laporan tutorial
DESCRIPTION
limfadenitisTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada Dosen pembimbing
yang telah membimbing tutorial pertama di blok 13 ini sehingga proses tutorial dapat
berlangsung dengan sangat baik.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua,
yang telah memberi dukungan baik berupa materil dan moril yang tidak terhitung jumlah nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial pertama di blok 13 ini hingga selesai.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di
penyusunan laporan berikutnya. Semoga laporan ini dapat memberikan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para pembaca laporan ini.
Palembang, 18 Desember 2012
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………...1
Daftar Isi ………………………………………………………………………………..…..2
BAB I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………………….3
1.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………….…….3
BAB II : Pembahasan
2.1 Data Tutorial…………………………………………………………....4
2.2 Skenario Kasus ……………………………………………………........5
2.3 Paparan
I. Klarifikasi Istilah. ............…………………………………........6
II. Identifikasi Masalah...........…………………………………......7
III. Analisis Masalah ...............................……………………...........8
IV. Learning Issues ...……......…...……………………..................23
V. Kerangka Konsep..................………………………………......52
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan ............................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................54
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Organisme Patogen merupakan blok 13 pada semester 3 dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan
kasus yang diberikan mengenai Nn. Fanny yang mengalami limfadenitis tuberculosis.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari
skenario ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Ika Kartika, SpPA
Moderator : Teguh Ridho Perkasa
Sekretaris Papan : Janeva Sihombing
Sekretaris Meja : Ferina Auliasari Pohan
Hari, Tanggal : Selasa , 18 Desember 2012
Kamis , 20 Desember 2012
Rule Peraturan : 1. Alat komunikasi di nonaktifkan
2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat (aktif)
3. Dilarang makan dan minum
4
2.2 Skenario Kasus
Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 buan yll. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula-mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan.
Pemeriksaan FisikKeadaan umum: tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR: 20x/menit, Nadi: 72x/menit, pada auskultasi paru tidak didapati ronchi.Status lokalis:Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1cm.Hasil laboratoriumHb: 11.2 g%, Leukosit: 10.800/mm kubik, LED: 43mm/jam, Diff.count: 0/1/4/46/44/5
Oleh dokter bedah dilakukan biopsy pada kelenjer limfe leher kiri dan specimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.Hasil pemeriksaan histopatologi: Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hyperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
5
2.3 Paparan
I. Klarifikasi Istilah
Benjolan/ / tumor :Pembengkakan abnormal salah satu tanda peradangan.
Sensorium compos mentis :Kesadaran penuh.
Ronchi :Suara yang dihasilkan saat udara melewati jalan nafas yang penuh
cairan/mucus, terdengar saat inspirasi dan ekspirasi.
Colli :Regio di leher yang meliputi otot sternocleitomastoideus,
trigonum submental, trigonum muscular, trigonum submandibula,
trigonum caroticum, dan regio cervicalis lateralis.
Biopsi :Pengambilan dan pemeriksaan mikroskopik jaringan dari tubuh
organisme untuk menegakkan diagnosis.
Nekrosis perkijuan :Nekrosis dengan jaringan lembek, kering dan menyerupai keju
lembut paling sering dijumpai pada tuberculosis dan sifilis.
Datia langhans cell :Merupakan gabungan beberapa sel epiteloid yang menjadi satu,
merupakan sel yang bulat/lonjong dengan inti banyak dan tersusun
di perifer.
Diff. count :Tes untuk mengukur persentase jenis-jenis white blood cell.
Folikel limfoid hyperplasia :Peningkatan jumlah sel limfoid.
Epiteloid :Sel-sel yang menyerupai epithelium.
Nodul :Lesi meradang besar yang terjadi jauh di dalam dermis.
6
II. Identifikasi Masalah
No. Masalah Konsen Kesesuaian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 buan yll. Benjolan makin lama makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula-mula terjadi di leher kiri, 1 bulan terakhir teraba juga di leher kanan.
Pemeriksaan FisikKeadaan umum: tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156 cm, sedikit anemis, RR: 20x/menit, Nadi: 72x/menit, pada auskultasi paru tidak didapati ronchi.
Status lokalis:Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1cm.
Hasil laboratoriumHb: 11.2 g%, Leukosit: 10.800/mm kubik, LED: 43mm/jam, Diff.count: 0/1/4/46/44/5
Oleh dokter bedah dilakukan biopsy pada kelenjer limfe leher kiri dan specimen dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Hasil pemeriksaan histopatologi: Tampak kelenjar getah bening berkapsul jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hyperplasia, berbagai ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag, epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda ganas.
VVV
V
V
V
V
VV
TSH
TSH
TSH
TSH
TSH
TSH
7
III. Analisis Masalah
1. Nn. Fanny, 22 tahun, datang ke poli bedah RSMH dengan keluhan utama
terdapat benjolan di leher kiri dan kanan sejak 6 buan yll. Benjolan makin lama
makin besar, tidak disertai nyeri. Benjolan mula-mula terjadi di leher kiri, 1
bulan terakhir teraba juga di leher kanan.
1.1 Adakah hubungan umur, jenis kelamin terhadap penyakit pada kasus ini? Jelaskan!
Pada penyakit tumor karena infeksi tb ini umumnya tiap jenis kelamin memiliki peluang yang sama yaitu 50:50. Infeksi tb bias menyerang siapa saja yang memiliki sisem imun yang lemah. Dan seiring bertambahnya usia maka semakin besar peluang untuk terkena infeksi tb ini akan tetapi usia yang rentan terkena adalah 15-35 tahun.
1.2 Apa saja penyakit yang dapat menyebabkan benjolan seperti pada kasus ini?
Tumor kelenjar tiroid, tumor kelenjar laring, tumor kelenjar nasofaring, limfoma
hodgkin, limfoma non hodgkin, goiter, hematoma akibat benturan, limfadenitis.
1.3 Mengapa benjolan makin lama makin besar dan tidak disertai nyeri?
Benjolan yang merupakan manifestasi dari hyperplasia pada jaringan limfoid
disebabkan oleh beberapa faktor :
a. peningkatan jumlah limfosit makrofag karena reaksi imun
b. infiltrasi kelenjar limfoid oleh sel radang saat sel limfoid itu sendiri yang
terinfeksi
c. proliferasi in situ dari limfosit makrofag
d. inflitrasi kelenjar limfoid oleh sel ganas metastatic
e. inflitrasi kelenjar limfoid oleh oleh makrofag yang mengandung metabolit dalam
penyakit cadangan lipid.
Pada kasus ini, benjolan terjadi karena faktor a, b, dan c. Setelah terinfeksi dengan
bakteri Mycobacterium tuberculosis melalu inhalasi droplet orang yang terinfeksi
TBC, kelenjar limfe di bagian cavum oral dan orofaring termasuk tonsil dan kelenjar
getah bening di region leher otomatis menjadi pertahanan utama bagi tubuh. Reaksi
imun meningkat dan terjadi reaksi radang yaitu saat aspek humoral (antibody) dan
8
aspek seluler pertahanan tubuh meningkat. Proliferasi pertahanan tubuh seluler terjadi
di kelenjar getah bening. Benjolan semakin besar karena hyperplasia folikel-folikel
baru pada kelenjar getah bening diikuti dengan germinal center yang semakin aktif
membelah untuk menghasilkan sel limfosit T dan makrofag. Bakteri Mycobacterium
tuberculosis ikut menginfiltrasi kelenjar getah bening hingga respon radang
bertambah kuat yang nantinya berujung pada nekrosis caseosa jaringan limfoid di
region leher apabila respon imun masih belum cukup kuat untuk melawan infeksi
bakteri ini. Benjolan tidak nyeri karena termasuk dalam cirri-ciri infeksi kronis.
1.4 Mengapa benjolan teraba juga di leher kanan 1 bulan terakhir?
Benjolan teraba juga di leher kanan 1 bulan terakhir karena di paru Tuberculosis yang
berkembang biak menimbulkan suatu daerah radang yang disebut afek/focus primer
dari Ghon. Lesi primer paru disebut focus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kemudian basil tahan
asam ini akan menjalar melalui saluran limfe dan terjadi limfangitis dan limfadenitis
regional. Pada kasus ini terjadi pada kelenjar limfe colli dextra maupun colli sinistra,
itulah sebabnya mengapa ada benjolan juga di leher kiri karena daerah penyebaran
bakteri Tuberkulosis sudah menjalar bukan hanya di kelenjar limfe leher kanan tetapi
juga pada kelenjar limfe leher kiri. (Sofiudin,2009).
