lapsus mh fix.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.
Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding
dengan kusta yang kita kenal sekarang.
Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah
suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisma
yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik penyakit ini secara klinis
terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa yang disertai
hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf perifer dan BTA positif pada apusan
kulit atau material biopsy.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae
yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat
sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi
sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi
kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi
sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya
stigma terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah
dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan,
dan pencegahan lepra masih terus diteliti.1
M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat penurunan prevalensi
infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah implementasi multidrug therapy, kasus
baru yang dideteksi masih tinggi, menunjukkan adanya transmisi yang aktif.1
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 1
Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada respon
immune penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan gejala kearah tipe
tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang buruk menunjukkan gejala
kearah lepromatosa.1
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. J
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Alamat : Sumbawa
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 2
Status perkawinan : Menikah
No. CM : 144356
Tanggal MRS : 24 Februari 2015
2.2. Anamnesis
Keluhan utama
Bercak kemerahan pada muka, tangan, badan dan kaki
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSU Kota Mataram mengeluh sejak 3
minggu yang lalu timbul keluhan bercak kemerahan sebesar uang koin pada muka,
tangan, badan dan kaki. Awalnya pasien mengaku lebih kurang 7 bulan yang lalu pada
muka terasa seperti kesemutan tertusuk-tusuk dan panas yang hilang timbul, tiba-tiba
timbul bercak merah seperti benjolan yang berawal dari muka, kemudian menjalar ke
kedua lengan sampai ke kedua tangan, punggung, dada, dan kedua tungkai. Bercak yang
dirasakan pasien juga disertai dengan nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluh gatal-gatal
pada tempat bercak kemerhan, gatal-gatal ini paling sering dirasakan pada muka dan
gatal-gatalnya tidak teratur. Pasien mengatakan, setiap terjadi gatal-gatal muka semakin
membengkak, gatalnya dirasakan lebih kurang 1 jam, gatalnya bisa dirasakan 10x dalam
sehari. demam (-). Keluhan mati rasa, alis dan bulu mata rontok disangkal oleh pasien.
BAB (+) normal, BAK (+) normal.
Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit kusta juga yaitu saudra pasien.
Saudara pasien sudah meninggal akibat penyakit kusta yang ia alami
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami DM, hipertensi
Riwayat pengobatan
Pasien mengaku sempat berobat ke Puskesmas Alas, tetapi lupa nama obatnya, pasien
juga mengaku ke dokter praktik, tetapi tidak tau nama obatnya.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 3
Riwayat alergi
Pasien menderita Asma, tetapi sejak satu tahun ini tidak pernah kambuh
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 84 kali per menit
Respirasi : 20 kali per menit
Suhu aksila : 36,5o C
Status General
Kepala : Normochepali
Mata : Anemia (-/-), Ikterus (-/-)
Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Distensi (-) , Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, Oedem (-)
Status Dermatologi
Regio generalisata : tampak plakat, makula dan papul ukuran bervariasi antara
diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat, konsistensi
lunak, nyeri tekan (-). Pada telinga kanan dan kiri tampak adanya penebalan daun
telinga. Madarosis dan alopesia pada alis dan bulu mata (-)
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 4
Pemeriksaan Saraf Tepi
Sensorik
a. Sensasi raba : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal
b. Sensasi nyeri : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.
c. Sensasi suhu : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 5
Motorik
Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.
Pembesaran saraf
Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan
N. Aurikularis Magnus Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
N. Ulnaris Pembesaran d/s (+/-), Nyeri (+/-)
N. Tibialis Posterior Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
N. Peroneus Lateralis Komunis
Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)
2.4. Diagnosa Banding
Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I
Pitriasis Versikolor
Vitiligo
Birth Mark
Skrofuloderma
Dermatofitosis
2.5. Pemeriksaan BTA
Pengambilan sampel dilakukan pada lesi aurikula, lengan dan tungkai, pada hari rabu
tanggal 25 Februari 2015. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :
BI (Bakteri Index) : +3
MI (Morfologi Index) : 80 %
2.6. Diagnosa Kerja
Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan Reaksi Tipe I
2.7. Rencana Terapi
Pemberian MDT untuk Kusta Multibasilar di Puskesmas :
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 6
Rifampisin 600 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan.
