laporan rafflesia 2007

21
Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007 31 Januari-5 Februari 2007 Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Upload: iska-gushilman

Post on 20-Jun-2015

444 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

laporan kegiatan Rafflesia (Eksplorasi Flora Fauna Indonesia) tahun 2007 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. isi laporan khusus mengenai goa di HPGW yang diteliti oleh Kelompok Pemerhati Goa HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata).

TRANSCRIPT

Page 1: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Page 2: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan karst memiliki ekosistem yang unik dan berbeda bila dibandingkan

dengan ekosistem lainnya yang berada di atas permukaan bumi. Sedangkan didalam

kawasan karst itu sendiri pada umumnya terdapat gua yang mempunyai andil besar

dalam penyediaan air bawah tanah. Didalam gua terdapat flora dan fauna serta

lingkungan yang sangat berbeda sekali dengan lingkungan di luar gua.

Sifat batuan karst yang mudah melarutkan air dapat menimbulkan sistem

drainase bawah tanah dan dispursi dari sistem perlembahan. Pelarutan secara lokal

menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan atau lorong-lorong bawah tanah, yang

dikenal sebagai gua atau sistem perguaan (HIKESPI, 1991). Dalam pengertian

sederhana gua adalah suatu lorong bentukan alamiah dibawah tanah yang biasa dilalui

oleh manusia yang terbuat dari gamping atau batuan vulkanik. Samodra (2001) memberi

batasan yang jelas, bahwa batuan karbonat, batu gamping dan dolomit merupakan jenis

batuan sedimen yang umumnya terbentuk di lingkungan laut dangkal.

Kawasan karst dan gua memiliki manfaat yang tinggi ditinjau dari segi ekologis,

ekonomis, maupun sosial-budaya. Air bawah tanah yang tersedia pada daerah karst

dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat sekitar kawasan. Kekhasan

kawasan karst dapat dijadikan daya tarik tersendiri untuk dikembangkan dalam wisata

terbatas. Keberadaan karst juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai fauna gua

(HIKESPI, 2002).

Mengingat pentingnya gua sebagai sebagai sumberdaya alam yang memiliki

berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial-budaya, maupun arkeologi, maka gua-gua

di Indonesia perlu didata secara terpadu, baik oleh penelusur gua perorangan maupun

instansi yang berkepentingan.

Gunung Walat sebagai hutan pendidikan yang dikelola oleh IPB selain memiliki

keanekaragaman flora dan fauna, Hutan Pendidikan Gunung Walat juga memiliki gua

alam yang oleh penduduk sekitar dinamakan Gua Putih. Gua Putih dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar sebagai sumber air bersih dan untuk pengairan lahan pertanian

masyarakat sekitar kawasan. Selain itu Gua putih juga berpotensi untuk dijadikan

sebagai objek wisata minat khusus, hal ini mengingat medan yang harus ditempuh dalam

gua tersebut memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi.

Page 3: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

1.2 Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk :

1. Inventarisasi flora dan fauna gua

2. Pemetaan gua

3. Mengetahui kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang tinggal paling

dekat dengan gua

4. Mendapatkan data ilmiah tentang kondisi fisik gua, sehingga data yang dihasilkan

dapat digunakan dalam perencanaan Gua Putih menjadi objek Wisata minat

khusus.

Page 4: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

II. METODE PENGAMATAN

2.1 Inventarisasi Fauna Gua

2.1.1 Waktu dan Tempat

Inventarisasi fauna gua dilakukan di gua putih, Hutan pendidikan gunung walat,

Sukabumi dilaksanakan pada hari Jumat dan Minggu, 1 dan 3 Februari 2007 pada pukul

08.00-12.00 WIB.

2.1.2 Alat dan Bahan

1. Tabung spesimen

2. Pinset

3. Alkohol 96%

4. Aquades

5. Kantong Plastik dan kantong kelelawar

6. Kuas berbagai ukuran

7. Misnet

2.1.3 Cara Kerja

a. Penelusuran dilakukan oleh 10 orang dengan lima orang selaku tim surveyor dan

lima orang pembantu.

b. Pencarian dan pengambilan spesies dilakukan disepanjang lorong gua serta tempat-

tempat di dalam gua seperti lantai gua, dinding gua, langit-langit gua dan juga di

ceruk.

c. Spesies yang berukuran besar diambil dengan cara manual (tangan) ataupun

dengan pinset sedangkan spesies yang berukuran kecil diambil dengan

menggunakan kuas, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik.

d. Untuk spesies yang sulit ditangkap surveyor hanya dapat mengabadikan dengan foto

e. Setelah inventarisasi selesai dilakukan, spesies dikeluarkan dari dalam kantong

plastik, dibersihkan dengan aquades, kemudian dimasukkan kedalam tabung

spesimen yang telah berisikan alcohol 70%.