1.5 Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan tumor?
Faktor keturunan (genetik)
Faktor lingkungan
Faktor makanan yang mengandung bahan kimia
Virus
Infeksi
Imunitas
2. Pemeriksaan Fisik
9
Keadaan umum: tampak sakit sedang, sensorium compos mentis, BB 43 kg, TB 156
cm, sedikit anemis, RR: 20x/menit, Nadi: 72x/menit, pada auskultasi paru tidak
didapati ronchi.
2.1 Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik keadaan umum?
Hasil Nilai normal Keterangan
TB = 156 cm BMI = 43/1,562 =
17,66
18-25 Berat Badan kurang dari normal
BB = 43 Kg
Kesadaran Kompos mentis Sadar sepenuhnya Normal
Auskultasi
paru
Tidak ada ronchi Tidak ada Normal
Nadi 72x/menit 60-100x/menit Normal
Pernapasan 20x/menit 16-20x/menit Normal
2.2 Bagaimana mekanisme apabila terjadi abnormal pada pemeriksaan fisik keadaan
umum?
Anemi pada kasus ini disebabkan karena penyakit kronis(inflamasi) kronis yg
ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi(terjadi
penurunan kemampuan FE dalam sintesis hemoglobin kemudian gangguan absorpsi
Fe the fact pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar), gangguan produksi
eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoitein, pemendekan masa hidup
eritrosit merupakan bagian dari sindroma stress hematologi dimana terjadi produksi
sitokin yg berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi/inflamasi . sitokin
tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak
zat besi.
2.3 Bagaimana mekanisme apabila terjadi abnormal pada pemeriksaan fisik keadaan
umum?
Penurunan Berat Badan :
Di dalam kasus ini, pasien di suspek menderita Tuberkulosis. Berat
badan rendah dikaitkan dengan kasus tuberkulosis juga. Sebuah
10
indeks massa tubuh (BMI) di bawah 18,5 meningkatkan risiko
sebesar 2-3 kali. Di sisi lain, peningkatan berat badan menurunkan
risiko, Pasien dengan diabetes mellitus berada pada peningkatan
risiko tertular tuberculosis. Orang yang mengalami TB aktif, dapat
memunculkan gejala berupa penurunan berat badan, penurunan
nafsu makan, keringat di malam hari, demam, kelelahan, serta
menggigil. Dari segi paru, dapat nampak gejala berupa batuk dalam
3 minggu atau lebih, hemoptisis, nyeri dada, terasa sesak saat
bernapas. Demam, meriang, dan penurunan berat badan diinduksi
oleh mediator, terutama TNF-α yang memang berperan pada efek
sistemik suatu penyakit. 4 Gejala lain, tergantung organ mana yang
terkena. Orang dengan infeksi aktif dapat menyebarkan bakteri TB
ke orang lain.
Sedikit Anemis :
Anemia pada penderita tuberkulosis merupakan
abnormalitas hematologi yang biasa terjadi pada penderita
tuberkulosis. Anemia pada penderita tuberkulosis umumnya
tergolong ringan atau sedang. Anemia dapat sembuh sejalan
dengan kesembuhan penyakit tuberkulosis dan pengobatan. Pada
kasus ini, sitokin mengganggu kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi dan menggunakan
Fe. Sitokin juga dapat mengganggu kegiatan normal dari erythropoietin dalam pembentukan
sel darah merah.
11
3. Status lokalis:
Pada colli sinistra teraba 2 buah nodul ukuran 4x3 cm dan 2x1 cm batas tegas, dan
colli dextra 1 buah nodul ukuran 2x1cm.
3.1 Bagaimana pembagian region pada leher?
Regio Colli 1 - Regio sternocleidomastoidea, 2 - Trigonum
submentale, 3 - Trigonum musculare, 4 - Trigonum submandibulare,
5 - Trigonum caroticum, 6 - Regio cervicalis lateralis
3.2 Bagaimana patofisiologi dari terabanya nodul pada colli sinistra dan colli dextra?
Patofisiologi terabanya nodul pada colli sisnistra dan colli dextra
Bakteri Tuberculosis masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang-orang terinfeksi.
12
Setelah melalui saluran pernafasan bagian atas dan tiba di alveolus paru-paru
khususnya pada jaringan parenkim, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit memfagosit bakteri namun ada 2 kemungkinan yang terjadi,
yaitu basil Tuberkel ini akan mati difagosit oleh makrofag atau basil tuberkel akan
bertahan hidup dan multiplikasi dalam makrofag. Pada kasus ini terjadi manipulasi
endosom makrofag oleh glokolipid yang terdapat pada dinding sel bakteri. Hal ini
menyebabkan penghentian pematangan, pH makrofag tidak lagi asam,dan
pembentukan fagolisosom yang tidak efektif sehingga bakteri masih dapat bertahan
hidup dan terjadi proliferasi bakteri yang tidak terkontrol dalam makrofag. Kemudian
terjadi bakteremia dan penyemaian di banyak tempat. Pada kasus ini bakteri masuk ke
kelenjar limfe regional di colli sinistra dan colli dextra. Antigen mikobakterium yang
telah diproses mencapai kelenjar limfe regional dan disajikan dalam konteks
histokompabilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel TH1 yang mampu
mengeluarkan IFN-γ yang sangat penting untuk mengaktifkan makrofag. Makrofag
yang aktif mengeluarkan TNF yang merekrut monosit yang pada gilirannya
mengalami pengaktifan dan diferensiasi yang menandai respon granulomatosa. Hal
ini menyebabkan pembengkakan pada kelenjar limfe akibat membesarnya makrofag
menjadi epiteloid-epiteloid (granuloma) dan fibroblast yang mengelilingi nekrosis.
Pembengkakan ini dapat teraba dari luar yang terjadi pada region colli dextra dan
colli sinistra Nn. Fanny.
4. Hasil laboratorium
Hb: 11.2 g%, Leukosit: 10.800/mm kubik, LED: 43mm/jam, Diff.count:
0/1/4/46/44/5
4.1 Bagaimana interpretasi dari hasil laboratorium?
Hasil Nilai normal Keterangan
Hb 11,2 g% Pria: 13-18 g%
Wanita: 12-15 g%
Sedikit anemis
Leukosit 10.800/mm3 5.000-10.000/mm3 Leukositosis
LED 43 mm/jam Pria: 0-8 mm/jam Menunjukkan
adanya infeksi
13
Wanita: 0-15 mm/jam
Diff count 0/1/4/46/44/5 Basofil : 0 – 1 (%)
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 %
Pada diff count
nilai limfosit tinggi
menunjukan
bahwa pasien
dalam keadaan
kronis (shift to the
right)
4.2 Bagaimana cara melakukan pemeriksaan “hasil lab”?
- Pemeriksaan Hb: dengan metode Sahli
- Pemeriksaan Leukosit dengan menggunakan kamar hitung Improved Naeubauer
dan hemacytometer lengkap.
- Pemeriksaan LED dengan metode Wintrobe atau bisa juga dengan metode
Westergreen.
- Pemeriksaan Diff. Count:
Prosedur
Seleksi area yangg paling baik untuk evaluasi pada sediaan darah
Dengan lensa objektif 10 x perhatikan bagian yang cukup tipis dan rata susunan
eritrositnya, penyebaran leukosit memenuhi syaratàjadikan counting area
Dengan lensa objektif emersi (100 x), menilai morfologi trombosit, eritrosit,
leukosit
Mulai menghitung pada pinggir atas sediaan è pinggir bawah è kekanan è
pinggir atas lagi è dst
Lakukan terus sampai 100 sel leukosit, dihitung menurut jenisnya
Catat juga kelainan morfologi pada leukosit
Jumlah setiap jenis sel dinyatakan dalam persen
Laporkan jika terdapat eritrosit berinti per 100 leukosit
hitung jenis dilakukan dengan mengelompokkan tiap 10 sel yang dihitung, sampai
terdapat 100 sel ke dalam Schilling Hemogram.
