lemahnya hadits mengoreksi penguasa harus dengan menyepi menyendiri (empat mata)

12
1 Lemahnya Hadits Mengoreksi Penguasa Harus Dengan Menyepi, Menyendiri (Empat Mata) Tulisan ini disusun berdasarkan: Tanggapan Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan Empat Mata (Kutipan Tulisan Ust. Syamsudin Ramadhan) tanggapan-kritik-atas-pendapat-yang Bagian sub-judul "Menasihati Penguasa Di Tempat Umum" berdasarkan tulisan Ust. Hafidz Abdurrahman: bolehkah-menasehati-penguasa-di-tempat-umum-baik-secara- langsung-maupun-melalui-demonstrasi Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata: اَ نَ ث دَ ح وُ بَ أِ َ ي ُِ ا اَ نَ ث دَ حُ ا َ و َ ِ نَ ث دَ حُ َ يُ ُ ا ب د َ بُ ِ َ ي َ ح ا ُ هُ ي َ غَ وَ ا اَ َ دَ َ ُ ا اَ ِ ُ ا ب نَ غَ ِ احَ اَ ِ يَ دَ اِ ح َ حِ ُ َ َ غَ َ ُ َ اُ اَ ِ ُ ا ب ِ َ حَ ا وَ ا َ ِ َ َ ح ا اَ ِ ُ ثَ َ َ َ ِ ا اَ َ اُ اهَ َ َ ُ اَ ِ ُ ا ب ِ َ حَ يَ َ اَ ِ َ اِ ُ ثَ ا اَ اَ ِ ا اَ ِِ ا َ اَ أ َ َ ِ ب ان ى َ ُ ِ َ َ َ َ َ وُ واُ َ اِ اِ دَ َ أِ ا ا ان اً ب َ َ ُ دَ َ أ اً ب َ َ ِ اَ ن اد ِ ا ا نِ اَ ا اَ َ ُ ا اَ ِ ُ ا ب نَ غ اَ ُ اَ ِ َ ا ب ِ َ ح دَ اَ ن ِ َ اَ َ ِ َ اَ ن َ أَ يَ و اَ َ َ أَ ي َ اَ وَ أ َ َ َ واُ َ يِ ى َ ُ ِ َ َ َ َ َ وُ واُ َ اَ َ د َ يَ أ اَ أَ َ نَ ا اَ ُِ ا ي َ ِ بَ َ ِ د بُ ُ َ اً َ ِ نَ َ اِ َ اَ و ُ َ ِ اِ هِ دَ ِ بَ وُ َ َ ِ ِ ب اِ َ َ اِ بَ ُ نِ َ ا َ َ ِ َ وَ ا اَ دَ ى دَ أ يِ ا ِ َ َ ُ َ اَ ا نِ َ و اَ ُ اَ ِ َ نَ َ ُ ي يِ يَ ا ِ ُ ِ يَ َ ىَ َ ِ ا اَ ُ ِ َ َ َ ِ َ اَ أَ اَ ُ َ ُ ا اَ ا َ واُ َ َ َ اِ َ ِ ا اَ ُ ِ َ اَ ايَ بَ ىَ ا اَ َ َ و―Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, ―Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, ―Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‗Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, ―‗Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadh bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‗Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‗Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‗Iyadl, ―Tidakkah engkau mendengar Nabi Saw. bersabda, ―Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia.‖ ‗Iyadl bin Ghanm berkata, ―Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ―Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala.‖ [HR. Imam Ahmad]

Upload: anas-wibowo

Post on 22-Jan-2018

106 views

Category:

Law


2 download

TRANSCRIPT

1

Lemahnya Hadits Mengoreksi Penguasa Harus Dengan Menyepi, Menyendiri (Empat Mata)

Tulisan ini disusun berdasarkan: Tanggapan Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan Empat Mata (Kutipan Tulisan Ust. Syamsudin Ramadhan) tanggapan-kritik-atas-pendapat-yang Bagian sub-judul "Menasihati Penguasa Di Tempat Umum" berdasarkan tulisan Ust. Hafidz Abdurrahman: bolehkah-menasehati-penguasa-di-tempat-umum-baik-secara-langsung-maupun-melalui-demonstrasi Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