2.2 Pemetaan Gua

2.2.1 Waktu dan Tempat

Pemetaan Gua dilakukan di Gua Putih, Desa Cipereuh, Hutan Pendidikan

Gunung Walat, pada hari minggu, 3 Februari 2007 pada pukul 08.00-12.00 WIB.

Page 5: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

2.2.2 Alat dan Bahan

1. Kompas bruntun

2. Klinometer

3. Meteran

4. Tali rafia

5. Tally sheet

6. Papan jalan

7. Milimeter block

8. Kalkulator

9. Alat-alat tulis

2.2.3 Cara Kerja

2.2.3.1 Survei dengan Metode Forward (Forward Method)

Metode arah survey yang digunakan dalam kegiatan pemetaan yaitu forward

method. Forward method yaitu suatu metode dimana pembaca alat dan pencatat pada

sistem stasiun pertama, seorang lagi sebagai target pada stasiun kedua. Setelah

pembacaan selesai, pembaca dan pencatat berpindah ke stasiun kedua. Kemudian

target pindah ke stasiun terakhir, sedangkan untuk pengukuran pada saat pengumpulan

data dimulai dari pintu gua sampai ujung lorong atau dasar dari gua atau sampai terakhir.

2.2.3.2 Pelaksanaan Pemetaan Gua

a) Penentuan stasiun oleh seorang leader

b) Pembaca alat berada pada stasiun yang ditentukan oleh leader dan target berada

pada stasiun berikutnya

c) Pembidikan dilakukan oleh pembaca alat terhadap target sekaligus pengukuran jarak

dan pembacaan alat

d) Mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan gua oleh seorang descriptor.

Kondisi yang dicatat antara lain mulut gua, penampang lintang gua, ornament gua,

dan sketsa lorong secara plan section dan extended section.

e) Mencatat data-data hasil pembacaan alat dan pengukuran oleh seorang pencatat.

f) Demikian seterusnya sampai stasiun terakhir sesuai dengan metode yang digunakan

(Forward Method).

2.2.3.3 Pembuatan Peta

a) Pengolahan data hasil pembacaan dan pengukuran menggunakan cara polar yaitu

data-data hasil pengolahan yang hanya menggunakan data jarak datar dipetakan

langsung ke dalam bidang datar (l) = cos θ x jarak miring.

b) penggambaran peta dengan menggunakan metode plan section.

c) Tingkat ketelitian yang digunakan yaitu grade III

Page 6: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

2.2.3.4 Penggambaran Plan Section

Plan section adalah gambar peta gua tampak atas. Pada plan section, koordinat

letal stasiun ditentukan dari perhitungan, yang ditampilkan adalah bentuk lorong jira

dilihat dari atas, sudut belokan, letak ornamen, jenisnya, dan situasi lorong gua.

Plotting koordinat dan center line. Metode penggambaran dan penentuan letak titik

(koordinat) dan elevasi tiap stasiun dapat menggunakan diagram cartesius. Plonting

stasiun dan elevasinya menggunakan metode ini lebih cepat dan sederhana.

Peralatan yang dibutuhkan untuk ploting ialah penggaris dan busur derajat atau

protector. Tetapi kesalahan metode ini adalah kesalahan akumulasi. Kesalahan yang

terjadi akan semakin besar dengan bertambahnya jumlah stasiun yang diplotkan.

Metode ini menggunakan perhitungan kompas dan derajat. Tentukan dahulu

orientasi peta (arah utara), buat garis. Setiap penentuan stasiun terhadap stasiun

berikutnya posisinya ditentukan mengunakan sudut kompas dengan besar sudut dari

utara (0°) yang harus selalu sejajar dengan garis orientasi yang dengan arah

kompas. Garis-garis yang tergambar menghubungkan antar stasiun ini disebut center

line. Penggunaan millimeter blok sangat membantu dan mengurangi kesalahan yang

dapat timbul.

Penetuan jarak dinding kiri dan kanan tiap stasiun dan setiap perubahan besar

lorong. Jarak dari center line dan setiap stasiun ke dinding kiri-kanan lorong

disesuaikan dengan skala yang sudah ditentukan sebelumnya.