Melaporkan Hitung Jenis
14
Mulai dengan sel basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit
dan monosit (bisa ditulis dari kiri ke kanan)
Nilai normal hitung jenis pada dewasa
- Basofil : 0 - 1 %
- Eosinofil : 1 – 3 %
- Neutrofil batang : 2 – 6 %
- Neutrofil segmen : 50 – 70 %
- Limfosit : 20 – 40 %
- Monosit : 2 – 8 %
Hasil :
Basofilia: leukemia granulositik kronik
Eosinofilia: asma bronkial, askariasis
Neutrofilia: inf bakteri, intoksikasi
Limfositosis: inf virus
Monositosis: malaria
4.3 Bagaimana mekanisme apabila terjadi abnormal pada pemeriksaan hasil
laboratorium?
Adanya infeksi kronis atau inflamasi menyebabkan respon sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi leukosit, dan terjadi peningkatan LED. Diff count nya shif to
the right berarti terjadi infeksi kronis
4.4 Bagaimana hubungan dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan kasus ini?
Nilai LED dan leukosit yang tinggi (di atas kadar normal) menunjukkan terjadinya
infeksi di dalam tubuh.
5. Oleh dokter bedah dilakukan biopsy pada kelenjer limfe leher kiri dan specimen
dikirim ke Lab Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.
5.1 Bagaimana cara melakukan biopsy pada kelenjar limfe?
Teknik Biopsi
a. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) atau Si Bajah (Sitologi Biopsi Aspirasi
Jarum Halus) → Menggunakan alat yang terdiri dari tabung suntik plastik ukuran 10
15
ml, jarum halus, gagang pemegang tabung suntik, kaca objek dan desinfektan alkohol
atau betadin. Tumor dipegang lembut lalu jarum diinsersi segera ke dalam tumor.
Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal; tekanan di dalam tabung
menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel
massa tumor masuk ke dalam lumen jarum suntik. Piston dalam tabung dikembalikan
pads posisi semula dengan cara melepaskan pegangan. Aspirat dikeluarkan dan dibuat
sediaan hapus, dikeringkan di udara dan dikirimkan ke laboratorium. Sering terjadi
false negative karena kemungkinan jarum tidak tepat mengambil sel yang terkena
kanker.
b. Stereotactic Needle Biopsy (Core Biopsy) → Dilakukan pada suatu gumpalan
(bengkak) yang sulit untuk dilihat atau dirasakan. Jarum akan dituntun ke area yang
dicurigai dengan bantuan mammography atau ultrasound, dan X-ray akan memastikan
area yang ingin dibiopsi.
c. Incisional Biopsy → Seperti operasi pembedahan pada umumnya. Pengambilan
irisan dari benjolan. Pada umumnya tipe ini dilakukan pada pembengkakan di jaringan
ikat seperti otot.
d. Excisional Biopsy → Keseluruhan benjolan diambil. Sering dilakukan pada
benjolan di dada. False negative jarang terjadi.
5.2 Bagaimana cara pengiriman hasil biopsi?
Beberapa Cara Pengiriman
a. Fiksasi Basah (Wet Fixation)
Sediaan segar yang baru saja diperoleh segera dicelupkan ke dalam fiksasi
selama 30-40 menit. Kemudian dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi serta botol
perendamnya. Untuk mengatasi risiko pengiriman yang sulit dengan botol yang berisi
cairan yang mungkin tumpah, maka setelah sediaan tersebut difiksasi selama 30 menit,
dikeluarkan dari cairan dan dikeringkan di udara kamar. Setelah kering sediaan dapat
dimasukkan ke dalam tabung atau di dalam karton yang telah disiapkan. Bahan fiksasi
sebaiknya digunakan alkohol yang mudah didapat.
b. Fiksasi Pelapis (Coating Fixative)
16
Zat-zat ini adalah campuran dari alkohol basa yang memfiksasi sel-sel dan bahan
seperti lilin yang membentuk lapisan pelindung yang tipis di atas sel.
a) Aerosol yang dipakai dengan cara menyemprotkannya pada sediaan
b) Liquid basa diteteskan di atas sediaan sesegera mungkin
6. Hasil pemeriksaan histopatologi: Tampak kelenjar getah bening berkapsul
jaringan ikat tipis, bagian korteks tampak folikel limfoid hyperplasia, berbagai
ukuran, dengan germinal center aktif. Tampak bagian kelenjar getah bening
yang mengalami nekrosis perkijuan dikelilingi oleh sel-sel limfosit, makrofag,
epiteloid, 1-2 sel datia langhans dapat dijumpai. Tidak dijumpai tanda-tanda
ganas.
6.1 Bagaimana cara pemeriksaan histopatologi?
CARA PENGAMBILAN BAHAN DAN PEWARNAAN DALAM PX
untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi
dengan pisau atau plong/punch
Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu
diikutsertakan
Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum
mengalami garukan atau infeksi sekunder
bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu
Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi lebih
dari satu
potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis
Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin 10%
atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati
Lalu dikirm ke laboratorium
pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula yang
menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
17
Agar cairan fiksasi dapat dnegan abik masuk ke ajringan hendaknya tebal jaringan kira-
kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
6.2 Bagaimana gambaran/foto histopatologi di bawah mikroskopik pada kasus ini?
6.3 Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan histopatologi?
Aktif germinal center : pembentukan sel limfosit T sebagai mekanisme pertahanan
tubuh. Proliferasi sel limfosit T dalam berbagai fase mitosis.
Penebalan jaringan ikat fibrosa (kapsul) : mengkompensasi penambahan massa dan
ukuran kelenjar limfe
Penebalan daerah korteks folikular (zona mantel) : peningkatan sel limfosit matur
Hiperplasia folikular kelenjar limfe : meningkatnya sistem imun tubuh memerlukan
lebih banyak sistem imun seluler yaitu sel limfosit T dan makrofag yang dihasilkan di
kelenjar limfe. Hal ini memerlukan lebih banyak germinal center yang terbentuk
sehingga folikular kelenjar limfe pun bertambah.
Nekrosis caseosa (jejas irreversible) : munculnya tuberkel-tuberkel dengan massa
berwarna kuning keju di bagian tengah merupakan jaringan folikular yang nekrosis
18
disebabkan digesti enzimatik sel dan denaturasi protein jaringan. Nekrosis caseosa
merupakan focus infeksi penyakit TBC. Fokus nekrotik tersusun atas debris granular
amorf, terlingkupi dalam cincin inflamasi granulomatosa masing-masing, jaringan
seluruhnya tertutup oleh jaringan ikat untuk mengurangi penyebaran nekrosis ke sel-
sel lain sehingga Nampak tuberkel dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosa dengan
banyak sel fibrosit dan infiltrasi sel limfosit matur.
Inflamasi granulomatosa: Granuloma merupakan bentuk khusus delayed-type
hypersensitivity terjadi saat antigen bersifat persisten atau tidak dapat didegradasi
terutama infeksi Mycobacterium tuberculosis. Infiltrat awal sel T CD4+ perivaskular
secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2-3 minggu. Sel limfosit T
CD4+ semakin membesar, memipih, dan eosinofilik membentuk sel epitheloid.
Kumpulan sel-sel epitheloid akan dikelilingi oleh sel limfosit dan dikelilingi lagi oleh
jaringan ikat fibrosa membentuk granuloma. Fungsi dari jaringan ikat adalah untuk
melokalisir nekrosis agar tidak menyebar ke jaringan lain. Sel-sel epitheloid
bergabung di bawah pengaruh sitokin membentuk giant cell Datia Langhans berinti
banyak.
6.4 Bagaimana pathogenesis terjadinya limfadenitis tuberkulosis pada kasus ini?
Masuknya M.tuberculosis melalui inhalasi droplet menuju paru sesampainya di
alveolus terjadi respon makrofage terhadap antigen, pengenalan antigen yang masuk
diperantarai APC (Antigen Presenting Cell), kemudian terjadi fagositosis bakteri yang
menyebabkan strain virulen mikrobakteri masuk ke dalam endosom macrophage
( prosesnya diperantarai oleh reseptor manosa macrophage yang mengenali glikolipid
berselubung manosa di dinding sel tubercular) namun bakteri mampu melakukan
“manipulasi endosom” dengan menghentikan pematangan endosom, memanipulasi
pH dan melakukan pembentukan fagolisosom yang tidak efektif sehingga
mikrobakteri mampu berproliferasi tanpa terhambat. Pada tuberculosis primer
(<3minggu) pada orang yang belum tersensitisasi, terjadi proliferasi basil tanpa
hambatan di dalam macrophage alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi
bakterimia dan penyemaian di banyak tempat. Seiring dengan terbentuknya
sensitisasi, muncul daerah konsolidasi meradang yaitu focus Ghon. Pada sebagian
19
besar kasus bagian tengah focus ini mengalami nekrosis perkijuan. Basil tuberkel,
baik bebas atau di dalam fagosit, mengalir ke kelenjar regional. Kombinasi lesi
parenkim dan keterlibatan kelenjar getah bening ini disebut kompleks Ghon. Pada
tahap lanjut apabila basil Tb ini dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi, basil ini
akan dapat menyebar secara limfogen, perikontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar
limfe regional di hilus, dimana penyebaran ini akan menimbulkan reaksi inflamasi di
sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis).