ثنا ثنا ال ي أبو حد و ا حد ثن ل ل حد ا ي دد بل ل ي ب ي يه الح ل ل وغاا د اا ا ا اح غنل د بل ا ا ا غل ح ل حا د ي بلا ح د ااض ح ال ول ث اا ا ا اه ا ي ح د بل ا لل ااد ا ض اا ث ا ل أا ل ا ل ب ى ان ل ال ا وا و ل با اناا أ دد ا با أ د نل اا اا ا ناا ادي ا ا غنل د بل ا ا نا دل ح د بل نا ل ا ل ل ل ا ويأ ل أوا ل يأ ي وا ل ى ل أال أي د ال وا و نل يد ا ل ااد د ب ل ا بل ل ل وا ال ن ده ا ل و ب ا ي أدى دل اا و ا نل با ال ب ل ا و نا ا ي ل ال ييي نل ا ل اا ى ل ا أال و ااى بايا ل اا ا وا ا ي ل اا ل

―Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, ―Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, ―Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‗Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, ―‗Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadh bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‗Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‗Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‗Iyadl, ―Tidakkah engkau mendengar Nabi Saw. bersabda, ―Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia.‖ ‗Iyadl bin Ghanm berkata, ―Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ―Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala.‖ [HR. Imam Ahmad]

2

‗Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa‘ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai‘at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams. Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu‘awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib. Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, ―Diriwayatkan darinya:…dan ‗Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‗Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi‘in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, ―Mohammad bin ‗Auf ditanya apakah Syuraih bin ‗Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda‘? Mohammad bin ‗Auf menjawab, ―Tidak.‖ Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‗Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi Saw.? Dia menjawab, ―Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, ―saya mendengar.‖ Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya).‖ Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, ―Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, ―Saya mendengar ayahku berkata, ―Syuraih bin ‗Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, ―Saya mendengar bapakku berkata, ―Syuraih bin ‗Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy‘ariy secara mursal‖. Jika Syuraih bin ‗Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‗Ijlaan al-Bahiliy ra. yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma‘diy Karab ra. yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‗Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu‘awiyyah, lebih-lebih lagi ‗Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‗Umar bin Khaththab ra.? Selain itu, Syuraih bin ‗Ubaid ra. meriwayatkan hadits itu dengan ta‘liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah. Hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin 'Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi', sehingga gugur sebagai hujjah. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‗Abi ‗Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, ―Telah meriwayatkan kepada kami ‗Amru bin ‗Utsman, di mana dia berkata, ‖Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, ―Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‗Amru, dari Syuraih bin ‗Ubaid, bahwasanya dia berkata, ―‗Iyadh bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah Saw. yang bersabda, ―Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.‖ [HR. Imam Ahmad]

3

Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‗Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah. Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an-’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma‘, Imam Al Haitsamiy berkata, ―Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‗Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‗Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‗Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi‘un. Catatan lain, Syuraih bin ‗Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi‘; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah. Dari jalur Jubair bin Nufair, dia ternyata bukanlah wasithah antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, tidak menyambungkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Iyadh bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, nyatanya Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi'un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, "Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar." Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi', dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin 'Ubaid dengan 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari 'Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi' dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah. Adapun hadits dari jalur Mohammad bin 'Ayyasy, maka Mohammad bin 'Ayyasy adalah dla'ifu al-hadits (dla'if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta'diil, Abu Hatim berkata, "Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya." Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, "Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya." Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dha'if, tidak tsiqqah." Jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‗Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu‘awiyah Al ‗Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‗Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsana Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‗Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‗Iyadl bin Ghanam...dst. Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, "Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)." Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, "Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin 'Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta." Abu Hatim juga berkata tentang dia, "Syaikh la ba'sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma'in memujinya dengan baik." Dalam Tarikh Ibnu 'Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An

4

Nasaaiy berkata, "Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari 'Amru bin Harits." Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari 'Amru bin Harits! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, "Ia adalah mustaqim al-hadits." Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, "Tafarrada bi ar-riwayah 'anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya 'Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya." Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul. Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak 'illatnya, yakni; (1) majhul-nya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla'if-nya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) 'Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha') antara al-Fadlil dengan Ibnu 'Aidz, (5) terputusnya Ibnu 'Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari 'Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu 'anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan. Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma' az Zawaid, "Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil", maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas. Permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin 'Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan 'Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan 'Iyadh bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi' (terputus). Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin 'Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha' (terputus). Adapun riwayat mu'an'anah dari 'Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa 'Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra., dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari 'Iyadh bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha').

Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru meyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi 'Iyadh bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari 'Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati 'Iyadl bin Ghanm, pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, "Apa ini wahai 'Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi'ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap 'Umair bin Sa'ad pada saat ia berada di

5

Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan 'Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang "koreksi sembunyi-sembunyi" merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?

