level an iman dan sukacita orang percaya
DESCRIPTION
just a small paperTRANSCRIPT
Stages of Faith and Joy
A. Pendahuluan
Tulisan ini adalah sebuah book report dari buku “Stages of Faith: The Psychology of Human
Development and the Quest for Meaning” karya James W. Fowler khususnya akan menyoroti part IV tentang
“Stages of Faith” dan part V tentang “Mary’s Pilgrimage.”1
Fowler menyusun sebuah teori baru di dalam psikologi agama pada tahun 1980 yang diberi nama
“Faith Development Theory” (FDT)2 yang secara panjang lebar dijelaskan di dalam buku ini. Ada tiga kata
1 James W. Fowler, Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning (San Fransisco: Harper Collins Publishers, 1995), 117-213 dan 219-268.
2 Teori ini banyak dipengaruhi strukturalisme kognitif genetik dari J. Piaget (epistemologi genetik); Lawrence Kohlberg (etika genetik); R.L. Selman (sosial genetik); R.Kegan (ego genetik), selain pendekatan psikososial dari Erik Erikson dan teori jalannya riwayat hidup dari Levinson serta tulisan teologis tentang iman dari H.Richard Niebuhrs dan Paul Tillich. Lihat juga pembahasannya di Part III Dynamic of Faith and Human Development.
kunci yang menunjukkan kekhasan pendekatan baru ini yaitu masalah “faith,”3 “development,”4 dan
“theory.”5 Namun, yang menjadi tinjauan penting di dalam tulisan ini adalah masalah “stages of faith/tahap-
tahap iman/kepercayaan eksistensial”6 dan bagaimana relasi atau kaitannya dengan konsep “joy/sukacita” di
dalam Perjanjian Baru (PB) khususnya menurut rasul Paulus.7 Oleh karena itu di dalam tulisan ini, penulis
akan mencoba mengkaji relasi antara “iman” menurut konsep FDT dari Fowler yang di dalamnya juga
mencakup cara orang-orang percaya beriman8 dan “joy” menurut konsep rasul Paulus yang mewakili apa
dan bagaimana sukacita orang-orang percaya, yang pada akhirnya akan di dapat jawaban sejauh mana
perkembangan iman itu mempengaruhi sukacita orang-orang percaya yang sesuai dengan konsep sukacita 3 Fowler membahasnya di bukunya pada bab pertama (1-36). Secara ringkas bagi Fowler yang dimaksud iman
atau kepercayaan eksistensial di sini bukanlah iman yang khusus untuk religius seperti kekristenan (Fowler tidak menafsirkan iman secara teologis yaitu sebagai anugerah ilahi yang diberikan secara cuma-cuma, Fowler membatasi diri pada penelitian tentang kepercayaan sebagai dinamika proses sebagaimana tampak dalam perjalanan riwayat hidup seorang pribadi atau kelompok, dengan kata lain Fowler mempelajari kepercayaan menurut dimensi manusia, bukan menurut dimensi Allah), tetapi iman di sini lebih dari keyakinan religius/kepercayaan/belief dan agama/religion, merupakan kategori paling fundamental dalam pencarian manusia akan relasinya dengan yang transenden. Tampaknya iman adalah sesuatu yang umum, suatu ciri universal kehidupan manusia yang dikenal secara sama di mana-mana meski amat bervariasi dalam bentuk dan isinya sesuai dengan praktek keagamaan dan kepercayaan nyata (14), faith berarti kepercayaan eksistensial pribadi atau iman. Pada pemikiran Fowler, faith mendapatkan suatu isi semantik yang sangat luas. Ternyata “faith” di sini tidak harus dimengerti sebgai “belief” tetapi terutama sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensial.” Bersama Cantwell Smith, Fowler membedakan antara faith, belief dan religion (9-15). Pembedaan ini sangat penting dalam pemikiran Fowler. Menurutnya, faith dapat diuraikan secara tepat sebagai sesuatu yang terpisah dari ajaran doktrinal, keyakinan-keyakinan dan kepercayaan/belief, dan seluruh ekspresinya dalam berbagai upacara dan simbol keagamaan/religion. Belief merupakan keseluruhan isi keyakinan dan pandangan religius yang diungkapkan dalam sejumlah representasi tertentu dan dianggap benar sebagai ajaran resmi agama yang bersangkutan. Religion diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif di mana semua pengalaman religius dari masa lampau dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh sistem bentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan lembaga. Fowler sangat dipengaruhi oleh konsep kepercayaan Paul Tillich, E.H. Erikson, H.Richard Niebuhr dan Cantwell Smith soal faith, faith adalah perbuatan percaya yang intens, fundamental, dan sangat pribadi di mana seseorang secara kreatif percaya akan nilai-nilai yang paling akhir dan akan hal transenden yang ultimate, dengan penuh cinta dan kesetiaan. Faith adalah “orientasi seluruh pribadi” dan “merupakan cara fundamental untuk percaya dan menanggapi hidup, entah terjadi dalam bentuk keagamaan tradisional seperti Kristen dan Islam, atau tidak.” Jika faith merupakan suatu tindakan fundamental dari kepercayaan hidup dan kesetiaan eksistensional, faith dapat dipandang sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensi” yang jauh lebih fundamental dan pribadi daripada religion dan belief. Bahkan faith menjadi sumber dan asal yang memungkinkan serta mendasari religion maupun belief. Fowler tidak pernah bermaksud memisahkan ketiga hal itu tetapi saling keterkaitan erat seperti yang dia nyatakan bahwa faith hendak dimengerti secara dinamis. Faith ini meliputi kenyataan bahwa pribadi menemukan arti atau ditemukan oleh arti itu. Faith mencakup baik konstruktif aktif atas keyakinan dan komitmen maupun sikap pasif dalam menerimanya. Faith mencakup segala ekspresi religius eksplisit dan seluruh pembentukan belief, dan juga segala cara untuk menemukan dan mengarahkan diri pada koherensi dalam lingkungan yang paling akhir, namun yang tidak bersifat religius (Fowler, “The Enlightenment and Faith Development Theory,” Journal of Empirical Theology vol.I no.1 (1988): 30). Ada berbagai dimensi struktur intern dari faith atau kepercayaan eksistensial yang dirumuskan oleh Fowler (lihat buku C. Dysktra dan S.Parks (eds.), Faith Development and Fowler (Birmingham, Alabama: Religious Education Press, 1986), 15-25) yaitu pertama, dimensi paling dasar adalah dimensi “pemberian arti.” Fowler bertitik tolak pada filsafat bahwa manusia membutuhkan arti dan makna, mengacu pada arti dan makna itu. Manusia sendirilah yang menjadi “pembuat arti.” Manusia merupakan makhluk unik yang dibebani dengan tugas menyusun suatu dunia yang berarti. “Faith has to do with the making, maintenance, and tranformation of human meaning.” (lihat C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 15). Kedua, faithing atau human faith adalah suatu kegiatan yang bersifat relasi atau hubungan. Sebagai pemberi arti dan makna, kepercayaan eksistensial hendak dilihat menurut perspektif “relasi” sebab pemberian arti bersifat “percaya,” sejauh terjadi terhadap hal atau pribadi yang dipercaya dan terhadap mana seorang merasa setia sebagai yang dapat dipercaya. Fowler menyatakan, “Faith implies trust in another, reliance upon another, a counting upon or dependence upon another. The other side of faith as trust is faith as attachment, as commitment, as loyalty” (C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 16). Ketiga, kepercayaan eksistensial dipandang sebagai “knowing/pengertian” yaitu
2
Alkitab tentunya. Penulis akan membahas beberapa hal yaitu pertama, uraian secara garis besar dan
skematis tujuh tahap kepercayaan eksistensial/iman. Kedua, tujuh aspek struktural dalam setiap tahap
kepercayaan eksistensial/iman. Ketiga, secara garis besar konsep sukacita menurut Paulus dan ketiga, relasi
antara kedua konsep tersebut untuk menjawab sejauh mana perkembangan iman itu dengan sukacita orang-
orang percaya.
B. Tujuh Tahap Kepercayaan Eksistensial
kegiatan mengenal sebagai suatu cara khas pengertian dan pengkonstruksian mental, dan terutama sebagai suatu bagian dari seluruh kegiatan pengenalan konstitutif diri ego. Hal ini berarti bahwa segala aspek pengenalan ditemukan dalam faith-knowing. Misalnya, menurut Fowler, kepercayaan mencakup juga sejenis pengetahuan rasional tentang kenyataan fisis, walaupun sering rasional ini harus didemitologisasikan (meminjam istilah Bultmann), sebab bahasa simbolis adalah khas dalam kepercayaan. Fowler mengatakan bahwa “kepercayaan eksistensial meliputi dunia objek-objek fisik dan hukum-hukum relasi, gerakan, serta pengubahan dunia objek tersebut,” kendati pengetahuan fisik ini tentu saja tidak bisa dan tidak boleh menggantikan pengetahuan ilmu fisika.Dan masih banyak aspek lain dari kegiatan mengenal itu, seperti aspek sosial-kognitif dan eksistensial-metafisik, yang tercakup dalam pengertian kepercayaan. Kepercayaan meliputi berbagai konstruksi tentang diri dan orang-orang lain, misalnya dalam hal pengambilan perspektif, analisis, dan pertimbangan moral, dan dalam hal pengkonstruksian diri sebagai diri yang berhubungan dengan orang-orang lain yang kami sebut sebagai ego (lihat C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 21). Sebagai ringkasan penutup dari pembahasan tentang iman atau kepercayaan eksistensial akan dituliskan dua definisi sintetis tentang faith yang disusun Fowler sendiri. Definisi pertama yang bersifat agak global dipengaruhi oleh gagasan-gagasan P.Tillich dan E.H.Erikson. Definisi kedua lebih analitis dan sangat dipengaruhi oleh teori struktural-kognitif ala Piaget-Kohlberg. Definisi pertama: “kepercayaan eksistensial dan iman mengandaikan suatu sikap orientasi kehendak dan suatu pilihan hati. Orientasi serta pilihan tersebut di ambil sesuai dengan suatu pengertian tentang nilai dan kekuasaan yang transenden, yaitu tentang hal yang dianggap paling penting dan fundamental dalam hidup manusia. Kepercayaan eksistensial merupakan suatu orientasi dari seluruh pribadi manusia dan memberikan tujuan serta sasaran yang paling fundamental dan mendasar pada seluruh harapan dan daya upaya, pikiran dan tindakan manusia.” (Fowler, Stages of Faith). Definisi kedua yang secara ringkas menggabungkan berbagai aspek pokok kepercayaan adalah sebagai berikut: “kepercayaan adalah proses pengenalan konstitutif, yang mendasari proses penyusunan dan pemeliharaan suatu kerangka acuan arti dan makna seorang pribadi – yang timbul dari rasa kasih sayang dan komitmen pada pusat-pusat nilai lebih tinggi yang memiliki daya untuk mempersatukan segala pengalaman dunia – dan dengan demikian memberikan arti pada seluruh hubungan, konteks, pola-pola kehidupan sehari-hari, serta pada pengalaman akan masa lampau dan masa mendatang” (C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 25-26).