6.5 Mengapa terjadi nekrosis perkijuan pada infeksi tuberculosis?
Terjadi nekrosis perkijuan pada infeksi tuberculosis karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag yang mencoba
memfagositosis bakteri Tuberkulosis, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons
kompleks sedang disiapkan oleh pejamu. Walaupun lekosit polimorfonuklear (PMN)
telah aktif pada awal inflamasi namun mereka tidak bekerja dengan baik. Respons
humoral atau antibodi yang biasanya merupakan pusat pertahanan terhadap bakteri
patogen, peranannya bisa diabaikan dalam melawan tuberkulosis. Namun demikian
sistem komplemen ikut berperan pada tahap awal fagositosis. Mekanisme pertahanan
spesifik terjadi 4-8 minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap antigen
spesifik. Mekanisme tersebut pada tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respons
cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-type hipersensitivity (DTH) yang akan
meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat atau mengeliminasi
kuman. Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya
dan timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang belum
dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui mekanisme respons imun yang sama dan
akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen berikutnya. Respons DTH
ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel makrofag yang belum
teraktivasi, sedang respons CMI timbul setelah makrofag teraktivasi sehingga
menjadi sel epiteloid matur. Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan
bentuk penyakit yang akan berkembang. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag
20
dan selanjutnya membunuh kuman secara intraselular sedang respons DTH
menyebabkan nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman dihambat secara
ekstraselular. Keduanya merupakan respons imun yang sangat efektif menghambat
perjalanan penyakit.
6.6 Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat
diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan
adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004). Kultur juga dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3cukup untuk
membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009).
Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis
tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi
imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang
digunakan adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10
minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm,
intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra,
2009).
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar
limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk
menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat
digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan
21
intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell,
granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila
gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada
aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak
gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis
selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran
sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis
apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru
pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004). USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang
dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan
untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau
reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya
ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011). Pada
CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular
pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang
bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada
limfadenitis TB (Bayazit, 2004).Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret,
konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004)
6.7 Bagaimana Kompetensi Dokter Umum (KDU) pada kasus ini?
Kompetensi Dokter Umum (KDU) pada kasus ini adalah Tingkat 4
yaitu, Dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh
dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-
22
ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem
itu secara mandiri hingga tuntas.
IV. Learning Issues
1. Imunologi (Reaksi Imun)Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat
melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit,
komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme
pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme
pertahanan spesifik.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu
jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak
bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan
pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan
tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau
ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan
pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons
imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah
23
kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan
enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,
polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non
spesifik.
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme.
Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan
berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada
mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung
sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau
leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai
reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik
akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan
memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan
jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein
(CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali
protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok.
Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis
antigen.
Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor.
Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang
24
bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel
NK.
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme
pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen
sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh
maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang
merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori
imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di
kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang
spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit
T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral.
Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang
akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh
komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang
dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel
pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa,
lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada
permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada
25
permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan
dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD,
artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus
dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda
permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel
limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila
antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali
gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan
reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap
limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak
bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor.
Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong
meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8)
yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi.
Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis
sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang
merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th
melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti
bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung
pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan
berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul
produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain
terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan
26
dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan
antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan
aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel
Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah
dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan
molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td
untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori
dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat
antigen.
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc
dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah
berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah
fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta
metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri,
parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan
faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga
penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil
akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi.
Imunitas humoral
27
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin
yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu
IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia
dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati,
sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT).
Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan
reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan
imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin
permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga
memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa.
Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai
reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel
Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga
terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara
langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses
yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan
komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran
antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat
karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang
merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent
28
cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi
komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi
komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang
kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang
terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai
kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan
vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang
tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel
memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
REGULASI RESPONS IMUN
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak
terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme
tubuh untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons
permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk
merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi
karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B
untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya
ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan
juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya
IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering
bersifat supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen
masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah
kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat
29
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi
pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi
sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk
menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak
terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya bagian
F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak akan
terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming
sel B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif
melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai
reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang
terikat pada reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena
adanya gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi
aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen
dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi
enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk mengalami transformasi blast,
berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama
makin berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin
bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai
stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini
sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta
memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip
antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip
yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-
idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai
menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu
dinamakan internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada
30
respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap
antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi
makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam ir
dan menimbulkan gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi
melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down
regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk
meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat
juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan
sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal
dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts
melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa pada
aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons imun yang
sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons
imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor
supresi antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh
antigen yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B
dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang
mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B
dan sel Th.
31
2. Radang Akut dan Radang Kronik
A. RADANG AKUT
Radang akut merupakan jawaban segera atau respon langsung dan dini terhadap agen
jejas. Respon ini relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam atau hari. Pengenalan
segera terhadap masuknya agen jejas akan mempunyai dua dampak penting yaitu :
berhimpunnya antibodi di sekitar agen jejas, emigrasi leukosit dari pembuluh darah ke
jaringan yang terkena agen jejas. Dengan demikian radang akut mempunyai komponen-
komponen sbb :
1. Perubahan penampang pembuluh darah dengan akibat meningkatnya aliran darah
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang didahului oleh vasokontriksi
singkat. Sfingter prakapiler membuka mengakibatkan aliran darah dalam kapiler
meningkat, demikian juga anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif akan terbuka.
Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras.
Dengan demikian vaskulator mikro pada lokasi jejas melebar dan berisi darah
terbendung.
2. Perubahan struktural pada pembuluh darah mikro yang memungkinkan protein
plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah
Peningkatan permiabilitas vaskular disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah
putih ke dalam jaringan, disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama radang akut.
Gerakan normal cairan berlangsung keluar masuk dalam vaskulator mikro yang diatur
oleh keseimbangan antara tekanan hidrostatik intra vaskuler dan dampak lawan tekanan
osmotik koloid oleh protein plasma. Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang
tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultra
32
filtrasi, sehingga konsentrasi protein plasma meningkat dan tekanan osmotik koloid
bertambah besar. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Pada
umumnya dinding kapiler dapat dilalui air, garam dan larutan sampai berat jenis 10.000
Dalton. Gerakan protein plasma dengan berat jenis diatas 10.000 Dalton akan dihambat
oleh karena ukuran molekul protein bertambah besar. Cairan radang ekstravaskuler
dengan berat jenis tinggi diatas 1.020 disebut eksudat, yang mengandung protein 2
sampai 4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun
sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler, bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskuler sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat serta peristiwa emigrasi
leukosit.
3. Agregasi leukosit di lokasi jejas
Penimbunan sel-sel darah putih terutama Neutrofil dan Monosit terhadap lokasi jejas
merupakan aspek terpenting dalam reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu melahap
bahan yang bersifat asin termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom
yang terdapat didalamnya membantu pertahanan tubuh. Rangkaian agregasi sel darah
putih dalam perilakunya dalam lokasi radang meliputi :
a. Marginasi dan susunan berlapis
Dalam fokus radang awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah
merah menggumpal dan berbentuk agregat-agregat yang lebih besar dari leukosit.
