lexiana harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. ah, ibu. ^> Æ]ul v iu...

23
Isti Maisaroh | 1 Lexiana Harris By Isti Maisaroh Chapter I “Perpisahan” Awan hitam menggantung di langit, tampak sangat mengancam. Guntur terdengar samar di kejauhan dan petir tampak sudah menyambar-nyambar. Titik-titik hujan mulai turun. Semakin lama semakin deras hingga cipratannya mengenai jendela kamarku. Bau tanah juga mulai menggelitik hidungku. Aku suka hujan, pikirku. Tapi kali ini tak akan bisa menikmatinya seperti biasa, karena jelas ibu akan menjewerku kalau sampai nekat hujan-hujanan lagi. Apalagi aku sudah harus bersiap-siap berkemas menuju sekolah baruku hari ini. Yeah, sekolah baru. Untuk orang-orang sepertiku, pikiran itu membuat pikiranku melilit. Baru seminggu yang lalu aku merayakan kelulusan di bawah guyuran hujan bersama teman- temanku. Bajuku sampai basah kuyup dan belepotan lumpur. Tapi sekarang pakaianku sudah harus di-pack dan semua barang-barangku harus muat dalam koper. Siap berangkat! Tunggu sebentar, siapa yang sudah siap? Aku belum siap! Baru juga berpikir begitu, ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Membuatku kaget saja. Ledži, kau sudah siap? taŶLJaŶLJa dari ďalik piŶtu. “eďeŶtar lagi, Bu, jaǁaďku sedikit ďerteriak. Mau Iďu ďaŶtu? Eh, tidak usah. “udah ŵau selesai kok. Kalau ďegitu Iďu tuŶggu di depaŶ, LJa? UŶĐle DaŶial sudah ŵeŶuŶggu. Oke, ďalasku keras-keras. Begitu mendengar langkah kaki ibu menjauh, aku langsung meniggalkan jendela kamar dan buru-buru menyelesaikan sisa pakaian dan barang-barangku yang perlu dikemas. Kuseret koperku sampai ruang tamu. Di sana, sudah menunggu Ayah, Ibu, dan Uncle Danial. Mereka sedang mengobrol sambil sesekali terkekeh ketika aku datang, tapi langsung berhenti seketika begitu menyadari kehadiranku. “udah siap? UŶĐle DaŶial LJaŶg ďertaŶLJa. “eperti ďiasa, deŶgaŶ akseŶŶLJa LJaŶg ŵasih terdengar aneh di telingaku.

Upload: dinhkien

Post on 25-Apr-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 1

Lexiana Harris

By Isti Maisaroh

Chapter I

“Perpisahan”

Awan hitam menggantung di langit, tampak sangat mengancam. Guntur terdengar samar di

kejauhan dan petir tampak sudah menyambar-nyambar.

Titik-titik hujan mulai turun. Semakin lama semakin deras hingga cipratannya mengenai

jendela kamarku. Bau tanah juga mulai menggelitik hidungku.

Aku suka hujan, pikirku. Tapi kali ini tak akan bisa menikmatinya seperti biasa, karena jelas ibu

akan menjewerku kalau sampai nekat hujan-hujanan lagi. Apalagi aku sudah harus bersiap-siap

berkemas menuju sekolah baruku hari ini. Yeah, sekolah baru. Untuk orang-orang sepertiku, pikiran

itu membuat pikiranku melilit.

Baru seminggu yang lalu aku merayakan kelulusan di bawah guyuran hujan bersama teman-

temanku. Bajuku sampai basah kuyup dan belepotan lumpur. Tapi sekarang pakaianku sudah harus

di-pack dan semua barang-barangku harus muat dalam koper. Siap berangkat!

Tunggu sebentar, siapa yang sudah siap? Aku belum siap!

Baru juga berpikir begitu, ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Membuatku kaget saja.

Le i, kau sudah siap? ta a a dari alik pi tu.

“e e tar lagi, Bu, ja a ku sedikit erteriak.

Mau I u a tu?

Eh, tidak usah. “udah au selesai kok.

Kalau egitu I u tu ggu di depa , a? U le Da ial sudah e u ggu.

Oke, alasku keras-keras.

Begitu mendengar langkah kaki ibu menjauh, aku langsung meniggalkan jendela kamar dan

buru-buru menyelesaikan sisa pakaian dan barang-barangku yang perlu dikemas.

Kuseret koperku sampai ruang tamu. Di sana, sudah menunggu Ayah, Ibu, dan Uncle Danial.

Mereka sedang mengobrol sambil sesekali terkekeh ketika aku datang, tapi langsung berhenti

seketika begitu menyadari kehadiranku.

“udah siap? U le Da ial a g erta a. “eperti iasa, de ga akse a a g asih terdengar aneh di telingaku.

Page 2: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 2

Aku i gi e ja a Belu , tapi tidak ada satu katapu a g era i keluar dari ulutku. Jadi aku hanya mengangguk tanpa suara.

Dengan baik hati, Uncle Danial membantu memasukkan koperku ke bagasi di bawah guyuran

hujan. Sementara ia berbasah-basahan, aku berpamitan pada orang tuaku untuk yang terakhir

kalinya.

I u, aku era gkat dulu, ja a ku, e eluk a de ga seluruh ja gkaua ta ga ku.

I a, hati-hati disa a a, ujar a, e elai ra utku le ut.

I u, pa ggilku lagi, kali i i de gan suara yang lebih rendah. Tanpa bisa kubendung lagi,

akhir a kuu gkapka juga kekha atira ku. Bagai a a a ti kalau aku tidak etah disa a?

Le i, kau i i i ara apa? Te tu saja kau aka etah di sa a, I u e arikka dari peluka a. Dengan kedua tanga di sisi ahuku, ia ela jutka , kau se diri a g e gi gi ka a, i gat?

Aku hanya mengangguk, pasrah. Lalu, dengan manyun aku beralih pada Ayah.

Tidak usah e a gis, goda a.

Aku tidak e a gis, kilahku, tidak suka dianggap cengeng.

Kami hanya bertatap-tatapan, tidak ada yang mau bergerak. Seperti biasa, ayahku hanya

cengar-cengir tidak jelas, tapi akhirnya dia juga yang mengalah dan memelukku terlebih dulu.

A ak a ah, gu a a, tu e sekali ke apaka .

Ngo o g-ngomong, kalau aku tidaka ada a ah au e ggoda siapa? ta aku de ga polosnya.

Tak kusangka, Ayah dan Ibu tertawa mendengar pertanyaan bodohku.

Te a g saja, ka ada i u u a g siap digoda kapa saja, a da a elirik ke arah i u a g mendelik padanya.

A ah ge it, ko e tarku. “e e tara ia hanya tertawa saja.

Guntur terdengar lagi di langit, membuat kami semua terlonjak kaget. Kulihat koperku sudah

masuk bagasi. Uncle Danial melambai-lambai kebasahan, siap berangkat.

Setelah menerima nasihat terakhir dari ibu untuk menjaga diri dan bla bla bla, aku berancang-

ancang menerjang hujan. Kusebrangi halaman dengan berlari tergopoh-gopoh lalu masuk ke mobil.

Kututup pintunya keras-keras.

“iap? ta a U le Da ial, e alaka esi o il a.

Yup, ja a ku, kali i i de ga a ta .

Mesin mobil menderu menyaingi derasnya hujan. Kulambaikan tanganku dari balik kaca mobil

sementara kami mulai melaju. Melaju meninggalkan orang tua, kampung halaman, dan teman-

temanku.

Page 3: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 3

Kalau kata Uncle Danial, ini adalah saatnya menyambut masa depanku sebagai... sebagai apa

kemarin namanya? Oh yeah, Hayla.

Hayla, kata itu terus berputar-putar di kepalaku tanpa aku mengerti benar maksudnya...

