laporan skenario 1 blok kedokteran komunitas
DESCRIPTION
laporan skenario 1 blok kedokteran komunitasTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL BLOK
COMMUNITY MEDICINE
KASUS 1
“dr. Qonita, dokter komunitas ”
Oleh:
Kelompok 6
Achmad Fariz Ramadhan P.J.N 0918011025
Aqsha Ramadhanisa 0918011030
Asticaliana Erwika Savita Putri 0918011033
Elis Sri Alawiyah 0918011041
Febrina Dwiyanti 0918011044
Hema Meliny Junita Perangin angin 0918011048
M Rizki Darmawan M 0918011060
Riyan wahyudo 0918011018
Achmad Iqbal 0818011045
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyusun laporan tutorial skenario pertama di blok Community Medicine yang
berjudul “dr. Qonita, dokter komunitas”.
Selanjutnya, laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Blok
community medicine.Laporan tutorial mengikuti proses metode seven step jump.
Step 1 membahas klarifikasi terminologi yang belum jelas, dilanjutkan step 2
yaitu perumusan masalah. Step 3 adalah curah pendapat atau brainstorming
masalah, kemudian step 4 menganalisis masalah yang terkait dengan kasus, dan
step 5 merumuskan learning objective. Step 6 merupakan kegiatan belajar mandiri
dan step 7 diskusi panel dalam pertemuan tutorial ke-6 dan penulisan laporan.
Kepada dosen-dosen yang terlibat dalam mata kuliah community medicine
ini, kami ucapkan terima kasih atas segala pengarahannya sehingga laporan ini
dapat kami susun dengan baik.
Kami menyadari kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi
isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas
segala kekurangan. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, guna
untuk kesempurnaan laporan ini dan perbaikan untuk kita semua.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
berupa ilmu pengetahuan untuk kita semua.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Bandar Lampung, Maret 2012
Tim Penulis
Skenario 1
dr.Qonita, Dokter Komunitas
Dalam satu bulan terakhir, puskesmas rawat inap Rajabasa menangani lebih dari
lima puluh kasus hepatitis A, baik rawat inap maupun rawat jalan. Kebannyakan
pasien hepatitis A tersebut adalah pelajar dan mahasiswa. Memang wilayah kerja
Puskesmas Rajabasa adalah komunitas pelajar dan mahasiswa karena banyak
kampus perguruan tinggi dan sekolah disekitarnya. dr.Qonita sebagai kepala
Puskesmas merasa sangat prihatin. Ia mulai memeriksa data surveilance satu
tahun terakhir tentang penyakit menular di wilayah kerja puskesmas Rajabasa,
sehingga ia dapat mendeteksi potensi KLB. Sebagai dokter yang berorientasi pada
kedokteran komunitas, dr.Qonita merasa harus bertindak cepat dalam
menanggulangi wabah Hepatitis A ini, apalagi mengingat riwayat alamiah
penyakit Hepatitis A sangat cepat. Sehingga Ia berharap, tindakan
penanggulangan wabah yang tepat dapat mencegah terjadinya Kejadian Luar
Biasa.
Selain berada pada komunitas mahasiswa-pelajar, Puskesmas Rajabasa juga dekat
dengan Bandara Raden Intan, sehingga Ia sering diminta membuat surat
keterangan dokter untuk layak melakukan perjalanan udara. dr.Qonita bersyukur,
bahwa pengalamannya bekerja sebagai dokter karantina di pelabuhan memberikan
pengalaman yang cukup tentang permasalahankedokteran matra.
STEP 1
1. Kedokteran komunitas : cabang kedokteran yang memusatkan perhatian
kepada kesehatan anggota-anggota komunitas, dengan menekankan diagnosis
dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang membahayakan (hazard)
kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan
penyakit pada komunitas
2. Surveilance : suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data dan
diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan.
3. Wabah : peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas secara cepat
baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat
menimbulkan malapetaka (UU Wabah 1969).
4. KLB (Kejadian Luar Biasa) : timbulnya atau meningkatnya kejadianKesakitan
atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu (Peraturan Menteri Kesehatan RI No . 949/
MENKES/SK/VII/2004).
5. Dokter Karantina : dokter yang ditugaskan di pelabuhan atau bandar udara
untuk melakukan tindakan karantina terhadap orang yang dicurigai menderita
penyakit karantina.
6. Kedokteran Matra : bentuk khusus upaya kesehatan yang diselenggarakan
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
lingkungan matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan
udara.
STEP 2
1. Jelaskan tentang Ilmu Kedokteran Komunitas!
2. Apa yang membedakan kedokteran klinis dengan kedokteran komunitas?
3. Jelaskan tentang kedokteran Matra!
4. Apakah fungsi data surveilance?
5. Sebutkan macam-macam penyakit menular yang menyebabkan wabah?
6. Bagaimana langkah penanggulangan wabah?
7. Bagaimana kriteria KLB?
8. Bagaimana riwayat alamiah penyakit?
STEP 3
1. Kedokteran komunitas merupakan cabang ilmu kedokteran yang
memperhatikan kebutuhan dan kondisi kesehatan pada sekelompok penduduk.
Kedokteran komunitas berkaitan dengan masalah dan penyakit yang luas dalam
komunitas, dan tidak berkaitan dengan pengobatan dan perawatan pasien
secara perorangan. Kedokteran komunitas merupakan suatu kesatuan yang
seimbang antara kuratif, preventif, promotif, dan rehabilitatif dalam
memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dalam ilmu kedokteran
komunitas diperlukan perangkat tambahan disiplin ilmu epidemiologi,
biostatistik, administrasi dan manajemen, riset operasional serta sosiologi ilmu
kedokteran, selain ilmu pengetahuan mengenai medis dan kesehatan.
Kedokteran komunitas juga mencakup dua hal, yakni kedokteran keluarga dan
kedokteran okupasi.
2. Perbedaan diagnosa klinik dan diagnosa komunitas
Spesifikasi Dianosa klinik Diagnosa Komunitas
Populasi Individu-individu Kelompok/grup
masyarakat
Jenis penanganan Kuratif Komprehensif
(preventif, promotif,
kuratif, rehabilitatif)
Alat Peralatan Kedokteran
Diagnostik fisik
Biostatistik
Epidemiologi
Cara diagnosa Anamnesis, gejala
penyakit
Laboratorium
Pengumpulan Data
Distribusi dan
frekuensi penyakit
(who, when, where)
Tindakan/terapi Medikamentosa,
Radiologi, Perawatan RS,
Rawat jalan
Imunisasi
Penyuluhan dan
promosi kesehatan
Sanitasi Lingkungan
Kontrol terhadap
penyakit menular,dll.
3. Kesehatan Matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra
yang serba berubah. Adapun jenis jenis kesehatan matra meliputi :
a. Kesehatan lapangan
b. Kesehatan kelautan dan bawah air
c. Kesehatan kedirgantaraan.
Kesehatan lapangan meliputi :
a. Kesehatan Haji
b. Kesehatan transmigrasi
c. Kesehatan dalam penanggulangan korban bencana
d. Kesehatan di bumi perkemahan
e. Kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat
Kesehatan Kelautan dan bawah air meliputi .
a. Kesehatan pelayaran dan lepas pantai
b. Kesehatan dalam operasi dan latihan militer di laut
Kesehatan kedirgantaraan meliputi .
a. Kesehatan penerbangan di dirgantara
b. Kesehatan dalam operasi dan latihan militer di dirgantara
4. Surveilans mencakup dua fungsi manajemen :
A. Fungsi inti
Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah
intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi,
pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun
laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensikesehatan masyarakat
mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response).
B. Fungsi pendukung
Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi,
penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya,
dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Sistem Surveilens diperlukan untuk :
* Untuk evaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan .
* Sistim surveilans penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga masyarakat)
biasanya lebih dapat dipergunakan untuk memantau kasus baru dan
komplikasinya.
5. Penyakit penyebab wabah antara lain :
- Kolera
- Pes
- Demam Kuning
- Demam Bolak-balik
- Tifus bercak wabah
- DBD
6. Upaya penanggulangan wabah, yaitu :
Penyelidikan epidemiologis dengan data surveilance
Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk
tindakan karantina
Pencegahan dan pengebalan
Pemusnahan penyebab wabah
Penanganan jenazah akibat wabah
Penyuluhan kepada masyarakat
7. Kriteria KLB antara lain :
- Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal.
- Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut
menurut penyakitnya (jam, hari, minggu).
- Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan
dengan
periode sebelumnya (jam,hari,minggu,bulan, tahun).
- Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih
bila dibandingkan dengan a ngka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
8. Riwayat alamiah penyakit merupakan perjalanan penyakit mulai dari sebelum
individu terpapar hingga terpapar dan menimbulkan gejala hingga berlanjut ke
arah sembuh atau kematian.
Riwayat alamiah penyakit dimulai sejak terjadinya ketidakseimbangan antara
agen, host, dan lingkungan yang awalnya tidak bergejala hingga menimbulkan
gejala dan bila tidak tertangani maka dapat semakin parah dan menyebabkan
kematian.
STEP 4
1. Kedokteran keluarga adalah cabang kedokteran komunitas yang memberikan
perhatian khusus kepada kesehatan keluarga sebagai sebuah unit adalah
kedokteran keluarga. Kedokteran keluarga (family medicine) adalah disiplin
ilmu yang menekankan pentingnya pemberian pelayanan kesehatan yang
personal, primer, komprehensif, dan berkelanjutan (continuing) kepada
individu dalam hubungannnya dengan keluarga, komunitas, dan
lingkungannya.
Terdapat beberapa nilai-nilai utama yang dianut dalam kedokteran keluarga :
Pelayanan berpusat pada pasien (patient-centered care) dan perhatian
khsus kepada hubungan dokter-pasien
Pendekatan holistik kepada pasien dan masalahnya – masalah penyakit
pasien tidak hanya disebabkan oleh dimensi fisik tetapi juga sosial dan
psikologi (model bio-pskio-sosial penyakit) dari pasien, keluarga, dan
komunitasnya. Memberikan perhtaian kepada aspek sosial dan psikologi
pasien sering kali efektif dalam memecahkan masalah fisik pasien.
Pendekatan holistik pada pasien sangat penting pada zaman sekarang
ketika teknologi tinggi kedokteran telah menyebabkan dehumanisasi
pasien dan fragmentasi pelayanan kesehatan.
Kedokteran pencegahan – memberikan dampak kepada status kesehatan
yang lebih panjang daripada kedokteran kuratif
Semua usia – dokter keluarga melayani orang dari segala usia, sehingga
dokter keluarga disebut sebagai “specialist in breadth”, berbeda dengan
spesialis di rumah sakit yang “specialist in depth”.
Dokter keluarga bersedia memberikan pelayanan tidak hanya di ruang
konsultasi klinik tetapi juga di rumah dan setting pelayanan lainnya.
2. Beda Kedokteran klinis dan kedokteran komunitas
3. –
4. Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini
dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan
khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden)
pada populasi;
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
(5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset
5. Kecenderungan penyakit terhadap terjadinya wabah, terbagi atas :
- Potensi wabah tinggi , contohnya demam berdarah dengue (DBD)
- Potensi wabah rendah, contohnya meningitis
- Cenderung tidak menyebabkan wabah, contohnya TBC
6. Penanggulangan wabah :
a. Tindakan penyelidikan epidemiologis dalam upaya penanggulangan wabah
ditujukan
untuk:
o Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah;
o Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah;
o Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah;
o Menentukan cara penanggulangan.
b. Tindakan penyelidikan epidemiologis dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:
o Pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk;
o Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis;
o Pengamatan terhadap penduduk pemeriksaan terhadap makhluk hidup
lain dan
benda-benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung
penyebab
penyakit wabah.
c. Tindakan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita dan
tindakan karantina
dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, atau di tempat lain yang
ditentukan.
d. Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat yang
mempunyai
risiko terkena penyakit wabah.
e. Tindakan pemusnahan penyebab penyakit dilakukan terhadap:
- bibit penyakit/kuman;
- hewan, tumbuh-tumbuhan dan atau benda yang mengandung penyebab
penyakit.
Pemusnahan harus dilakukan dengan cara tanpa merusak lingkungan hidup
atau tidak
menyebabkan tersebarnya wabah penyakit.
f. Tindakan penanganan jenazah dilakukan dengan memperhatikan norma
agama atau kepercayaan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Terhadap jenazah akibat penyakit wabah, perlu penanganan secara
khusus menurut jenis penyakitnya. Penanganan secara khusus tersebut
meliputi:
oPemeriksaan jenazah oleh pejabat kesehatan;
oPerlakuan terhadap jenazah dan penghapus hamaan bahan-bahan dan alat
yang digunakan dalam penanganan jenazah diawasi oleh pejabat
kesehatan.
g. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai upaya penanggulangan wabah
dilakukan oleh pejabat kesehatan dengan mengikutsertakan pejabat instansi
lain, lembaga swadaya masyarakat, pemuka agama dan pemuka masyarakat.
Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan
berbagai media komunikasi massa baik Pemerintah maupun swasta.
7. -
STEP 5
1. Apakah perbedaan KLB dan wabah?
2. Siapa yang berhak menentukan suatu kejadian penyakit merupakan KLB
atau wabah?
3. Jelaskan tentang kedokteran matra hiperbarik dan hipobarik!
4. Apa saja penyakit karantina?Kapan suatu wilayah ditetapkan terdapat
penyakit karantina?
5. Bagaimana riwayat alamiah penyakit?
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
1. Perbedaan KLB dengan wabah
a. Kejadian Luar Biasa
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah Timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa
diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004
Penetapan KLB
Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
b. Wabah
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan, mencabut daerah
tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah
wabah.
Penetapan Wabah
1. Penetapan suatu daerah dalam keadaan wabah dilakukan apabila situasi KLB
berkembang atau meningkat dan berpotensi menimbulkan malapetaka,dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Secara epidemiologis data penyakit menunjukkan peningkatan angka kesakitan
dan/atau angka kematian.
b. Terganggunya keadaan masyarakat berdasarkan aspek sosial budaya,ekonomi, dan
pertimbangan keamanan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pertimbangan penetapan suatu daerah dalam keadaan
wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalamLampiran Peraturan ini
Penanggulangan KLB/Wabah
Penanggulangan KLB/wabah meliputi penyelidikan epidemiologi dan surveilans;
penatalaksanaan penderita; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab
penyakit; penanganan jenazah akibat wabah;penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya
penanggulangan lainnya.
1. Penyelidikan epidemiologi dan surveilans.Penyelidikan epidemiologi
dilaksanakan sesuai dengan perkembanganpenyakit dan kebutuhan upaya
penanggulangan wabah. Tujuan dilaksanakan penyelidikan epidemiologi
setidaknya-tidaknya untuk :
a. Mengetahui gambaran epidemiologi wabah;
b. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit wabah;
c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit wabah
termasuk sumber dan cara penularan penyakitnya; dan
d. Menentukan cara penanggulangan wabah.
Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan tata cara penyelidikan
epidemiologi untuk mendukung upaya penanggulangan wabah, termasuk tata cara bagi
petugas penyelidikan epidemiologi agar terhindar dari penularan penyakit wabah.