Menurut hukum fisika, massa sel darah merah ini akan terdapat dibagian tengah dalam
aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi) sehingga
mengadakan hubungan dengan permukaan endotel. Mula-mula sel darah putih ini
bergerak pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi
kemudian akan melekat dan melapisi lapisan endotel.
b. Emigrasi
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh
darah. Tempat utama emigrasi sel darah putih adalah pertemuan antara sel endotel.
Neutrofil adalah sel pertama yang tampak pada ruang perivaskuler, biasanya disusul oleh
33
monosit. Neutrofil tidak melebihi umur lebih dari 24 – 48 jam diluar pembuluh darah dan
monosit akan menggantikannya.
c. Kemotaksis
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak ke arah utama lokasi jejas.
Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh kimia yang dapat
berdifusi dan oleh karena itu disebut kemotaksis. Yang paling reaktif terhadap rangsang
kemotaksis itu adalah neutrofil dan monosit. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen
berasal dari protein plasma atau eksogen misalnya produk-produk bakteri.
d. Fagositosis
Fagositosis diawali dengan perlekatan partikel pada permukaan fagosit, pelahapan dan
pemusnahan serta penghancuran jasad renik atau partikel yang dimakan.
Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan proses radang akut sebagian besar
dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun
jenis pengaruh jejas dapat bermacam-macam dan jaringan yang menyertai radang
berbeda, mediator yang dilepaskan sama, sehingga respon terhadap radang tampak
stereotip. Jadi infeksi yang disebabkan oleh kuman, jejas karena panas, dingin atau
tenaga radiasi, jejas listrik atau bahan kimia, dan trauma mekanik akan memberi reaksi
radang segera yang sama.
B. RADANG KRONIK
Radang kronik disebabkan oleh rangsang yang menetap, seringkali dalam beberapa
minggu atau bulan, menyebabkan infiltrasi mononuklear dan proliferasi fibroblas. Sel-sel
darah putih yang tertimbun, sebagian besar terdiri dari sel makrofag dan limfosit dan
kadang-kadang ditemukan juga sel plasma. Maka eksudat leukosit pada radang kronik
disebut monomorfonuklear untuk membedakan dari eksudat polimorfonuklear pada
radang akut.
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang
akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi kronik
berlangsung bila respon radang akut tidak dapat terjadi, disebabkan agent penyebab jejas
yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Sebagai contoh
34
infeksi bakteri paru dapat memulai sebagai fokus radang akut (pneumonia)
tetapi kegagalannya melakukan resolusi dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas
dan pembentukan rongga dengan proses radang yang tetap ganas dan dapat
mengakibatkan abses paru kronik.
Adakalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer, sering penyebab jejas
memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang
akut. Dikenal 3 kelompok besar :
1. Infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu seperti basil tuberkel,
treponema pallidum dan jamur-jamur tertentu. Organisme-organisme ini memiliki
toksisitas rendah dan menimbulkan reaksi imun yang disebut hipersensitifitas tertunda.
Respon radang sering memiliki pola khas disebut reaksi granulomatik.
2. Kontak lama dengan bahan yang tidak mudah hancur. Bahan ini termasuk partikel-
partikel silica, yang dapat menimbulkan respon radang kronik yang disebut silikosis dalam
paru, bila dihirup dalam waktu lama. Silika dapat bekerja dalam bentuk kimiawi dan
mekanik. Sebaliknya benda-benda asing yang besar seperti pecahan kaca, benang jahitan
dapat mengakibatkan radang kronik karena iritasi fisika dan mekanik. Respon pada kasus
di atas disebut reaksi benda asing dan sering disertai dengan pembentukan sel datia karena
fungsi makrofag.
3. Pada keadaan-keadaan tertentu, terjadi reaksi imun terhadap jaringan individu sendiri
dan menyebaban penyakit auto-imun. Pada penyakit ini auto antigen menimbulkan reaksi
imun yang berlangsun dengan sendirinya secara terus menerus dan mengakibatkan
beberapa penyakit radang kronik seperti arthritis rhematoid.
Beberapa jenis radang sukar dibedakan sebagai kronik atau akut, karena tidak adanya
batasan yang tegas yang membedakan secara klinik maupun morfologi. Dikatakan bila
suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 – 6 minggu disebut radang kronik, tetapi
karena banyak ketergantungan respon efektif dari host dan sifat alami jejas maka batasan
waktu tidak ada artinya.
Radang kronik ditandai oleh adanya sel-sel mononuklear yaitu makrofag limfosit dan sel
plasma. Secara tradisional makrofag dianggap sebagai pembersih, tetapi sekarang
diketahui juga mempunyai beberapa fungsi lain yang penting didalam radang dan
35
kekebalan. Makrofag jaringan hanya salah satu komponen saja dari fagosit sistem
mononuklear (MPS), yang dulu dikenal sebagai Retikulo endotelial sistem (RES). Yang
terakhir ini didapati tersebar dimana-mana didalam jaringan ikat atau berkelompok dalam
alat tubuh seperti hati (sel kupffer), limpa dan kelenjar getah bening (histiosit sinus), serta
paru (makrofag alveolar). Semua berasal dari prekursor yang sama didalam sistem tulang
yang menghasilkan monosit darah, dari darah monosit berpindah ke dalam berbagai
jaringan dan berubah menjadi makrofag.
Selain fagositosis makrofag mempunyai beberapa segi lain yang penting untuk
peranannya sebagai sel radang. Fagosit mononuklear berkemampuan untuk dibuat aktif,
suatu proses yang mengakibatkan bentuk sel lebih aktif dan lebih penting lagi,
kemampuan yang lebih besar dari fagositosis yang membunuh mikroba dengan
memakannya. Setelah diaktifkan makrofag mengeluarkan banyak produk aktif biologi
yang sebagian besar perannya dikaitkan dengan radang dan pemulihan.
Lebih dari 50 produk bioaktif yang berasal dari makrofag telah dikenal. Produk tersebut
digolongkan dalam kategori utama sebagai berikut :
a. Enzim : Protease netral maupun asam. Beberapa protease netral seperti elastase dan
kolagenase dulu pernah disebut sebagai mediator jaringan terjejas pada radang. Yang lain
seperti aktivator plasminogen, merangsang pembentukan plasmin dan sangat memperkuat
pembentukan bahan-bahan pro-inflamasi.
b. Protein plasma : termasuk dalam golongan ini adalah protein komplemen (C1 – C5,
properdin) dan protein koagulasi seperti faktor jaringan dan faktor V, VII, IX dan X
c. Metabolit aktif oksigen.
d. Mediator lipid termasuk asam amino dan aseter PAF
e. Faktor-faktor yang mengatur proliferasi dan fusi lain sel, yaitu interferon, faktor
pertumbuhan fibroblas, sel endotel dan sel mieloid primitif dan 1-interleukin suatu
molekul dengan dampak yang luas sekali, serta terjadinya demam (fibrogen endogen),
aktivasi limfosit T dan B, stimulasi pembentukan kolagenase oleh fibroblas dan sekresi
reaktan fase akut hati.
Kembali pada adanya makrofag dalam lokasi radang kronik jelas bahwa mereka berasal
dari monosit darah yang beremigrasi dari pembuluh darah dibawah pengaruh faktor-faktor
36
kemotaksis. Pembebasan faktor-faktor yang berasal dari limfosit ialah mekanisme penting
sehingga makrofag selanjutnya tetap tertimbun dalam lokasi radang kronik.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Patologi Anatomi Adalah spesialis medis yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, molekul atas organ, jaringan, dan sel. Yang melakukan diagnosis penyakit berdasarkan patologi anatomi adalah Spesialis patologi anatomiSpesialis patologi anatomi mendiagnosis penyakit seseorang berdasar pemeriksaan laboratorium. Ada beberapa teknik pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi diantaranya pemeriksaan Histologi (morfologi jaringan) atau Sitologi (Morfologi sel). Pada pemeriksaan lab analis kesehatan(teknisi laboratorium) bertugas membuat sediaan/preparat jaringan atau sel yang didapat dari si pasien. Sediaan harus dibuat sebaik mungkin agar spesialis dapat melakukan diagnosis yang akurat.Disini akan diuraikan secara singkat teknik pembuatan sediaan pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan histologi dilaboratorium Patologi Anatomi.
A. Sediaan untuk Pemeriksaan SitologiPada pemeriksaan sitologi yang diperiksa morfologi sel-sel cairan tubuh. Sediaan atau disebut duga preparat dibuat berupa apusan pada objek glass yang diwarani dengan pewarnaan tertentu.
1. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode GiemzaTujuan : Terutama yang diperiksa adalah detail dari morfologi untuk memeriksa intisel, untuk melihat apakah sel tersebut sel normal, sel noeplasma jinak atau ganas.Sampel : Aspirasi Jarum Halus (AJH), Endapan cairan yang telah disentrifugeBahan :- Larutan pewarna giemza- Larutan Phosfat buffer (ph 6,8)- MethanolProsedur kerja :1) Sediaan apus telah benar-benar kering di udara2) Fiksasi dengan methanol minimal 5 menit3) Cuci dengan aquadest, biarkan kering di udara4) Tetesi dengan pewarna Giemsa dengan perbandingan (GZ : Bufer phosfat = 1:4)5) Cuci dengan aquadest, kering diudara6) Tutup EZ Mount
2. Sediaan/preparat dengan pewarnaan metode PapaniculoMetode ini umumya digunakan untuk pewarnaan Papsmear (tapi terkadang ada juga selain papsmear diwarnai dengan metode ini).Papsmear digunakan untuk mendignosis Kanker serviks. Melihat ada tidaknya sel ganasSampel : apusan daerah peralihan endoserviks.
37
Bahan:-Haematoksilin mayer-EA (Eosin alkohol) 65/EA 36- Alkohol 95% dan Alkohol absolutUntuk EA 65 isinya: Eosine Y, Phospotung stic acid, light green, alk. AbsoluteProsedur Kerja :1) Sedian apusan difiksasi dengan alcohol 95% 15 menit2) Air mengalir sampai bebas alkohol 5 menit(rak preparat diletakan di wadah yang di beri air mengalir)3) Mayer haematoksilin 3-5 menit4) Air Mengalir 15 menit5) –Alkohol 95% 10 kali celup-Alkohol 95% 10 kali celup6) EA 3-5 menit7) –Alkohol 95% 5 kali celup-Alkoho 95% 5 kali celup- Alkohol absolute 5 kali celup8) Keringkan diudara9) Xylol/clearing10) Tutup dengan EZ mount
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk pembuatan sediaan/preparat papsmear:
- Pengambilan sampel harus mendapat sel-sel endoserviks sel-sel metaplasia dan sel-sel skuamosa (komponen daerah peralihan), harus harus sedikit mungkin mengandung darah.
- Sediaan harus segera difiksasi dengan alkohol 95%. Preparat yang kering belum difiksasi akan menyebabkan sel-sel rusak. Apabila tempat pengecatan jauh,setelah difiksasi keringkan dan masukkan kewadah yang dapat menjaga keamanan sediaan.
- Jika menggunakna hairspray tidak boleh terlalu dekat, karena akan menghapus atau tidak terfiksasi dengan baik.
*Kesalahan pada kriteria yang diatas bisa menyebabkan negatif palsu.
*Kesalahan pada pewarnaan dan screening dapat menyebabkan positif palsu.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan sitologi dan fiksasinya:
1. Objek glass harus benar-benar bersih, terus beri nomor sesuai data biar tidak tertukar,
2. ¾ luas kaca objek memanjang, kita apus merata,tidak terlalu tebal dan terlalu tipis
3. Segera fiksasi sesuai dengan pewarnaan yang akan digunakan
4. Untuk cairan, disentrifuge dahulu dan kemudian diambil untuk diproses
38
5. Untuk bahan sputum diambil bagian berwarna dan kental untuk dibuat pulasan. Bagian yang lain bisa gunakan sebagai sel blog.
B. Sediaan untuk Pemeriksaan Histologi
1. Tahap periksaan dimulai dari penerimaan sampel di tata usaha. Petugas penerima harus mengecek kembali sampel tidak boleh asal terima.
- Jaringan atau organ yang diterima harus dalam keadaan terfiksasi dengan formalin buffer 10%(perbandingan jaringan dan cairan fiksasi, 1:9 ) dan ditutup rapat.
* Buffer formalin 10% :
1. formaldehid 40% H.CHO = 100 ml
2. Sodium Phospat monobasic NaH2PO4.H2O = 4 gram
3. Sodium Phopat dibasic Na2HPO4 = 6.5 gram
4. Aquadest = 900 ml
- Identitas pasien harus dilengkapi seperti, nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,riwayat penyakit, Dibagian yang ingin diperiksa.
- Jenis sampel sampel harus di Cross check, apa sama jenis sampel yang ditulis dengan yang diterima
- Dan harus di tanya bagai mana menyampaian hasil pemeriksaan, Jika pasien ingin mengambil sampel sendiri harus ada surat pengantar.
- Nama dan alamat dokter pengirim sampel harus ada,
Dokter pengirim harus diingatkan jika ada yang tidak sesuai kriteria.
2. 2 Pemeriksaan Makroskopis
Pemeriksaan makaroskopis dilakukan oleh dokter tugas analis kesehatan/teknisi laboratorium mendampingi dokter, melakukan pencatatan hasil pemeriksaan dokter. Pada tahap ini dokter juga akan memotong jaringan yang dicurigai
Processing Jaringan
39
Untuk prosessing jaringan memakai alat tissue prosessor automatic yang bekerja ± 18,5 jam(bisa diubah sesuai kebutuhan). Tahapan prosessing jaringan yaitu, Fiksasi, Dehidrasi, clearing, dan infiltrasi paraffin.
Tahapan kerja pada Tissue Automatics Prosessor
1) Fiksasi
Botol 1. Buffer Formalin 10% 2 jam
2) Dehidrasi
Botol 2. Alkohol 70% 1,5 jam
Botol 3. Alkohol 80% 1,5 jam
Botol 4. Alkohol 95% 1,5 jam
Botol 5. Alkoho absolute I 1,5 jam
Botol 6. Alkoho absolute II 1,5 jam
Botol 7. Alkoho absolute III 1,5 jam
3) Clearing
Botol 8. Xylol I 1 Jam
Botol 9. Xylol II 1,5 Jam
Botol 10. Xylol III 1,5 Jam
4) Infiltrasi paraffin
Botol 11. Paraffin cair I 1,5 jam
Botol 12. Paraffin cair II 2 jam
Jumlah 18,5 jam
Fiksasi
Tujuan : Untuk mempertahankan struktur sel sehingga menjadi stabil secara fisik dan kimiawi dan mencegah terjadi dialysis atau pembengkakan pada rupture.
Rumus yang digunakan untuk memonitor fiksasi baik atau buruk diuji dengan rumus:
40
d = k √t
d = ketebalan jaringan (mm)
t = waktu yang dibutuhkan/tersedia
k = ketetapan daya fiksir dari atas dan bawah (2 X ketetapan masing-masing fiksasi)
Ketetapan fiksasi formalin 10% = 0.78
Dehidrasi
Tujuan : untuk menghilangkan/menarik air dalam jaringan dengan cara mulai konsentrasi terendah sampai konsentrasi tinggi.
Clearing
Tujuan : Menarik keluar kadar alcohol yang berada dalam jaringan, memberi warna yang bening pada jaringan dan juga sebagai perantara mesuknya kedalam paraffin.
Zat yang sering dipakai Xylol, tapi bisa juga dipakai : benzol, benzene, toluol,dll.
Untuk jaringan otak dan limfonoid lebih baik menggunakan koloform.
Infiltrasi paraffin
Tujuan : Mengisi rongga atau pori-pori yang ada pada jaringan setelah setelah ditinggal cairan sebelumnya(xylol).
Jumlah waktu : 18,5 Jam
4. . Pengeblokkan
Tujuan : Agar mudah dipotong menggunakan mikrotom untuk mendapatkan irisan jaringan yang sangat tipis (sesuai yang diharapkan).
Cara Kerja :
1) Hangatkan paraffin cair, pinset, dan penutup cetakan
2) Parafin cair dituangkan kedalam cetakan
3) Jaringan dari prosessing dimasukan kedalam cetakan yang telah disi paraffin cair, tekan jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan.
4) Tutup cetakan diambil, letakkan diatas cetakan dan di tekan.Pasang etiket di pinggir.
41
5) Biarkan sampai membeku
6) Setelah beku, keluarkan dari cetakan. Rapikan sisi-sisi blog. Ganti etiket dengan yang permanen
5. Pemotongan dengan Mikrotom
1) Sebelum pemotongan Masukan kedalam plastik yang diisi air dan letakkan di freezer ±15 menit atau diberi batu es.
