laporan tpp
DESCRIPTION
laporan praktikum (opak)TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, baik
dari jenis flora maupun fauna. Begitupun produk pertaniannya yang sangat
berlimpah, salah satunya dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian merupakan
tanaman yang banyak tumbuh hampir di seluruh penjuru Indonesia dan
merupakan sumber karbohidrat utama selain bahan pangan dari serealia. Umbi-
umbian banyak jenisnya mulai dari ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, kimpul,
ganyong, irut, uwi, gembili, gadung, suweg, konjac. Namun sayangnya umbi yang
biasa dikenal hanya jenis-jenis tertentu saja sedangkan jenis lainnya terkadang
belum dikenal dan sulit didapatkan sehingga pemanfaatannya masih belum
maksimal.
Singkong atau ubi kayu merupakan jenis umbi-umbian yang jenis olahannya
sangat beragam. Mulai dari produk kering seperti opak, klanting, rengginang dan
ada juga produk semi basah seperti getuk dan tape. Salah satu jenis olahan ubi
kayu adalah opak yang merupakan produk kering sejenis kerupuk, hal ini
disebabkan singkong mengandung karbohidrat yang tinggi yaitu pati.
Karakteristik kerupuk adalah mengembang dan renyah, dalam praktikum
kali ini singkong diberikan perlakuan dengan penambahan tepung tapioka dan
baking powder dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Lalu, dilihat perbedaan
kerenyahan serta derajat pengembangan pada masing-masing jenis perlakuan
tersebut.
B. Tujuan
Mempelajari proses pembuatan opak singkong dan membandingkan opak
yang dibuat dengan berbagai penambahan tapioka dan baking powder.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Umbi-umbian adalah bahan nabati yang diperoleh dari dalam tanah,
misalnya ubi kayu, ubi jalar, kentang, garut, kunyit, gadung, bawang, jahe,
kencur, kimpul, talas, gembili, garut, bengkuang dan lain sebagainya. Pada
umumnya umbi-umbian tersebut merupakan sumber karbohidrat terutama pati
atau merupakan sumber cita rasa dan aroma karena mengandung oleoresin
(Muchtadi, 1989). Selain ubi kayu dan ubi jalar, sebenarnya Indonesia
mempunyai banyak umbi-umbian yang lain, seperti talas, uwi, garut, dan lain
sebagainya, Sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat pengganti beras, bahan
pangan di atas dapat disajikan dalam menu sehari-hari, asalkan diperkaya dengan
pangan sumber protein yang tinggi. (Gsianturi, 2003).
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz sin. M. utilissima), lebih dikenal
dengan nama singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman yang
familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan hampir seluruh
provinsi di Indonesia memproduksi ubi kayu. Ubi kayu mudah dibudidayakan,
dapat tumbuh di lahan yang relatif tidak subur, tidak membutuhkan banyak pupuk
dan pestisida. Ubi kayu memiliki sifat yang tidak tahan lama dalam keadaan
segar, maka dalam pemasaran ubi kayu harus diolah menjadi bentuk lain yang
lebih awet, seperti gaplek, tepung tapioka, tapai, opak, peuyeum, keripik
singkong, dan lain-lain.
Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang, Daging
umbinya berwarna putih dan kekuning-kuningan. Kekurangan umbi singkong
adalah tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala
kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam
sianida yang bersifat racun bagi manusia (Rubatzky & Yamaguchi, cit Wahyu,
2009).
Ubi kayu merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun miskin
protein. Ubi.kayu banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah.
Kandungan gizi tiap 100 g ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 1. Bagian dari
singkong yang dapat dimakan mencapai 80-90% (Salunkhe & Kadam, 1998).
Menurut Biro Pusat Statistik (2010), produksi tanaman ubi kayu di
Indonesia tahun 2009 sebesar 22.039.145 ton. Produksi pati singkong yang
dihasilkan sebesar 18.750.816,9 ton pati. Produksi pati singkong yang tinggi,
penanaman singkong yang mudah dan kemudahan dalam mendapatkan, sehingga
menjadikan singkong potensial untuk dikembangkan sebagai bahan dasar opak.
