lapsus mh fix.doc

80
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal sekarang. Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 1

Upload: muhammad-tamlikha

Post on 17-Jan-2016

110 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus MH fix.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal

sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari

bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.

Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding

dengan kusta yang kita kenal sekarang.

Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah

suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisma

yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik penyakit ini secara klinis

terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa yang disertai

hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf perifer dan BTA positif pada apusan

kulit atau material biopsy.

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran

pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae

yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu

Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat

sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment

(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi

sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi

kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi

sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya

stigma terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah

dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan,

dan pencegahan lepra masih terus diteliti.1

M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga menyebabkan

kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat penurunan prevalensi

infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah implementasi multidrug therapy, kasus

baru yang dideteksi masih tinggi, menunjukkan adanya transmisi yang aktif.1

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 1

Page 2: Lapsus MH fix.doc

Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada respon

immune penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan gejala kearah tipe

tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang buruk menunjukkan gejala

kearah lepromatosa.1

BAB II

STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. J

Umur : 58 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD

Alamat : Sumbawa

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 2

Page 3: Lapsus MH fix.doc

Status perkawinan : Menikah

No. CM : 144356

Tanggal MRS : 24 Februari 2015

2.2. Anamnesis

Keluhan utama

Bercak kemerahan pada muka, tangan, badan dan kaki

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSU Kota Mataram mengeluh sejak 3

minggu yang lalu timbul keluhan bercak kemerahan sebesar uang koin pada muka,

tangan, badan dan kaki. Awalnya pasien mengaku lebih kurang 7 bulan yang lalu pada

muka terasa seperti kesemutan tertusuk-tusuk dan panas yang hilang timbul, tiba-tiba

timbul bercak merah seperti benjolan yang berawal dari muka, kemudian menjalar ke

kedua lengan sampai ke kedua tangan, punggung, dada, dan kedua tungkai. Bercak yang

dirasakan pasien juga disertai dengan nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluh gatal-gatal

pada tempat bercak kemerhan, gatal-gatal ini paling sering dirasakan pada muka dan

gatal-gatalnya tidak teratur. Pasien mengatakan, setiap terjadi gatal-gatal muka semakin

membengkak, gatalnya dirasakan lebih kurang 1 jam, gatalnya bisa dirasakan 10x dalam

sehari. demam (-). Keluhan mati rasa, alis dan bulu mata rontok disangkal oleh pasien.

BAB (+) normal, BAK (+) normal.

Riwayat penyakit sebelumnya

Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya

Riwayat penyakit keluarga

Terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit kusta juga yaitu saudra pasien.

Saudara pasien sudah meninggal akibat penyakit kusta yang ia alami

Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengalami DM, hipertensi

Riwayat pengobatan

Pasien mengaku sempat berobat ke Puskesmas Alas, tetapi lupa nama obatnya, pasien

juga mengaku ke dokter praktik, tetapi tidak tau nama obatnya.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 3

Page 4: Lapsus MH fix.doc

Riwayat alergi

Pasien menderita Asma, tetapi sejak satu tahun ini tidak pernah kambuh

2.3. Pemeriksaan Fisik

Status Present

KU : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 84 kali per menit

Respirasi : 20 kali per menit

Suhu aksila : 36,5o C

Status General

Kepala : Normochepali

Mata : Anemia (-/-), Ikterus (-/-)

Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : Distensi (-) , Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, Oedem (-)

Status Dermatologi

Regio generalisata : tampak plakat, makula dan papul ukuran bervariasi antara

diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat, konsistensi

lunak, nyeri tekan (-). Pada telinga kanan dan kiri tampak adanya penebalan daun

telinga. Madarosis dan alopesia pada alis dan bulu mata (-)

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 4

Page 5: Lapsus MH fix.doc

Pemeriksaan Saraf Tepi

Sensorik

a. Sensasi raba : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal

b. Sensasi nyeri : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.

c. Sensasi suhu : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 5

Page 6: Lapsus MH fix.doc

Motorik

Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.

Pembesaran saraf

Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan

N. Aurikularis Magnus Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Ulnaris Pembesaran d/s (+/-), Nyeri (+/-)

N. Tibialis Posterior Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Peroneus Lateralis Komunis

Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

2.4. Diagnosa Banding

Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I

Pitriasis Versikolor

Vitiligo

Birth Mark

Skrofuloderma

Dermatofitosis

2.5. Pemeriksaan BTA

Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula, lengan dan tungkai, pada hari rabu

tanggal 25 Februari 2015. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :

BI (Bakteri Index) : +3

MI (Morfologi Index) : 80 %

2.6. Diagnosa Kerja

Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I

2.7. Rencana Terapi

Pemberian MDT untuk Kusta Multibasilar di Puskesmas :

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 6

Page 7: Lapsus MH fix.doc

Rifampisin 600 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan.

