lembar pengesahan - nad.litbang.pertanian.go.idnad.litbang.pertanian.go.id/ind/images/03-lapkir...
TRANSCRIPT
i
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan : Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System (GIS) Di Provinsi Aceh
2. Unit Kerja : BPTP Aceh 3. 4.
Alamat Unit Kerja Sumber Dana
: :
Jln. P. Nyak Makam No 27 lampineung Banda Aceh DIPA 2016
5. Status Penelitian (L/B) : Lanjutan 6. Penanggung Jawab : • Nama : Cut Nina Herlina, S.Pi, M.Si • Pangkat/Golongan : Pembina (IV/a) • Jabatan : Penyuluh Madya 7. Lokasi : Provinsi Aceh 8. Agroekosistem : - 9. Tahun Mulai : 2016 10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : - 12. Output Akhir : 1. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di
Kabupaten Aceh Besar 2. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di
Kabupaten Pidie
13. Biaya : Rp. 125.000.000,- (Seratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah)
Koordinator program Penanggung Jawab Kegiatan,
Dr. Rachman Jaya, S.Pi., M.Si NIP. 19740503 200003 1 001
Cut Nina Herlina, S.Pi NIP. 19640717 198503 2 003
Mengetahui, Kepala Balai Besar
Menyetujui, Kepala Balai
Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA NIP. 19680415 199203 1 001
Ir. Basri A. Bakar, M.Si. NIP. 19600811 198503 1 001
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas selesainya pelaksanaan
penyusunan Laporan Akhir Tahun Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi
Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System (GIS) Di Provinsi Aceh.
Terlaksananya kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dan peran aktif seluruh
Dinas/Instansi yang terkait, petani, mantri tani dan penyuluh/peneliti yang ada di BPTP
Aceh. Namun demikian kami menyadari dalam pelaksanaan kegiatan ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun guna
perbaikan dimasa yang akan datang sangat diharapkan.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini
mulai dari mulai perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang dilanjutkan dengan
penyusunan laporan akhir tahun ini, kami ucapkan terimakasih dan semoga laporan ini
memberikan manfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, November 2016 Penanggung Jawab, Cut Nina Herlina, S.Pi, M.Si NIP. 19640717 198503 2 003
iii
RINGKASAN
1 Judul : Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
Berbasis Geografical Information System (Gis) Di Provinsi
Aceh
2 Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh
3 Lokasi : 1. Kabupaten Aceh Besar,
2. Kabupaten Pidie
4 Agroekosistem : Lahan Sawah
5 Status (L/B) : Baru
6 Tujuan : Melakukan pemetaan tingkat adopsi inovasi teknologi
pertanian sebagai acuan dalam menyusun strategi
penyuluhan pertanian berdasarkan wilayah geografis di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.
7 Keluaran : Terpetakannya tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian berdasarkan wilayah geografis wllayah pesisir timur yaitu
kabupaten Aceh Besar dan Piide.
8 Hasil : Peta tingkat adopsi budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.
9 Prakiraan Manfaat : a). Sebagai bahan acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian pada masing-masing kabupaten
di provinsi Aceh b). Sajian informasi data spasial dan sebagai media
pendukung informasi secara statis dengan peta hasil
digitasi.
10 Prakiraan Dampak : a). Meningkatnya tingkat adopsi teknologi hasil penelitian
karya Badan Litbang di seluruh wilayah Provinsi Aceh b). Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang tepat
sasaran di setiap kabupaten di Provinsi Aceh.Karya
tulis ilmiah (KTI) yang dipublikasikan di tingkat nasional.
11 Prosedur Pelaksanaan : 1. Persiapan meliputi : Studi pustaka, Menyusun proposal, menyusun RODHP, sosialisasi, koordinasi dengan
instansi terkait, dll. 2. Penentuan responden : Untuk setiap kabupaten akan
dipilih responden secara random. Jumlah responden
untuk tiap kabupaten akan berbeda tergantung pada jumlah kecamatan. Setiap kecamatan akan dipilih 10
responden. Apabila dalam satu kabupaten ada sepuluh kecamatan, maka responden yang dilibatkan sebanyak
100 orang.
3. Penyebaran kuisioner melalui survey pemetaan tingkat adopsi yang mencakup beberapa pertanyaan tentang
tiga komponen utama teknologi jajar legowo 4. Pengolahan data dan pengoperasionalkan perangkat
GIS
5. Pembuatan Peta 6. Pelaporan
12 Jangka Waktu : 1 (satu) Tahun
13 Biaya : Rp. 125.000.000,- (Seratus dua puluh lima juta rupiah).
iv
SUMMARY
1 Title : Development Model-Based Adoption of Agricultural Technology
Innovation Geographical Information System (Gis) In Aceh Province
2 Implementation Unit
: Assessment Institute for Agricultural Technology Aceh Province
3 Location : 1. Aceh Besar Distric
2. Pidie Regency
4 Agro ecosystem : Wetland
5. Status : New
6 Objectives
: Mapping the rate of adoption of agricultural technology
innovations as a reference in formulating agricultural extension strategy by geographic area in the district of Aceh Besar and
Pidie.
7 Output
: The mapping of the level of adoption of agricultural technology
innovation based on geographical region of the east coast with
the districts of Aceh Besar and Piide.
8 Result : Map adoption rate Legowo row rice cultivation in the district of
Aceh Besar and Pidie.
9 Expected
Benefits : a). As a reference in formulating agricultural extension strategy
in each district in the province
b). Spatial data and present information as a statically supporting media information with a map of the results of
digitization.,
10 Expected impact : a). The increasing rate of adoption of technology research and
Development Agency works throughout the province of
Aceh b). The creation of agricultural extension system is right on
target in each district in the province of scientific Aceh.
11 The execution
Procedures 1. Preparation includes : Literature, Making a proposal,
preparing RODHP, socialization, coordination with relevant agencies, etc.
2. Respondent : For each district will be selected respondents
randomly. The number of respondents for each district will vary depending on the number of districts. Each sub-district
will have 10 respondents. If in one district there are ten sub-districts, the respondents were involved as many as 100
people.
3. Distribution mapping survey questionnaire through adoption rate that includes some questions about three main
components technology Legowo row 4. Data processing and GIS pengoperasionalkan
5. Mapping 6. Reporting
12 Duration : 1 year
13 Budget : IDR 125.000.000,-
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara demografi, Provinsi Aceh terbagi atas 4 wilayah geografi yaitu
pesisir timur, pesisir barat, dataran tinggi gayo dan wilayah kepulauan. Wilayah
pesisir timur meliputi kota Banda Aceh, kabupaten Aceh Besar, Piide, Pidie Jaya,
Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, kota Langsa dan Tamiang.
Wilayah pesisir barat meliputi kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat
Daya, Nagan Raya, Aceh selatan, singkil dan Subulussalam. Dataran tingi gayo
meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah Gayo Luwes, kabupaten Aceh
Tenggara. Ditambah dengan wilayah kepulauan Sabang, dan Simeulu. Kondisi
dengan wilayah geografi yang berbeda ini mengakibatkan adanya perbedaan
(gap) sosio-kultural.
Sosio-kultural merupakan keaadaan yang dapat dilihat secara riil
menyangkut kondisi kehidupan manusia di dalam suatu kelompok yang disebut
masyarakat. Dalam kehidupan maysrakat terdapat sekelompok orang yang saling
menjalin hubungan antara satu dengan lainya, sehingga dapat menimbulkan
suatu tata aturan bagi kehidupan bersama, berisi tentang aturan yang
diperbolehkan, dianjurkan dan dilarang. Kesepakan sosial ini menjadi panduan
perilaku manusia dalam kelompok sosial ini lalu ditaati bersama, dan menjadi
kebiasaan dalam berperilaku yang lazim disebut kultur sosial.
Perbedaan (gap) sosio-kultural dalam proses adopsi inovasi teknologi
merupakan faktor penghambat tingkat adopsi dengan asumsi metode diseminasi
(teknik penyampaian dan media) yang digunakan seragam, Kenyataan ini yang
menyebabkan tingkat adopsi inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan
Litbang pertanian masih relatif rendah. Sehingga diperlukan kajian dalam bentuk
pemetaan tingkat adopsi yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural (adat,
pemahaman terhadap gender, pendidikan) pengguna inovasi teknologi.
Pemetaan tingkat adopsi tidak terlepas pada kondisi sosial pada wilayah
geografis yang berbeda.
Pemetaan sosial (social mapping) didefinisikan sebagai proses
penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data
dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profile dan masalah
sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Merujuk pada Netting, Kettner dan
2
McMurtry (1993), pemetaan sosial dapat disebut juga sebagai social profiling
atau pembuatan profile mata pencaharian, agama, pendidikan, dll.
Data yang dihimpun untuk pemetaan tingkat adopsi adalah data sosial-
kultur seperti : a). Data Geografi: topografi, letak lokasi ditinjau dari aspek
geografis, aksesibilitas lokasi, dll. b). Data psikografi: pengalaman petani dalam
berusahatani terutama terkait dengan lamanya berusahatani, pandangan, sikap,
dan perilaku terhadap inovasi baru, kondisi sosial yang berpengaruh, dll. Data-
data tersebut akan diolah dengan teknologi geografi informasi sistem (GIS) untuk
menghasilkan peta tingkat adopsi sebagai acuan dalam strategi penyuluhan
karya-karya badan litbang pertanian.
1.2. Dasar Pertimbangan
Perbedaan (gap) sosio-kultural dalam proses adopsi inovasi teknologi
merupakan faktor penghambat tingkat adopsi hasil Badan Litbang Pertanian.
Kajian pemetaan tingkat adopsi yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural
(adat, pemahaman terhadap gender, pendidikan) sangat diperlukan untuk
mengetahui karaketristik secara spesifik bagi pengguna inovasi teknologi. Salah
satu alat pemetaan untuk pengumpulan , penimbunan, pengambilan kembali
data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari
kenyataan yang ada pada suatu wilayah geografi digunakan teknologi yang
disebut geografi informasi sistem (GIS).
Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
Berbasis Geografical Information System (GiIS) Di Provinsi Aceh difokuskan pad 2
kabupaten yaitu kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Ke dua kabupaten ini
merupakan daerah sentra produksi padi yang ada di wilayah timur provinsi Aceh.
Selama beberapa tahun terakhir penerapan teknologi budidaya padi sudah
diterapkan di kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Untuk melihat sejauh mana
tingkat penerapan teknologi budidaya jajar legowo di masing-masing kabupaten
Aceh Besar dan Pidie dilakukan pemetaan berbasis GIS.
Hasil pemetaan nantinya dapat dijadikan acuan agar dapat disusun
kebijakan penyuluhan yang dapat diterapkan di masing-masing kabupaten
maupun di masing-masing kecamatan. Sehingga penerapan tingkat adopsi
teknologi hasil badan litbang dapat lebih ditingkatkan dan dapat mencapai
sasaran yang diharapkan.
3
1.3. Tujuan Kegiatan
Melakukan pemetaan tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian sebagai
acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian berdasarkan wilayah
geografis di kabupaten Aceh Besar, Pidie, Piide Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Jaya.
1.4. Keluaran Yang Diharapkan
Peta tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian berdasarkan wilayah
geografis wllayah pesisir timur dan barat yaitu kabupaten Aceh Besar, Piide
Jaya, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Jaya.
1.5. Perkiraan Manfaat
a). Sebagai bahan acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian pada
masing-masing kabupaten di provinsi Aceh
b). Sajian informasi data spasial dan sebagai media pendukung informasi secara
statis dengan peta hasil digitasi dari peta
Perkiraan Dampak
a). Meningkatnya tingkat adopsi teknologi hasil penelitian karya Badan Litbang
di seluruh wilayah Provinsi Aceh
b). Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang tepat sasaran di setiap
kabupaten di Provinsi Aceh.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi dalam Penyuluhan
Usaha mengubah perilaku individu atau masyarakat luas dalam
penyuluhan sosial dilakukan dengan pola-pola komunikasi tertentu yang sifatnya
mempengaruhi/ influence, pola komunikasi demikian dikaterogikan dalam
komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif pada hakekatnya mempengaruhi
sikap, pendapat dan perilaku orang lain melalui kegiatan komunikasi, baik secara
verbal maupun non verbal. Menurut ahli komunikasi Anderson (2006) komunikasi
persuasif didefinisikan sebagai perilaku komunikasi yang mempunyai tujuan
mengubah keyakinan, sikap atau perilaku individu atau kelompok lain melalui
transmisi beberapa pesan. Dalam komunikasi penyuluhan, seorang penyuluh
harus memperhatikan kondisi/ karakteristik sasaran penyuluhan dari sisi
demografis, pola komunikasi, budaya, kebiasaan/ gaya hidup dan sebagainya.
Kemudian menetapkan strategi yang akan dilakukan. Ketika mengungkapkan
pesan-pesan kepada sasaran penyuluhan, pada tahap inilah komunikasi persuasif
dilakukan.
2.2. Geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan,
dan perbedaan/variasi keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas
permukaan bumi. Kata geografi berasal dari Bahasa Yunani yaitu gêo ("Bumi"),
dan graphein ("tulisan", atau "menjelaskan"). Geografi juga merupakan nama
judul buku bersejarah pada subjek ini, yang terkenal
adalah Geographia tulisan Klaudios Ptolemaios pada abad kedua. Geografi lebih
dari sekedar kartografi, studi tentang peta. Geografi tidak hanya menjawab apa,
dan dimana di atas muka bumi, tapi juga mengapa di situ, dan tidak di tempat
lainnya, kadang diartikan dengan "lokasi pada ruang." Geografi mempelajari hal
ini, baik yang disebabkan oleh alam atau manusia. Juga mempelajari akibat yang
disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu (Wikipedia Indonesia, 2013).
Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi
atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain.
Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan
social budaya. Aktivitas penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi
5
geografis terutama kondisi fisiknya. Kondisi geografis fisik tersebut meliputi
kondisi iklim, topografi, jenis dan kualitas tanah serta kondisi perairan. Satu ciri
utama kajian geografi adalah mengkaji saling hubungan antara unsur fisik dan
unsur sosial di permukaan bumi.
2.3. Konsep Kehidupan Sosial Budaya
Realitas sosial budaya merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya di
sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Kenyataan sosial budaya ini terjadi
karena adanya pola-pola hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Pola-pola
hubungan tersebut dapat mencapai kestabilan tetapi dapat juga menimbulkan
konflik.
Kehidupan masyarakat terdiri dari berbagai aspek yang antara aspek satu
dengan aspek yang lainnya terdapat keterkaitan yang saling mendukung serta
melengkapi. Namun ada aspek yang penting dibandingkan dengan aspek yang
lainnya yaitu aspek sosial budaya. Unsur kebudayan yang universal yang umum
ditemukan di seluruh dunia yakni ada tujuh unsur kebudayaan yakni : 1). Sistem
religi, 2). Sistem Kemasyarakatan/organisasi social, 3). Bahasa, 4). Sistem
Pengetahuan, 5). Kesenian, 6). Sistem mata pencaharian hidup, 7). Peralatan
hidup dan teknologi (Koentjaraningrat. 2002).
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geografis Informtion System (GIS)
adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukan, menyimpan,
memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan
data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi. SIG merupakan
sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferansi
secara spasial atau koordinat-koordinat geografi (Therestia, 2010). Geografis
Information System (GIS) mampu menangani masalah basis data spasial maupun
non-spasial. Sistem ini merelasikan lokasi geografi (data spasial) dengan
informasi-informasi deskripsinya (non-spasial) sehingga para penggunanya dapat
membuat peta (analog dan dijital) dan menganalisa informasinya dengan
berbagai cara (Bafdal, 2011).
Menurut Therestia (2010), Konsep mobile GIS merupakan integrasi tiga
teknologi, yaitu perangkat lunak GIS, Teknologi Global Positioning System (GPS)
6
dan perangkat alat komunikasi gengam. Teknologi tersebut membuat basis data
yang dapat diakses oleh personil di lapangan secara langsung di segala tempat
dan waktu. Sistem ini dapat menambah informasi secara real time ke basis data
dan aplikasinya dalam hal kecepatan akses, tampilan, dan penentuan keputusan.
Beberapa manfaat sistem informasi geografis (SIG) adalah :
a. Sebagai alat analisis komunikasi dan integrasi antar disiplin ilmu terutama
yang memerlukan informasi-informasi geosciences.
b. Memecahkan masalah seputar akurasi representasi, akurasi prediksi dan
keputusan yang diambil berdasarkan representasi, minimalisasi volume data
yang digunakan, memaksimalisasi kecepatan komputasi, kesesuaian dengan
para pengguna, perangkat lunak dan proyek-proyek yang lain mengenai bumi.
2.5. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan
langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi
penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain
penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung
berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan
selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk
membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut.
Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan
sosial yang sukar untuk diketahui dengan metode lainnya. Observasi dilakukan
untuk menjajaki sehingga berfungsi eksploitasi. Dari hasil observasi kita akan
memperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjuk-
petunjuk tentang cara pemecahannya. Jadi, jelas bahwa tujuan observasi adalah
untuk memperoleh berbagai data konkret secara langsung di lapangan atau
tempat penelitian.
Berdasarkan pelaksanaan, observasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu
observasi partisipasi dan observasi non partisipasi.
a. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti atau
observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jadi, peneliti
bertindak sebagai observer, artinya peneliti merupakan bagian dari kelompok
yang ditelitinya. Keuntungan cara ini adalah peneliti merupakan bagian yang
7
integral dari situasi yang dipelajarinya sehingga kehadirannya tidak memengaruhi
situasi penelitian. Kelemahannya, yaitu ada kecenderungan peneliti terlampau
terlibat dalam situasi itu sehingga prosedur yang berikutnya tidak mudah dicek
kebenarannya oleh peneliti lain.
b. Observasi non partisipasi
Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya
tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Pada
metode ini peneliti tidak ikut berpartisipasi didalamnya, tetapi hanya semata –
mata sebagai pengamat saja. Cara ini banyak dilakukan pada saat ini. Kelemahan
cara ini antara lain kehadiran pengamat dapat memengaruhi sikap dan perilaku
orang yang diamatinya.
Alasan Menggunakan Metode Observasi adalah : Data yang hendak
diraih dengan metode observasi dapat menunjang data yang telah diperoleh
melalui metode lain. Observasi merupakan tehnik yang langsung dapat
digunakan untuk memperolah data dari berbagai aspek tingkah laku. Selain itu
dengan metode ini data yang diraih lebih auntentik dan dapat dipercaya serta
data yang dikumpulkan lebih efektif dan efisien.
`
8
III. PROSEDUR
3.1. Pendekatan
Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
Berbasis Geografical Information System (Gis) bersifat partisipatif dan kemitraan
antara peneliti/penyuluh BPTP Aceh, PPL, petani, kelompok tani serta melibatkan
instansi terkait lainnya. Kegiatan pengkajian ini merupakan serangkaian kegiatan
lapangan berupa survey pemetaan sosial untuk menemukenali kondisi sosial
budaya masyarakat lokal atau disebut juga sebagai kegiatan orientasi sosial dan
wilayah sasaran.
3.2. Ruang Lingkup
a. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dimulai sejak tahun 2016 dan akan berakhir pada tahun 2018.