4 Kepercayaan eksistensial bukanlah sekedar kegiatan pemberi arti, tetapi juga proses dinamis pemberian arti itu sendiri. Proses tersebut terwujud dalam urutan sejumlah tahap perkembangan kepercayaan. Kesemuannya itu diungkapkan dengan sebuah istilah “faithing.” Oleh sebab itu FDT tidak lain adalah usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Begitu sentralnya kata “perkembangan” itu bagi Fowler sehingga dipilih sebagai karakterisasi pendekatan psikologisnya yang baru, FDT. Kata “perkembangan” ini berarti mengacu pada kata “proses; pertumbuhan; dinamika” yang sangat cocok untuk memahami seluruh fenomena dasar kehidupan termasuk kepercayaan manusia. Karena itulah Fowler berniat menyelidiki apa yang dewasa ini disebut “perkembangan kepercayaan.”
5 Di samping kata faith dan development, judul psikologi agama Fowler masih mengandung istilah theory. Setiap ilmu pengetahuan menciptakan teorinya, yaitu seperangkat hipotesis yang saling berhubungan secara koheren dan terintegrasi. Seperangkat hipotesis itu merupakan satu prinsip umum yang dirumuskan untuk menjelaskan sekelompok gejala yang berkaitan. Kata “theory” oleh Fowler dimaksudkan sebagai sebuah teori ilmiah yang psikologis, atau lebih khas lagi suatu “teori perkembangan” yang cocok untuk memahami dan merumuskan seluruh seluk beluk perkembangan kepercayaan. “Teori perkembangan kepercayaan” merupakan suatu usaha ilmiah yang mau menguraikan (secara empiris) dan mengerti (secara teoretis) seluruh proses transformasi kepercayaan yang hidup.
6 Istilah “faith” yang dimaksud Fowler di sini dapat diterjemahkan menjadi “kepercayaan eksistensial” kadang-kadang juga dengan istilah “iman” atau “kepercayaan hidup.” Lihat juga catatan nomor 2.
7 Apa dan bagaimana seharusnya sukacita orang percaya jelas dirumuskan dengan baik sekali oleh rasul Paulus di dalam surat-suratnya, oleh karena itu konsep sukacita menurut Paulus ini mewakili apa itu sukacita orang-orang
3
Berdasarkan analisis data-data yang diperoleh lewat wawancara-wawancara semi-klinis, Fowler
berhasil membuktikan adanya tujuh tahap kepercayaan yang berurutan. Dengan urutan tahap-tahap itu
proses perkembangan dan transformasi pola pengertian dan penghayatan arti dalam kepercayaan dapat
diuraikan. Secara ringkas, skematis, dan global penulis akan menyajikan pandangan komprehensifnya
tentang tujuh tahap kepercayaan. Harus dicatat bahwa Fowler sendiri sering hanya menyebut enam tahap.
Tahap pertama kepercayaan awal dan elementer masa kanak-kanak yang paling awal (0-3 tahun) sering
disebut sebagai pratahap atau tahap 0, karena tahap praverbal itu belum diselidiki memadai.9
Tahap 0: Infancy and Undifferentiated Faith (Kepercayaan Eksistensial yang belum terdiferensiasi) 10
Tahap ini timbul sebagai tahap 0 atau Pratahap (pre-stage yaitu masa bayi 0-2 atau 3 tahun).
Kepercayaan ini disebut juga pratahap “undifferentiated faith” karena: (1) ciri disposisi praverbal si bayi
terhadap lingkungannya yang belum dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda dari
dirinya, dan (2) daya-daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cinta belum dibedakan lewat
proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu sama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang
samar-samar. Pola kepercayaan ini disebut elementer, awal dan dasariah, karena tahap ini mendasari dan
meresapi – secara positif dan negatif, dengan menunjang atau menodai – segala hal yang timbul kemudian
selama perkembangan kepercayaan elementer. Rasa percaya elementer dan dasariah ini timbul sebagai
kecondongan spontan yang bersifat pralinguistis – sebelum munculnya kemampuan berbahasa – untuk
mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan lingkungan sekitar, terutama orang-orang
yang secara tetap, teratur dan setia mengasuh dan memeliharanya (orang tua, terutama ibu). Kepercayaan
elementer ini bersifat organismik. Seluruh interaksi timbal balik tersebut menimbulkan dalam diri anak
sejenis pengharapan dan rasa percaya yang organismik dan vital, bahwa lingkungan fisik dan sosial yang
menerima bayi dengan baik – sehingga menjadi “rumah kediaman yang aman” – boleh dipercayai dan
diandalkan. Pengalaman bahwa si pengasuh memeliharanya sebagai pribadi yang dicintai dan sangat bernilai
membuat si bayi percaya diri. Berkat kepercayaan dasar, anak akan sanggup mengatasi segala ketakutan
dan kecemasan yang disebabkan oleh hilangnya ibu dan rasa terpisah darinya. Kepercayaan elementer yang
khas ini menimbulkan sejumlah pragambaran – yang praverbal dan prakonseptual – tentang suatu realitas
akhir yang sangat kuat dan yang dapat diandalkan sehingga anak dapat mengatasi ketakutan dan kecemasan
yang dialaminya sepanjang perkembangan, sebagai akibat dari segala pengalaman keterpisahan dan
percaya yang sesuai dengan ajaran Alkitab. 8 Perlu diperhatikan lagi bahwa sasaran penelitian Fowler adalah bukan pada “isi/content” iman atau
kepercayaan , bukan pada “hal-hal apa” yang dipercayai, melainkan “cara” mempercayai itu sendiri atau “struktur” dari iman itu sendiri. Cara mempercayai itu sebaiknya diteliti sebagai suatu susunan keseluruhan proses operatif mendasar dan memungkinkan pengetahuan dan penilaian terhadap kepercayaan eksistensial. Sehingga “iman/ faith ” menurut konsep FDT ini adalah mencakup semua orang atau bersifat universal termasuk di dalam tulisan ini mewakili cara orang-orang percaya beriman atau mempercayai dan struktur iman mereka. Lihat juga penjelasan di catatan kaki no.2 di atas.
9 Perbedaan penggunaan angka dalam pentahapan jangalah membingungkan.10 Fowler, Stages of Faith, 119-21.
4
ancaman ketiadaan itu.11 Ringkasnya Fowler menyatakan, “Primal faith (Infancy): A prelanguage disposition
of trust forms in the mutuality of one’s relationship with parents and others to offset the anxiety that results
from separations which occur during infant development.”12
Tahap 1: Intuitive-Projective Faith (Kepercayaan Eksistensial Intuitif-Proyektif)13
Pola eksistensial yang intuitif-proyektif menandai tahap perkembangan pertama (umur 3 sampai 7
tahun) karena daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Segala struktur penataan emosional
dan konseptual atas pengalaman yang dihasilkan oleh seluruh hubungan dan peristiwa masa kanak-kanak
awal, kini merupakan faktor pengaruh dan vektor kuat dalam usaha sadar pertama anak untuk memberikan
arti pada arus pengalamannya. Tentu saja struktur-struktur penataan tersebut merupakan vektor yang masih
bersifat tentatif dan belum mantap, namun berfungsi sebagai faktor pengaruh kuat. Pada tahap ini, anak
belum memiliki kemampuan operasi yang mantap. Demikian pula kesanggupannya untuk membeda-
bedakan perspektifnya sendiri itu dengan perspektif mereka masih sangat terbatas. Dunia pengalaman
agaknya disusun berdasarkan kesan-kesan inderawi-emosional yang kuat, sehingga persepsi dan perasaan
menjadi tercampur dan menimbulkan gambaran-gambaran intuitif dan konkret yang mendalam dan
bertahan. Dunia gambaran dan daya imajinasi tersebut berkembang secara bebas karena belum dikontrol
oleh pikiran logis dan operasi-operasi kognitif lain, yang baru dikembangkan kemudian. Akibatnya,
pengalaman anak bersifat agak episodis dan masih melekat pada arus diskontinu kesan-kesan konkret
inderawi-emosional yang senantiasa berubah. Namun, seluruh kesan tersebut telah diangkat pada tingkat
imajinasi dan dunia gambaran. Dengan timbulnya kemampuan simbolisasi dan bahasa, maka imajinasi dan
dunia gambaran itu dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol dan kata-kata.
Tahap ini membuka kepekaan anak terhadap dunia misteri dan Yang Ilahi serta tanda-tanda nyata
kekuasaan. Gambaran-gambaran intuitif-konkret dan imajinatif ini menyingkapkan keinsyafan akan misteri
hidup dan Yang Suci. Dan karena anak sungguh-sungguh memperhatikan segala gerak isyarat, upacara dan
kata-kata yang digunakan oleh orang-orang dewasa untuk mengungkapkan kepercayaan mereka, maka
kemampuan dan minat anak terhadap misteri dan Yang Suci diarahkan dan dibina oleh persepsinya
mengenai pandangan dan keyakinan religius orang dewasa. Pada tahap ini terbentuklah sejumlah gambaran
yang mewakili segala daya, baik yang bersifat melindungi maupun mengancam anak. Dunia gambaran dan
imajinasi ini menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak.
Gambaran-gambaran tersebut menjadi kuat, bertahan lama dan tetap mempengaruhi – secara positif dan
negatif – seluruh khazanah emosional dan kognitif kepercayaan anak di kemudian hari. Di buku yang lain
Fowler menyatakan, “In this stage (which orients to mystery and to visible signs of power), deep and long-
11 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 28; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian (Blackburn: Dove Communications, 1984), 52-53; Fowler, Faith Development and Pastoral Care (Philadelphia: Fortress Press, 1987), 57.
12 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, Stages of Faith and Religious Development: Implications for Church, Education and Society (London: SCM Press, 1991), 24.