Dapsone 100 mg setiap hari
Klofazimin 300 mg setiap bulan yang diminum di depan petugas kesehatan dan kemudian
dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah.
Prednisone peroral dimulai dengan dosis 1 mg/kg/hari single dose pada pagi hari setelah
sarapan. Setelah reaksi dapat dikontrol, prednisolone kemudian di tapering hingga dosis
20 mg/ hari, kemudian tappering selanjutnya hingga 5mg/ hari.
2.8. Edukasi
Pengobatan penyakit kusta ini berlangsung lama, kurang lebih selama 2-3 tahun.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis di Puskesmas setiap bulan dan
secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan di RSUP NTB. Saat pemeriksaan
diperhatikan pula adanya tanda-tanda reaksi kusta.
Penyakit kusta ini dapat ditularkan secara inhalasi sehingga pasien disarankan untuk
selalu menggunakan masker.
Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot, segera kembali
untuk memeriksakan diri ke dokter. Contohnya berupa luka atau lepuh yang tidak terasa
sakit dan mati rasa pada tangan atau kaki. Juga jika terdapat gangguan pada aktivitas
sehari-hari, seperti memasang kancing baju, memegang pulpen, mengambil benda kecil,
atau kesulitan berjalan. Adanya kelainan pada mata berupa penglihatan kabur, kesulitan
membuka dan menutup mata, serta alis dan bulu mata menjadi rontok.
Perhatikan pula adanya tanda-tanda kelainan pada saraf perifer, seperti clawing hand,
penebalan pada daun telinga, pembesaran saraf di leher, serta claw toes dan foot drop.
Penderita dijelaskan bahwa dirinya mengalami reaksi kusta dan diberikan obat
prednisone untuk mengobati reaksinya. Perlu diingat bahwa pemberian prednison harus
di bawah pengawasan dokter Puskesmas karna prednison bisa menyebabkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu penderita harus mematuhi aturan pemberian
prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena dapat menyebabkan rebound
phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi, malaise). Sementara efek samping
pemakaian jangka panjang adalah gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah
infeksi, perdarahan atau perforasi pada penderita tukak lambung, osteoporosis, cushing
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 7
syndrome, moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan,
timbunan lemak supraklavikuler.
2.9. Prognosis
Qua ad Vitam : dubia
Qua ad Sanationam : dubia ad bonam
Qua ad Kosmetikam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI2
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae merupakan
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 8
bakteri tahan asam penyebab penyakit kusta atau sering juga disebut dengan lepra.
Berbentuk batang, bakteri tahan asam dan tahan alcohol, bakteri gram positif, tidak
berspora, tidak bergerak, hidup didalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak
dapat di kultur dalam media buatan.Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.
Bagian tubuh yang dingin merupakan predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior
mata, kulit terutama cuping telinga dan jari-jari.
Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu
interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah
tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
3.2. EPIDEMIOLOGI2
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke
seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan
terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam
negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia .
Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae .
Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan
di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang
mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut,
kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung
banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 9
anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur
14 tahun didapatkan 13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah
tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang
mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa.
Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun
85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan
tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan
problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di
16 negara , dan 82% nya di 5 negara yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria.
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di
sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru
tahun 2008 baru tercatat 249.0007. Di Indonesia, distribusi tidak merata, yang tertinggi
antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per
10.000 penduduk adalah 0,73.
3.3. ETIOLOGI2,3
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A
HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam
media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam
dan alkohol serta Gram-positif. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang
Armadillo.Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 10
dengan kuman lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata
2 – 5 tahun.
Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen
Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri
dari 2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan
lipopolisakarida pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan
yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil
mengandung rangka peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam
mycolic.Protein imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:
M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media
buatan.
Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh
dalam saraf perifer.
Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid
dan negatif pada penderita lepromatous.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan penyakit
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 11
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan
tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi
dan kebutuhan akan antibiotik.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang
datar.Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-
sarafnya.
Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan
bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran
kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid;
jika kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi
reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf
tepi dan kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.Pengobatan yang
diberikan tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau
talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan
hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam
saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk
merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami
kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai
dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan
jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi
tampak mengerikan.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 12
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di
hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
3.4. FAKTOR RESIKO2
Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan
juga penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi
penyakit ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri M.
leprae maka orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat – obat
immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini
Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak – anak.
Kebersihan. Berganti – ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula
menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga
kebersihan kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.
Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih,
Asupan gizi yang buruk, dan
Adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita
3.5. PATOFISIOLOGI2,4,5
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan
yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat
bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan
diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi
tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 13
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah
organisme di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme
tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru,
Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial
kulit di penderita kusta lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya
bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di
mencit yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan
pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan
yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan
menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum
dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 14
dilaporkan selama 30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang
yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik.Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5
tahun.
3.6. PATOGENESIS2,4,5
Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia: jaringan saraf perifer
(sel Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta system monosit-
makrofag. Basil tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan replikasi di dalam sel
Schwann dan selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke jaringan perineural serta dapat
pula berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk kemudian dapat menyebabkan
bakteremi.
Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum
kliniko-patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular
merupakan salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.
Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda
yang terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan terjadi
resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat menimbulkan
granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler. Pada manusia dengan
reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk granuloma lepromatosa atau
virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua respon monosit dan makrofag
terhadap M. leprae.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 15
Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda positif,
fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh, makrofag
dapat bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan presentasi lengkap
antigen basil di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat menginduksi sintesis IL-12
yang kemudian dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1) untuk memproduksi IL-2 dan
IFN-gamma. Berbagai sitokin tersebut juga dapat mengaktivasi makrofag lain dan
membantu proses lisis bakteri hingga terbentuk sel epiteloid dan sel langhans. Secara
structural, sitoplasma dari sel epiteloid menunjukkan lisosom dan apparatus golgi yang
normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa struktur gabus (Virchowsit). Perbesaran
mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T
CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2 dan IFN-gamma. Bersama dengan MHC I,
APC yang sama dapat merangsang limfosit T CD8+ walaupun tidak sebesar efek pada
lepromatos lepra.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 16
Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative
terjadi overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap fosfolipase
lisosom dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid basil yang
persisten. Hal tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC) sehingga
imunitas seluler tubuh tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos lepra, makrofag
lain akan memfagosit sel lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi dari MHC II,
pelepasan IL-4 akan merangsang imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan Limfosit T CD8+,
limfosit B, IL-1, sintesis TNF – alfa) dengan produksi antibody anti-lepra dan memfasilitasi
reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena Lucio).
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 17
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α
dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan
IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan
lemak dari M.leprae akan berikatandengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada
permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri
dari penghancuran oksidatif olehanion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi.
Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag sudah
disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.Signal
I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC
secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan
melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada
Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid.Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba.Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 18
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan
adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang,
DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi
dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M.
Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui
triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2polimorfisme dikaitkan dengan
meningkatnya kerentanan terhadap leprosy
Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2
yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1
dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M.
Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag.
Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk
menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai
bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti
dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional.
Patogenesis Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta.Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae
akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas
selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal
reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas
selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 19
terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada awal terapi.
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe
III.Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering
terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentukkompleks
imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun
dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis
sel.
3.7. KLASIFIKASI KUSTA2,5,6
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
TI: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
LI: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 20
Jenis klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953) :
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Borderline – Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).