Chapter II

“Uncle Danial”

Seminggu yang lalu

Aku berjalan mengendap-endap dari belakang rumah. Basah kuyup dan belepotan lumpur, jejakku

meninggalkan genangan air bercampur tanah di lantai. Menoleh ke belakang, kulambaikan tangan

pada teman-temanku yang sama basah dan kotornya. Membalas lambaianku, mereka melanjutkan

perjalanan pulang ke rumah masing-masing melewati persawahan.

Baru saja mau meraih kenobnya, tiba-tiba saja pintunya menjeblak terbuka. Begitu mendongak, yang

kulihat adalah ibuku yang memicing menatapku. Tampak seperti singa betina yang diganggu

sarangnya.

Eh, I u, aku e eri gai, seaka tidak ersalah.

Ibu menatapku tajam tapi tenang. Ia memang bukan tipe yang meledak-ledak. Semarah apapun pasti

bisa mengendalikan diri. Ah, ibu.

Le i, ke apa ja segi i aru pula g?

Eh, aku tadi... eh— aku la gsu g ko at-kamit mencari alasan.

Ke a a saja kau sepula g sekolah?

Dang! Ketahuan. Tak ada gunanya kalau berbohong juga.

Tadi aku ke ru ah Vi i, u, era aka kelulusa , teri gat kelulusa ta pa gku la gsu g su ri gah. I u tahu? Aku lulus lho. Aku lulus! Ya ! kuacungkan kedua tanganku ke atas dengan

gembira.

I u sudah tahu.

Zing! Aku serasa baru disiram air es.

“udah dari ke ari lusa a ah u e elepo kepala sekolah, i u e jelaska , uju g i ir a sedikit terangkat. Aku hanya melongo saja seperti orang bodoh.

Jadi, A ah da I u sudah tahu aku lulus? Tapi kenapa tetap membiarkanku deg-degan setengah

ati e u ggu pe gu u a ? kutatap i uku tidak per a a.

Tidak perlu dile ih-le ihka seperti itu.

Page 4: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 4

Dile ih-lebihkan? Ibu, Ini-Tidak-Adil, u gkapku tidak teri a.

“a a tidak adil a de ga kau— ti a-tiba ibu menjewer telingaku.

Aduh, aduh, I u, sakit, aku ko at-kamit kesakitan.

—pulang sore, basah kuyup, dan mengendap-e dap dari sa ah le at elaka g ru ah, se aki lama ibu bicara, telingaku dijewer semakin keras. Aku digiring masuk rumah dengan telinga semakin

panas.

“ekara g a di lalu a tu i u e ersihka la tai a g kotor, akhir a teli gaku dilepas juga. Rasanya aku seperti bisa mencium bau gosong dari telingaku itu.

Untunglah, dengan nilai ujian akhir yang cukup bagus (untuk standarku yang luar biasa... buruk!) aku

terhindar dari hukuman yang lebih berat hari itu. Kalau kata ayah, yang juga guru Matematika

sekolah dasar, nilai-nilainya akan cukup mengantarku masuk SMP. Tapi, yeah, tentu saja tidak ada

yang punya bayangan kalau pada akhirnya nilai itu tidak ada gunanya sama sekali di sekolah yang

kutuju... sama sekali.

***

Liburan. Berarti jogging diganggu ayah, merusak masakan ibu, dan menyirami tanaman sampai

gosong. Eh, maksudku aku yang gosong karena kepanasan.

Kring! Kring! Kring!

Suara dering sepeda terdengar dari kejauhan. Benar saja, sejurus kemudian, rombongan sepeda

muncul dari ujung jalan. Mereka membunyikan belnya berulang kali, berisik memekakkan telinga.

Kalau tidak kenal mereka pasti kupikir preman jalanan yang datang. Ya, mereka itu teman-teman

sekolahku. Gila kan punya teman tukang ribut seperti mereka?

Sangat. Tidak. Jelas.

Hei! “eda g apa kalia ? Pagi-pagi sudah iki rusuh saja, teriakku.

Seketika, mereka menoleh ke arahku. Saking kagetnya sampai ada yang menabrak sepeda di

depannya hingga jatuh. Aku hanya tertawa saja melihat mereka saling menyalahkan. Lucu sekali,

sumpah.

Eh, Le i, seda g apa? ta a Da i, si ketua ge g a g ada di pali g depa . Dia e gar-nyengir

tidak jelas dan tiba-tiba saja jadi sibuk merapikan rambutnya.

Tidak lihat a? Aku ka seda g e ira i ta a a , ujarku, e ggo a gka-goyangkan selang

airku, sengaja menciprati mereka.

Aku terkekeh melihat tingkah mereka yang kelabakan menhindari airku.

Hei, hei, asah tahu!

Biari , ka e a g se gaja! Haha! aku tertawa terbahak-bahak. Kusiram mereka lebih deras dan

ta pa a pu supa a epat e i gkir. “udah sa a pergi. Ja ga iki ri ut di si i.

Page 5: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 5

Kepayahan, akhirnya mereka mengayuh sepeda masing-masing meninggalkan bumi pertiwi tercinta.

Eh, maksudku meninggalkan desa.

Kuhela nafas lega melihat mereka menghilang di ujung jalan. Setelah ini hariku akan lebih tentram

tanpa gangguan.

Atau tidak.

Baru juga tadi bunyi dering sepeda yang kudengar, sekarang suara deruman mobil yang

menghampiri. Pertanda apa ini?

Sebuah sedan hitam berjalan melambat lalu berhenti tepat di depan rumahku. Kuulangi, di depan

rumahku! Sejak kapan ada mobil parkir disini? Rasanya seperti mimpi.

Sepertinya bukan aku saja yang terheran-heran, karena kulihat para tetangga juga sibuk menoleh

melihat siapa yang membawa mobil ke desa. Pak Saoman berhenti menyapu halamannya sejenak

sementara Bu Yumi membiarkan jemurannya terkatung-katung. Dilya, sahabatku yang tinggal di

seberang jalan sampai melongok dari jendelanya. Ia memberikan isyarat bertanya padaku, tapi aku

hanya bisa mengangkat bahu tidak tahu.

Seorang pria gagah keluar dari mobil. Penampilannya rapi dengan kemeja putih berdasi, celana

hitam, dan sepatu fantofel. Dia berkacamata persegi dengan koper dijinjing di satu tangannya.

Begitu menutup pintu mobilnya, ia berjalan melewati jalan setapak menuju... rumahku? Kupikir tadi

dia cuma parkir. Ini keluargaku sedang ketiban rejeki atau bagaimana? Pikiranku langsung melayang

membayangkan petugas dari perusahaan minuman ringan memberi tahu kalau kami memenangkan

undian berhadiah. Pikiran gila.

Kupelototi pria itu terus sementara ia berjalan mendekati rumah. Tak tahunya, ia menoleh ke arahku

tiba-tiba. Sontak, aku mengalihkan tatapanku darinya, pura-pura tidak bersalah.

Eh , apa ora g tua u erada di ru ah?

Aku menoleh lagi ke arahnya, meyakinkan diri sendiri kalau dia bertanya padaku.

Eh i a, ja a ku, spo ta . De ga kikuk aku e a ahka , Err, au kupa ggilka ?

Ya, teri akasih, ja a a, terse u sopa .

Kumatikan keran airnya sebelum berlari ke rumah dan memanggil orangtuaku. Ayah dan ibu, yang

sedang membersihkan dapur, langsung membeku bagai tersiram air es begitu melongok melihat

siapa yang datang.

A ah, dia siapa? isikku pe asara , e arik-narik bajunya.

Err, uka siapa-siapa, ja a a, ta pak terjaga. Kau er ai ke ru ah Dil a saja sa a.

Boleh? Aku ka elu selesai e ira ta a a .

Tidak apa-apa, ke ari ka juga ha is huja , ujar a, ta pa asa-basi menggiringku ke luar rumah

lewat pintu belakang.

Page 6: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 6

Jujur, aku merasa diusir. Ada apa ini?

Saking penasarannya, aku nekat mengendap-endap mengelilingi rumah lalu mengintip dari jendela.

“eda g apa kau?

Aku terlonjak kaget. Baru saja mau jadi mata-mata, sudah dibikin jantungan saja. Sial benar.