Menghubungkan titik dinding kiri-kanan antar stasiun satu dengan yang berikutnya

diusahakan tidak dalam bentuk lorong yang kaku. Estética manusia disini terlibat,

tetapi yang terpenting tidak boleh meninggalkan keakuratan dan aturan.

Memasukan simbol-simbol kondisi gua. Simbol-simbol yang dimaksud adalah situasi,

detail, dan ornamen gua.

Menggambarkan cross section. Cross section (penampang melitang) lorong

digambarkan sesuai dengan skala. Detail bentukan diusahakan dapat terwakili

gambar sesuai dengan ukuran sebenarnya. Arah pandangan mata terhadap

penampang lorong juga harus disesuaikan, jangan sampai terjadi croos section yang

digambar, yang arahnya terbalik.

2.3 Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Gua

2.3.1. Waktu dan Tempat

Wawancara sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar Gua Putih

dilakukan di desa cipereuh, Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tanggal 2 Februari

2006.

Page 7: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

2.3.2. Alat dan Bahan

1. alat-alat tulis

2. tally Sheet

2.3.3. Cara Kerja

a. Tim dibagi dalam dua kelompok

b. Kelompok-kelompok kecil tersebut kemudian mendatangi masyarakat sekitar gua

untuk kemudian diwawancarai, masyarakat yang akan diwawancarai tersebut

terdiri dari pemuka masyarakat/agama,masyarakat pengelola gua dan

masyarakat umum lainya.

c. Melakukan wawancara mengenai interaksi objek dengan keberadaan gua

tersebut, dengan cara mencatat hasil wawancara.

Page 8: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Inventarisasi Fauna Gua

Ditemukan sebanyak 20 spesies fauna gua baik secara langsung maupun tidak

langsung. Ada beberapa spesies yang sampai saat ini belum terientifikasi atau tidak

ditemukannya fieldguide serta literatur. Berikut ini daftar spesies yang ditemukan.

Tabel 1. Fauna Gua Putih Nama Surveyor : Tim KPG RAFFLESIA Hari/Tanggal : Jumat & Minggu/ 1 & 3 Feb 2007 Nama Gua : PUTIH

3.1.2 Pemetaan Gua

Dari pemetaan gua, diperoleh data mengenai lorong sepanjang 105,9 m dengan

jumlah stasiun 23 buah. Dalam kegiatan ini, tidak seluruhnya lorong dalam gua dapat

terpetakan mengingat lorong dalam gua ini yang panjang dan keterbatasan waktu yang

ada. (Tabel VI-2, Gambar VI-1)

Tabel 2. Hasil Pemetaan Nama Gua : Putih Lokasi : HPGW

Tanggal : 3 Februari 2007

Stasiun Jarak D

Kompas Ф

Clino θ Tinggi Stasiun

Dinding

Dari Ke + - Kiri Kanan

- 0 - - - - - 0 40

0 1 380 20 -42 31 400 1

1 2 850 105 8 9 200 53 0

2 3 610 86 6 15 215 130 86

3 4 45 78 0 24 120 210 65

4 5 825 80 8 15 260 100 25

5 6 880 34 17 10 300 0 128

6 7 280 68 15 28 140 120 0

7 8 225 19 18 19 130 115 30

Tanggal Jenis fauna Jumlah

I

Kelelawar Jangkrik Udang Ketam Kaki seribu Serangga kecil Lele Kodok Jentik

(tak terhitung) 3 3 2 3 2 3 2 (tak terhitung)

3

Ketam Kaki seribu Kodok Katak Lipan Ikan Nyamuk Jangkrik Kelelawar Lele Jentik

7 2 2 1 3 2 (tak terhitung) 4 (tak terhitung) 2 (tak terhitung)

Page 9: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Lanjutan Tabel 2. 8 9 330 330 -13 7 60 130 25

9 10 270 308 10 14 95 0 115

10 11 370 351 0 15 155 95 70

11 12 200 332 41 17 250 0 110

12 13 360 20 30 17 250 120 0

13 14 200 328 31 17 215 70 90

14 15 300 18 23 5 190 0 180

15 16 630 62 4 21 200 115 0

16 17 680 355 7 15 180 160 215

17 18 500 92 2 9 75 0 180

18 19 430 95 7 10 100 80 0

19 20 360 50 11 18 155 70 2

20 21 560 63 3 18 110 160 40

21 22 730 40 0 12 85 0 180

23 23 500 75 14 13 165 1 250

Page 10: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Gambar 1. Pemetaan Gua Gambar 1. pemetaan gua

Page 11: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

3.2. Pembahasan

3.2.1. Inventarisasi Fauna Gua

3.2.1.1. Fauna Gua

Fauna gua merupakan binatang yang hidup dan mencari makan di dalam gua,

namun ada pula binatang yang mencari makan di luar gua misalnya kelelawar dan walet.