Demikianlah, Allah telah memudahkan kita untuk menunjukkan kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad tentang "sirriyat al-nashihah." Hanya hujjah yang lurus dan benarlah yang sesungguhnya petunjuk. Allahummasyhad, qad balaghtu al-haqq. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq. [Dalam kolom komentar ada yang mengatakan (mengutip blog yang mengutip ucapan Muhaddits Yaman Syaikh Muqbil): "Terdapat hadits yang shahih dari Nabi, beliau bersabda, "Jihad yang paling afdhol adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang zalim." kata-kata "di sisi" tidaklah mesti bermakna empat mata. sedangkan hadits yang mengatakan, "Siapa yang ingin menasehati penguasa maka hendaknya dia memberikan nasehat secara empat mata," hadits ini asalnya ada di Shahih Muslim tanpa tambahan tersebut. Redaksi hadits tersebut yang ada di Shahih Muslim adalah "Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia" tanpa ada tambahan di atas."] Mengoreksi Penguasa Terang-Terangan Perbuatan Rasulullah Saw. dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat. Beliau Saw. tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa‘idiy bahwasanya ia berkata:

اس س اس ت س ت ت لهللاى هللا ت س صت لت س هللا لهللا ت ت ات لتى ت س ال ت ن ي صت ت ت ا ت لت س م بت اسى ب هللا بس ت س س ت لهللا ت لت هللا اس بت س ت ات فت ذت ت ت ت ات ذت ت اس س س هت هت اس س فت ت ت هت هللا ة ت تلهللاى هللا س صت لت س هللا لهللا ت ت ات ات فت ت هللا ت لتاس ا ف ي ت يت تب يت بت س ت س تيت ت هللاى ت س م

ات س هت هللا سيت نس نت س هللا صت ال س بت طت ت فت ت ت خت نتى هللا لت س ت ت س بت س س ت هللا ت ت س هللا تإ نمي نس س س ا هللا س ت تاس ت س س فت لتى ن ي هللا اس ت ت ت لهللا س ت ذت فت ت س س فت ت س ي هللا هتذت ت اس س س هت لت ت تفت ت ا ي سهس تاس هت هللا ة ت ا ف ي ت ت س ت س ت هللاى ت س م تب بت سذس لت ت هللا هت هللا س س نس س س ت ت ة ت سخس ئال ت ات يت لهللا ت م ب ت س شت س لس س هللا ت س ت ت س فت هللا اس ت ت س

ت نس س س ت ت ال فت ت ت ات يت ات ت بت ت ت ال ت س س ت اة ات س بت ال ت س س هللافت ت س هللا ت س ت س شت ال ت س خس ت ة ئ يت ت هللاى ت ت س ت ط بت ت اس س هت س الهللا س هللا ت س س بساس لهللا س ن ي بتصس ت بت ات س ت ت س ن ي ت سذس

―Rasulullah Saw. mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai,

6

ia bergegas menghadap Nabi Saw.; dan Nabi Mohammad Saw. menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ‖Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah Saw. berkata, ‖Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu.‖ Beliau Saw. pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah Swt., beliau bersabda, ‖‘Amma ba‘du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ‖Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku.‖ Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah Swt. dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah Swt. dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi Saw. mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah Swt., hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya.‖ (HR. Imam Bukhari dan Muslim) Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau Saw. tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah/wajib dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi Saw., manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (pejabat yang sah menurut sistem Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai? Apa yang diucapkan, dikerjakan, dan disetujui Nabi adalah hujjah yang wajib diikuti. Ibnu Luthbiyyah adalah seorang penguasa. Nabi Saw. dalam hal ini berkedudukan sebagai Nabi sekaligus Rais ad Daulah. Dalam konteks asal, apa yang beliau lakukan adalah hujjah bagi kaum Muslim, baik rakyat maupun penguasa; dan tidak dikhususkan hanya untuk penguasa saja. Memang dalam konteks tertentu apa yang dilakukan Nabi Saw. hanya boleh ditiru oleh penguasa saja, semisal memotong tangan pencuri, rajam bagi pezina dan lain-lain. Namun, dalam hal mengoreksi penguasa dengan terang-terangan tidak harus dilakukan oleh penguasa yang lebih atas kepada penguasa yang lebih bawah, tapi bisa dilakukan oleh semua orang. Pasalnya, dalil-dalil umum telah menunjukkan masyru'nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Dengan demikian kisah koreksi Nabi Saw. atas Ibnu Luthbiyyah adalah hujjah jaliyah atas masyru'nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan, Ada perintah dari Nabi Saw. agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

اى ا طلب ب ب ز ا ن اش ا ا ف ل ن ف ئ

7

―Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‗Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan imam/khalifah dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya.‖ (HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy) Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak merinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata).