Surveilans di daerah wabah dan daerah-daerah yang berisiko terjadi wabah
dilaksanakan lebih intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu
dan tempat dan dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan yang sedang
dilaksanakan, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-pos kesehatan
dan unit-unit kesehatan lainnya, membuat tabel, grafik dan pemetaan dan
melakukan analisis kecenderungan wabah dari waktu kewaktu dan analisis
data menurut tempat, RT, RW, desa dan kelompok-kelompok masyarakat
tertentu lainnya.
b. Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa,kader
dan masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan hasil upaya
penanggulangan wabah yang telah dilaksanakan.
c. Memanfaatkan hasil surveilans tersebut dalam upaya penanggulangan
wabah.
Hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur disampaikan kepada
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatanprovinsi dan Menteri up.
Direktur Jenderal sebagai laporan perkembanganpenanggulangan wabah
2. Penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasipenderita, dan
tindakan karantina).
Penatalaksanaan penderita meliputi penemuan penderita, pemeriksaan, pengobatan,
dan perawatan serta upaya pencegahan penularan penyakit. Upaya pencegahan
penularan penyakit dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi, evakuasi dan
karantina sesuai dengan jenis penyakitnya. Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di
fasilitas pelayanan kesehatanatau tempat lain yang sesuai untuk kebutuhan pelayanan
kesehatanpenyakit menular tertentu.
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan,baik di rumah
sakit, puskesmas, pos pelayanan kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk
penatalaksanaan penderita. Secara umum, penatalaksanaan penderita setidak-tidaknya
meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat tinggal
penduduk di daerah wabah, sehingga penderita dapat berobat setiap saat.
b. Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan peralatan untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan, pengambilan specimen dan sarana
pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
c. Mengatur tata ruang dan mekanisme kegiatan di sarana kesehatan agar tidak terjadi
penularan penyakit, baik penularan langsung maupun penularan tidak langsung.
Penularan tidak langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran lingkungan oleh
bibit/kuman penyakit atau penularan melalui hewan penular penyakit.
d. Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan berperan
aktif dalam penemuan dan penatalaksanaan penderita dimasyarakat.
e. Menggalang kerja sama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat serta lembaga
swadaya masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.
Apabila diperlukan dapat dilakukan tindakan isolasi, evakuasi dan karantina.
a. Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara memisahkanseorang
penderita agar tidak menjadi sumber penyebaran penyakit selama penderita atau
tersangka penderita tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain.
Isolasi dilaksanakan di rumah sakit,puskesmas, rumah atau tempat lain yang sesuai
dengan kebutuhan
b. Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu
lokasi di daerah wabah agar terhindar dari penularan penyakit. Evakuasi ditetapkan
oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi
medis dan epidemiologi.
c. Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang dari dan ke daerah
rawan wabah untuk menghindari terjadinya penyebaran penyakit. Karantina
ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan timpenanggulangan wabah
berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.
3. Pencegahan dan pengebalan.
Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap orang,masyarakat dan
lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah agar jangan sampai
terjangkit penyakit. Orang, masyarakat, dan lingkungannya yang mempunyai risiko
terkena penyakit wabah ditentukan berdasarkan penyelidikan epidemiologi. Tindakan
pencegahan dan pengebalan dilaksanakan sesuai dengan jenis penyakit wabah serta
hasil penyelidikan epidemiologi, antara lain:
a. Pengobatan penderita sedini mungkin agar tidak menjadi sumberpenularan
penyakit, termasuk tindakan isolasi dan karantina.
b. Peningkatan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan imunisasi.
c. Perlindungan diri dari penularan penyakit, termasuk menghindari kontak dengan
penderita, sarana dan lingkungan tercemar, penggunaan alat proteksi diri, perilaku
hidup bersih dan sehat, penggunaan obat profilaksis.
d. Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit untuk
menghilangkan sumber penularan dan memutus mata rantai penularan.
4. Pemusnahan penyebab penyakit.
a. Tindakan pemusnahan penyebab penyakit wabah dilakukan terhadap bibit
penyakit/kuman penyebab penyakit, hewan, tumbuhan dan atau benda yang
mengandung penyebab penyakit tersebut.
b. Pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab penyakit dilakukan pada permukaan
tubuh manusia atau hewan atau pada benda mati lainnya, termasuk alat angkut,
yang dapat menimbulkan risiko penularan sesuai prinsip hapus hama (desinfeksi)
menurut jenis bibit penyakit/kuman. Pemusnahan bibit penyakit/kuman penyebab
penyakit dilakukan tanpa merusak lingkungan hidup.
c. Pemusnahan hewan dan tumbuhan yang mengandung bibit penyakit/kuman
penyebab penyakit dilakukan dengan cara yang tidakmenyebabkan tersebarnya
penyakit, yaitu dengan dibakar atau dikubur sesuai jenis hewan/tumbuhan.
Pemusnahan hewan dan tumbuhan merupakan upaya terakhir dan
dikoordinasikan dengan sektor terkait dibidang peternakan dan tanaman.
5. Penanganan jenazah
Terhadap jenazah akibat penyakit wabah, perlu penanganan secara khusus menurut
jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.
Penanganan jenazah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Penanganan jenazah secara umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Harus memperhatikan norma agama, kepercayaan, tradisi, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pemeriksaan terhadap jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
3. Penghapus hamaan bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam penanganan
jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
b. Penanganan jenazah secara khusus mengikuti ketentuan sebagaiberikut :
1. Di tempat pemulasaraan jenazah :
Seluruh petugas yang menangani jenazah telah mempersiapkan kewaspadaan
standar.
Mencuci tangan dengan sabun sebelum memakai dan setelah melepas sarung
tangan.
Perlakuan terhadap jenazah: luruskan tubuh; tutup mata, telinga,dan mulut
dengan kapas/plester kedap air; lepaskan alat kesehatan yang terpasang; setiap
luka harus diplester dengan rapat.
Jika diperlukan memandikan jenazah atau perlakuan khusus berdasarkan
pertimbangan norma agama, kepercayaan, dan tradisi, dilakukan oleh petugas
khusus dengan tetap memperhatikan kewaspadaan universal (universal
precaution). Air untuk memandikan jenazah harus dibubuhi disinfektan.
Jika diperlukan otopsi, otopsi hanya dapat dilakukan oleh petugas khusus
setelah mendapatkan izin dari pihak keluarga dan direktur rumah sakit.
Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.
Jenazah dibungkus dengan kain kafan dan/atau bahan kedap air.
Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi
Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam di tempat pemulasaraan jenazah.
Jenazah dapat dikeluarkan dari tempat pemulasaraan jenazah untuk
dimakamkan setelah mendapat ijin dari direktur rumah sakit.
Jenazah sebaiknya diantar/diangkut oleh mobil jenazah ke tempat pemakaman.
2. Di tempat pemakaman :
Setelah semua ketentuan penanganan jenazah di tempat pemulasaraan jenazah
dilaksanakan, keluarga dapat turut dalam pemakaman jenazah.
Pemakaman dapat dilakukan di tempat pemakaman umum.
6. Penyuluhan kepada masyarakatPenyuluhan kepada masyarakat dilakukan oleh petugas
kesehatan dengan mengikut-sertakan instansi terkait lain, pemuka agama, pemuka
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat menggunakan berbagai media komunikasi
massa agar terjadi peningkatan kewaspadaan dan peran aktif masyarakat dalam upaya
penanggulangan wabah
2. Yang berhak menetapkan dan mencabut suatu daerah terkena wabah
atau KLB
a. Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi,atau
Menteri, atau bupati/walikota dapat menetapkan daerah dalam keadaan KLB,
apabila suatu daerah memenuhi salah satu kriteria KLB.
Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi, atau
Menteri, atau bupati/walikota harus mencabut penetapan daerah dalam keadaan
KLB berdasarkan pertimbangan keadaan daerah tersebut tidak sesuai dengan
kriteria penetapan KLB.
b. Menteri menetapkan daerah dalam keadaan wabah berdasarkan criteria penetapan
wabah.