Untuk tahun pertama yaitu tahun 2016 kegiatan ini akan dilaksanakan di
sebagian wilayah pesisir timur dan sebagian wilayah pesisir barat yaitu untuk
pesisir timur kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya, sedangkan untuk
wilayah pesisir barat kabupaten Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Penelitian di lakukan
mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun berjalan. Penelitian ini
merupakan kombinasi dari penelitian survey menggunakan kuisioner dan
penelitian kuantitatif menggunakan teknologi geografi informasi sistem (GIS).
b. Tahapan Pelaksanaan
1. Persiapan meliputi : Studi pustaka, Menyusun proposal, menyusun
RODHP, sosialisasi, koordinasi dengan instansi terkait, dll.
2. Penentuan responden.
Untuk setiap kabupaten akan dipilih responden secara random. Jumlah
responden untuk tiap kabupaten akan berbeda tergantung pada jumlah
kecamatan. Setiap kecamatan akan dipilih 10 responden. Apabila dalam
satu kabupaten ada sepuluh kecamatan, maka responden yang
dilibatkan sebanyak 100 orang.
3. Pengumpulan data primer dan sekunder, data yang dikumpulkan
adalah :
▪ Data Demografi: jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut
usia, gender, mata pencaharian, agama, pendidikan, dll.
9
▪ Data Geografi: topografi, letak lokasi ditinjau dari aspek geografis,
aksesibilitas lokasi, pengaruh lingkungan geografis terhadap kondisi
sosial masyarakat, dll.
▪ Data psikografi diantaranya pengalaman-pengalaman masyarakat
dalam berusahatani, pandangan, sikap, dan perilaku terhadap
Inovasi baru, kekuatan sosial yang paling berpengaruh terhadap
tingkat penerapan teknologi, dll.
▪ Pola komunikasi: media yang dikenal dan digunakan, informasi yang
biasa dicari, dan tempat memperoleh informasi
4. Penyebaran kuisioner melalui survey pemetaan tingkat adopsi yang
mencakup beberapa pertanyaan tentang tiga komponen utama
teknologi jajar legowo yaitu :
▪ Tingkat Adopsi Jajar Legowo diukur berdasarkan persentase luas
tanam padi yang sudah menerapkan jajar legowo di 23 kecamatan
Kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan di kabupaten Pidie
▪ Identifikasi sebaran varitas yang digunakan di 23 kecamatan
kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan Kabupaten Pidie
▪ Tingkat penerapan bibit muda pada penanaman padi jajar legowo di
23 kecamatan Kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan Kabupaten
Pidie
5. Pengolahan data dan pengoperasionalkan perangkat GIS
6. Pembuatan Peta
7. Pelaporan : Laporan triwulan, tengah tahunan dan laporan akhir.
3.3. Metode Pelaksanaan
A. Bahan dan Alat Penelitian
Adapun alat yang digunakan untuk mendukung pengerjaan Sistem
Informasi Geografis ini spesifikasinya sebagai berikut :
▪ Alat tulis kantor
▪ Kuisioner
▪ Seperangkat komputer
▪ Quantum GIS 1.8.0 sebagai Pengolah Peta dan data spasial
▪ MS4W 3.0.6 sebagai Webgis Server
▪ pmapper-4.3.1 sebagai Framework Webgis
10
▪ PHP 5.4.0 Sebagai bahasa pemrograman webnya
▪ PostgreSQL 9.0 dan Postgis sebagai database
Komponen Sistem Informasi Geografis dibagi kedalam 4 komponen utama
yaitu: perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU),hard-
disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS,
MapInfo, dan lain-lain), organisasi (manajemen) dan pemakai (user).
B. Wilayah Sasaran dan Obyek Pemetaan
Wilayah Sasaran Pemetaan wilayah pemetaan sosial adalah setiap
desa/kelurahan yang menjadi sasaran program kegiatan. Obyek Pemetaan yang
dipetakan dalam kegiatan pemetaan sosial ini adalah meliputi :
▪ Tingkat aksesibilitas lokasi desa/kelurahan
▪ Letak lokasi desa/kelurahan dari aspek geografis
▪ Sarana informasi yang dimiliki masyarakat
▪ Kegiatan kelompok-kelompok Tani dan gapoktan
▪ Hubungan sosial antar kelompok tani
▪ Jenis-jenis profesi di kalangan masyarakat
▪ dll
C. Orientasi Sosial dan Wilayah
Orientasi Sosial dan Wilayah meliputi :
• Media-media informasi yang digunakan petani, termasuk media-media
warga
• Tanggapan petani dan penyuluh terhadap program-program yang
diluncurkan pemerintah/non pemerintah
• Keterlibatan petani dan penyuluh dalam program-program yang diluncurkan
pemerintah/non pemerintah
▪ Pemeliharaan terhadap hasil-hasil program yang pernah diluncurkan
pemerintah/non pemerintah
▪ Forum yang biasa digunakan petani untuk menyikapi program yang
diperkenalkan dan kebiasaan petani dalam pengambilan keputusan
11
D. Metode Pengumpulan Data
▪ Pengumpulan data sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-
dokumen yang dibutuhkan (dokumentasi) diambil dari kelurahan, kecamatan,
kabupaten dan atau sumber-sumber lainnya.
▪ Pengumpulan data primer dengan cara : Wawancara bersturktur maupun
wawancara mendalam terhadap anggota kelompok tani, penyuluh,
koordinator penyuluh, dll yang dianggap mengetahui informasi yang
diperlukan.
▪ Diskusi dengan kelompok tani dan pemerintah daerah (Focus Group
Discussion)
▪ Observasi (pengamatan langsung) : terhadap kondisi-kondisi lingkungan
fisik (lahan sawah petani, sarana dan prasarana pendukung pertanian),
hubungan sosial dan kebiasaan petani setempat, dll. Metode observasi
ini digunakan untuk mendapatkan data Raster Peta Wilayah.
▪ Jenis observasi yang digunakan adalah observasi non participan. Observasi
non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan
peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Pada metode ini
peneliti tidak ikut berpartisipasi didalamnya, tetapi hanya semata – mata
sebagai pengamat saja.
E. Metode Analisa Data
Analisa dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi yakni dengan
cara melakukan check dan cross check atas informasi yang diterima untuk
melihat persamaan dan keselarasan, dan juga perbedaan. Hasil triangulasi
selanjutnya disusun ke dalam suatu rangkuman secara deskriptif, dengan melihat
persamaan dan perbedaan pendapat dan pandangan yang ada di masyarakat.
Metode analisis data adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan data
2. Analisa sistem
3. Desain sistem
4. Implementasi
5. Pengujian
E. Tahapan Kerja GIS
12
SIG digunakan untuk menangani pengorganisasian data dan informasi,
menempatkan informasi pada lokasi tertentu, melakukan komputerisasi, serta
memberikan ilustrasi hubungan antara satu objek dan objek lainnya. SIG
dapat mempresentasikan dunia nyata ke dalam layar monitor komputer. Oleh
karena itu, SIG sama halnya dengan lembaran peta yang mempresentasikan
dunia nyata di atas kertas, meslcipun SIG melalui komputerisasi memilik i
kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan peta. Akan tetapi, sebuah
peta dapat disebut SIG karena juga menginformasikan data-data dalam
ruang, khususnya muka bumi. Sebagai sebuah system.
Tahapan kerja dalam SIG meliputi :
1. Masukan Data
Masukan data merupakan fasilitas dalam SIG yang dapat digunakan
untuk memasukkan data dari mengubah data asli ke dalam bentuk yang dapat
diterima dan dapat dipakai dalam SIG. Masukan data terdiri atas sumber data
dan proses memasukkan data. Sumber Data Sumber data yang dapat
digunakan dalam masukan data antara lain data pengindraan jauh, data
teristris, dan data peta.
2. Manipulasi dan Analisis Data
Manipulasi data merupalcan aktivitas yang meliputi antara lain membuat
basis data baru, menghapus basis data, membuat tabel basis data, mengisi
dan menyisipkan data ke dalam tabel, mengubah dan mengedit data, serta
membuat indeks untuk setiap tabel basis data.
Manipulasi tersebut dapat digunakan untuk klasifikasi ulang,
mendapatkan parameter/ukuran, konversi struktur data, dan analisis. Sebagai
contoh, untuk melakukan klasifikasi ulang suatu data spasial atau data atribut
menjadi data spasial yang baru digunakan kriteria tertentu. Misalnya untuk
perencanaan tata guna lahan menggunakan krieteria kemiringan lereng, yaitu
0% -14% untuk permukiman, 15% - 29% untuk perkebunan dan pertanian,
30% - 44% untuk hutan produksi, serta lebih dari 45% untuk hutan lindung
dan taman nasional.
3. Penyajian Data
Subsistem penyajian data berfungsi untuk menayangkan informasi atau
hasil analisis data geografi Informasi yang dihasilkan berupa peta, tabel,
13
grafik, bagan, dan hasil perhitungan. Melalui informasi itu pengguna dapat
melakukan identifikasi informasi yang diperlukan sebagai bahan dalam
pengambilan kebijakan atau perencanaan.
14
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persiapan Kegiatan
Persiapan kegiatan dilakukan dengan melakukan koordinasi ke beberapa
instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Badan Pelaksana Penyuluhan, Badan
Pusat Statistik. Balai Penyuluhan Pertanian Tingkat Kecamatan, dan instansi
lainnya yang ada di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.
Koordinasi di kabupaten Aceh Besar dilakukan di Badan Pusat Statistik dan
Dinas Pertanian Tanaman Pangan serta Badan pelaksana Penyuluhan. Tujuan
koordinasi untuk mendapatkan data final kabupaten yang telah divalidasi BPS.
Data sekunder meliputi data luas sawah pertanian, luas baku lahan, luas lahan
kering, data kepadatan penduduk dalam satu desa, jumlah tenaga kerja yang
terlibat dalam sektor pertanian (buruh tani), dan data sekunder lainnya.