Biota karst ini memiliki keunikan dan tingkat endemisme yang tinggi dengan kelembaban

dan suhu konstan sepanjang masa menyebabkan biotanya memiliki karakter khas.

Pigmen kulitnya mereduksi sehingga kulitnya transparan dan matanya mengecil bahkan

buta serta organ sensorinya berkembang menjadi lebih panjang. Berdasarkan derajat

adaptasi binatang gua terhadap lingkungan tempat tinggalnya di dalam gua, binatang gua

dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :

1. Troglobite : Binatang yang telah beradaptasi secara penuh terhadap

lingkungan gua dan merupakan penghuni tetap gua

2. Troglophile : Binatang ini secara teratur memasuki gua tetapi tidak sepenuhnya

didalam gua. Sebagian siklus hidup binatang ini dapat

berlangsung di dalam atau di luar gua

3. Trogloxene : Binatang yang kadang-kadang memasuki gua. Trogloxene ini ada

yang datang ke dalam gua secara sengaja dan ada yang masuk

kedalam gua secara tidak sengaja.

Binatang yang termasuk dalam golongan troglobite pada gua Putih adalah lipan, udang

dan jangkrik. Sedangkan kelelawar, ikan, lele, ketam, kaki seribu dan serangga kecil

termasuk dalam golongan troglophile.

Selain itu terdapat jentik, nyamuk, kodok dan juga katak yang diketemukan

dalam gua, termasuk dalam golongan trogloxene. Secara umum Ko dalam Samoedra (

2001 ) mengelompokkan fauna didalm kawasan kars menjadi :

1. Golongan Arthropoda : termasuk udang. Kepiting, serangga, dan laba-laba.

2. Golongan Moluska, termasuk keong dan bekicot yang dapat dimakan serta jenis lain

yang dianggap dapat menjadi media penularan penyakit bagi manusia dan ternak.

3. Golongan ikan

4. Golongan burung termasuk walet

5. Golongan mamalia termasuk kelelawar

6. Golongan ular

Page 12: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Jenis fauna gua yang berhasil diidentifikasi :

1. Jangkrik

Jangkrik yang ditemukan di Gua putih termasuk famili Rhapidophoridae. Menurut

Ko (2003), jangkrik gua dapat memakan segala makanan yang terdapat di dalam gua,

misalnya guano dan kotoran hewan yang tinggal di dalam gua seperti kotoran burung

walet. Ko (2003) menjelaskan bahwa jangkrik gua termasuk kedalam komunitas

Artophodaguanofag. Artophodaguanofag adalah komunitas yang masih memiliki mata

dan pigmen.

Jangkrik ini ditemukan pada lantai, dinding gua dan ceruk, dengan jumlah yang

ditemukan adalah sebanyak 46 ekor dan aktivitasnya diam.

Gambar 2. Jangkrik Gua Putih

2. Kelelawar

Kelelawar yang ditemukan di Gua Putih hanya 1 jenis berjenis Hipposideros larvatus

Gambar 3. Kelelawar Gua Putih

Kelelawar termasuk golongan trogloxene habitual yaitu hewan yang sering kali

atau secara teratur memasuki zona gelap abadi gua tetapi bisa hidup dan mencari

makanan di luar gua (Hazelton dan Glennie dalam Samodra, 2001). Kelelawar ditemukan

pada atap ceruk berjumlah puluhan, dengan aktivitas terbang. Kelelawar merupakan

satwa penting penyeimbang ekosistem karena kelelawar pemakan buah–buahan

termasuk yang berfungsi sebagai penyerbuk bunga, selain itu kelelawar menghasilkan

kotoran yang mengandung zat tanduk, berupa guano yang kaya nitrogen sehingga baik

untuk pupuk dan makanan bagi satwa lain yang hidup di gua.

Page 13: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

3. Laba-Laba

Laba-laba yang ditemukan di Gua Putih termasuk famili Sporossidae ordo

Arachnida. Binatang ini termasuk troglobit yaitu binatang yang hidup permanen di dalam

gua. Laba-laba ini ditemukan di lantai, dinding gua dan ceruk, dengan jumlah 6, dan

aktivitasnya diam.