2) Blok dijepit pada mikrotom kemudian dipotong dengan pisau mikroto.
Kemiringan : ±300 , Tebal blok paraffin ±2-5mikron.
3) Hasil pemotongan (berupa pita/irisan tipis yang saling bersambung) dimasukkan kedalam waterbath yang diisi air yang sudah dihangatkan 50 0 C, kemudian diambil dengan kaca objek (Meletakkan potongan di waterbath tidak boleh terbalik).
Cttn : Pisau dan waterbath bisa diberi alcohol 50% untuk menurunkan tegangan permukaan yang membantu merentangkan pita.
Objek glass jangan diolesi albumin gliserin karena biasanya albumin bila diinkubasi akan mengeras.menjaga agat jangan lepas saat pengecatan
6. Inkubasi
Tujuan : Menguapkan air yang terbawa oleh hasil potongan hingga jaringan menempel lebih kuat.
Cara kerja : inkubasi preparat di atas hot plate dengan suhu±500 C(dibawah titik cair paraffin) selama 15 menit
· Sebaiknya dialasi dengan kertas merang. · Untuk pengecatan imunnohistokima inkubasi 39C selama 1 malam
7. Pengecatan
Umumnya dalam pengecatan histopatologi digunakan cat Hetatoxylin-Eosin (HE) disamping cat khusus (PAS, gomori, ZN, Malory, dll) dan cat yang lebih khusus yaitu immunohistokimia (ER, PR, CD20, LMP, dll)
Proses pengecatan :
42
1) Deparafinisasi
Preparat masuk ke Xylol I, II, dan III masing-masing 3 menit
Setelah itu dilap pinggir jaringan dengan kain kasa.
2) Rehidrasi
Preparat masuk ke alcohol 100%, 95%, 80%, 70% masing-masing 2 menit
3) Preparat masuk ke air mengalir 3 menit
(air mengali ditampung dalam wadah )
Sebelumnya celup kedalam dua mangkok air 3 celup
4) Pengecatan Inti 7 menit
Preparat masuk ke dalam Meyer hematoksilin
5) Preparat masuk ke air mengalir 3 menit
(air mengali ditampung dalam wadah )
Sebelumnya celup kedalam dua mangkok air 3 celup
6) Counter Stain
Preparat masuk ke larutan eosin 7 celup
7) Preparat Masuk ke air wadah I, II, dan III 3 celup
8) Dehidrasi
Preparat masuk ke dalam alcohol 70 %, 80%, 95%,100% 3 celup
Setelah itu Dilap dengan kain kasa sekitar jaringan
dan tunggu sampai kering
9) Clearing
Preparat masuk Ke Xylol I, dan II masing-masing 2 menit
10) Mounting
43
11) Preparat diberi 1 tetes entelan dan ditutup objek glass
Keterangan:
Deparafinisasi
Tujuanya : Berfungsi melarutkan/melepaskan paraffin yang melekat pada preparat.
Rehidrasi
Berfungsi menghilangkan xylol yang terbawa oleh preparat dan memasukan air kedalam jaringan
Air mengalir
Melepaskan sisa cat atau cairan yang terbawa sebelumnya
Meyer Hematoksilin
Memberikan warna biru pada inti sel
Eosin
Memberi warna merah pada sitoplasma, jaringan ikat,dll
Dehidrasi
Melepaskan aira yang terbawa preparat
Clearing
Melepastan alcohol yang terbawa oleh preparat dan memberi warna bening pada preparat
Mounting
Memberi warna cerah dan sebagai pelindung dan pengawet jaringan dari mikroba dan bakteri.
44
4. Tuberkulosis (TBC)DEFINISITuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya yang mempinyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam hari. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun diluar paru.
1.EpidemiologiOrganisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (2 triliyun manusia ) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika latin. Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang kurang dan perpindahan penduduk. Di Amerika Serikat kebanyakan anak terinfeksi dirumahnya oleh seorang yang dekat padanya, tetapi wabah Tuberculosis anak juga terjadi pada sekolah-sekolah dasar serta penitipan anak. Penularan Tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet (tetes) lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung atau barang-barang yang terkontaminasi. Orang dewasa yang terinfeksi tuberkulosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis ke anak.
PENYEBABFaktor resiko tertinggi dari tuberculosis paru adalah :Berasal dari negara berkembangAnak-anak dibawah umur 5 tahun atau orang tuaPecandu alcohol atau narkotikInfeksi HIVDiabetes mellitusPenghuni rumah beramai-ramaiImunosupresiHubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positiveKemiskinan dan malnutrisi
Penularan kuman terjadi melalui udara dan diperlukan hubungan yang intim untuk penularannya. Selain itu jumlah kuman yang terdapat pada saat batuk adalah lebih
45
banyak pada tuberculosis laring dibandingkan dengan tuberculosis pada organ lainnya.
Berdasarkan penularannya maka tuberculosis dapat di bagi menjadi 3 bentuk, yakni:
Tuberkulosis PrimerTerdapat pada anak-anak. Setelah usian 6-8 minggu kemudian mulai dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberculin menjadi positif.
Reaktifasi dari tuberculosis primer10% dari infeksi tuberculosis primer akan mengalami reaktifasi, terutama setelah 2 tahun dari infeksi primer.
Tipe reinfeksiInfeksiyang baru terjadi setelah infeksi primer adalah jarang terjadi. Mungkin dapat terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus menerus oleh kuman tersebut dalam suatu keluarga.
2. Gejala klinisPermulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan-lahan. kadang – kadang tuberkulosis juga ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan. Gejala tuberkulosis pada anak dibagi menjadi 2, yaitu:Gejala umum/non spesifik, berupa :1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dengan penanganan gizi.2. Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik.3. Demam lama/berulang tanpa sebab jelas, dapat disertai keringat malam.4. Pembesaran kelenjar limfe superfisial multiple dan tidak nyeri.5. Batuk lebih dari 30 hari6. Diare persisten tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala spesifik sesuai organ yang terkena, yaitu:1. Tbc kulit/ skofuloderma.2. Tbc tulang dan sendio Tulang punggung (spondilitis ) : gibbus / bungkuko Tulang panggul (koksitis) : pincango Tulang lutut: pincang dan bengkoko Tulang kaki dan tangan, dengan gejala pembengkakan sendi dan pincang.
3. Tbc otak dan syaraf : meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk muntah dan kesadaran menurun4. Tbc mata : conjungtivitis, tuberkel khoroid.5. Tbc organ lainnya.
46
Tuberkulosis juga dapat menunjukan gejala seperti bronkopneuomonia, sehingga pada anak dengan gejala bronkopneumonia yang tidak menunjukan perbaikan dengan pengobatan bronkopneuomonia harus dipikirkan juga kemungkinan menderita tuberkulosis.
Tanda-tanda klinis dari tuberculosis adalah terdapatnya keluhan-keluhan berupa:Batuk (lebih dari 3 minggu)Sputum mukoid atau purulenNyeri dadaHemoptisisDispneDemam dan berkeringat, terutama pada malam hariBerat badan menurunAnoreksiaMalaiseRonki basah di apeks paruCara penularanPenyakit ini dapat tertular kepada orang yang melalui udara yang mengandung kuman tbc.Kewaspadaan MasyarakatBila masyarakatmenjumpai anggota keluarga atau tetangga dilingkungan dengan gejala diatas segera dibawa ke Puskesmas untuk pemeriksaan dahak si penderita.Pencegahan PenyakitPencegahan dilakukan dengan:Perbaikan giziPengadaan rumah sehat denagn ventilasi yang memadaiPerilaku hidup bersih dan sehatPengobatanPengobatan tergantung pada tipe respirasi
3. DiagnosisDiagnosis Tuberkulosis paling tepat didasarkan adanya basil Tubrlulosis pada bahan yang diambil dari pasien berupa sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain lain tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat sehingga diagnosis berdasarkan atas:1. Gambaran klinis.2. Gambaran radiologis.3. Uji tuberkulin.Gambaran klinis pada anak menunjukan gejala yang tidak spesifik, seperti:1. Setiap anak yang kurang gizi / berat badan tidak mau naik, nafsu makan menurun,
47
sering sakit, batuk, pilek, mencret, keringat malam, harus dicurigai terinfeksi basil tuberkulosis.2. Kontak dengan penderita Tbc dewasa.3. Pemeriksaan fisik biasanya anak kurus dan lemah.4. Limfadenopati supraklavikuler atau leher yang multiple.5. Pemeriksaan darah tepi : LED meningkat. Limfositosis dan monositosis.
