lbm 2 tropis nurul
DESCRIPTION
tTRANSCRIPT
LBM 2 TROPIS NURUL
1. Mengapa di dapatkan timbul bercak yang mati rasa di tangan kiri disertai dengan atrofi ?
Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1
dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya
fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan
saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Sel schwann merupakan APC non professional.
2. Mengapa pada pasien di dapatkan atrofi otot hipotenar dan claw hand ?
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan
hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf
tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk merasakan
sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan
saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya
sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-
jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra
menjadi tampak mengerikan.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan
penyakit menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
CARI GAMBAR SEL SCHWAN !
3. Mengapa dokter mempertimbangkan terjadi nya reaksi hipersensitivitas pasca pemberian terapi ?
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF- , IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12 dan sitokinα γ immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag.β Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN- meningkatγ sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFN γ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.
Gambaran reaksi kusta tipe 1 Organ yang
diserang
Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa
Lesi yang telah ada menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai
panas dan malaise
Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri tekan syaraf dan gangguan fungsi
Berlangsung kurang dari 6 minggu
Membesar, nyeri tekan dan gangguan fungsi.
Berlangsung lebih dari 6 minggu
Kulit dan syaraf Lesi yang telah ada akan menjadi lebih eritematosa, nyeri pada syaraf
Berlangsung kurang dari 6 minggu
Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki
Syaraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6 minggu
2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen. Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF- . IL-4, IL-5, IFN- ,TNF- bertanggung jawabγ α γ α terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. 25,27 Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.
Gambaran reaksi kusta tipe 2 Organ yang diserang
Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat ulserasi
Demam ringan dan malaise
Nodus banyak, nyeri, berulserasi
Demam tinggi dan malaise
Syaraf tepi Membesar
Tidak ada nyeri tekan syaraf
Fungsi tidak ada gangguan
Sangat membesar
Nyeri tekan
Gangguan fungsi
Organ tubuh Tidak ada gangguan organ-organ dari tubuh
Terjadi peradangan pada:
mata: nyeri, penurunan visus, merah sekitar limbus
Testis: lunak, nyeri dan membesar
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf
4. Mengapa dokter melalukan tes sensibilitas ?
a. tes sensoris .
Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang diperiksa
harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas menerangkan
bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas.ia harus
rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan
mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup rnatanya, kalau
perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian kulit lain
yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang
sehat dan kulit yang tersangka diserang kusta.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa
pada bagian tengahnya, jangan di pinggimya.
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum
yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Rasa suhu
- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi air panas
(sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C).
- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk
memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan bahwa sensasi suhu di daerah terssbut terganggu.
5. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui diagnosis dr skenario ?
1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl
Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat
oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling
merah di kulit dan infiltratif.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
Seperti tertera di bawah ini:
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
2. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Didapati pula adanya sel Vinrchow dengan banyak
kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta
yang dapat dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination).
4. Pemeriksaan Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian
disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi
fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi
terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi
Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:
0 : Papul berdiameter 3mm atau kurang
+1 : Papul berdiameter 4-6mm
+2 : Papul berdiameter 7-10mm
+3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm
Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010
6. Apa yang di maskud dengan Makula hipopigmentasi ? etiologi ? 7. Apa diagnosis dan DD pada skenario ?
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal, yaitu:
A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau
kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).
B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf
tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa. b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise). c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf
8. Etiologi dan faktor resiko dari skenario ?
ETIOLOGI
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu
dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi
sistemik pada binatang Armadillo.Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat
lama dibandingkan dengan kuman lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi
lama, yaitu rata-rata 2 – 5 tahun.
Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri dari
2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan
lipopolisakarida pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan
yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil mengandung
rangka peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam mycolic.Protein
imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:
a) M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media
buatan.
b) Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
c) M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
d) M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh
dalam saraf perifer.
e) Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid
dan negatif pada penderita lepromatous.
FAKTOR RESIKO
1. Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan juga
penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi penyakit
ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri M. leprae maka
orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat – obat
immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini
2. Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak – anak.
3. Kebersihan. Berganti – ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula
menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga kebersihan
kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.
4. Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih,
5. Asupan gizi yang buruk, dan
6. Adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
7. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita
9. Klasifikasi MH dari WhO ?
Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):
a. Indeterminate (I)Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. bataslokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin.b. Tuberkuloid (T)Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 ataubeberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaankering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.c. Borderline (B)Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi samadengan Tuberkuloid.d. Lepromatosa (L)Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas.Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata diseluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkanpenyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologi, dan imunologis.a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semuatempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya.Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalamipenyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertaiadamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.c. Tipe Mid Borderline (BB)Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes leprominmemberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yangmengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapatdibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanyaadenopathi regional.d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yangterjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasimaupun facies leonine.e. Tipe Lepromatosa (LL)
lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan padaproduksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadimadarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine)
10. Gejala dan tanda MH ?
GEJALA KLINIS
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul
minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan tanda yang
muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan prognosis jangka
panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang diberikan.
1. Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang
datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-
sarafnya.
2. Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan
berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis dan bulu mata.
3. Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran
kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid;
jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa
Sedangkan klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran
klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis
1) Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian
menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20
sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia
dan gangguan berkeringat.Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif.Sebagian besar
penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi
salah satutipe determinate.
2) Lepra tipe Determinate
a) Lepra tipe Tuberkuloid(TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit.Kelainan kulit
tersebutdapatberupa bercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering,
serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut.Kadang kala ditemukan penebalan
saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n.
auricularis magnus.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif,
sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat.Hal ini menunjuk-kan adanya
imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yangbaik.
Mengenai kulit dan saraf.
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya
lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.Dapat dijumpai lesi-
lesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau lebih, sehingga menyebabkan kecacatan
yang luas.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita
lepra BT (very few sampai 1+).Tes lepromin positif.
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli-morf. Kelainan kulit ini
dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan
hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out).
Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks
bakteriologis 2+ dan 3+.Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat
tidal( stabil).
Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai makula,
bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran
yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL
awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag
tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil
daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam
positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.
e) Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah
banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus
serta batasnya tidak jelas, dan papula.Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru
terserang pada stadium lanjut.Dapat terjadi neuropati perifer.Mukosa hidung menebal
pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung
yang bercampur darah.Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi,
menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa,
plakat, dan nodul.Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan
sklera.Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari Langan dan kaki
membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis.Kartilago dan tulang hidung perlahan-
lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh
sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang
kala mengakibatkan ginekomastia.Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan
asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas
atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis muka kasar
dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis,
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula
dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
Tipe Indeterminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
Lidah : ulkus, nodus
Larings : suara parau
Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
Kelenjar limfe : limfadenitis
Rambut : alopesia, madarosis
Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:
1. Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
2. Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
3. NNeuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
1. Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris
2. Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot)
3. Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam
distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau
diregangkan
4. lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:
1. Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-
lesi kulit yang baru
2. reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata
merah
3. nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
N. fasialis :
- Cabang temporal dan zigomatik meyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
N. ulnaris :
- Anesthesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipothenar dan otot interosseus serta kedua otot lumbrikalis medialis
N. medianus :
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- Ibu jari kontraktur
- Atropi otot thenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. radialis :
- Aestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- Tangan gantung (wrist drop)
- Tak mampu extensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis :
- Kaki gantung (foot drop)
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior :
- Anestesia telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. trigeminus :
- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
ttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31135/4/Chapter%20II.pdf
11. Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi ? 12. Manifestasi klinis dari diagnosis ? 13. Bagaimana cara penularan dari penyakit tersebut ?
Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan , cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5
tahun.
14. Patogenesis dan patofosiologi dari skenario ?
Menurut Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu:
1. Stage of involvement
Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya anestesi atau kelemahan otot.
2. Stage of damage
Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf otonom, sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf telah mengalami kerusakan (damage) atau telah mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage ditegakkan, bila syaraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan syaraf yang permanen dapat dihindari.
3. Stage of destruction
Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan, fungsi syaraf ini tidak dapat diperbaiki
Imunologi
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral.