Menteri harus mencabut penetapan daerah wabah berdasarkan pertimbangan
keadaan daerah tersebut tidak sesuai dengan kriteria penetapan wabah.
TATA CARA PELAPORAN PENDERITA ATAU TERSANGKA
PENDERITA PENYAKIT MENULAR TERTENTU YANG DAPAT
MENIMBULKAN WABAH
Laporan adanya penderita atau tersangka penderita penyakit menular tertentu yang
dapat menimbulkan wabah disebut laporan kewaspadaan.
Yang diharuskan menyampaikan laporan kewaspadaan adalah :
1. Orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal serumah
dengan penderita atau tersangka penderita, kepala keluarga, ketua RT, RW,
kepala dukuh, atau kepala kecamatan.
2. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita, dokter hewan yang
memeriksa hewan tersangka penderita.
3. Kepala stasiun kereta, kepala terminal kendaraan bermotor, kepala asrama, kepala
sekolah, pimpinan perusahaan, kepala unit kesehatan pemerintah dan swasta.
4. Nakhoda kendaraan air dan udara.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau kepala desa dan atau fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya
penderita atau tersangka penderita (KLB), baik dengan cara lisan, maupun tertulis.
Penyampaian secara lisan dilakukan dengan tatap muka, melalui telepon, radio, dan alat
komunikasi lainnya. Penyampaian secara tertulis dapat dilakukan dengan surat, faksimile,
dan sebagainya
Isi laporan kewaspadaan antara lain :
1. Nama penderita atau yang meninggal;
2. Golongan umur;
3. Tempat dan alamat kejadian;
4. Waktu kejadian;
5. Jumlah yang sakit dan meninggal.
Laporan kewaspadaan tersebut selanjutnya harus diteruskan kepada kepala puskesmas
setempat.
Kepala puskesmas yang menerima laporan kewaspadaan harus segera memastikan
adanya KLB. Bila dipastikan telah terjadi KLB, kepala puskesmas harus segera
membuat laporan KLB, melaksanakan penyelidikan epidemiologis, dan
penanggulangan KLB. Laporan KLB disampaikan secara lisan dan tertulis.
Penyampaian secara lisan dilakukan dengan tatap muka, melalui telepon, radio, dan alat
komunikasi lainnya. Penyampaian secara tertulis dapat dilakukan dengan surat,
faksimili, dan sebagainya. Laporan KLB puskesmas dikirimkan secara berjenjang
kepada Menteri dengan berpedoman pada format laporan KLB (Formulir W1)
Formulir Laporan KLB (Formulir W1) adalah sama untuk puskesmas, kabupaten/kota
dan provinsi, namun dengan kode yang berbeda. Formulir berisi nama daerah KLB
(desa, kecamatan, kabupaten/kota dan namapuskemas), jumlah penderita dan
meninggal pada saat laporan, nama penyakit dan gejala-gejala umum yang ditemukan
diantara penderita, dan langkah-langkah yang sedang dilakukan. Satu formulir W1
berlaku untuk satu jenis penyakit saja.
Laporan KLB puskesmas (W1Pu) dibuat oleh kepala puskesmas kepada camat dan
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Laporan KLB kabupaten/kota (W1Ka) dibuat oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota kepada bupati/walikota dan kepala dinas kesehatan provinsi.
Laporan KLB provinsi (W1Pr) dibuat oleh kepala dinas kesehatan provinsi kepada
gubernur dan Menteri (up. Direktur Jenderal).
3. Kedokteran Matra Hiperbarik dan Udara
a. Kedokteran matra hiperbarik
Kesehatan Kelautan adalah bidang kesehatan yang mencakup semua aspek
mengenai laut, dapat meliputi segi militer maupun non-militer.
Rumah Sakit Matra Laut (RSML) adalah Rumah Sakit yang mempunyai
tugas pokok Dukungan Kesehatan (Dukes) berupa Kesehatan Kelautan
(Kesla), disamping tugas Pelayanan Kesehatan (Yankes) seperti umumnya
Rumah Sakit lainnya.
Kesehatan Kelautan meliputi 2 (dua) fungsi uatama, yaitu :
1. Uji dan Pemeriksaan Kesehatan (Urikkes) personil untuk bertugas di
laut.
2. Pembinaan Kesehatan Kapal Atas Air, Kapal Selam, Penyelaman
(Hiperbarik), Penerbangan Laut, Pangkalan (Pelabuhan), Industri dan
Jasa Maritim, Amfibi (Marinir).
Semua Rumah Sakit TNI-AL adalah RSML. Belum semua RSML itu
dapat berfungsi secara optimal. Untuk dapat melaksanakan tugas Dukkes
dengan baik, RS harus memiliki personil dan peralatan khusus. Dan dari
fungsi Pembinaan Kesehatan, yang berkembang dan mempunyai prospek
yang baik adalah Kesehatan Penyelaman (hiperbarik).
Ada 2 (dua) manfaat utama dari Kesehatan Penyelaman (hiperbarik) :
1. Bidang Penyelaman dan Caisson
2. Bidang terapi penyakit klinis
Penyelaman :
1. Olahraga dan rekreasi (pariwisata)
2. Tugas inspeksi dan reparasi kapal
3. Konstruksi, misalnya jembatan, terowongan, dermaga, waduk, dok,
caisson
4. Membantu pengeboran minyak lepas pantai (offshore drilling)
5. Taktis
6. Penelitian
Manusia adalah makhluk darat; hidup dan bekerja terbaik pada lingkungan
sekitar permukaan laut dengan tekanan 1 atm. Bila menyelam setiap
bertambah dalam 10 meter, tekanan di sekitarnya bertambah 1 atm. Bila
menyelam sedalam 40 meter, maka tekanan di sekitarnya sebesar 1 + 4 = 5
atm. Pada tekanan tinggi, yaitu Iebih besar dari 1 atm, disebut hiperbarik,
manusia harus melakukan penyesuaian (adjustment). Bila gagal melakukan
penyesuaian, maka akan mengalami penyakit penyelaman. Salah satu
bentuk penyakit penyelaman adalah penyakit dekompresi, yang terjadi bila
penyelam naik (ascend) dari kedalaman atau dasar laut ke permukaan,
tanpa prosedur yang benar.
Terapi penderita penyakit dekompresi adalah dengan menekan kembali
(recompress), yaitu memasukkan penderita ke dalam Ruang Udara
Bertekanan Tinggi (RUBT). Di dalam RUBT penderita bernafas dengan
udara atau oksigen sesuai dengan tabel pengobatan tertentu, yang lamanya
(waktunya) tergantung dari tabel pengobatan tersebut. Bila bernafas
dengan oksigen, waktunya lebih singkat sekitar separuhnya disbanding
bila bernafas dengan udara. Terapi di RUBT bernafas dengan oksigen
disebut terapi oksigenasi hiperbarik (OHB).
Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu metoda pengobatan dimana
pasien diberikan pernapasan oksigen murni (100%) pada tekanan udara
yang dua hingga tiga kali lebih besar daripada tekanan udara atmosfer
normal (satu atmosfer). Terapi ini merupakan terapi komplementer yang
dilakukan bersama dengan terapi medis konvensional.
Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada
tahun 1930. Saat itu terapi oksigen hiperbarik hanya diberikan kepada para
penyelam untuk menghilangkan gejala penyakit dekompresi (Caisson’s
disease) yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam,
sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh
beberapa rumah sakit TNI AL dan rumah sakit yang berhubungan dengan
pertambangan.