Genus Arthropoda merupakan bagian dari mata rantai atau jaring makanan yang

penting, selain itu anggota Arthropoda seperti Collembola merupakan anggota

Arthropoda yang berfungsi sebagai indikator lingkungan setempat. Gambar tidak

terdokumentasikan

4. Lipan Kecil

Lipan yang ditemukan di Gua Putih berada lantai dan dinding gua. Fungsi dari

lipan ini adalah sebagai detrifor atau pengurai (Samoedra, 2001) sedangkan menurut

Poulson dan White (1969) lipan termasuk dalam hewan troglofil yang artinya hewan yang

mencari makan, berkembang biak dan tidur di dalam gua akan tetapi masih bisa hidup di

luar gua yang lingkungannya mirip dengan habitat aslinya. Lipan di Gua Putih ini memiliki

ciri kaki banyak, pigmen terang dengan panjang tubuh sekitar 10 cm dan tidak ditemukan

indra penglihatan. Gambar tidak terdokumentasikan.

5. Kodok

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Gua Putih, kodok yang ditemukan

termasuk marga Bufonidae yang merupakan kodok sejati. Pada saat dilakukan

infentarisasi fauna gua, kodok jenis ini ditemukan pada lantai gua putih dengan jumlah 1

individu. Kodok ini umumnya mudah dijumpai, dicirikan dengan hampir seluruh

permukaan tubuhnya kasar, terdapat kelenjar paratoid pada setiap spesiesnya, berbadan

tegap dengan kaki agak pendek. Biasanya hidup didarat dan dua spesies yang selalu

berada disekitat air, seperti Bofo asper dan Bufo justaxfer ( Mistar, 2003 ).

Menurut Iskandar ( 1998 ), kodok ini melompat-lompat kecil dari satu tempat

ketempat lain, meskipun beberapa jenis hampir seluruhnya akuatik namun kebanyakan

jenis menggunakan sebagian besar waktunya didarat atau dilubang-lubang. Karakteristik

kodok yang demikian itu menyebabkan kodok ini lebih mudah dijumpai pada lantai gua.

Gambar 4. Gambar Kodok gua putih

6. Ikan

Ikan gua termasuk binatang trogolofil, yaitu binatang yang senang bermukim

dilingkungan gelap abadi gua. Ada yang menjalani seluruh siklus hidupnya didalam gua

Page 14: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

tetapi dapt pula hidup dilingkungan epigion diluar gua (Hazelton dan Glennie dalam

Samoedra, 2001).

Pada saat pengamatan di Gua Putih ikan yang ditemukan adalah jenis lele.

Menurut Ko ( 2003), spesies ikan yang hidup secara eksklusif dalam sungai dan kolam-

kolam bawah tanah memiliki morfologi yang telah disesuaikan dengan kondisi gua yang

gelap abadi, hal ini sesuai dengan ikan yang ditemukan di Gua putih yaitu memiliki ciri

transparan, berbentuk pipih, memiliki jenggot, berukuran kecil dan bergerak cepat. Ikan

didalam gua berasal dari luar gua dan kadang-kadang hewan tersebut hanyut ke dalam

gua saat banjir di kawasan kars. Foto tidak terdokumentasikan.

7. Udang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, udang ditemukan hampir disepanjang

sungai yang terdapat didalam gua. Udang sering ditemukan berenang di genangan air

dan bersembunyi di balik batu dalam air. Udang dapat digolongkan hewan troglobit

akuatik yaitu hewan yang menghuni sungai, genangan air dan danau bawah tanah (Ko,

2003). Habitat udang yang berupa aliran sungai atau genangan air temporer juga yang

memiliki kondisi khas (beratap sehingga menghindarkan dari pengaruh lingkungan), hal

ini memicu banyaknya makanan tersebar di sepanjang aliran sungai (Alle dan Schmidt

dalam Samodra, 2001). Ciri-ciri udang yang berhasil ditemukan yaitu transparan dan kecil

ini disebabkan karena adaptasi dengan lingkungan untuk mempertahankan hidupnya.

8. Ketam

Hewan ini termasuk kelompok hewan akuatik yang hidup disepanjang aliran

sungai bawah tanah didalam gua. Ketam yang ditemukan didalam Gua Putih memiliki

kaki yang relatif lebih panjang dari ketam yang biasa kita jumpai diperairan air tawar, ini

merupakan salah satu bentuk adaptasi ketam Gua terhadap lingkungan yang ekstrim.

