legalitas peralihan hak atas tanah...
TRANSCRIPT
LEGALITAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH PARTIKELIR MENJADI HAK
MILIK PERSEORANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG 5 TAHUN 1960
TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Ando Iqbal Noorhadi
NIM : 11140480000011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
iii
LEGALITAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH PARTIKELIR MENJADI HAK
MILIK PERSEORANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG 5 TAHUN 1960
TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA.
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Ando Iqbal Noorhadi
NIM : 11140480000011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul LEGALITAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH PARTIKELIR
MENJADI HAK MILIK PERSEORANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG 5
TAHUN 1960 TENTANG POKOK-POKOK AGRARIA telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 September 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum
dengan Konsentrasi Hukum Bisnis.
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat,SH.,M.H.
NIP. 196911211994031001
Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH. M.Hum.
NIP. 196509081995031001
Pembimbing I : Dr. Supriyadi Ahmad, M.A.
NIP. 195811281994031001
Pembimbing II : Feni Arifiani, S.Ag., M.Hum.
NIP. 197607082002121009
Penguji I : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.
NIP. 195510151979031002
Penguji II : Ali Mansur, M.A.
NIP. 197605062014111002
v
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama: Ando Iqbal Noorhadi
NIM: 11140480000011
Fakultas/Program Studi: Fakultas Syariah dan Hukum/Ilmu Hukum
Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 9 Juli 1995
Alamat: Komplek Pertani Nomor 13, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan RT: 06/RW:
003, Kode Pos: 12760;
menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Agustus 2017
Ando Iqbal Noorhadi
vi
ABSTRAK
ANDO IQBAL NOORHADI. NIM 11140480000011. Legalitas Peralihan Hak Atas Tanah
Partikelir Menjadi Hak Milik Perseorangan Ditinjau Dari Undang-Undang 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis.
Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1438
H/2017 M. viii + 75 halaman + 3 halaman daftar pustaka + 16 lampiran.
Pemasalahan utama terkait dengan perubahan kepemilikan atas sebidang tanah dengan status
hak yang berupa hak atas tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan. Tujuan dalam
penelitian ini mendeskripsikan akibat hukum dari konversi status hak kepemilikan atas tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan dan tinjauan hukum yang digunakan dalam
mengukuhkan mekanisme konversi tersebut.
Metode yang digunakan adalah normatif-empiris dengan pendekatan perundang-undangan,
dan konsep. Data berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
nonhukum. Bahan hukum, baik bahan hukum primer, ketiga sumber data tersebut diuraikan
dan ditampilkan dalam penulisan sistematis untuk menjawab pemasalahan.
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa akibat hukum yang timbul dengan
konversi status hak tanah partikelir menjadi hak milik perseroangan adalah telah
sempurnanya suatu persyaratan administratif terhadap tanah tersebut dalam proses penerbitan
suatu Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Proses penerbitan sebuah IMB dapat dilaksanakan
apabila status hak tanah yang sudah dimohonkan dalam pembuatan IMB sudah berubah
menjadi Hak Milik Perseorangan. Dasar hukum yang mengukuhkan proses konversi hak
tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan diunifikasikan pada Pasal 77 sampai dengan
Pasal 83 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999,
Kata Kunci: Legalitas, Peralihan, Tanah Partikelir, Hak Milik Perseorangan, Konversi.
Pembimbing : 1. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A.
: 2. Feni Arifiani, S.Ag., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2014
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., yang senatiasa
memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam senangtiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, peneliti telah
menerima banyak bantuan baik material dan immaterial oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Jakarta;
3. Dr. Supriyadi Ahmad, M.A. dan Feni Arifiani, S.Ag., M.Hum. pembimbing
skrpsi. Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun;
4. Keluarga tersayang, Sapta Hadi Saputra, S.H., M.Kn., Dotty Julia, S.H. dan adik
penulis Andi Faizkha Haditya yang telah memberikan bantuan tak terhingga
dalam bentuk materil, doa, dan dorongan agar penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Seluruh Keluarga Besar Indo Rave Project yang turut memberikan bantuan yang
sangat besar berupa dorongan secara moral kepada penulis agar penulis tetap
memiliki semangat dalam menyelesaikan dan menuntaskan skripsi ini.
6. Sitti Hardiyanti yang berperan besar sebagai penyemangat utama agar penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dan pada akhirnya dapat berfoto bersama dia
viii
saat wisuda dan mengenakan toga nanti dan seluruh pihak yang secara langsung
atau tidak langsung sudah membantu, menyemangati, dan mendoakan penulis
dalam menyelesaikan skripsi penulis.
Atas seluruh bantuan baik berupa materil dan immateril dari pihak-pihak yang telah
disebutkan diatas dan pihak-pihak lain, penulis berharap Allah memberikan pahala yang
berlipat ganda. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 30 Mei 2017
Penulis,
Ando Iqbal Noorhadi
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................................... ................... iv
PERNYATAAN ................................................................................................... ................... . v
ABSTRAK ............................................................................................................ ................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... .................. vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ................. .. ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ .................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................. .................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............................... .................... 4
1. Pembatasan Masalah................................................................. .................... 4
2. Perumusan Masalah .................................................................. .................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ .................... 6
1. Tujuan Penelitian ...................................................................... .................... 6
2. Manfaat Penelitian .................................................................... .................... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................... .................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................ .................... 8
F. Sistematika Penelitian ...................................................................... .................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM PERALIHAN HAK BERDASARKAN KONVERSI ATAS
TANAH PARTIKELIR / BEKAS TANAH PARTIKELIR ................ .................. 14
A. Legitimasi Konversi Hak Kepemilikan Atas Tanah ........................ .................. 14
B. Pengertian dan Penguasaan Tanah Partikelir ................................... .................. 20
C. Kepemilikan Tanah Partikelir Pada Masa Kolonialisme dan Pasca Kemerdekaan
Indonesia .......................................................................................... .................. 24
BAB III SEJARAH PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
DAN SEJARAH TANAH PARTIKELIR DI INDONESIA BERSERTA
PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH............................................. .................. 27
A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria ............................................................ .................. 27
B. Gambaran Umum tentang Penguasaan Tanah Partikelir/Bekas Tanah Partikelir
pada Masyarakat di Jakarta Selatan ................................................. .................. 33
C. Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Perundang-Undangan............37
x
BAB IV KONVERSI STATUS HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH PARTIKELIR
MENJADI HAK MILIK PERSEORANGAN ..................................... .................. 47
A. Akibat Hukum yang Timbul Atas Peralihan Status Hak Atas Tanah Partikelir
Menjadi Hak Milik Perseorangan .................................................... .................. 47
B. Mekanisme Konversi Hak Kepemilikan Tanah Partikelir Menjadi Hak Milik
ccdPerseorangan Dalam Peraturan Perundang-undangan .................... .................. 60
C. Analisa Akibat Hukum Atas Konversi Status Hak Kepemilikan Tanah Partikelir
Menjadi Hak Milik Perseorangan dan Mekanisme Konversi Menurut Peraturan
Perundang-undangan ....................................................................... .................. 65
BAB V PENUTUP ............................................................................................ .................. 71
A. Kesimpulan ...................................................................................... .................. 71
B. Saran ................................................................................................ .................. 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... .................. 73
xi
Daftar Lampiran
1. Pengesahan Tim Seminar Proposal Program Studi Ilmu Hukum 2016.......................76
2. Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi........................................................................78
3. Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan Duren
Tiga, Kecamatan Pancoran Kotamadta Jakarta Selatan, tertanggal; 26 Juli 2006 ....... 79
4. Surat Keterangan Nomor 43/1.711.3 dari Kelurahan Duren Tiga ............................... 81
5. Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah BTP Nomor 43/1.711.3 dari
Kelurahan Duren Tiga.................................................................................................. 82
6. Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan Duren
Tiga, Kecamatan Pancoran Kotamadta Jakarta Selatan, tertanggal; 3 April 2000 ...... 83
7. Surat Pernyataan Penguasaan Atas Sebidang Tanah; tertanggal 3 April 2000 ............ 84
8. Surat Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah BTP Di Kelurahan Duren Tiga,
Kecamatan Pancoran Kotamadya Jakarta Selatan; tertanggal 3 April 2000 ................ 85
9. Surat Pernyataan Penguasaan Atas Sebidang Tanah; tertanggal 26 Juli
2006..............................................................................................................................87
10. Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah BTP Nomor 147/1.711.03 dari
Kelurahan Duren Tiga .................................................................................................88
11. Surat Keterangan Nomor 147/1.711.03 dari Kelurahan Duren Tiga...........................89
12. Surat Pernyataan Pengakuan Menguasai Fisik Sebidang Tanah Di Kelurahan Duren
Tiga Kecamatan Pancoran Kota Administrasi Jakarta Selatan;tertanggal 1 Agustus
2016..............................................................................................................................90
13. Surat Pernyataan Tidak Sengketa; tertanggal 1 Agustus
2016..............................................................................................................................91
14. Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara Nomor 85/ 1.711.1 dari
Kelurahan Duren Tiga..................................................................................................92
15. Surat Keterangan Nomor 85/1.711.1 dari Kelurahan Duren
Tiga...............................................................................................................................93
16. Ketetapan Rencana Kota Nomor 277/5.2.0/31.74.08.1004/-
1.711.531/2016.............................................................................................................94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu jenis hukum perdata yang cukup dikenal oleh masyarakat
adalah mengenai hukum agraria. Hukum agraria adalah kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antara orang dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.1 Objek dari hukum agraria itu sendiri
yang memiliki peran yang penting di masyarakat antara lain adalah terkait
bidang pertanahan.
Bagi penyelenggaraan pembangunan fisik selalu diperlukan tanah,
bahkan bagi pembangunan bidang bidang tertentu seperti kawasan industri
dan kawasan perkebunan ataupun yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut
maka Pasal 33 ayat (3) dari Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD NRI 1945) memuat pengaturan terkait
pertanahan yakni:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan yang terkandung dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut menjadi dasar
terlahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
1 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006),
h. 125.
2
Pokok-Pokok Agraria atau disingkat dengan UUPA di Indonesia. Undang-
Undang tersebut memuat pengaturan terkait dengan perombakan hukum
agraria di Indonesia serta pokok persoalan agraria dan penyelesaiannya.2
Pemakaian istilah agraria dalam arti luas yang terkandung dalam Pasal
2 ayat (1) UUPA mencangkup bumi, air, kekayaan alam dan bahkan ruang
angkasa dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu.3 Menurut Boedi Harsono,
hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang
tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek
pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-
lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkret, beraspek
publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,
hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria, asas hak menguasai negara atas tanah diatur dan diturunkan ke
macam-macam hak yang diberikan kepada orang atau badan hukum. Negara
memberikan beberapa macam hak atas tanah perseorangan atau badan hukum
dengan tujuan agar pemegang hak tersebut mengelola tanah sesuai hak
tersebut sejauh tidak bertentangan dengan batas-batas yang ditetapkan
negara.4 Dalam hukum kolonialisme Belanda dikenal adanya 3 (tiga) buah
2Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya Jilid 1, (Jakarta: Djambatan, 2007), h. 3.
3Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya Jilid 1, h. 6.
4 Elsa Syarief, Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, (Jakarta: Gramedia,
2014), h. 2.
3
jenis hak penguasaan atas tanah yakni eigendom, erpacht dan opstal. Pada
masa kolonialisme belanda, hak eigendom dalam pengaturan hukum barat
dapat memiliki sebuah hak pertuanan. Hak eigendom merupakan hak yang
paling sempurna atas suatu benda dalam hal ini adalah hak atas kepemilikan
sebidang tanah.5 Sebidang tanah dengan hak eigendom yang memiliki hak
pertuanan tersebut disebut dengan tanah partikelir.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir di Republik Indonesia memiliki tujuan untuk
melakukan nasionalisasi aset-aset berupa hak-hak kepemilikian tanah yang
berupa hak partikelir yang juga merupakan hak eigendom tadi menjadi tanah
negara melalui kepemilikan Warga Negara Indonesia (WNI). Dua tahun
kemudian UUPA terbit untuk kembali mengukuhkan proses nasionalisasi
berseta konversi hak-hak kepemilikan tanah berdasarkan hukum barat
menjadi hak-hak kepemilikan tanah yang berdasarkan hukum nasional.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti akibat
hukum yang timbul dari konversi status kepemilikan tanahn berdasarkan
hukum barat menjadi berdasarkan hukum nasional berikut dengan tinjauan
aturan hukum yang digunakan dalam mengukuhkan mekanisme konversi hak-
hak kepemilikan tanah berdasarkan hukum barat menjadi hak-hak
kepemilikan berdasarkan hukum nasional. Oleh karena itu peneliti
mengambil judul penelitian Legalitas Peralihan Hak Atas Tanah Partikelir
5 Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), h. 69.
