dan mempunyai anak, maka suami hanya membawa harta
bawaannya sedangkan harta pencaharian diwarisi kepada anaknya yang laki.
Pembagian ini dapat dilakukandiantara ahli waris bila :
1. Bila anak perempuan lebih dari 2 orang sedangkan anak laki-laki hanya satu
orang, maka anak laki-laki sebagai pengaturatau mewarisi harta warisan ini
terhadap ahli warisnya, maka semua harta pusaka (hartapencaharian)
inidiwarisikepadakeduaanak laki-laki.Pembagian warisan ini harus adil
menurut hokum adat, adil itu tidak menurut perhitungan matematika.
Sebagaicontoh:Pewaris meninggalkan harta p u s a k a berupa sawah, lading
(kebun) dan harta harta pencaharian berupa rumah,pekarangan serta 3 ekor
34. D.Y. Witanto, 2012 Hukum Keluarga, Hak dan Kedudukan anak Luar Kawin, Prestasi Pustaka, hal.1.
32
ternak dan harta ringan lainnya. Pewaris meninggalkan anak 2 orang laki-laki
dan satu orang anak perempuan maka harta warisan ini diwarisi oleh kedua
anak-anak laki-laki sebagai berikut :
Harta pusaka ini, merupakan harta bersama yang pemakaiannya secara
bergantian atau dipelihara bersama,sedangkan harta harta pencaharian ini
dibagi-bagikan : yang satu orang mendapat rumah dan 1½ ekor ternak, dan
satu orang lagi mendapat pekarangan rumah (tanak gubuk) untuk mendirikan
rumah dan 1 ½ ekor ternak juga.Sedangkan harta bergerakl ainnya dapat
dibagikan sama banyak diantara anak laki-laki, sedangkan anak
perempuan bias mendapat harta warisan ini, utuk bagian anak perempuan
disebut sebagai “harta pengasek”.
2. Bila anak laki-laki lebih dari satu orang, maka di sini timbul persoalan, siapa
yang berhak mengatur atau mengawasi harta warisan tersebut. Hak tersebut
diberikan kepada anak yang laki yang dapat mengurusnya (pantes),yaitu anak
laki yang mampu membawa mufakat.
3. Bila yang wafat suami (bapak) maka harta pembagian warisan adalah :
a. Bila istri tidak mempunyai anak, maka harta pencaharian dibagi dua.
b. Bila istri mempunyai anak, maka harta pencaharian ini diwarisi kepada anak-
anak yang laki.
c.Bila pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu laki,maka
harta warisannya dapat diwarisi oleh ibunya, atau saudara laki pewaris atau
kemenakan laki pewaris. Jika ibu, saudara laki dan kemenakan pewaris ini
masih hidup maka harta warisan ini dapat diwarisi oleh ahli waris yang
berdasarkan keputusan keluarga. Sedangkan proses pewarisan ini dalam
hokum waris adat masyarakat Desa Tanjung ini dapat terjadi dengan dua
cara, yaitu :
a. Sebelum Pewaris Wafat
Sebelum pewaris wafat, kadang-kadang pembagian warisan itu
dilakukan atau dilaksanakan sebelum pewaris wafat dengan menunjukkan oleh
pewaris kepada ahli warisnya,pewarisan dengan cara ini disebut dengan
memberi “penauk” ( h a k m e n e m p a t i ) misalnya seorang anak laki yang telah
kawin diberikan sawah perkarangan rumah danternak, maka harta ini
merupakan harta kekayaan yang belum dibagi, dalam hukum waris adat
33
masyarakat desa Tanjung belum dapat di sebut sebagai harta warisan, tetapi
disebut sebagai“penauk/pelengak” (hak memelihara dan menggarap) saja.
Menurut Bapak Lasminto Ketua BPD desa Tan jung :“Bahwa setiap
anak atau keturunan pewaris dapat memperoleh harta warisan berupa barang
atau benda dari pewaris sebelum wafatnya, harta ini sebagai harta penauk35
b. Sesudah Pewaris Wafat
Menurut hukumwaris adat masyarakat Desa Tanjung pada dasarnya tidak
ditentukan jangka waktu pembagian harta warisan.Tetapi menurut kebijaksanaan
masyarakat setempat, tidak boleh membicarakan warisan selama “kubur
masih basak” artinya kubur belum kering,misalnya 40 hari atau 100 hari
setelah pewaris wafat.
Sedangkan anak laki-laki sebagai penguasa atau pengatur harta warisan ini
juga mendapat harta ringan dari pewarisan seperti : pakaian atau perlengkapan
ke sawah.