Dapsone 100 mg setiap hari

Klofazimin 300 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan dan kemudian

dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah.

Prednisone peroral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari single dose pada pagi hari setelah

sarapan. Setelah reaksi dapat dikontrol, prednisolone kemudian di tapering hingga dosis

20 mg/ hari, kemudian tappering selanjutnya hingga 5mg/ hari.

2.8. Edukasi

Pengobatan penyakit kusta ini berlangsung lama, kurang lebih selama 2-3 tahun.

Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis di Puskesmas setiap bulan dan

secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan di RSUP NTB. Saat pemeriksaan

diperhatikan pula adanya tanda-tanda reaksi kusta.

Penyakit kusta ini dapat ditularkan secara inhalasi sehingga pasien disarankan untuk

selalu menggunakan masker.

Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot, segera kembali

untuk memeriksakan diri ke dokter. Contohnya berupa luka atau lepuh yang tidak terasa

sakit dan mati rasa pada tangan atau kaki. Juga jika terdapat gangguan pada aktivitas

sehari-hari, seperti memasang kancing baju, memegang pulpen, mengambil benda kecil,

atau kesulitan berjalan. Adanya kelainan pada mata berupa penglihatan kabur, kesulitan

membuka dan menutup mata, serta alis dan bulu mata menjadi rontok.

Perhatikan pula adanya tanda-tanda kelainan pada saraf perifer, seperti clawing hand,

penebalan pada daun telinga, pembesaran saraf di leher, serta claw toes dan foot drop.

Penderita dijelaskan bahwa dirinya mengalami reaksi kusta dan diberikan obat

prednisone untuk mengobati reaksinya. Perlu diingat bahwa pemberian prednison harus

di bawah pengawasan dokter Puskesmas karna prednison bisa menyebabkan efek

samping yang serius. Oleh karena itu penderita harus mematuhi aturan pemberian

prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena dapat menyebabkan rebound

phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi, malaise). Sementara efek samping

pemakaian jangka panjang adalah gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah

infeksi, perdarahan atau perforasi pada penderita tukak lambung, osteoporosis, cushing

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 7

Page 8: Lapsus MH fix.doc

syndrome, moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan,

timbunan lemak supraklavikuler.

2.9. Prognosis

Qua ad Vitam : dubia

Qua ad Sanationam : dubia ad bonam

Qua ad Kosmetikam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI2

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae merupakan

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 8

Page 9: Lapsus MH fix.doc

bakteri tahan asam penyebab penyakit kusta atau sering juga disebut dengan lepra.

Berbentuk batang, bakteri tahan asam dan tahan alcohol, bakteri gram positif, tidak

berspora, tidak bergerak, hidup didalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak

dapat di kultur dalam media buatan.Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan

mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan

saraf pusat.

Bagian tubuh yang dingin merupakan predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior

mata, kulit terutama cuping telinga dan jari-jari.

Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu

interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah

tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

3.2. EPIDEMIOLOGI2

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke

seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit

tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan

terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam

negara sendiri ternyata berbeda-beda.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab,

cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan

dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia .

Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae .

Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan

di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,

penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang

mengandung 107 basil per gram jaringan.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut,

kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung

banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat

implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 9

Page 10: Lapsus MH fix.doc

anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur

14 tahun didapatkan 13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi

tertinggi terdapat pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.

Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah

tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin rendah sosial

ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat

membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang

mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa.

Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun

85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan

tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan

problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di

16 negara , dan 82% nya di 5 negara yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria.

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di

sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun

2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru

tahun 2008 baru tercatat 249.0007. Di Indonesia, distribusi tidak merata, yang tertinggi

antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per

10.000 penduduk adalah 0,73.

3.3. ETIOLOGI2,3

Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A

HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam

media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam

dan alkohol serta Gram-positif. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-

satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam

media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang

Armadillo.Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 10

Page 11: Lapsus MH fix.doc

dengan kuman lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata

2 – 5 tahun.

Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri

dari 2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan

lipopolisakarida pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan

yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil

mengandung rangka peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam

mycolic.Protein imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.

Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:

M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media

buatan.

Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.

M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-

Dihydroxyphenylalanin).

M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh

dalam saraf perifer.

Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil

dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid

dan negatif pada penderita lepromatous.

Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,

otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan penyakit

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 11

Page 12: Lapsus MH fix.doc

menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya.

Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru

muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan

tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.

Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi

dan kebutuhan akan antibiotik.

Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang

datar.Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-

sarafnya.

Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar

dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan

bulu mata.

Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran

kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid;

jika kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.

Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi

reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf

tepi dan kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.Pengobatan yang

diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau

talidomid.

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan

hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam

saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk

merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami

kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai

dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan

jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi

tampak mengerikan.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 12

Page 13: Lapsus MH fix.doc

Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di

hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.

Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat

menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

3.4. FAKTOR RESIKO2

Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan

juga penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi

penyakit ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri M.

leprae maka orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat – obat

immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini

Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak – anak.

Kebersihan. Berganti – ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula

menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga

kebersihan kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.

Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak

memadai, air yang tidak bersih,

Asupan gizi yang buruk, dan

Adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.

Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita

3.5. PATOFISIOLOGI2,4,5

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan

yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat

bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan

diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada

kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi

tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga

merupakan faktor penyebab.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 13

Page 14: Lapsus MH fix.doc

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara

orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat

infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu,

Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan

mukosa hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah

organisme di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme

tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa

ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan

bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru,

Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial

kulit di penderita kusta lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.Jumlah dari

bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000

hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi

bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per

hari.

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini

diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya

bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di

mencit yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan

pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan

yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan

menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum

dapat disingkirkan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti

berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa

minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 14

Page 15: Lapsus MH fix.doc

dilaporkan selama 30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang

yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-

endemik.Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5

tahun.

3.6. PATOGENESIS2,4,5

Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia: jaringan saraf perifer

(sel Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta system monosit-

makrofag. Basil tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan replikasi di dalam sel

Schwann dan selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke jaringan perineural serta dapat

pula berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk kemudian dapat menyebabkan

bakteremi.

Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum

kliniko-patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular

merupakan salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.

Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda

yang terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan terjadi

resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat menimbulkan

granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler. Pada manusia dengan

reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk granuloma lepromatosa atau

virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua respon monosit dan makrofag

terhadap M. leprae.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 15

Page 16: Lapsus MH fix.doc

Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda positif,

fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh, makrofag

dapat bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan presentasi lengkap

antigen basil di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat menginduksi sintesis IL-12

yang kemudian dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1) untuk memproduksi IL-2 dan

IFN-gamma. Berbagai sitokin tersebut juga dapat mengaktivasi makrofag lain dan

membantu proses lisis bakteri hingga terbentuk sel epiteloid dan sel langhans. Secara

structural, sitoplasma dari sel epiteloid menunjukkan lisosom dan apparatus golgi yang

normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa struktur gabus (Virchowsit). Perbesaran

mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T

CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2 dan IFN-gamma. Bersama dengan MHC I,

APC yang sama dapat merangsang limfosit T CD8+ walaupun tidak sebesar efek pada

lepromatos lepra.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 16

Page 17: Lapsus MH fix.doc

Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative

terjadi overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap fosfolipase

lisosom dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid basil yang

persisten. Hal tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC) sehingga

imunitas seluler tubuh tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos lepra, makrofag

lain akan memfagosit sel lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi dari MHC II,

pelepasan IL-4 akan merangsang imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan Limfosit T CD8+,

limfosit B, IL-1, sintesis TNF – alfa) dengan produksi antibody anti-lepra dan memfasilitasi

reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena Lucio).

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 17

Page 18: Lapsus MH fix.doc

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen

Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.Signal

pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang

dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah

produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang

berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan

mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α

dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan

IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan

lemak dari M.leprae akan berikatandengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada

permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan

mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri

dari penghancuran oksidatif olehanion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat

menghancurkan secara kimiawi.

Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus

dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama

kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag sudah

disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari

eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B

untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.Signal

I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC

secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan

melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada

Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang

dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid.Sel dendritik merupakan APC

yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan

antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba.Sel

denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 18

Page 19: Lapsus MH fix.doc

akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan

adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang,

DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi

dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M.

Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui

triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2polimorfisme dikaitkan dengan

meningkatnya kerentanan terhadap leprosy

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2

yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan

mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1

dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M.

Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.

Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk

menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai

bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti

dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan

APC non professional.

Patogenesis Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta.Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae

akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas

selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal

reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas

selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 19

Page 20: Lapsus MH fix.doc

terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya

terjadi pada awal terapi.

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe

III.Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering

terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentukkompleks

imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun

dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis

sel.

3.7. KLASIFIKASI KUSTA2,5,6

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit

lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:

TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

TI: tuberkuloid indefinite

BT: borderline tuberculoid

BB: mid borderline bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous

LI: lepromatosa indefinite

LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 20

Page 21: Lapsus MH fix.doc

Jenis klasifikasi yang umum

A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953) :

Indeterminate (I)

Tuberkuloid (T)

Borderline – Dimorphous (B)

Lepromatosa (L)

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).

Tuberkuloid (TT)

Boderline tuberculo’d (BT)

Mid-borderline (BB)

Borderline lepromatcus (BL)

Lepromatosa (LL)

C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta: Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi

WHO (1988)

Psusibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria

Ridley dan Jopling atau tipe I danTT menurut klasifikasi Madrid.

Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan

Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Untuk  pasien  yang  sedang dalam  pengobatan  harus diklasifi-kasikan sebagai berikut :

Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai MB apapun hasil

pemeriksaan BTA-nya saat int.

Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan

gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran

klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :

TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan

kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 21

Page 22: Lapsus MH fix.doc

bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi

kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan

jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

BB :Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.

Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi

sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit,

BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah

sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit

dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

3.8. MANIFESTASI KLINIS2,7

Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru

muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan

tanda yang muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan

prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang diberikan.

Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih

yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak

saraf-sarafnya.

Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan

berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis dan bulu

mata.

Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran

kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra

tuberkuloid; jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa

Sedangkan klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran

klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 22

Page 23: Lapsus MH fix.doc

1. Lepra tipe Indeterminate (I)

Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian

menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20

sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia

dan gangguan berkeringat.Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif.Sebagian

besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang

menjadi salah satutipe determinate.

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

Sebagian sembuh spontan.

2. Lepra tipe Determinate

a. Lepra tipe Tuberkuloid(TT)

Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit.Kelainan

kulit tersebutdapatberupa bercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar,

kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut.Kadang kala ditemukan

penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi

seperti n. auricularis magnus.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam

negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini

menunjuk-kan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.

Mengenai kulit dan saraf.

Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,

atau, kontrol healing ( + ).

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan

psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,

kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon

imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

b. Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 23

Page 24: Lapsus MH fix.doc

Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun

biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.Dapat

dijumpai lesi-lesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau lebih, sehingga

menyebabkan kecacatan yang luas.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan

asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.

Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c. Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)

Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli-morf. Kelainan kulit

ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi

dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched

out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks

bakteriologis 2+ dan 3+.Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat

tidal( stabil).

Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe

BT, cenderung simetris.

Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada

bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

d. Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)

Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai

makula, bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan

ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta

plakaL awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih

jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,

beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 24

Page 25: Lapsus MH fix.doc

sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat

muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat

prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan

asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.

e. Lepra tipe Lepromatosa (LL)

Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang

berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal,

permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula.Saraf tepi biasanya tidak

menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut.Dapat terjadi neuropati perifer.

Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan

keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah.Lama-kelamaan sel-sel lepra

mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga

menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.Nodul juga dapat terjadi pada mukosa

palatum, septum nasi dan sklera.Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari

Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis.Kartilago dan tulang

hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika

laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis

mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia.Hasil pemeriksaan

asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai

6+. Tes lepromin selalu negative

Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak

tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Distribusi lesi khas :

Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis

muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis

dan keratitis.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 25

Page 26: Lapsus MH fix.doc

Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi,

testis, Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit

progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis

menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

Gambaran klinis organ lain

Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, arthritis

Lidah : ulkus, nodus

Larings : suara parau

Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

Kelenjar limfe : limfadenitis

Rambut : alopesia, madarosis

Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial

Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi

reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf

tepi dan kelenjar getah getah bening, sendi, testis dan organ lain.

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan

hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam

saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.

Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga

penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka

sayat atau mereka melukai dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan

kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki

terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan.Penderita juga memiliki

luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung

tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan. Penderita lepra lepromatosa dapat

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 26

Page 27: Lapsus MH fix.doc

menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan

jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelaspada

stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisiksaja.Penderita

kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta denganatau tanpa

pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.Gejala dan keluhan penyakit

bergantung pada:

Multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae

Respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae

Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,saraf,

dan membran mukosa.Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagimenjadi 'kusta

tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau

kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang

sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta

tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan bagian yang besar dapat

mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan

rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta

tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit

dan bagian yang tidak berasa (anestetik).Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul,

plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang

menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun

pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.

Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata.Kemungkinan juga

mempengaruhi gejala sistemik.Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan beratnya

penyakit.Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga penyakit ini

tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus.Bagaimanapun juga, 90% dari pasien

sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit muncul.Sensasi yang

pertama hilang adalah sensasi suhu.Pasien tidak dapat merasakan perbedaan besar antara

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 27

Page 28: Lapsus MH fix.doc

suhu panas dengan suhu dingin.Sensasi berikutnya yang menghilang adalah sentuhan

ringan, kemudian nyeri, dan pada akhirnya tekanan yang dalam.

Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada tangan dan kaki, oleh karena

itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok pada ekstremitas yang mati rasa.

Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat termasuk

saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen, cuping telinga, dan

lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe tuberkuloid, borderline,

atau lepromatosa. Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi

kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada

kulit.Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus

yang pertama kali muncul.Sering juga berupa plak.Lesi mungkin atau tidak mungkin

menjadi hipoesthetik.Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.

Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan

ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf kutaneus.

Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior.Saraf lainnya yang pada

umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf

facial.Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan dan

kehilangan gerak.

Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:

Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi

neuropathy motorik murni dapat juga muncul.

Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan

peroneal yang lebih sering terlibat

Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:

Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang

menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya

kerusakan motoris dan sensoris

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 28

Page 29: Lapsus MH fix.doc

Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang diinervasi

oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul kelemahan

otot)

Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam

distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau

diregangkan

lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:

Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-

lesi kulit yang baru

reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata

merah

nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang

menghasilkan claw hand atau drop foot.

Gejala-gejala kerusakan saraf :

N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis

- clawing kelingking dan jari manis

- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta

kedua otot lumbrikalis medial

N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,

telunjuk dan jari tengah

- tidak masuk aduksi ibu jari

- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari

tengah

- ibu jari kontraktur

- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis

lateral

N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung

proksimal jari telunjuk

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 29

Page 30: Lapsus MH fix.doc

- tangan gantung (wrist drop)

- tak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangan

N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral

dan dorsum pedis

- kaki gantung (foot drop)

- kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki

- claw toes

- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps

arkus pedis

N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal

menyebabkan lagoftalmus

- cabang bukal, mandibular dan servikal

menyebabkan kehilangan ekspresi wajah

dan kegagalan mengatupkan bibir

N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan

konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.

Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralysis N. orbicularis

palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya

menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara sendiri-sendiri atau bergabung

akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang

terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit

kering dan alopesia.Pada tipe Lepromatosa dapat timbul Ginekomastia akibat gangguan

keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus

testis.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 30

Page 31: Lapsus MH fix.doc

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.

Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis

palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,

menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama –

sama akan menyebabkan kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan

adanya lesi fasial.Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata), ditemukan terakhir

pada orang dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang temporal dari

saraf fasial (nervus cranialis VII).Keterlibatan dari cabang ophthalmic dari saraf trigeminal

(nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan kurang

berkedip.

3.9. DIAGNOSIS KRITERIA2,7

Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dansymptom.Hal

ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah latihan dalam periode yang

singkat.Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki beberapa keluhan datang sendiri

ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh kasus yang jarang memerlukan

laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk menyatakan diagnose lepra. Dalam

daerah atau negara endemis, seorang individu harus dicurigai mengidap lepra jika dia

menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut:

Lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi

(anestesi), penebalan saraf perifer

Ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple

yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang

mengelilingi.

Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga.Beberapa variasi lesi kulit

mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau

nodul.Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin

menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal,

terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra.Saraf yang menebal biasanya disertai

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 31

Page 32: Lapsus MH fix.doc

oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf.Ini dapat mengakibatkan

berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang

terserang.Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya

sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada

kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil lepra

tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada sediaan yang

diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop sesudah mengalami

pengecatan yang tepat.

Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yangmengarah

kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan

sebaiknya disebut ‘’suspek kasus’’ dalam ketidak hadiran dari diagnosis alternative lain

yang dengan segera dapat diterima.Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu

tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika

gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk.

Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk

diagnose.

Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan

diagnosis dari penyakit kusta yakni:

1. Lesi kulit yang anestesi

2. Penebalan saraf perifer, dan

3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.

Lepra dapat diklasifikasikan berdasarkan pada manifestasi klinis dan hasil kerok

kulit (skin smear).Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang

menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai paucibasiler

lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan dalam

multibasiler lepra (MB). Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar program-

program menggunakan kriteria klinik untuk mengklasifikasikan dan memutuskan bentuk

pengobatan yang tepat bagi pasien secara individual, terutama sekali dalam pandangan

terhadap pelayanan skin smear yang tidak availabel atau dependable. Klasifikasi

berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari penggunaan

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 32

Page 33: Lapsus MH fix.doc

jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk mengkelompokkan

pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB).

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi

menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe

tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe

borderlineborderline(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous-

lepromatous, (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan

imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk

pemberantasan.

Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB)

dan kelompok multibasiler (MB).Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk

menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan yang

diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler.Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah

adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan

bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh.Warna lesinya

adalah eritema atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di tengah.Distribusi lesinya

adalah dimana saja termasuk wajah.Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf

pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris. Pada

lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau

hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus.

Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata (madarosis).

Facies lionina (Lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang

normal.Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah

bilateral simetris termasuk cuping telinga, wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling

jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai

plak, nodul, atau fisura.Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan

lepromatous denga makula, papul, dan plak.Ditemukan adanya anestesi dan penurunan

keringat pada lesi.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 33

Page 34: Lapsus MH fix.doc

Pemeriksaan Pasien

1. Anamnesis

- Keluhan pasien

- Riwayat kontak dengan pasien

- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik.lesi kulit harus diperhatikan dan jugakerusakan kulit.

3. Palpasi

- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki

- Kelainan saraf :

Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N.

ulnaris, dan N. peroneus. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan

saraf.harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf

diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan

sampai menyakiti atau pasien mendapatkesan kurang baik.

Pemeriksaan saraf :

- bandingkan saraf bagian kiri dan kanan membesar atau tidak

- pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal

- perabaan keras atau kenyal.

- nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan

saraf mana yang masih normal.di.perlukan pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi :

a. N. aurikularis magnus :

- Pasien disuruh menoleh ke samping-semaksimal mungkin, maka saraf yang

terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa

tertihat bila saraf membesar. Dua jari parneriksa diletakkan di atas persilangan

jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan

secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.

- Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 34

Page 35: Lapsus MH fix.doc

b. N. ulnaris :

- Tangan yang dlperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di

atas satu tangan pemeriksa.

- -Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi

ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak.

- Perlu   dibandingkan   N.   ulnaris   kanan  dan   kiri   untuk melihat adanya

perbedaan atau tidak.

c. N. paroneus lateralis :

- Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

capitclum fibulae, biasanya sedikit ke posterior.

- Bila saraf yang dicari tensentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan

seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.

- Pada keadaan neuritis akut sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang

hebat.

4. Tes fungsi saraf

a. Tes sensoris .

Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Rasa raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa

perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang diperiksa

harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas

menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas.ia

harus rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan

dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup rnatanya,

kalau perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian

kulit lain yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas

kulit yang sehat dan kulit yang tersangka diserang kusta.Bercak-bercak di kulit harus

diperiksa pada bagian tengahnya, jangan di pinggimya.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 35

Page 36: Lapsus MH fix.doc

Rasa nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum

yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus

mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

Rasa suhu

- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi air panas

(sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C).

- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung

tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.

- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk

memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.

- bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan

rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan bahwa sensasi suhu

di daerah terssbut terganggu.

b. Tes otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit

kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis

1. Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)

Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus

sampai ke daerah kulit normal.

2. Tes pilocarpin

- daerah kulit pada rnakula dan perbatasannya disuntik dengan pilocarpin

subkutan.

- setelah beberapa menit tampak daerah kuiit normal berkeringat, sedangkan

daerah lesi tetap koring.

c. Tes motoris

Voluntary muscle test (VMT) Cara memeriksa

1. Mula-mula periksa gerakan,  perhatikan apakah pasien dapat merakukan dengan

baik dan tanpa bantuan.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 36

Page 37: Lapsus MH fix.doc

2. Kemudian perksa ketahanannya kerjakan ini hanya jika gerakannya sempuma

atau mendekati dan lakukanlah perlahan, jangan dikejutkan/sekaligus  (tiba-tiba).