13 Fowler, Stages of Faith, 122-34.
5
lasting images can be formed, which can result, for better or worse, in impressing a permanent cast on the
emotional and cognitive funding of faith.”14 Ringkasnya “Stage 1 Intuitive-Projective faith is the fantasy-filled,
imitative phase in which the child can be powerfully and permanently influenced by examples, moods,
actions and stories of the visible faith of primally related adults.”15
Tahap 2: Mythic-Literal Faith (Kepercayaan Eksistensial Mitis-Harfiah)16
Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua, biasanya pada umur 7 sampai 12 tahun. Tentu
saja seluruh bekal khazanah gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat pada tahap ini,
namun muncul pula operasi-operasi logis baru yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi dari tahap
sebelumnya. Operasi-operasi logis tersebut masih bersifat “konkret,” tetapi sudah memungkinkan suatu
daya pikir logis menggunakan kategori-kategori sebab-akibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab-akibat
tersebut kini dimengerti secara jelas, dan dunia spasial-temporal disusun menurut skema “linear” (garis
sebab-akibat) serta sifat “dapat diramalkan.” Gaya berpikir baru ini memungkinkan suatu bentuk tafsiran
dan penyusunan yang sadar dan lebih mantap terhadap arus pengalaman dan arti, sehingga bentuk berpikir
yang agak episodis dan intuitif (tahap 1) pun ditinggalkan.
Anak belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya, mulai membedakan antara perspektifnya
sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan
(perspektif) orang lain. Berkat daya logika baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak
sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolok ukur logikanya sendiri,
pengecekan atau pengamatannya, dan pandangan religius (pikiran, keyakinan) orang dewasa (orang tua dan
sebagainya) yang diandalkannya sebagai sumber otoritas. Pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun
dunia batin atau interioritas, yaitu seluruh perasaan sikap dan proses penuntun batiniah, yang dimilikinya
sendiri. Apabila ia mau mengerti tatanan moral, kenyataan dan hidup, maka ia bersandar pada struktur-
struktur eksternal sikap kejujuran dan mengandalkan orang dewasa yang masih dipandang sebagai instansi
wibawa moral. Pandangan moralnya menuntut bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang jahat harus
dihukum. Sering anak menyusun gambaran mengenai “lingkungan yang ultimate” atau Allah seturut analogi
seorang penguasa dan orang tua yang selalu bersikap memelihara, dan terutama bersikap adil dan jujur.
Pada tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk mengumpulkan berbagai arti menurut sifat
keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya. Cerita mendahului dan mempersiapkan suatu sintesis
refleksif yang baru kemudian akan dikembangkan. Cara menggunakan simbol-simbol dan konsep-konsep
dalam berbagai cerita sebagian besar masih bersifat konkret dan harfiah. Justru karena simbol-simbol dan
konsep-konsep masih digunakan secara konkret-harfiah dan dunia pengalaman disusun menurut skema
“linear” serta sifat “dapat diramalkan” itulah, maka cerita-cerita dan bahasa dengan gaya kisah menjadi
14 C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 28.15 Fowler, Stages of Faith, 133.16 Fowler, Stages of Faith, 135-50.
6
sarana yang paling cocok untuk menangkap arti dan makna hidup serta dunia. Tidaklah mengherankan
bahwa hubungan dengan lingkungan akhir diungkapkan pula oleh anak lewat cerita yang mengandung
makna eksistensial baginya.17 Secara ringkas dapat disimpulkan tahap ini adalah “the developing ability to
think logically helps one order the world with categories of causality, space and time; to enter into the
perspective of others; and to capture life meaning in stories.”18
Tahap 3: Synthetic-Conventional Faith (Kepercayaan Eksistensial Sintetis-Konvensional)19
Gaya kepercayaan sintetis-konvensional timbul dalam tahap ketiga, yaitu pada masa remaja (umur
12 sampai sekitar 20 tahun). Di sekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal
dalam caranya memberi arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru yaitu operasi-operasi formal,
maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola “pengambilan perspektif
antarpribadi secara timbal balik.” Yang perlu ialah mengintegrasikan segala gambaran diri yang begitu
berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas paling pokok tahap ini adalah upaya
menciptakan sintesis identitas. Oleh sebab itu, tahap ini disebut “sintetis.” Soal identitas dan diri batiniah,
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, menjadi topik paling mengasyikkan bagi remaja. Seluk beluk
kepribadian, gaya dan isinya – menjadi titik keprihatinan mereka.
Tetapi sintetis identias ini baru didukung sesudah tercipta sintetis seperangkat arti yang baru. Berkat
munculnya operasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara kritis riwayat hidupnya dan menggali
arti sejarah hidupnya bagi dirinya sendiri. Yang dicari adalah suatu sintetis baru atas berbagai arti yang
pernah di alami dalam hidup. Namun perjuangan menciptakan identitas pribadi dan seperangkat arti baru ini
bersifat agak “konformistis” – serupa dengan pandangan dan pengartian orang lain/masyarakat – karena
identitas diri dibentuk berdasarkan rasa dipercaya dan diteguhkan oleh orang lain yang penting baginya.
Dengan demikian, remaja berjuang mencari keseimbangan antara tuntutan menciptakan identittas diri
berdasarkan dayanya sendiri dan identitas sebagaimana diharapkan dan didukung oleh orang lain yang
dipercayainya. Diri yang sedang berupaya menciptakan relasi-relasi baru dengan orang-orang lain
memainkan peran penting dalam proses penciptaan identitas diri, dan relasi-relasi ini ditandai oleh
kesetiakawanan sosial. Boleh dikatakan bahwa upaya menciptakan – dengan operasi-operasi formal –
kerangka arti dan makna baru (sintetis) ini menyebabkan remaja sangat tertarik pada ideologi dan agama.
Hal ini karena keduanya menyediakan suatu sistem keyakinan dan nilai yang secara terlembaga
menjelmakan suatu kerangka arti dan makna – tempatnya dalam keseluruhan realitas – menyalurkan
kesetiakawanan emosional pada orang-orang lain serta memungkinkan terwujudnya tanggung jawab sosial.
Agamalah yang menciptakan kerangka makna eksistensial yang terdalam dan terakhir, dengan
menempatkan orang dalam relasinya dengan lingkungan akhir. Si remaja berjuang menciptakan sintesis dari
17 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.),28-29 ; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian, 55-57.18 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, 24-25.19 Fowler, Stages of Faith, 151-73.
7
berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses pembentukan identitas diri dan
memungkinkan munculnya rasa bersatu dengan orang-orang lain dalam suasana kesetiakawanan afektif.
Namun sintesis religius pribadi sebagian besar bersifat kurang refleksif dan masih terikat – sering secara
negatif – pada pandangan religius konformistik yang umum.20
Pada tahap ini remaja menyusun gambaran yang agak personal mengenai lingkungan akhir. Allah
yang “personal” merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan
diri saya sendiri. Dialah yang mengenal siapa saya ini dan kemungkinan-kemungkinan identitas diri unik apa
yang dapat saya wujudkan. Demikianlah yang dirasakan si remaja. Karena Allah pribadi sungguh-sungguh
akrab dengan lubuk hati orang lain dan lubuk hati saya sendiri maka saya mengalami diri saya menurut aspek
kedalaman, kemuliaan, keulitman dan sebagainya. Apabila rasa kedirian memang berasal dari seluruh
jaringan hubungan dan peran yang penting, maka gambaran Allah “personal” dan akrab sangatlah penting
bagi upaya menyusun identitas diri yang agak koheren pada seorang remaja. Cukup banyak orang dewasa
tetap tinggal dalam tahap kepercayaan ini, biarpun secara biologis dan psikososial mereka telah melewati
tahap remaja dan masa awal dewasa. Secara ringkas dapat disimpulkan tahap ini adalah “new cognitive
abilities make mutual perspective taking possible and require one to integrate diverse self-images into a
coherent identity. A personal and largely unreflective synthesis of beliefs and values evolves to support
identity and to unite one in emotional solidarity with others.”21
Tahap 4: Individuative-Reflective Faith (Kepercayaan Eksistensial Individuatif-Reflektif)22
Tahap kepercayaan individuatif-reflektif muncul pada umur 20 tahun ke atas (awal masa dewasa).
Pola kepercayaan eksistensial ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, dan
nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem
kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggung jawab atas penentuan
pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk mengikatkan diri dengan cara
menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas. Peralihan dari tahap sebelumnya ke
tahap refleksi ini dimulai ketika pribadi menyadari bahwa seluruh sistem keyakinan, pandangan hidup, nilai
dan komitmennya harus ditinjau kembali, diperiksa secara kritis, diganti, atau disusun ulang agar dapat
menjadi sebuah sistem pemikiran dan arti relevan yang lebih eksplisit. Refleksi kritis ini dimungkinkan oleh
berkembangnya pola berpikir berdasarkan operasi-operasi formal. Oleh sebab itu, pola kepercayaan ini
disebut “reflektif.” Kepercayaan ini disebut “indviduatif” karena baru saat inilah manusia – untuk pertama
kalinya dalam refleksi diri – tidak semata-mata bergantung pada orang-orang lain, tetapi dengan
kesanggupan sendiri mampu mengadakan dialog antara berbagai “diri” sebagaimana dilihat dan dipantulkan
orang-orang dengan “diri sejati” yang hanya dikenal oleh pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Pribadi
20 Lihat C. Dysktra dan S.Parks (eds.),29-30; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian, 58-59.21 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, 25.22 Fowler, Stages of Faith, 174-183.