Tuberkuloid (TT)
Boderline tuberculo’d (BT)
Mid-borderline (BB)
Borderline lepromatcus (BL)
Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta: Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi
WHO (1988)
Psusibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau tipe I danTT menurut klasifikasi Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifi-kasikan sebagai berikut :
Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA-nya saat int.
Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan
gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 21
bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi
kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
BB :Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi
sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit,
BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi
asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
3.8. MANIFESTASI KLINIS2,7
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan
tanda yang muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan
prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang diberikan.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak
saraf-sarafnya.
Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan
berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis dan bulu
mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran
kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra
tuberkuloid; jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa
Sedangkan klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran
klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 22
1. Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian
menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20
sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia
dan gangguan berkeringat.Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif.Sebagian
besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang
menjadi salah satutipe determinate.
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
Sebagian sembuh spontan.
2. Lepra tipe Determinate
a. Lepra tipe Tuberkuloid(TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit.Kelainan
kulit tersebutdapatberupa bercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar,
kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut.Kadang kala ditemukan
penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi
seperti n. auricularis magnus.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam
negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini
menunjuk-kan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.
Mengenai kulit dan saraf.
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
b. Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 23
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun
biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.Dapat
dijumpai lesi-lesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau lebih, sehingga
menyebabkan kecacatan yang luas.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan
asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
c. Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli-morf. Kelainan kulit
ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi
dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched
out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks
bakteriologis 2+ dan 3+.Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat
tidal( stabil).
Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe
BT, cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
d. Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai
makula, bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan
ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta
plakaL awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih
jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 24
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat
muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan
asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.
e. Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang
berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal,
permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula.Saraf tepi biasanya tidak
menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut.Dapat terjadi neuropati perifer.
Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan
keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah.Lama-kelamaan sel-sel lepra
mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga
menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.Nodul juga dapat terjadi pada mukosa
palatum, septum nasi dan sklera.Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari
Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis.Kartilago dan tulang
hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika
laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis
mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia.Hasil pemeriksaan
asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai
6+. Tes lepromin selalu negative
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis
muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis
dan keratitis.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 25
Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi,
testis, Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit
progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
Gambaran klinis organ lain
Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, arthritis
Lidah : ulkus, nodus
Larings : suara parau
Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
Kelenjar limfe : limfadenitis
Rambut : alopesia, madarosis
Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi
reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf
tepi dan kelenjar getah getah bening, sendi, testis dan organ lain.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan
hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam
saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.
Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga
penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka
sayat atau mereka melukai dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan
kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki
terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi tampak mengerikan.Penderita juga memiliki
luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di hidung bisa menyebabkan hidung
tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan. Penderita lepra lepromatosa dapat
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 26
menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan
jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelaspada
stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisiksaja.Penderita
kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta denganatau tanpa
pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.Gejala dan keluhan penyakit
bergantung pada:
Multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae
Respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae
Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,saraf,
dan membran mukosa.Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagimenjadi 'kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang
sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta
tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan bagian yang besar dapat
mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan
rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta
tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit
dan bagian yang tidak berasa (anestetik).Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul,
plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang
menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata.Kemungkinan juga
mempengaruhi gejala sistemik.Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan beratnya
penyakit.Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga penyakit ini
tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus.Bagaimanapun juga, 90% dari pasien
sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit muncul.Sensasi yang
pertama hilang adalah sensasi suhu.Pasien tidak dapat merasakan perbedaan besar antara
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 27
suhu panas dengan suhu dingin.Sensasi berikutnya yang menghilang adalah sentuhan
ringan, kemudian nyeri, dan pada akhirnya tekanan yang dalam.
Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada tangan dan kaki, oleh karena
itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok pada ekstremitas yang mati rasa.
Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat termasuk
saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen, cuping telinga, dan
lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe tuberkuloid, borderline,
atau lepromatosa. Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi
kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada
kulit.Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus
yang pertama kali muncul.Sering juga berupa plak.Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadi hipoesthetik.Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan
ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf kutaneus.
Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior.Saraf lainnya yang pada
umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf
facial.Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan dan
kehilangan gerak.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:
Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 28
Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang diinervasi
oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul kelemahan
otot)
Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam
distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau
diregangkan
lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:
Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-
lesi kulit yang baru
reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata
merah
nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,
telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari
tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis
lateral
N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung
proksimal jari telunjuk
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 29
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau
pergelangan tangan
N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis
N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal
menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan
konjugtiva mata
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralysis N. orbicularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara sendiri-sendiri atau bergabung
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia.Pada tipe Lepromatosa dapat timbul Ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 30
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama –
sama akan menyebabkan kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan
adanya lesi fasial.Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata), ditemukan terakhir
pada orang dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang temporal dari
saraf fasial (nervus cranialis VII).Keterlibatan dari cabang ophthalmic dari saraf trigeminal
(nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan kurang
berkedip.
3.9. DIAGNOSIS KRITERIA2,7
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dansymptom.Hal
ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah latihan dalam periode yang
singkat.Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki beberapa keluhan datang sendiri
ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh kasus yang jarang memerlukan
laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk menyatakan diagnose lepra. Dalam
daerah atau negara endemis, seorang individu harus dicurigai mengidap lepra jika dia
menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut:
Lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi
(anestesi), penebalan saraf perifer
Ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple
yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang
mengelilingi.
Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga.Beberapa variasi lesi kulit
mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau
nodul.Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin
menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal,
terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra.Saraf yang menebal biasanya disertai
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 31
oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf.Ini dapat mengakibatkan
berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang
terserang.Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya
sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada
kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil lepra
tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada sediaan yang
diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop sesudah mengalami
pengecatan yang tepat.
Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yangmengarah
kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan
sebaiknya disebut ‘’suspek kasus’’ dalam ketidak hadiran dari diagnosis alternative lain
yang dengan segera dapat diterima.Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu
tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika
gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk.
Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk
diagnose.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan
diagnosis dari penyakit kusta yakni:
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer, dan
3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.
Lepra dapat diklasifikasikan berdasarkan pada manifestasi klinis dan hasil kerok
kulit (skin smear).Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang
menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai paucibasiler
lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan dalam
multibasiler lepra (MB). Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar program-
program menggunakan kriteria klinik untuk mengklasifikasikan dan memutuskan bentuk
pengobatan yang tepat bagi pasien secara individual, terutama sekali dalam pandangan
terhadap pelayanan skin smear yang tidak availabel atau dependable. Klasifikasi
berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari penggunaan
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 32
jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk mengkelompokkan
pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB).
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe
tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe
borderlineborderline(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous-
lepromatous, (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan
imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan.
Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB)
dan kelompok multibasiler (MB).Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk
menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan yang
diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler.Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah
adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan
bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh.Warna lesinya
adalah eritema atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di tengah.Distribusi lesinya
adalah dimana saja termasuk wajah.Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf
pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris. Pada
lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau
hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus.
Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata (madarosis).
Facies lionina (Lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang
normal.Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah
bilateral simetris termasuk cuping telinga, wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling
jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai
plak, nodul, atau fisura.Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan
lepromatous denga makula, papul, dan plak.Ditemukan adanya anestesi dan penurunan
keringat pada lesi.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 33
Pemeriksaan Pasien
1. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik.lesi kulit harus diperhatikan dan jugakerusakan kulit.
3. Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki
- Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N.
ulnaris, dan N. peroneus. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan
saraf.harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf
diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan
sampai menyakiti atau pasien mendapatkesan kurang baik.
Pemeriksaan saraf :
- bandingkan saraf bagian kiri dan kanan membesar atau tidak
- pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal
- perabaan keras atau kenyal.
- nyeri atau tidak
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan
saraf mana yang masih normal.di.perlukan pengalaman yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi :
a. N. aurikularis magnus :
- Pasien disuruh menoleh ke samping-semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa
tertihat bila saraf membesar. Dua jari parneriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan
secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.
- Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 34
b. N. ulnaris :
- Tangan yang dlperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa.
- -Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi
ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak.
- Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya
perbedaan atau tidak.
c. N. paroneus lateralis :
- Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitclum fibulae, biasanya sedikit ke posterior.
- Bila saraf yang dicari tensentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan
seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
- Pada keadaan neuritis akut sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang
hebat.
4. Tes fungsi saraf
a. Tes sensoris .
Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang diperiksa
harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas.ia
harus rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan
dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup rnatanya,
kalau perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian
kulit lain yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas
kulit yang sehat dan kulit yang tersangka diserang kusta.Bercak-bercak di kulit harus
diperiksa pada bagian tengahnya, jangan di pinggimya.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 35
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum
yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus
mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Rasa suhu
- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi air panas
(sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C).
- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk
memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
- bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan
rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan bahwa sensasi suhu
di daerah terssbut terganggu.
b. Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis
1. Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal.
2. Tes pilocarpin
- daerah kulit pada rnakula dan perbatasannya disuntik dengan pilocarpin
subkutan.
- setelah beberapa menit tampak daerah kuiit normal berkeringat, sedangkan
daerah lesi tetap koring.
c. Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT) Cara memeriksa
1. Mula-mula periksa gerakan, perhatikan apakah pasien dapat merakukan dengan
baik dan tanpa bantuan.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 36
2. Kemudian perksa ketahanannya kerjakan ini hanya jika gerakannya sempuma
atau mendekati dan lakukanlah perlahan, jangan dikejutkan/sekaligus (tiba-tiba).
Jangan paksa sampai berubah posisi, amati apakah kekuatan menahan penderita
normal, berkurang atau nol.
3. Bandingkan selalu kaki dan tangan kanan pasien dengan yang sebelah kiri.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut,
dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular
bentuk mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 37
Indeks bakteri (BI)
1+ 1-10 dalam 100 LP
2+ 1-10 dalam 10 LP
3+ 1-10 dalam 1 LP
4+ 11-100 dalam 1 LP
5+ 101-1000 dalam 1 LP
6+ >1000 dalam 1 LP
Indeks morfologi (MI)
Jumlah bakteri utuh x 100%Jumlah semuanya
2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.
3. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,
tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap
M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4
minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema,
yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe
lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis.
Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 38
· 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
· +1 : Papul berdiameter 4-6 mm
· +2 : Papul berdiameter 7-10 mm· +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul
dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai prognosis.
Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki kemungkinan
klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.
4. Tes Serologi
1. Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
2. Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption test (FLA-
ABS), radioimmunoassay (RIA), ELISA, passive hemagglutination assay (PHA),
serum antibody competition test (SACT), dan particle agglutination assay (PAA).
3. Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana sudah
disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA. Estimasi dari
komponen spesifik M leprae pada jaringan.
4. Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae diperiksa
menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid chromatography, gas-
liquid chromatography, dan mass spectrometry.
5. Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik dari
mycobacteria, termasuk M leprae.
6. Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan memakai
antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi frekuensi munculnya reaksi
positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan nilai prediksi positif dari
aktivitas penyakit ini.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 39
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 40
SIFAT PB MB
1. Lesi Kulit
(Makula datar,
papul yang
meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yang jelas
- > 5 lesi
- Distribusi lebih
simetris
- Hilangnya
sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan Saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemaha
n otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
saraf
3.10. KOMPLIKASI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang
menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas.
Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam
deformitas primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan merusak
jaringan sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jari-jari, dan
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 41
wajah.Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis
palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
mengakibatkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara bergabung dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut yang dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia.Pada
tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. Pada kulit akan timbul gejala klinis
yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila
mengenai organ lainnya dapat menimbulkan gejala seperti :
1. Iridosiklitis
2. Neuritis Akut
3. Limfadenitis
4. Arthritis
5. Orkitis, dan
6. Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat
syaraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi
Lepra.