4
Menjadi Hak Milik Perseorangan Ditinjau Dari Undang-Undang 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian peneliti menjadi efektif, tepat sasaran dan tidak
melebar maka peneliti hanya membatasi dengan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Akibat hukum dalam penelitian ini merupakan akibat hukum dari
peralihan hak-hak kepemilikan tanah melalui konversi status hak
kepemilikan tanah berupa kepemilikan sebidang tanah partikelir
menjadi kepemilikan sebidang tanah dengan hak milik perseorangan.
Adapun hak yang menjadi objek konversi hak kepemilikan atas tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan tersebut merupakan
sebidang tanah yang terletak di Jalan Guru Alip Nomor 24, Kelurahan
Durentiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
b. Tanah partikelir yang dimaksud pada penelitian ini merupakan tanah
“eigendom” di atas mana pemiliknya memiliki hak–hak pertuanan.
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah – Tanah Partikelir menjelaskan bahwa hak–hak pertuanan itu
sendiri merupakan hak untuk mengangkat atau mengesahkan
pemilihan serta memperhentikan kepala kampung atau desa, hak
untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja
paksa dari penduduk, hak mengadakan pungutan, hak untuk
5
mendirikan pasar memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan
maupun hak -hak lainnya.
c. Hak milik perseorangan yang dibahas pada penelitian ini merupakan
hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya kemilikan atas
segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah berdasarkan
ketentuan yang tertuang pada Pasal 20 Undang –Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok–Pokok Agraria.
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
yang merupakan undang-undang di bidang agraria dan pertanahan di
Indonesia. Dalam penelitian ini ketentuan mengenai hak milik
perseorangan dan ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
menjadi objek acuan utama.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan terkait latar belakang dan pembatasan
masalah yang telah di bahas di atas maka peneliti memaparkan beberapa
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa akibat hukum dari konversi status hak-hak kepemilikan tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria?
b. Bagaimana mekanisme konversi hak dengan status kepemilikan tanah
partikelir menjadi kepemilikan status hak milik perseorangan
berdasarkan peraturan perundangan-undangan nasional?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian
ini memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan akibat hukum yang timbul dari konversi status
hak-hak kepemilikan tanah berdasarkan hukum barat menjadi
berdasarkan hukum nasional;
b. Untuk mengidentifikasi aturan hukum dalam proses konversi hak atas
tanah bekas tanah partikelir berdasarkan hukum barat menjadi hak
milik perseorangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis bagi pengembangan ilmu,
maupun secara praktis bagi guna laksananya. Kegunaan tersebut peneliti
uraikan sebagai berikut di bawah ini :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan
untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam hukum agraria
dan terlebih lagi bagi peneliti terkait penerapan-penerapan hukum
agraria serta pertanahan di Indonesia;
b. Secara praktis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam praktik konversi status hak tanah
partikelir dan bagi masyarakat maupun pemerintah.
7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku serta skripsi
terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam
rujukan dengan fokus masalah yang peneliti terbitkan, diantaranya:
1. Skripsi Muhammad Usep Asnawi, dengan judul Penyelesaian
Sengketa Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Studi Kasus Putusan
No. 13/PDT.G/2007/PN.PDG), Skripsi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010. Skripsi ini berbeda
dengan penelitian peneliti yang berfokus kepada akibat hukum
yang timbul karena adanya suatu proses konversi hak atas tanah
bekas tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan serta akibat
hukum yang timbul dari peristiwa konversi hak tersebut.
2. Skripsi Ria Rahayu, Perubahan Penggunaan Tanah pada Bekas
Tanah Partikelir di Kota Depok, Skripsi Universitas Indonesia
Tahun 2003. Perbedaan antara skripsi tersebut dengan penelitian
peneliti adalah penelitian peneliti berfokus pada aspek – aspek
hukum agraria yang berperan untuk merubah status hak
kepemilikan pada sebuah tanah partikelir menjadi hak milik
maupun segala akibat hukum yang timbul dengan adanya konversi
status hak kepemilikan bekas tanah partikelir menjadi hak milik
perseorangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3. Buku Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan
Pendaftarannya, penerbit Sinar Grafika, Tahun 2009. Buku ini
8
berbeda dengan penelitian peneliti yang menganalisa akibat hukum
dalam hukum agraria yang berfokus kepada konversi status hak
kepemilikan atas sebidang tanah partikelir menjadi hak milik
perseorangan yang ditinjau berdasarkan proses permohonan hak
atas tanah yang diajukan oleh Dotty Julia di Jakarta Selatan.
4. Jurnal Aditya Christy Hanggara, Pelaksanaan Konversi Hak Atas
Tanah Adat (Letter C) Menjadi Hak Milik di Kabupaten Magelang,
Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2013. Perbedaan
antara jurnal ini dengan penelitian peneliti, dapat terlihat pada
aspek hukum dan objek hukum yang digunakan untuk meneliti
sebuah akibat hukum yang terjadi di masyarakat karena
diberlakukannya UUPA. Dimana aspek hukum yang peneliti
jadikan bahan penelitian adalah terkait dengan akibat hukum yang
timbul dari perubahan status hak kepemilikan atas tanah bekas
tanah partikelir menjadi hak perseorangan milik dan objek hukum
yang peneliti teliti merupakan suatu proses permohonan hak atas
tanah bekas tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan yang
diajukan oleh Dotty Julia di Jakarta Selatan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini memiliki jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian dengan menggunakan metode ilmiah
untuk menggungkapkan suatu fenomena dengan cara mendeskipsikan
9
data dan fakta melalui kata-kata secara menyeluruh terhadap subjek
penelitian.6
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan normatif
empiris. Normatif berupa penafsiran hukum, kontruksi hukum, sejarah
hukum dan perbandingan hukum. Pada aspek sejarah hukum
menitikberatkan pada perkembangan hukum agraria sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
dan pada perbandingan hukumnya difokuskan kepada perbedaan-
perbedaan yang terdapat di aneka macam sistem hukum.7 Pendekatan
empiris mengacu kepada peraturan perundang–undangan, norma dan
gejala hukum yang ada di masyarakat dan juga menggambarkan
peraturan perundang–undangan yang dikaitkan dengan teori-teori
hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang diangkat sebagai
penelitian.8
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Bahan Hukum Primer
6 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Penerbit
Rosdakarya, 2008). h.15.
7 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ke-3, (Jakarta : UI Press,
2014),h. 50.
8Ronny Haditjo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cetakan ke-4,
(Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1990), h. 97-98.
10
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-
putusan hukum.9 Bahan hukum yang terdapat pada penelitian ini
antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1958, dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini terdiri dari buku buku yang berkaitan dengan
Hukum Agraria, Sejarah Hukum dan Politik Hukum khususnya
yang berkaitan dengan bidang pertanahan, Jurnal-jurnal hukum
yang terdapat pada situs internet dan juga skripsi dan tesis tentang
hukum agraria.
c. Bahan non Hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2010), h. 141.
11
sekunder. Seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan
lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
studi kepustakaan, obsevasi langsung dan wawancara. Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan
penelitian data sekunder berupa buku, jurnal, artikel ataupun literatur
lainnya dan observasi langsung yang dilakukan dalam penenlitian ini
adalah dengan terjun langsung dalam proses pengkonversian status hak
kepemilikan bekas tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan dianalisis secara kualitatif.
Penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
hukum positif dan data yang berasal dari berbagai literatur. Dengan
demikian merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus dan
angka.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku
“Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
12
F. Sistematika Penelitian
Sistematika pembahasan dalam tulisan ini terdiri atas lima bab. Pada
pendahuluan dikemukakan latar belakang masalah, rumusan serta batasan
masalah yang diteliti, tujuan dan manfaat penelitian dan tinjauan kajian
terdahulu. Bagian-bagian tersebut diuraikan terlebih dahulu agar dapat
diketahui secara jelas apa yang menjadi masalah pokok dan perbedaannya
dengan penelitian lain. Kemudian, dijelaskan pula metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab kedua akan menjelaskan terkait legitimasi konversi hak
kepemilikan atas tanah, pengertian dan penguasaan tanah partikelir dan
kepemilikan tanah partikelir pada masa kolonialisme dan pasca
kemerdekaan Indonesia. Pembahasan diawali dengan uraian definisi
masing-masing. Kemudian pembahasan selanjutnya diarahkan pada
legalitas konversi dari tiap status hak kepemilikan atas tanah, sejarah asal
mula pemberlakuan status tanah partikelir pada zaman kolonialisme
Belanda dan juga pembahasan terkait dengan kepemilikan tanah partikelir
pada masa kolonialisme dan pasca kemerdekaan Indonesia..
Bab ketiga menguraikan pembahasan terkait sejarah pembentukan
UUPA, penguasaan tanah hak atas tanah partikelir/bekas tanah partikelir pada
masyarakat di Jakarta Selatan dan pendaftaran hak atas tanah menurut
peraturan perundang-undangan. Pembahasan pada bab ini diawali dengan
analisa terhadap sejarah dalam pembentukan UUPA berserta latar belakang
pembentukan undang-undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan diarahkan
13
kepada fakta penguasaan atas bidang-bidang tanah partikelir yang berada di
wilayah DKI Jakarta serta pembahasan terkait tujuan dari sebuah pendaftaran
tanah menurut peraturan perundang-undangan. Kemudian, pembahasan pada
bab ini diakhiri dengan fakta-fakta peralihan hak-hak atas tanah partikelir dan
prosedur pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik.
Bab keempat merupakan inti pokok dari semua pembahasan dalam
skripsi ini, yang mana menjelaskan tentang akibat hukum yang timbul
dikarenakan peralihan status hak atas tanah partikelir menjadi hak milik
perseorangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan memfokuskan
pembahasan kepada kendala yang dihadapi dalam proses pensertifikatan
ataupun konversi status kepemilikan atas sebidang tanah bekas tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria dan tinjauan-
tinjauan aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang digunakan
dalam mengukuhkan mekanisme konversi hak-hak kepemilikan tanah
berdasarkan hukum barat menjadi hak-hak kepemilikan berdasarkan hukum
nasional.
Bab kelima merupakan penutup. Pada bab ini, hasil-hasil pembahasan
pada bab sebelumnya dirumuskan dalam berbagai pernyatan sebagai jawaban
dari masalah pokok dari penelitian ini. Saran penulis ditujukan kepada para
pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pembangunan hukum nasional
yang efektif dan adil khususnya hukum agraria dan pertanahan di Indonesia.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM PERALIHAN HAK BERDASARKAN KONVERSI
ATAS TANAH PARTIKELIR / BEKAS TANAH PARTIKELIR
A. Legitimasi Konversi Hak Kepemilikan Atas Tanah
Peraturan perundangan-undangan dalam bidang agararia di Indonesia
pada awalnya merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang
diwarisi dari zaman kolonialisme Belanda. Lahirnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Indonesia
menggantikan ketentuan dalam Agrarisch Wet tahun 1870 yang diadopsi
sejak zaman kolonialisme Belanda. Pemberlakuan ketentuan konversi dari
hak kepemilikan tanah berdasarkan hukum kolonial Belanda menjadi
berdasarkan hukum nasional dimulai sejak terbitnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal
24 September 1960 sampai dengan tanggal 24 September 1980 atau dengan
durasi 20 tahun.10
Pengertian dari konversi hak atas tanah menurut A.P. Parlindungan
adalah bagaimana pengaturan dari kepemilikan hak-hak tanah yang ada
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk masuk dalam sistem dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, yakni kegiatan menyesuaikan hak-hak atas tanah lama
10
Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2010).
h. 218
15
menjadi hak-hak atas tanah baru yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.11
Dasar hukum ketentuan konversi hak atas tanah dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
terdapat pada buku kedua pasal I – pasal IX. Berdasarkan jenis tanahnya
konversi hak atas tanah yang dahulu berdasarkan hukum kolonialisme
Belanda terbagi atas 3 (tiga) jenis yakni konversi atas tanah yang berasal dari
tanah barat, konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak
Indonesia dan konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas
swapraja.12
Hak-hak atas tanah yang berasal dari tanah barat antara lain adalah hak
eigendom, erfpacht, opstal, gebruik (recht van gebruik) dan bruikleen. Hak
eigendom adalah suatu hak kepemilikan atas sebidang tanah secara bebas
sepenuhnya, namun tidak bertentangan dengan peraturan perundangan serta
tidak menyalahi hak eigendom yang dimiliki orang lain. Hak eigendom dapat
dikonversikan menjadi hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai.
Apabila hak eigendom tersebut dibebani hak opstal atau hak erfpacht maka
11
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah (Bandung: Penerbit Mandar Maju,
2007), h.1.
12 H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan di Indonesia, (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2003). h. 81.
16
mekanisme konversinya harus melalui kesepakatan antara pemegang hak
eigendom dan pemegang hak opstal atau erfpacht tersebut.