Jangan paksa sampai berubah posisi, amati apakah kekuatan menahan penderita

normal, berkurang atau nol.

3. Bandingkan selalu kaki dan tangan kanan pasien dengan yang sebelah kiri.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Hitung sel darah lengkap

2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests

3. HIV status, terutama nonresponder

4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB

5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan

pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL

NEELSEN.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut

tidak mengandung M. leprae.

Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut,

dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling infiltratif.

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada

sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular

bentuk mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembangbiak dan dapat

menularkan ke orang lain.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.0

bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 37

Page 38: Lapsus MH fix.doc

Indeks bakteri (BI)

1+ 1-10 dalam 100 LP

2+ 1-10 dalam 10 LP

3+ 1-10 dalam 1 LP

4+ 11-100 dalam 1 LP

5+ 101-1000 dalam 1 LP

6+ >1000 dalam 1 LP

Indeks morfologi (MI)

Jumlah bakteri utuh x 100%Jumlah semuanya

2. Pemeriksaan histopatologik

Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan

saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe

Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu

daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel

virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat campuran unsur-unsur

tersebut.

3. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,

tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap

M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme, disuntikkan

intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4

minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema,

yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe

lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis.

Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 38

Page 39: Lapsus MH fix.doc

· 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang

· +1 : Papul berdiameter 4-6 mm

· +2 : Papul berdiameter 7-10 mm· +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul

dengan ulserasi.

Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai prognosis.

Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki kemungkinan

klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.

4. Tes Serologi

1. Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang

terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium

Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

2. Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption test (FLA-

ABS), radioimmunoassay (RIA), ELISA, passive hemagglutination assay (PHA),

serum antibody competition test (SACT), dan particle agglutination assay (PAA).

3. Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana sudah

disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA. Estimasi dari

komponen spesifik M leprae pada jaringan.

4. Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae diperiksa

menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid chromatography, gas-

liquid chromatography, dan mass spectrometry.

5. Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik dari

mycobacteria, termasuk M leprae.

6. Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan memakai

antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi frekuensi munculnya reaksi

positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan nilai prediksi positif dari

aktivitas penyakit ini.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 39

Page 40: Lapsus MH fix.doc

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 40

Page 41: Lapsus MH fix.doc

SIFAT PB MB

1. Lesi Kulit

(Makula datar,

papul yang

meninggi, nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/eritema

- Distribusi tidak simetris

- Hilangnya sensasi yang jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih

simetris

- Hilangnya

sensasi kurang

jelas

2. Kerusakan Saraf

(menyebabkan

hilangnya

sensasi/kelemaha

n otot yang

dipersarafi oleh

saraf yang

terkena)

- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang

saraf

3.10. KOMPLIKASI

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler obligat.

Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius bagian atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang

menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas.

Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam

deformitas primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh

granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan merusak

jaringan sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jari-jari, dan

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 41

Page 42: Lapsus MH fix.doc

wajah.Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.

Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis

palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya

mengakibatkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara bergabung dapat

menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,

kelenjar palit, dan folikel rambut yang dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia.Pada

tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena

infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. Pada kulit akan timbul gejala klinis

yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila

mengenai organ lainnya dapat menimbulkan gejala seperti :

1. Iridosiklitis

2. Neuritis Akut

3. Limfadenitis

4. Arthritis

5. Orkitis, dan

6. Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.

M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat

syaraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan otonom.

Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena

kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi

Lepra.

Kerusakan Fungsi Sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa

(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 42

Page 43: Lapsus MH fix.doc

Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip

sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan

infeksi mata dan akhirnya kebutaan.

Kerusakan Fungsi Motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama

ototnya mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki menjadi

bengkok (“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya

(kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka kelopak

mata tidak dapat dirapatkan(“lagophtalmos”).

Kerusakan Fungsi Otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi

darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan

tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta yang

terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas akut

terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.

Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 43

Page 44: Lapsus MH fix.doc

Hipersensitivitas terhadap antigen m.leprae karena ketidakseimbangan imunologis:

1. Reaksi tipe 1

Hipersensitivitas tipe IV, antigen m.leprae dgn T limfosit Karena perubahan cepat dr

imunitas seluler. Timbul pd kusta tipe borderline ( BT, BB, BL ). Gejala klinis lesi

macula eritematus,menebal,panas dan nyeri.