Ketam makan berbagai macam ikan seperti lele dan ikan-ikan lain yang terdapat didalam

goa, ketam juga memakan udang-udangan yang terdapat didalam gua.

Gambar 5. Ketam gua putih

Page 15: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

9. Jenis Kaki Seribu (nama lokal/ilmiah tidak diketahui)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ditemukan bahwa hewan jenis kaki

seribu merupakan salah satu predator utama jangkrik, ini terbukti karena pada saat

dilakukan inventarisasi hewan ini sedang memakan jangkrik.

Gambar 6. Jenis Kaki Seribu di Gua putih

Page 16: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Gambar 7. Jaring-Jaring Makanan Gua Putih

Secara fungsional suatu ekosistem dapat digambarkan sebagai jaring-jaring makanan. Jaring-jaring

makanan disusun oleh ratai-rantai makanan yang jalannya selalu dimulai dari sumber energi dan berakhir

dengan perombak atau pembusuk. Urutan transfer energi dimulai dari produsen kemudian dari produsen energi

ditransfer kekonsumen 1 hingga top konsumen, oleh karena proses menua, sakit, mati atau dibunuh oleh

makhluk hidup lain, makhluk-makhluk produsen dan konsumen ini kemudian dirombak atau dibusukkan oleh

jasad renik menjadi unsur-unsur hara yang dikembalikan kedalam tanah.

Kelelawar

Kotoran basah Bangkai

Jangkrik

Guano Pengurai

Lipan

Laba-laba

Komunitas Atap

Komunitas Lantai

Kaki seribu

Kodok

Komunitas akuatik

Ikan Plankton Udang

Jentik Ketam

Page 17: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

Berdasarkan gambar 7 di atas, dapat kita ketahui bahwa Gua Putih terdiri atas

komunitas atap, komunitas lantai dan komunitas akuatik.. Komunitas atap adalah

komunitas yang menghuni atap dan celah-celah gua seperti kelelawar, komunitas lantai

gua adalah komunitas yang menghuni lantai atau dasar gua, jenisnya antara lain laba-

laba, jangkrik dan lipan. Sedangkan komunitas akuatik merupakan komunitas biota yang

hidup diperairan yang terdapat didalam goa. Komunitas-komunitas yang ada tersebut

saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan. Komunitas atap Gua Putih termasuk ke dalam kategori troglophile, yaitu

binatang yang secara teratur memasuki gua tetapi tidak sepenuhnya hidup di dalam gua.

Sebagian siklus hidup binatang ini dapat berlangsung di dalam atau di luar gua.

Komunitas atap mencari makan di luar gua dan beristirahat di dalam gua. Pada

ekosistem gua, komunitas atap merupakan sumber makanan bagi komunitas lantai gua,

yaitu berupa kotoran basah (guano). Komunitas fauna atap yang telah mati dapat

menjadi sumber makanan berupa bangkai. Pada komunitas lantai dan akuatik, tedapat

jaring-jaring makanan yang cukup rumit. Secara keseluruhan komponen ekosistem Gua

Putih cukup lengkap karena terdiri dari produsen (sumber makanan), konsumen I,

Konsumen II, dan detritivor (pengurai).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa fauna komunitas atap gua

memegang peranan yang besar dalam ekosistem gua. Selain itu, fauna komunitas atap

gua membantu dalam proses ekologi di sekitar gua. Kelelawar merupakan pemencar biji

yang baik. Satwa ini memiliki daya jelajah yang cukup luas, dengan radius 3 km

sehingga dapat membantu dalam proses peremajaan hutan dengan memencarkan biji

tumbuhan (KPG-HIMAKOVA, 2004).

3.2.1.2 Ornamen Gua Putih

Ciri yang paling umum dari suatu gua karst adalah adanya stalakmit dan stalaktit.

Air yang melewati celah dan lapisan batu gamping melarutkan yang terdiri dari senyawa

penyusun utama batu gamping, yaitu kalsium karbonat (CaCO3) sehingga air

mengandung kalsium karbonat. Air celah ini kemudian muncul menetes dari atap-atap

gua dan meninggalkan partikel kalsium karbonat tersebut di atap, proses ini berlangsung

terus menerus dan tumbuh menjadi stalaktit (Gambar VI-8). Karena perbedaan kadar

kalsium karbonat dan bentuk rekahan antara satu tempat dengan tempat yang lain

menyebabkan stalaktit berbeda-beda bentuk. Sebagian tetesan air tersebut menetes

sampai kelantai meninggalkan senyawa kalsium karbonat dalam bentuk stalakmit.