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 42
Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip
sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan
infeksi mata dan akhirnya kebutaan.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok (“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya
(kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka kelopak
mata tidak dapat dirapatkan(“lagophtalmos”).
Kerusakan Fungsi Otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan
tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta yang
terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas akut
terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 43
Hipersensitivitas terhadap antigen m.leprae karena ketidakseimbangan imunologis:
1. Reaksi tipe 1
Hipersensitivitas tipe IV, antigen m.leprae dgn T limfosit Karena perubahan cepat dr
imunitas seluler. Timbul pd kusta tipe borderline ( BT, BB, BL ). Gejala klinis lesi
macula eritematus,menebal,panas dan nyeri.
2. Reaksi tipe 2
Reaksi antigen-antibodi yg melibatkan komplemen. Terjadi pd 50% tipe LL dan 25%
tipe BL. Gejala utama Eritema Nodusum Leprosum (ENL)→ nodul kemerahan yg
nyeri
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.
Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri.Lesi
lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang
nyeri.Lesi lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.
Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.
3.11. PENATALAKSANAAN2,3,5,6
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk
mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk
kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk ,
mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara
lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.
a.DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan
obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino
difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan
bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA)
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 44
dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari
dapson adalah anemia hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
b. Lamprene atau Clofazimin
Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja
dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta
ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat
antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari,
namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna
kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini
disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel system
retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi
berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia dan
vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.
c.Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari
atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
d. Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness
dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-
hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 45
e. Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan
susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan.
f. Klaritromicin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis
harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai
bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap
bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap 46egative dan klinis tidak
ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan
lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar
pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa
pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan
untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB
dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400
mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 46
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian
monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil
tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan
regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan:
regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 47
Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun
Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 48
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita
MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya
bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50
mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8
bulan.
Pengobatan Reaksi Kusta
a. Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada
penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat
diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide
merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini ,
obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis 200-
300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk
lepas dari ketergantungan kortikosteroid.
b. Pengobatan reaksi raversal
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg per
hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan dapat diberikan . Klofazimin
untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai,
begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 49
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-
obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-
3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis
400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDT
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 50
Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin.
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya
memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila
bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindnginya.
Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar
tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta.
Tabel : Klasifikasi Cacat
Cacat pada kaki dan tangan
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau
kecacatan yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 51
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
3.12. PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, bakteri ini
berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk batang, tidak bergerak dan
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 52
berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae dapat berkembang biak dalam
sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat ini belum juga dapat dibiakkan
dalam media artifisial.
Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan baal pada
daerah wajah, tangan, dada, punggung dan kaki. Pasien dicurigai menderita penyakit kusta
karena kusta dapat menyebabkan kelainan kulit dan saraf tepi, yang mengakibatkan
terjadinya keluhan rasa baal, bahkan mati rasa pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang
diserang kuman M. lepra.
Pada pemeriksaan dermatologi tampak plak, macula dan papul ukuran bervariasi
antara diameter 1 cm hingga ukuran 2x4 cm, eritem, batas jelas, berbentuk bulat. Kemudian
pada pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan funsi sensorik pada rasa raba, nyeri
dan suhu ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal dan terjadi pembesaran
saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan kanan. Pada pemeriksaan penunjang dengan
pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index +3 dan morfologi index 80%.
Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya plak,
makula, papul dengan eritem dan pemeriksaan BTA dengan hasil positif maka diagnosis
kerja sementara adalah Morbus Hansen tipe BL (Borderline Lepromatosa) dengan reaksi
tipe I.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-
overview#a0104 Accessed on 17th November 2013.
2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 53
3. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/ 12 Oktober 2013.
4. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67
5. WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada 12 Oktober 2013.
6. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Accessed on 16th
November 2013.
7. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
8. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
9. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
10. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126
Lapsus Morbus Hansen Tipe BL dengan Rekasi Tipe I Page 54