8
mengalami diri sebagai “diri autentik dan mandiri,” yang menjadi titik tolak perhatiannya. Manusia
mengalami dirinya sebagai pribadi yang khas, jati diri yang unik, sebagai subjek aktif, kritis dan kreatif penuh
daya. Tentu saja manusia pribadi mengalami dirinya dan orang-orang lain sebagai bagian dari masyarakat,
namun keanggotaannya pada masyarakat tidak diterima begitu saja atas dasar kebiasaan atau kebetulan,
melainkan berdasarkan pilihan pribadi yang kritis dan baru. Rasa diri yang sebelumnya berasal dari seluruh
hubungan dan peranan penting seseorang, kini kembali pada pilihan kritis dan bebas. Otoritas yang dahulu
ditempatkan di luar dirinya, kini ditempatkan dalam dirinya sendiri sebagai sumber otoritas baru dan pusat
tanggung jawab bagi dirinya sendiri. Seluruh peranan dan hubungan, yang sebelumnya merupakan landasan
konstitutif bagi identitas sekarang ini, harus dipilih sedemikian rupa sehingga menjadi perwujudan nyata dari
idenitas diri pribadi. Oleh karena itu, pribadi tersebut yakin bahwa manusia adalah subjek yang bebas dan
kritis serta pelaku aktif yang memikul tanggung jawab kritis dalam menentukan sendiri pilihannya dan
memilih pandangan dunia, ideologi dan gaya hidup pribadi yang memungkinkannya menjalin hubungan baru
(kesetiaan dan komitmen) dengan orang lain. Berdasarkan pilihan bebas dan kritis tersebut ia menentukan
cara partisipasi aktifnya dalam sistem kemasyarakatan dan menemukan sendiri panggilan serta tugas pribadi
yang khas dalam masyarakat dan kelompoknya.23
“Sistem” dan “kontrol” menjadi ciri khas pada tahap ini. “Sistem” menjadi metafora utama tahap ini,
karena secara kritis-refleksif segala-galanya harus masuk dalam koherensi sistem rasional yang ada di bawah
kontrol rasio yang sadar. “Pengontrolan” menjadi sasaran yang didambakan. Namun semangat “sistem” dan
“pengontrolan rasional” ini bisa saja terperangkap dalam bahaya pandangan ilusif yang menganggap
kenyataan sebagai suatu sistem rasional yang dapat dikuasai dan dikontrol secara tuntas oleh rasio.
Akibatnya pribadi itu melupakan sisi misteri dan kenyataan, bahkan melupakan rahasia ketidaksadarannya
sendiri.24 Kepercayaan individuatif-reflektif menghasilkan pola kepercayaan yang tidak seluruhnya bersandar
pada tradisi religius sebagai instansi kewibawaan ekstern yang tertinggi. Secara kritis dan berdasarkan
otoritasnya sendiri, subjek mulai mempertanyakan segala simbol religius, rumusan dogmatis dan pengertian
yang lazim diterima umum. Ia menerapkan strategi demitologisasi terhadap simbol dan mitos, yakni secara
kritis memeriksa simbol dan mitos serta mengangkat “artinya” pada tingkat rumusan konseptual abstrak,
tanpa menyadari betapa banyak kekayaan yang telah hilang selama proses demitologisasi tersebut. Secara
ringkas dapat disimpulkan tahap ini adalah “critical reflection upon one’s belief and values, utilizing third
person perspective taking; understanding of the self and others as part of a social system; the internalization
of authority and the assumption of responsibility for making explicit choices of ideology and life-style; all
open the way for critically self-aware commitments in relationships and vocation.”25
23 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 30; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian, 62-63. 24 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 30.25 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, 25.
9
Tahap 5: Conjunctive Faith (Kepercayaan Eksistensial Konjungtif)26
Kepercayaan eksistensial konjungtif timbul pada masa usia pertengahan (sekitar umur 35 tahun ke
atas) dan merupakan tahap kelima dari “faith development.” Semua yang diupayakan di bawah kuasa
kesadaran dan pengontrolan rasio pada tahap sebelumnya, kini ditinjau kembali. Batas-batas “sistem”
pandangan hidup dan identitas diri yang jelas, kaku, dan tertutup, kini menjadi lentur, permeabel dan
kembali samar-samar. Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya
polaritas, ketegangan, paradoks dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran
hanya akan terwujud apabila paradoks dan sebagainya itu diakui dan diungkap dalam bentuk pemikiran
dialektis. Orang mencari berbagai cara dan daya untuk mempersatukan pertentangan-pertentangan yang
terdapat dalam pikiran dan pengalamannya, karena sadar bahwa manusia membutuhkan sebuah tafsiran
mejemuk terhadap kenyataan multidimensional. Kenyataan dirasakan sebagai misteri yang kaya dan
kompleks sehingga orang mengalami dirinya sebagai suatu bagian di dalam misteri realitas yang lebih luas
melampaui jangkauan rasio satu dimensional (tahap 4). Identitas diri dan ego yang bersumber pada
otonominya sendiri semakin direlatifkan sebagai satu-satunya dasar bagi tindak penciptaan arti dan nilai. Ia
menyadari bahwa tidak segala-galanya bergantung pada kebebasan, otonomi, pilihan dan pengontrolan
rasionya sendiri. Kini perhatian utama ditujukan pada upaya membuat hidupnya menjadi lebih utuh,
menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketaksadarannya, dan melampaui egosentrismenya
yang tertutup menuju pengabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. Ia menjadi lebih peka
terhadap fakta bahwa hidup kita lebih merupakan anugerah pemberian daripada hasil upaya rasional kita
sendiri. Timbullah suatu sikap dasar baru, yaitu sebuah “kepolosan kedua” (yang diperjuangkan lewat segala
macam pengalaman hidup yang pahit dan manis itu) atau sejenis kerendahan hati epistemologis dan
eksistensial terhadap seluk-beluk dan kekayaan misteri realitas hidup.27
Sikap dasar baru ini mewarnai pandangannya mengenai fungsi simbol, metafor, cerita, mitos, dan
sebagainya, yang kini dihargai kembali sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Walaupun tahu bahwa
simbol hanya merupakan simbol dan walaupun pribadi mampu mereduksikan isi simbol itu pada arti-arti
abstrak (bandingkan tahap 4), namun kini ia menginsyafi bahwa kebenaran tersebut menjadi eksistensial,
yaitu mengoreksi dan mentransformasikan hidupnya. Karena dinamika kebenaran memiliki prioritas dan
pribadi mengalami dirinya sebagai bagian dari sebuah gerakan roh yang lebih luas, maka ia belajar bersikap
terbuka, menantikan, menerima dinamika kebenaran. Sikap terbuka dan menerima yang baru ini
mengimbangi inisiatif dan kontrol rasional (tahap 4). Sikap baru terhadap prioritas dinamika kebenaran, rasa
tanggapnya terhadap segala paradoks kebenaran hidup, dan pola pemikiran dialektisnya menimbulkan
penghargaan baru terhadap simbol dan daya yang dimilikinya. Simbol dan metafor, cerita dan mitos
dipandang sebagai sarana tepat untuk menjelmakan dan mengungkapkan kekayaan majemuk serta
26 Fowler, Stages of Faith, 184-98.27 Lihat juga Fowler, Faith Development and Pastoral Care (Philadelphia: Fortress Press, 1987), 75-76.
10
mempersatukan pertentangan paradoks tersebut. Pola kognitif afektif baru ini mempunyai dampak besar
pada tingkat kepercayaan iman (religius). Yang suci, yang dialami sebagai misteri ilahi yang paradoksal,
hanya boleh diungkapkan dengan nama dan metafor yang menjamin bahwa paradoks itu sungguh dihormati
dan kecenderungan menyembah berhala dihindarkan. Kesadaran akan perlunya persatuan atas
pertentangan ini menghalangi timbulnya sikap fanatisme ideologis yang memutlakkan kebenaran
kepercayaan eksklusif yang dimiliki oleh satu kelompok atau pribadi tertentu. Kini pribadi coba mengolah
kembali, memperbaiki dan memperluas seluruh kebenaran yang diresapkannya pada masa kanak-kanaknya
sendiri, tetapi juga sungguh menghargai orang lain yang “asing” sebagai pemilik (sebagian) kebenaran baru.
Ia rela belajar dari tradisi-tradisi kebenaran yang sebelumnya dirasakan “asing” (aneh, berbahaya, sesat)
baginya. Dengan demikian agaknya ia membebaskan diri dari khayalan bahwa dialah satu-satunya pemilik
kebenaran mutlak. Jelaslah bahwa tahap 5 ini tidak menyediakan tempat bagi “sukuisme” kelompok religius
yang homogen dan tertutup atau niat untuk mengadakan perdebatan antagonistis dan perang suci
ideologis.28 Secara ringkas dapat disimpulkan tahap ini berarti “the embrace of polarities in one’s life, an
alertness to paradox, and the need for multiple interpretations of reality mark this stage. Symbol and story,
metaphor and myth (from one’s own traditions and others’) are newly appreciated (secon, or willed naivete)
as vehicles for expressing truth.”29
Tahap 6: Universalizing Faith (Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas)30
Kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universalitas (yang jarang terwujud sepenuhnya) dapat
berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Pribadi melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya
hidupnya langsung berakar pada kesatuan dengan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan
yang terdalam. Identifikasi dan partisipasi dengan Yang Ultim (Yang Satu dan Tunggal) sebagai dasar dan
sumber dari segala yang hidup menjadi mungkin, karena pribadi berhasil melepaskan diri (kenosis) dari
egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan dan tolok ukur kehidupan yang mutlak. Dia
melampaui keterikatan pada pusat-pusat nilai dan kekuasaan yang terbatas dan relatif, serta memperoleh
semangat hidup dari penyerahan diri total dan rasa bersatu dengan Realitas Transenden yang Satu dan
Tunggal. Partisipasi dengan Yang Ultim, sumber satu-satunya dari segala nilai, daya dan keterlibatan ini
menyebabkan terjadinya pergeseran radikal dalam penilaian, kognisi etis, keterlibatan dan tanggung jawab,
perasaan, pemikiran dan pandangan religius biasa, yang semuanya itu hendak diubah dan diperbaharui
menurut perspektif universalitas (yang tidak lain adalah perspektif transenden Allah). Karena seluruh gaya
hidup diliputi dan diresapi oleh semangat cinta inklusif dan universal terhadap seluruh gejala hidup dan
segala makhluk, dan karena sang pribadi sendiri senantiasa melampaui diri secara polos dan spontan, maka
ia dapat bertindak dengan agak bebas dan autentik berdasarkan visi dan perhatian luas yang revolusioner.
28 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 31; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian, 67. 29 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, 25.30 Fowler, Stages of Faith, 199-211.