Tim bertemu dengan kepala bagian data, koordinator bagian data,
komunikasi dan media. Tim BPTP Aceh menjelaskan maksud kedatangan ke
Kabupaten Aceh Besar dalam rangka melakukan pengkajian yang berjudul
kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis
Geografical Information System (GIS) mendukung pencapaian mandiri pangan di
Provinsi Aceh Tahun 2016. Sambutan dari Badan Pusat Statistik sangat
kooperatif dan tim BPTP Aceh mendapatkan data dalam bentuk soft dan hard
copy.
Koordinasi oleh tim ke Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan (BKPLUH), tim bertemu dengan Kepala Bidang Kelembagaan dan
Penyuluhan. Tim BPTP Aceh menjelaskan maksud kedatangan adalah untuk
melakukan kegiatan pengkajian model pengembangan adopsi teknologi berbasis
GIS untuk kemandirian pangan. Untuk melakukan pengkajian tersebut tim
membutuhkan beberapa data sekunder dan data primer langsung dari petani
dan penyuluh dalam bentuk FGD (Fokus Discussion Group) yang akan
dilaksanakan nantinya di BKPLUH. Dalam sambutannya Kabid. Kelembagaan dan
Penyuluhan sanga senang dengan kegiatan yang akan dilaksanakan BPTP Aceh
dan akan membantu memberikan data sesuai dengan kebutuhan tim BPTP Aceh.
Koordinasi di Kabupaten Pidie dilaksanakan di kantor Dinas pertanian
tanaman pangan dan peternakan dan di kantor Badan Ketahanan dan
Penyuluhan. Tim BPTP bertemu dengan Kepala bidang produksi Dinas Pertanian
15
Tim BPTP menjelaskan tahun 2016 tentang kegiatan Model Pengembangan
Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System
(GIS) Di Provinsi Aceh. Untuk melakukan pengkajian tersebut tim membutuhkan
beberapa data sekunder dan data primer dan tim BPTP meminta dukungan
dalam penyelenggaran bentuk FGD (Fokus Discussion Group) yang akan
dilaksanakan nantinya di BKPLUH. Dalam sambutannya Kabid. Produksi
menyambut baik dengan kegiatan yang akan dilaksanakan BPTP Aceh dan akan
membantu apapun yang dibutuhkan oleh tim BPTP termasuk memberikan data
sesuai dengan kebutuhan tim BPTP Aceh.
4.2. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
Koleksi data merupakan tahapan yang penting dalam proses kegiatan ini,
karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan
berlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan masalah
yang sudah ditetapkan. Data yang dicari harus sesuai dengan tujuan penelitian.
Dengan teknik sampling yang benar, akan didapatkan strategi dan prosedur
yang digunakan dalam mencari data di lapangan. Data yang dikumpulkan untuk
kegiatan ini adalah data sekunder dan primer.
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia, sehingga mudah
dicari dan dikumpulkan. Data yang diperoleh berasal perpustakaan, biro pusat
statistik, dan Dinas Pertanian kabupaten, Badan Pelaksana Penyuluhan
kabupaten, Kantor BPP kecamatan, dll. Pengumpulan data sekunder yang
dikumpukan sesuai dengan tujuan penelitian yang didasarkan beberapa
pertimbangan, diantaranya yaitu ditekankan pada pada kualitas dan kesesuaian
(selektif), serta dapat digunakan sebagai pendukung data primer.
Pengambilan data memegang peranan penting dalam menentukan
validitas hasil penelitian. Oleh karena itu, dalam teori validitas, hasil riset tidak
akan mempunyai validitas tinggi, jika peneliti melakukan kesalahan dalam
pengambilan data yang secara tekni disebut data collection error. Kesalahan
dalam pengambilan data primer akan berakibat secara langsung dalam hasil
analisa yang tidak sesuai dengan masalah yang akan dijawab sehingga hasil
studi akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Dengan demikian data primer
harus didapat secara langsung dari sumber aslinya melalui nara sumber yang
tepat (dalam hal ini kelompok tani, koordinator penyuluh, instansi terkait) yang
16
dijadikan responden dalam kegiatan ini. Pengambilan data primer pada kegiatan
ini dilakukan secara tepat melalui survei menggunakan kuesioner kelompok
fokus, dan panel, serta data hasil wawancara peneliti dengan nara sumber untuk
mendapatkan data yang valid.
4.3. Pengumpulan Data dengan Observasi
Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang tidak
hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket) namun juga
untuk melihat keadaan sebenarnya di lapangan. Pada kegiatan ini observasi
dilakukan untuk mempelajari perilaku petani, kondisi lahan sawah yang
digunakan petani dalam berusahatani padi dan teknologi yang digunakan oleh
petani dalam berusahatani padi. Pengumpulan data dengan observasi langsung
atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan
tersebut.
Pengamatan dengan cara pengamatan langsung, dicatat hal-hal, perilaku
petani dan masyarakat, kondisi pertumbuhan tanaman padi di sawah, kondisi
sarana dan prasarana yang ada, hubungan sosial petani, penyuluh dan
pemerintah daerah, dan hal lainnya yang dianggap dapat mendukung kegiatan
pengkajian. Dengan cara pengamatan secara langsung keadaan dari objek dapat
dicatat segera, dan tidak menggantungkan data dari ingatan seseorang.
Selain itu pengamatan langsung dapat diperoleh data dari subjek baik tidak
dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi secara
verbal. Adakalanya subjek tidak mau berkomunikasi, secara verbal dengan
enumerator atau peneliti, baik karena takut, karena tidak ada waktu atau karena
enggan. Dengan pengamatan langsung, hal di atas dapat ditanggulangi.
4.4. Pengumpulan data dengan Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun peneliti
terhadap nara sumber atau responden. Wawancara pada penelitian ini teknik
wawancara yang diterapkan terstruktur dan tidak terstruktur. Terstruktur artinya
pengkaji telah mengetahui dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari
responden sehingga daftar pertanyaannya sudah dibuat secara sistematis.
Sebagai sarana pembantu digunakan alat bantu seperti tape recorder, kamera
17
photo, dan material lain yang dapat membantu kelancaran wawancara.
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas, yaitu peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang akan diajukan
secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali
dari responden.
Dalam melakukan wawancara pengkaji melakukan dengan dua cara yaitu
wawancara tatap muka jarena memiliki kelebihan antara lain bisa membangun
hubungan dan memotivasi responden, Bisa mengklarifikasi pertanyaan,
menjernihkan keraguan, menambah pertanyaan baru, bisa membaca isyarat non
verbal dan bisa memperoleh data yang banyak. Namun demikian wawancara
juga meiliki kekurangan yang menjadi faktor penghambat dalam pengumpulan
data yaitu membutuhkan waktu yang lama, biaya besar jika responden yang
akan diwawancara berada di beberapa daerah terpisah, responden ada kalanya
meragukan kerahasiaan informasi yang diberikan, pewawancara perlu dilatih,
bisa menimbulkan bias pewawancara. Untuk mengantisipasi hal tersebut apabila
diperlukan pengkaji melakukan wawancara melalui telephon kepada responden
untuk melengkapi data yang dibutuhkan.
4.5. Hasil Kegiatan Pemetaan di Kabupaten Aceh Besar
4.5.1. Letak Geografis
Wilayah darat Aceh Besar berbatasan dengan Kota Banda Aceh di sisi
utara,Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi
selatan dan tenggara. Aceh Besar juga mempunyai wilayah kepulauan yaitu
wilayah Kecamatan Pulo Aceh. Kabupaten Aceh Besar bagian kepulauan di sisi
barat, timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Indonesia, Selat Malaka,
dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di
mana Kota Sabang berada. Pulau-pulau utamanya adalah Pulau
Breueh dan Pulau Nasi.
Secara geografis sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Besar berada
pada hulu aliran Sungai Krueng Aceh. Saat ini kondisi tutupan lahan adalah
62,5% (menurut data citra landsat tahun 2007). Bandar Udara Internasional
Sultan Iskandar Muda yang merupakan bandara internasional dan menjadi salah
satu pintu gerbang untuk masuk ke Provinsi Aceh berada di wilayah kabupaten
18
ini. Pulau Benggala yang merupakan pulau paling barat dalam wilayah Republik
Indonesia merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Besar.