Klasifikasi singkong menurut Prihatman (2000) adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta
Tabel 1. Kandungan Gizi Tiap 100 g Ubi Kayu
No. Kandungan Gizi Ubi Kayu (%)
1. Protein 1,21
2. Lemak 0,30
3. Karbohidrat 35,13
4. Kalsium 0,03
5. Fosfor 0,04
6. Zat besi 0,07x10-2
7. Air 63,28
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)
Berdasarkan kadar HCN dalam umbi, ubi kayu dibagi menjadi tiga
kategori. Kadar HCN kurang dari 50 ppm tidak meracun, umbi tidak terasa pahit
dan langsung dapat dimasak dan dikonsumsi. Kadar HCN berkisar antara 50
sampai 100 ppm bersifat meracun dan lebih besar dari 100 ppm sangat meracun
bagi manusia, sehingga varietas ini umumnya dimanfaatkan untuk bahan baku
industri, misalnya industri tapioka (Suismono, 2000). Indonesia adalah penghasil
ubi kayu terbesar ke tiga setelah Brazil dan Thailand (Cock, 1985).
Pati merupakan bagian dari karbohidrat yang memiliki rantai panjang yang
memuat banyak gugus glukosa, karena itu disebut juga polisakarida. Pati bersifat
tidak larut dalam air dingin dan membentuk gel bila dipanaskan (gelatinisasi).
Dalam keadaan kering, pati berwarna putih, sedang dalam bentuk gel berwarna
translusen atau opak (Mulyohardjo,1984). Penggunaan pati cukup luas, baik untuk
bahan baku produk pangan, seperti rerotian, kue, makroni, sirup glukosa/fruktosa
(gula cair), grits makanan bayi, kerupuk dan lain-lain, maupun untuk bahan baku
industri, seperti bahan perekat, alkohol, dekstrin dan lain-lain.
Pati merupakan simpanan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan
karbohidrat utama yang dimakan manusia. Pati terutama terdapat dalam padi-
padian, biji-bijian, dan umbi-umbian. Kandungan pati pada beras, jagung dan
gandum sebesar 70-80%, sedangkan pada ubi, talas, kentang, dan singkong
sebesar 20-30% (Almatsier, 2004). Pati terbagi atas dua bagian yaitu bagian yang
larut dalam air disebut amilosa (10-20%) dan bagian yang tidak larut dalam air
disebut amilopektin (80-90%) (Sastrohamidjojo, 2005). Perbedaan antara amilosa
dengan amilopektin dapat dilihat pada tabel 2.
PERBEDAAN
Amilosa Amilopektin
Larut dalam air Tidak larut dalam air
Kandungannya 10-20% dalam pati Kandungannya 80-90% dalam pati
Berat molekulnya 50.000-200.000 Berat molekulnya 70.000-100.000
Bila ditambahkan iodium akan Bila ditambahkan iodium akan berwarna
berwarna merah ungu
Dihubungkan dengan ikatan 1,4 Dihubungkan dengan ikatan 1,4 dan ikatan
1,6
Tabel 2. Perbedaan Amilosa dengan Amilopektin sebagai berikut :
Sumber : Sastrohamidjojo (2005)
Pati banyak terdapat pada biji-bijian dan akar umbi, sehingga disebut
tanaman polisakarida. Polimer dari glukosa dan tersimpan dalam otot hewan /
manusia disebut glikogen dan zat ini bercabang dan lebih kompleks daripada pati.
Zat pati bila dihidrolisis terjadi senyawa tingkat pertengahan yang disebut
dextrine. Hidrolisis selanjutnya akan menghasilkan maltosa dan glukosa
(Prawirokusumo, 1993). Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran
yang lebih besar daripada amilosa, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila
terdapat dalam larutan. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak
daripada amilosa. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh
terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai konsentrasi 30% dan
peningkatan volume granula pada selang suhu 55°C sampai 65°C masih
memungkinkan granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi
pembengkakan yang luar biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan
semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati
pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis
pati dan konsentrasinya (Winarno, 2004).
Kerupuk opak adalah kerupuk yang dibuat dari ubi kayu. Kerupuk opak
merupakan makanan camilan yang digemari masyarakat baik muda maupun tua
karena rasanya enak, harganya yang relatif murah dan mudah cara pembuatannya.
Keunggulan kerupuk opak dibanding dengan kerupuk yang lainnya adalah
kerupuk opak dibuat langsung dari ubi kayu sehingga kadar seratnya masih tinggi,
sedang kerupuk dengan bahan baku pati tidak mengandung serat makan.