Sebagai penguasa atau pengatur ini dimusyawarahkan bersama keluarga,
dihadapan Kepala Dusun, Penghulu Kampung, Parisade untuk mereka yang
beragama hindu.
b. Bila suami kawin lagi dan mempunyai anak, maka suami hanya membawa harta
bawaannya sedangkan harta pencaharian diwarisi kepada anaknya yang
perempuan,maka anak perempuan mewaris harta pencaharian orang tuanya
dan harta pusaka tinggi dari ibunya.
Pembagian ini dapat dilakukandiantara ahli waris bila :
1. Bila anak perempuan lebih dari 2 orang sedangkan anak laki-laki hanya satu
orang, maka anak laki-laki sebagai pengatur atau mewarisi harta warisan ini
terhadap ahli warisnya, maka semua harta pusaka tinggi dan harta pusakar
endah (hartapencaharian) ini diwarisi kepada kedua anak
perempuannya.Pembagian warisan ini harus adil menurut hokum adat, adil itu
tidak menurut perhitungan matematika.
Sebagai contoh : Pewaris meninggalkan harta pusaka tinggi berupa sawah,
lading (kebun) dan harta pusaka rendah (harta pencaharian) berupa rumah,
pekarangan serta 3 ekor ternak dan harta ringan lainnya. Pewaris
meninggalkan anak 2 orang perempuan dan satu orang anak laki-laki maka
35. Wawancara dengan Lasminto, Ketua BDP Desa Tanjung tanggal 21 Juni 2014 di Kantor Desa Tanjung.
34
harta warisan ini diwarisi oleh kedua anak-anak perempuannya sebagai
berikut :
Harta pusaka tinggi ini,merupakan harta bersama yang pemakaiannya secara
bergantian atau bergiliran, sedangkan harta pusaka rendah (harta
pencaharian) ini dibagi-bagikan : yang satu orang mendapat rumah dan 1½
ekor ternak, dan satu orang lagi mendapat pekarangan rumah untuk
mendirikan rumah dan 1 ½ ekor ternak juga.
Sedangkan harta ringan lainnya dapat dibagikan sama banyak dan anak laki-
laki juga bias mendapat harta warisan ini. Sedangkan anak perempuan tidak
diberikan harta waris, namun demikian dapat diberikan atas dasar “pengaseh”
tidak ditentukan jumlahnya.
4. Bila yang wafat suami (bapak) maka harta pembagian warisan adalah :
a. Bila istri tidak mempunyai anak, maka harta pencaharian dibagi dua.
b. Bila istri mempunyai anak, maka harta pencaharian ini diwarisi kepada anak-
anaknya, khususnya anak laki.
c. Bila pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu, maka harta
warisannya dapat diwarisi oleh Bapaknya, apabila Bapaknya sudah tidak
ada maka saudaranya sebagai ahli waris, khususnya saudara yang laki..
7. Pengelolaan harta warisan secara bersama.
a. Dasar Pengelolaan harta waris secara bersama
Setiap orang tua berharap agar anak-anaknya dapat hidup sehat bersama anak dan
cucunya. Suasana hati yang bersih, bahagia dan sejahtera akan terpancar jelas ketika anak
cucu tumbuh berkembang bersama harapan-harapannya, berprestasi dalam studi dan
pekerjaan. Tentunya, kalau semua aspek kehidupan -finansial, sosial, kesehatan, hubungan,
spiritual- berkembang dengan baik dan seimbang orang tua senantiasa berdo’a untuk dikarunia
umur yang panjang, keadan itu disertai dengan pemberian bekal dalam hidup keluarga anak
keturunannya, jika sudah meninggal bagaimana warisan diwariskan.
Bicara tentang warisan yang paling cepat terlintas dalam pikiran adalah kepemilikan harta
benda berupa rumah dan tanah serta tabungan di bank, properti memang sangat penting.
Semua kebutuhan proses penerusan harta benda dari generasi ke generasi berikutnya ada
35
ketentuan aturannya, supaya orang tua tambah tua tambah berwibawa dengan memiliki properti
lebih banyak dari jumlah anak. Kalau propertinya banyak tidak begitu masalah. Tapi
bagaimana kalau properti yang ditinggal hanya satu, tapi anaknya lebih dari itu. Orang tua akan
merasa senang dan tentram bersama anak-anak jika keluarganya sehat, hidup rukun dan
berkecukupan secara ekonomi. Hal itu akan mendatangkan rasa damai di hati. Ucapan syukur
akan mudah meluncur bila bertemu atau sekedar mengingat anggota keluarganya.