Letak Geografis kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut :
L e t a k : 5,2º - 5,8º L U
: 95,0º - 95,8º B T
Panjang Pantai / Coast Length : 295 KM
Luas Lahan / Soil Size : 1.480 KM2
Luas Laut / Teritorial Sea Area : 1.355,90 KM2
Panjang Sungai / River Length : 719,50 KM
Luas Wilayah / Land Area : 2.903,50 Km²
Banyaknya Kecamatan : 23
Banyaknya Kemukiman : 68
Banyaknya Desa Definitif : 604
Batas - batas Daerah
Sebelah Utara : Selat Malaka
: Kota Banda Aceh
Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Jaya
Sebelah Timur : Kabupaten Pidie
Sebelah Barat : Samudera Hindia
: Kabupaten Aceh Jaya
4.5.2. Wilayah Administratif
Kabupaten Aceh Besar memiliki 23 kecamatan di mana salah satunya
berupa kepulauan yaitu kecamatan Pulo Aceh. Jumlah desa keseluruhannya
mencapai 609 desa/kelurahan. Nama-nama kecamatan dan jumlah desa per
kecamatan di kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut :
19
Tabel 1. Jumlah Desa/ Kelurahan Dan Mukim Menurut Kecamatan Di Kabupaten Aceh Besar, 2013
Kecamatan Desa/Kelurahan Mukim
1 2 3
01. L h o o n g 28 4
02. Lhoknga 28 4
03. Leupung 6 1
04. Indrapuri 52 3
05. Kuta Cot Glie 32 2
06. Seulimeum 47 5
07. Kota Jantho 13 1
08. Lembah Seulawah 12 2
09. Mesjid Raya 13 2
10. Darussalam 29 3
11. Baitussalam 13 2
12. Kuta Baro 47 5
13. Montasik 39 3
14. Blang Bintang 26 3
15. Ingin Jaya 50 6
16. Krueng Barona Jaya 12 3
17. Sukamakmur 35 4
18. Kuta Malaka 15 1
19. Simpang Tiga 18 2
20. Darul Imarah 32 4
21. Darul Kamal 14 1
22. Peukan Bada 26 4
23. Pulo Aceh 17 3
Jumlah 604 68
Sumber : Bagian Pemerintahan, Setdakab Aceh Besar, 2014
20
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar
Kecamatan dan Kabupaten
Perkembangan Jumlah Penduduk (Jiwa)
2009 2010 2011 2012 2013
Lhoong 8 897 9 093 9 302 9 592 9 904
Lhoknga 14 561 14 874 15 214 15 659 16 168
Leupung 2 497 2 553 2 611 2 703 2 791
Indrapuri 19 231 19 975 20 433 21 020 21 703
Kuta Cot Glie 12 047 12 388 12 672 13 040 13 463
Seulimeum 21 163 21 519 22 012 22 806 23 546
Kota Jantho 8 066 8 443 8 636 8 923 9 212
Lembah Seulawah 10 170 10 753 10 999 11 346 11 714
Mesjid Raya 20 307 20 864 21 342 22 033 22 749
Darussalam 22 266 22 633 23 151 23 950 24 729
Baitussalam 16 176 16 590 16 969 17 491 18 058
Kuta Baro 23 018 23 541 24 080 24 823 2 563
Montasik 17 382 17 732 18 138 18 695 19 303
Blang Bintang 10 488 10 723 10 969 11 416 11 787
Ingin Jaya 27 027 28 064 28 706 29 628 30 591
Krueng Barona Jaya 13 594 14 096 14 419 14 931 15 416
Suka Makmur 13 569 13 905 14 224 14 634 15 109
Kuta Malaka 5 827 5 891 6 026 6 222 6 424
Simpang Tiga 5 241 5 360 5 483 5 609 5 791
Darul Imarah 45 725 46 397 47 460 49 264 50 865
Darul Kamal 6 586 6 766 6 920 7 145 7 377
Peukan Bada 14 904 15 462 15 815 16 483 17 018
Pulo Aceh 3 793 3 796 3 883 3 999 4 129
Aceh Besar 342 537 351 418 359 464 371 412 383 477
Sumber : BPS Aceh Besar, 2015
21
Tabel 3. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Aceh Besar
B u l a n Keadaan Hujan/ Rain Fall Avarage Condition
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Januari 152.5 91.7 283.3 15 9 16
Februari 82.3 78.4 136.1 14 11 15
Maret 223.5 99.5 89.7 17 10 8
April 142.3 78.6 106.2 13 9 12
Mei 58.8 98.4 131.1 11 15 13
Juni 19.8 41 167.2 5 5 13
Juli 55.6 28 83.8 8 9 9
Agustus 68.1 38 40.4 7 6 11
September 136.8 77.6 164.6 13 6 7
Oktober 41.8 177.2 56.6 16 15 11
November 164.4 199.1 149.8 12 12 16
Desember 123.4 150.2 214.8 20 18 20
Sumber : Stasiun Meteorologi Klas II, Blang Bintang, Aceh Besar, 2014
4.5.3. Tingkat Adopsi Jajar Legowo di kabupaten Aceh Besar
Hasil pengumpulan data melalui suvey di 23 kecamatan/kota diperoleh data
bahwa rata-rata tingkat adopsi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar mencapai
49 %. Tingkat adopsi jajar legowo untuk kategori sangat tinggi di capai oleh
kecamatan Lhok Nga (97 %) disusul dengan Kota Jantho (85 %). Kategori
sangat tinggi untuk tingkat adopsi jajar legowo di Kecamatan Lhok Nga dan Kota
Jantho dikarenakan teknologi jajar legowo sudah diterapkan di dua wilayah ini
sejak tahun 2009 yaitu lebih dulu dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Sebaliknya untuk tingkat adopsi sangat rendah di dapat pada kecamatan
Mesjid Raya yaitu (3 %) dan kecamatan Pulo Aceh (5 %). Hal ini dapat dipahami
karena secara geografi pada kecamatan Mesjid Raya lebih banyak dijumpai
pemukiman dibandingkan dengan luasan sawahnya. Selain itu penerapan jajar
legowo di kecamatan ini relatif masih baru yaitu diterapkan mulai tahun 2014.
Demikian juga dengan kecamatan Pulo Aceh sangat rendahnya tingkat
adopsi jajar legowo disebabkan karena secara geografi wilayah ini merupakan
daerah kepulauan yang harus ditempuh dengan melewati lautan. Sehingga
terdapat faktor penghambat untuk penyebaran adopsi teknologi di daerah ini.
22
Menurut Holid (2011) salah satu hambatan dalam penyebaran inovasi adalah
hambatan geografi. Hambatan geografi mencakup jarak yang jauh, transportasi
yang kurang lancar, serta daerah yang terisolasi.
Untuk lebih jelasnya rata-rata tingkat adopsi jajar legowo per kecamatan
dapat dilihat pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Rata-rata Tingkat Adopsi Jajar Legowo dan Tahun Mulai diterapkan Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar
NO. KECAMATAN TINGKAT ADOPSI MULAI PENERAPAN
1 Pulo Aceh 5 % Tahun 2013
2 Kota Jantho 85 % Tahun 2009
3 Lambah Seulawah 50 % Tahun 2012
4 Darul Imarah 65 % Tahun 2013
5 Krueng Barona Jaya 35 % Tahun 2014
6 Seulimum 40 % Tahun 2012
7 Darussalam 50 % Tahun 2012
8 Baitussalam 28 % Tahun 2013
9 Peukan Bada 70 % Tahun 2011
10 Kuta Baro 63 % Tahun 2012
11 Blang Bintang 26 % Tahun 2013
12 Montasik 55 % Tahun 2011
13 Ingin Jaya 45 % Tahun 2011
14 Suka Makmur 45 % Tahun 2012
15 Kuta Malaka 54 % Tahun 2013
16 Simpang Tiga 45 % Tahun 2011
17 Darul Imarah 63 % Tahun 2013
18 Lhok Nga 97 % Tahun 2009
19 Indrapuri 60 % Tahun 2012
20 Kuta Cot Glie 38 % Tahun 2010
21 Leupung 80 % Tahun 2011
22 Mesjid Raya 3 % Tahun 2014
23 Lhoong 25 % Tahun 2014
Rata-rata 49 %
Sumber : Data Primer, diolah (2016)
23
4.5.4. Sebaran Varitas Unggul Padi di Kabupaten Aceh Besar
Jenis varitas dan rata-rata penerapan varitas unggul padi di kabupaten
Aceh Besar dapat dilihat pada tabel 5 berikut :
Tabel 6. Jenis varitas dan rata-rata persentase penerapannya Menurut Kecamatan
NO.
KECAMATAN PENERAPAN VARITAS
CIHERANG
PENERAPAN VARITAS UNGGUL LAINNYA
NAMA VARIETAS
TINGKAT PENERAPAN
1 2 3 4 5
1. Pulo Aceh 90 % Inpari Sidenuk 10 %
2. Kota Jantho 70 % Inpari 30 Inpari Sidenuk
20 % 10 %
3. Lambah Seulawah
70 % Inpari 30 30 %
4. Darul Imarah
70 % Inpari 30 IR 64
20 % 10 %
5. Krueng Barona Jaya
75 % Inpari 30 25 %
6. Seulimum
70 % Inpari 30 Mekongga Inpari 16
10 % 10 % 10 %
7. Darussalam 50 % Inpari 30 20 %
Mekongga Hibrida Inpari Sidenuk Bestari
10 % 5 % 10 % 5 %
8. Baitussalam 50 % Mira 50 %
9. Peukan Bada
65 % Inpari 30 Mekongga Bestari
20 % 10 % 5%
10. Kuta Baro 90 % Hibrida 10 %
11. Blang Bintang 75 % Inpari 30 25 %
12. Montasik 70 % Inpari 30 30 %
13. Ingin Jaya
60 % Inpari 30 Inpari Sidenuk Inpari Mugibat Mekongga
20 % 5 % 5 % 10 %
14. Suka Makmur
45 % Inpari 30 Inpari Sidenuk Mekongga
30 % 20 % 5 %
15. Kuta Malaka
70 % Inpari 30 Inpari Sidenuk
20 % 10 %
16. Simpang Tiga
70 % Inpari 30 Mira
20 % 10 %
17. Darul Imarah
70 % Inpari 30 IR 64
20 % 10 %
24
1 2 3 4 5
18. Lhok Nga
10 % Inpari 30 Cigeulis Mekongga Situ Bagendit Inpari 16 Inpari 10
10 % 50 % 10 % 10 % 5 % 5 %
19. Indrapuri
70 % Inpari 30 Inpari 16 Batu Tegi
20 % 5 % 5 %
20. Kuta Cot Glie 70 % Inpari 30 30 %
21. Leupung 70 % Inpari 30 30 %
22. Mesjid Raya 100 % - -
23. Lhoong 50 % Inpari 30 50 %
Rata-rata 66 % -
Sumber : Data Primer, diolah (2016)
Hasil survey terhadap terhadap sebaran varitas unggul di kabupaten Aceh
besar menunjukan bahwa varitas unggul ciherang adalah varitas unggul yang
paling disukai dan paling banyak diadopsi oleh petani. Rata-rata penggunaan
varitas ciherang di kabupaten Aceh Besar mencapai 66 %, selebihnya adalah
varitas unggul lainnya dengan tingkat penerapan bervariasi. Hasil wawancara
kepada responden didapat keterangan bahwa petani menyukai varitas padi
ciherang dikarenakan varitas ini memiliki rasa nasi yang enak/pulen dan tahan
terhadap kekeringan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Djatihardi dan Ruskandar (2007)
bahwa varitas unggul ciherang adalah varitas unggul padi yang paling disukai
petani diantara semua varitas unggul baru karena produksinya tinggi, harga jual
yang tinggi, rasa nasi yang enak/pulen, dan tahan perhadap serangan hama dan
penyakit.