Tapi untunglah ternyata Cuma Dilya yang datang dari seberang jalan.

“st, kau au ikut e gupi g atau tidak? isikku, e arik a e u duk di a ah je dela.

Ngupi g apa? Ia alas er isik.

E tahlah, ujarku apa ada a. De garka saja.

Jadilah kami berdua berjongkok di bawah jendela sambil mendengarkan obrolan orangtuaku dengan

pria barusan di ruang tamu. Mereka berbasa-basi sebentar (paling tidak pria itu yang berbasa-basi)

sebelum akhirnya mulai mengobrol.

Jadi agai a a? Kalia sudah i ara? Kude gar pria itu erkata. Nada a santai, tapi aksennya

terdengar aneh. Sepertinya dia dari luar kota.

Err, eah, sudah, ujar A ah, terde gar agak... gugup? Ka i pikir se aik a Le i se diri a g e utuska a.

Aku tertegun mendengar namaku disebut. Kutukar pandang bingung dengan Dilya.

Well, itu agus, alas pria itu.

Oke, se aik a kupa ggil Le i dulu.

Jeng-jeng!

Aku dan Dilya langsung ketar-ketir, kelabakan keluar dari tempat persembunyian.

Aduh, ke a a i i? Ke a a i i?

Ke—ke—keru ah u saja, keru ah u.

Kami lalu berlari pontang-panting ke rumah Dilya seperti orang gila. Untungnya kami sudah di dalam

rumah ketika Ayah keluar mencariku.

Dengan polosnya, aku dan Dilya duduk-duduk di ruang tamu seperti manusia tanpa dosa. Pura-pura

menyalakan TV pula, parah. Dan ketika Ayah memanggilku keluar, aku menurut saja tanpa protes.

Benar-benar berlagak seperti anak baik.

Ada apa, Yah? ta aku, e gikuti a ke ali ke ru ah de ga ta pa g polos.

Ada a g i gi i ara pada u, ja a a, terse u a is.

Tersenyum manis? Biasanya juga tersenyum jahil. Ah, dasar Ayah.

Page 7: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 7

Tak lama kemudian aku sudah nyelonong saja duduk di sebelah Uncle Danial, begitu pria itu ingin

dipanggil. Sementara itu, Ayah dan Ibu duduk lebih santai di seberang meja. Bagaimana tidak santai?

Sejak pertama kenal aku langsung nerocos saja menanyakan namanya yang aneh (Danial Mehr, kan

nama yang aneh. Iya kan?), cara bicaranya yang lucu, dan wajahnya kearab-araban.

Me a g a Da ial Mehr arti a apa? ero osku. Lalu apa kau dari luar kota? Cara i ara u... a eh.

Le i, i aralah a g sopa , I u e egur.

Aku ha a pe asara , u gkapku, e ela diri. A ah terkekeh saja elihatku usil.

Tidak apa-apa, kata U le Da ial, terse u ra ah. Aku se a g Le i a ak erta a.

Aku menyeringai lebar sekali dibela seperti itu, memamerkannya pada orang tuaku.

Jadi, kau au ja a a a sekara g? ta a a, ke ali ke topik pe i araa .

Te tu.

Well, ora g tuaku a pura , jelas a, A ahku dari Pakista da I uku I ggris. Jadi ajar saja kalau namaku sedikit asing dan cara bicaraku agak... er eda.

Oh, egitu, aku e ga gguk-angguk mengerti. Jadi ia bukan dari luar kota, tapi dari luar negeri!

Wow, keren!

Kutanyakan lebih banyak lagi hal sepele tentangnya, seperti dimana ia tinggal, bagaimana ia belajar

Bahasa Indonesia, dan tentu saja... jambulnya! Sungguh, dia punya jambul! Dan sangat

menggemaskan. Kedua orangtuaku sampai terkikik-kikik geli melihatku usil berusaha menyentuh

jambulnya diam-diam.

Tapi lama-kelamaan aku kehabisan pertanyaan juga, jadilah sekarang Uncle Danial yang bertanya

padaku.

Lalu ka u i gi ela jutka ke a a? ta a a asih terse u le ar setelah ku eritaka ujia kelulusanku yang dramatis. Yeah, dramatis karena aku hampir-hampir tidak bisa menyelesaikannya.

Gara-garanya apa? Perut mulas! Oh, entah berapa kali aku bolak-balik kamar kecil waktu itu, sampai

dibuntuti pengawas. Dikiranya aku mau curang kali ya? Padahal, oh, padahal aku menguras isi perut!

Ke “MP pali g, ja a ku e te g.

Kau tidak i gi ke te pat lai ?

Me a g a isa ke a a lagi? aku e ga gkat bahu. Memang Cuma ada satu SMP disini.

H , U le Da ial ta pak e i a g- i a g, kalau isal a aku e a arka sekolah di te pat lai , agai a a? Kau au?

Aku e gerjap. Di a a?

Seketika ruangan jadi hening. Entah kenapa, orang tuaku sepertinya menganggap ini sesuatu yang

penting dan serius. Padahal Uncle Danial tampak santai saja.

Page 8: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 8

I i uka sekolah iasa, Le i. I i sekolah khusus... sekolah spesial, ia e eri pe eka a erarti pada kata terakhir.

Err, spesial... seperti apa?

Aku mulai penasaran, tapi sayang, jawaban Uncle Danial bahkan tidak membantu.

“pesial seperti u.

Huh? Aku?

Tapi aku tidak... spesial, u gkapku, e atap erga tia U le Da ial da ora g tuaku de ga bingung. Tahu aku membutuhkan penjelasan, Ayah tiba-tiba ikut dalam perbincangan.

I gat kejadia di a ah poho , Le i? ujar a. Perlaha , aku e ga gguk. Itulah a g ka i aksud.

A ah terse u e e a gka padaku. Tapi su gguh, i i uka sesuatu a g perlu dite a gka . Maksudku, itu hanya... ranting terbang. Yeah, ranting terbang. Dan aku yang membuatnya terbang!

Tidak percaya? Aku saja sulit mempercayainya. Kau tahu, aku aku bahkan tidak ingat kapan pertama

kali bisa melakukannya. Tapi ayah pernah bilang kalau aku sudah suka menerbangkan benda-benda

ringan sejak masih bayi. Hallooooo? Masih bayi lho..

Untungnya, masih ada satu kejadian yang masih kuingat sampai sekarang. Kejadian di bawah pohon

itu..

Tujuh tahun lalu, saat hendak masuk SD. Masih ingat benar, waktu itu entah kenapa aku tidak mau

berangkat ke sekolah baruku. Rasanya aneh saja ke sekolah yang aku bahkan tidak kenal orang-

orangnya. Pokoknya tidak mau pergi.

Alhasil, aku bersembunyi di balik pohon belakang rumah sejak pagi. Hanya supaya tidak dipaksa ke

sekolah. Tapi tentu saja ujung-ujungnya gagal.

Disi i kau rupa a.

Sadar Ayah berhasil menemukanku, aku berusaha kabur. Tapi lagi-lagi usahaku gagal.

A o ke sekolah, Le i, eliau e opo gku paksa.

Aku tidak au! Tidak au! Tidak au sekolah! Aku ero ta-ronta dalam pelukannya, menangis

sejadi-jadinya.

Saat itulah, ketika aku masih berteriak-teriak dan meraung-raung tanpa henti, terdengar gemuruh di

atas kami. Lalu tiba-tiba saja, ranting-rating berderak patah dan jatuh menimpa kami.

Tangisku makin menjadi melihat Ayah kesakitan berusaha melindungiku.

Ja ga sakiti A ah! Ja ga sakiti A ah! Berhe ti! Berhe ti! Berhe ti sekara g!

Lalu hap!

Page 9: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 9

Ranting-ranting itu benar-benar berhenti. Di udara. Bahkan daun-daun yang rontok pun ikut

melayang-layang.