Hak erpacht menurut pasal 820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
merupakan hak kebendaan atas penguasaan sebidang tanah yang dimiliki oleh
orang atau badan hukum lain untuk dimanfaatkan dan dipergunakan untuk
kurun waktu yang lama. Konversi dari hak erpacht dibagi menjadi 3 (tiga)
kategori pengaturan konversi yakni:13
1. Hak erpacht untuk perusahaan kebun besar dapat dikonversikan
menjadi hak guna usaha.
2. Hak erpacht untuk perumahan dapat dikonversikan menjadi hak
guna bangunan.
3. Hak erpacht untuk pertanian kecil tidak dapat dikonversikan dan
dihapus.
Hak gebruik atau recht van gebruik merupakan hak kebendaan atas suatu
benda yang dimiliki oleh orang lain untuk mengambil manfaat serta
dipergunakan bagi suatu pihak tertentu. Hak gebruik atau recht van gebruik
dikonversikan menjadi hak pakai menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain hak gebruik, hak
bruikleen juga dikonversikan menjadi hak pakai menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bruikleen merupakan suatu perjanjian dengan suatu jangka waktu tertentu
13
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan di Indonesia, h. 10-12.
17
dimana salah satu pihak menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada
pihak lainnya untuk dipergunakan.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia dan memiliki
ketentuan untuk dapat dikonversikan terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yakni hak
erfpacht altijddurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan.14
Hak
erfpacht altijddurend merupakan hak erfpacht yang diberikan sebagai
pengganti hak usaha diatas sebuah tanah bekas tanah partikelir. Hak erfpacht
altijddurend menurut Undang-Undang Nommor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dapat dikonversikan menjadi hak
milik, hak guna usaha maupun hak guna bangunan tergantung pada subjek
hak dan peruntukannya.
Hak agrarische eigendom menurut pasal 51 ayat 7 IS (Indische
Staatsregelling) merupakan tanah dengan hak eigendom yang diberikan
kepada rakyat pribumi untuk dipergunakan dan diambil manfaatnya dengan
melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak agrarische eigendom
dalam ketentuan konversi juga sama seperti hak erfpacht altijddurend dan
dapat dikonversikan menjadi hak milik, hak guna usaha maupun hak guna
bangunan tergantung pada subjek hak dan peruntukannya.
Hak gogolan, yakni tanah yang dikuasai oleh penduduk asli suatu desa
secara komunalistis selaras dengan pola kebudayaan masyarakat adat. Tanah
gogolan itu sendiri terbagi menjadi dua yakni yang bersifat tetap maupun
14
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan di Indonesia, h. 111.
18
tidak tetap. Tanah gogolan yang tetap itulah yang kemudian bisa dikuasai
dengan hak milik dan dapat dikonversikan menjadi hak milik, sedangkan
tanah gogolan yang sifatnya tidak tetap atau sementara bisa dikuasai dengan
hak pakai dan dikonversikan menjadi hak pakai.15
.
Hak-hak atas tanah yang memiliki ketentuan untuk dapat dikonversi dan
berasal dari tanah bekas tanah swapraja terdiri dari 3 (tiga) jenis yakni tanah
dengan hak hanggaduh, tanah dengan hak grant dan tanah dengan hak
konsesi dan sewa untuk perusahaan perkebunan besar.16
Hak hanggaduh merupakan hak untuk menggunakan tanah yang
merupakan kepemilikan dari raja yang terletak di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Hak hanggaduh dapat dikonversikan menjadi hak pakai. Hak
grant, geran datuk, geran sultan atau geran raja merupakan hak atas tanah
yang berasal dari pemberian kepemilikan dari raja kepada bangsa asing.
Ketentuan konversi dari tanah dengan hak grant dibagi menjadi 3 (tiga) jenis
yakni
1. Hak grant sultan yang merupakan hak atas tanah yang diberikan oleh
sultan kepada kelompok swapraja. Hak ini dapat dikonversikan
menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai
dengan subjek hak dan peruntukannya.
15
A. Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005), h. 58
16 H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria: Pertanahan di Indonesia, h. 130-133.
19
2. Hak grant controleur merupakan hak atas tanah yang diberikan oleh
sultan kepada kelompok yang bukan swapraja. Hak ini dapat
dikonversikan menjadi hak pakai.
3. Hak grant deli maatschappy merupakan hak atas tanah yang
diberikan oleh sultan kepada deli maatschappy atau perantara yang
berwenang untuk memberikan bagian-bagian tanah kepada pihak
lain. Menurut Budi Harsono, hak ini dapat dikonversikan menjadi
hak pakai karena sifatnya yang sama dengan hak grant controleur.17
Hak konsesi dan sewa untuk perusahaan perkebunan besar merupakan
hak untuk menngambil manfaat ataupun keuntungan sebuah tanah swapraja
untuk dipergunakan sebagai perkebunan yang mana hasilnya akan diberikan
kepada kepala swapraja sedangkan, hak sewa tersebut merupakan hak sewa
atas tanah negara termasuk tanah bekas swapraja didalamnya yang
dipergunakan untuk perkebunan dengan luasnya 25 Hektar atau lebih. Hak
tersebut dapat dikonversikan menjadi hak guna usaha.
Ketentuan konversi dari hak-hak barat memiliki jangka waktu 20 tahun
sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria namun menurut Yamin Lubis, terhadap
mekanisme konversi tanah tersebut dapat tetap dilaksanakan proses
konversinya sepanjang pemohonnya masih tetap sebagai pemegang hak atas
tanah yang sah dengan dijelaskan oleh bukti-bukti tertentu berupa peta atau
17
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2007), h. 68.
20
surat ukur dan untuk kemudian dalam mekanisme konversinya maka
pembukuannya cukup dilakukan dengan memberi tanda cap atau stempel
pada alat bukti tersebut dengan menuliskan jenis hak dan nomor hak yang
dikonversi.18
B. Pengertian dan Penguasaan Tanah Partikelir
Tanah partikelir merupakan sebuah tanah yang kepemilikannya pada
awalnya merupakan tanah eigendom yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah yang
berasal dari Belanda ataupun tuan-tuan tanah lainnya yang berasal dari daerah
Timur Asing. Tanah partikelir memiliki corak khusus yang disebut dengan
landheerlijke recthten, yang mana memberikan hak-hak pertuanan kepada
pemilik sebidang tanah partikelir. Hak-hak pertuanan tersebut antara lain
adalah sebagai berikut:19
1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta
memperhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala
umum;
2. Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja
paksa dari penduduk;
3. Hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang atau
hasil tanah dari penduduk;
18
Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah. h. 225. 19
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, h. 28.
21
4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar memungut biaya pemakaian jalan
dan penyebrangan;
5. dan hak-hak lainnya yang sederajat dengan yang disebut dalam poin 1
sampai 5 seperti hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan
penyebrangan.
Pada zaman kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda, di Indonesia
terdapat kurang lebih 1.150.000 Hektar tanah partikelir yang tersebar
dibeberapa daerah terutama di Jawa Barat. Tanah partikelir menurut fungsi
serta kepemilikannya dapat dibedakan menjadi tiga jenis yakni tanah-tanah
partikelir yang diduduki oleh orang-orang Timur Asing disebut tanah-tanah
Tionghoa, tanah partikelir yang diduduki oleh rakyat asli disebut tanah-tanah
usaha dan juga tanah-tanah partikelir yang dikuasai oleh tuan tanah sendiri
atau yang disebut tanah kongsi yang juga biasanya pada zaman itu banyak
dipergunakan sebagai penyewaan rumah tinggal bagi penduduk-penduduk
yang ingin tinggal di tanah partikelir tersebut.20
Pada masa kolonialisme Belanda, corak khusus yang memberikan hak-
hak pertuanan kepada pemilik tanah partikelir dipandang tidak efektif karena
menimbulkan sebuah anggapan bahwa terdapat sebuah negara kecil didalam
sebuah negara karena pemilik sebuah tanah partikelir memilik beberapa
wewenang yang dianggap melampaui batas dan seharusnya hanya dapat
dimiliki oleh negara oleh karena hal tersebut pemerintahan Hindia Belanda
20
Supriyadi, Hukum Agraria, cetakan ke-5, h. 20.
22
berangsur-angsur berusaha untuk mengembalikan wewenang tersebut kepada
negara dengan mengeluarkan Regeling Reglement (S. 1855–2) yang
memberikan larangan kepada Gubernur Jendral untuk mejual tanah yang
luasnya lebih atau sama dengan 10 bau kepada perseorangan.
Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan usaha
nyata untuk menghapuskan corak khusus dan mengembalikan wewenang
kenegaraan bagi pemilik tanah partikelir melalui peralihan hak yang
dilakukan dengan cara pembelian tanah-tanah partikelir tersebut. Pada kurun
tahun 1912-1931 pemerintahan Hindia Belanda 456.709 Hektar telah
membeli tanah partikelir dari masyrarakat atau tuan-tuan tanah tersebut
namun usaha untuk mengembalikan tanah-tanah partikelir tersebut kepada
negara tertunda pada kurun waktu 1931-1936 dikarenakan adanya usaha
penghematan dari pemerintah Hindia Belanda.21
Pada tahun 1935 didirikanlah badan usaha darurat oleh pemerintahan
Hindia Belanda untuk menangani usaha pengembalian tanah partikelir
bernama N.V. Javansche Particuliere Landrijen Maatschappij. Pada kurun
tahun 1936-1941 badan usaha tersebut telah membeli 13 bidang tanah
partikelir dengan luas 80.713 hektar. Setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya
pada tahun 1948, dibentuklah sebuah Panitia untuk memberikan usulan
kepada pemerintah terkait cara terbaik untuk menglikuidasi tanah-tanah
21
Penjelasan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir dalam
www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt4c46721865586/parent/25037 (diunduh
pada tanggal 22 September 2016).
23
partikelir yang tersisa sejak zaman kolonialisme pemerintahan Hindia
Belanda.
Berdasarkan usulan Panitia tersebut maka terbitlah Keputusan
Pemerintah Nomor 1 tertanggal 8 April 1949 yang menuntut pengembalian
secara damai 48 tanah partikelir seluas 469.506 Hektar yang terletak
disebelah Barat Cimanuk dan membeli tanah-tanah yang dimiliki oleh N.V.
Javansche Particuliere Landrijen Maatschappij untuk kemudian diambil alih
oleh pemerintahan Republik Indonesia dan pada tanggal 13 Desember 1951
N.V. Javansche Particuliere Landrijen Maatschappij resmi dibubarkan.
Pemerintahan Republik Indonesia terus mengupayakan untuk membeli
kembali tanah-tanah partikelir yang tersisa sejak zaman kolonialisme
pemerintahan Hindia Belanda dengan menyusun rencana pembelian tanah-
tanah partikelir dengan jangka waktu lima tahun namun hal tersebut tersendat
dikarenakan berbagai masalah awal keuangan negara di awal-awal masa
kemerdekaan Indonesia sehingga pada akhir tahun 1956 pemerintah
Indonesia hanya dapat membeli kembali 25 bidang tanah partikelir seluas
11.759 Hektar.
Pada tahun 1958 di pulau Jawa masih tersisa 117 bidang tanah partikelir
dengan luasnya yang berjumlah 11759 Hektar. Usaha untuk menglikuidasi
sisa tanah-tanah partikelir yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
menemui beberapa kendala selain kendala ketersediaan kas negara di awal
masa kemerdekaan Indonesia. Kendala tersebut disebabkan oleh sikap tuan
24
tanah yang hanya ingin melepaskan tanah partikelir yang dimiliknya dengan
harga yang tinggi dan menyebabkan proses pengembalian tanah-tanah
partikelir menjadi tersendat. Pemerintah Indonesia akhirnya membentuk
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir berserta dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958
sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai dasar hukum materil
serta formal untuk mengukuhan langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk
menghapuskan tanah-tanah partikelir di Indonesia.
C. Kepemilikan Tanah Partikelir Pada Masa Kolonialisme dan Pasca
Kemerdekaan Indonesia
Kepemilikan tanah partikelir dikuasai oleh masyarakat Belanda maupun
masyarakat Timur Asing yang tinggal di Indonesia pada zaman kolonilaisme
Pemerintahan Hindia Belanda awalnya didapat melalui pembelian tanah-
tanah partikelir yang dijual akibat adanya suatu kebijakan yang ditetapkan
oleh Gubernur Herman Willem Daendles pada kurun tahun 1800-1811.22
Peralihan hak atas sebidang tanah partikelir selayaknya dapat dilakukan
sebagaimana peralihan hak pada sebuah tanah eigendom. Peralihan hak atas
sebidang tanah partikelir biasanya dilakukan melalui pewarisan bidang tanah
partikelir dan penjualan maupun pembelian dari sebidang tanah partikelir dari
seorang tuan tanah.
Tuan tanah yang menduduki sebidang tanah partikelir dapat menyewakan
bagian-bagian tanah partikelir kepada masyarakat pribumi ataupun lainnya
22
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media,
2010), h. 17.