Sesungguhnya warisan terindah orang tua adalah prinsip hidup dan cara hidup. Hal ini
diberikan secara terus-menerus kepada semua anggota keluarga, tanpa kecuali. Dengan
prinsip hidup yang kuat dan cara hidup yang benar semua orang diyakini dapat melanjutkan
hidup pribadi dan hidup keluarga sendiri dengan mandiri, tanpa bergantung kepada pihak lain.
Prinsip hidup dan cara hidup dapat diserap secara langsung melalui hubungan interaksi
dalam keluarga. Hidup bersama dalam satu atap akan memberikan pembejaran yang terbuka,
transparan dan sangat jujur. Kehidupan beragama dan etika hubungan keluarga akan terpupuk
dengan sendirinya selama orang tua bukan hanya menjadi pengajur, tetapi juga menjadi pelaku
yang setia. Selain melalui pergumulan dan sukacita dalam rumah, prinsip hidup dan cara hidup
diperoleh melalui bangku pendidikan sekolah. Orang tualah yang menentukan di mana untuk
menuntut ilmu terbaik, di mana ada guru dan atmosfer belajar yang mendukung.
Bentuk warisan berikutnya adalah hubungan kekeluargaan dan persaudaraan yang
telah dipupuknya selama ini. Tatakrama adat menyarankan supaya setiap anak menghormati
teman-teman orang tuanya yang masih hidup. Dengan mereka perlu dijalin komunikasi dan
ikatan tali silaturahmi. Dengan keluarga, saudara dan teman-teman akan banyak hal yang
dapat digali berbagai teladan hidup orang tua. Demikian juga cita-cita orang tua yang mungkin
tidak sempat diucapkan secara verbal langsung kepada anggota keluarga. Mereka ini tempat
untuk berbagi dan tempat untuk minta pertolongan. Apalagi bila ada teman-teman sebaya, yang
bukan hanya teman bermain tetapi juga sebagai teman bertumbuh untuk menentukan jati diri.
Mereka inilah yang bisa melihat diri kita dari berbagai sudut pandang, sehingga relatif bisa
memberikan pendapat yang lebih obyektif36.
Kembali kepada warisan berupa harta benda, properti berupa tanah dan bangunan.
Sedapat mungkin warisan peninggalan itu diurus secepat mungkin berdasarkan musyawarah
keluarga. Sebagai informasi, menurut peraturan pertanahan pengalihan hak waris tidak
36 . Hilman Hadikusuma 1980, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni Bandung, hal.37
36
dibebankan biaya untuk waktu 6 bulan semenjak kematian orang tua yang namanya tertera di
dalam sertifikat. Demikian juga bila ada properti yang belum memiliki sertifikat, hendaknya
segera diurus supaya mendapat kepastian hukum dan dapat dimanfaatkan secara efektif.
Mungkin bisa dijual, disewakan atau diagunkan sesuai dengan keperluan keluarga.
1. Sistem Pewarisan Individual
Pada keluarga-keluarga Patrilineal pada umumnya berlaku sistem pewarisan individual ini, yaitu
harta warisan terbagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Salah satu
kelebihan sistem pewarisan individual ini adalah dengan adanya pembagian terhadap, harta
warisan kepada masing-masing pribadi ahli waris, mereka masing-masing bebas untuk
menentukan kehendaknya terhadap bagian warisan itu.37
2. Sistem Pewarisan Mayorat Laki- laki
Pada masyarakat Desa Tanjung selain sistem pewarisan individual ada juga sebagian
masyarakat yang menggunakan sistem pewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem pewarisan
yang menentukan bahwa harta warisan seluruhnya dikuasai dan dipelihara oleh anak laki-laki
sulung.
3. Sistem Pewarisan Minorat Laki-laki
Pada sebagian Desa Tanjung, anak laki-laki bungsu dapat diberi kepercayaan untuk menguasai
dan memelihara harta warisan peninggalan orang tuanya, misalnya ia yang paling lama tinggal
di rumah warisan orang tua, dengan demikiania merupakan orang yang menjaga dan
memelihara rumah warisan tersebut
b. Pembiayaan dan pembagian hasil
Di Desa Tanjung hidup dengan rukun 3 (tiga) agama besar, yaitu agama Islam sebagai
agama mayoritas penduduk, kemudian agama Hindu Bali dan Agama Budha, tetapi hukum
warisnya menggunakan hukum adat, artinya ketiga agama tersebut melebur ajarannya dalam
hukum adat masyarakat Desa Tanjung. Sehingga dengan demikian sengketa harta waris belum
pernah terjadi, sekalipun secara normatif sudah bermasalah, karena bagi mereka yang
beragama Islam yang seharusnya menggunakan Faraid, tetapi kenyataannya megunakan
hukum adat. Kebaikan pengelolaan secara kolektif untuk harta warisan ini menampakkan
adanya mufakat diantara anggota keluarga, warisan tersebut sebaga tali pengikat semua
anggota keluarga. Tolong menolong diantara keluarga senantiasa dapat dilakukan dan
37 . Ibid hal. 33-37
37
bersumber dari harta waris yang dikelola secara bersama, demikian juga tentang fungsi
kepemimpinan dalam keluarga masih terbina dengan baik, selalu dapat saling menghargai
diantara anggota keluarga.