Hadits lemah soal menasihati penguasa dengan menyendiri juga tidak bisa men-takhshish keumuman hadits yang berbicara tentang mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, tidak semua kalimat yang berbentuk larangan (di dalam al Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram. Sighat nahyu bisa saja berimplikasi tahrim, karahah, tahqiir, bayaan al-'aqibah, ad-du'a, al-ya'su, al-irsyad, dan lain-lain, Larangan yang tersebut di dalam hadits lemah itu hanya menunjukkan makna al-irsyad dan rukhshah belaka. Indikasinya adalah kalimat yang disebut dalam hadits tersebut: (1) frase, "wa illa qad aday al-ladziy 'alaihi lahu" (dan jika tidak, maka dia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan kepadanya bagi penguasa itu). Frase ini justru menunjukkan kewajiban mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Maksudnya, jika seseorang tidak mampu mengoreksi penguasa dengan terang-terangan, maka, menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi sudah dianggap cukup dan bisa menghapus dosa "berdiam diri terhadap kemaksiyatan yang dilakukan oleh penguasa." Dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. (2) perkataan 'Iyadl bin Ghanm, "Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala", menunjukkan bahwa beliau sedang mengingatkan saudaranya Hisyam bin Hakim tentang bahaya atau resiko yang akan diterimanya jika menasehati penguasa dengan terang-terangan, bukan mengingatkan bahwa Hisyam bin Hakim melakukan pelanggaran dalam menasihati penguasa. Ini menunjukkan bahwa 'Iyadh bin Ghanm pun tahu bahwa menasehati penguasa dengan sembunyi-sembunyi adalah rukhshah (keringanan), sedangkan yang wajib dan paling asal adalah mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Yang dilarang adalah mengoreksi penguasa yang ditujukan atau diniatkan untuk menghina penguasa, bukan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Jika mengoreksi penguasa dengan terang-terangan diniatkan untuk menjaga umat dari kejahatan penguasa (amar ma'ruf nahi munkar), maka mengoreksi penguasa secara terang-terangan dalam keadaan seperti itu (untuk menjaga umat dari kejahatan dan kedzaliman penguasa serta ber-amar ma'ruf nahi munkar) bukanlah sesuatu yang haram, bahkan fardhu. Sebaliknya, jika mengoreksi penguasa, baik dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan diniatkan untuk menghina penguasa, maka perbuatan itu haram.

Ada perintah dari Rasulullah Saw. untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi Saw. memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‗Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

8

ي د انا ب ى ان ل ناه و ل نا أ ا اا با ل نا أال باا ا ل ى نا و ا ي نا نل ينا و ل ينا و ل ل نا وأثي و ل ي نناا وأال ل ي يول أال أ ل ل د ل بو حا ل ااض ال نل بيل

―Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya (penguasa yang sah menurut sistem Islam) kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.‖ (HR. Imam Bukhari) Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

ي وا أ ي ي وا يوا ل ي و ال بي ي ال و نل وا ال أنل ال ول ا اا ن ا ل أ ااو و اب ي

―Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka).‖ Para shahabat bertanya, ―Tidaklah kita perangi mereka?‖ Beliau bersabda, ―Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat‖ Jawab Rasul.‖ (HR. Imam Muslim) Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, ―Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw….Sedangkan makna dari fragmen, "Tidakkah kita perangi mereka?‖ Beliau bersabda, ―Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,‖ jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.‖ Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi imam/khalifah dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa (yang sah menurut sistem Islam) yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati imam/khalifah maupun jajarannya boleh dilakukan dengan pedang, jika dia telah menampakkan kekufuran yang nyata. Kaum Muslim menyaksikan Ummul Mukminin ‗Aisyah ra. yang memimpin kaum Muslim melakukan muhasabah dengan terang-terangan. Meminta agar penguasa menerapkan hukuman qishash atas pembunuh Utsman jelas-jelas merupakan tindakan mengoreksi penguasa. Pasalnya, 'Ali bin Abi Thalib ra. menunda pelaksanaannya. Hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Abdillah Thariq bin Syihab al-Bailiy al-Ahmasy ra., bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw., "Jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, "Kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa jahat." [Imam An Nasaaiy, isnadnya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqiy]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir ra., ".....Nabi bersabda, "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk selalu mendengar dan taat baik dalam keadaan lapang maupun malas,