11
Visi dan tanggung jawab universal mendorongnya untuk membaktikan seluruh diri penuh cinta kasih dalam
berbagai macam keterlibatan etis dan kreatif, misalnya tekad untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan,
mengatasi segala macam penindasan dan situasi yang kurang berperikemanusiaan, membongkar pandangan
picik dan akuitik, serta ide dan idola palsu yang biasanya di anut oleh masyarakat luas.31
Perjuangan akan kebenaran, keadilan dan kesatuan sejati berdasarkan semangat cinta universal ini
secara antisipasif menjelmakan daya dan dinamika Kerajaan Allah sebagai persekutuan cinta dan
kesetiakawanan antara segala sesuatu yang ada. Pribadi yang berada dalam kepercayaan ekstensial universal
ini seolah-olah menjadi mata, tangan dan mulut yang mewujudkan niat, cinta dan perspektif abadi dari Yand
Transenden atau Allah. Dialah nabi dan pewujud universalitas, pembaharu dunia dan hidup menuju
aktualitas transenden, dan contoh bagi seluruh umat manusia. Dalam kerangka agama, pribadi macam ini
disebut orang kudus atau saleh dan nabi. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa tahap ini adalah “Beyond
paradox and polarities, persons in this stage are grounded in a oneness with the power of being. Their
visions and commitments free them for a passionate yet detached spending of the self in love, devoted to
overcoming division, oppression, and violence, and in effective anticipatory response to an inbreaking
commonwealth of love and justice.32
C. Tujuh Aspek Struktural Dalam Setiap Tahap Kepercayaan Eksistensial
FDT merupakan suatu teori tahap struktural dan genetik yang memandang perkembangan
kepercayaan berlangsung melalui tahap-tahap yaitu transformasi struktur-struktur kognitif. Tahap adalah
suatu “keseluruhan struktural,” suatu sistem global dan jaringan terintegrasi yang mencakup seluruh operasi
serta kemampuan pengertian dan penilaian. Sistem global tersebut berupa pola pengetahuan konstitutif
terekuilibrasi terhadap lingkungan sekitar (fisik, sosial, kosmik, dan sebagainya) yang relevan bagi sang
pribadi. Dengan sistem kognitif tersebut manusia menciptakan suatu wilayah arti khas yang memberikan
acuan hidup dan perspektif makna bagi hidupnya. Singkatnya, sebuah tahap struktural dapat dipandang
sebagai suatu keseluruhan integrasi yang agak mantap dan terekuilibrasi atas pola-pola operasi pengertian,
penilaian dan pengetahuan konstitutif. Latar belakang pandangan tentang tahap pada umumnya dan
tentang tahap kepercayaan menurut Fowler ini ada di dalam pemikiran Piaget, Kohlberg dan Selman.33
31 Lihat juga C. Dysktra dan S.Parks (eds.), 31; Fowler, Becoming Adults, Becoming Christian, 67; Fowler, Faith Development and Pastoral Care, 77.
32 James W. Fowler, Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, 25.33 Dapat dibedakan 5 hal khusus yang menjadi ciri semua teori perkembangan struktural kognitif ala Piaget dan
Kohlberg. Pertama, tahap dipandang sebagai suatu uraian pola berpikir (Piaget) atau cara menyelesaikan masalah moral (Kohlberg) yang bersifat khas secara kualitatif. Tahap dapat dipandang sebagai suatu struktur holistik dari operasi-operasi yang terintegrasi. Kedua, setiap tahap membentuk suatu keseluruhan di mana tujuh aspek struktural dipersatukan ke dalam suatu kesatuan operatif dan integratif. Fowler juga berpikir demikian, hanya ia memperluas operasi-operasi rasional sehingga mencakup seluruh wilayah operasi pengertian, penilaian, perasaan dan pengetahuan konstitutif. Ketiga, bentuk dan urutan tahap-tahap secara hipotesis dianggap berlaku secara universal, walaupun hipotesis ini masih perlu dibuktikan dan ditegaskan lebih lanjut secara empiris. Fowler dan rekan penelitinya kini melakukan studi validasi, dengan mengadakan riset lintas budaya, lintas kelompok, dan penelitian longitudinal. Yang ingin dibuktikan ialah mengenai ada tidaknya potensi-potensi strukturasi yang bersifat generik dan universal dalam
12
Ciri khas dari tahap ini adalah sifat keseluruhan stukturalnya, di mana berbagai macam aspek
struktural saling berkaitan dalam suatu kesatuan operasional. Fowler berhasil memperlihatkan tujuh aspek
operasional atau struktural yang bersama-sama membentuk suatu tahap kepercayaan eksistensial. Dalam
masing-masing tahap kepercayaan eksistensial, ketujuh aspek tersebut diubah secara struktural sedemikian
rupa sehingga masing-masing aspek diintegrasikan dan direintegrasikan secara khas. Tiap aspek struktural
boleh dipandang sebagai suatu lensa atau jendela yang memungkinkan untuk memperoleh suatu
pemandangan khas tentang kumpulan untaian perkembangan yang menyatu dalam tahap. Berkat ketujuah
aspek ini, Fowler dapat mengidentifikasikan ciri-ciri dominan khas tahap kepercayaan eksistensial seseorang.
Timbulnya tahap tertentu bergantung pada tingkat perkembangan silang antara tujuh aspek masing-masing.
Dengan membedakan tujuh aspek struktural yang merupakan unsur pembentuk setiap tahap ini, Fowler
berhasil menguraikan perbedaan-perbedaan struktural yang terdapat antara tahap-tahap perkembangan
secara tegas, ketat, sistematis dan terinci. Yang pasti FDT menggunakan 7 teori perkembangan lainnya
yaitu:34 1) berkembangnya pemikiran dan penalaran logis sebagaimana dikaji oleh Piaget. Hal itu disebut
Fowler sebagai Aspek A yaitu “bentuk logika;”35 2) berkembangnya pengkonstruksian perspektif sosial,
sebagaimana diteliti oleh R. Selman. Fowler menyebutnya Aspek B yaitu “pengambilan peranan;”36 3)
Berkembangnya pertimbangan moral yang diselidiki Kohlberg. Ini disebut Fowler sebagai Aspek C dengan
sebutan “bentuk pertimbangan moral;”37 4) Berkembangnya pengertian terhadap titik acuan sosial yang
psike manusia. Keempat, rangkaian tahap-tahap ini merupakan urutan yang bersifat tetap dan ireversibel. Tidak bisa terjadi lompatan maju atau mundur, tidak ada jeda, dan satu tahap tertentu tidak mungkin dilewatkan. Setiap manusia melewati semua tahap menurut urutan yang sama, sehingga tahap terdahulu pada hakikatnya mendahului tahap berikutnya yang tidak mungkin muncul tanpa tahap sebelumnya itu. Semua posisi tahap yang agak terekuilibrasi dan dibedakan oleh Fowler ini merupakan suatu rangkaian tahap yang dalam proses perkembangannya memiliki urutan tetap. Kelima, menurut teori Piaget dan kohlberg, tahap-tahap atau semua struktur operatif saling berhubungan dalam suatu keseluruhan hierarkis. Setiap tahap atau stadium merupakan perkembangan atau penambahan dalam hal kompleksitas, diferensiasi, integrasi dan inklusivitas daya berpikir, sehingga proses berpikir menjadi semakin objektif. Model perkembangan kognitif struktural ini tidak lain daripada serangkaian tingkatan perkembangan yang tersusun secara logis dalam suatu sistem hierarkis.
34 Penulis hanya akan mengajukan ketujuh aspek struktural atau operatif tersebut tanpa secara rinci dan mendalam menelusuri problematik masing-masing dan hubungannya satu sama lain. Ketujuh aspek struktural tersebut saling berkait sehingga membentuk suatu struktur organismik yang terintegrasi yaitu satu tahap tertentu. Fowler belum melakukan studi empiris yang luas tentang seluruh saling hubugan antara ketujuh aspek itu. Namun ia berpendapat bahwa jika terjadi perubahan pada salah satu diantara ketujuh aspek ini, maka seluruh struktur akan terkena dan terganggu sehingga timbul keadaan ketidakseimbangan yang hanya dapat diatasi dengan terbentuknya satu struktur baru (tahap berikut). Di sini penulis tidak dapat membahas seluruh masalah berkenan dengan ketujuh aspek struktural tersebut, misalnya apakah ketujuh aspek itu sungguh-sungguh dapat ditelaah dengan menggunakan model perkembangan; apakah ketujuh aspek tersebut mutlak diperlukan untuk menguraikan susunan dan proses kepercayaan; apakah masih ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan dan seterusnya.
35 Yaitu pola khas dari gaya penalaran dan pertimbangan yang dimiliki pribadi pada setiap tahap kognitifnya.36 Yaitu kemampuan seorang pribadi untuk mengambil perspektif (sudut pandang) sosial di mana ia menyusun
seluruh perspektif kelompok sosial pilihannya dan segala sistem ideologis serta tradisi keyakinan yang berbeda dengan perspektif pribadinya.
37 Aspek yang diambil alih dari model perkembangan kognitif struktural ala Piaget, Selman, dan Kohlberg ini dianggap sebagai syarat yang perlu, tetapi yang belum cukup bagi proses perkembangan kepercayaan eksistensial.
13
disebut sebagai Aspek D dengan topik “batas-batas kesadaran sosial.”38 Soal ini telah digarap oleh Niebuhr
dan Erikson; 5) Penafsiran tentang soal apa yang mengesahkan “komitmen” yang dijelaskan oleh Niebuhr
dan Cantwell Smith, disebut Fowler sebagai Aspek E, yaitu “tempat otoritas;”39 6) Berkembangnya
keseluruhan arti yang bersifat pemersatu sebagaimana dikemukakan oleh Erikson, hal ini disebut Fowler
sebagai Aspek F yaitu “bentuk koherensi dunia;”40 7) Berkembangnya pemahaman terhadap simbol yang
dijelaskan oleh Niebuhr, Tillich, Jung dan Erikson. Pokok ini disebut Aspek G, dengan nama “fungsi simbol.”41
D. Konsep Sukacita Menurut Paulus
“Sukacita di dalam Tuhan/Joy in the Lord” merupakan konsep joy yang paling utama dan ciri khas
dari teologi Paulus. Ada beberapa alasan menonjol dan sekaligus menjadi penjelasan konsep “sukacita di
dalam Tuhan” yang penulis ingin tekankan di dalam bagian ini yaitu: pertama, hal paling dasar dan esensial
yang dijelaskan oleh Paulus adalah bahwa sukacita merupakan kemegahan atau kebanggaan orang-orang
percaya baik Yahudi maupun bukan Yahudi yang didasarkan pada salib Kristus yaitu pada iman dalam Yesus
Kristus bukan pada perbuatan menaati perbuatan hukum Taurat ataupun pada diri sendiri seperti karunia
rohani, kebijaksanaan, kekuatan dan kekayaannya.42 Sehingga kemegahan ini merupakan suatu kebebasan
atau freedom orang-orang percaya dari perbuatan-perbuatan legalisme menaati hukum Taurat, namun
kebebasan ini adalah kebebasan yang harus disertai oleh buah Roh/fruit of spirit (berarti ada karya Roh
Kudus di dalamnya) seperti kasih dan sukacita yang menjadi karakter orang-orang percaya.43 38 Aspek ini menunjuk pada seluruh cara operatif dengan mana pribadi membatasi kelompok-kelompok
acuannya yang menyokong rasa identitas diri dan tanggung jawab sosialnya.39 Aspek ini menjelaskan oknum, gagasan dan lembaga-lembaga mana yang dipakai oleh pribadi sebagai
sumber otoritas sah dan yang diakuinya dalam mempertimbangkan arti dan nilai. 40 Yang merujuk pada cara-cara khas dengan mana pribadi memandang dan mengerti dunia, hidup dan
lingkungannya yang ultim lewat gambaran komprehensif yang menciptakan pola koherensi dan yang menimbulkan rasa berarti yang menyeluruh.