Pembiayaan untuk pengelolaan harta waris seperti ini dilakukan atas dasar tanggung-
renteng, yaitu dengan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang akan
didapat. Pada cara ini terlihat kegiatan tolong menolong itu terjadi.
BAB V
PENUTUP
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Sistem kekerabatan masyarakat Desa Tanjung menganut kekerabatan patrilineal,
dengan hak waris utama ada pada anak laki-laki, sekalipun demikian anak wanita
dapat memperoleh hak atas tanah sebagai harta warisan desebut dengan
pengasek. Harta ini jika terjadi perkawinan berkedudukan sebagai harta bawaan
istri.
2. Pembagian waris berlaku warisan individual, dan warisan terbuka ketika pewaris
telah meninggal dunia, sekalipun warisan itu telah terbagi ketika orang tua masih
hidup, tetapi pembagian seperti itu disebut dengan penauk, sebagai bekal keluarga
yang baru terbentuk.
3. Sekalipun pembagian waris berlaku warisan individual, tetapi pengelolaan harta
waris dilakukan secara bersama yaitu dengan menunjuk salah seorang saudara
yang dianggap paling lemah ekonominya untuk mengelola harta warisan yang
berupa tanah.
4. Pengelolaan seperti ini dilakukan untuk membina mufakat diantara saudara, untuk
memelihara identitas keturunan dan untuk membina kegiatan tolong menolong
diantara keluarga yang membutuhkan.
5. Pembiayaan untuk pengelolaan harta waris seperti ini dilakukan atas dasar
tanggung-renteng, yaitu dengan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dengan
hasil yang akan didapat. Pada cara ini terlihat kegiatan tolong menolong itu terjadi.
B. Saran-saran
Sekalipun sengketa harta waris belum pernah terjadi, alangkah baiknya jika terjadi
perselisihan dapat diselesaikan dihadapan kepala adat, dan dalam menyelesaikan
38
dan memutuskan perselisihan mengenai pembagian harta warisan dilakukan secara
tertulis. Oleh karena itu penulis menyarankan, untuk menjaga agar tidak terjadi salah
paham di kemudian hari bagi pihak yang bersangkutan hendaknya putusan
Penguasa Adat ditetapkan dalam bentuk tertulis atau dengan lebih baik lagi bila
dapat dikumpulkan dan dibukukan – walaupun dalam bentuk yang sederhana –
sehingga dapat menjadi pedoman pada pihak lainnya yang mengalami perkara
serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma 1993, Hilman, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung,.
___________,1994, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu, Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung,.
___________,1997, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta.
Komarudin 1979, Metode Penelitian Tesis dan Skripsi, Bandung.
Lexy J.Maleong 2000, MetodePenelitiaan Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
Laporan Diskusi Leiden-Universitas Gajah Mada, Rorientasi Pengajaran dan Studi Hukum Adat,
Kamis 7 Maret 2013.
Prodjodikoro,Wiryono ,1988, Hukum Perdata Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Presponoto Thalip Sayuti, 1960, Receptio A. Contrario, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Winardi,,Cet. II Vokin Vanhoeve, Bandung,
Primasta, Agus S, Choice Of Law dalam Hukum Kewarisan, Makalah Pusat Pendidikan dan
Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Ronny HanitijoSoemitro 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Persada
Jakarta,.
Siddik,Abdullah, Hukum Perkawinan di Indonesia, Fajar Agung, Jakarta, 1983. Salman, Otjb,
1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni,
Bandung,.
Saragih, Djaren 1980, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,.
S.Nasution 1992, Metode Penelitian Naturalistik Kwalitatif, Tarsito, Bandung. Soekanto,
Soejono 1981, Pokok-pokpk Hukum Adat, Alumni, Bandung,.
Soekanto,Soerjono dan Sri Mamuji,2001 Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada
Jakarta.
Soepomo 1993, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta,.
Soebekti, Trusto. 2013, Hukum Waris Adat edisi kedua.Penerbit Liberti Jakarta.
39
Suparman, Eman 1995, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung,.
Sudiyat, Iman 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,.