A ah, a ah—tidak apa-apa? ta aku, asih sese gguka . Maafkan—Lexi, Ayah. Lexi—akan

sekolah—kok. Sekolah. Pohonnya—jangan jatuh—lagi.

Oh, Le i, A ah e dekapku aka erat. De ga se u di ajah a, eliau e a aku ke ali ke rumah.

Begitulah, bagaimana aku masih sangat lugu. Mengira ranting-ranting itu jatuh sendiri hanya karena

aku tidak mau sekolah. Yeah, memang...

“ekara g kau e gerti aksudku. Le i?

Aku terkesiap, terbangun dari lamunanku. Ngomong-ngomong ini sedang membicarakan apa ya?

Aku lupa.

Eh, apa?

Le i, kau e gerti aksudku de ga spesial , ka ? U le Da ial e gula gi.

Oh, itu. Me er a gka e da- e da itu? ujarku e gerti. Itu, ka a eh.

A eh? U le Da ial e ga gkat alis ti ggi-ti ggi. Ke a pua u itu uka a eh, Le i. Itu akat .

Menyadari aku tampak bingung, ia menjelaskan.

De gar, Le i, kau uka satu-satunya yang memiliki bakat itu—

Huh? Ada a g lai ? Tidak per a a aku e de gar a. Kupa da gi A ah da I u erga tia , meminta penjelasan.

De garka U le Da ial saja dulu, Le i, I u e ara ka , kale .

Sungguh? Ada orang lain? Aku tidak percaya.

I a, Le i. Ada ora g lai . Ba ak ora g lai , U le Da ial e eka ka , ora g lai di luar sa a a g sepertimu. Kebanyakan juga punya bakat, tapi tentu saja tidak sama. Kau tahu ereka dise ut apa?

Apa? Aku pe asara .

Ha la.

Huh?

Dengan sabar, uncle Danial mengeja kata asing pertamaku itu.

H-A-Y-L-A. Ha la.

Ha -la, aku ikut elajar e gu apka a. Ha la. Oke, lalu apa?

Uncle Danial terkekeh mendengar pertanyaanku. Aku jadi tampak bodoh, sumpah.

Page 10: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 10

Le i, uka ereka saja a g Ha la. Itu erarti kau juga.

Aku?

Ya.

Terus ke apa kalau aku juga Ha la?

Gubrak! Orang satu ruangan tertawa semua.

Itu arti a kau pu a sekolah se diri, Le i. “ekolah u tuk Ha la seperti u.

Aku hanya mematung. Tak tahu lagi harus berkata apa.

Page 11: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 11

Chapter III

“Bruk! Brak!”

Berguling-guling aku di kasur. Mau dalam posisi apapun juga sepertinya tetap tidak akan bisa tidur.

Aduh, padahal sudah jam segini, besok mau bangun jam berapa aku?

Menyerah, kubaringkan tubuhku telentang, menatap langit-langit dalam gelap. Obrolan tadi pagi

membuatku gundah seharian. Eh, gundah? Maksudku galau. Eh, sama sajalah. Terserah mau disebut

apa.

Kuhela napas panjang. Apa memang sebaiknya aku pergi ya? Pergi ke sekolah itu, sekolah untuk para

Hayla. Ah, tapi aku sendiri masih belum mengerti apa itu Hayla. Apa yang membedakannya dengan

orang-orang biasa? Apa yang membedakannya dengan orang tuaku yang bukan Hayla? Dengan

teman-temanku? Dengan yang lainnya?

Uncle Danial sendiri juga Hayla, tapi dia bilang sekolah akan memberikan penjelasan yang lebih baik

te ta g kau ka i i i. Jadilah ia tidak au e jelaska le ih jauh.

Jujur, aku juga pe asara de ga du ia Ha la a g se pat terselip dala perkataa a, tapi lagi-lagi ia tidak mau menjelaskan. Yeah, memang penuh rahasia sekali Uncle yang satu ini.

Hmm, tidak tahu lagi harus bagaimana supaya bisa cepat tidur, akhirnya aku hanya memainkan

lampu kamar. Dengan iseng menghidup-matikan saklarnya. Tanpa meninggalkan kasur. Alias

menggunakan kemampuanku.

Gelap. Terang. Gelap. Terang. Gelap... Terang... Gelap...

***

Kejar aku kalau isaaaaa!

Terkekeh aku sambil kehabisan napas, berlari sekencang mungkin. Ini sih bukan jogging lagi

namanya, sudah balapan sama Ayah begini.

Kalau waktu sekolah, biasanya jogging sendiri aku, tapi kalau liburan begini pasti Ayah ikut

menemani. Tapi ya itu, ujung-ujungnya malah balapan sampai rumah. Huh, dasar Ayah. Eh, aku juga

sih. Haha.

Yes! kua u gka kedua ta ga ku ke udara. Akhir a jadi a g perta a juga di rumah.

Ngos-ngosan, kubaringkan begitu saja badanku di rerumputan halaman rumah. Rasanya segar sekali!

Wuih...

Tak lama, Ayahku yang baru sampai, ikut menyusul dan berbaring di sebelahku. Kami berdua hening

sejenak, hanya terdengar helaan napas yang terengah-engah mengumpulkan oksigen.

Le i.

Yeah?

Page 12: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 12

Kau sudah e ikirka au ela jutka ke a a?

Aku tidak langsung menjawab. Kutatap awan pagi di atasku dengan berpikir, memilih jawaban yang

tepat.

Aku asih elu aki , Yah.

Kau tidak perlu pergi kalau tidak au.

Aku mengangguk, mengerti. Sudah dari kemarin Ayah mengatakan hal itu. Uncle Danial juga berkata

sama: ini bukan paksaan. Aku boleh tinggal kalau mau, tapi kalau ingin pergi itu lebih baik. Yeah,

karena di sanalah seharusnya tempatku. Di du ia Ha la itu. Buka di si i. Aku pu a akat, itu bagus. Tapi juga berbahaya bagi orang-orang di sekitarku. Aku butuh belajar mengendalikan bakat

itu, paling tidak supaya tidak melukai orang lain. Dan hanya di sana aku bisa mempelajarinya. Tapi

masalah a, aku ahka tidak tahu di sa a itu di a a?! Hellooo? Ada a g isa e eritahuku?

“e e ar a, Yah, aku i gi ti ggal u gkapku, jujur.

Ya udah, kalau egitu tidak usah pergi, ti pal A ah, gagal e e u ika seri gai a a g selebar Samudera Hindia. Eh, Samudera Pasifik saja yang lebih lebar.

Dalam hati sebenarnya aku curiga kalau Ayah dan Ibu memang tidak ingin aku pergi sejak awal.

Sepertinya karena mereka tidak menyukai kedatangan Uncle Danial, meski ia sebenarnya baik sekali.

Mereka tidak ingin ia membawaku pergi. Itu cukup jelas.

Tapi... aku ulai erujar. “eperti a aku perlu e ikirka a lagi.

Senyum Ayah sedikit pudar, tapi dengan berani, ia menutupinya dengan canda.

Me ikirka a? Ia e ulai. Me a g a kau isa e ikirka apa selain makan dan tidur? Kau

ka si Le i Laz . Haha.

A aaaaah! gera , ku u iti le ga a de ga ge as. Beliau ha a terta a saja, tidak ersusah payah menghindari cubitanku yang bahkan kalah dibanding cubitan nyamuk. Eh, maksudku gigitan

nyamuk. Mana ada nyamuk yang bisa mencubit?

Tak lama, akhirnya kami bosan juga berbaring terus. Sementara matahari mulai merayap naik, aku

dan Ayah lagi-lagi berlomba menuju dapur. Perut kami sudah keroncongan!

Pecel Lele! Makanan favoritku itu jadi menu sarapan hari ini. Ah, ibuku tahu saja aku sedang ingin

itu. Nyengir sendiri aku melihat makanan di meja.

Tanpa ampun, kulahap begitu saja semuanya. Yeah, cewek, kurus, tapi banyak makannya. Itulah aku!

Haha!

Ja ga se tuh sa al a, Le i, I u e gi gatka , takur kalau-kalau aku terlalu lahap makan

sampai lupa pantanganku yang pedas-pedas.