2. Reaksi tipe 2

Reaksi antigen-antibodi yg melibatkan komplemen. Terjadi pd 50% tipe LL dan 25%

tipe BL. Gejala utama Eritema Nodusum Leprosum (ENL)→ nodul kemerahan yg

nyeri

Fenomena Lucio

Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non

nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.

Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri.Lesi

lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang

nyeri.Lesi lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.

Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi endotelial

pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.

3.11. PENATALAKSANAAN2,3,5,6

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk

mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk

kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk ,

mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat

pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara

lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.

a.DDS atau Dapsone

Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan

obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino

difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan

bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA)

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 44

Page 45: Lapsus MH fix.doc

dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari

dapson adalah anemia hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS,

nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash,

anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.

b. Lamprene atau Clofazimin

Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja

dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta

ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat

antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari,

namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna

kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini

disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel system

retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi

berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia dan

vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.

c.Rifampicin

Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan

berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari

atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala

gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

d. Ofloksasin

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium

Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan

dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%.

Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai

gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness

dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-

hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 45

Page 46: Lapsus MH fix.doc

e. Minosiklin

Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari

klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek

sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan

hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan

susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan

untuk anak-anak atau selama kehamilan.

f. Klaritromicin

Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta

lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan

lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang

terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.

Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis

harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai

bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap

bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah

RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis

minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap 46egative dan klinis tidak

ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita

kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan

lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar

pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa

pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan

untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB

dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400

mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 46

Page 47: Lapsus MH fix.doc

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan

MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi

ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian

monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung

RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil

tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan

regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan:

regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut

WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)

bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti

minum obat.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 47

Page 48: Lapsus MH fix.doc

Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan

selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease

From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan

secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun

Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 48

Page 49: Lapsus MH fix.doc

Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO

Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita

MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya

bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50

mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8

bulan.

Pengobatan Reaksi Kusta

a. Pengobatan ENL

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan

dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada

penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat

perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat

diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide

merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini ,

obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis 200-

300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk

lepas dari ketergantungan kortikosteroid.

b. Pengobatan reaksi raversal

Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang dosisnya

disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg per

hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut

harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan dapat diberikan . Klofazimin

untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai,

begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan

berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan

kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,

pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 49

Page 50: Lapsus MH fix.doc

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-

obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti

reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti

reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan

dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-

3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh

karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis

400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik

walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering

off) setelah terjadi respon maksimal.

Gambar : Regimen MDT

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 50

Page 51: Lapsus MH fix.doc

Pencegahan Cacat

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities

(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang cepat

dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai

gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin.

Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya

memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila

bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindnginya.

Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya

memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar

tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO

Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita

kusta.

Tabel : Klasifikasi Cacat

Cacat pada kaki dan tangan

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau

kecacatan yang terlihat.

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang

terlihat.

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 51

Page 52: Lapsus MH fix.doc

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan

penglihatan

Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang

berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)

Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)

3.12. PROGNOSIS

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan

bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat

mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

BAB IV

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen

merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, bakteri ini

berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk batang, tidak bergerak dan

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 52

Page 53: Lapsus MH fix.doc

berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae dapat berkembang biak dalam

sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat ini belum juga dapat dibiakkan

dalam media artifisial.

Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan baal pada

daerah wajah, tangan, dada, punggung dan kaki. Pasien dicurigai menderita penyakit kusta

karena kusta dapat menyebabkan kelainan kulit dan saraf tepi, yang mengakibatkan

terjadinya keluhan rasa baal, bahkan mati rasa pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang

diserang kuman M. lepra.

Pada pemeriksaan dermatologi tampak plak, macula dan papul ukuran bervariasi

antara diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat. Kemudian

pada pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan funsi sensorik pada rasa raba, nyeri

dan suhu ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal dan terjadi pembesaran

saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan kanan. Pada pemeriksaan penunjang dengan

pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index +3 dan morfologi index 80%.

Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya plak,

makula, papul dengan eritem dan pemeriksaan BTA dengan hasil positif maka diagnosis

kerja sementara adalah Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan reaksi

tipe I.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-

overview#a0104 Accessed on 17th November 2013.

2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:

Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta:

Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 53

Page 54: Lapsus MH fix.doc

3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.

http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/ 12 Oktober 2013.

4. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.

Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67

5. WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.

http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada 12 Oktober 2013.

6. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at

http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Accessed on 16th

November 2013.

7. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:

http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

8. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :

http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm

9. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall

10. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126

Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 54