Sutrisno Hadi 1979, Metode Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Yogyakarta,.
Ter, Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan, K Ng Surbakti
Wignyodipoero, Soerojo 1990, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Mas Agung,
Jakarta,.
Winarno Surachmad, Dasar danTeknik Penelitian Research, Pengantar ,Bandung, Alumni,
1982.
Willy Yuberto Andrisma, S,Tesis 2007, Pembagian Harta Waris Dalam Adat Tionghoa di
Kecamatan Ilir Timur I Kota Palembang Propinsi Sumatera Selatan
40
Lampiran : Susunan Organisasi dan Tugas Tim Peneliti.
No Nama NIP Alokasi Waktu Uraian Tugas
1. Dr. H.L.Sabardi.SH.MS 195503041984031002 10 jam/minggu 1. Menyusun Proposal
2. Menyusun Pedoman Wawancara
3. Menyusun Laporan4. Menulis Artikel
H.Israfil.SH.M.Hum 195703021986031003 7 jam/minngu Mengumpulkan Data
Dr. Widodo Dwi Putro.SH.M.Hum 197010232003121001 10 jam/minggu1. mengumpulkan
data2. editing3. Tabulasi data
Drs.Usman,M.Si 198012312008122002 7 jam/minngu Mengumpulkan Data
41
BIAYA PENELITIAN
A. Biaya Bahan dan Alat 1. 3 RIM kertas A4 80 gram @Rp.50.000 ………….......……..Rp. 150.000,-2. Alat-alat tulis, maf, spidol……………………………….........Rp. 500.000,-3. Tinta Printer…………………………………………….......….Rp. 850.000,-4. Rental Komputer...................................................................Rp. 500.000,-
_________ Rp.2.000.000
B. Biaya Operasional 1. Poto Copy bahan…..............................................................Rp.1.500.000,-5. Konsumsi diskusi 5 orang Penelitix6x Rp.50.000,...............Rp.1.500.000
___________
Rp.3.000.000,-C. Biaya Transportasi 1. Transportasi ke lokasi selama 10 hari x5/Rp.200.000 .................…..Rp.10.000.000,-
Total:A+B+C= Rp.2.000.000+3.000.000+10.000.000,-=..............................Rp. 15.000.000,-(Lima Belas JutaRupiah)
Lampiran : Susunan Organisasi dan Tugas Tim Peneliti.
No Nama NIP Alokasi Waktu Uraian Tugas
1. Dr. H.L.Sabardi.SH.MS 195503041984031002 10 jam/minggu 5. Menyusun Proposal
6. Menyusun Pedoman Wawancara
42
7. Menyusun Laporan8. Menulis Artikel
H.Israfil.SH.M.Hum 195703021986031003 7 jam/minngu Mengumpulkan Data
Dr. Widodo Dwi Putro.SH.M.Hum 197010232003121001 10 jam/minggu 4. 1.Koordinator anggota
5. mengumpulkan data
6. editing7. Tabulasi data
Drs.Usman,M.Si 198012312008122002 7 jam/minngu Mengumpulkan Data
43
Prihal warisan seringkali menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga, karena adanya ahli waris yang tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya.
Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain.
Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat.Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris.Untuk
44
hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri.
Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan.Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undang-undang tidak melarang.Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan.Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu.Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan undang-undang.Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat .
Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya.
Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbeda-beda.
Berkaitan dengan masalah hak opsi di dalam pembagian warisan, di Pengadilan Agama Sleman ada sebuah kasus yang menarik tentang hak opsi, yaitu ada dua pihak yang bersengketa.Pihak yang pertama beragama Islam, sedangkan pihak yang kedua beragama Khatolik.Kedua orang ini adalah saudara kandung, pihak yang beragama Islam berjenis kelamin laki-laki, sedangkan pihak yang beragama Khatolik berjenis kelamin wanita.
Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama Khatolik adalah Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang beragama Khatolik ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang berarti menggunakan dasar Hukum Perdata.
BAB IIPEMBAHASAN
45
A. Pengertian pewarisanBilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua
masalah pokok, yaitu seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaanya sebagai warisan dan meninggalkan orang – orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut.
Pewarisan sendiri merupakan segala sesuatu mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia,dengan kata lain pewarisan merupakan peristiwa perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli warisnya. Pada asanya yang dapat diwariskan hanyalah hak – hak dan kewajiban dibidang hokum kekayaan saja.Kecuali ada hak – hak dan kewajiban dalam bidang hokum kekayaan yang tidak dapat diwariskan, yaitu perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan pemberian kuasa.Unsur – unsur yang terkandung dalam pewarisan yaitu :
Orang yang meninggal dunia ( pewaris ). Orang yang masih hidup yang menerima peralihan hak dan kewajiban ( ahli waris ). Hak dan kewajiban yang beralih.