Aku mengangguk saja, masih sibuk dengan Pecel Lele-ku. Yeah, aku memang punya masalah

pencernaan sejak lahir jadi selama ini selalu menghindari makanan pedas dan berminyak. Dan sebisa

Page 13: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 13

mungkin berpola hidup sehat. Karena itulah aku harus rajin jogging setiap pagi. Hidup sehat itu

penting!

Aku juga punya ritual khusus setelah makan. Kau tahu apa? Bengong. Yeah, bengong. Intinya setelah

makan tidak boleh melakukan apa-apa. Harus diam sejenak beberapa saat. Tapi ujung-ujungnya juga

malah nonton TV, seperti yang kulakukan sekarang.

A ah, itu apa?

Kupandangi siaran berita hari itu dengan penasaran. Sebenarnya sih aku sedang mencari acara

kartun, tapi gambar ratusan lampu menyala-nyala sendiri dengan seorang pria di sebelahnya

membuatku tertarik.

Apa dia juga Ha la? ta aku lagi.

E tahlah, u gki saja.

Perutku melilit memikirkan soal Hayla lagi. Bukan hanya karena aku masih bingung mau pergi atau

tidak, tapi juga karena melihat bakat Hayla itu –sepertinya dia memang Hayla—luar biasa. Lihat saja,

dia bisa menyalakan lampu-lampu itu tanpa listrik dan hanya dalam satu kedipan mata. Bandingkan

saja denganku yang Cuma bisa menerbangkan beberapa helai daun? Oh, oke, mungkin dengan

ranting kalau sedang marah. Tapi tetap saja, nyaliku ciut.

Bagaimana kalau nanti aku memutuskan untuk ikut Uncle Danial tapi pada akhirnya didepak pulang

juga karena kurang berbakat? Ia bilang ini sekolah spesial. Bagaimana kalau ternyata aku tidak cukup

spesial? Aku menelan ludah, panik. Panas! Panas! Panas! Aku butuh air! Air!

Gerah menyaksikan pria itu memamerkan aksinya yang masuk Guiness Book of Records, akhirnya

aku nyelonong saja main ke rumah Dilya. Tentu saja, setelah pamitan pada orang tuaku. Kalau tidak,

bisa digoroklah aku.

Hari itu, teman-teman sekelasku sudah sepakat untuk pergi ke Bengawan Solo dan berkumpul di

rumah Dilya sebelum berangkat. Ini semacam acara perpisahan kelas.

Aku dan Dilya menunggu kedatangan teman-teman yang lain di ruang tamu sambil bermain

monopoli. Kami heboh sendiri, sedikit-sedikit teriak, sedikit-sedikit tertawa. Padahal ini, kan Cuma

monopoli. Tapi untungnya, orang tua Dilya sudah terbiasa dengan tingkah-polah kami yang super ini.

Ya maklumlah, kami sudah berteman sejak kecil, sudah seperti saudara. Kemana-mana berdua, apa-

apa berdua, bahkan dulu sering kalau memakai baju kembaran, apa-apa harus sama. Kami sampai

se pat dijuluki “i Ke ar Ti g-Ti g oleh keluarga da teta gga.

Tapi untung julukan itu sudah tidak populer lagi sekarang. Bisa malu aku kalau kemana-mana masih

dipanggil seperti itu. Pasang topeng ultraman sajalah! Eh?

Keri uha di ru ah Dil a se aki e jadi ketika satu persatu te a ka i data g. “e agia ikut bermain, sebagian lagi menyoraki dengan semangat. Aduh, ini kan Cuma monopoli, kenapa jadi

seperti adu ayam begini?

Page 14: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 14

Saat itulah rombongan terakhir datang. Geng rusuh ternyata, yang diketuai si Dani itu. Sampai saat

itu, tak terbersit sedikitpun pemikiran kalau acara yag bahkan dimulai saja belum ini dan seharusnya

menjadi acara meriah justru harus diakhiri lebih awal dan... errr, lihat sendiri sajalah nanti...

Aku dan Dilya, yang sudah tidak ikut monopoli, duduk menyendiri di pinggir kerumunan. Aku sibuk

mendengarkan curhatan Dilya yang sedang gundah karena hendak dimasukkan ke sekolah asrama

oleh orang tuanya. Tak kusangka, dibalik senyum dan tawanya saat bermain monopoli barusan,

ternyata ia sedang galau.

Kau serius? seruku tidak per a a, e galahka teriaka da he oh a pe o to o opoli.

Dilya itu murid paling pintar di sekolah. Di angkatan kami saja dia selalu juara satu. Harusnya masuk

ke SMP favorit cuma segampang orang ngupil. Coba bandingkan denganku, baru mau mendaftar saja

bisa-bisa langsung diusir oleh petugasnya. Hanya gara-gara tampangku yang meragukan.

Dua rius, Le i, ja a a, e eluk lutut de ga sedih. Aku tidak au asuk sekolah asra a. Aku au ke “MP saja de ga u da a g lai a.

Hatiku mencelos. Dilya tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak yakin apakah nanti

akan ke SMP atau tidak. Masalah Hayla ini masih membuatku bingung. Tapi bagaimana aku bisa

memberitahunya? Kan, tidak ada satu orang pun yang boleh tahu tentang Hayla. Aduh, bagaimana

ini?

Err, kau sudah erusaha i ara de ga ora gtua u?

“udah, ja a a, e ga gguk.

Aku berpikir sejenak. Harusnya aku bersikap bagaimana ya? Posisiku serba salah ini.

Bagai a a kalau—

Baru juga mau bicara, tiba-tiba saja si Dani berdiri di tengah ruangan dan berteriak lantang sekali.

TEMAN-TEMAAAAAAAAAN!

Otomatis semuanya berusaha menyelamatkan gendang telinga masing-masing.

“udah ku pul se ua, ka ? A o era gkat!

Eh? Jadi teriak sekencang itu Cuma untuk menyuruh berangkat? Parah ini ketua kelas. Eh, mantan

ketua kelas. Kita kan sudah lulus. Untungnya...

Sementara yang lain sudah siap dengan sepeda masing-masing, aku masih harus buru-buru

mengambil sepedaku sendiri.

Aku ikut, kata Dil a, e u tutiku ke ru ah. Dia a ti e o e g aku soal a.

A ah! seruku dari dala garasi, erusaha e geluarka sepeda ututku. Yeah, i i uka garasi

sungguhan sebenarnya, Cuma lorong panjang yang disulap menjadi tempat penyimpanan sepeda

dan barang tidak terpakai.

Page 15: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 15

Aku ke Be ga a “olo a? aku i ta izi , sa il di a tu Dil a e geluarka sepeda dari to poka ro gsoka . De ga Dil a da te a -te a sekelas juga.

Oke, ja a a sa tai. Bisa ku a a gka A ah seda g duduk a is e a a kora sekara g. Asal ja ga ikut e plu g saja ke su gai a.

Huh? Kupasang tampang jelek. Tidak siang tidak malam sukanya bercanda saja Ayahku ini.

Sementara itu Dilya terkikik dibuatnya.

Begitu sepedanya berhasil dikeluarkan, aku buru-buru bergabung dengan rombongan dengan Dilya

membonceng berdiri di belakang. Kami siap berangkat!

Tak tahunya, ketika semuanya tampak akan menyenangkan, tanpa sengaja tatapanku jatuh ke tiang

listrik di dekat rumah Dilya, Entah kenapa, rasanya aku harus melihat ke arah sana, seperti ada yang

menarik perhatianku.

A o jala , Le i, Dil a e epuk ahuku dari elaka g. Melihatku tidak erge i g, ia e gikuti arah pandanganku.

Kau lihat apa sih?

Krek! Krek! Krek!

Uh oh! Bencana!

Tiba-tiba tiang listrik itu berderak, perlahan mulai miring. Lalu kres! Kres! Kres!

Kabel-kabel listriknya putus satu per satu, berayun-ayun dengan percikan apinya yang mengerikan...

