limbah cangkang udang

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini banyak sekali limbah yang tidak bisa di pergunakan lagi atau tidak bisa di daur ulang. Hal itu sangat mempengaruhi kehidupan manusia dimasa mendatang, karena lingkungan merupakan salah satu penentu faktor manusia bisa hidup dengan nyaman. Namun, agar hal itu tidak terjadi maka saat ini mulai dicanangkan program daur ulang limbah yang ternyata bisa dipergunakan kembali. Salah satu contohnya adalah limbah cangkang udang yang banyak sekali dibuang. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas, Indonesia mempunyai potensi besar untuk produksi udang. Diperkirakan produksi udang per tahun mencapai 130 ribu ton untuk sumber air laut, dan 82 ribu untuk sumber air payau, atau total sebesar 212 ribu ton (Santoso, 1990). 1

Upload: ilfi-rahmi

Post on 27-Dec-2015

75 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

mengawetkan kayu menggunakan limbah cangkang udang

TRANSCRIPT

Page 1: Limbah Cangkang Udang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini banyak sekali limbah yang tidak bisa di pergunakan lagi atau tidak bisa di

daur ulang. Hal itu sangat mempengaruhi kehidupan manusia dimasa mendatang, karena

lingkungan merupakan salah satu penentu faktor manusia bisa hidup dengan nyaman.

Namun, agar hal itu tidak terjadi maka saat ini mulai dicanangkan program daur ulang

limbah yang ternyata bisa dipergunakan kembali. Salah satu contohnya adalah limbah

cangkang udang yang banyak sekali dibuang.

Sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas, Indonesia mempunyai

potensi besar untuk produksi udang. Diperkirakan produksi udang per tahun mencapai

130 ribu ton untuk sumber air laut, dan 82 ribu untuk sumber air payau, atau total sebesar

212 ribu ton (Santoso, 1990).

Udang merupakan salah satu andalan komiditi perikanan Indonesia yang diekspor ke

luar negeri dalam bentuk tanpa kepala atau tanpa kepala dan kulit (dikupas). Dari

aktivitas pengambilan daging udang oleh industri pengolahan/pembudidayaan udang

dihasilkan limbah kulit udang oleh (cangkang) cukup banyak yang jumlahnya dapat

mencapai sekitar 30-40 % dari berat udang, tergantung bentuk olahannya (Soegiarto,

Toro, Soegiarto, 1979).

Selama ini, limbah kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai tepung dan campuran

pakan ternak, tetapi pemanfaatan ini belum dapat mengatasi limbah kulit udang secara

1

Page 2: Limbah Cangkang Udang

maksimal. Dengan melihat kandungan dalam cangkang kulit udang, maka limbah kulit

udang dapat dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih

tinggi, salah satunya dengan chitosan. Chitosan ini bisa digunakan dalam proses

pemanfaatan kayu.

Kayu saat ini banyak dipergunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan, mulai

dari kayu bakar sampai bahan bangunan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena

kayu merupakan sumber daya alam yang mudah diperoleh, bersifat terbarukan

(renewable), mudah dalam pengolahannya serta memiliki penampilan yang dekoratif.

Disamping sifat-sifat yang menguntungkan kayu juga memiliki kelemahan, yaitu

sangat mudah diserang atau dirusak oleh faktor biologis seperti jamur, bakteri, serangga

dan cacing laut sehingga dapat menurunkan kekuatan dan masa pakai kayu. Kondisi

tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menggunakan kayu-kayu yang

memiliki keawetan alami tinggi . Akan tetapi jenis kayu yang memiliki kelas awet tinggi

sangat sedikit yaitu hanya 15% dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, maka

ketergantungan pada jenis-jenis kayu ini harus dihilangkan.

Dilain pihak masih sekitar 85% kayu Indonesia terdiri dari kayu-kayu tak dikenal,

jarang digunakan dan memilki kelas awet rendah. Salah satu upaya untuk memanfaatkan

kayu yang mempunyai keawetan rendah adalah dengan cara pengawetan. Dengan cara

pengawetan, kayu yang mempunyai kelas awet rendah dapat dipakai untuk keperluan

konstruksi dan memiliki masa pakai yang lebih panjang. Dengan cara pengawetan, kayu

akan menjadi lebih tahan terhadap makhluk hidup perusak kayu seperti serangga dan

jamur.

2

Page 3: Limbah Cangkang Udang

1.2 Perumusan Masalah

1. Apa saja kandungan kulit udang?

2. Apa itu chitin dan chitosan?

3. Bagaimana chitosan berpengaruh pada pengawetan kayu?

4. Bagaimana cara mengawetkan kayu menggunakan limbah cangkang udang?

1.3 Identifikasi Masalah

Tahap awal untuk pemahaman dan penguasaan masalah, perlu dilakukan identifikasi

masalah. Identifikasi masalah dimaksudkan agar suatu objek lebih jelas dalam kaitannya

dengan situasi tertentu yang menjadi permasalahan. Berdasarkan latar belakang masalah

yang dikemukakan, dapat dituliskan beberapa identifikasi sebagai berikut:

1. Limbah cangkang udang yang semakin banyak terbuang dan tidak dipergunakan

kembali.