Sedangkan gambaran radiologis menunjukan adanya pembesaran kelenjar hilus, pembesaran kelenjar para trakeal. Gambaran radiologis lain dapat ditemui yaitu efusi pleura, milier, atelektasis, emfisema lobus, kavitasi jarang pada anak dan penebalan pleura.
Diagnosis lain pada TBC dapat ditegakan dengan Uji Tuberkulin. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting, dan lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui konversi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukan kelainan klinis dan radiologis, demikian pula halnya bila terdapat konversi uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensivitas terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi.Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara moro dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikkan intrakutan dipermukaan voler lengan bawah sebanyak 0,1 ml. Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukan dapat diketahui banyaknya.Reaksi lokal yang terdapat pada uji mantoux terdiri atas :1. Eritema karena vasodilatasi perifer.2. Edema karena reaksi antigen yang disuntikan dengan antibodi.3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Tuberkulin yang biasanya dipakai ialah old tuberkulin (OT) dan Purified Protein Derivative tuberculin (PPD), biasanya PPD RT 23 TU atau PPD S 5TU, dengan dosis baku 0,1ml.Kriteria uji positif bila indurasi lebih 10mm, lebih 15 mm pada anak yang telah mendapat vaksinasi BCG dan lebih 5 mm pada anak kontak erat dengan penderita Tbc aktif. Uji mantoux negatif belum tentu mengesampingkan adaya infeksi atau penyakit Tbc. Uji mantoux dapat positif atau negatif palsu, misalnya pada penderita tuberkulosis dengan malnutrisi energi protein, tuberkulosis berat, morbilli, varisela, pertusis, difteri, tifus abdominalis dan pemberian kortikosteroid yang lama, vaksin virus misalnya poliomyelitis, dan penyakit ganas misalnya penyakit Hodgkin, uji tuberkulin dapat
48
menjadi negatif untuk sementara. Diagnosis pasti ditegakan berdasarakan basil TBC yang positif pada biakan.
Kriteria TBC menurut Smith dan Marquis (1981)• Uji tuberkulin positif• Gambaran klinis sesuai dengan Tbc• Riwayat kontak dengan penderita Tbc dewasa• Gambaran rongten paru sesuai Tbc• Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan PA kelejar limfe, tulang, sumsum tulang , lesi dikulit dan pleura.• Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan Tbc( Ditegakan diagnosa Tbc bila terdapat 2 kriteria positif).Petunjuk diagnosis Tbc anak menurut WHO :I. Dicurigai TBC Riwayat kontak dengan penderita Tbc Anak dengan :• Klinis tidak membaik setelah campak , batuk rejan• BB turun, batuk mengi tidak baik dengan antibiotik• Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakitII. Mungkin TbcAnak dicurigai Tbc ditambah : Uji tuberkulin positif Foto rontgen paru sugestif Tbc Pemeriksaan histopatologis biopsi sugestif Tbc Respon baik pada OATIII. Pasti tuberculosis : Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan langsung atau biakan Identifikasi basil Tbc pada karakteristik biakan.
4.PengobatanPrinsip pengobatan tuberkulosis adalah harus membunuh semua kuman tuberkulosis dengan cepat. Kuman yang pertama kali di bunuh adalah kuman yang aktif membelah. Penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) sebaiknya disesuaikan dengan 3 sifat kuman tuberkulosis yaitu ketergantungan akan oksigen, pertumbuhan lambat dan cepatnya timbul muatan resesif. Kuman tuberkulosis memerlukan waktu untuk pembelahan sekitar 20 jam, oleh karena itu pemberian OAT cukup diberikan dosis sekali sehari. Berdasarkan sifat-sifat kuman tersebut OAT dibagi dalam beberapa kelompok diantaranya :
Kelompok AKuman yang pertumbuhannya cepatOAT yang dipakai INH (palingkuat) , rifampisin dan streptomisin.
49
Kelompok BKuman semi dormant/persisten, kadang metabolisme aktif dalam waktu singkatOAT yang cocok adalah rifampisin dan tidak bisa oleh OAT lain.Kelompok CSemi dormant, pertumbuhan dengan lambat, lingkungan PH asamOAT yang cocok hanya pirazinamidKelompok DDormantTidak bisa dibunuh oleh OAT apapun.
Secara nasional pengobatan tuberkulosis berpedoman pada petunjuk pengobatan tuberkulosis dari WHO . Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam 4 kategori yang merupakan kombinasi dari beberapa OAT. Kategori I ditujukan untuk kasus-kasus baru dengan apusan positif, tuberkulosis pulmoner berat, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis desiminata dan sebagainya.Kategori II di indikasikan untuk kasus-kasus relaps dan kegagalan pengobatan (apusan positif). Sedangkan kategori III ditujukan untuk tuberkulosis paru apusan negatif dengan keterlibatan parenkim terbatas, dan tuberkulosis ektra pulmoner lain yang tidak termasuk kategori I. Pengobatan dengan kategori IV diajukan dalam kasus tuberkulosis kronik. Dengan metode pengobatan ini, apabila dilaksanakan dengan benar dan kontrol serta evaluasi yang tepat pada umumnya sudah memadai.Pengobatan Tbc anak dipilih OAT yang dapat menembus berbagai organ termasuk selaput otak, karena pada anak resiko Tbc ektra pulmo lebih besar khususnya Tbc diseminata dengan meningitis. Farmakokinetik OAT anak berbeda dengan dewasa, toleransi anak terhadap dosis obat perkilogram berat badan lebih tinggi.Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan adalah INH dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari (maksimal 400mg/hari), Rifampisin dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari (maksimal 600mg/hari) , Pirazinamid 25-35mg/kgBB/hari (maksimal 2g/hari ), Streptomisin dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari (maksimal 750-1g/hari), obat lainnya adalah Etambutol dengan dosis 15-20mg/kgBB/hari (maksimal 2,5g/hari).Untuk pengobatan Tbc menggunakan rumus 2HRZ 4H2R2, artinya selama 2 bulan INH, Rifampisin diminum setiap hari, dilanjutkan 2 kali seminggu selama 4 bulan. Sedang Pirazinamid selama 2 bulan diminum setiap hari. Dalam pengobatan Tbc ada 2 fase yang perlu diperhatikan, yaitu Fase Intensif dan Fase Pemeliharaan.INH (isoniazid) bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif ektra seluler dan basil dalam makrofag, diberikan peroral selama 18-24 bulan. Streptomisin bekerja bakterisidal hanya terhadap basil yang tumbuh aktif ekstraseluler, diberikan tiap hari selama 1-3 bulan kemudian dapat dilanjutkan 2-3 kali seminggu selama 1-3 bulan lagi. Obat yang lain adalah Rifampisin diberikan sekali sehari peroral saat lambung kosong, rifampisin biasanya diberikan selama 6-9 bulan. Sedangkan pirazinamid diberikan dua kali sehari selama 4-6 bulan. Etambutol diberikan selama satu tahun.
50
Obat- obat Tbc mempunyai beberapa efek samping yang perlu diperhatikan, diantaranya hepatoxic pada semua jenis OAT, sedangkan yang spesifik menimbulkan efek samping adalah Etambutol yaitu Neoritis Optika, sehingga pada anak-anak obat ini tidak dianjurkan
51
V. Kerangka Konsep
52
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Nn. Fanny 22tahun yang mengeluh ada benjolan di leher kiri dan kanan karena
mengalami limfadenitis chronic granulomatous specific tuberculosis.
53
Daftar Pustaka
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31369/4/Chapter%20II.pdf
http://www.berbagimanfaat.com/2010/06/tuberkulosis-paru.html
http://www.herryyudha.com/2012/08/diagnosa-dan-penatalaksanaan_1.html
http://smileandsemangat.wordpress.com/tag/pemeriksaan-histopatologi/
http://widdels.blogspot.com/2010/11/biopsi-dan-pemeriksaan-darah-lengkap.html
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/03/24/respon-imun/
http://patologifkusu.wordpress.com/
54