AAAAAAAAAAAARGH!

LARIIIIIII!

Seketika semua orang berteriak dan kalang kabut menyelamatkan diri. Sepeda mereka terbengkalai

begitu saja. Ibu-ibu berdaster dan menenteng tas belanja dari pasar yang kebetulan lewat juga ikut-

ikutan berteriak histeris.

Ouwoooooo uwoooo!!!

Eh? Ini siapa lagi yang berteriak ala Tarzan begini? Orang sedang panik juga...

Tanpa mempedulikan teriakan, seruan, dan histerisnya orang-orang, aku tetap berdiri terpaku

dengan sepedaku. Telapak tanganku berkeringat memegang stang, bibirku komat-kamit bak baca

mantra, jantungku berdebar tak karuan seakan sedang berpacu mengejar waktu.

Ja ga ro oh, ja ga ro oh, ja ga ro oh.

Aku sudah panik saja bakatku tidak bekerja sama sekali, padahal sudah ngos-ngosan begini. Dan aku

makin panik ketika menyadari tiang itu akan jatuh ke arah.... Dani!

Si Dani yang masih duduk di sadel sepedanya dengan telinga tersumpal head-set. Tidak menyadari

keadaan sekitarnya.

Page 16: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 16

Halloooha! Bagaimana ini? Bagaimana ini? Aku ketar-ketir seperti cacing kepanasan.

Tak ayal, kukeluarkan semua kekuatan terakhirku untuk menyingkirkan tiang listrik itu sejauh

mungkin dari Dani. Yang penting tiang itu harus menyingkir!

Dan hap!

Tiang itu terpelanting dengan sendirinya, seakan ada yang menariknya paksa.

Wuih! Hampir saja. Kuhela napas lega, mengusap dahiku yang berkeringat. Akhirnya beres juga...

Atau tidak.

Aaaaaaaaaaaargh!

Kudengar suara Dilya menjerit. Aku menoleh ke belakang, ternyata ia sudah tidak ada di boncengan.

Dia sudah lari menyelamatkan diri dengan teman-teman yang lain.

Lalu untuk apa dia menjerit? Dia kan baik-baik saja.

Tak kusangka, kudapat jawabannya saat itu juga.

BRUK! BRUK! BRAK! GEDUBRAAAAAK!

Aku melongo. Tiang itu akhirnya tidak mengenai Dani, tidak juga mengenai orang lain. Tapi tiang itu

mengenai... err, rumah Dilya.

Aku menelan ludah, panik tingkat dewa. Mati aku! Sumpah, mati aku!

A ah! I u! Dil a erlari e uju ru ah a, e ari-cari orangtuanya.

Aduh, mudah-mudahan orangtuanya baik-baik saja, tidak ada yang terluka. Ya Tuhan, jangan sampai

ada yang terluka, Ya Tuhan. Kumohon.

Pintu-pintu rumah tetangga menjeblak terbuka. Semua orang berhamburan keluar ingin melihat apa

yang terjadi. Begitu tahu apa yang terjadi, sebagian justru ikut-ikutan histeris. Tapi untungnya

sebagian yang lain cukup waras untuk bahu-membahu mencari orangtua Dilya. Sepertinya mereka

pikir orangtua Dilya tertimbun reruntuhan bangunan. Oh, tidak! Jangan sampai!

Le i!

Ayah berlari ke arahku. Dengan kelegaan luar biasa melihatku baik-baik saja, ia menggendongku dan

mendekapku di pelukannya. Sepedaku berkelontang begitu jatuh menyentuh tanah.

Yeah, dari tadi aku terlalu shock untuk bisa merespon apa pun. Jadi lega rasanya begitu mempunyai

sesuatu yang bisa dipeluk: Ayahku.

Kau tidak apa-apa, sa a g? ujar a, e dekapku erat sekali.

Aku hanya mengangguk saja, belum bisa berkata apa-apa. Kubenamkan wajahku di bajunya, rasanya

ingin menangis. Ya Tuhan, maafkan aku... Boleh kan aku dimaafkan?

Mereka sela at! Mereka sela at!

Page 17: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 17

Terdengar riuh rendah sorakan gembira dari kerumunan. Menghapus air mataku, kulihat kedua

orangtua Dilya berjalan tegap keluar dari belakang rumahnya, tanpa cacat sedikitpun. Dan Dilya

langsung menyambutnya antusias...

Aku hanya bisa tersenyum, masih berusaha membendung mataku yang bocor dengan air mata.

“udah kita pula g dulu. I u u e as a ti, kata A ah, e opo gku ke ali ke ru ah. Sepertinya beliau tidak sadar kalau aku menangis.

Dari balik bahu Ayah, kulihat semakin banyak orang mengerumuni rumah Dilya yang dihantam tiang

listrik itu. Di antara mereka, Dilya tampak bahagia dipeluk orangtuanya. Lalu ia menoleh ke arahku,

kuharapkan senyum lebar terlepas dari wajahnya... Tapi ternyata tidak, yang ada justru wajah

muram dan tatapan tajam yang ia layangkan. Dengan dingin, ia kemudian memalingkan muka

dariku...

Itu uka salah u, Le i. Lagi-lagi Ibu berusaha meyakinkanku. Tapi tetap saja aku memasang

muka manyun.

Tapi agai a a kalau aku a g e uat tia g itu ro oh?

Aku masih murung soal kejadian kemarin. Kupikir aku hanya menggunakan bakatku untuk

menyingkirkan tiang itu dari Dani yang tentu saja justru tanpa sengaja menimpa rumah Dilya. Tapi

agai a a, agai a a kalau sejak a al e a g aku a g e uat tia g itu ro oh? Masih i gat bagaimana aku tiba-tiba merasa tertarik menatap tiang itu. Mungkinkah pada saat itu sebenarnya

aku sudah menggunakan kekuatanku tanpa sadar hingga membuatnya roboh? Pikiran itu

membuatku bergidik dan merasa bersalah.

Me a g a ka u seda g arah aktu itu? ta a A ah, hilir udik e a tu I u e iapka makanan.

Tidak. Aku e ggele g.

Kalau egitu uka kau a g elakuka a.

Sementara Ayah dan Ibu tampak sibuk, aku hanya duduk saja di meja makan dengan lesu.

Kutangkupkan kedua tanganku di meja dan kuletakkan kepalaku di atasnya, merasa tidak

bersemangat.

“udah, dari pada uru g terus, si i a tu I u.

Aku tidak bergerak, masih setia menggelayut di atas meja. Tiba-tiba mejanya jadi berasa seempuk

kasur lho. Sungguh. Tapi ujung-ujungnya beranjak juga sih, setelah Ayah mengangkatku paksa dari

kursi. Ia menyuruhku membawakan makanan ke tempat Dilya. Untuk warga desa yang sedang

bergotong royong membantu memperbaiki rumahnya. Padahal Ayah juga sebenarnya bisa

membawanya sendiri. Beliau kan ikut gotong royong juga, jadi bisa sekalian. Tapi ya sudahlah, nasib

menjadi anak tunggal. Ngesot-ngesot deh aku ke sana.

Di tempat Dilya pun nasibku tidak lebih baik. Ia masih tidak mau berbicara denganku. Yeah, dari

kemarin ia selalu membisu dan menghindariku. Aku tak tahu kenapa. Tapi untunglah dia mau bicara

Page 18: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 18

juga setelah terus-menerus kupojokkan. Tak kuduga, jawaban Dilya justru membuatku serasa diiris-

iris bagai bawang yang mau dicapcai.

Aku tahu kau a g elakuka a, desis a pe uh a arah. Aku elihat u. Kau isa elakuka ... e tah apa a a a. Kau jahat! Kau i gi e elakaka ku!

Begitulah, kata-kata terakhir yang diucapkannya padaku. Aku langsung merasa lemas.