Peranan dinding dan langit-langit gua sebagai penyekat menjadi penyangga

variasi suhu dan kelembaban di luar gua sehingga kondisi dalam gua relatif stabil

terutama bagian gua yang terdalam. Di bagian gua yang lebih dalam konsentrasi CO2

Page 18: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

meningkat jika tidak ada udara yang mengalir ke dalam kecuali dari mulut gua (Howard

dalam Whitten, 1999).

Ciri yang paling umum dari suatu gua karst adalah adanya stalakmit dan stalaktit.

Air yang melewati celah dan lapisan batu gamping melarutkan yang terdiri dari senyawa

penyusun utama batu gamping, yaitu kalsium karbonat (CaCO3) sehingga air

mengandung kalsium karbonat. Air celah ini kemudian muncul menetes dari atap-atap

gua dan meninggalkan partikel kalsium karbonat tersebut di atap, proses ini berlangsung

terus menerus dan tumbuh menjadi stalaktit. Karena perbedaan kadar kalsium karbonat

dan bentuk rekahan antara satu tempat dengan tempat yang lain menyebabkan stalaktit

berbeda-beda bentuk. Sebagian tetesan air tersebut menetes sampai kelantai

meninggalkan senyawa kalsium karbonat dalam bentuk stalakmit.

Berdasarkan keterangan dari pak Habib, sekitar satu kilometer dari mulut gua

horizontal terdapat ruangan besar yang dapat dimasuki hingga sekitar 200 orang lebih.

Hal menarik dari ruangan tersebut yaitu terdapat sebuah batu yang memiliki bentuk

menyerupai kepala gajah sehingga ruangan itu diberi nama ruang Gajah.

Gambar 8. Kondisi di dalam Gua Putih Gambar 9. Lorong di dalam Gua Putih

Gambar 10. Stalaktit Gua Putih Gambar 11.Tangga untuk Turun dari Lubang Pada Atap Gua

3.2.2. Pemetaan Gua

Pemetaan gua merupakan gambaran perspektif gua yang diproyeksikan

kedalam bidang datar dan dapat dipertanggungjawabkan secara matematis dan visual

dengan skala tertentu. Peta gua merupakan bukti otentik bagi penelusur gua yang telah

Page 19: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

melakukan penelusuran. Peta ini juga bermanfaat untuk keperluan penelitian, pendataan

kawasan, kegiatan wisata gua baik minat umum maupun minat khusus dan lain

sebagainya.

Dari pemetaan gua, diperoleh data mengenai lorong sepanjang 105,9 m dengan

jumlah stasiun 23 buah. Dalam kegiatan ini, tidak seluruhnya lorong dalam gua dapat

terpetakan mengingat lorong dalam gua ini yang panjang dan keterbatasan waktu yang

ada.

Kondisi lorong yang terdapat dalam Gua Putih pada umumnya sempit dan sulit

dilalui serta panjang, hingga sampai saat ini panjang lorong seluruhnya masih belum

diketahui. Walaupun hampir seluruh lorongnya sempit, tetapi ada di beberapa tempat

terdapat ruangan berupa kubah. Untuk masuk kedalam gua Putih dapat dengan dua

jalan, yaitu melalui mulut gua horizontal yang sengaja dibuat oleh pengurus gua tersebut,

yaitu pak Habib atau melalui mulut gua yang merupakan sebuah lubang pada atap gua

(mulut gua vertikal).

.

3.2.3 Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Gua Putih.

Dari hasil wawancara, diperoleh data bahwa lokasi gua berada diatas tanah

kepemilikan Negara, tetapi dalam pengelolaannya dilakukan oleh pengelola HPGW

dengan partisipasi masyarakat sekitar. Letak administrasi gua Putih berada dalam desa

Cipereuh, kabupaten Sukabumi. Gua Putih ini memiliki juru kunci yang bernama Bapak

Ojat yang melindungi kealamian gua Putih dari gangguan-gangguan orang yang tidak

bertanggung jawab. Selain Bapak Ojat yang menjaga gua ini, terdapat seorang lagi yaitu

Bapak Habib yang secara berkala menelusuri gua.

Pada awal sejarahnya, nama gua Putih sebelumnya adalah gua Cipereuh yang

diambil dari nama desa. Tetapi kemudian gua tersebut berubah nama menjadi gua Putih

karena menurut keterangan bapak Habib, dahulu banyak orang yang sengaja datang ke

gua tersebut untuk menenangkan diri dan mensucikan diri. Sampai sekarang masih

banyak para pengunjung yang berasal dari luar Sukabumi sengaja datang ke desa

Cipereuh agar dapat memasuki gua Putih.