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN- , IL-2, γ lymphotoxin- α pada lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ ( T helper cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic T cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein antimikroba yaitu granulysin.21
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy makrofag.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf
Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan
yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat
bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan
diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan
faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang
yang terinfeksi dan orang yang sehat.[12] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi
untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga
55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah
organisme di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme
tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya
bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak
menemukan bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan
adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta
lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi bahwa
sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya
bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit
yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada
mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan yang mempercayai
bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya
bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama
30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik.Secara umum,
telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Patogenesis
Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia: jaringan saraf perifer (sel
Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta system monosit-makrofag. Basil
tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan replikasi di dalam sel Schwann dan
selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke jaringan perineural serta dapat pula
berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk kemudian dapat menyebabkan bakteremi.
Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum kliniko-
patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular merupakan
salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.
Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda yang
terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan terjadi
resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat menimbulkan
granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler. Pada manusia dengan
reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk granuloma lepromatosa atau
virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua respon monosit dan makrofag
terhadap M. leprae.
Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda positif,
fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh, makrofag dapat
bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan presentasi lengkap antigen basil
di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat menginduksi sintesis IL-12 yang kemudian
dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1) untuk memproduksi IL-2 dan IFN-gamma. Berbagai
sitokin tersebut juga dapat mengaktivasi makrofag lain dan membantu proses lisis bakteri
hingga terbentuk sel epiteloid dan sel langhans. Secara structural, sitoplasma dari sel epiteloid
menunjukkan lisosom dan apparatus golgi yang normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa
struktur gabus (Virchowsit). Perbesaran mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang
tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2 dan IFN-
gamma. Bersama dengan MHC I, APC yang sama dapat merangsang limfosit T CD8+ walaupun
tidak sebesar efek pada lepromatos lepra.
Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative terjadi
overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap fosfolipase lisosom
dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid basil yang persisten. Hal
tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC) sehingga imunitas seluler tubuh
tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos lepra, makrofag lain akan memfagosit sel
lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi dari MHC II, pelepasan IL-4 akan merangsang
imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan Limfosit T CD8+, limfosit B, IL-1, sintesis TNF – alfa) dengan
produksi antibody anti-lepra dan memfasilitasi reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena
Lucio).
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul
MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya
pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui
CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi
menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.α
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolatγ
glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatandengan C3 melalui reseptor
CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2
juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi
bakteri dari penghancuran oksidatif olehanion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi.
Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan
dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag sudah disebut
dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4
dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.Signal I tanpa adanya signal II
akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan
menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1
akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan
lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid.Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba.Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy
15. Penatalaksanaan pada diagnosis ?
Pengobatan Penderita
Obat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin, dan rimpafisin.DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan
pada tahun 1952.
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditunjukkan unuk
mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta
baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini MDT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan
rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling
banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di Negara
berkembang dengan social ekonomi yang rendah.
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk :
- Mencegah dan menggobati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :
Efek terapeutik obat
Efek samping obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya
A. Tujuan Pengobatan
1. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe Pb yg
berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat.Akan tetapi bagi
penderita yg sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah
cacat yg lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur,maka kuman
kusta dapat menjadi aktif kembali,sehingga timbul gejala-gejalla baru pada kulit dan
syaraf yg dapat memburuk keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan
teratur.
2. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular
kepada orang lain. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikankuman kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh,dan tanda-tanda penyakit menjadi
kurang aktif danakhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman mama sumber penularan dari
penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus. Selama dalampengobatan penderita-
penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa.
B.Obat-obat yang dipergunakan
DDS ( DAPSON ), 1-2 mg/kgBB/hari
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi sekunder terjadi oleh
karena :
Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun
Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar, oleh
karena SIS, penderita PB tinggi dan penggobatannya relative singkat.
Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan
manifestasinya dapat dalam berbagai tipe ( TT, BT, BB, BL,LL) bergantung pada SIS
penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat di obati dengan dosis DDS yang
lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Efek samping yang mungkin timbul : nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampisin, 10 mg/kgBB/hari
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena akan memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu, mengingat efek sampingnya.
Efek sampingnya : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome,
dan erupsi kulit.
Klofazimin (Lamprene), :
50 / 100 mg selang sehari atau
3 x 100 mg setiap minggu
Dapat juga digunakan sebagai antiinflamasi, sehingga dapat digunakan sebagai
penanggulangan E.N.L, 200-300 mg/hari.