B. Syarat – syarat terjadinya pewarisanDidalam hal pewarisan terdapat syarat – syarat yang keberadaanya perlu diperhatikan
guna berjalanya perpindahan hak dan kewajiban kepada pihak – pihak yang yang berhak menerima ( ahli waris ). Adapun syarat – syarat itu adalah sebagai berikut :
Pewaris meninggal dengan meninggalkan harta . Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah. Ahli waris harus patut menerima warisan ( pasal 383 KUHPer ).
Harta yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah dikurangi dengan biaya – biaya waktu pewaris ( almarhum ) sakit dan biaya pemakaman serta hutang – hutang yang ditinggalkan pewaris.
Syarat waris dalam hukum Islam
Syarat pertama : meninggalnya pewaris. Yang diamaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum adalah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka ,atau vonis yang ditetapakan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaanya. Sebagai contoh orang yang hilang yang keadaanya tidak diketahui secara pasti, sehingga hakim memvonisna sebagai orang yang telah meninggal. Hali ini harus diketahui secara pasti,karena bagaimanapun keadaanya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikanya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali setelah ia meninggal.
46
Syarat kedua : masih hidupnya ahli waris. Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar – benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal maka diantara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
Syarat ketiga : diketahuinya posisi para ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaknya diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat dan sebagainya, sehingga pembagi memgetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan diberikan kepada masing – masing ahli waris.
Pasal 383 KUHPer berisi mengenai ahli waris yang tidak berhak menerima warisan. Adapun isinya adalah sebagai berikut :Orang – orang yang tidak patut mendapatkan warisan adalah :
1. Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris
2. Mereka yang karena putusan hakim secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah si yang meninngal untuk mencabut wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan atau merusak wasiat dari si meninggal ( pewaris ).
Selain syarat – syarat diatas, dalam hal pewarisan juga terdapat prinsip umum yaitu :
1. Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta.2. Hak – hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan beralih demi hukum.3. Yang berhak mewaris menurut undang – undang adalah meraka yang
menpunyai hubungan darah ( pasal 832 KUHPer )4. Harta tidak boleh di biarkan tidak terbagi5. Setiap orang cakap mewaris kecuali onwaardig berdasarkan pasal 383
KUHPer.
C. Pihak – pihak yang menjadi ahli warisDalam proses perpindahan hak dan kewajiban ( pewarisan ),pasti ada pihak – pihak yang
akan menerima hak dankewajiban itu.adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagai berikut :
1. Calon ahli waris harus sudah ada dan masih ada pada saat pewaris meninggal dunia ( pasal 836 KUHPer ), dengan mengingat pasal 2 KUHPer.
47
2. Calon ahli waris mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris.
Hak atas waris dapat timbul karena : Karena adanya hubungan darah antara pewaris dan ahIi waris ( ahli waris ab intestato / ahli
waris karena undang – undang ).Hak mewaris berdasakan undang – undang :a) Atas dasar kedudukan sendiri ( golongan garis keutamaan )
Golongan 1 ( pasal 852 – 852a KUHPer) : adalah suami / istri dan semua anak serta keturunanya dalm garis lurus kebawah.
Golongan II ( pasal 855 KUHPer ) : orang tua dan saudara – saudara pewaris. Golongan III ( pasal 850 jo 858 KUHPer ) : kakek nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu. Golongan IV ( pasal 858 s.d 861 KUHPer) : kerabat pewaris dalam garis menyamping.
Karena ada pemberian melalui sebuah testament atau surat wasiat ( ahli waris testamenter ). Arti testament ( pasal 875 KUHPer ), suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap harta setelah meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.
Unsur - unsur testamen
Akta Pernyataan kehendak Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap akta Dapat dicabut kembali
Syarat membuat Testamen
Dewasa Akal sehat Tidak dapat bpengampuan
Tidak ada unsur paksaan,Kekhilapan,kekeliruan Isi harus jelas
Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu :
Garis pokok keutamaan,
Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan – urutan keutamaan di antara golongan – golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan tadi, maka – maka orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam golongan – golongan, sebagai berikut :
a. Kelompok keutamaan I : keturunan waris.b. Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris
48
c. Kelompok keutamaan III : saudara – saudara pewaris dan keturunanya.d. Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris.