25
melalui perjanjian layaknya sewa menyewa dan memberikan kewajiban
kepada masyarkat yang menyewa sebidang tanah partikelir tersebut untuk
membayarkan biaya sewa ataupun upeti kepada tuan tanah dari sebidang
tanah partikelir. Selain itu tuan tanah partikelir juga mampu menarik upeti
berupa hasil panen dari sebidang tanah partikelir yang dijadikan lahan
pertanian ataupun perkebunan bagi masyarakat yang mengelola sebidang
tanah pertanian ataupun perkebunan yang dimiliki oleh tuan tanah dari
sebidang tanah partikelir.
Pada tahun 1958 Menteri Agraria Soenarjo menerbitkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Pehapusan Tanah-Tanah Partikelir. Sejak
tertanggal 24 Januari 1958, hak-hak pemilik tanah partikelir berserta hak-hak
pertuanan yang melekat pada tanah partikelir tersebut terhapus dan tanah-
tanah bekas partikelir tersebut secara hukum seluruhnya menjadi tanah
negara.23
Menurut Urip Santoso, ketentuan mengenai kepemilikan lebih lanjut
atas sebuah tanah bekas tanah partikelir setelah adanya penghapusan tanah-
tanah partikelir berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir baru terbit setelah dua tahun kemudian
yakni ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria terbit.
Pada pasal II ketentuan konversi dari UUPA diatur bahwa hak-hak atas
tanah dengan bentuk hak agrarisch eigendom, yasan, andarbeni, hak atas
23
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, h. 28.
26
druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landrijenbezitrecht,
altijddurende erpacht dan hak usaha atas bekas tanah partikelir setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria menjadi hak milik.24
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
sebidang tanah partikelir yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia setelah
berlakunya UUPA berubah status kepemilikannya menjadi hak milik,
sedangkan, tanah partikelir yang dimiliki oleh Warga Negara Asing dengan
berlakunya seluruh ketentuan dari Undang-Undang- Nomor 1 Tahun 1958
Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan ketentuan Pasal 21 ayat (1)
dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria sehingga status tanah partikelir tersebut menjadi terhapus dan
sebidang tanah tersebut menjadi beralih fungsi menjadi tanah negara.
24
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta:
Penerbit Republika, 2008), h. 25.
27
BAB III
SEJARAH PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1960 DAN SEJARAH TANAH PARTIKELIR DI INDONESIA BERSERTA
PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH
A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Hukum pertanahan di Indonesia memiliki sejarah panjang semenjak masa
kolonialisme Pemerintahan Hindia Belanda. Perkembangan hukum agraria
serta pertanahan di Indonesia menggambarkan adanya proses pembentukan
dan pelembagaan pengaturan yang dinamis sesuai dengan ritme peradaban
dan tingkat pengetahuan masyarakat yang dibingkai dengan situasi dan
kondisi yang mengitarinya.25
Sistem pertanahan sejak masa kolonialisme
Pemerintahan Hindia Belanda terbagi menjadi dua buah yakni berdasarkan
hukum tanah adat yang berlandaskan hukum adat dan hukum barat yang
berlandaskan BW (Burgerlijk Wetboek). Pemberlakuan hukum tanah barat
diberlakukan kepada penduduk golongan Hindia Belanda, Eropa dan Timur
asing sedangkan hukum tanah adat diberlakukan kepada golongan bumiputra
atau pribumi sesuai dengan pemberlakuan pasal 131 IS dan pasal 163 IS pada
masa itu.
Hukum tanah adat berlaku bagi tiap masyarakat pribumi yang berada
pada daerah adat tertentu dengan pranata hukum tertentu bagi masyarakat
25
Ridwan, Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan
Indonesia dalam Perspekstif Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2010), h. 167.
28
adat tersebut. Adapun tanah-tanah yang diatur melalui hukum tanah adat
adalah sebagai berikut:26
1. Tanah milik adat, yang biasanya dikuasai oleh masyarakat adat
setempat secara komunalistis
2. Tanah ulayat atau tanah ulayat, yakni tanah yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang diperuntukan nagi
para warganya untuk dinikmati dan dimanfaatkan segala hasilnya
secara bergantian atau bergiliran dengan seadil-adilnya.
3. Tanah yayasan, yakni tanah milik lembaga sosial atau
kemasyarakatan.
4. Tanah gogolan, yakni tanah yang dikuasai oleh penduduk asli suatu
desa secara komunalistis selaras dengan pola kebudayaan
masyarakat adat. Tanah gogolan itu sendiri terbagi menjadi dua
yakni yang bersifat tetap maupun tidak tetap. Tanah gogolan yang
tetap itulah yang kemudian bisa dikuasai dengan hak milik,
sedangkan tanah gogolan yang sifatnya tidak tetap atau sementara
bisa dikuasai dengan hak pakai.
5. Tanah garapan masyarakat adat.
6. Tanah-tanah adat lainnya, yang semuanya dimanfaatkan secara
bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula oleh masyarakat adat
yang bersangkutan.
26
A. Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005), h. 58.
29
Hukum tanah barat berlaku bagi golongan Hindia Belanda, Eropa dan
Timur asing yang pranata hukumnya diatur oleh pemerintah Hindia Belanda
melalui pemerintahan swapraja dalam mengatur tanah-tanah adat yang ada di
Indonesia. Adapun hak atas tanah dalam hukum tanah barat adalah sebagai
berikut:27
1. Agrarisch eigendom, yang diadakan untuk memberikan kesempatan
kepada masyarakat adat untuk meningkatkan status tanahnya
menjadi hak milik Barat, sehingga kepemilikannya bisa dibuktikan
secara tertulis.
2. Landrijen bezitrecht, yang diadakan sebagai hak usaha atas tanah
bekas tanah partikelir yang dikuasai oleh orang-orang Timur asing.
3. Grantrecht atau hak grant, yakni hak milik istimewa sebagai hak
atas tanah-tanah di wilayah swapraja yang biasanya dipegang oleh
bangsawan-bangsawan pribumi atau penjabat-penjabat tinggi Hindia
Belanda.
Pada awal masa kemerdekaan serta pasca masa revolusi fisik (tahun
1945-1949) Indonesia belum memiliki landasan hukum agraria dan
pertanahan sendiri sehingga aturan hukum pertanahan baik hukum pertanahan
barat maupun adat masih tetap berlaku dengan adanya ketentuan mengenai
asas konkordasi yakni asas yang memberlakukan suatu aturan hukum yang
dahulu selama belum ada aturan baru yang menggantikan aturan hukum
27
A. Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab, h. 59.
30
tersebut. Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia telah mempersiapkan konsep
aturan hukum agraria dan pertanahan baru untuk menggantikan aturan hukum
pertanahan barat yang dipandang bermasalah dan merugikan bagi masyarakat
Indonesia. Pada masa awal Indonesia merdeka setidaknya terdapat dua
masalah yang mendasar dalam hukum tanah yang mendorong pembaruan
hukum tanah di Indonesia yakni kepemilikan tanah yang tidak proposional
dan kebutuhan tanah yang semakin meningkat seiring penduduk yang
bertambah.28
Langkah awal pemerintah Indonesia dalam memperbarui hukum tanah di
Indonesia adalah melalui pembentukan suatu payung hukum berupa undang-
undang bidang agraria dan pertanahan yang baru untuk menggantikan
Agrarische Wet tahun 1870 yang dibentuk pada masa kolonialisme
pemerintahan Hindia Belanda dan aturan hukum pertanahan barat lainnya.
Menurut Supriyadi, pemerintah Indonesia membentuk beberapa panitia
bernama Panitia Agraria dan kemudian mulai memasuki proses pembentukan
undang-undang tersebut dengan beberapa tahap. Perjalanan pembentukan
UUPA dimulai dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun
1948 yang mengukuhkan terbentuknya Panitia Agraria Yogya yang diketuai
oleh Sarimin Reksodihardjo.
Panitia Agraria Yogya bertugas untuk mengembangkan pemikiran untuk
sampai kepada usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria baru
28
Erman Rajaguguk Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup
(Jakarta: Chandra Pratama, 1995), h.11.
31
pengganti Agrarische Wet yang sudah berlaku sejak tahun 1870 silam dan
aturan hukum pertanahan barat lainnya. Usulan-usulan yang dihasilkan oleh
Panitia Agraria Yogya telah berhasil disampaikan kepada DPR namun
pembahasan lebih lanjut terkait gagasan-gagasan pembentukan undang-
undang agraria yang baru harus tertunda dan Panitia Agraria Yogya pun
dibubarkan akibat gejolak-gejolak yang terjadi di Indonesia pada tahun itu
seperti agresi militer Belanda II, perubahan sistem politik, dan perpindahan
ibukota Republik Indonesia pindah ke Jakarta. Untuk melanjutkan kinerja
Panitia Agraria Yogya maka pada tahun 1951 dibentuklah Panitia Agraria
Jakarta yang diketuai juga oleh Sarimin Reksodihardjo untuk melanjutkan
pembahasan gagasan dasar pembentukan UUPA. Panitia Agraria
menghasilkan beberapa gagasan yakni:29
1. Dianggap perlu adanya penetapan batas luas maksimum dan
minimum kepemilikan tanah.
2. Yang dapat memiliki tanah untuk usaha tanah kecil hanyalah Warga
Negara Indonesia.
3. Pengakuan hak rakyat atas kuasa undang-undang.
Panitia Agraria Jakarta kemudian dibubarkan dan digantikan dengan
Panitia Soewahjo yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo pada tahun 1956
bertempatan dengan terbentuknya kabinet baru setelah pemilihan umum
tahun 1955. Panitia Soewahjo bertugas untuk menyusun sebuah rancangan
29
Supriyadi, Hukum Agraria, cetakan ke-5, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 46.
32
undang-undang agraria nasional berdasarkan dari usulan-usulan serta gagasan
yang telah dibentuk oleh panitia sebelumnya. Pada tahun 1957 berhasil
menyusun rancangan undang-undang agraria nasional yang memuat beberapa
butir penting yakni penghapusan asas domein dengan asas “menguasai oleh
negara” dan asas bahwa pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh
pemiliknya.30
Keberadaan Panitia Soewahjo tidak lama digantikan oleh Panitia
Soenarjo pada tahun 1957. Panitia Soenarjo dibentuk karena perkembangan
yang sangat pesat dan gejolak-gejolak dalam dunia politik Indonesia. Tugas
Panitia Soenarjo adalah meneruskan rancangan undangan-undang agraria
nasional yang telah dibentuk oleh Panitia Soewahjo dan pada tahun 1958
Panitia Soenarjo berhasil melaksanakan tugasnya dan menyampaikan
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (RUUPA) kepada DPR.
Kemudian terbentuklah sebuah panel kerjasama antara pemerintah yang
diwakili Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc dan akademisi dari Universitas
Gajah Mada, kerjasama ini dibentuk dengan tujuan untuk:31
1. Membahas naskah RUUPA yang telah dibentuk oleh Panitia Soenarjo
lebih dalam secara teknis yuridis.
2. Memperlajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan RUUPA
tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru.
30
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, (Bandung: Penerbit
Refika Aditama, 2010), h. 45.
33
3. Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usuk
yang dipandang perlu mengenai RUUPA kepada panitia
permusyawaratan DPR.
Panitia Soenarjo kemudian digantikan oleh Panitia Sadjarwo untuk
meneruskan penyempurnaan RUUPA dalam panel kerjasama antara
Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc dan akademisi dari Universitas Gajah
Mada. Pada tahun 1959 terbentuklah sebuah RUUPA baru yang merupakan
penyempurnaan dari versi terdahulu dan kemudian pada tanggal 1 Agustus
1960 RUUPA tersebut diteruskan kepada DPR-GR (Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong, yang merupakan DPR yang terbentuk berdasarkan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959). Setelah RUUPA diterima oleh DPR-GR
maka pembahasan terkait RUUPA tersebut dilakukan dan pada tanggal 24
September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menjadi landasan hukum
pertanahan di Indonesia menggantikan ketentuan-ketentuan hukum
pertanahan barat yang berlaku di Indonesia.
B. Gambaran Umum tentang Penguasaan Tanah Partikelir/Bekas Tanah
Partikelir pada Masyarakat di Jakarta Selatan
Pada zaman koloniliasme Belanda, penguasaan tanah- tanah partikelir
dibagi menjadi dua konsep pembagian yakni, tanah kongsi dan tanah usaha.