4.5.5. Tingkat Adopsi Penggunaan Bibit Muda
Hasil survey terhadap tingkat adopsi penggunaan bibit muda di kabupaten
Aceh Besar menunjukan angka yang bervariasi untuk tiap kecamatan. Pada Tabel
7 terlihat bahwa rata-rata penerapan teknologi penanaman benih muda (7-14
HSS) di kabupaten Aceh Besar masih dalam kategori sedang yaitu sebesar 52,6
%. Kategori sangat tinggi didapat pada kecamatan Lhok Nga (88 %), sedangkan
untuk kategori rendah diperoleh pada kacamatan Mesjid Raya (25 %).
25
Untuk lebih jelasnya rata-rata penerapan benih muda dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 7. Rata-rata penerapan penanaman padi benih muda di kabupaten Aceh Besar
NO. KECAMATAN TINGKAT PENERAPAN
1. Pulo Aceh 43 %
2. Kota Jantho 65 %
3. Lambah Seulawah 55 %
4. Darul Imarah 50 %
5. Krueng Barona Jaya 38 %
6. Seulimum 35 %
7. Darussalam 60 %
8. Baitussalam 38 %
9. Peukan Bada 65 %
10. Kuta Baro 58 %
11. Blang Bintang 45 %
12. Montasik 63 %
13. Ingin Jaya 40 %
14. Suka Makmur 53 %
15. Kuta Malaka 69 %
16. Simpang Tiga 55 %
17. Darul Imarah 50 %
18. Lhok Nga 88 %
19. Indrapuri 57 %
20. Kuta Cot Glie 43 %
21. Leupung 80 %
22. Mesjid Raya 25 %
23. Lhoong 35 %
Rata-rata 52,6 %
Sumber : Data Primer, diolah (2016)
Masih rendahnya tingkat penerapan adopsi disebabkan petani belum
sepenuhnya memahami manfaat penggunaan bibit muda. Kebiasaan petani
menanam bibit di atas umur 21 hari setelah semai menjadikan jumlah anakan
berkurang, tanaman mudah stress sehingga pertumbuhan lambat, lebih mudah
26
terserang penyakit dan kebutuhan benih menjadi tinggi. Selain itu
kebiasaan petani memotong ujung daun saat tanam untuk menghindari
rebah menyebabkan tanaman susah bertunas, demikian juga menanam terlalu
dalam akan menyebabkan akar susah berkembang sehingga umur tanaman jadi
panjang.Hasil wawancara kepada petani responden menunjukan bahwa kendala
yang dihadapi dalam penerapan bibit muda adalah pada saat kondisi curah hujan
tinggi dan pada saat banyak air disawah, padi tidak bisa langsung ditanam
karena banyak muncul hama keong mas, begitu juga ketika kondisi tidak ada air
maka penanaman harus tertunda.
Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, beberapa keuntungan tanam
pindah menggunakan bibit muda (<21 hari) adalah tanaman tidak mengalami
stress akibat pencabutan bibit di pesemaian dan mudah dalam pengangkutan ke
lokasi lahan yang akan ditanami. Bibit lebih muda akan menghasilkan vigor
pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan bila menggunakan bibit lebih tua.
Namun demikian untuk daerah endemis keong mas, dianjurkan menggunakan
umur bibit lebih tua.
4.5.6. Permasalahan pada masing-masing kecamatan
1). Kecamatan Pulo Aceh
Penerapan teknologi jajar legowo di kecamatan Pulau Aceh dimulai sejak
tahun 2013. Tingkat Adopsi Jajar Legowo di kecamatan ini termasuk dalam
kategori sangat rendah hanya mencapai sebesar 5%. Kendala penerapannya
adalah karena petani belum mengetahui manfaat dari jajar legowo tersebut dan
petani belum memiliki keterampilan dalam menerapkan teknologi jajar legowo.
Hal ini dapat dipahami karena lokasi kecamatan ini berada pada wilayah geografi
kepulauan dan harus ditempuh dengan menyeberang lautan. Sehingga
transformasi inovasi teknologi terkendala dengan jarak dan waktu.
Di kecamatan ini tidak ditemui petani penggarap. Status kepemilikan lahan
100% adalah milik sendiri. Luas lahan rata-rata yang dimiliki petani berkisar 300
- 750 M2. Rata-rata lamanya pengalaman berusahatani sekitar 10 - 20 tahun.
Pola bertanam padi yang dilakukan selama ini yaitu dengan sistem tandur jajar.
Umumnya sawah di kecamatan ini adalah sawah tadah hujan.
Hampir seluruh petani padi didaerah ini menggunakan varitas Ciherang
yaitu sekitar 90% dan sisanya (10%) adalah Inpari Sidenuk. Petani menyukai
27
varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap tahan kekeringan dan
rasa nasi pulen. Tingkat Penerapan penanaman bibit muda (7-14 HSS) di
kematan Pulau Aceh masih sebesar 43%. Kendala yang dihadapi dalam
penerapan bibit muda diantaranya yaitu pada saat banyak air disawah, padi
tidak bisa langsung ditanam karena banyak muncul hama keong mas, begitu
juga jika tidak ada air maka penanaman akan tertunda.
2). Kecamatan Lhoong
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo di kecamatan Lhoong
sebesar 25% dengan kategori rendah. Penerapan jajar legowo di daerah ini
dimulai sejak tahun 2014. Kendala Penerapan Jajar Legowo Adapun kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki masih kurang terampil. Status
kepemilikan lahan di daerah ini, 20% milik sendiri dan 80% sebagai penggarap
Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Inpari 30 (50%). Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebesar 35%, hal ini dikarenakan adanya
kendala hama keong mas.
3). Kecamatan Leupung
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo di kecamatan ini sudah
telah termasuk dalam kategori sangat tinggi yaitu sebesar 80%. Dibandingkan
dengan kecamatan Pulo Aceh dan Lhoong penerapan jajar legowo sudah lebih
lama yaitu dimulai sejak tahun 2011. Walaupun tingkat penerapan sudah sangat
tinggi namun perlu adanya peningkatan lagi agar bisa mencapai 100 %.
Status kepemilikan lahan sawah terdiri dari 40% milik sendiri dan 60%
sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari
30 (30%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan
varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kekeringan. Tingkat penerapan
penanaman bibit muda sebanyak 80% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu
hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan
tadah hujan.
4). Kecamatan Lhoknga
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 97% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2009. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 18% milik sendiri dan 82% sebagai penggarap. Varietas yang
28
digunakan adalah Ciherang (10%), Inpari 30 (10%), Cigeulis (50%), Mekongga
(10%), Situ Bagendit (10%), Inpari 16 (5%) dan Inpari 10 (5%). Banyaknya
petani yang menanam varietas Cigeulis dikarenakan varietas tersebut dianggap
pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak
88%. Hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada
saat banyak air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak
ada air maka penanaman akan tertunda. Adapun sistem pengairan yang
diterapkan yaitu sistem tadah hujan.
5). Kecamatan Peukan Bada
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 70% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 35% milik sendiri dan 65% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (65%), Inpari 30 (20%), Cigeulis (50%), Mekongga
(10%), dan Bestari (5%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang
dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 65%. Hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas dan kurangnya tenaga kerja yang dimiliki
sehingga pada saat menanam umur bibit tua dipersemaian. Adapun sistem
pengairan yang diterapkan yaitu sistem tadah hujan.
6). Kecamatan Darul Imarah
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 65% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%) dan IR 64 (10%).
Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas
tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit
muda sebanyak 50% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas
dan jika pada saat banyak air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu
juga jika tidak ada air maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang
diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.
29
7). Kecamatan Darul Kamal
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 63% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012 sampai dengan
tahun 2013. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap
kurang terampil. Status kepemilikan lahan 42% milik sendiri dan 58% sebagai
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Inpari 30
(50%). Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 50% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang
diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.
8). Kecamatan Simpang Tiga
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011 sampai dengan
tahun 2012. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap
kurang terampil. Status kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%)
dan Mira (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang
dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 50%. Hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
irigasi.
9). Kecamatan Mesjid Raya
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 3% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2014. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (100%). Banyaknya petani yang menanam varietas
Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 25% hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
tadah hujan.
10). Kecamatan Baitussalam
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 28% dengan penerapannya dimulai dari tahun 2013 sampai tahun 2014.
30
Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang
terampil. Status kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Mira (50%).
Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 38% hal ini dikarenakan
adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak air disawah
maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air maka
penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem tadah
hujan.
11). Kecamatan Darussalam
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 50% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (50%), Inpari 30 (20%), Mekongga (10%), Hibrida
(5%), Inpari Sidenuk (10%) dan Bestari (5%). Banyaknya petani yang
menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan
tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 55% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem Pengairan Sstem
pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.
12). Kecamatan Kuta Baro
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 63% dengan penerapannya dimulai dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2013. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap
kurang terampil dan pada saat menarik caplak, air masih tergenang sehingga
cetakannya tidak tampak. Status kepemilikan lahan 35% milik sendiri dan 65%
sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (90%) dan Hibrida
(10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas
tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit
muda sebanyak 58% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas.
Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.
13). Kecamatan Krueng Barona Jaya
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 35% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2014. Kendala
31
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (75%) dan Inpari 30 (25%). Banyaknya petani yang
menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan
tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 38% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak
air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air
maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
irigasi dan sistem tadah hujan.
14). Kecamatan Blang Bintang
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 26% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (75%) dan Inpari 30 (25%). Tingkat penerapan
penanaman bibit muda sebanyak 45% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu
hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi.