Kebanyakan masyarakat sekitar masih kurang mengerti pentingnya keberadaan

gua tersebut baik secara ekologis maupun secara ekonomis. Masyarakat sekitar masih

melihat keberadaan gua tersebut tidak memberikan manfaat ekonomi secara langsung

bagi mereka, padahal keberadaan gua tersebut secara tidak langsung membantu

perekonomian masyarakat sekitar dengan adanya air bawah tanah yang berasal dari gua

tersebut untuk membantu pengairan sawah masyarakat. Meskipun begitu, masyarakat

sekitar tetap menjaga dan melindungi keberadaan gua tersebut dari pihak-pihak luar

yang berusaha untuk merusak gua tersebut. Pada umumnya masyarakat sekitar

berharap agar Gua Putih dapat dijadikan objek wisata tanpa merusak dan mengubah

Page 20: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

keaslian gua tersebut, sehingga dengan begitu masyarakat sekitar dapat membuka

usaha untuk berdagang di sekitar situs gua ataupun menjadi enterpreuner bagi

pengunjung yang ingin memasuki Gua Putih. Sehingga dapat meningkatkan kondisi

ekonomi masyarakat sekitar gua.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil yang diperoleh, Gua Putih yang terdapat di Hutan Pendidikan Gunung

Walat masih terjaga kealamiannya walaupun pada dinding dekat mulut gua terdapat

beberapa coretan vandalisme. Keanekaragaman jenis fauna yang terdapat di dalam

guapun cukup beragam, seperti Kelelawar, lipan, kodok dan katak, ikan, dan sebagainya.

Sedangkan flora yang ditemukan dalam gua adalah jamur. Ornamen-ornamen yang

terdapat dalam gua juga masih belum mengalami pengerusakkan-pengerusakkan yang

berarti.

Gua Putih ini cocok dijadikan sebagai objek wisata minat khusus karena medan

yang terdapat dalam Gua Putih cukup sulit untuk dilalui. Dengan dijadikannya Gua Putih

sebagai objek wisata, diharapkan penduduk sekitar gua juga dapat berpatisipasi dalam

pengelolaannya sehingga perekonomian masyarakat sekitar dapat lebih terangkat.

4.2 Saran

Untuk dijadikan sebagai objek ekowisata, yaitu wisata minat khusus maka perlu

dilakukannya tindakan sebagai berikut :

1. Perencanaan yang matang mengenai kerja sama antara pengelola, masyarakat dan

stakeholder lainnya sebagai upaya tercapainya tujuan yang ingin dilaksanakan.

2. Publikasi yang luas mencakup peta lokasi dan papan interpretasi.

3. Penataan kawasan sekitar gua seperti penataan tempat sekitar pintu masuk gua dan

penanaman serta menjaga kelestarian vegetasi-vegetasi di atas gua.

4. Penegasan peraturan khusus tentang etika masuk gua sehingga segala kealamian

ornament-ornamen dan kondisi dalam gua tetap terjaga.

Page 21: laporan rafflesia 2007

Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) 2007

31 Januari-5 Februari 2007

Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi-Jawa Barat

DAFTAR PUSTAKA

GEMA. 2004. Sejarah Penelusuran Gua.Pencinta Alam Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. http://www.highcamp.web.id/file/rtikelanda/ file02.htm

HIKESPI. 1991. Laporan Lokakarya Standarisasi Pendataan Gua Secara Nasional. Tidak Dipublikasikan.

HIKESPI. 2002. Kumpulan Makalah Pengarahan Caving Bagi Calon Penelusur Gua. Tidak Dipublikasikan.

Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang – LIPI : Bogor

Ko. R.K.T. 2003. Keanekaragaman Hayati Kawasan Karst. Tidak Dipublikasikan

KPG-HIMAKOVA. 2004. Inventarisasi Fauna dan Pemetaan Gua di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tidak Dipublikasikan.

Maryanto, Ibnu.dkk. 2006. Manajemen Bioregional : Karst, Masalah dan Pemecahannya. Puslit Biologi – LIPI : Bogor.

Mistar. 2003. Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Gibbon Foundation : Jakarta.

Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia: Pengelolaan dan Perlindungannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.

Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.

Whitten, T., R.E. Soeriatmadja dan S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Prehallindo.

Jakarta.