Di Indonesia, terapi oksigen hiperbarik pertama kali dimanfaatkan pada
tahun 1960 oleh Lakesla yang bekerjasama dengan RSAL Dr. Ramelan,
Surabaya. Hingga saat ini fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di
Indonesia. Adapun beberapa rumah sakit lain yang memiliki fasilitas terapi
oksigen hiperbarik adalah:
RS PT Arun, Aceh
RSAL Dr Midiyatos, Tanjung Pinang
RSAL Dr Mintohardjo, Jakarta
RS Pertamina Cilacap
RS Panti Waluyo, Solo
Lakesla TNI AL, Surabaya
RSU Sanglah, Denpasar
RS Pertamina Balikpapan
RS Gunung Wenang, Manado
RSU Makasar
RSAL Halong, Ambon
RS Petromer, Sorong
Proses terapi
Pasien akan dimasukkan ke dalam sebuah chamber bertekanan udara dua
hingga tiga kali lebih tinggi dari tekanan udara atmosfer normal sambil
diberikan pernapasan oksigen murni (100%) selama satu hingga dua jam.
Selama proses terapi pasien diperbolehkan untuk membaca, minum, atau
makan untuk menghindari trauma pada telinga akibat tingginya tekanan
udara.
Manfaat
Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang berkurang
Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan
aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren)
Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) antara lain
bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada
luka-luka mengganas.
Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan
hidup.
Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20
menit pada penyakit keracunan gas CO
Dapat mempercepat proses penyembuhan pada pengobatan medis
konvensional
Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
Memperbaiki fungsi ereksi pada pria penderita diabetes (laporan para
ahli hiperbarik di Amerika Serikat pada tahun 1960)
Meningkatkan sensitivitas sel terhadap radiasi
menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen yang
menjaga elastisitas kulit
badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enak dan pulas
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menjalani terapi oksigen
hiperbarik adalah:
Sebelum menjalani terapi, pasien akan dievaluasi untuk memastikan
tidak adanya kontraindikasi dilakukannya terapi oksigen hiperbarik,
seperti kanker, pneumothoraks, sedang flu atau demam, penderita
sinusitis, asma, infeksi saluran pernapasan atas yang sedang akut, dan
ibu hamil trimester pertama.
Pasien harus memberitahu obat-obatan yang sedang mereka konsumsi,
mengingat terdapat obat-obatan tertentu yang dapat menyebabkan
keracunan oksigen, misalnya obat-obatan jenis steroid, dan obat
kemoterapi
Pasien akan dimasukkan ke dalam ruangan menyerupai kapal selam
yang berukuran kecil selama 2 jam, sehingga penting sekali untuk
memastikan pasien tidak memiliki fobia terhadap ruangan sempit.
Saat merasa tidak kuat, pasien dapat memberitahukan petugas yang
ikut masuk ke dalam ruangan hiperbarik
Komplikasi
Terkadang dalam prosesnya, dapat ditemukan komplikasi, antara lain:
o Barotrauma, yaitu trauma pada organ tubuh (paru, di belakang
gendang telinga, sinus paranasal) akibat tekanan udara yang tinggi
o Keracunan oksigen
o Gangguan penglihatan sementara akibat pembengkakan lensa.
Caisson’s Disease
Caisson Disease (CD) dengan nama lain penyakit dekompresi (DCS =
Decompression Sickness),penyakit penyelam (diver’s disease), Penyakit
Dekompresi (PD), atau the bends merupakan nama yang diberikan untuk
kumpulan gejala yang terjadi pada seseorang yang terpapar oleh
penurunan (biasanya setelah peningkatan tekanan yang besar terlebih
dulu). Dari gejala-gejala yang ringan berupa nyeri otot, sendi, dan tulang,
sampai gejala yang sangat berat, berupa kelumpuhan anggota gerak
bahkan kematian.
Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pelepasan dan pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase larut
dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan dengan cepat
disekitarnya. Tubuh seharusnya beradaptasi terhadap tekanan seiring
dengan kenaikan ketinggian yang cepat. Hal ini merupakan masalah dalam
penyelaman dan gangguan akibat tekanan udara.
DCS diklasifikasikan menjadi dua tipe.
o CD Tipe I yang lebih ringan, tidak mengancam nyawa, dan ditandai
dengan rasa nyeri pada persendian dan otot-otot serta pembengkakan
pada limfonodus. Gejala yang paling umum dari CD adalah nyeri
persendian yang awalnya ringan kemudian memberat seiring waktu
dan dirasakan terutama bila melakukan gerakan.
o CD tipe II merupakan masalah serius dan dapat menyebabkan
kematian. Manifestasinya bisa berupa gangguan respirasi, sirkulasi,
dan biasanya gangguan nervus perifer dan / atau gangguan susunan
saraf pusat.
Emboli gas pada arteri(Arterial Gas Embolism = AGE) adalah manifestasi
DCS tipe II yang paling berbahaya yang terjadi bilaada kenaikan ketinggian.
AGE terjadi bila gelembung udara terbentuk di arteri dan mengalir ke
otak, jantung, atau paru-paru. Ini akan langsung mengancam nyawa dan dapat
terjadi setelah naik dari perairan yang dangkal sekalipun. Bagaimanapun
AGE juga dapat terjadi akibat iatrogenik.
ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO
Penyakit dekompresi biasanya diakibatkan oleh pembentukan gelembung
gas, yang dapat menyebar ke seluruh tubuh, yang menyebabkan berbagai
macam gangguan. Suatu gelembung gas yang terbentuk di punggung atau
persendian dapat menyebabkan nyeri terlokalisir (the bends).Gelembung
gas pada jaringan medulla spinalis atau pada nervus perifer dapat
menyebabkan paraestesia, neuropraxia, atau paralisis. Sementara
gelembung gas yang terbentuk pada system sirkulasi dapat mengakibatkan
emboli gas pada pulmonal atau serebrum. Beberapa macam gas bersifat
lebih mudah larut dalam lemak. Nitrogen misalnya, 5 kali lebih larut
dalam lemak daripada dalam air. Rata-rata 40-50% cedera akibat DCS
(Decompression Sickness) serius mengenai susunan saraf pusat. Mungkin
wanita mempunyai resiko yang lebih besar karena memiliki lebih banyak
lemak dalam tubuhnya. DCS juga terjadi di daerah ketinggian. Orang-
orang yang menyelam di danau suatu gunung atau menggabungkan
menyelam kemudian melakukan penerbangan. Faktor lain adalah umur,
cedera sebelumnya, konsumsi alkohol, aktifitas, patent foramen ovale, dan
lain-lain.
PATOFISIOLOGI
Bila seseorang menggunakan udara bertekanan tinggi sebagai media
pernafasan untuk menyelam,maka semakin dalam dan semakin lama ia
menyelam akan semakin banyak gas yang larut dan ditimbun dalam
jaringan tubuh sesuai hukum Henry; volume gas yang larut dalam suatu
cairan sebanding dengan tekanan gas di atas cairan itu. Karena oksigen
(O2) dikonsumsi dalam jaringan tubuh, maka yang tinggal adalah Nitrogen
(N2) yang merupakan gas lembam (inert, tidak aktif).
Seperti kita ketahui tekanan udara di permukaan laut adalah 1 Atmosfer
Absolut (ATA) dan setiap kedalaman 10 meter maka tekanan akan
betrambah 1 ATA. Jadi bila 1 liter N2 terlarut di dalam tubuh seseorang
penyelam pada permukaan, maka pada kedalaman 20 meter (3 ATA) ia
akan menyerap 3 liter N2. N2 yang berlebihan ini oleh darah akan di
distribusikan ke dalam jaringan- jaringan sesuai dengan kecepatan aliran
darah ke jaringan tersebut serta daya gabung jaringan terhadap N2.