Tanah kongsi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh tuan tanah dan
apabila diatasnya terdapat usaha atau perumahan rakyat dikenakan konsep
sewa-menyewa bagi masyarakat yang tinggal dibidang tanah tersebut,
34
sedangkan tanah usaha adalah tanah yang tidak dikuasai secara langsung oleh
tuan tanah melainkan merupakan tanah desa atau milik masyarakat adat yang
diatasnya terdapat hak penduduk bersifat turun temurun.32
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir sejak tanggal 24 Januari 1958
menghapus segala bentuk hak penguasaan atas sebidang tanah partikelir di
Indonesia.33
Seluruh bidang tanah partikelir yang dimiliki oleh masyarakat
Belanda, Eropa maupun Timur Asing beralih status menjadi tanah negara
Dua tahun kemudian pada saat terbitnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal II
Ketentuan Konversi yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960
memberikan ketentuan-ketentuan terhadap konversi-konversi beberapa hak
kepemilikan warisan zaman kolonialisme Belanda yakni hak agrarisch
eigendom, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini,
grant sultan, landrijenbezitrecht, altijddurende erpacht dan hak usaha atas
bekas tanah partikelir agar dapat dikonversikan bentuk penguasaan atas
bidang tanah tersebut menjadi Hak Milik.
Ketentuan konversi dari hak-hak kepemilikan pada zaman kolonialisme
belanda dikhususkan hanya terhadap tanah-tanah yang dimiliki oleh Warga
32
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 99.
33 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media, 2013),
h. 34.
35
Negara Indonesia atau pribumi. Terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh
masyarakat Belanda, Eropa ataupun Timur Asing karena dibatasi oleh
ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang membatasi pemberian
hak milik hanya kepada Warga Negara Indonesia sehingga ketentuan
konversi tidak berlaku.34
Penghapusan atas kepemilikan tanah-tanah partikelir yang dipelopori
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir tidak semata-mata menghapuskan hak-
hak kepemilikan atas bidang tanah partikelir tersebut, namun memberikan
biaya ganti rugi yang jumlahnya ditentukan berdasarkan luas bidang tanah
partikelir tersebut. Penghapusan tanah partikelir diberlakukan dengan
penerbitan surat keputusan penghapusan atas hak kepemilikan tanah partikelir
yang dikeluarkan oleh Menteri bidang Agraria/Kepala BPN.
Selain tanah partikelir, penghapusan hak-hak kepemilikan tanah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir juga diaplikasikan bagi tanah eigendom dengan luas
bidang kepemilikan tanah yang lebih dari 10 bau. Ketentuan ganti rugi bagi
penghapusan kepemilikan tanah partikelir ataupun tanah eigendom dengan
luas bidang kepemilikan tanah yang lebih dari 10 bau, berlaku bagi pemilik
34
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 12.
36
tanah partikelir yang memiliki status Warga Negara Indonesia maupun Warga
Negara Asing.35
Data yang terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958 terhadap luas tanah partikelir yang terletak di Provinsi DKI Jakarta
adalah seluas 1.360 Hektar dan terbagi menjadi 13 bidang tersebar di
beberapa wilayah kotamadya dan termasuk di wilayah Jakarta Selatan.
Semenjak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir serta Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1958 yang menjadi landasan hukum pemberlakuan secara formal
undang-undang tersebut maka masyarakat-masyarakat yang menduduki
tanah-tanah partikelir di Jakarta Selatan tidak memiliki status atas tanah yang
didudukinya hingga diberikannya status hak atas tanah negara menurut
peraturan yang berlaku.
Pemberian status kepemilikan atas bidang tanah bekas tanah partikelir di
Jakarta Selatan secara sah dapat dilaksanakan apabila diajukannya suatu
permohonan hak atas bidang tanah bekas tanah partikelir tersebut untuk
kemudian dikonversikan hak-hak kepemilikannya dan dikeluarkannya
sertifikat hak milik perseorangan sebagai tanda bukti yang sah menjelaskan
hak kepemilikan atas sebidang tanah tersebut. Walaupun kepemilikan atas
tanah-tanah bekas tanah partikelir sudah dihapuskan oleh Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, terdapat
35
Memori Penjelasan Bab III nomor (6) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958
Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
37
bidang tanah bekas tanah partikelir di Jakarta Selatan yang hak
kepemilikannya telah beralih kepada pihak ketiga melalui pembelian maupun
penjualan. Hal ini disebabkan oleh sifat tanah-tanah partikelir tersebut yang
merupakan hak eigendom yang mana dapat beralih seperti halnya peralihan
hak milik perseorangan yang diatur oleh Pasal 26 dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
C. Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Tujuan pendaftaran tanah adalah menjamin kepastian hukum dari hak-
hak atas tanah.36
Tujuan dari pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut telah
disematkan pula pada pasal 19 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Suatu proses pendaftaran tanah akan menghasilkan sertifikat yang
merupakan alat pembuktian yang kuat dari hak atas tanah sebagaimana yang
dituliskan dalam pasal 19 ayat (1) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2),
dan pasal 38 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hal ini berarti keterangan-keterangan
yang tercantum didalam sebuah sertifikat mempunyai kekuatan hukum tetap
dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak
ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.37
36
Elsa Syarief, Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, (Jakarta: Gramedia, 2014),
h. 38. 37
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 113.
38
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berada didalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
ketentuan mengenai pelaksanaan teknis pendaftaran itu sendiri, dituangkan
pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang dikemudian
digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yang menjadi landasan ketentuan pelaksanaan teknis
pendaftaran hak atas tanah hingga saat ini.
Kepastian hukum dari suatu pendaftaran hak atas tanah meliputi beberapa
hal yakni orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak, letak, batas-
batas, serta luas bidang tanah.38
Pemerintah memiliki peran yang krusial
dalam mewujudkan kepastian hukum dari suatu pendaftaran hak atas tanah
karena dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut pemerintah diharuskan
melakukan pengumuman atas hak-hak atas tanah tersebut meliputi beberapa
hal yakni:39
1. Pengumuman mengenai subjek yang menjadi pemegang hak yang
dikenal sebagai asas publisitas dengan maksud agar masyarakat luas
dapat mengetahui tentang subjek dan objek atas suatu bidang tanah.
2. Penetapan mengenai letak, batas-batas dan luas bidang-bidang tanah
yang dipunyai seseorang atas sesuatu hak atas tanah, dikenal sebagai
38
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), h.20 -
21.
39 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Astas Tanah di Indonesia, (Surabaya:
Arkola, 2003), h. 79.
39
asas spesialitas dan implementasinya adalah dengan mengadakan
kadaster.
Dalam pendaftaran hak atas tanah, pemegang hak yang telah terdaftar
dalam daftar-daftar umum diberikan surat tamda bukti hak, yaitu surat yang
membuktikan pemegang hak sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum
sesuai dengan kekuatan bukti yang diberikan dalam daftar-daftar umum.40
Berdasakan pasal 13 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, suatu pendaftaran tanah dibedakan menjadi
2 (dua) tipe yakni pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara sporadik. Menurut pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah
secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab
dibidang agraria atau pertanahan.41
Prosedur pendaftaran tanah secara sistematik menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah memiliki
beberapa tahap yang antara lain:
40
Elsa Syarief, Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, h. 39.
41 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, h. 136.
40
1. Adanya suatu rencana kerja (pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana
kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional).42
2. Pembentukan Panitia Ajudikasi (pasal 8 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
3. Pembuatan peta dasar pendaftaran (pasal 15 dan pasal 16 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
4. Penetapan batas bidang-bidang tanah (pasal 17 sampai dengan pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah)
Penetapan batas bidang tanah dilakukan melalui kesepakatan antar
pihak-pihak yang berbatasan dan apabila tidak diperoleh kesepakatan
antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan
pemegang hak atas tanah yang berbatasan, dilakukan berdasarkan
batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas
bidang tanah menurut kenyataannya.43
Dalam hal telah diperoleh
kesepakatan melalui musyawarah mengenai batas-batas yang
dimaksudkan atau diperoleh kepastiannya berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diadakan
42
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009)
h. 91. 43
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 98.
41
penyesuaian terhadap data yang ada pada peta pendaftaran yang
bersangkutan.44
5. Pembuatan peta dasar pendaftaran (pasal 20 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
6. Pembuatan daftar tanah (pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
7. Pembuatan surat ukur (pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
8. Pengumpulan dan penelitian data yuridis (pasal 24 dan pasal 25
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah).
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai
adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi atau
pernyataan yang bersangkutan. Dalam hal tidak atau tidak lagi
tersedia secara lengkap alat-alat pembuktiannya, pembukuan hak
dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut
oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan
syarat:
a. penguasaaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara
terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas
44
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media
2010), h. 145.
42
tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama
pengumumam tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum
adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak
lain.
9. Pengumumam hasil penelitian data yuridis dan hasil pengukuran
(pasal 26 dan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah).
Pengumuman tersebut dilakukan pada kantor pertanahan setempat
atau kantor desa/kelurahan ataupun dilokasi tanah itu sendiri dan
didaerah RT atau RW yang bersangkutan dapat pula melalui media
massa selama 30 hari untuk memberi kesempatan kepada pihak yang
berkepentingan mengajukan keberatan.45
10. Pengesahan hasil pengumuman penelitian data fisik dan data yuridis
(pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah).
Setelah jangka waktu pengumuman berakhir (lewat 30 hari) data
fisik dan data yuridis yang diumumkan tersebut oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik disahkan
dengan berita acara.46
45
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 116.
46 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, h. 149.
43
11. Pembukuan hak (pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
12. Penerbitan sertifikat (pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual
atau massal.47
Menurut Budi Harsono, pendaftaran tanah secara sporadik
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berpentingan, yaitu pihak yang
berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Oleh
karena itu suatu pendaftaran tanah dapat dibedakan melalui pihak yang
menginisiasi proses pendaftaran tanah itu sendiri. Prosedur pendaftaran tanah
secara sporadik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah memiliki beberapa tahapan yakni sebagai berikut:
1. Pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan atas permintaan ihak
yang berkepentingan (pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Pihak yang dimaksud sebagai pihak yang berkepentingan adalah
pihak yang berhak atas bidang tanah yang bersangkutan atau
kuasanya.48
47
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, h. 136.
48 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 91.
44
2. Pembuatan peta dasar pendaftaran (pasal 15 dan pasal 16 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
3. Penetapan batas bidang-bidang tanah (pasal 17 sampai dengan pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah).
4. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran (pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah).
5. Pembuatan daftar tanah (pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
6. Pembuatan surat ukur (pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
7. Pembuktian hak baru (pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Hak atas tanah baru dibuktikan dengan suatu Surat Keputusan
pemberian hak oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN atas tanah-
tanah yang dikuasai oleh negara ataupun dari Hak Pengelolaan.49
8. Pembuktian hak lama (pasal 24 dan 25 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
Hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan
dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-
bukti tertulis, keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan.
49
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 103.
45
Alat-alat bukti tertulis yang dapat membuktikan adanya suatu hak-
hak lama berdasarkan hak-hak kepemilikan hukum kolonial Belanda
menrujuk kepada beberapa ketentuan. Berdasarkan ketentuan
mengenai alat bukti tertulis yang dapat diterima perihal pembuktian
hak-hak lama maka dapat ditafsirkan bahwa:50
a. tanah bekas hak eigendom yang sudah dikonversi dan tidak
dilanjutkan untuk diganti bukti haknya dengan sertifikat hak
milik, harus mengajukan permohonan hak;
b. tanah bekas hak eigendom yang sudah dicatat pada bukti dan
dicap dikonversi menjadi hak milik, telah diganti bukti
haknya dengan sertifikat;
c. tanah bekas hak eigendom yang tidak dikonversi yang
terbukti dari tidak dicapnya bahwa hak tersebut telah
dikonversi pada bukti haknya, harus mengajukan
permohonan hak yang baru;
d. tanah bekas hak eigendom, yang surat-suratmya sudah hilang
namun telah melaporkan kehilangan tersebut dan telah
diselesaikan menurut ordonnantie noodvoorzieningen
overschrijiving en teboekstelling 1948.
9. Pengumumam hasil penelitian data yuridis dan hasil pengukuran
(pasal 26 dan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah).
50
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 108.
46
Hasil pengumpulan dan penelitian data yuridis berserta peta bidang
atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil
pengukuran diumumkan selama 60 hari untuk memberi kesempatan
kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan melalui
pengajuan gugatan di Pengadilan.
10. Pengesahan hasil pengumuman penelitian data fisik dan data yuridis
(pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah).
11. Pembukuan hak (pasal 29 dan pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
12. Penerbitan sertifikat (pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang
bersangkutan namun apabila dalam buku tanah terdapat catatan-catatan yang
menyangkut data fisik maupun data yuridis, penerbitan sertifikat
ditangguhkan sampai catatan yang bersangkutan dihapus.51
Sertifikat
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, ditandatangani oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam pendaftaran tanah secara
sporadik yang bersifat individual (perseorangan), atau Kepala Seksi
Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atas nama Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dalam pendaftaran tanah secara sporadik yang bersifat
massal.
51
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, h. 125.