Kelemahan utama dari kerupuk opak adalah rendahnya kadar protein, sehingga
nilai gizinya rendah, selain itu rasa kerupuk opak kurang enak. (Setyaji, 2012)
Opak merupakan makanan tradisional hasil industri rumah tangga yang
biasa dikonsumsi sebagai makanan pelengkap. Opak sangat digemari oleh
masyarakat Jawa Barat. Opak dikonsumsi sebagai makanan ringan pelengkap
makanan. Makanan jenis ini memiliki beberapa keuntungan yaitu harga yang
murah, proses pembuatan yang mudah, rasa yang gurih dan makanan ringan yang
semua orang suka mengkonsumsi. Pembuatan opak umumnya menggunakan alat
bantu berupa lembaran plastik atau daun pisang. Bahan baku yang diperlukan
dalam pembuatan opak adalah singkong varietas manis. Bumbu penambah rasa
menggunakan bawang putih, ketumbar, garam dan sebagainya (Rukmana &
Yuniarsih, 2001). Opak adalah makanan yang terbuat dari olahan singkong
memiliki kandungan kalsium sangat rendah. Menurut Direktorat Gizi Depkes RI
(1981), kandungan gizi singkong dalam 100 gram sebagai berikut protein 1,2 g,
karbohidrat 34,70 g, kalsium 33 mg dan kalori sebesar 146 kalori.
Menurut Rukmana & Yuniarsih (2001), cara membuat opak sebagai
berikut :
1. Parut singkong sampai lembut. Masukkan bumbu halus dalam singkong
parut.
2. Pipihkan adonan di bagian bawah tutup panci dari kaca. Didihkan air dalam
panci. Tutup panci yang diberi adonan. Diamkan 10 menit.
3. Lepaskan adonan dari tutup panci. Letakkan dalam tampah. Jemur di bawah
sinar matahari.
4. Goreng dalam minyak goreng yang sudah dipanaskan di atas api sedang
sampai kering.
Tapioka sering disebut sebagai tepung. Walaupun sama-sama berasal dari
singkong, sesungguhnya tapioka sangat berbeda dengan tepung singkong.
Tapioka bersifat larut di dalam air, sedangkan tepung singkong tidak larut.
Tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pengikat
dalam industri pangan, seperti dalam pembuatan puding, sup, makanan bayi, es
krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain sebagainya. Tapioka
juga dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu pada pembuatan kue yang
tidak memerlukan pengembangan, seperti pada pembuatan kue kering. Untuk kue
yang membutuhkan pengembangan, seperti roti dan cake, dapat digunakan
sebagai bahan campuran, misalnya menggantikan 10-30 % keberadaan tepung
terigu. Kelemahan dalam penggunaan tapioka adalah tidak larut dalam air dingin,
pemasakannya memerlukan waktu cukup lama, dan pasta yang terbentuk cukup
keras. Sifat tepung kanji, apabila dicampur dengan air panas akan menjadi
liat/seperti lem. Tepung tapioka disebut juga tepung kanji atau tepung sagu (sagu
singkong). Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis
kue karena sifat yang dimiliki tepung tersebut. (anonim, 2010)
Baking powder adalah ragi agen kimia yang menyebabkan makanan yang
dipanggang atau digoreng meningkat dengan melepaskan gelembung gas karbon
dioksida ke dalam adonan atau ke luar adonan. Baking powder terdiri dari
berbagai campuran, yaitu : Sodium bikarbonat = soda kue, Sodium acid
pyrophosphate, Tartaric acid, Cream of tartar. Campuran dari berbagai unsur ini
bisa menghasilkan reaksi kimia yakni berupa gas CO2 yang dibutuhkan pada saat
proses penggorengan sehingga produk mengembang dengan baik.
memilih singkong yang masih segar, tidak busuk, tidak berwarna coklat kehitamanan, kemudian mengupas kulit yang berwarna coklat dan putih.
selanjutnya melakukan pencucian untuk menghilangkan kotoran dan lendir
memarut singkong yang telah bersih, selanjutnya memeras airnya menggunakan kain saring
membuat adonan dari singkong parut dengan menambahkan bumbu yaitu garam dan bawang putih yang telah dihaluskan serta penambahan pati (tapioka).