Jaringan lemak mempunyai daya gabung N2 yang tinggi dan melarutkan
banyak N2 daripada jaringan yang lainnya. Ketika penyelam naik ke
permukaan dan tekanan gas turun, terjadi kebalikan dari proses yang
memenuhi tubuh dengan N2. Tekanan parsial N2 yang rendah dalam paru-
paru selama naik menyebabkan darah melepaskan N2 ke dalam paru-paru.
Proses ini berlangsung beberapa jam karena jaringan lambat melepaskan
N2 dengan perlahan-lahan, dan tubuh memerlukan 24 jam atau lebih untuk
menghilangkan semua N2 yang berlebihan. Jika dekompresi berlangsung
terlalu cepat,maka N2 tidak dapat meninggalkan jaringan dengan cepat dan
teratur seperti yang dilukiskan diatas.
Tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk mempertahankan
kelarutan gas sehingga timbul gelembung, seperti fenomena yang kita lihat
bila tutup botol bir dibuka dengan tiba-tiba maka gelembung gas
karbondioksida naik ke permukaan botol.Tiap gerakan pada waktu
dekompresi menyebabkan meletusnya dengan singkat gelembung gas
terutama bila gerak badan kuat atau intermitten. Seperti bila botol bir
dikocok sebelum tutupnya dibuka. Namun gerak badan ringan secara
kontinu dapat bermanfaat dalam arti menambah eliminasi gas tanpa
menyebabkan terjadinya jumlah gas yang berlebihan, karena mikronuklei
gas dikonsumsi. Interval diantara penyelaman yang tidak tepat dapat
menyebabkan mendadak timbulnya gejala akut karena redistribusi
vaskuler dari gelembung sehingga terjadi gangguan fungsi jantung dan
pernafasan.
MANIFESTASI KLINIS
Timbul saat dekompresi atau dipermukaan (paling lama 24 jam setelah
menyelam).
Mula-mula rasa kaku kemudian rasa nyeri
Kekuatan otot menurun
Bengkak kemerahan Peau d’orange
Banyak pada penyelam ulung dan singkat
Anggota atas 2-3x lebih banyak dari bawah.
⅓ kasus pada bahu kemudian siku, pergelangan tangan, tangan, sendi
paha, lutut dan kaki.
Asime t r i
Kasus ringan, tidak rekompresi, nyeri hilang 3-7 hari.
TIPE I CD
Tipe I ditandai dengan satu atau beberapa dari gejala berikut :
1. Rasa nyeri ringan yang menetap setelah 10 menit onset (niggles),
2. Pruritus, atau “skin bends” yang menyebabkan rasa gatal atau terbakar
pada kulit, dan
3. Ruam pada kulit yang biasanya beraneka warna atau menyerupai
marmer atau papular, atau ruam yang menyerupai plak. Pada kasus
tertentu yang jarang menyerupai kulit jeruk.
TIPE II CD
Tipe II ditandai oleh :
1. Gejala gangguan pada paru,
2. Syok hipovolemik, atau
3. Gangguan pada sistem saraf. Dari kasus yang dilaporkan hanya ada
sekitar 30% yang disertaidengan keluhan nyeri. Tanda dan gejalanya
bervariasi karena kompleksnya susunan saraf pusat danperifer. Onset
gejala biasanya segera atau hingga 36 jam.
DIAGNOSIS
Diagnosis CD dapat ditegakkan melalui pertanyaan anamnesa mengenai
riwayat menyelam penderita sebelumnya (dalam waktu 24 jam terakhir)
dan dari pemeriksaan fisis, didapatkan gejala-gejala CD.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menentukan
diagnosis CD adalah :
1. Pemeriksaan Laboratorium
i. Darah rutin
Pada pasien yang datang gejala neurologik yang persisten dalam
beberapa minggu setelah cederabisa didapatkan hematokrit (Hct)
sebanyak 48% atau lebih.
ii. Analisis gas darah
Menentukan alveolar-arterial gradient pada pasien dengan suspek
emboli.
iii. Creatinine Phosphokinase (CPK)
Peningkatan CPK menunjukkan kerusakan jaringan yang disebabkan
oleh mikroemboli.
2. Pemeriksaan radiologi (mis: Radiografi, USG Doppler,)
3. Elektrokardiogram (EKG)
KOMPLIKASI
Kasus PD yang parah dapat mengakibatkan kematian. Gelembung gas yang
besar dalam menghambat aliran darah yang membawa oksigen ke otak, sistem
saraf pusat dan organ vital yanglainnya. Walaupun perubahan tekanan atmosfer
tidak langsung menunjukkan perubahan pada gejala klinis,namun perubahan
tekanan udara yang mendadak dapat menyebabkan cedera tulang permanen
yang dinamakan dysbaric osteonecrosis (DON) yakni kematian sel-sel tulang
akibat tekanan yang kuat. DON bisa terjadi pada paparan pertama dari
dekompresi yang mendadak. DON didiagnosa dari lesi yang terdeteksi di foto
polos tulang. Namun, foto polos ini dapat memberi gambaran normal paling
kurang setelah 3 bulan terjadi kerusakan yang permanen; ini mungkin
memakan waktu selama 4 tahun setelah terjadinya kerusakan baru bisa dilihat
gambaran pada foto polos.
b. Kedokteran matra udara
Kesehatan Kedirgantaraan berkenaan dengan kesehatan matra udara yang
mencakup ruang lingkup kesehatan penerbangan dan kesehatan ruang angkasa
dengan keadaan lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik) dengan
mempunyai sasaran pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan
pembinaan kesehatan terhadap setiap orang secara langsung atau tidak
langsung.
Kesehatan kedirgantaraan meliputi.
a. Kesehatan penerbangan di dirgantara
b. Kesehatan dalam operasi dan latihan militer di dirgantara.
4. Penyakit Karantina
Penyakit karantina ialah:
1) Pes (Plague);
2) Kolera (Cholera);
3) Demam kuning (Yellow fever);
4) Cacar (Smallpox);
5) Tifus bercak wabahi - Typhus exanthematicus infectiosa (Louse borne
Typhus);
6) Demam balik-balik (Louse borne Relapsing fever)
Masa tunas penyakit karantina ialah untuk:
1) Pes : enam hari;
2) Kolera : lima hari;
3) Demam kuning : enam hari;
4) Cacar : empat belas hari;
5) Tifus bercak wabahi : empat belas hari;
6) Demam balik-balik : delapan hari
Menteri Kesehatan menetapkan dan mencabut penetapan suatu pelabuhan
dan/atau daerah wilayah Indonesia dan luar negeri terjangkit suatu
penyakit karantina.
Suatu pelabuhan dan/atau daerah wilayah Indonesia ditetapkan terjangkit
penyakit karantina, bila di pelabuhan dan/atau daerah wilayah itu terdapat:
a. seorang penderita penyakit karantina yang bukan berasal dari luar
pelabuhan atau daerah wilayah itu;
b. tikus berpenyakit pes di daratan atau di kapal yang termasuk
perlengkapan pelabuhan;
c. binatang-binatang yang bertulang punggung yang mengandung virus
penyakit demam kuning yang aktif;
d. wabah tifus bercak wabahi atau demam balik-balik.
Penetapan Penyakit karantina kapal
Pes.
1. Kapal ditetapkan terjangkit pes, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita pes atau terdapat tikus
pes dikapal;
b. lebih dari enam hari sesudah embarkasi terjadi peristiwa pes.
2. Kapal ditetapkan tersangka pes, jika :
a. dalam enam hari sesudah embarkasi terjadi peristiwa pes, walaupun
pada waktu tiba tidak ada lagi seorang penderita dikapal itu;
b. terdapat banyak kematian tikus didalamnya, yang mencurigakan.
Kolera.
1. Kapal ditetapkan terjangkit kolera, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita kolera didalamnya;
b. dalam lima hari sebelum tiba dipelabuhan terdapat penderita kolera
didalamnya.