Dengan latar belakang suara gergaji dan ketukan palu orang-orang yang sedang memperbaiki rumah,

kududuk sendirian di atas tiang roboh yang belum disingkirkan. Pandanganku menunduk menekuri

tanah, membulatkan satu tekad dalam benakku. Aku akan pergi. Ke sekolah Hayla itu. Apa pun yang

terjadi.

Page 19: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 19

Chapter 4

“Ningen”

Kudekap kotak itu di pangkuanku dengan sayang. Isinya sepatu baru yang selama ini kuidam-

idamkan. Oh, rupanya masih tidak percaya Ayah mau membelikannya sekarang, padahal dulu melirik

saja tidak berani karena mahal. Ah Ayah, kadang ia memang suka bersikap manis... Aw!

Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan apa yang ia tulis di atas tutup kotaknya. Coba lihat:

Ayah dan Ibu selalu bersamamu. Di mana pun kau berada.

Ia menambahkan smiley senyum di bawahnya. Uuh, manis sekali kan Ayah ku ini. Jadi makan sayang

deh. Kupeluk kotaknya makin erat...

Sepatu ini benda terakhir yang diberikan Ayah sebelum berangkat. Beberapa hari sebelumnya, Ayah

dan Ibu memang sibuk mempersiapkan keberangkatanku, membelikan banyak sekali barang untuk

dibawa ke sana. Dari pakaian, tas, alat tulis, obat-obatan bahkan... senter dan kompas! Aduh,

orangtuaku ini memang berlebihan perhatiannya. Mau sekolah kok diberi senter dan kompas.

Dikiranya mau camping kali ya?

H , seperti a kita harus e u ggu le ih la a di si i. Kude gar U le Da ial i ara di se elahku. Aku e ga gguk ke arah papa . Pesa at a ditu da ke era gkata a.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Kuedarkan pandanganku ke penjuru tempat, memperhatikan

orang-orang yang lewat di depan kami, hilir mudik membawa tentengan yang besar-besar. Rasanya

masih aneh bagiku berada di sini. Seumur-umur baru pertama kali aku menginjakkan kaki di

bandara.

Hmm, dua jam. Rasanya lama sekali kami menunggu. Sampai akhirnya pesawat kami datang juga.

Dan tercatatlah hari ini dalam buku sejarahku: hari pertama aku naik pesawat! Eh? Yeah, biasanya

kan tiap hari aku Cuma naik angkot, jadi rasanya... hmm... bagaimana ya... Yang jelas, di sini tidak

ada ibu-ibu dari pasar yang membawa ayam hidup. Ya iyalah!

Tak ada yang seru di pesawat. Semuanya tampak tenang dan damai. Coba kalau di angkot, dikit-dikit

pasti kernetnya teriak, Pasar Nusuka ! “tasiu Balapa ! atau Dahulukan yang turun! Dahulukan

a g turu ! da kalau seda g arah, Woi! Bisa lihat ggak sih! A gkot Ba g Ku is au le at! Sampai tuli lah itu kalau di angkotan umum. Huf, sepertinya aku akan merindukan hal semacam itu

nanti. Hmm...

Setibanya di... entah negara mana, sebuah jam sudah menunggu kamu dengan gagahnya. Aku tidak

tahu kenapa Uncle Danial harus memakai jeap kalau taksi saja sudah berjejer antri di depan bandara.

Oh, kalau saja aku tahu alasannya, mungkin aku sudah bersiap-siap sejak awal. Bersiap-siap terantuk,

kejedot, terciprat genangan air, sampai isi perut diaduk-aduk. Yeah, rasanya luar biasa. Luar biasa

menguras kesabaran! Ini jalan atau tempat berkubang kerbau sih? Jelek sekali.

Page 20: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 20

Setelah berjam-jam rasanya tubuhku disiksa di kursi penyiksaan, akhirnya jalanan mulai ramah lagi.

Huf, lega rasanya mendengar deru mesin yang halus tanpa suara heboh gedebak gedebuk duar! Ah,

akhirnya...

Kupikir kami sudah hampir sampai. Sementara kami masih melaju, kulihat di kejauhan titik-titik

cahaya terpantul dari bentangan biru laut. Jadi, sekolahku di dekat pantai? Kedengarannya asik.

Laju jeap Uncle Danial mulai melambat. Di depan kami terlihat pos penjagaan ketat yang sepertinya

melindungi batas wilayah tertentu. Pagar kawat membentang lebar di kedua sisi pos itu.

Uncle Danial menghentikan jeap-nya di depan palang pintu. Seorang penjaga berseragam tentara

mendekati kami dan bicara pada Uncle Danial. Berhubung Bahasa Inggrisku lumayan bagus (ihir,

sombong dikit boleh dong?), bisa kutangkap beberapa bagian pembicaraan mereka.

Ta da pe ge al? kata si pe jaga.

Uncle Danial mengeluarkan sebuah kartu merah dari dompetnya. Ajaib, kartu itu berubah warna

begitu dipegang si penjaga. Jadi kuning! Aku melongo saja sementara mereka masih bicara.

...sekolah? Ha a itu kata yang bisa kumengerti, sementara si penjaga melirikku melewati Uncle

Danial.

Ya, urid aru.

.... Ta pa ada satu kata pu a g isa kuta gkap, ti a-tiba saja si penjaga menyodorkan kartunya

padaku.

“e tuhlah, U le Da ial e jelaska .

Kupegang kartu itu dan warnanya tetap kuning. Si penjaga mengangguk, menarik kartunya lagi dan

mengembalikannya pada Uncle Danial. Di tangannya, warna kartu itu berubah merah lagi. Wow, aku

Cuma bisa melongo kagum.

Palang di depan kami terangkat dan kami dibiarkan lewat.

Uncle Danial melaju perlahan sekarang. Kami menuju... pelabuhan? Uh oh! Perjalanan kami belum

usai ternyata. Ngomong-ngomong sekolahnya sebenarnya ada di mana ya? Sepertinya terpencil

sekali.

Hanya ada satu kapal yang terlihat di pelabuhan itu. Kapal uap besar yang tampaknya sudah mau

berangkat. Seorang petugas kapal buru-buru menghampiri, membawa troli besar yang langsung

terisi dengan koper-koper kami. Uncle Danial menggesekkan kartu merahnya di sisi troli. Hap!

Terdengar bunyi klik keras tanda kalau troli itu sudah mengunci koper kami, tidak bisa dibuka oleh

orang lain selain pemegang kartu. Sungguh, itu troli paling keren yang pernah kulihat!

Ternyata bukan kami saja yang hampir terlambat. Ada dua mobil lagi yang datang dengan terburu-

buru... Atau tiga?

Aku dan Uncle Danial sudah hendak memasuki kapal ketika kulihat sesuatu di langit. Kusipitkan mata

melihat benda itu, terbang makin rendah ke arah kami. Untuk kesekian kalinya, aku melongo,

Page 21: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 21

melihat sebuah mobil mendarat berkelontangan di dermaga. Mobil? Mobil bisa terbang? Dalam hati

aku mempertanyakan kewarasanku sendiri.

A o, Le i. Ti a-tiba saja Uncle Danial menarikku masuk. Terseok-seok aku melewati pintu kapal.

Tadi itu apa? ta aku, asih pe asara .

Itu skycab, taksi terbang, kau akan le ih seri g elihat a di Alerio .

Alerion? Jadi itu nama tempat yag sedang kami tuju? Akhirnya Uncle Danial mau menyebutnya juga.

Tapi jujur! Tak bisa kubayangkan Alerion itu seperti apa. Seumur-umur aku tidak pernah melihat

nama Alerion di Peta Dunia. Hah? Peta Dunia? Lagakku. Peta Indonesia saja aku tidak ingat

bentuknya. Tet tot!

Menjadi penumpang kelas Ekonomi membuatku dan Uncle Danial hanya mendapat tempat duduk

plastik bersama puluhan penumpang lain. Kuperhatikan mereka memanfaatkan banyak kursi kosong

sebagai tempat tidur dadakan.