selanjutnya mencampur bahan dan bumbu serta menambah sedikit air
perlakuan pertama adalah penambahan tapioka yaitu : 10% (T1), 15% (T2), dan 20% (T3)
perlakuan kedua penambahan baking powder yaitu : 0% / tanpa penambahan BP (B0) dan penambahan BP 1% (B1)
III. METODE PRAKTIKUM
A. Bahan
ubi kayu
tapioka
garam
bawang putih
baking powder
air
B. Alat
pemarut ubi kayu
baskom
pisau
dandang
cetakan
tampah
kain saring
C. Prosedur Praktikum
selanjutnya mencetak adonan berbentuk bundar menggunakan tatakan gelas (tatakan plastik atau stainless steel) secara merata dan tipis, tetapi jangan menekan
terlalu kuat
kemudian mengukus adonan dalam cetakan selama 10-15 menit sampai kenampakan adonan jernih. pada proses ini terjadi gelatinisasi pati pada adonan,
sehingga akan berpengaruh terhadap pengembangan dan kerenyahan produk
setelah mengukus, melepaskan opak dalam cetakan dan menghamparkan di atas tampah untuk dijemur atau disusun dalam rak pengering buatan. pengeringan
dilakukan sampai kadar air tertentu (9-10%), tandanya opak kering dapat dipatahkan
untuk pengamatan pengaruh dari perlakuan tersebut, maka perlu menggoreng opak mentah. sebelum digoreng mengukur diameter opak sebanyak 2 kali, dan
setelah digoreng mengukur kembali diameternya. menghitung luas sebelum dan sesudah digoreng.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Tekstur :
No. Panelis 927 426 818 457 172 475
1. 1 3 3 4 4 4 3
2. 2 3 4 3 4 4 4
3. 3 3 4 2 3 3 4
4. 4 3 3 4 4 4 4
5. 5 3 4 4 3 4 3
6. 6 3 4 4 4 3 3
7. 7 3 3 4 3 4 4
8. 8 2 3 3 3 3 3
9. 9 3 3 4 4 4 3
10. 10 3 4 3 3 2 3
11. 11 3 3 4 3 4 3
12. 12 3 3 4 4 3 3
13. 13 3 3 4 4 4 3
14. 14 3 3 4 3 4 3
15. 15 3 4 3 4 4 3
∑ 44 51 54 53 54 49
Rata-rata 2,93 3,4 3,6 3,53 3,6 3,26
Keterangan :
Kode 927 (kelompok 4) : tapioka 10%, baking powder 1%
Kode 426 (kelompok 6) : tapioka 20%, baking powder 1%
Kode 818 (kelompok 3) : tapioka 20%, baking powder 0%
Kode 457 (kelompok 2) : tapioka 15%, baking powder 0%
Kode 172 (kelompok 1) : tapioka 10%, baking powder 0%
Kode 475 (kelompok 5) : tapioka 15%, baking powder 1%
Derajat Pengembangan :
a. Kelompok 1 (tapioka 10%, baking powder 0%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 36,3 cm2 69,36 cm2 91,07 %
2. Opak 2 38,46 cm2 73,86 cm2 92,04 %
3. Opak 3 36,3 cm2 66,44 cm2 83,03 %
4. Opak 4 36,3 cm2 76,94 cm2 111,95 %
5. Opak 5 38,46 cm2 75,4 cm2 96,05 %
Rata-rata 94,83 %
b. Kelompok 2 (tapioka 15%, baking powder 0%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 41,83 cm2 78,58 cm2 87,85 %
2. Opak 2 37,92 cm2 72,35 cm2 90,79 %
3. Opak 3 37,92 cm2 72,35 cm2 90,79 %
4. Opak 4 38,47 cm2 69,36 cm2 80,29 %
5. Opak 5 36,29 cm2 65,72 cm2 81,09 %
Rata-rata 86,16 %
c. Kelompok 3 (tapioka 20%, baking powder 0%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 36,29 cm2 78,5 cm2 116,31 %
2. Opak 2 35,23 cm2 86,54 cm2 145, 64 %
3. Opak 3 36,3 cm2 70,84 cm2 95,15 %
4. Opak 4 35,23 cm2 73,86 cm2 109, 65 %
5. Opak 5 37,37 cm2 78,5 cm2 110 %
Rata-rata 115,35 %
d. Kelompok 4 (tapioka 10%, baking powder 1%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 38,465 cm2 98,470 cm2 156 %
2. Opak 2 34,195 cm2 75,391 cm2 120,4 %
3. Opak 3 38,465 cm2 81,671 cm2 112,32 %
4. Opak 4 39,572 cm2 73,861 cm2 86,64 %
5. Opak 5 33,166 cm2 96,720 cm2 191,6 %
Rata-rata 133,392 %