41 Aspek simbol di mana imajinasi diakui sebagai daya afektif-kognitif sentral yang mempersatukan dan mengintegrasikan seluruh aspek pengenalan kepercayaan. Imajinasi merupakan daya sentral yang menggerakkan seluruh gambaran, simbol, metafor, cerita, mitos, dan ritus yang menjadi sarana utama bagi seorang beriman dalam proses menjadi dirinya sendiri.
42 Konsep sukacita ini merupakan integrasi dari konsep kemegahan di dalam surat Galatia 6:4,13,14; Roma 2:17,23; 3:22, 27; 4:2,6,7-12 , Efesus 2:9, 1 Korintus 1: 26-29, 31; 3:21,23; 4:7; 2 Korintus 10:17 dan Filipi 3:1-3.
43 Lihat juga penjelasan dari Hawthorne, Gerald F.; Martin, Ralph P.; and Reid, Daniel G.; eds., Dictionary of Paul and His Letters, (Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1998) menyatakan bahwa, “The Christian life is a life of joyful freedom, since, with the coming of Christ, Law has been superseded by grace. In contrast to his opponents in Galatia, Paul boldly declared his reliance upon the cross and all it stood for (Gal 6:14). Believers ought to be able to boast not only in the death of Christ seen as the outreaching of the love of God to all human beings, but also in the work accomplished by them in fulfilling the law of Christ (Gal 6:2) by showing the divine love to others. Of the ninefold
14
Kedua, Paulus mengkonsepkan sukacita di dalam pengharapan orang-orang percaya yaitu menerima
kemuliaan Allah, masuk sebagai warga Kerajaan Surga dengan terlepas dari kuasa kegelapan dan
pengampunan dosa yang semuanya itu memberikan sukacita dalam menanggung segala penderitaan dan
kesengsaraan pelayanan untuk Kristus.44 Sehingga jemaat yang menanggung penderitaan dalam menantikan
pengharapan itu adalah mahkota kemegahan dan kemenangan di hadapan Yesus Kristus pada waktu
kedatangan-Nya. Konsep sukacita ini merupakan sukacita eskatologis45 yang memberikan penghiburan
kepada orang-orang percaya di dalam menantikan kemuliaan Allah kelak melalui kedatangan Yesus Kristus.46
Ketiga, sukacita tidak hanya di dalam pengharapan orang-orang percaya nantinya, sukacita juga
tercermin dalam perbuatan-perbuatan etika praktis sehari-hari di dalam kehidupan berkomunitas seperti
berbelas kasihan, berempati, kerjasama, saling menopang (yang kuat menanggung yang lemah), dan saling
memberi dan menolong yang semuanya itu tercermin dalam kemurnian etika atau hidup yang murni dan
benar di hadapan Allah.47
Keempat, Paulus memberikan teladan dirinya sebagai seorang rasul yang bersukacita atas pekerjaan
dan pelayanannya yang total demi kepentingan jemaat-jemaatnya di sepanjang hidupnya walaupun harus
menghadapi segala penderitaan di dalamnya. Sukacita merupakan kemegahan orang-orang percaya atas
dasar pelayanan dan pengorbanan yang diberikan untuk kepentingan jemaat sebagai wujud dari proses
mengerjakan keselamatan, sehingga jemaat semakin dikuatkan, bertumbuh dalam iman, dan Injil Kristus
disebarluaskan.48
Apa yang Paulus pikirkan tentang sukacita orang-orang percaya ternyata begitu complete. Paulus
mulai merumuskan dasar sukacita orang-orang percaya adalah pada iman di dalam Yesus Kristus bukan pada
perbuatan menaati hukum Taurat ataupun kemampuan diri sendiri. Ketika orang percaya menikmati
fruit of the Spirit in Galatians 5:22–23, joy comes second in the list as one of three virtues of the inner life. It comes as a close second to the greatest of them all, love, and is followed by peace.”
44 Konsep sukacita ini merupakan integrasi dari konsep sukacita di dalam surat 1 Tesalonika 2:19-20; 3:9 dan 2 Tesalonika 1:4, Roma 5:2,3; 12:12; Kolose 1:11,24; Filipi 4:6; 2 Timotius 1:14 dan Titus 2:13; 3:7.
45 Penulis menggabungkan antara sukacita di dalam penderitaan/joy in suffering dan sukacita eskatologis. J. Knox Chamblin menjelaskan bahwa, “Admist his struggle (agon), Paul experiences joy (chara). The struggle without the joy is inconceivable, given Paul’s understanding of Christ and the gospel. The joy wihtout the struggle loses its very raison d’etre. As sin causes grace to go to into actio (Rom 5:20-21), so suffering causes joy to spring to life. As with the agon, Paul’s chare marks his relationships to himself, to other people and to God; flows from each relationship into the other two; and finds its greatest stimulus in what happens between God and other selves.”Lihat J. Knox Chamblin, Paul and the Self: Apostolic Teaching for Personal Wholeness (Grand Rapids: Baker Books, 1993), 22.
46 Lihat juga penjelasan dari Hawthorne yang menyatakan bahwa, “Over and over again, Paul links joy with the Christian hope. While no human being can boast in the presence of God (1 Cor 1:29), Christians can exult in their hope of sharing the glory of God in the life to come (Rom 5:2). Such hope can keep a believer joyful (Rom 12:12), for it includes not only the expectation of the coming of the deliverer, the Lord Jesus Christ, to transfigure our physical bodies (Phil 3:20–21), but also assures us of joy in the world to come. Provided we suffer with Christ here and now, we can expect to participate in his triumph hereafter. Such union with Christ is the heart of Paul’s religion.”
47 Konsep sukacita ini merupakan integrasi dari konsep sukacita di dalam surat Roma 12:8,15; 14:22; 15:10; 1 Korintus 5:7; 7:30-31,40; 12:26; 13:6 dan 2 Korintus 8:2 9:7-15, dan Filemon 1:15-16.
48 Konsep sukacita ini merupakan integrasi dari konsep sukacita di dalam surat 1 Korintus 9:15,16,17,18,19 dan 2 Korintus 11:21-29; 11:30, 12:1,5,6,9, Kolose 1:24-25 dan Filipi 1:18b,24-25; 2:16,17-18.
15
sukacita ini maka ada kebebasan yang disertai buah Roh, ada pengharapan di tengah penderitaan dan
pelayanan, ada kehidupan yang murni dan benar, dan ada pekerjaan dan pelayanan untuk memperluas Injil
Kristus.
E. Stages of Faith and Joy
Penulis telah menjelaskan konsep “faith/iman” menurut FDT dari Fowler mulai dari struktur yang
sederhana dan belum terdiferensiasikan menuju struktur yang jauh lebih kompleks dan terdiferensiasi.
Setiap tahap iman atau kepercayaan eksistensial/stages of faith memiliki tujuh aspek struktural di dalamnya.
Kemudian penulis telah menjelaskan konsep “Joy” menurut Paulus. Sejauh mana relasi antara “iman yaitu
stages of faith dengan sukacita” dari orang-orang percaya, berikut adalah analisanya:
1. Tahap 0: Kepercayaan Eksistensial yang belum terdiferensiasi dan sukacita
Pada tahap ini seperti telah dijelaskan di atas adalah kepercayaan eksistensial pada masa bayi 0
sampai 2 atau 3 tahun. Meskipun orang-orang percaya yang sudah dewasa secara fisik, namun iman atau
kepercayaan mereka yaitu cara mempercayai dan struktur kepercayaan mereka adalah masih di dalam tahap
0 yaitu “kepercayaan yang belum terdiferensiasiakan”49 karena berbagai benih rasa seperti rasa
kepercayaan, keberanian, harapan, emosi, cinta dan kasih sayang masih bersatu padu secara tak terbeda-
bedakan/samar-samar, juga karena segala daya etis tersebut masih diresapi oleh lawan rasanya, seperti rasa
diri diancam, ditinggalkan, rasa kesepian, isolasi, rasa diri ditimpa oleh berbagai macam inkonsistensi dan
kehilangan. Dengan demikian, orang-orang percaya yang masih berada pada tahap 0 ini memanifestasikan
iman mereka secara sederhana sehingga belum mengerti apa yang menjadi alasan di balik tingkah-laku
rohaninya seperti sukacita di dalam Tuhan. Pada tahap ini, pengalaman atau manifestasi sukacita seperti
kemegahan atau kebanggaan pada salib Kristus yang membebaskan, adanya pengharapan di dalam
penderitaan, pelayanan dan pengorbanan untuk orang lain, memiliki kemurniaan etika dan hidup sesuai
dengan Alkitab masih belum muncul secara nyata dan mereka tidak menyadari atau mengerti apa arti
sukacita itu yang sesungguhnya.
2. Tahap 1: Kepercayaan Eksistensial Intuitif-Proyektif dan Sukacita
Seperti telah dijelaskan di atas, ini adalah tahap dengan struktur kepercayaan intuitif proyektif pada
masa anak-anak umur 3 – 7 tahun.50 Orang-orang percaya dengan struktur iman yang masih berada pada
tahap 1 ini ditandai dengan tingkah laku rohani yang penuh fantasi dan proses imitasi51 (tiru) di mana secara
kuat dan permanen mereka dapat dipengaruhi oleh suasana hati, perbuatan-perbuatan yang dapat dilihat
49 Lihat juga penjelasan dari Yakub B. Susabda yang menyatakan “Ini sebenarnya fase iman dengan struktur jiwa prebirth – infancy. Meskipun kemudian ia sudah dewasa, individu pada fase ini belum mengerti apa yang menjadi alasan di belakang tingkah laku agamawinya….” Lihat Yakub B. Susabda, Mengenal dan Bergaul dengan Allah (Batam: Gospel Press, 2002), 21.