Efek sampingnya : warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera,
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada sel RES, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi
dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal ( nyeri abdomen, nausea, diare,
anoreksia, dan vormitus), selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Perubahan
warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.
Protionamid, 5-10 mg/kgBB/hari
Di Indonesia obat ini tidak digunakan atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
Ofloksasin, dosis optimal 400 mg
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap microbacterium leprae in
vitro. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
microbacterium leparae sebesar 99,99%.
Efek sampingnya : mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susunan saraf pusat termaksuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi.
Hati-hati pada penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui.
Minosiklin, dosis harian 100 mg
Termaksud golongan tetrasiklin, efek bakterisidnya lebih tinggi dari pada klaritomisin,
tetapi lebih rendah dari pada ripamfisin.
Efek sampingnya : pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan SSP,
termaksud dizziness dan unsteadiness. Kontraindikasi untuk anak-anak dan kehamilan.
Klaritomisin, dosis harian 500 mg
Merupakan kelompok makrolid dan menpunyai aktivitas bakterisidal terhadap M. leprae.
Efek sampingnya : nausea, vormitus, diare. Yang terbukti jika diberikan pada dosis 2000
mg.
Kombinasi obat ini diberikan 2-3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus negative.
Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai
bakterioskopis negative. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap
bulan dan bakterioskopis minimal 3 bulan.
Jadi, pengonatan kusta multibasilar hanya selama 2-3 tahun. Penghentian penggobatan
RFT ( release from treatment) dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara
klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Bila
bakterioskopis negative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan RFC (release from control)
Prednison.
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi.
Sulfat Ferrosus.
Obat tambahan untuk pederita kusta yang Anemia Berat.
Vitamin A.
Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis).
C. Regimen Pengobatan MDT
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh
WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tipe PB 1 : Lesi 1
- Diberikan dosis tunggal ROM :
- Obat ditelan di depan petugas
- Anak < 5 tahun } tidak diberikan ROM
- Ibu hamil
Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung RFT.
Bila obat-obat ini belum datang dari WHO untuk sementara semua kasus PB 1 diobati
selama 6 bulan dengan Regimen PB (2-5). Lesi1 dengan pembesaran saraf,diberikan
Regimen PB 2-5
2. Tipe PB 2-5 : Lesi 2-5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- DDS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.
- Pengobatan 6 disis diselesaikan dalam waktu maksimal 9 Bulan.
Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (“ Release From Treatment” = berhenti
minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
3. Tipe MB : Lesi lebih dari 5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa.
- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- Lampiran 300 mg/bulan diminum didepan petugas.
- Lamprene 50 mg/hari diminum dirumah.
DDS 100 mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 12 dosis diselesaikan dallam waktu maksimal 18 bulan. Sesudah selesai
minum 12 dosis dinyatakan RFT (“Release Ffrom Treatment” = berhenti minum obat
kusta), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Dosis Lamprene untuk anak :
Umur dibawah 10 tahun :
bulan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2 kali/minggu.
Umur 11-14 tahun :
bulan 200 mg/bulan,
Harian 50 mg/3 kali/minggu.
Dosis DDs untuk anak-anak 1-2 mg/kg berat badan.
Dosis Rifampicin untuk anak-anak 10-15 mg/kg berat badan.
16. Komplikasi dari diagnosis ?
KOMPLIKASI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan
dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas.
Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam deformitas
primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan merusak jaringan
sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jari-jari, dan wajah.Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya mengakibatkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara bergabung dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut yang dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia.Pada tipe
lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus semineferus testis. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ
lainnya dapat menimbulkan gejala seperti :
1. Iridosiklitis
2. Neuritis Akut
3. Limfadenitis
4. Arthritis
5. Orkitis, dan
6. Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat syaraf
tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi Lepra.
A. Kerusakan Fungsi Sensorik.
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip
sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan
infeksi mata dan akhirnya kebutaan.
B. Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok (“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya
(kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka kelopak
mata tidak dapat dirapatkan(“lagophtalmos”).
C. Kerusakan Fungsi Otonom.
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Pada
umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan
tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.
Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri.Lesi lebih
berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri.Lesi
lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.
Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.