47
BAB IV
KONVERSI STATUS HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH PARTIKELIR
MENJADI HAK MILIK PERSEORANGAN
A. Akibat Hukum yang Timbul Atas Peralihan Status Hak Atas Tanah
Partikelir Menjadi Hak Milik Perseorangan
Legalitas peralihan hak atas tanah partikelir menjadi hak milik
perseorangan yang peneliti jadikan objek penelitian di skripsi ini merupakan
sebuah sebidang tanah seluas ± 157,50 yang berada di Jalan Guru Alip
Nomor 24 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta
Selatan dengan kode pos 12760.
Tanah ini merupakan tanah partikelir yang pada mulanya dikuasai dan
dimiliki oleh Aseni bin Ka’i yang kemudian menjadi harta warisan yang
diwariskan kepada ahli warisnya pada tahun 1997 sebanyak 4 (empat) orang
yakni Asimah bin Aseni, Asmat bin Aseni, Hayati binti Aseni dan Asbi bin
Aseni.52
Pada tanggal 3 April 2000 pihak-pihak ahli waris dari sebidang tanah
partikelir tersebut memutuskan untuk menjual bidang tanah yang mereka
dapatkan sebagai warisan kepada Zakwani melalui Surat Perjanjian Pelepasan
Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir Di Kelurahan Duren Tiga,
Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan. Poin yang dituangkan
52
Surat Pernyataan tertanggal 3 April 2000 yang ditandatangani di Jakarta oleh Asimah,
Asmar, Hayati dan Asbi selaku yang membuat pernyataan dengan turut ditandantangani
sebagai saksi Djasmin selaku Ketua Rt 004 RW 06 Kelurahan Duren Tiga, Eko Supoyo
selaku Ketua RW 06 Kelurahan Duren Tiga dan Tabrani selaku Staf Kelurahan Duren Tiga.
48
dalam Surat Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir
antara pihak ahli waris dari Aseni yang kemudian dalam surat perjanjian
tersebut disebut sebagai pihak kesatu dengan pihak Zakwani sebagai
penerima hak atas tanah bekas tanah partikelir yang untuk kemudian dalam
suart perjanjian tersebut disebut sebagai pihak kedua antara lain adalah
sebagai berikut:53
1. Pihak kesatu atas dasar kerelaan dan kehendak sendiri meyerahkan
kepada pihak kedua dan pihak kedua menerima pelepasan hak dari
pihak kesatu sebidang tanah bekas tanah partikelir yang terletak di
Kelurahan Duren Tiga, RT 004 RW 06, seluas: ± 157,50
berbatasan dengan tanah Tabrani, tanah Jalan Guru Alip dan tanah
Bambang.
2. Pihak kedua meyerahkan hak atas tanah bekas tanah partikelir kepada
pihak kesatu dan pihak kesatu telah menerma dari pihak kedua uang
sebesar Rp. 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) sebagai ganti rugi
pembayaran sebidang tanah bekas tanah partikelir berikut segala yang
ada diatas tanah tersebut.
3. Surat pelepasan hak atas tanah bekas tanah partikelir tersebut dibuat
oleh para pihak dengan keadaan sebenarnya/sesungguhnya pada
waktu keadaan sehat badan dan fikiran serta tanpa ada paksaan dari
53
Surat Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir Di Kelurahan
Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamdya Jakarta Selatan. Ditandatangani di Jakarta,
tanggal 3 April 2000 oleh Para Ahli Waris Almarhum Aseni sebagai Pihak kesatu, Zakwani
Sebagai Pihak kedua dan turut ditandatangani oleh Djasmin, Ketua RT 004, Kelurahan Duren
Tiga, Drs. Eko Supoyo Ketua RW 06, Kelurahan Duren Tiga dan Tabrani, Staf Kelurahan
Duren Tiga, selaku para pihak yang mengetahui.
49
pihak lain sehingga tidak dapat lagi terjadi gugatan dari pihak kesatu
maupun dari ahli waris lainnya.
4. Surat pelepasan hak atas tanah bekas tanah partikelir tersebut dibuat
para pihak dan ditanda tangani bersama-sama diatas kertas yang
bermaterai cukup yang berlaku pula sebagai kwitansi tanda
penerimaan uang yang sah.
5. Setelah surat pelepasan hak tersebut dibacakan atau dibacakan
kembali dihadapan para pihak dengan benar dan jelas serta telah
dimengerti oleh para pihak, maka para pihak tanda tangani dengan
demikian hak tas tanah bekas tanah partikelir tersebut menjadi hak
kepunyaan/penguasaan dan tanggung jawab pihak kedua.
6. Surat pelepasan hak atas tanah bekas tanah partikelir dibuat untuk
selanjutnya oleh pihak terakhir yang menguasai fisik akan meneruskan
pengurusan hak (sertifikat) ke Kantor Badan Pertanahan Kotamdya
Jakarta Selatan.
Selain membuat surat perjanjian pelepasan hak atas tanah bekas tanah
partikelir yang dibuat untuk mengalihkan hak atas tanah yang dimiliki oleh
ahli waris Aseni kepada Zakwani, para ahli waris juga membuat surat
pernyataan yang menjelaskan terkait penguasaan atas tanah bekas tanah
partikelir tersebut yang dimiliki berdasarkan warisan dari Almarhum Aseni
bin Ka’i sebagai pemegang hak, yang meninggal dunia pada tahun 1997.54
54
Surat Pernyataan yang ditandatangi di Jakarta pada tanggal 3 April 2000 oleh
Asimah, Asmat, Hayati dan Asbi selaku yang membuat pernyataan dan sebagai ahli waris
dari Aseni.
50
Para ahli waris Aseni juga menjelaskan dalam surat pernyataan yang mereka
buat tersebut bahwa hingga saat dibuatnya surat pernyataan tersebut, tanah
bekas tanah partikelir tersebut belum pernah dijual atau dioper, digadaikan
dan/atau dijadikan jaminan kepada Bank Pemerintah atau Bank Swasta
ataupun pada perseorangan serta tidak menjadi sengketa dengan pihak
manapun.
Pihak Zakwani untuk selanjutnya mengajukan Surat Permohonan Hak
Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir kepada Pemerintah melalui Kelurahan
Duren Tiga untuk ditembuskan pula kepada Walikotamadya Jakarta Selatan
dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan.
Pada tanggal 5 April 2000 terbitlah Surat Keterangan Nomor: 43/1.711.3
melalui Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
1056 Tahun 1981 yang mengukuhkan penguasaan atas tanah bekas tanah
partikelir berdasarkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak yang dibuat pada
tanggal 3 April 2000 antara pihak yang melepaskan haknya yakni pihak ahli
waris Almarhum Aseni yang terdiri dari Asimah, Asmat, Hayati dan Asbi
kepada pihak yang menerima haknya yakni Zakwani.55
Tujuan dari adanya
Surat Keterangan tersebut adalah untuk melengkapi berkas Rekomendasi
Permohonan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir dengan Nomor
43/1.711.3 yang turut menjelaskan terkait penelitian lapangan terhadap
55
Surat Keterangan tertanggal 5 April 2000 yang ditandatangani oleh Kepala Kelurahan
Duren Tiga Drs. Hamir Hasan Ibrahim dan juga Camat Pancoran Drs. Susanto AD sebagai
Pihak yang mengetahui.
51
bidang tanah bekas tanah partikelir yang ingin dikuasai hak kepemilikannya
guna mengungkapkan data kelengkapan permohonan hak atas tanah bekas
tanah partikelir.
Data kelengkapan permohonan hak atas tanah bekas tanah partikelir yang
diajukan oleh Zakwani dalam Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas
Tanah Bekas Tanah Partikelir dengan nomor surat 43/1.711.72 dengan
tanggal 5 April 2000 adalah sebagai berikut:56
1. Sebidang tanah yang diajukan sebagai objek permohonan hak atas
tanah bekas tanah partikelir terletak di Kelurahan Duren Tiga, RT 004
RW 06, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan.
2. Asal usul penguasaan sebidang tanah bekas tanah partikelir tersebut
adalah berasal dari Surat Pernyataan Pelepasan Hak dengan tanggal 3
April 2000, dari ahli waris Almarhum Aseni bin Ka’i.
3. Luas keseluruhan bidang tanah adalah : ± 157,50
4. Batasan-batasan bidang tanah yakni berbatasan dengan tanah Tabrani,
tanah Jalan Guru Alip dan tanah Bambang.
5. Penguasaan fisik bidang tanah bekas tanah partikelir dikuasai oleh
Zakwani.
Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir
ini juga menjelaskan bahwa sampai saat itu Surat Rekomendasi Permohonan
Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir dibuat atau tertanggal 5 April 2000
56
Surat Rekomenadasi Permohonan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir tertanggal
5 April 2000 yang ditandatangani oleh Kepala Kelurahan Duren Tiga Drs. Hamir Hasan
Ibrahim dan juga Camat Pancoran Drs. Susanto AD sebagai Pihak yang mengetahui
52
terhadap bidang tanah bekas tanah partikelir tersebut tidak terdapat sengketa
yang melekat kepada bidang tanah partikelir tersebut dan Surat Rekomendasi
Permohonan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir tersebut berlaku untuk
pengajuan permohonan gak atas tanah/sertifikat oleh Zakwani.
Kepemilikan dari sebidang tanah tersebut tetaplah kepemilikan dengan
status tanah dbekas tanah partikelir dengan penguat haknya berupa Surat
Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Bekas Tanah Partikelir Di Kelurahan
Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan yang dibuat
oleh pihak-pihak ahli waris Almarhum Aseni kepada Zakwani.
Pihak Zakwani mengalihkan kembali hak atas bidang tanah bekas tanah
partikelir seluas ± 157,50 yang berada di Jalan Guru Alip Nomor 24
Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan
dengan kode pos 12760 kepada pihak Dotty Julia melalui proses jual beli
untuk kemudian dibuatnya Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang
Tanah Negara Di Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran Kotamadya
Jakarta Selatan tertanggal 26 Juli 2006.57
Surat Pernyataan Pelepasan Hak
Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan
Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 26 Juli 2006 antara Zakwani
sebagai Pihak Kesatu dan Dotty Julia sebagai Pihak Kedua diman dalam
57
Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan Duren
Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 26 Juli 2006 yang
ditandatangi oleh Zakwani sebagai Pihak Kesatu, Dotty Julia sebagai Pihak Kedua, dan H.
Djasmin, Ketua RT 004 Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi, H. Yahya HS, Ketua RW.03
Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi, Sarwanto, Staf Kantor Kelurahan Duren Tiga sebagai
saksi dan Darmawati, Istri dari Pihak Pertama yang turut menjadi saksi.
53
Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan
Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 26
Juli 2006 tersebut kedua belah pihak mencapai kepada beberapa poin
kesepakatan yang secara garis besar menerangkan beberapa hal antara lain
sebagai berikut:58
1. Pihak Kesatu melepaskan hak kepada Pihak Kedua dan Pihak Kedua
menerima penyerahan hak dari Pihak Kesatu, berupa sebidang tanah
negara yang terletak di RT 004 RW 06 Kelurahan Duren Tiga,
Kecamatan Pancoran, seluas ± 157,50 dengan berbatasan dengan
tanah Tabrani, tanah Jalan Guru Alip dan tanah Bambang.
2. Pihak Kedua telah meyerahkan kepada Pihak Kesatu dan Pihak
Kesatu telah menerima penyerahan dari Pihak Kedua berupa uang
sebesar Rp 400.000.000 (Empat Ratus Juta Rupiah) sebagai pengganti
penyerahan hak oleh Pihak Kesatu kepada Pihak Kedua.
3. Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Negara tersebut dibuat dan
ditandatangani oleh para pihak dengan sebenarnya pada waktu
keadaan sehat badan dan pikiran serta tanpa ada paksaan dari pihak
lain, sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh Pihak Kesatu maupun
ahli waris lainnya.
58
Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang Tanah Negara Di Kelurahan Duren
Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 26 Juli 2006 yang
ditandatangi oleh Zakwani sebagai Pihak Kesatu, Dotty Julia sebagai Pihak Kedua, dan H.
Djasmin, Ketua RT 004 Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi, H. Yahya HS, Ketua RW.03
Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi, Sarwanto, Staf Kantor Kelurahan Duren Tiga sebagai
saksi dan Darmawati, Istri dari Pihak Pertama yang turut menjadi saksi.
54
4. Setelah Surat Pelepasan Hak tersebut dibacakan dihadapan para pihak
dengan benar dan jelas serta telah para pihak mengerti maksud, isi dan
tujuannya maka kemudia para pihak akan menandatangi secara
bersama-sama Surat Pelepasan Hak tersebut dan selanjutnya tanah
tersebut menjadi hak kepunyaan/penguasaan dan tanggung jawab
Pihak Kedua.
5. Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Negara tersebut dibuat oleh para
pihak dan ditandatangani kedua belah pihak diatas kertas bermaterai
cukup yang berlaku sebagai tanda bukti serah terima yang sah.
6. Akibat apapun yang timbul dari pelaksanaan pelepasan hak atas tanah
negara ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak.