2. Kapal ditetapkan tersangka kolera, jika : selama perjalanan terdapat
penderita kolera dikapal tetapi di dalam lima hari sebelum tiba
dipelabuhan tidak lagi terdapat penderita kolera didalamnya.
Cacar.
1. Kapal ditetapkan terjangkit cacar, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita cacar didalamnya;
b. dalam perjalanan terdapat penderita cacar didalamnya.
Demam kuning.
1. Kapal ditetapkan terjangkit demam kuning, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita demam kuning di
dalamnya;
b. didalam perjalanan terdapat peristiwa demam kuning didalamnya;
2. Kapal ditetapkan tersangka demam kuning, jika :
a. kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning dan didalam
waktu enam hari tiba dipelabuhan;
b. kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning dan didalam
waktu kurang dari tiga puluh hari tiba dipelabuhan terdapat nyamuk
aedes aegypti didalamnya.
Tifus bercak wabahi.
Kapal ditetapkan sehat walaupun dikapal itu terdapat seorang penderita
tifus bercak wabahi
Demam balik-balik.
Kapal ditetapkan sehat walaupun didalam kapal itu terdapat penderita
demam balik-balik
Penetapan Penyakit Karantina Pesawat Udara
Pes
Pesawat udara ditetapkan terjangkit pes, jika:
a. pada waktu tiba terdapat penderita pes;
b. terdapat tikus pes.
Kolera
1. Pesawat udara ditetapkan terjangkit kolera jika pada waktu tiba terdapat
penderita kolera didalamnya.
2. Pesawat udara ditetapkan tersangka kolera, jika dalam perjalanan terdapat
penderita kolera walupun ia telah diturunkan.
Cacar
1. Pesawat udara ditetapkan terjangkit cacar, jika :
a. pada waktu tiba terdapat penderita cacar didalamnya;
b. dalam perjalanan terdapat penderita cacar yang telah diturunkan.
Demam Kuning
1. Pesawat udara ditetapkan terjangkit demam kuning, jika waktu tiba
terdapat penderita demam kuning didalamnya.
2. Pesawat udara yang datang dari daerah demam kuning atau yang
mengangkut seorang penumpang yang datang dari daerah demam kuning,
ditetapkan tersangka demam kuning, jika pada waktu tiba terdapat bahwa
pembasmian serangga yang dilakukan sebelumnya, tidak memuaskan
menurut pendapat dokter pelabuhan dan/atau terdapat nyamuk hidup
dipesawat udara itu.
Tifus Wabahi
Pesawat udara ditetapkan sehat, walaupun terdapat seorang penderita tifus
bercak wabahi.
Demam Balik-balik
Pesawat udara ditetapkan sehat, walaupun terdapat seorang penderita
demam bolak-balik.
Pencabutan penetapan penyakit karantina
a. setelah mereka yang menderita kolera, cacar, pes, tifus bercak wabahi,
demam balik-balik sembuh kembali, meninggal dunia atau diisolasikan
selama waktu sekurang-kurangnya dua kali masa tunas penyakit-penyakit
tersebut dan penyakitpenyakit itu tidak timbul kembali; dalam pada itu
dijalankan segala tindakan yang memberikan jaminan penyakit itu tidak
menjalar kelain daerah;
b. sebulan sesudah lenyap epizooti, dalam hal pes tikus;
c. tiga bulan sesudah tidak timbul keaktipan penyakit demam kuning yang
disebarkan oleh nyamuk yang bukan nyamuk aedes aegypti;
d. tiga bulan sesudah lenyap penyakit demam kuning pada manusia yang
disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti atau sebulan sesudah penderita
terakhir penyakit demam kuning, sedang dalam waktu itu angkat index
aedes aegypti tetap kurang dari 1%.
5. Riwayat Alamiah Penyakit
Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi
tentang perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu,
dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga terjadinya
akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh
suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c). Riwayat
alamiah penyakit merupakan salah satu elemen utama epidemiologi
deskriptif (Bhopal, 2002).
Tahapan Riwayat alamiah perjalanan penyakit :
a. Tahap Pre-Patogenesa
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit
penyakit. Tetapi interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti
bibit penyakit berada di luar tubuh manusia dan belum masuk kedalam
tubuh pejamu. Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda –
tanda penyakit dan daya tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
b. Tahap Patogenesa
Fase Suseptibilitas (Tahap Peka)
1. Pada fase ini penyakit belum berkembang, tapi mempunyai faktor
resiko atau predisposisi untuk terkena penyakit.
2. Faktor resiko tersebut dapat berupa :
- Genetika/etnik
- Kondisi fisik, misalnya : kelelahan, kurang tidur dan kurang gizi.
- Jenis kelamin.
- Umur
- Kebiasaan hidup
- Sosial ekonomi
3. Untuk menimbulkan penyakit, faktor-faktor diatas dapat berdiri sendiri
atau kombinasi beberapa faktor. Contoh : kadar kolesterol meningkat akan
mengakibatkan terjadinya penyakit jantung koroner.
1) Fase Subklinis
1. Disebut juga Fase Presimptomatik
2. Pada tahap ini penyakit belum bermanifestasi dengan nyata (sign dan
symptom masih negatif), tapi telah terjadi perubahan-perubahan dalam
jarinagn tubuh (struktur ataupun fungsi)
3. Kondisi seperti diatas dikatakan dalam kondisi “Below The Level of
Clinical Horizon”
4. Fase ini mempunyai ciri-ciri :
Perubahan akibat infeksi atau pemaparan oleh agent penyebab
penyakit masih belum nampak. Pada penyakit infeksi terjadi
perkembangbiakan mikroorganisme patogen sedangkan pada penyakit
non-infeksi merupakan periode terjadinya perubahan anatomi dan
histologi, misalnya terjadinya ateroskelotik pada pembuluh darah
koroner yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah.
2) Fase Klinis
1. Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh
telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala (symptom) dan tanda-
tanda (signs) penyakit.
2. Fase ini dibagi menjadi fase akut dan kronis.
3) Fase Konvalescen
1. Akhir dari fase klinis dapat berupa :
Fase Konvalescen (penyembuhan)
Meninggal dunia
2. Fase Konvalescen dapat berkembang menjadi :
Sembuh total
Sembuh dengan cacat (disabilitas atau sekuele)
Penyakit menjadi kronis
3. Disabilitas (kecacatan atau ketidakmampuan)
Terjadi penurunan fungsi sebagian atau keseluruhan dari
struktur/organ tubuh tertentu sehingga menurunkan fungsi aktivitas
seseorang secara keseluruhan. Dapat bersifat : sementara (akut),
kronis dan menetap.
4. Sekuele
5. Lebih cenderung kepada adanya defect/cacat pada struktur jaringan
sehingga menurunkan fungsi jaringan dan tidak sampai mengganggu
aktivitas seseorang
Tahap Penyakit Dini
Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala
penyakit, pada tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih
ringan. Umumnya penderita masih dapat melakukan pekerjaan sehari-
hari dan karena itu sering tidak berobat. Selanjutnya, bagi yang datang
berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena penyakit
masih dapat diatasi dengan berobat jalan.
Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan
masyarakat, terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah,
karena tubuh masih kuat mereka tidak datang berobat, yang akan
mendatangkan masalah lanjutan, yaitu telah parahnya penyakit yang
di derita, sehingga saat datang berobat sering talah terlambat
Tahap Penyakit Lanjut
Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam
tahap penyakit lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi
melakukan pekerjaan dan jika datang berobat, umumnya telah
memerlukan perawatan.
c. Tahap Pasca Patogenesis
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan
penyakit tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu :
1. Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara
sempurna, artinya bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan
sebelum menderita penyakit.
2. Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita
sembuh. Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena
ditemukan cacat pada pejamu. Adapun yang dimaksudkan dengan
cacat, tidak hanya berupa cacat fisik yang dapat dilihat oleh mata,
tetapi juga cacat mikroskopik, cacat fungsional, cacat mental dan cacat
sosial.
3. Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena
gejala penyakit memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu
masih ditemukan bibit penyakit yang pada suatu saat, misalnya jika
daya tahan tubuh berkurang, penyakit akan timbul kembali. Keadaan
karier ini tidak hanya membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga
masyarakat sekitarnya, karena dapat menjadi sumber penularan
4. Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit
tidak berubah, dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak
bertambah ringan. Keadaan yang seperti tentu saja tidak
menggembirakan, karena pada dasarnya pejamu tetap berada dalam
keadaan sakit.
5. Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan
karena sembuh, tetapi karena pejamu meninggal dunia. Keadaan
seperti ini bukanlah tujuan dari setiap tindakan kedokteran dan
keperawatan.
KARAKTERISTIK AGEN
Dalam epidemiologi penyakit infeksi, individu yang terpapar belum tentu
terinfeksi. Hanya jika agen kausal penyakit infeksi terpapar pada individu
lalu memasuki tubuh dan sel (cell entry), lalu melakukan multiplikasi dan
maturasi, dan menimbulkan perubahan patologis yang dapat dideteksi
secara laboratoris atau terwujud secara klinis, maka individu tersebut
dikatakan mengalami infeksi.
Dalam riwayat alamiah penyakit infeksi, proses terjadinya infeksi,
penyakit klinis, maupun kematian dari suatu penyakit tergantung dari
berbagai determinan, baik intrinsik maupun ekstrinsik, yang
mempengaruhi penjamu maupun agen kausal. Tergantung tingkat
kerentanan (atau imunitas) individu sebagai penjamu yang terpapar oleh
agen kausal dapat tetap sehat, atau mengalami infeksi (jika penyakit
infeksi) dan mengalami perubahan patologi yang ireversibel.
Ukuran yang menunjukkan kemampuan agen penyakit untuk
mempengaruhi riwayat alamiah penyakit sebagai berikut: (1) infektivitas,
(2) patogenesitas, dan (3) virulensi.
1. Infektivitas - kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan terjadinya
infeksi. Dihitung dari jumlah individu yang terinfeksi dibagi dengan
jumlah individu yang terpapar.
2. Patogenesitas – kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan penyakit
klinis. Dihitung dari jumlah kasus klinis dibagi dengan jumlah individu
yang terinfeksi.
3. Virulensi – kemampuan penyakit untuk menyebabkan kematian. Indikator
ini menunjukkan kemampuan agen infeksi menyebabkan keparahan
(severety) penyakit. Dihitung dari jumlah kasus yang mati dibagi dengan
jumlah kasus klinis.
FENOMENA GUNUNG ES
Fenomena gunung es (iceberg phenomenon) merupakan sebuah metafora
(perumpamaan) yang menekankan bahwa bagian yang tak terlihat dari
gunung es jauh lebih besar daripada bagian yang terlihat di atas air.
Artinya, pada kebanyakan masalah kesehatan populasi, jumlah kasus
penyakit yang belum diketahui jauh lebih banyak daripada jumlah kasus
penyakit yang telah diketahui. Fenomena gunung es menghalangi
penilaian yang tepat tentang besarnya beban penyakit (disease burden) dan
kebutuhan pelayanan kesehatan yang sesungguhnya, serta pemilihan kasus
yang representatif untuk suatu studi. Mempelajari hanya sebagian dari
kasus penyakit yang diketahui memberikan gambaran yang tidak akurat
tentang sifat dan kausa penyakit tersebut (Morris, 1975; Duncan, 1987).
KRONISITAS PENYAKIT
Berdasarkan masa inkubasi, laten, dan durasi, maka penyakit dapat
diklasifikasi ke dalam 4 kategori:(1) Masa laten pendek, durasi pendek; (2)
Masa laten panjang, durasi pendek; (3) Masa latenpendek, durasi panjang;
(4) Masa laten panjang, durasi panjang.
Masa laten dan durasi penyakit mempengaruhi strategi pencegahan
penyakit. Makin pendek masa laten, makin urgen upaya pencegahan
primer dan sekunder. Makin pendek “sojourn time”, makin kurang
bermanfaat melakukan skrining. Makin pendek durasi, makin mendesak
upaya pencegahan tersier. Makin panjang durasi, makin besar peluang
untuk melakukan upaya pencegahan akibat penyakit dengan lebih
seksama. Meski demikian, sejumlah penyakit kronis memiliki karakteristik
paradoksal: sekalipun durasi panjang tetapi bisa menyebabkan kematian
mendadak (sudden death) (misalnya, stroke dan serangan jantung).
PENCEGAHAAN PENYAKIT
Pengetahuan tentang perjalanan penyakit dan faktor-faktor yang
mempengaruhi berguna untuk menemukan strategi pencegahan penyakit
yang efektif. Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk
mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit
dan kecacatan, dengan menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yang
telah dibuktikan efektif.
Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau
mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan
patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan
tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit
asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-
gejala penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Jika
deteksi tidak dilakukan dini dan terapi tidak diberikan segera maka akan
terjadi gejala klinis yang merugikan. Deteksi dini penyakit sering disebut
“skrining”. Tes skrining tidak dimaksudkan sebagai diagnostik. Orang-
orang yang ditemukan positif atau mencurigakan dirujuk ke dokter untuk
penentuan diagnosis dan pemberian pengobatan yang diperlukan.
Skrining yang dilakukan pada subpopulasi berisiko tinggi dapat
mendeteksi dini penyakit dengan lebih efisien daripada populasi umum.
Tetapi skrining yang diterapkan pada populasi yang lebih luas (populasi
umum) tidak hanya tidak efisien tetapi sering kali juga tidak etis. Skrining
tidak etis dilakukan jika tidak tersedia obat yang efektif untuk mengatasi
penyakit yang bersangkutan, atau menimbulkan trauma, stigma, dan
diskriminasi bagi individu yang menjalani skrining.
Deteksi dini pada tahap preklinis memungkinkan dilakukan pengobatan
segera (prompt treatment) yang diharapkan memberikan prognosis yang
lebih baik tentang kesudahan penyakit daripada diberikan terlambat.
Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit ke arah
berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan tersier biasanya dilakukan oleh para
dokter dan sejumlah profesi kesehatan lainnya (misalnya, fisioterapis).
Pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan (cure), meskipun batas
perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi yang dilakukan sebagai
pencegahan tersier bisa saja merupakan pengobatan. Tetapi dalam
pencegahan tersier, target yang ingin dicapai lebih kepada mengurangi
atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan organ, mengurangi
sekulae, disfungsi, dan keparahan akibat penyakit, mengurangi komplikasi
penyakit, mencegah serangan ulang penyakit, dan memperpanjang hidup.
Sedang target pengobatan adalah menyembuhkan pasien dari gejala dan
tanda klinis yang telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan menteri kesehatan nomor 1215/MENKES/SK/XI/2001 tentang
pedoman kesehatan matra
Murti,Bhisma.Kedokteran Komunitas Bab 3
Panduan surveilans epidemiologi 2003
Umar, Prof.Dr.Surveilans epidemiologi penyakit menular.Jakarta:pers,2000
Undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 1962
http://www.depkes.go.id/
www.kmpk.ugm.ac.id/images/Semester_1/.../Investigasi_Wabah.pdf
http://www.scribd.com/doc/64362432/Permenkes-No-1501-Thn-2010
http://www.scribd.com/doc/39393169/15/Riwayat-Alamiah-Penyakit