Kududuk di dekat jendela, tempat favoritku memang itu. Uncle Danila di sebelahkku, masih sempat-

sempatnya membaca koran. Judulnya The Compast. Hmm, namanya mirip nama koran yang sering

dibaca Ayah di rumah. Tapi setelah itu aku iseng ikut mengintip isinya, ternyata... ternyata oh

ternyata, isinya berbeda sekali!

Gubrak! Ya iyalah, kalau koran yang dibaca Ayah isinya pencurian motor atau perampokan bank,

a g satu i i isi a... errr, Me ara E ergi Padam, Alerion Gelap Gulita ? Pe usup Data g, Cela a Dala PM Mela a g ? Huh? Berita a a apa i i?

Tut! Tut! Tut!

Peluit Siren Twins terdengar lantang, mengalihkan perhatianku dari koran ajaib itu. Dengan lesu, aku

memandang keluar jendela, sementara kapalnya mulai bergerak meninggalkan dermaga. Hmm, atau

yang seharusnya begitu?

Siren Twins tidak juga bergerak. Yang ada jsutru terdengar bunyi berkelontang aneh seperti logam

yang dipukul-pukul dan dipatahkan. Kulihat sekeliling, kapalnya tampak baik-baik saja dari dalam

sini.

Lalu kurasakan goncangan pelan saat kapal mulai... tenggelam? Garis permukaan air laut makin

tinggi saja di jendelaku. Aku tidak mengerti.

Kapal a aka e ela i lauta e uju Alerio .

Aku terlonjak kaget mendengar Uncle Danial tiba-tiba bicara. Dasar ini si Uncle Bule, suka sekali

mengagetkan orang. Aish!

U le Da ial ila g e ela i ?

Eh, jangan bilang-bilang ya kalau aku suka menyebutnya Uncle Bule di belakangnya. Rahasia kita saja

ini. Sst!

Page 22: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 22

I a kita aka ele ati a ah laut. “uara erkelo ta ga tadi itu suara badan kapal yang

e gu ah e tuk diri a e jadi ada kapal sela .

O, aku elo go ulat e de gar pe jelasa a. “u gguh, tak peduli etapa keras aku erusaha, Uncle Danial selalu bisa membuatku kagum.

***

Siren Twins terus melaju menyelami lautan. Keluarga di depanku ramai sekali dari tadi. Kedua anak

laki-laki dan perempuannya, yang sepertinya sebaya denganku, heboh terus menanyakan Alerion.

Sepertinya ini juga pengalaman pertama mereka menuju dunia Hayla itu.

A ah, ke apa kita tidak sekolah di Alerio saja? “i a ak pere pua ti a-tiba menyela ayahnya.

I a, siapa tahu kita isa diteri a di Ga esha atau “ erki g High, si a ak laki-laki ikut nimbrung.

Kita ke Alerio u tuk erli ur, tidak usah e ikirka sekolah terus.

Tapi, Yah, kita ka i gi jadi Ha la su gguha .

Tidak perlu sekolah di sa a u tuk jadi Ha la su gguha .

Si anak perempuan itu manyun. Ia terus merajuk didukung oleh saudara laki-lakinya yang

mengangguk dan mengiyakan dengan berlebihan. Ibu mereka tampak cuek saja, sibuk tersedu

menyaksikan sinetron yang diputar di TV kabin.

Sementara keluarga itu heboh sendiri, kuperhatikan penumpang lain punya kesibukan masing-

masing. Seorang pria lusuh tidur berbaring (dan ngiler) di atas kursi. Barang bawaannya berserakan

di lantai dengan isinya mencuat dan berhamburan keluar. Tadi dia ribut dengan petugas karena tidak

mau menitipkan barangnya.

Sepasang muda-mudi, dengan sangat percaya diri, memakai kaos dan kaca mata kembar. Mereka

narsis sekali, berpose dan berfoto di setiap sudut kabin. Kesenangan mereka hanya diganggu oleh

dua anak laki-laki yang berlarian dan saling kejar kesana-kemari. Dua-duanya membawa bola kecil

a g selalu eletus dar! setiap kali dile par. Da ereka pu a a ak ola u tuk dile par ke segala penjuru. Ricuh sekali di sini. Aaaaaargh!

Kusandarkan kepalaku di lengan Uncle Danial, merasa sangat lelah dan mengantuk. Kepalaku sudah

terkantuk-kantuk berkali-kali dan mataku hampir terpejam ketika kudengar teriakan seseorang yang

disambung oleh teriakan-teriakan lainnya.

Aaaargh! Apa itu? Tak kusa gka aku ikut erseru juga.

Dinding kapalnya menghilang.

Oke, mungkin tidak benar-benar menghilang, tapi yang jelas aku tidak melihatnya. Seluruh

dindingnya berubah menjadi sebening kaca, bahkan sampai ke lantai-lantainya. Kami jadi seperti

sedang berdiri di tengah laut sekarang ini, bisa melihat seluruh isinya. Ehm, lebih tepatnya isi lautan

yang menyaksikan kami. Uh-oh!

Page 23: Lexiana Harris - workstory.s3.amazonaws.com filebisa mengendalikan diri. Ah, ibu. ^> Æ]Ul v iu P]v] µ µovPM_ ^ ZUlµ ]XXX Zv^lµov P µvPl}u -kamit mencari alasan. ^< uv il

I s t i M a i s a r o h | 23

Seperti makhluk itu. Yeah, makhluk itu, yang menatap kami dengan mata bulatnya dari balik kaca.

Tubuhnya luar biasa besar, berwarna putih dan memiliki sirip. Tapi dia punya kepala bulat dan

sepasang tangan berjari tiga. Ngomong-ngomong, dia tidak punya mulut lho.

Itu—apa? ula gku ter ata. Kupasang tampang jelek, mencengkeram lengan Uncle Danial bagai

anak anjing ketakutan.

Itu Ni ge , Le i, ujar U le Da ial de ga sa tai a, tidak er aha a, te a g saja. Dia u gki ha a pe asara .

Penasaran? Oh yeah benar sekali, pikirku sedikit sarkastis. Si Ningen itu meletakkan telapak

tangannya di sisi jendelaku. Dekat sekali dengan wajahku, sungguh! Kepalanya meneleng ke kanan

dan ke kiri, memperhatikan isi kapal. Dikiranya kami ini kolam ikan kali ya? Kami semua menahan

napas melihatnya. Yeah, kecuali Uncle Danial dan beberapa orang lain yang sudah terbiasa

dengannya.

Tak lama akhirnya si Ningen itu berenang pergi. Mungkin dia sudah puas melihat-lihat. Yeah, mau

bagaimana lagi, sepertinya kami memang sudah seperti akuarium manusia baginya. Err...

Yak, aru saja kita saksika seekor Ni ge , salah satu akhluk laut Ha la a g terke al, kude gar sa uta dari pe geras suara di pojoka ka i . Dua ja kedepa pe u pa g sekalia isa menikmati panorama laut yang mempesona ini sebelum jendela kapal akan ditutup pada tengah

ala . Jadi sela at e ik ati da teri akasih.

Dua jam! Dua jam aku bisa cuci mata. Asyiiiiik!

Yup, asik sekali. Niatnya mau terjaga sampai tengah malam, kau tahu melihat panorama laut Hayla

dan isinya. Tapi dasar memang akunya payah (dan tukang tidur kalau perlu kutambahkan), jadilah di

menit pertama kepalaku sudah terkulai di bahu Uncle Danial... Aku tertidur lelap, bermimpi aneh

dikejar-kejar Ningen di laut lepas. Dan baru terbangun ketika kaget melihat Ningen itu berubah

wujud menjadi Ayahku yang tertawa ngakak. Dasar Ayah, bahkan di dalam mimpi pun masih suka

menggangguku. Zzzz...

Untungnya tak banyak yang kulewatkan saat aku ketiduran. Uncle Danial bilang banyak makhluk

Hayla yang tidak muncul hari ini. Yes, tidak begitu menyesal sudah ketiduran tadi. Haha.

Dan memang tidak ada yang perlu disesalkan begitu kami tiba di Alerion. Yak, kami sudah sampai.

Selamat datang di dunia Hayla!