9

berinfaq dalam keadaan susah maupun mudah, dan agar melakukan amar makruf nahi 'anil mungkar, dan kalian selalu berkata karena Allah, Tidak pernah takut celaan manusia [dalam menyampaikan kebenaran]." [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim] Memisahkan diri dari Khalifah tanpa alasan yang haq, memecah-belah persatuan kaum Muslim, dan membunuh kaum Muslim tanpa alasan yang jelas adalah haram dan harus dijauhi, sebagaimana maqalah Imam Ahmad rahimahullah. Mentaati Khalifah yang fasiq dan dzalim adalah kewajiban. Bahkan seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari Khalifah yang sah, meski dzalim dan fasiq. Namun, jika Khalifah telah menampakkan kekufuran yang nyata maka tidak ada ketaatan kepadanya, bahkan jika memungkinkan harus dikoreksi dengan pedang. Inilah pandangan lurus. Hukum asal mengoreksi penguasa itu secara terang-terangan, berdasarkan nash-nash Qur'an, misalnya: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." [TQS. Ali Imron (3):110] "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [TQS. At Taubah (9):71] "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu," Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." [TQS. An Nahl (16):36] "Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. [TQS. Al Maidah (5):78-81] Ayat-ayat di atas adalah ayat umum yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun wanita dan tidak ada batasan caranya. Dalam hadits, misalnya: "Siapa saja melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak mampu dengan hatinya..." [HR. Imam Muslim, Tirmidziy, Ibnu Majah, dan An Nasaaiy]

10

"Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di depan penguasa fajir." [HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad] "Tidaklah seorang Nabi yang Allah Swt. utus untuk umat sebelumku, kecuali ia memiliki hawariyyun dan shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Setelah itu, mereka diganti oleh orang-orang sesudah mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang jaahadahum (bersungguh-sungguh mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia Mukmin. Siapa yang bersungguh-sungguh mencegahnya dengan lisannya, maka ia Mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh mencegahnya dengan hatinya, maka ia Mukmin; dan tidak ada lagi iman seberat biji sawipun di balik itu." [HR. Imam Muslim] Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan syahid makna] "Kami membai'at Rasulullah Saw. agar selalu mendengar dan mentaati baik dalam keadaan susah maupun ringan, dalam keadaan senang maupun benci, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekufuran nyata yang ada bukti bagi kamu di sisi Allah; dan agar kami mengatakan kebenaran di manapun kami berada, tanpa kami takut celaan dalam menyampaikan kebenaran dari Allah." [HR. Imam Bukhari dan Muslim] Inilah dalil-dalil jaliy yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu disampaikan dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.

Menasihati penguasa di tempat umum Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:

ا ل ال ل ا و واي وا ان ح ادد و ا ―Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.‖ (H.R. al-Bukhari dan Muslim) Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:

ل يأى ال ي نل ه نل ديل ده ل ل ا ل ال ب ب ان ل―Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya...‖ (H.R. Muslim) Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama‘ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, ―Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikannya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk menasehati Sultan. Karena saya

11

berkeyakinan, bahwa ini adalah kewajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.‖ (al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, no. 4520 dan 4976) Adapun jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua: Pertama, kemunkaran yang dilakukan secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya; Kedua, kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya. Jenis kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:

ي ي ال ا ول ا ن حل د ل يول ي ا ال ول بل―Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.‖ (H.R. Ibn Hibban) Berbeda dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua: 1- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh. 2- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat (membongkar kemunkaran). Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang mengatakan, ―Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‗Ubay bin Salul berkata: ‗Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggalkannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‗Umar, lalu beliau menceritakannya kepada

12

Nabi Saw. Beliau Saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.‖ (Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22) Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum. (Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal.112-113) Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapannya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar‘i tetapi wajib. (Sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau masirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa). Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:

دد د ي ا ا ي ا ح ل د بل ون اه يه ا يد ا د اى اا وي اض ا د بل

―Penghulu syuhada‘ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang imam/khalifah yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.‖ (H.R. al-Hakim) Nasihat/ kritik yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‗Umar dalam kasus pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga pembagian kain yang dilakukan secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini.

Adapun riwayat lemah dari Ibnu Ghanam yang menyatakan, ―Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya,‖ pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja. Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak, jelas lebih baik ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan di hati), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah.