lapsus epistaksis

28
LAPORAN KASUS EPISTAKSIS ANTERIOR Oleh : Laili Khairani H1A 007 033 Pembimbing: dr. Hamsu Kadrian, Sp.THT DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN 1

Upload: laili-khairani

Post on 09-Aug-2015

659 views

Category:

Documents


150 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Epistaksis

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS ANTERIOR

Oleh :

Laili Khairani

H1A 007 033

Pembimbing:

dr. Hamsu Kadrian, Sp.THT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ILMU PENYAKIT

TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSUP NTB

2012

1

Page 2: Lapsus Epistaksis

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung dan merupakan suatu keluhan atau tanda,

bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit

umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga

menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin

hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang

dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun

jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal apabila

tidak segera ditolong.

Epistaksis, yaitu perdarahan dari hidung, dapat berupa perdarahan anterior dan

perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum

bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi yang sesungguhnya

dari epistaksis tidak diketahui karena pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini

tidak dilaporkan.

Dalam menangani pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien.

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari

epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa: rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan nasoendoskopi.

Penting juga untuk melakukan pengukuran tekanan darah.

2

Page 3: Lapsus Epistaksis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Vaskularisasi Hidung

Suplai vaskular yang kaya pada bagian atas rongga hidung berasal dari arteri etmoid anterior

dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian

bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya

ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

posterior konka media. Bagian depan hidung juga mendapat perdarahan dari cabang-cabang

arteri fasialis. (1,4)

Sebagian besar kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior dari hidung, karena pada bagian

depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid

anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor, yang disebut Pleksus Kiesselbach.

Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering

menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak. Perdarahan pada bagian posterior dari

hidung berasal dari arteri sfenopalatina. (1,4)

Gambar 1. Suplai darah daerah septum nasi

3

Page 4: Lapsus Epistaksis

Gambar 2. Suplai darah dinding lateral hidung

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

merupaka faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)

2.2. Epistaksis

2.2.1. Definisi

Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau

sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala

suatu penyakit. Sedangkan Epistaksis anterior merupakan perdarahan pada bagian

depan hidung yang berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau

dari arteri etmoidalis anterior. (1,6)

2.2.2. Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya. Epistaksis dapat

disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. (1)

4

Page 5: Lapsus Epistaksis

a. Kelainan lokal

Trauma

Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya terjadi akibat usaha mengeluarkan

sekret hidung dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan

sebagainya. Selain itu iritasi gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat

menyebabkan epistaksis.(2,5)

Infeksi lokal

Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti

lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. (2,5)

Tumor

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-

kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, serta

angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. (2,5)

Kelainan kongenital

Kelaian kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis

herediter (hereditary hermorhagic telangiectasia/Oasler’s disease). Perforasis septum nasi atau

abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi,

bila mengalami deviasi atau peforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung

mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskannya dengan

jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane

mukosa septum dan kemudian perdarahan.(2,5)

Pengaruh efek perubahan tekanan udara atau tekanan atmosfer

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat

dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan zat-zat kimia di tempat industry yang

menyebabkan keringnya mukosa hidung. (1)

5

Page 6: Lapsus Epistaksis

b. Kelainan sistemik

Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis dan diabetes melitus sering menyebabkan epistaksis. Epistaksis

akibat hipertensi biasanya bersifat hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. (1,3)

Gangguan hormonal

Pada wanita hamil dan menopause sering terjadi epistaksis. Hal ini diakibatkan oleh

perubahan hormonal yang terjadi pada wanita dalam kondisi tersebut.(1,3)

Kelainan darah

Kelainan darah yang menjadi penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,

bermacam-macam anemia serta hemofilia.(1)

Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan

morbili juga dapat disertai epistaksis. (1)

2.2.3. Patofisiologi

Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada

anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada epistaksis anterior bersumber

dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum

bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal

dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada

tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan

trauma.

Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan

udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada

pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti

6

Page 7: Lapsus Epistaksis

menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma

ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi

pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi

saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.(5)

2.2.4. Sumber Perdarahan

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan

biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach

(little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di

ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha

inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.

Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi

ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.

Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien

dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005)

melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.(5)

2.2.5. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan

atau belakang hidung. Perhatian dituju pada tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian

hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Anamnesis juga ditujukan untuk mencari riwayat

penyakit pasien yang menjadi penyebab epistaksis. (2,3)

Pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari bagian depan hidung. Perdarahan dari

bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis

7

Page 8: Lapsus Epistaksis

anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat

hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. (2,3)

Evaluasi sumber dan penyebab epistaksis

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi duduk atau

posisi kepala yang lebih ditinggikan. Semua kotoran dalam hidung baik cairan, secret maupun

darah yang sudah membeku dibersihkan. Sesudah dibersihkan, semua lapangan hidung dalam

diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung

dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anastesi lokal yaitu larutan

pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi laruta adrenalin 1/5000-1/10.000 ke dalam

hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga

perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung

dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. (2)

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang

bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien yang mengalami

perdarahan hidung akut yang aktif dan prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.(2)

Pemeriksaan selanjutnya yang diperlukan untuk mengevaluasi epistaksis adalah: (1,2)

1. Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,

mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiks

dengan cermat.

2. Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis

berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

3. Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi

dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

4. Rontgen sinus

Rontgen penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi dengan menggunakan foto polos

atau CT scan.

8

Page 9: Lapsus Epistaksis

5. Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah

platelet dan waktu perdarahan.

6. Skrining riwayat penyakit

Pemeriksaan-pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mencari riwayat penyakit yang

mendasari epistaksis, seperti pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan

ginjal, gula darah, dan hemostasis.

2.2.6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah:

a. Perbaiki keadaan umum

Keadaan hemodinamik dan patensi jalan nafas harus dipastikan dalam kondisi baik.

Resusitasi cairan harus segera dilakukan bila terjadi deplesi volume cairan yang berlebihan pada

pasien.(2,4)

Penderita diperiksa dalam posisi duduk atau dalam posisi kepala yang ditinggikan.

kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Posisi ini dapat mencegah darah

mengumpul di bagian posterior faring sehingga mencegah terjadinya nausea dan obstruksi jalan

nafas. (2,4)

b. Cari sumber perdarahan

Segala tindakan harus dilakukan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan yang tidak

mampu dihentikan dengan teknik kompresi simpel. Penilaian harus dilakukan pada ruangan

dengan penerangan cukup. Perdarahan pada epistaksis anterior berasal dari bagian depan rongga

hidung, yang biasanya terjadi pada pleksus kiesselbach atau berasal dari bagian depan konka

inferior. (2,4)

Sebelum evaluasi, rongga hidung di anastesi lokal dengan menggunakan tampon kapas

yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 2% topical dengan epinefrin 1/5000-1/10.000

atau kombinasi lidokain 4% topical dengan penilefrin 0,5%. Tampon ini dimasukkan dalam

rongga hidung selama 5-10 menit untuk memberikan efek anastesi lokal dan vasokonstriksi. (1,3)

9

Page 10: Lapsus Epistaksis

c. Hentikan perdarahan

Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan

cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama

beberapa menit baik dengan tangan. Penekanan langsung ini dapat dilakukan selama 5-20 menit.

Biasanya 65-80% kasus epistaksis anterior akan berhenti setelah pemberian kompresi langsung

ini. (2,4)

Jika dengan kompresi langsung perdarahan tidak kunjung berhenti, dan apabila telah

ditemukan sumber perdarahan berasal dari bagian anterior rongga hidung (epistaksis anterior),

maka langkah penatalaksanaan selanjutnya yang dapat dilakukan pada pasien tersebut adalah:

1. Kauterisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan

tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :

100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan

dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal

dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak

nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam

triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan

tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.

Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain

menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan

electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.(5)

2. Tampon Anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat

diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau

kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari

dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s

nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior. (5)

10

Page 11: Lapsus Epistaksis

2.2.7. Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air

mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus

nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,

haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan

melalui mulut terlalu kencang ditarik.

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang

turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan

akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

2.2.8. Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara

lain :

1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua

lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur

1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai

hangat kuku.

2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.

3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton

bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.

4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.

5. Bersin melalui mulut.

6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.

7. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau

ibuprofen.

8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.

9. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan

iritasi.

11

Page 12: Lapsus Epistaksis

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Usia : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jatiwangi, Kota Bima

Tanggal Pemeriksaan: 26 November 2012

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama : Keluar darah dari lubang hidung sebelah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke POLI THT mengeluhkan keluar darah dari lubang hidung sebelah kiri

sejak 13 tahun yang lalu (Usia 10 tahun). Pasien mengeluhkan darah yang keluar

berwarna merah segar, dengan jumlah ± 20 cc. Darah yang keluar tidak menentu

waktunya, terkadang saat pasien lelah bekerja, duduk santai dan beristirahat ataupun

setelah bangun tidur. Pasien mengaku dalam 1 bulan dapat keluar darah 4 – 5 kali, namun

keluar darah yang terakhir pada 3 minggu yang lalu hanya 1 kali selama bulan ini. Darah

akan berhenti mengucur setelah pasien menyumbat lubang hidungnya menggunakan

kapas atau kassa dalam waktu yang agak lama. Riwayat trauma sebelumnya disangkal

oleh pasien. Pasien juga tidak pernah mengorek-ngorek hidungnya, tidak ada keluhan

hidung seperti pilek, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, ataupun merasa kering dan

panas. Riwayat perdarahan gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal

oleh pasien. Pasien terkadang mengeluhkan pusing saat darah keluar dari hidungnya, dan

badannya sedikit lemas. Tidak ada mual muntah, makan minum sehari-hari normal dan

untuk BAB serta BAK setiap harinya lancer.

12

Page 13: Lapsus Epistaksis

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat mimisan sebelumnya (+), riwayat hipertensi (-),

riwayat penyakit jantung (-), diabetes mellitus (-), sakit ginjal (-).

Riwayat Penyakit Keluarga : Didalam keluarga tidak ada yang mengalami keluhan

serupa seperti pasien.

Riwayat Alergi : Pasien tidak ada alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan.

Riwayat Pengobatan : Setiap perdarahan keluar biasanya pasien memberikan tampon

pada hidungnya untuk menghentikan perdarahan, dan terkadang pasien minum Asam

Traneksamat untuk menghentika perdarahannya.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Temperatur : 36,4 oC

Status Lokalis

Pemeriksaan telinga

No. Pemeriksaan

Telinga

Telinga kanan Telinga kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

13

Page 14: Lapsus Epistaksis

3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-)

Serumen (+), hiperemis (+),

furunkel (-), edema (-)

Serumen

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (+)

MT intak

Cone of light

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), kolesteatom (-),

cone of light (-)

Cone of light

Pemeriksaan hidung

Gambar

Pemeriksaan Hidung Hidung kiri Hidung kanan

Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi

(-), nyeri tekan (-),

deformitas (-)

Bentuk (normal), hiperemi

(-), nyeri tekan (-),

deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa

Hiperemi (+).

Bentuk (normal), mukosa

pucat

Konka nasi media Mukosa normal, sekret (-), Mukosa normal, sekret (-),

14

Page 15: Lapsus Epistaksis

massa berwarna putih

mengkilat (-), sekret pada

meatus nasi media (-)

massa berwara putih

mengkilat (-), sekret pada

meatus nasi media (-)

Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi

(-)

Edema (-), mukosa

hiperemi (-)

Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-),

perdarahan (-), ulkus (-)

Deviasi (-), benda asing(-),

perdarahan (-), ulkus (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi Normal

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),

lender (-)

Tonsila palatine Kanan Kiri

T1 T1

Fossa Tonsillaris

dan Arkus Faringeus

hiperemi (-), detritus (-),

kripte melebar (-)

hiperemi (-),detritus (-), kripte

melebar (-)

15

Page 16: Lapsus Epistaksis

Pembesaran KGB : (-)

3.4. Rencana Pemeriksaan

Darah Lengkap

BT, CT

3.5. Diagnosis

Epistaksis Anterior

3.6. Terapi

Menjaga kestabilan Air way, breathing, circulation.

Karena pada pasien ini datang ke Rumah Sakit dalam keadaan tenang (tidak dalam

keadaan epistaksis), maka di berikan beberapa KIE jika pasien mengalami epistaksis

ulangan kembali, sambil mencari etiologi pasti terjadinya epistaksis pada pasien

tersebut.

3.7. KIE

1. Epistaksis yang terjadi pada pasien belum diketahui secara pasti penyebabnya, oleh

karena itu pasien diberitahukan suatu saat nanti kejadian seperti ini akan sering terjadi

lagi.

Jika epistaksis yang dialami pasien kambuh lagi maka disarankan pada pasien untuk

memposisikan kepala ditinggikan 45, kemudian dilakukan Pemasangan tampon anterior

untuk menghentikan perdarahannya. Yang digunakan untuk menjadi tampon dapat

kapas atau kassa bersih.

2. Dari etiologi yang memungkinkan pada pasien ini mengalami epistaksi dikarenakan

kelainan pada pembuluh darah, sehingga pasien disarankan untuk jangan mengucek-

ngucek terlalu keras pada hidungnya.

3. Diet bebas

3.8. Prognosis

Dubia ad bonam

16

Page 17: Lapsus Epistaksis

BAB IV

PEMBAHASAN

17

Page 18: Lapsus Epistaksis

Pada pasien didiagnosis dengan epistaksis anterior, berdasarkan sumber perdarahannya.

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach. Pada pasien ini didapatkan dari hasil

pemeriksaan terlihat focus perdarahan pada septum nasi anterior sepertiga daerah septum dekat

dengan vestibulum nasi. Hal ini menguatkan diagnosis, perdarahan yang terjadi pada pasien ini

adalah epistaksis anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach dikarenakan berbagai sebab seperti

trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor pada hidung, sebab sistemik adanya riwayat

hipertensi, ataupun tidak sedikit pasien dengan epistaksis idiopatik.

Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadi epistaksis karena idiopatik. Berdasarkan

anamnesis pasien mengaku keluar darah dari lubang hidung sebelah kiri sejak 13 tahun yang

lalu (Usia 10 tahun). Pasien mengeluhkan darah yang keluar berwarna merah segar, dengan

jumlah ± 20 cc. Darah yang keluar tidak menentu waktunya, terkadang saat pasien lelah bekerja,

duduk santai dan beristirahat ataupun setelah bangun tidur. Pasien mengaku dalam 1 bulan dapat

keluar darah 4 – 5 kali, namun keluar darah yang terakhir pada 3 minggu yang lalu hanya 1 kali

selama bulan ini. Darah akan berhenti mengucur setelah pasien menyumbat lubang hidungnya

menggunakan kapas atau kassa dalam waktu yang agak lama. Riwayat trauma sebelumnya

disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak pernah mengorek-ngorek hidungnya, tidak ada keluhan

hidung seperti pilek, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, ataupun merasa kering dan panas.

Riwayat perdarahan gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh pasien.

Pasien terkadang mengeluhkan pusing saat darah keluar dari hidungnya, dan badannya sedikit

lemas. Jadi berdasarkan anamnesis tersebut tidak terdapat hal spesifik yang penentukan

penyebab terjadinya epistaksi pada pasien ini, sehingga disimpulkan pencetusnya idiopatik.

Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon anterior, ini dilakukan untuk

menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach agar perdarahan dapat berhenti, disamping tetap

menjaga kestabilan Airway, breathing, circulation. Pemberian antibiotic bertujuan untuk

mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2 x 24 jam.

Pemberian KIE pada pasien dengan menginformasikan mengenai perdarahan yang

diderita belum diketahui penyebabnya sehingga suatu saat kemudian hari bias saja kejadian

seperti ini dapat terulang kembali. Dan dikarenakan kemungkinan pada pasien mengalami

kelainan pembuluh darah, maka disarankan untuk tidak mengucek-ngucek hidung terlalu keras

apabila terasa gatal pada hidung.

18

Page 19: Lapsus Epistaksis

Daftar Pustaka

19

Page 20: Lapsus Epistaksis

1. Mangunkusumo, E. dan Wardani, R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.

Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi

keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 155-159.

2. Ichsan, M. 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.

[Accessed from: http://www.kalbe.co.id/ files/cdk/files/PenatalaksanaanEpistaksis.pdf/]

3. Munir, D., Haryono, Y., Rambe, A.Y.M. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.

Volume 39 No. 3. Library of USU. [Accessed from: http://repository.usu.ac.id]

4. Kucik, CJ. and Clenney, T. 2005. Management of Epistaxis. American Family Physician,

Vol. 71, No. 2. [Accessed from: http://www.aafp.org/]

5. Schlosser, RJ. 2009. Epistaxis: Clinical Practice. The New England Journal of Medicine

360;8. [Accessed from: http://www.nejm.org/]

6. Mansjoer A, dkk, 2008. Epistaksis. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 cetakan 9, Jakarta

FKUI. Hal 95-97

20