e. Kelompok 5 (tapioka 15%, baking powder 1%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 41,83 cm2 73,86 cm2 76,57 %
2. Opak 2 37,37 cm2 63,58 cm2 70,13 %
3. Opak 3 34,19 cm2 63,58 cm2 85,96 %
4. Opak 4 37,37 cm2 63,58 cm2 70,13 %
5. Opak 5 34,19 cm2 69,36 cm2 102,86 %
Rata-rata 81,13 %
f. Kelompok 6 (tapioka 20%, baking powder 1%)
No. Opak LB(luas sebelum
digoreng)
LS(luas sesudah
digoreng)
Derajat pengembangan
1. Opak 1 38,465 cm2 78,5 cm2 104 %
2. Opak 2 41,832 cm2 72,345 cm2 72,9 %
3. Opak 3 33,166 cm2 56,716 cm2 71 %
4. Opak 4 32,153 cm2 60,79 cm2 89,06 %
5. Opak 5 33,166 cm2 56,716 cm2 71 %
Rata-rata 81,59 %
Tabel rata-rata derajat pengembangan pada keenam perlakuan
Kelompok
(perlakuan)
1
(T1B0)
2
(T2B0)
3
(T3B0)
4
(T1B1)
5
(T2B1)
6
(T3B1)
Rata-rata
derajat
pengembangan
94,83 % 86,16 % 115,35 % 133,92 % 81,13 % 81,59 %
Perhitungan Derajat Pengembangan (Terlampir)
B. Pembahasan
Dalam praktikum pembuatan opak singkong ini diawali dengan
memilih singkong yang masih segar, tidak busuk, tidak berwarna coklat
kehitamanan, kemudian singkong tersebut dikupas kulit yang berwarna
coklat dan putih.Selanjutnya singkong dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran dan lendir. Setelah singkong dicuci, singkong
yang telah bersih diparut sampai halus, lalu airnya diperas menggunakan
kain saring. Setelah diperoleh singkong yang telah halus dan kadar airnya
sedikit, singkong dibuat adonan dengan menambahkan bumbu yaitu garam
dan bubuk bawang putih serta penambahan pati (tapioka). Untuk
penambahan tapioka dan baking powder , diberikan perlakuan yang
berbeda , yaitu :
Perlakuan pertama adalah penambahan tapioka yaitu : 10% (T1), 15%
(T2), dan 20% (T3)
Perlakuan kedua penambahan baking powder yaitu : 0% / tanpa
penambahan BP (B0) dan penambahan BP 1% (B1)
Selanjutnya adonan tersebut ditambahkan sedikit air dan diaduk
sampai rata. Selanjutnya adonan dicetak berbentuk bundar menggunakan
tatakan gelas (tatakan plastik atau stainless steel) secara merata dan tipis,
tetapi jangan menekan terlalu kuat. Lalu adonan dikukus dalam cetakan
selama 10-15 menit sampai kenampakan adonan jernih. Pada proses ini
terjadi gelatinisasi pati pada adonan, sehingga akan berpengaruh terhadap
pengembangan dan tekstur produk. Setelah mengukus, opak dalam cetakan
dilepaskan dan dihamparkan di atas tampah untuk dijemur atau disusun
dalam rak pengering buatan. Pengeringan dilakukan sampai kadar air
tertentu (9-10%), tandanya opak kering dapat dipatahkan. Setelah opak
kering, dilakukan penggorengan untuk pengamatan pengaruh dari
perlakuan tersebut, sebelum digoreng diameter opak mentah diukur
sebanyak 2 kali, dan setelah digoreng diameternya kembali diukur. Lalu
dihitung luas sebelum dan sesudah digoreng.
Tekstur Opak
Pengujian tekstur opak menunjukkan bahwa tingkat kerenyahan
opak berbeda untuk hampir semua perlakuan. Pada Opak kelompok 1
(tapioka 10% , baking powder 0%) menurut hasil uji dari 15 panelis,
menunjukkan bahwa tingkat kerenyahannya 3,6, yaitu antara agak renyah
sampai renyah. Opak 1 merupakan opak dengan tingkat kerenyahan paling
tinggi dibandingkan opak dengan perlakuan lainnya. Pada Opak kelompok
2 (tapioka 15% , baking powder 0%) menurut hasil uji dari 15 panelis,
menunjukkan bahwa tingkat kerenyahannya 3,53, yaitu antara agak renyah
sampai renyah. Dan sedikit lebih rendah kerenyahannya dibanding opak 1.