15). Kecamatan Ingin Jaya
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011 sampai dengan
tahun 2012. Adapun kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki
dianggap kurang terampil. Status kepemilikan lahan 33% milik sendiri dan 67%
sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (60%), Inpari 30
(20%), Inpari Sidenuk (5%), Inpari Mugibat (5%) dan Mekongga (10%). Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 40% hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
irigasi.
16). Kecamatan Montasik
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 55% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 55% milik sendiri dan 45% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan oleh petani adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30 (30%). Banyaknya
32
petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap
pulen dan tahan kering.
Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 63% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak
air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air
maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
irigasi.
17). Kecamatan Sukamakmur
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 63% milik sendiri dan 37% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (60%), Inpari 30 (20%), Inpari Sidenuk (10%) dan
IR 64 (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan
varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan
penanaman bibit muda sebanyak 53% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu
hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi.
18). Kecamatan Kuta Malaka
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 54% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala
Penerapan Jajar Legowo. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki
dianggap kurang terampil. Status kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60%
sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30
(20%), dan Inpari Sidenuk (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas
Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 69% hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem
irigasi.
19). Kecamatan Indrapuri
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 60% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012 sampai dengan
2013. Kendala Penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang
terampil. Status kepemilikan lahan 57% milik sendiri dan 43% sebagai
33
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%),
Inpari 16 (5%) dan Batu Tegi (5%). Banyaknya petani yang menanam varietas
Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 57% hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas dan air sangat bergantung pada irigasi. Sistem
pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.
20). Kecamatan Kota Cot Glie
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 38% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2010 sampai dengan
2011. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang
terampil. Status kepemilikan lahan 65% milik sendiri dan 35% sebagai
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30
(30%). Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 43% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Adapun sistem pengairan
yang diterapkan yaitu sistem irigasi.
21). Kecamatan Kota Jantho
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 85% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2009 sampai dengan
2011. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang
terampil. Status kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai
penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%)
dan Inpari Sidenuk (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang
dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat
penerapan penanaman bibit muda sebanyak 65% hal ini dikarenakan adanya
kendala yaitu hama keong mas. Adapun sistem pengairan yang diterapkan yaitu
sistem irigasi.
22). Kecamatan Seulimum
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 40% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 43% milik sendiri dan 57% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (10%), Mekongga (10%) dan Inpari
16 (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan
34
varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan
penanaman bibit muda sebanyak 35% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu
hama keong mas dan kurangnya tenaga kerja yang dimiliki sehingga
terlambatnya penanaman yang dilakukan. Adapun sistem pengairan yang
diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.
23). Kecamatan Lembah Seulawah
Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan
sebesar 50% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala
penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status
kepemilikan lahan 55% milik sendiri dan 45% sebagai penggarap. Varietas yang
digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30 (30%). Banyaknya petani yang
menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan
tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 55% hal ini
dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang
diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.
4.6. Hasil Kegiatan di Kabupaten Pidie
Kabupaten Pidie adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh. Dengan
pusat pemerintahan berada di kota Sigli. Jumlah penduduk di kabupaten ini
merupakan jumlah yang terbesar ke 2 di provinsi aceh setelah kabupaten Aceh
Utara. Dua pertiga masyarakat kabupaten ini ada di perantauan, bagi masyarakat
wilayah ini merantau adalah suatu kebiasaan yang turun temurun untuk melatih
kemandirian dan keterampilan. Masyarakat wilayah ini mendominasi pasar-pasar
di berbagai wilayah di provinsi Aceh dan sebagian ke provinsi sumatera utara dan
negara tetangga malaysia.
4.6.1. Letak Geografis
Kabupaten Pidie yang membentang di antara 04,30 – 04,60 Lintang Utara
dan 95,75 – 96,20 Bujur Timur merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah
Provinsi Aceh. Wilayah Kabupaten Pidie yang terkenal dengan sebutan Krupuek
Mulieng merupakan wilayah hulu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas
wilayah Kabupaten Pidie mencapai 3.086,90 km2. wilayah Kabupaten Pidie
sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Pidie Jaya, sebelah barat
berbatasan dengan kebupaten Aceh Besar, sebelah utara berbatasan dengan
selat malaka dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat.
35
4.6.2. Wilayah Administratif
Secara administratif, Kabupaten Pidie terdiri dari 30 Kecamatan, 128
Kemukiman, 29 Kelurahan, dan 923 Desa, namun pada tanggal 15 Juni tahun
2007 melalui undang-undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang pembentukan
Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Pidie mengalami pemekaran menjadi 2 (dua)
Kabupaten yaitu Pidie sebagai Kabupaten Induk dan Pidie Jaya sebagai
Kabupaten pemekaran, sehingga saat ini wilayah Kabupaten Pidie terdiri atas 23
Kecamatan, 94 Kemukiman, 732 Gampong (yang sebelumnya 15 gampong di
Kecamatan Kota Sigli, 4 di Grong-grong dan 1 di Kec. Mutiara yang sesuai
dengan Qanun menjadi Kelurahan). Batas Wilayah Kabupaten Pidie meliputi :
Sebelah Utara berbatasa dengan selat malaka, Sebelah selatan berbatasan
dengan kabupaten Aceh Jaya, Sebelah Barat berbatasab Kabupaten Aceh Besar,
Sebelah Timur berbatasan dengan Pidie Jaya
Keadaan Iklim di kabupaten ini yaitu iklim Tropis (Dataran Rendah/Pesisir
Pantai) ; Iklim Sejuk (Dataran Tinggi /Lembah/Pegunungan), Curah Hujan dan
Suhu Rata-Rata, Curah Hujan 1.482 mm pertahun ; Suhu rata-rata 24° – 32 °C,
Panjang Pantai dan Sungai :
• Sungai 567, 40 Km ;
• Pantai 122 Km
Jenis Tanah :
• Alluvial (Kembang Tanjong, Pidie, Simpang Tiga),
• Hydromof (Pekan Baro, Geulumpang Tiga, Mutiara, Titue, Keumala, Tiro
Truseb, Muara Tiga),
• Podsolik (Padang Tiji, Indra Jaya, Tangse)
Penggunaan Tanah :
• Sawah 29.391 Ha
• Pekarangan 9.175
• Tegalan/Kebun 26.857
• Ladang/Huma 19.772
• Padang Penggembalaan 16.194
• Hutan Rakyat 23.782
• Hutan Negara 81.448
• Perkebunan 21.212
• Rawa-Rawa 2.128
36
• Tambak 2.890
• Tebat/Empang 162
• Pemukiman 30.714
• Belum diupayakan 78.093
Tabel 8. Jumlah Penduduk Di Kabupaten Pidie Tahun 2013
No. Kecamatan Jumlah
Penduduk Jumlah Rumah
Tangga
Rata-Rata Jiwa/Rumah
Tangga
1 2 3 4 5
1. Geumpang 6.447 1.600 4,0294
2. Mane 8.181 2.031 4,0281
3. Glumpang Tiga 18.118 4.498 4,0280
4. Glumpang Baro 10.400 2.582 4,0279
5. Mutiara 19.779 4.910 4,0283
6. Mutiara Timur 33.577 8.335 4,0284
7. Tiro/Truseb 7.647 1.898 4,0290
8. Tangse 25.622 6.361 4,0280
9. Keumala 9.627 2.390 4,0280
10. Titeue 6.504 1.615 4,0272
11. Sakti 20.211 5.017 4,0285
12. Mila 8.676 2.154 4,0279
13. Padang Tiji 21.368 5.304 4,0287
14. Delima 20.326 5.046 4,0281
15. Grong-grong 6.652 1.651 4,0291
16. Indrajaya 22.465 5.577 4,0282
17. Peukan Baro 19.775 4.909 4,0283
18. Kembang Tanjong 20.842 5.174 4,0282
19. Simpang Tiga 21.892 5.435 4,0280
20. Kota Sigli 20.431 5.072 4,0282
21. Pidie 43.496 10.797 4,0285
22. Batee 19.589 4.863 4,0282
23. Muara Tiga 18.955 4.705 4,0287
Jumlah 410.580 101.924
Sumber : BPS Kabupaten Pidie, 2014
37
4.7. Tingkat Adopsi Inovasi Jajar Legowo di kabupaten Pidie
Pengumpulan data dilakukan di 22 kecamatan, untuk kota Sigli tidak
dilakukan pengambilan data sebab tidak memiliki lahan sawah. Hasil yang
didapatkan menunjukan bahwa rata-rata tingkat adopsi jajar legowo di
kabupaten Pidie sebesar 49,6 % (Tabel 9). Angka ini sama dengan tingkat adopsi
budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar (49 %). Hal ini dapat
dipahami bahwa secara geografi ke dua kabupaten ini memiliki banyak
persamaan dengan posisi berdekatan atau berdampingan sehingga memiliki
karakteristik sosial budaya yang tidak jauh berbeda.
Untuk lebih jelasnya rata-rata tingkat adopsi jajar legowo dan penerapan
bibit muda per kecamatan dapat dilihat pada tabel 9 berikut :
Tabel 9. Rata-rata Tingkat Adopsi Jajar Legowo dan Penerapan Bibit Muda Menurut Kecamatan di Kabupaten Pidie
NO. KECAMATAN TINGKAT ADOPSI JAJAR LEGOWO
PENERAPAN BIBIT MUDA
1 MUARA TIGA 35 % 85%
2 GEUMPANG 80 % 80 %
3 TIRO 45% 25 %
4 MILA 65% 0 %
5 MUTIARA 60% 60 %
6 INDRAJAYA 18% 27 %
7 TITEU 95% 95 %
8 SAKTI 30% 70 %
9 MUTIARA TIMUR 28% 75%
10 GLP. BARO 20% 35 %
11 SIMPANG TIGA 60 % 75 %
12 BATEE 20% 20 %
13 MANE 80% 92 %
14 TANGSE 60% 70 %
15 PADANG TIJI 75% 60 %
16 DELIMA 60% 40 %
17 KEUMALA 60% 50 %
18 PIDIE 45% 55 %
19 GLP.TIGA 80% 80 %
20 PEUKAN BARO 65% 92%
21 GRONG-GRONG 5% 80 %
22 KB TANJONG 5% 70 %
Rata-rata 49,6 % 69,7 %
Sumber : Data Primer, diolah (2016)
Tabel 9 menunjukan bahwa tingkat adopsi jajar legowo untuk kategori
sangat tinggi di capai oleh kecamatan Mane dan Glumpang Tiga masing-masing
sebesar 80 %. Sebaliknya untuk tingkat adopsi sangat rendah di dapat pada
38
kecamatan grong-grong dan kembang tanjung masing-masing sebesar 5 %.