Seiringan dibuatnya Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Sebidang
Tanah Negara Di Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya
Jakarta Selatan tersebut. Pihak Dotty Julia juga membuat Surat Pernyataan
tertanggal 26 Juli 2006.59
Surat Pernyataan tersebut berisikan beberapa poin
pernyataan yang menyatakan bahwa hak atas tanah negara berserta bangunan
yang diterima oleh pihak Dotty Julia berdasarkan pelepasana hak dari pihak
Zakwani pada tanggal 26 Juli 2006 terletak pada RT 004 RW 06, Kelurahan
Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan seluas ±
157,50 tidak berada dalam keadaan sengketa dan pihak Dotty Julia
59
Surat Pernyataan tertanggal 26 Juli 2006 yang ditandatangi oleh Dotty Julia selaku
pihak yang membuat pernyataan dan H. Djasmin, Ketua RT 004 Kelurahan Duren Tiga
sebagai saksi, H. Yahya HS dan Ketua RW.03 Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi.
55
berkewajiban mengurus dan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut
kepada Kantor Badan Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan.
Pihak Dotty Julia juga berkewajiban untuk mengajukan permohonan
mendirikan bangunan berupa dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di
Kantor Suku Dinas Pembangunan dan Pengawasan Kotamadya Jakarta
Selatan dan Advis Planning ke Suku Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta
selatan apabila diatas tanah tersebut akan didirikan suatu bangunan setelah
terbitnya Sertifikat Hak Atas Tanah Negara yang dalam hal ini merupakan
Sertifikat Hak Milik.
Untuk meneruskan proses konversi status kepemilikan atas sebidang
yang mulanya adalah sebidang tanah partikelir, pada tanggal 8 Agustus 2016
pihak Dotty Julia mengajukan Surat Rekomendasi Permohonan Atas Tanah
Negara yang diterbitkan oleh Kelurahan Duren Tiga dan Kecamatan Pancoran
dengan nomor surat 147/1.7.11.03 kepada Walikota Jakarta Selatan berserta
Kepala Kantor Pertanahan Kota Jakarta Selatan.60
Surat tersebut merupakan
pembaharuan Surat Rekomendasi Permohonan Atas Tanah Negara tertanggal
1 Agustus 2006 dengan nomor surat 85/1.711.1 yang juga terdiri dari 2 berkas
yang diterbitkan oleh Kelurahan Duren Tiga dan Kecamatan Pancoran serta 3
(tiga) berkas yang dibuat oleh pihak Dotty Julia.
60
Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara tertanggal 8 Agustus 2016
ditandatangi oleh Endang Mulahatmi, S.E. selaku Lurah Duren Tiga dan Herry Gunara,
S.Sos, M.M., selaku Camat Pancoran.
56
Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara dengan tanggal
8 Agustus 2016 dengan nomor surat 147/1.711.03 terdiri dari 2 (dua) berkas
yang diterbitkan oleh Kelurahan Duren Tiga dan Kecamatan Pancoran serta 3
(tiga) berkas yang dibuat oleh pihak Dotty Julia. Berkas yang diterbitkan oleh
Kelurahan Duren Tiga dan Kecamatan Pancoran antara lain Surat
Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara dan Surat Keterangan
dengan nomor surat 147/1.711.03. Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas
Tanah Negara menjelaskan terkait beberapa poin antara lain:61
1. Sebidang tanah yang diajukan sebagai objek permohonan hak atas
tanah negara terletak di Kelurahan Duren Tiga, RT 004 RW 06,
Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta Selatan.
2. Asal usul penguasaan sebidang tanah bekas tanah partikelir tersebut
adalah berasal dari Surat Pernyataan Pelepasan Hak dengan tanggal 3
April 2000, dari ahli waris Almarhum Aseni bin Ka’i kepada
Zakwani, Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah negara di
Kelurahan Duren Tiga dari Zakwani kepada Dotty Julia pada tanggal
26 Juli 2006 dan Surat Pernyataan Pengakuan Menguasai Fisik Atas
Tanah Negara atas nama Dotty Julia dengan tanggal 1 Agustus 2016.
3. Luas keseluruhan bidang tanah adalah : ± 157,50
4. Kepemilikan bidang tanah atas nama Dotty Julia berbatasan dengan
dengan tanah Tabrani, tanah Jalan Guru Alip dan tanah Bambang.
61
Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara tertanggal 8 Agustus 2016
ditandatangi oleh Endang Mulahatmi, S.E. selaku Lurah Duren Tiga dan Herry Gunara,
S.Sos, M.M., selaku Camat Pancoran.
57
5. Penguasaan fisik saat ini dikuasai oleh pemohon Surat Rekomendasi
Permohonan Hak Atas Tanah Negara dalam hal ini Dotty Julia.
Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara tersebut
berlaku untuk hal permohonan atas tanah negara oleh pemohon yang dalam
hal ini adalah Dotty Julia dan apabila dikemudian hari ada gugatan dari pihak
lain yang dapat memperlihatkan bukti-bukti yang sah maka surat
rekomendasi tersebut batal demi hukum. Segala akibat hukum yang
ditimbulkan akibat terbitnya Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas
Tanah Negara tersebut baik pidana maupun perdata menjadi tanggung jawab
Dotty Julia yang selaku pemohon tanpa melibatkan Lurah dan Camat serta
membebaskannya dari segala tuntutan.
Selain Surat Rekomendasi Pemohonan Hak Atas Tanah Negara,
Kecamatan Pancoran dan Kelurahan Duren Tiga juga menerbitkan Surat
Keterangan dengan nomor surat 147/1.711.03. Surat tersebut berisikan
keterangan mengenai penguasaan atas sebidang tanah bekas tanah partikelir
yang pada saat ini dikuasai oleh Dotty Julia. Asal usul penguasaan tanah
bekas tanah partikelir tersebut didasarkan kepada Surat Pernyataan Pelepasan
Hak Atas Sebidang Tanah Negara di Kelurahan Duren Tiga yang dibuat pada
tanggal 26 Juli 2006.62
62
Surat Pernyataan tertanggal 26 Juli 2006 yang ditandatangi oleh Dotty Julia selaku
pihak yang membuat pernyataan dan H. Djasmin, Ketua RT 004 Kelurahan Duren Tiga
sebagai saksi, H. Yahya HS dan Ketua RW.03 Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi.
58
Berkas-berkas lampiran yang berada dalam satu bundel Surat
Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara tersebut sebanyak 3 (tiga)
lembar yakni berkas-berkas yang dibuat oleh pemohon dalam hal ini Dotty
Julia yang terdiri atas:
1. Surat Pernyataan Pengakuan Menguasai Fisik Atas Sebidang Tanah
Di Kelurahan Duren Tiga Kecamatan Pancoran Kota Administrasi
Jakarta Selatan yang menjelaskan terkait penguasaan fisik sebidang
tanah bekas tanah partikelir oleh Dotty Julia sejak tanggal 26 Juli
2006 berdasarkan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Negara yang
melepaskan hak atas tanah dari Zakwani ke Dotty Julia.63
2. Surat Pernyataan Tidak Sengketa yang menjelaskan bahwa sejak
tanah bekas tanah partikelir tersebut dikuasai oleh pihak Dotty Julia
tertanggal 26 Juli 2006 sejak saat surat pernyataan tersebut dibuat
yakni tertanggal 1 Agustus 2016, tanah bekas tanah partikelir tersebut
belum pernah dioper/dijual, digadaikan dan/atau dijadikan jaminan
kepada Bank Pemerintah/Swasta ataupun pada perseorangan serta
tidak menjadi sengketa dengan pihak manapun.64
3. Surat Pernyataan yang menjelaskan bahwa sejak tanah bekas tanah
partikelir tersebut dikuasai oleh pihak Dotty Julia tertanggal 26 Juli
2006 atas sebidang tanah yang terletak pada RT 004 RW 06,
63
Surat Pernyataan Pengakuan Menguasai Fisik Aras Sebidang Tanah Di kelurahan
Duren Tiga Kecamatan Pancoran Kota Administrasi Jakarta Selatan yang ditandatangi di
Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2016 dengan disaksikan oleh H.M. Djasmin selaku ketua RT
04 RW 06 Kelurahan Duren Tiga dan Achmad Sobari, S.E. selaku Ketua RW 06 Kelurahan
Duren Tiga dan turut ditandatangani oleh Endang Mulahatmi, S.E. selaku Lurah Duren Tiga.
59
Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Kotamadya Jakarta
Selatan seluas ± 157,50 sejak saat surat pernyataan tersebut dibuat
yakni tertanggal 1 Agustus 2016, tanah bekas tanah partikelir tersebut
tidak dalam sengketa, pihak Dotty Julia berkewajiban mengurus
permohonan hak atas tanah tersebut pada Kantor Badan Pertanahan
Kota Administrasi Jakarta Selatan dan apabila diatas tanah tersebut
akan didirikan suatu bangunan, maka pihak Dotty Julia berkewajiban
mengajukan permohonan pendirian bangunan berupa Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan Advice Planning ke Satuan Pelaksana PTSP
Kecamatan Pancoran, Kota Administrasi Jakarta Selatan.65
Dalam format pembuatan format Surat Pernyataan yang dibuat oleh
pihak Dotty Julia yang juga menjadi salah satu berkas yang dilampirkan
dalam Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas Tanah Negara dengan
nomor surat 147/1.711.03 dinyatakan sebuah poin yang menjelaskan terkait
ketentuan tambahan yang berisikan kewajiban bagi pihak Dotty Julia untuk
mengurus permohonan pendirian bangunan berupa Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan Advice Planning ke Satuan Pelaksana PTSP Kecamatan
Pancoran, Kota Administrasi Jakarta Selatan apabila terhadap tanah dan
bangunan yang dimohonkan haknya tersebut ingin dibangun sebuah
bangunan.
65
Surat Pernyataan tertanggal 26 Juli 2006 yang ditandatangi oleh Dotty Julia selaku
pihak yang membuat pernyataan dan H. Djasmin, Ketua RT 004 Kelurahan Duren Tiga
sebagai saksi, H. Yahya HS dan Ketua RW.03 Kelurahan Duren Tiga sebagai saksi.
60
Hal yang menjadi persyaratan dapat diterbitkannya sebuah permohonan
pendirian bangunan berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meliputi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung. Hal-hal yang menjadi persyaratan administratif dalam pengajuan
permohonan pendirian bangunan antara lain berupa persyaratan status hak
atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung dan izin mendirikan
bangunan.
Hal-hal yang menjadi persyaratan teknis dalam pengajuan permohonan
pendirian bangunan antara lain berupa persyaratan tata bangunan dan
persyaratan keandalan bangunan gedung. Status hak atas tanah yang menjadi
salah satu persyaratan administratif dalam pengajuan permohonan pendirian
bangunan merupakan hak atas tanah yang mana penguasaan atas tanah
tersebut diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan
atau kepemilikan tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak
guna usaha (HGU), hak pengelolaan, dan hak pakai.66
B. Mekanisme Konversi Hak Kepemilikan Tanah Partikelir Menjadi Hak
Milik Perseorangan Dalam Peraturan Perundang-undangan
Tanah partikelir menurut pasal 1 huruf c dan huruf d Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir terbagi
menjadi dua bagian yakni tanah usaha dan tanah kongsi. Tanah usaha
66
Penjelasan Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung.
61
merupakan bagian-bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat
termasuk tanah desa atau diatas mana penduduk mempunyai hak yang
sifatnya turun-temurun, sedangkan tanah kongsi merupakan bagian dari tanah
partikelir yang bukan merupakan termasuk tanah desa atau diatas mana
penduduk mempunyai hak yang sifatnya turun-temurun. Tanah partikelir
dapat terdiri dari seluruhnya tanah usaha atau tanah kongsi atau sebagian
tanah usaha dan sebagian tanah kongsi.67
Pada pasal 5 ayat 1 sampai dengan ayat 3 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir terdapat ketentuan
yang berisi:
1. Tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub c dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya,
diberikan kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu
dengan hak milik, kecuali jika hal itu menurut peraturan yang ada
sekarang tidak mungkin. Dalam hal yang terakhir oleh Menteri
Agraria diadakan ketentuan-ketentuan khusus.
2. Pemberian hak milik tersebut pada ayat 1 pasal ini dilakukan dengan
cuma-cuma dan dapat disertai syarat-syarat menurut keputusan
Menteri Agraria.
67
Penjelasan pasal 1 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang
Penghaspusan Tanah-Tanah Partikelir
62
3. Hak-hak lainnya yang pada waktu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir mulai berlaku
membebani bekas tanah partikelir tetap berlangsung kecuali jika
kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria.