Pada Opak kelompok 3 (tapioka 20% , baking powder 0%) menurut hasil
uji dari 15 panelis, menunjukkan bahwa tingkat kerenyahannya 3,6, yaitu
antara agak renyah sampai renyah. Tingkat kerenyahannya sama seperti
opak 1. Pada Opak kelompok 4 (tapioka 10% , baking powder 1%)
menurut hasil uji dari 15 panelis, menunjukkan bahwa tingkat
kerenyahannya 2,93, yaitu antara kurang renyah sampai agak renyah.
Tingkat kerenyahannya lebih kecil dibandingkan opak dengan perlakuan
lainnya. Pada Opak kelompok 5 (tapioka 15% , baking powder 1%)
menurut hasil uji dari 15 panelis, menunjukkan bahwa tingkat
kerenyahannya 3,26, yaitu antara agak renyah sampai renyah. Pada Opak
kelompok 6 (tapioka 20% , baking powder 1%) menurut hasil uji dari 15
panelis, menunjukkan bahwa tingkat kerenyahannya 3,4, yaitu antara agak
renyah sampai renyah. Tingkat kerenyahannya berada di tengah-tengah
opak dengan jenis perlakuan lainnya.
Dari keenam perlakuan tersebut, dapat dibuat hubungan yang dapat
dilihat pada tabel :
Tabel hubungan penambahan tapioka dan baking powder terhadap kerenyahan
opak
Tapioka
BP
10 15 20 ∑ Rata-rata
0 3,6 3,53 3,6 10,73 3,58
1 2,93 3,26 3,4 9,59 3,2
∑ 6,53 6,79 7
Rata-rata 3,26 3,4 3,5
Dari tabel diatas, kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan
kerenyahan hampir pada keenam perlakuan. Dapat dilihat pada
penambahan tapioka 10% rata-rata kerenyahannya 3,26 ; penambahan
tapioka 15 % rata-rata kerenyahannya 3,4 ; dan penambahan tapioka 20%
rata-rata kerenyahannya 3,5. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak
tapioka yang ditambahkan , maka kerenyahan opak semakin meningkat.
Berbeda dengan penambahan tapioka, penambahan baking powder justru
menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pada opak yang tidak ditambah
baking powder rata-rata kerenyahannya 3,58 ; sedangkan pada opak yang
ditambah baking powder 1% rata-rata kerenyahannya 3,2. Pada opak yang
konsentrasi baking powder 0%, kerenyahannya lebih tinggi dibandingkan
dengan opak yang ditambah baking powder 1%. Hal ini menunjukkan
bahwa penambahan baking powder dapat mengurangi kerenyahan dari
opak tersebut.
Penambahan tapioka pada opak dapat menambah kerenyahan opak
dikarenakan penambahan tapioka meningkatkan kandungan pati pada opak
, terutama amilopektin. Kerupuk / opak dengan kandungan amilopektin
yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang tinggi, karena pada
saat proses pemanasan akan terjadi proses gelatinisasi dan akan terbentuk
struktur yang elastis yang kemudian dapat mengembang pada tahap
penggorengan sehingga kerupuk dengan volume pengembangan yang
tinggi akan memiliki kerenyahan yang tinggi (Zulfiani 1992).
Penambahan baking powder pada opak cenderung menghasilkan
kerenyahan yang semakin menurun. Hal ini disebabkan penambahan
bahan lain selain pati yang terlalu banyak dapat meningkatkan kekerasan
kerupuk (Tababaka, 2004). Perubahan kerenyahan pada penambahan
baking powder 0-1% mempengaruhi penerimaan konsumen. Panelis
mengungkapkan bahwa perlakuan terbaik yang dihasilkan adalah
penambahan tapioka 10% dan 20% tanpa diberi baking powder. Respon
panelis untuk penambahan tapioka 10% dan 20% tanpa diberi baking
powder menyatakan bahwa tekstur lebih renyah dibandingkan
penambahan yang lain.
Derajat pengembangan
Pengujian derajat pengembangan menunjukkan bahwa
pengembangan opak berbeda untuk hampir semua perlakuan. Pada Opak
kelompok 1 (tapioka 10% , baking powder 0%) menurut pengukuran yang
dilakukan , menunjukkan bahwa rata-rata derajat pengembangannya 94,83
%. Pada Opak kelompok 2 (tapioka 15% , baking powder 0%) menurut
pengukuran yang dilakukan , menunjukkan bahwa rata-rata derajat
pengembangannya 86,16 %. Merupakan derajat pengembangan paling
rendah dibandingkan perlakuan 1 dan 3 yang sama-sama tidak diberi
baking powder. Pada Opak kelompok 3 (tapioka 20% , baking powder
0%) menurut pengukuran yang dilakukan , menunjukkan bahwa rata-rata
derajat pengembangannya 115,35 %. Merupakan derajat pengembangan
paling tinggi dibandingkan perlakuan 1 dan 2 yang sama-sama tidak diberi
baking powder. Pada Opak kelompok 4 (tapioka 10% , baking powder
1%) menurut pengukuran yang dilakukan , menunjukkan bahwa rata-rata
derajat pengembangannya 133,92 %. Merupakan derajat pengembangan
paling tinggi dibanding kelima perlakuan lainnya. Pada Opak kelompok 5
(tapioka 15% , baking powder 1%) menurut pengukuran yang dilakukan ,
menunjukkan bahwa rata-rata derajat pengembangannya 81,13 %.
Merupakan derajat pengembangan paling rendah dibanding perlakuan 4
dan 6 yang sama-sama diberi baking powder 1%. Pada Opak kelompok 6
(tapioka 20% , baking powder 1%) menurut pengukuran yang dilakukan ,
menunjukkan bahwa rata-rata derajat pengembangannya 81,59 %.
Merupakan derajat pengembangan diantara perlakuan 4 dan 5 yang sama-
sama diberi baking powder 1%.
Dari keenam perlakuan tersebut, dapat dibuat hubungan yang dapat
dilihat pada tabel :
Tabel hubungan penambahan tapioka dan baking powder terhadap derajat
pengembangan opak
Tapioka
BP
10 15 20 ∑ Rata-rata
0 94,83 % 86,16 % 115,35 % 296,34 98,781 133,92 % 81,13 % 81,59 % 296,64 98,88∑ 228,75 162,29 196,94Rata-rata 114,375 81,145 98,47
Dari tabel diatas, kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan
kerenyahan hampir pada keenam perlakuan. Dapat dilihat pada
penambahan tapioka 10% rata-rata derajat pengembangannya 114,375 % ;
penambahan tapioka 15 % rata-rata derajat pengembangannya 81,145 % ;
dan penambahan tapioka 20% rata-rata derajat pengembangannya 98,47 %
. Hal ini menunjukkan bahwa pada penambahan tapioka 10 % derajat
pengembangan opak berada pada angka tertinggi , sedangkan pada
penambahan tapioka 15 % derajat pengembangan opak justru berada pada
angka yang paling rendah. Sedangkan pada penambahan tapioka 20 %
derajat pengembangan opak berada diantara penambahan tapioka 10 %
dan 15 %. Berbeda dengan penambahan tapioka, penambahan baking
powder justru menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda antara diberi
baking powder dengan tidak diberi baking powder. Pada opak yang tidak
ditambah baking powder rata-rata derajat pengembangannya 98,78 % ;
sedangkan pada opak yang ditambah baking powder 1% rata-rata derajat
pengembangannya 98,88 %. Pada opak yang ditambah baking powder 1%,
derajat pengembangannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan opak
yang tidak ditambah baking powder . Namun hanya berbeda 0,1 % saja.
Padahal tujuan penambahan baking powder sendiri adalah untuk
meningkatkan derajat pengembangan pada opak tersebut.
Tidak ada perbedaan yang dihasilkan pada penambahan baking
powder, mungkin disebabkan karena waktu penggorengan terlalu singkat
sehingga air dalam opak belum mengembang secara sempurna, dan
menyebabkan opak belum mengembang secara sempurna juga.
Menurut Soekarto (1997) mengungkapkan bahwa pengembangan
kerupuk dipengaruhi oleh kandungan air yang terikat pada kerupuk
sebelum digoreng sedangkan menurut Haryadi (1994) menyatakan bahwa
pengembangan produk dipengaruhi oleh rasio penambahan bahan non pati.
Semakin banyak penambahan bahan non pati maka semakin kecil
pengembangan kerupuk pada saat penggorengan dan pengembangan
sehingga berpengaruh pada kekerasannya.
Opak dapat mengembang disebabkan adanya granula pati yang
membengkak. Pembengkakan granula pati ini dipengaruhi oleh molekul-
molekul air yang berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada
susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi et al.,
1988). Menurut Winarno (2004) mengungkapkan bahwa pembengkakkan
granula pati terjadi pada suhu pemanasan 55-65°C setelah itu granula pati
tidak akan kembali pada keadaan semula (terjadi gelatinisasi).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penambahan tapioka 10%, 15%, dan 20% pada opak singkong
meningkatkan kerenyahan opak singkong.
2. Penambahan baking powder 1% pada opak menurunkan kerenyahan opak,
jika dibandingkan dengan opak yang tidak ditambah baking powder.
3. Penambahan tapioka yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang
berbeda pada derajat pengembangan. Pada penambahan 10 %
menunjukkan derajat pengembangan paling tinggi. Sedangkan pada
penambahan tapioka 15 % menunjukkan derajat pengembangan paling
rendah.
4. Penambahan baking powder hanya sedikit berpengaruh terhadap derajat
pengembangan. Pada penambahan baking powder 1 % hanya
meningkatkan derajat pengembangan sebesar 0,1%.
B. Saran
1. Dalam praktikum opak ini perlu diperhatikan saat pengukusan, karena
pada saat pengukusan terjadi gelatinisasi pati, yang akan sangat
berpengaruh terhadap kerenyahan opak nantinya.
2. Proses penggorengan juga harus diperhatikan, pada saat digoreng, air
bebas dalam opak harus teruapkan secara sempurna agar opak dapat
mengembang dan memiliki tekstur yang renyah.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anonim. 2010. tepung tapioka, manfaatnya, dan cara pembuatannya.
http://aremaipb's.blogspot.com. Diakses pada tanggal 5 Mei 2013
Biro Pusat Statistik. 2010. Luas Panen – Produktivitas - Produksi Tanaman Ubi
Kayu Beberapa Provinsi. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 5 Mei
2013
Cock, J.H. 1985. Cassava New Potential for Neglected Crop. Westview Press
London. 191 p.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara
Karya Aksara, Jakarta.
Gsianturi. 2003. Memperkuat Keamanan Pangan dengan Umbi-Umbian.
www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?...78656. Diakses pada tanggal 5
Mei 2013
Haryadi. 1994. Physical Characteristic and Acceptability of The Keropok Cracker
from Different Starebes. J. Indonesian Food and Nutrition Progress. 1
(1) :23-26.
Muchtadi. T.R., Purwiyatno dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, Tien, dkk. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut Pertanian
Bogor.
Muljohardjo, M. 1984. Pengolahan tapioka. Bahan Kuliah Teknologi Pengolahan
Ubi-ubian. FTP – UGM. Yogyakarta. 33 hal.
Prawirokusumo, S. 1993. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE Yogyakarta, Yogayakarta.
Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon / Singkong (Manihot utilissima).
http://www.ristek.go.id. Diakses pada tanggal 5 Mei 2013
Rubatzky, V. E., and M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia 1. Penerjemah : Catur
Herison. Penerbit ITB, Bandung.
Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Salunkhe, D. K., S. S. Kadam. 1998. Handbook of Vegetable Science and
Technology : Production, Composition, Storage, and Processing Food
Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik, Stereokimia, Karbohidrat, Lemak dan
Protein. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Setyaji Hajar, Viny Suwita, dan A. Rahimsyah. 2012. Sifat Kimia dan Fisika
Kerupuk Opak dengan Penambahan Daging Ikan Gabus (Ophiocephalus
striatus). Jurnal Penelitian Universitas Jambi seri sains. Vol. 14 No.1
Januari-Juni
Soekarto, S.T. 1997. Perbandingan Pengaruh Kadar Air Kerupuk Mentah pada
Penggorengan dengan Minyak dan dengan Oven Gelombang Mikro.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Kantor Menteri Negara
Urusan Pangan RI. Jakarta, 458-470.
Suismono. 2000. Propek Usaha Agroindustri dan Agribisnis Ubikayu. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Agribisnis Ubikayu tanggal
22-23 Nopember 2000 di Malang.
Tababaka, R. 2004. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.)
sebagai Bahan Tambahan Kerupuk. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. Skripsi.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Zulfiani R. 1992. Pengaruh Berbagai Tingkat Suhu Penggorengan Terhadap Pola
Pengembangan Kerupuk Sagu Goreng [skripsi]. Bogor:urusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Pemarutan singkong singkong yang sudah diparut diperas airnya
Penambahan bumbu pembuatan adonan opak singkong
Adonan opak dicetak dalam tatakan gelas adonan siap dikukus
Opak yang telah dikukus , dan siap dikeringkan opak yang sudah dikeringkan
Opak singkong digoreng
T1B0 T2B0
T1B1 T2B1
T3B1