Rata-rata penerapan bibit muda tertinggi dijumpai pada kecamatan Titeu sebesar
95 %, sedangkan yang terendah pada kecamatan Batee sebesar 20 %.
Tingkat penerapan bibit muda di kabupaten Pidie menunjukan angka
sebesar 69,7 % (Tabel 9). Penanaman bibit muda (< 21 hari ) mempunyai
beberapa keuntungan, antara lain : 1) Bibit lebih muda akan menghasilkan
anakan lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bibit lebih tua, 2) Bibit
muda lebih tahan menghadapi stres akibat pencabutan bibit di persemaian,
pengangkutan dan penanaman kembali di bandingkan dengan bibit yang lebih
tua, 3) Bibit muda mempunyai bahan makanan cadangan untuk pertumbuhan
bibit pada endesperm benih dan kadar nitrogen di daun lebih tinggi
4.1.1. Sebaran Varitas Unggul Padi di Kabupaten Pidie
Penggunaan Benih bermutu dan berlabel pada budidaya padi jajar legowo
akan menghasilkan bibit yang sehat dan akar yang banyak. Benih yang baik
akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam. Ketika
ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tubuh lebih cepat dan kuat.
Benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi. Benih bermutu adalah benih
berlabel dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi. Pada
umumnya benih bermutu dapat diperoleh dari benih berlabel yang sudah lulus
banyak sehingga pertumbuhannya akan lebih cepat dan merata serta lebih tahan
terhadap serangan hama dan penyakit. Varietas unggul baru (VUB) yang
digunakan didasarkan pada keunggulan yang dimiliki yaitu imempunyai hasil
tinggi, ketahanan terhadap biotik dan abiotik, atau sifat khusus tertentu.
Berdasarkan hasil perhitungan dari survey yang dilakukan dalam rangka
pemetaan sebaran varitas di kabupaten Pidie menunjukan bahwa didominasi oleh
varitas Inpari, disusul dengan varitas ciherang dan Mekongga. Hal ini terlihat dari
sebaran varitas yang dipilih petani pada tiap kecamatan di kabupaten Pidie.
Berbeda dengan di kabupaten Aceh Besar varitas ciherang masih digunakan di
tiap kecamatan secara meratai. Bila dilihat per kecamatan pada kabupaten Pidie
posisi varitas ciherang sudah digeser oleh varitas inpari dengan demikian
penggunaan varitas ciherang di kabupaten Pidie sudah mulai berkurang dan
sudah beralih kepada baeitas unggul baru inpari atau mekongga dan VUB
39
lainnya. Jenis varitas dan rata-rata penerapan varitas unggul padi di kabupaten
Pidie dapat dilihat pada tabel 10 berikut :
Tabel 10. Jenis varitas dan rata-rata persentase penerapannya Menurut Kecamatan
NO KECAMATAN SEBARAN VARITAS UNGGUL
NAMA VARIETAS TINGKAT PENERAPAN
1 2 3 4
1. MUARA TIGA
Ciherang Inpari 30 Mekongga Hibrida
5 % 25 % 65 % 5 %
2. GEUMPANG
Inpari Hibrida Ciherang
30 % 60 % 10 %
3. TIRO
Inpari 16 Inpari 30 Inpari 32 Mekongga Hibrida Lokal
20 % 20 % 5 % 25 % 10 % 10 %
5. MILA
Ciherang Inpari Hibrida Lokal
10 % 50 % 20 % 20 %
6. MUTIARA
Inpari 32 Hibrida Ciherang Mekongga Sidenuk
70 % 10 % 10 % 5 % 5 %
7. INDRAJAYA
Ciherang Inpari Mapan Pioner Intani H6444
24 % 28 % 12 % 21 % 7 % 8 %
8. TITEU
Ciherang Inpari Mekongga Hibrida Lainnya
15 % 55 % 15 % 10 % 5 %
9. SAKTI
Ciherang Inpari Mekongga Hibrida Lainnya
10 % 45 % 10 % 20 % 15 %
10. MUTIARA TIMUR
Ciherang Inpari Mekongga Hibrida
15 % 42 % 18 % 25 %
40
1 2 3 4
11. GLP. BARO
Ciherang Inpari 30 Inpari 16 Inpari 32 Inpari 19 Mekongga Lainnya
10 % 25 % 10 % 15 % 10 % 10 % 20 %
12. SIMPANG TIGA
Ciherang Mekongga Inpari 16 Inpari 18 Inpari 30
75 % 5 % 5 % 5 % 10 %
13. BATEE
Mekongga Inpari 30 Ciherang Lokal
20 % 20 % 20 % 40 %
14. MANE
Inpari Hibrida
5 % 95 %
15. TANGSE
Ciherang Hibrida Inpari
40 % 20 % 40 %
16. PADANG TIJI
Inpari 30 Inpari 32 Ciherang Hibrida Mekongga Lainnya
30 % 30 % 10 % 10 % 5 % 15 %
17. DELIMA
Inpari Mekongga Sidenuk Pioner
40 % 25 % 20 % 15 %
18. KEUMALA
Ciherang Inpari Lokal
30 % 40 % 30 %
19. PIDIE
Inpari Mekongga Sidenuk Hibrida Lokal
45 % 15 % 10 % 20 % 10 %
20. GLP.TIGA
Inpari Cibogo Mekongga lainnya
45 % 20 % 10 % 25 %
21. PEUKAN BARO
Ciherang Inpari Mekongga Cibogo Situbagendit
3 % 45 % 15 % 10 % 2 %
41
1 2 3 4
Hibrida Lainnya
15 % 10 %
22. GRONG-GRONG
Inpari Mekongga Ciherang Pioner
32 % 48 % 14 % 6 %
23. KB. TANJONG
Ciherang Inpari Lainnya
53 % 32 % 15 %
Rata-rata
Sumber : Data Primer, diolah (2016)
42
V. KESIMPULAN
Rata-rata tingkat adopsi budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh
Besar mencapai 49 %. Angka ini hampir sama dengan tingkat adopsi budidaya
padi jajar legowo di kabupaten Pidie sebesar 49,6 %. Masih rendahnya tingkat
adopsi budidaya padi jajr legowo di dua kabupaten ini disebabkan oleh adanya
anggapan dari petani bahwa teknologi ini cukup menyulitkan, petani sudah
terbiasa dengan teknologi yang selama ini dilakukan.
Rata-rata penerapan teknologi penanaman benih muda (7-14 HSS) di
kabupaten Aceh Besar masih dalam kategori sedang yaitu sebesar 52,6 %.
Tingkat penerapan bibit muda di kabupaten Pidie menunjukan angka lebih tinggi
dibandingkan kabupaten Aceh Besar yaitu sebesar 69,7 %. Masih rendahnya
tingkat penerapan adopsi disebabkan petani belum sepenuhnya memahami
manfaat penggunaan bibit muda. Selian itu penerapan bibit muda terkendala
dengan hama keong mas yang menyukai bibit muda.
Sebaran varitas unggul di kabupaten Aceh besar menunjukan bahwa
varitas unggul ciherang adalah varitas unggul yang paling disukai dan paling
banyak diadopsi oleh petani. Rata-rata penggunaan varitas ciherang di
kabupaten Aceh Besar mencapai 66 %. Sedangkan sebaran varitas di kabupaten
Pidie menunjukan bahwa didominasi oleh varitas Inpari, disusul dengan varitas
ciherang dan Mekongga. Varitas ciherang masih disukai oleh petani di dua
kabupaten ini dikarenakan rasa nasi yang pulen.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James. (2006). Public Policy Making: An Introduction. Belmont: Wadsworth.
Aronoff, Stan. 1989. "Geographic Information System a Management Perspective". WDL Publication, Ottawa-Canad
Badan Pusat Statistik, Aceh Besar dalam Angka, 2015.
Badan Pusat Statistik, Pidie dalam Angka, 2015.
Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Aceh Besar.
Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Pidie.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Besar, 2014.
Bungin,Burhan. (2009). Metode Penelitian Kuantiattif: Komunikasi Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
https://www.academia.edu/5702119/55794604-35-Sistem-Informasi-Geografis-Pemetaan-Fasilitas-Kesehatan-Di-Kota-Magelang-Berbasis-Web
https://www.academia.edu/8354936/PROPOSAL_PENELITIAN_SISTEM_INFORMASI_GEOGRAFIS_PEMETAAN_LAHAN_PERTANIAN_DI_KABUPATEN_TUBAN_MENGGUN
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Santrock, J. W. (2005). Psikologi Remaja : PT Raja Grafindo Persada
Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Therestia, 2010. Implementasi Mobile GIS pada Navigasi jalan Menggunakan PDA di kabupaten Sleman. Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer. Jogyakarta.
Wikipedia Indonesia, 2013. Geografi. Diakses pada tanggal 17 September 2015.
(Oon Holid, hakikat difusi dan inovasi pembelajaran Universitas islam as-syafi’iah, 2011.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/tahukah-anda/185-penggunaan-bibit-muda