50 Lihat penjelasan hal. 4-5, 14.51 Seperti yang dijelaskan oleh Susabda bahwa, “Tingkah laku rohani (religiosity) semata-mata imitatif,
mencontoh apa yang dilakukan orang lain, tanpa pengertian sama sekali.” Lihat Susabda, 21-22.
16
dari orang-orang yang mereka paling kenal tanpa pemahaman sama sekali. Sehingga tidak heran segala
tingkah laku rohani mereka masih bersifat imitatif. Begitu juga dengan pengalaman sukacita, sukacita yang
mereka rasakan adalah sukacita karena fantasi atau imitasi, belum merasakan sungguh-sungguh sukacita
yang nyata dan benar yang lahir dari pemahaman mereka sendiri.
Dengan melihat aspek-aspek struktural yang terdapat di dalam tahap ini seperti keadaan yang tidak
stabil pada pola-pola berpikirnya, operasi-operasi pengetahuan masih belum dikembangkan (aspek A yaitu
bentuk logika masih dalam tahap praoperasional), proses imajinatif yang mendasari fantasi tidak dibatasi
dan dihalangi oleh pemikiran logis sehingga, pengambilan peranan masih egosentris, merasa diri sebagai
pusat kognitif seluruh hal, episodic, dan terikat pada simbol-simbol magis harafiah, pemikiran yang masih
“intuitif,” maka tanggapannya atas realita diwarnai oleh distorsi akibat tercampurbaurnya persepsi,
perasaan dan fantasi. Dengan demikian pada tahap ini, sukacita yang dialami orang percaya masih bersifat
imajinatif, imitatif, intuitif dan magis, oleh karena memang seharusnya demikian terjadi sebagai orang
percaya, tanpa benar-benar mengerti apa sesungguhnya sukacita tersebut.
3. Tahap 2: Kepercayaan Eksistensial Mitis-Harfiah dan Sukacita
Seperti telah dijelaskan pada bagian di atas, ini adalah tahap dengan struktur kepercayaan mitis
harafiah pada masa kanak-kanak 6-11 tahun.52 Orang-orang percaya yang memiliki struktur iman yang masih
berada pada tahap 2 ini ditandai dengan operasi pikiran atau logika yang konkret (belum mampu berpikir
secara abstrak), cara berpikir “kausalitas” atau hubungan sebab-akibat, sehingga sukacita yang dikonsepkan
dan dialami adalah sukacita yang sifatnya konkret dan literal dualistik juga yaitu membutuhkan pembuktian
secara nyata dan langsung dari Allah misalnya berkat Allah yang melimpah, lancar dalam segala sesuatu,
permintaan atau doa-doa yang dikabulkan oleh Allah dengan konsep Allah penuh kasih dan berkuasa dan
sebagainya. Hal-hal demikian menjadi sebab mereka bersukacita. Namun ketika hal-hal yang terjadi adalah
sebaliknya seperti penderitaan atau kesukaran datang, tekanan dan hambatan dalam pelayanan, doa-doa
yang tidak terjawab, dan sebagainya maka mereka tidak bisa mengalami sukacita.
Selain itu pada tahap ini orang-orang percaya juga mulai melakukan cerita tentang keyakinan dan
ketaatan yang melambangkan keanggotaanya dalam kelompoknya, keyakinan-keyakinan itu cocok dengan
tafsiran-tafsiran harfiah yang juga merupakan aturan-aturan moral, simbol-simbol dipahami menurut artinya
dalam suatu dimensi yang harfiah, pelaku-pelaku dalam cerita-cerita seperti mengenai Allah atau yang Ilahi
bersifat antropomorfis. Pelaku-pelaku itu dapat dipengaruhi secara mendalam dan kuat oleh unsur-unsur
simbolis dan dramatis. Kemampuan atau daya baru pada tahap ini adalah timbulnya daya narasi, cerita dan
drama, serta mitos sebagai sebagai jalan untuk menemukan dan memberi koherensi pada pengalaman
rohani mereka. Dengan demikian, ini jelas mempengaruhi konsep sukacita mereka. Sukacita bagi tahap ini,
berarti hal-hal yang berkaitan dengan masalah kesenangan, kebahagiaan atau berkat-berkat dari Allah, oleh
karena simbol-simbol atau masalah-masalah rohani masih dipahami hanya dari dimensi harfiah dan dualistik 52 Lihat penjelasan hal. 5-6, 14.
17
hitam-putih.53 Sukacita yang dirasakan bukanlah sesungguhnya sukacita yang dituntut oleh Alkitab yang
sebetulnya juga menuntut sukacita di dalam penderitaan dan kesetiaan di dalam melayani Allah.
4. Tahap 3: Kepercayaan Eksistensial Sintetis-Konvensional dan Sukacita
Seperti telah dijelaskan di atas, ini adalah tahap dengan struktur kepercayaan yang sintetis-
konvensional yang dialami pada masa remaja (12 tahun ke atas), tetapi masih banyak juga orang dewasa
yang berada pada tahap ini.54 Orang-orang percaya yang memiliki cara dan struktur iman seperti di tahap 3
ini adalah mereka yang memiliki operasi-operasi pikiran atau logika yang telah formal namun masih awal
seperti kemampuan untuk berpikir abstrak sehingga mulai memikirkan sesuatu secara holistik integratif,55
simbol yang multidimensional, mutual interpersonal, bersifat kelompok dan terikat pada konsensus
kelompok. Semua aspek hidup cenderung disintesiskan sehingga hidup ini secara ideal harus merupakan
satu kesatuan harmonis. Kebutuhan mereka adalah menemukan jati diri atau identitas sebagai orang-orang
percaya, namun masih cenderung menyederhanakan kebenaran dan realita “seolah-olah semua dapat
dipersatukan.”
Begitu juga dengan masalah sukacita. Pada tahap ini, mereka telah mampu memikirkan apa dan
bagaimana sukacita itu. Mereka berjuang menciptakan suatu sintesis baru soal sukacita dan berbagai
masalah rohani lainnya dari berbagai unsur keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses
pembentukan identitas diri mereka. Namun pemikiran dan pengalaman mereka soal sukacita masih dalam
tahap “konformitas” – serupa dengan pandangan dan pengartian orang lain/masyarakat – karena identitas
diri dibentuk berdasarkan rasa dipercaya dan diteguhkan oleh orang lain yang penting baginya dan
“konvensional” – baginya kriteria suatu kebenaran adalah fakta bahwa segala nilai, norma, dan keyakinan
religius seperti sukacita tersebut disahkan oleh konvensi dan konsensus umum antara para anggota
kelompok yang bernilai baginya. Pada tahap ini pemahaman sukacita begitu kaya dari berbagai pandangan,
nilai dan keyakinan religius namun belum dapat dikritisi dan disarikan menjadi satu keutuhan karena
berdasarkan konvensional dan juga belum dapat dipraktekkan sepenuhnya dari apa yang telah dirumuskan
oleh mereka. Jadi pada tahap ini, konsep dan pengalaman sukacita sejati yang sesuai dengan ajaran Alkitab56
masih kabur.
5. Tahap 4: Kepercayaan Eksistensial Individuatif-Reflektif dan Sukacita
Tahap 4 adalah kepercayaan eksistensial individuatif-reflektif yang di alami oleh orang dewasa muda
(20 tahun ke atas).57 Orang-orang percaya yang memiliki struktur kepercayaan eksistensial atau iman yang
53 Ini adalah salah salah satu kelemahan pada tahap ini yaitu menuntut “keadilan resiprokal” yang mewarnai seluruh konstruksi gambaran tentang Allah. Segal usaha wajib mendapatkan upah, begitu juga dengan perbuatan baiknya. Jikalau ini tidak terjadi, maka suatu akibat fatal dapat timbul seperti rasa diri jelek, jahat, tidak berdaya dan rasa diri dikutuk oleh Allah.
54 Lihat penjelasan hal.6-7, 14.55 Lihat juga penjelasan dari Susabda, 23-24.56 Lihat penjelasan konsep sukacita di atas.57 Lihat penjelasan pada hal. 8-9, 14-15.
18
berada pada tahap ini adalah mereka telah mulai kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, dan nilai religius
lama tentang kekristenan. Berkat daya operasional formal dan sikap refleksivitas diri mereka yang tinggi,
mereka mulai mengajukan pertanyaan kritis mengenai keseluruhan nilai, pandangan hidup, keyakinan
kepercayaan dan komitmen yang sampai saat itu bersifat tak diucapkan serta diterima sebagai benar dan sah
secara konvensional-konsensus. Sekarang semuanya itu dimulai diperiksa secara kritis dan objektif dengan
memakai sumber otoritas adalah bukan di luar dirinya lagi tetapi bersumber dari diri mereka sendiri
sehingga cenderung individuatif – refleksi diri tidak semata-mata bergantung pada kelompok atau orang lain,
tetapi dengan kesanggupan diri sendiri. Begiitu juga dengan masalah sukacita. Mereka mulai merefleksikan
diri apa sebetulnya sukacita itu yang sesuai dengan pengajaran Alkitab. Hal-hal yang bertentangan dengan
reflektif diri mereka akan dibuang.58 Mereka mulai dapat merumuskan konsep sukacita yang unik dan
menghidupinya sesuai dengan refleksi diri mereka sendiri (individuatif-reflektif), namun masih cenderung
subjektif (yaitu berfokus pada egonya sendiri secara berlebih-lebihan dan begitu asyik dengan dirinya sendiri
sehingga sifat “individuasi” bisa merosot dan tiba-tiba berubah menjadi “individualisme” yang tak ada
batasnya) dan tidak memberi tempat pada dimensi-dimensi yang bagi dirinya “unknown/tidak dikenal,”59
oleh karena tahap formal operation pemikirannya masih dikotomi sehingga pada tahap ini mereka masih
terikat pada “sistem” dan “pengontrolan”60 yang cukup ketat.61 Akibatnya, orang-orang percaya pada tahap
ini menjadi cenderung eksklusif dan curiga terhadap dimensi-dimensi yang dirasakan lain.
6. Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif dan Sukacita
Pada tahap ini yaitu kepercayaan eksistensial konjungtif dialami pada masa usia dewasa ke atas (35
tahun ke atas).62 Orang-orang percaya yang memiliki struktur kepercayaan eksistensial atau iman yang
berada pada tahap ini adalah batas-batas “sistem” pandangan hidup dan identitas kekristenan mereka yang
jelas, kaku dan tertutup, kini menjadi lentur, permeabel dan kembali samar-samar. Timbulllah kesadaran
baru dan pengakuan kritis terhadap berbagai macam pandangan, polaritas, ketegangan, paradoks,
kompleknya kehidupan dan multidimensionalitas di dunia ini. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai hasil
penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual, dan jelas, tetapi merupakan hasil perpaduan dari
berbagai pertentangan dan paradoks sehingga kompleksitas realitas sungguh diakui dan dihormati. Pada
tahap ini, orang-orang percaya merasa sungguh-sungguh peka terhadap segala macam paradoks,
pertentangan, kontradiksi yang ingin dipersatukan.63 Istilah “konjungtif” menjelaskan ciri khas dari tahap ini
di mana orang-orang percaya merasakan bahwa hal-hal yang terpisah satu sama lain dan tidak mungkin
58 Ini merupakan ciri khas dari tahap ini yaitu penerjemahan simbol-simbol ke dalam arti konseptual abstrak yang dikenal dengan istilah “demitologisasi.”
59 Lihat juga penjelasan dari Susabda, 24-25. 60 Semangat “sistem dan pengontrolan rasional” ini saja terperangkap dalam bahaya pandangan ilusif yang
menganggap kenyataan sebagai suatu sistem rasional yang dapat dikuasai dan dikontrol secara tuntas oleh rasio. Akibatnya mereka melupakan sisi misteri dari kenyataan bahkan melupakan rahasia ketidaksadarannya sendiri.
61 Sukacita yang mereka konsepkan dapat saja berbeda dengan apa yang telah dikonsepkan oleh Alkitab.62 Lihat juga penjelasan hal. 9-10, 15.63 Lihat juga penjelasan dari Susabda, 25.
19
diperdamaikan, kini dipersatukan dalam suatu kesatuan utuh yang lebih tinggi dan melampaui segala
pertentangan tanpa meniadakannya. Tahap ini menghasilkan dan mempertahankan keterbukaan riskan
terhadap kebenaran-kebenaran asing milik ‘orang lain.’ Siap untuk mendekati hal-hal yang berbeda dan
mengancam diri serta pandangannya (termasuk kedalaman-kedalaman baru pengalaman spriritualitas dan
relevasi religius), komitmen tahap ini kepada keadilan bebas dari batas suku, kelas/golongan sosial,
kelompok religius dan bangsa. Dengan demikian, masalah sukacita juga tidak terhindar dari struktur dan cara
kepercayaan yang demikian yang dimiliki orang-orang percaya. Mereka memanifestasikan sukacita sesuai
dengan keunikan iman Kristen yaitu mempertemukan segala macam paradoks dalam pengajaran Alkitab
khususnya mengenai sukacita, untuk dipersatukan.64 Sehingga bagi mereka yang berada di tahap ini, sukacita
menurut Paulus – seperti kemegahan pada salib Kristus yang merupakan lambang kebodohan bagi orang-
orang dunia, sukacita di dalam penderitaan menantikan pengharapan hari Kristus, sukacita atas pelayanan
dan pengorbanan seluruh hidupnya – dapat dipandang sesuai dengan pemikiran dan pandangan mereka
yang memasuki tahap operasional dialektikal. Pada tahap inilah, mereka menemukan sukacita yang sejati di
mana apa yang dikonsepkan dan diimani dan perbuatan atau pengalaman menemukan titik temunya.65
7. Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas dan Sukacita
Seperti telah dijelaskan di atas, tahap ini adalah tahap dengan struktur kepercayaan eksistensial
yang mengacu pada universalitas.66 Orang-orang percaya dengan struktur iman pada tahap ini adalah
mereka yang mampu melepaskan diri dari egonya dan kebenaran, kasih/cinta dan keadilan Ilahi seolah-olah
menyatu dan menjadi bagian integral dalam dirinya.67 Sehingga seluruh tujuan hidup dan cita-cita adalah
memang untuk merealisasikan kehendak Allah yang berlaku secara universal tersebut. Mereka menyerahkan
diri total dan rasa bersatu dengan realitas transenden yang Satu dan Tunggal yaitu Allah. Mereka dipandang
sungguh berhasil dalam mencapai kepenuhan dan kesempurnaan panggilan hidup manusia. Jumlah yang
terbatas pada tahap ini memiliki pola kepercayaan yang mampu mengatasi seluruh ketegangan dan
paradoks yang meliputi tahap 5 di atas. Pada tahap 5, mereka masih terbagi antara visi etis-religius serta
pengertian mengenai cinta dan keadilan yang bersifat inklusif dan menyeluruh dan kebutuhan untuk
mempertahankan kesejahteraan dan kepentingan diri yang agak sempit. Tahap universalizing faith
melampaui paradoks tadi dengan cara hidup dengan disiplin etis dan mati raga yang tinggi dengan
mengaktualisasikan visi dan pemahaman akan universalitas konkret. Tentu saja seluruh pertentangan dan
paradoks tersebut dihayati sebagai bagian hakiki dari seluruh kesatuan utuh adanya, tetapi kini seluruhnya di
64 Mereka melihat dirinya bukan lagi ego eksekutif, sang penentu kebenaran, melainkan Allah-lah yang menjadi penentu kebenaran dan sumber otoritas. Mereka memandang dirinya sebagai “partner Allah” bukan determinisme Allah yang membasmi kebebasan dan inisiatif manusia.
65 Ada hal yang diwaspadai yang bisa terperangkap pada tendensi pasivitas atau kelambanan yang melumpuhkan, yang menimbulkan rasa puas diri atau penarikan diri yang sinis kerena pengertiannya yang paradoks tentang kebenaran.
66 Lihat juga penjelasan di hal. 11,15.67 Lihat juga penjelasan dari Susabda, 26.
20
satu-padukan dalam suatu pemahaman terhadap kesatuan dari seluruh yang ada yang sifatnya tidak lagi
paradoksal. Begitu juga dengan pencapaian sukacita pada tahap ini, mereka yang memiliki struktur iman
demikian, telah mampu mengalami sukacita yang utuh dan sempurna sesuai dengan pemahaman mereka
tentang sukacita seperti yang diajarkan di dalam Kitab Suci oleh karena seluruh perasaan, pemikiran dan
pandangan telah terjadi pergeseran radikal dan diperbaharui menurut perspektif universalitas yang tidak lain
adalah perspektif transenden Allah.68
F. Kesimpulan
Konsep “faith” menurut FDT dari Fowler ternyata adalah kepercayaan eksistensial yang dinamis yang
berkembang di dalam aspek-aspek strukturalnya sehingga terbagi di dalam tahap-tahap di mana setiap
tahap memiliki keunikan tersendiri dan perbedaan-perbedaan struktural yang tegas, ketat, sistematis dan
terinci. Perkembangan aspek-aspek struktural di dalam setiap tahap kepercayaan eksistensial atau stages of
fatih ini berlaku secara universal (termasuk orang-orang percaya di dalamnya) dan menentukan bagaimana
tingkah laku manusia itu beragama termasuk konsep belief/kepercayaan doktrinal dan religiosity-nya.69 Maka
sangat relevan dan penting untuk melihat hubungan antara salah satu belief dan religiosity dalam
kekristenan yaitu masalah “joy/sukacita” dengan perkembangan iman atau kepercayaan eksistensial orang-
orang percaya. Dapat disimpulkan bahwa semakin matang atau dewasa perkembangan aspek-aspek struktur
iman atau kepercayaan eksistensial seseorang maka akan semakin tepat (mendekati kebenaran) pula dalam
hal pemahaman akan konsep sukacita Akitabiah dan pengalaman sukacitanya di dalam Tuhan.
68 Atau dengan kata lain membawa suatu perombakan radikal dalam sistem acuan nilai dan disebut desentrasi ego yang bersifat aksiologis. Karena Pada tahap ini seluruh kognitif, perasaan dan gaya hidup diliputi dan diresapi oleh semangat cinta inklusif dan universal terhadap seluruh gejala hidup dan segala makhluk, maka ia dapat bertindak dengan agak bebas dan autentik berdasarkan visi dan perhatian luas yang revoluisioner.
69 Salah satu sumbangan penting FDT adalah merangsang orang percaya untuk melihat perkembangan kepercayaan eksistensial iman dalam suatu perspekti f lingkaran hidup. Iman sebagaimana dapat dilihat di sini, mencakup suatu proses yang terus menerus di mana cara mereka berada di dunia dan melihat dunia itu terbentuk dan dibentuk kembali. Seorang yang menjadi Kristen di masa kanak-kanak memang tetap menjadi seorang Kristen seumur hidupnya. Tetapi cara seseorang untuk menjadi Kristen perlu beberap kali diperdalam, diperluas, dan ditata kembali dalam ziarah iman. Dalam gereja-gereja dan komunitas-komunitas iman dikehendaki agar mereka mengharapkan dan memberi dukungan bagi perkembangan iman yang dewasa yang berlangsung terus.
21
Daftar Pustaka
Chamblin, J. Knox. Paul and the Self: Apostolic Teaching for Personal Wholeness. Grand Rapids: Baker Books,
1993.
Dysktra, C. dan S.Parks (eds.), Faith Development and Fowler. Birmingham, Alabama: Religious Education
Press, 1986.
Fowler, James W. Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning. San
Fransisco: Harper Collins Publishers, 1995.
_________. “The Enlightenment and Faith Development Theory,” Journal of Empirical Theology vol.I no.1 (1988): 29-42.
_________. Becoming Adults, Becoming Christian. Blackburn: Dove Communications, 1984.
_________. Faith Development and Pastoral Care. Philadelphia: Fortress Press, 1987.
Fowler, James W. dan Karl Ernst Nipkow dan Friedrich Schweitzer, Stages of Faith and Religious
Development: Implications for Church, Education and Society. London: SCM Press, 1991.
Hawthorne, Gerald F. dan Martin, Ralph P. dan Reid, Daniel G.; eds. Dictionary of Paul and His Letters.
Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1998.
Susabda, Yakub B. Mengenal dan Bergaul dengan Allah. Batam: Gospel Press, 2002.
22
23