Garis pokok penggantian
Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di antara orang – orang didalam kelompok tertentu, tampil sebagi ahli waris. Yang sungguh menjadi ahli waris adalah :
a. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris.b. Orang yang tidak lagi penghubungnya dengan pewaris.D. Penetapan ahli waris
Pada umumnya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang paling karib didalam generasi penerusnya, ialah anak – anak yang dibesarkan didalam keluarga sipewaris : yang pertama – tama mewaris ialah anak – anak kandung. Namun, pertalian dan solidaritas keluarga itu di sementara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertautan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Adanya hak mewaris anak – anak dari kedua orang tuanya merupakan ciri dari susunan sanak parental,baik yang berdasarkan susunan suku bersegi dua, Maupun yang merupakan akibat terpecahnya susunan sanak menjadi ikatan – ikatan keluarga, misalnya di jawa. Mengenai ahli waris atau siapa yang menjadi wali bagi ahli waris dibawah umur serta penetapan ahli waris yang ditetapkan oleh pengadilan, tidak beda dengan aturan yang sudah ada. Misalnya dalam pasal 5 ayat ( 2 ) disebutkan, bagi ahli waris yang masih dibawah umur atau tidak cakap bertindak menurut hokum, pengelolaan atas harta kekayaan dapat dilakukan oleh orang perorangan dari keluarga terdekat. Jika orang perorangan atau keluarga terdekat tidak ada, maka dapat dilakukan oleh masyarakat setempat atau lembaga adat.Dan untuk memperoleh hak atas pengelolaan harta kekayaan, wajib mendapat pnetapan dari pengadilan.Dalam ayat (5) juga disebutkan, pengadilan dapat menyatakan penetapan pengelolaan harta kekayaan tidak berlaku apabila terjadi penyalahgunaan, pemborosan, atau merugikan kepentingan anak.Dalam pasal 26 ayat (2) disebutkan, pengadilan dapat menetapkan pihak lain untuk mewakili hak dan kepentingan pengelolaan atas harta kekayaan anak.
E. Pembagian warisanDalam proses perpindahan hak dan kewajiban ( pewarisan ) terdapat prinsip – prinsip
pembagian warisan ( pasal 1066 KUHPer ) yang harus diperhatikan dengan tujuan agar proses perpindahan hak dan kewjiban ( pewarisan ) dapat berlangsung. Adapun prinsip – prinsip pewarisan yang termuat dalam pasal 1066 KUHPer adalah :
Tidak seorang ahli warispun dapat dipaksa untuk membiarkan harta warisan tidak terbagi.
Pembagian harta warisan dapat dituntut setiap saat ( walaupun ada testament yang melarang ).
Pembagian dapat di tangguhkan jangka waktu 15 tahun dengan persetujuan ahli waris.
49
Cara pembagian warisan Dalam proses pembagian warisan diperlukkan cara – cara yang sesuai dengan hukum agar
keadilan diantara pihak yang menerima warisan dapat terwujud dan perselisihan diantara penerima warisan dapat di minimalisir. Adapun cara pembagian warisan dalam KUHPer, Seperti :
Dalam pasal 1069 KUHPer disebutkan, jika semua ahli waris hadir maka pembagian dapat dilakukan menurut cara yang mereka kehendaki bersama, dengan akta pilihan mereka.
Dalam 1071 dan 1072 KUHPer disebutkan, jika salah satu ahli waris tidak mau membantu, lalai dan belum dewasa / dibawah pengampuan, maka dengan keputusan hakim, bali harta peninggalan ( BHP ) mewakili mereka.
Dalam pasal 1074 KUHPer disebutkan, pembagian harus dengan akta otentik ( asli ) yaitu segala sesuatu yang berhubungan erat dengan pembagian warisan.
F. Undang – undang pewarisan Terkait dengan pewarisan, pasal 24 (1) disebutkan : setiap orang dapat mempunyai hak
keperdataan atas harta kekayaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan. Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan, hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan dan atau dipindahtangankan.Dalam hal ini pemilik hak keperdataan meninggal maka hak atas harta kekayaanya beralih kepada ahli waris yang sah berdasarkan ketentuan perundangan – undangan.
BAB IIIKESIMPULAN
Perencanaan keungan keluarga merupakan langkah bijak dan tepat bagi pasangan dan keturunan dari hasil pernikahan .Dengan perencanaan ini memberikan peluang yang lebih besar kepada keluarga untuk dapat mencapai tujuan keuangan, yaitu kebebasan dari kesulitan keuangan. Perencanaan selama kita hdup selalu menjadi prioritas utama seperti menyiapkan dana pendidikan anak, menyiapkan dan untuk masa pension nanti dan masih banyak lagi perencanaan jangka panjang lainya.
Perencanaan ini diperuntukan selama menjalani kehidupan berkeluarga. Perencanaan proteksi menjadi penting karena resilo tidak tercapainya perencanaan tujuan keuangan jangka panjang sangat mungkin terjadi. Tapi ada satu perencanaan yang sering kali atau belum dirasa perlu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, perencanaan itu adalha perencanaan warisan. Mereka tidak membuat surat wasiat walau yang paling sederhana sekalipun. Yang telah memilikinya pun tidak pernah memperbaharuinya.
Masyarakat masih merasa tabu untuk membicarakan surat wasiat, karena keterlibatanya dengan kematian. Tapi, bila membuat perencanaan warisan dengan baik, kelak
50
akan mempermudah keluarga yang ditinggalkan dalam memnhatur atau mengelola asset yang ditinggalkan.
Surat wasiat ini bertujuan untuk mengatur semua kepentingan setelah meninggalkan keluarga yang dicintai. Selain dari itu, perencanaan warisan memiliki beberapa tujuan yaitu :
Kita sebagai keluarga dapat mengontrol seluruh asset yang dimiliki. Bila pewaris memiliki usah patungan dengan mitra kerja, maka pewaris
dapat melimpahkan usaha tersebut kepada siapa saja yang ditunjuk. Memberikan kejelasan seputar pengelolaan dan perawatan asset yang
dimiliki bila pewaris tidak lagi mapu untuk mengelolanya. Melindungi asset yang pewaris miliki dari orang – orang yang tidak
berhak atasnya. Sehingga pasangan dan anak – anak yang ditinggalkan mendapat apa yang menjadi bagianya.
Memberikan kejelasan kepada keluarga bahwa asset yang dimiliki akan diberikan oleh orang yang ditunjuk serta kapan aset tersebut di berikan serta dengan cara yang pewaris inginkan.
Satu tujuan akhir yag telah disebutkan sebelumnya adalah penghematan aspek pajak yang berkaitan dengan warisan.
DAFTAR PUSTAKA
Sukanto soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta.CV.Rajawali.1981 Sudiyanro iman. Hukum Adat. Jakarta. CV.rajawali.1981
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah dalam masyarakat adat Minangkabau, serta apa saja kendala-kendala dalam pengelolaan harta pusaka masyarakat adat Minangkabau serta penyelesaiannya. Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis (socio-legal research) atau nondoctrinal.Penelitian ini merupakan kegiatan pencarian data empiris, yang bersifat deskriptif.Jenis penelitian ini mengkaji efektivitas hukum dengan membandingan antara ideal hukum (das sollen) dengan realitas hukum (das sein).Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah teknik studi dokumenter, dengan alat berupa bahan-bahan tertulis, sedangkan untuk penelitian lapangan digunakan teknik komunikasi langsung dengan alat berupa pedoman wawancara.Terhadap pengambilan sampel dilakukan secara purposif sampling.Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, dan analisis data yang diperoleh dilakukan secara kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengelolaan harta pusaka tinggi dalam masyarakat Minangkabau dapat terjadi dalam bentuk pusaka tanah dan selain tanah. Pengelolaan pusaka tanah di peroleh atas dasar ganggam bauntuak dapat dilakukan oleh masyarakat pemegang ganggam bauntuak dan orang lain atas dasar kesepakatan. Terhadap pengelolaan harta pusaka non tanah merupakan upaya pelestarian harta pusaka akibat peralihan bentuk pusaka dari tanah kepada bentuk lain seperti emas. Dalam pengelolaan harta pusaka rendah masyarakat di Kecamatan Batipuh merupakan
51
bentuk pengelolaan terhadap harta pencarian yang diwariskan oleh pewaris berdasarkan hukum faraid atau keinginan para ahli waris.Pengelolaan harta pusaka rendah merupakan kewenangan setiap pemilik harta pusaka yang dilakukan atas kesepakatan bersama anggota keluarga inti.Kendala dalam pengelolaan harta pusaka di Kecamatan Batipuh terjadi terhadap harta pusaka tinggi tanah.Kendala yang terjadi berupa konflik dalam pengelolaan yang dilakukan atas dasar pagang gadai dan jual beli.Hal ini terjadi karena adanya pemanfaatan tanah ulayat yang bertentangan dengan asas-asas pemanfaatan tanah ulayat itu sendiri.Selain itu juga disebabkan karena belum terlaksananya bentuk kesepakatan-kesepakatan dalam pengelolaan harta pusaka tersebut yang dituangkan secara tertulis dengan berdasarkan akta otentik yang dibuat oleh pejabat-pejabat yang berwenang. Kata kunci: Pengelolaan, Harta Pusaka, Ganggam Bauntuak, Tanah Ulayat