Penyelesaian tanah-tanah usaha yang menjadi bagian dalam tanah
partikelir yang juga telah diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dalam mana antara
lain-lain ditentukan, bahwa tanah-tanah itu akan diberikan kepada penduduk
yang berhak yakni penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah-tanah
itu.68
Menurut ketentuan dalam pasal 7 dan pasal 8 Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1958 Tentang Perlaksanaan Undang-Undang Penghapusan
Tanah Partikelir (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, Lembaran Negara
Nomor 2 Tahun 1958) menyatakan bahwa hak milik yang diberikan setelah
adanya perincian yang telah dilakukan terlebih dahulu sebelum hak milik
dapat diberikan. Bentuk perincian yang dimaksudkan meliputi proses
pengukuran dan perpetaan yang dilakukan oleh instansi yang ditunjuk dan
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Ketentuan mengenai pemberian hak milik secara cuma-cuma yang
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir diubah 2 (dua) tahun kemudian dengan
68
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir Bab III Nomor 5.
63
ketentuan konversi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdiri dari 9 (sembilan) butir
pasal yang terdapat dalam buku kedua dari undang-undang tersebut.
Ketentuan yang terdapat pada pasal II Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa hak
agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe
desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak
usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria semenjak Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
diundangkan, dalam hal ini tertanggal 24 September 1960, dibebankan
ketentuan mengenai pengkoversian menjadi hak milik sesuai dengan pasal 20
ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dengan memperhatikan pula syarat-syarat kepemilikan yang
tertera pada pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.69
Pasal II ketentuan konversi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa hak
usaha atas bekas tanah partikelir sebagai salah satu objek kepemilikan berupa
hak yang memiliki kewajiban untuk dikonversikan menjadi hak milik.
69
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 24.
64
Ketentuan pemberian secara cuma-cuma yang sebelumnya diutarakan dalam
pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-
Tanah Partikelir digantikan dengan pasal II ketentuan konversi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
tersebut.
Pasal IX ketentuan konversi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa
penyelenggaraan dari pengkoversian hak-hak kepemilikan yang diutarakan
dalam pasal I sampai dengan pasal VIII dari kentuan konversi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.70
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dan
menjelaskan tentang langkah-langkah selanjutnya dalam proses konversi hak
atas tanah partikelir antara lain adalah pemberian serta penerimaan hak
tersebut. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah serta disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan telah melakukan unifikasi
terhadap peraturan-peraturan menteri agraria terdahulu menjadi acuan untuk
mengatur terkait pemberian hak atas tanah negara yang merupakan proses
memperoleh hak atas tanah yang didapatkan dari proses konversi hak-hak
atas tanah warisan hukum Kolonial Belanda.
70
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 26.
65
C. Analisa Akibat Hukum Atas Konversi Status Hak Kepemilikan Tanah
Partikelir Menjadi Hak Milik Perseorangan dan Mekanisme Konversi
Menurut Peraturan Perundang-undangan
Status hak atas tanah bekas tanah pertikelir yang dimiliki oleh pihak
Dotty Julia merupakan status hak atas tanah bekas tanah partikelir yang pada
awalnya dimiliki oleh pihak Zakwani dan kemudian dialihkan haknya kepada
pihak Dotty Julia sebagai penerima hak. Status hak atas tanah bekas tanah
partikelir tersebut diajukan dalam Surat Rekomendasi Permohonan Hak Atas
Tanah Negara dengan nomor surat 147/1.711.03 sehingga status hak atas
tanahnya dapat menjadi status hak atas tanah dengan terbitnya sertifikat hak
milik atas bidang tanah tersebut.
Tanah yang telah memiliki status hak atas tanah dengan diwujudkan
dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan atau kepemilikan
tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU),
hak pengelolaan, dan hak pakai dengan dilampirkannya pula gambar yang
jelas mengenai lokasi tanah bersangkutan yang memuat ukuran dan batas-
batas persil71
, telah melengkapi persyaratan status hak atas tanah dalam
penerbitannya permohonan pendirian bangunan.
Adapun akibat hukum lainnya dari suatu proses konversi hak yang
meliputi proses pendaftaran hak atas tanah yang pihak Dotty Julia lakukan,
secara administratif dapat berdampak terhadap kekuatan pembuktian hak atas
tanah yang dimilikinya. Ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang
71
Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
66
Nomor 5 Tahun 1960 menjelaskan bahwa surat-surat tanda bukti hak
merupakan alat pembuktian yang kuat. Ketentuan dalam pasal tersebut
menjelaskan bahwa keterangan-keterangan yang tercantum didalam sebuah
sertifikat mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang
membuktikan sebaliknya.72
Terbitnya Sertifikat Hak Milik yang menjelaskan dengan detil status
kepemilikan hak atas sebidang tanah yang terletak di Jalan Guru Alip Nomor
24 RT 04 RW 006 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran Kotamadya
Jakarta Selatan atas kepemilikan atas nama Dotty Julia, hal tersebut dapat
menjadi alat pembuktian yang kuat atas status hak yang dimiliki dan
didaftarkan oleh pihak Dotty Julia. Sebagai suatu perbandingan, suatu
Sertifikat Hak Milik yang telah terbit dan dimiliki atas nama Dotty Julia
memiliki kekuatan sebagai pembuktian yang lebih kuat dibanding dengan
suatu keterangan hak atas tanah bekas tanah partikelir yang semulanya
menjadi alas hak atas sebidang tanah yang terletak di Jalan Guru Alip Nomor
24 RT 04 RW 006 Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran Kotamadya
Jakarta Selatan tersebut.
Adapun kendala yang menjadi penghambat proses konversi hak atas
sebidang tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan yang peneliti
hadapi dalam mengajukan konversi serta mengajukan permohonan
72
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 113.
67
pendaftaran hak atas sebidang tanah tersebut merupakan kendala-kendala
yang sifatnya yuridis. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan-pengaturan hukum
yang menjelaskan terkait konversi status hak kepemilikan yang berdasarkan
hak-hak menurut hukum Kolonial Belanda dibeberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Konversi hak-hak atas tanah yang berdasarkan
hukum Kolonial Belanda di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdapat pada buku kedua ketentuan
konversi yang terdiri dari 9 (sembilan) pasal.73
Ketentuan mengenai tata cara
konversi hak usaha atas tanah partikelir menjadi hak milik terdapat di pasal II
ketentuan konversi tersebut.
Ketentuan pelaksanaan dari proses konversi yang berujung kepada
pendaftaran hak atas tanah partikelir tersebut tersebar diberbagai level
peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah serta Peraturan
Menteri Agraria. Penulis berpendapat bahwa hal tersebut dapat menjadi
sebuah kendala dalam suatu proses konversi hak-hak atas tanah partikelir
karena banyaknya hal-hal yang harus diteliti serta dicermati yang menjadi
aspek-aspek penilaian yang diatur dan diterangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait sejak permohonan dibuat oleh pihak
pemohon yang dalam hal ini Dotty Julia sampai dengan permohonan tersebut
diterima pihak Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini diwakili oleh Kepala
Badan Pertanahan setempat selaku pejabat yang berwenang dan untuk
73
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2008), h.
23-27.
68
kemudian diterbitkannya sebuah Sertifikat Hak Milik atas sebidang tanah
tersebut.
Syarat dan tata cara dalam mendapatkan sebuah hak atas tanah negara
yang dalam hal ini merupakan bentuk hak dari sebidang tanah bekas tanah
partikelir dari saudara Dotty Julia dan diperuntukan untuk rumah tinggal
terdapat pada pasal 77 sampai dengan pasal 83 dari Peraturan Menteri Agraria
Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Permohonan hak milik atas tanah menurut pasal 77 sampai dengan pasal
83 dari Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah negara dan Hak Pengelolaan
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah
kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan dan mengikuti rangkaian tata
cara sebagai berikut:
1. Mengajukan Permohonan Hak Milik yang terdiri dari keterangan
mengenai pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi dan
keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang
dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon.74
2. Setelah berkas permohonan diterima Kepala Kantor Pertanahan maka
Kepala Kantor Pertanahan memeriksa dan meneliti kelengkapan
permohonan, mencatat pada formulir isian sesuai format Lampiran 18
74
Penjelasan Pasal 79 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
69
19 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan, dan memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai
formulir isian pada Lampiran 19 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.75
3. Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas
permohonan Hak Milik atas tanah dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut untuk dapat dikabulkan/tidak dikabulkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal hasil penelitian dan pemeriksaan berkas permohonan telah
cukup untuk mengambil keputusan, apabila tanahnya melebihi luas
yang tidak terkena uang pemasukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Kepala Kantor Pertanahan
mengeluarkan surat pemberitahuan penenetapan uang pemasukan
kepada negara sesuai format pada Lampiran 20 Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.76
Setelah uang pemasukan dan biaya pendaftaran tanah dilunasi, Kepala
Kantor Pertanahan mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum
75
Penjelasan Pasal 81 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
76 Penjelasan Pasal 82 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
70
sebagai dasar pemberian haknnya dan untuk selanjutnya Kepala Kantor
Pertanahan memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Milik serta
mencatatnya dalam buku tanah, Sertifikat dan daftar umum lainnya serta
menerbitkan Sertifikat Hak Milik.77
77
Penjelasan Pasal 83 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang
dapat peneliti paparkan adalah sebagai berikut:
1. Akibat hukum yang timbul dengan adanya konversi status hak atas
tanah yang semula merupakan tanah partikelir menjadi hak milik
perseroangan adalah telah sempurnanya suatu persyaratan
administratif berupa hak atas tanah terhadap proses penerbitan suatu
Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Penerbitan sebuah suatu Izin
Mendirikan Bangunan hanya dapat dilaksanakan apabila status hak
atas tanah yang sudah dimohonkan untuk pembuatan sebuah IMB
sudah berubah menjadi Hak Milik Perseorangan. Akibat hukum
lainnya yang timbul dari proses konversi status hak atas tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan ini adalah terbitnya sebuah
Sertifikat Hak Milik yang menjadi alat pembuktian paling kuat atas
hak milik sebidang tanah.
2. Proses dan tata cara konversi hingga pada pendaftaran tanah bagi
tanah partikelir mengunakan landasan hukum yang terdapat pada
berbagai level peraturan perundang-undangan antara lain pasal II
ketentuan konversi UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
72
1997 dan pasal 77 sampai pasal 83 Peraturan Menteri Agraria Nomor
9 Tahun 1999.
B. Saran
Tiap tahap yang ditempuh dalam proses konversi tersebut memiliki dasar
hukum berupa ketentuan dalam perundang-undangan. Ketentuan umum
mengenai proses konversi tersebut terdapat pada Ketentuan Konversi UUPA.
Ketentua tersebut menjadi dasar pengaturan tahapan konversi dalam berbagai
perundang-undangan yang antara lain terdapat pada Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
1973, Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 dan secara khusus
terkait konversi status kepemilikan tanah partikelir/tanah bekas tanah
partikelir menjadi hak milik perseorangan di unifikasi dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999.
Unifikasi dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tidak
menghilangkan ketentuan yang terdapat dalam berbagai perundang-undangan
lain yang mengatur upaya konversi status kepemilikan tanah sehingga
beberapa ketentuan dalam konversi status kepemilikan tanah partikelir
menjadi hak milik perseorangan masih dapat berlaku di peraturan
perundangan lain. Berdasarkan kesimpulan diatas peneliti memberikan saran
yakni diperlukan adanya suatu unifikasi hukum dengan level undang-undang
terhadap proses konversi hak-hak barat guna untuk memberikan satu acuan
terkait ketentuan mengenai proses konversi status kepemilikan tanah yang
semula adalah tanah partikelir menjadi hak milik perseorangan secara khusus.
73
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku –buku
Chomzah, H. Ali Achamad, Hukum Agraria: Pertanahan di Indonesia,
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003
Dwiyatmi, Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor,
2006
Effendie Bachtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Alumni, Bandung, 1993
Halim, A. Ridwan, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, edisi kedua,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya Jilid 1,Penerbit
Djambatan, Jakarta, 2007
_____________, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam
Hubungannya Dengan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001, Universitas
Trisakti, Jakarta, 2002
Lubis, Yamin, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
2010
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2006
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Rosdakarya,
Bandung, 2008
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998
Parlindungan, A.P, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 2009
________________, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2007
Rajaguguk, Erman, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan
Hidup, Penerbit Chandra Pratama, Jakarta, 1995
74
Ridwan, Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah Menurut Hukum
Pertanahan Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam, Penerbit Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2010
Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya
UUPA, Edisi Revisi, Penerbit Alumni, Bandung, 1995
_____________, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi,
Penerbit Alumni, Bandung, 2006
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Penerbit Prenada
Media, Jakarta, 2010
___________, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, cetakan ke 3, Penerbit
Prenada Media, Jakarta, 2013
___________, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Penerbit Prenada
Media, Jakarta, 2010
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 31, Penerbit Intermasa,
Jakarta, 2003
Soemitro, Ronny Haditjo, Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
cetakan ke-4, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Soerodjo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit
Arkola, Surabaya, 2003
Supriyadi, Hukum Agraria, cetakan ke-5, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009
___________, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Syarief, Elza, Persertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, Penerbit
Gramedia, Jakarta, 2014
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,
cetakan kedua, Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah,
Penerbit Republika, Jakarta, 2008
75
B. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak-Hak Barat