2. Kayu di Indonesia termasuk dalam kayu kelas awet rendah, maka diperlukan

pengawetan kayu.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan:

1. Mengurangi limbah cangkang udang di lingkungan.

2. Memanfaatkan limbah cangkang udang untuk pengawetan kayu.

3. Mengetahui proses pengawetan kayu menggunakan limbah cangkang udang.

1.5 Metode Penulisan

Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal dari studi literature yaitu “Green

Chemistry” yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya

3

Page 4: Limbah Cangkang Udang

karya ilmiah ini. Studi literatur ini didapatkan dari buku-buku, jurnal ilmiah, internet, dan

sebagainya.

Data-data diperoleh dengan pengumpulan data yang didapat dari internet dan

buku. Karya tulis ini ditulis dandibuat dengan menggunakan aturan Bahasa Indonesia

yang baku dengan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan, sederhana, dan jelas.

4

Page 5: Limbah Cangkang Udang

BAB II

ISI

2.1 Kulit Udang

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang

tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang

mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (CaCO3) (45% - 50%), chitin (15% - 20%)

dan 19,4% komponen lain seperti zat terlarut. Kulit udang juga mengandung karoten astaksantin

0,02%. Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.

Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu : epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan

epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada lokasinya, di daerah kepala

tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri

dari 38,7% zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan

protein dari kulit yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum

moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula yang lama,

kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam

eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut menjadi sempurna. Pertukaran

kalsium antara cairan tubuh dengan air laut berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap

dan 79% dikeluarkan.

Gambar 1. Udang

5

Page 6: Limbah Cangkang Udang

2.2 Chitin

 Chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu “chiton”, yang berarti baju rantai besi,

pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang

dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula

serangga jenis ekstra yang disebut dengan nama chitin. Chitin merupakan konstituen organik

yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan

nematoda. Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi

berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Chitin tidak hanya terdapat

pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trakea, insang, dinding usus, dan

pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi. Adanya chitin dapat dideteksi dengan reaksi warna

Van Wesslink. Pada cara ini chitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat,

kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna

dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya chitin.

 Chitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan

merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-

glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Struktur chitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang

terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi b-(1-4).

Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang

kedua pada chitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga chitin menjadi sebuah

polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).

            Chitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat yang tak berbentuk

(amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan

6

Page 7: Limbah Cangkang Udang

pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Chitin kurang larut

dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit.

Gambar 2.2.1 Struktur Chitin

Gambar 2.2.2 Struktur Selulosa

Dari gambar diatas secara struktural terdapat perbedaan antara chitin dengan sellulosa

dilihat dari gugusnya dimana chitin termasuk kedalam heteropolimer dan sellulosa termasuk

homopolimer. Chitin merupakan polimer alamiah (biopolymer) dengan rantai molekul yang

sangat panjang dengan rumus molekul dari chitin yaitu [C8H13O5N]n. Dari rumus molekul

tersebut maka berat molekulnya [203,19]n. Penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa zat chitin

dari crustacea mempunyai bentuk sel rhombik dengan dimensi a = 9,40 A; b=10,46 A ; c=19,25.

Tiap sel terdiri dari 8 unit acetylglucosamine, dimana gugus acetylaminonnya saling berganti-

ganti dari unit satu ke unit berikutnya. Karena chitin mempunyai molekul dengan berat yang

7

Page 8: Limbah Cangkang Udang

besar dan sangat panjang maka tidak dapat diukur dengan pasti. Spesifikasi chitin secara umum

dapat dilihat di Tabel 2.1.

Tabel 2.2.1 Spesifikasi Chitin

Spesifikasi Keterangan

Kadar air 2-10% pada keadaan normal

Nitrogen 6-7%

Drajat deasetilasi Umumnya 10%

Abu pada suhu 900 oC umumnya , 10%

Konstanta disosiasi K1 6 - 7%

Asam amino Glisin,serin dan asam aspartat

Chitin merupakan polimer alamiah yang dapat di temukan di alam berbeda-beda tergantung pada

sumbernya. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.2

Tabel 2.2.2 Persentase Chitin pada BinatangSumber % Chitin

Fungi (jamur) 5-20%

Worms(cacing) 3-20%

Squigs/octopus (gurita) 30%

Spiders (laba-laba) 38%

Scorpions (kalajengking) 38%

Cockroaches (kecoa) 35%

Water beetle (kumbang air) 37%

Silk worm 44%

Hermit crab 69%

8

Page 9: Limbah Cangkang Udang

Kepiting 71%

Udang 20-30%

Chitin merupakan salah satu tiga besar dari polisakarida yang paling banyak ditemukan

selain selulosa dan zat tepung. Chitin menduduki peringkat kedua setelah selulosa sebagai

komponen organic paling banyak di alam. Selulosa dan zat tepung merupakan zat penting bagi

tumbuhan untuk membentuk makanannya ( zat karbohidrat ) dan pembentukan dinding sel.

Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk

pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara

komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin, namun

limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari

pembuatan udang.

2.3 Chitosan

Chitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan

turunan dari chitin melalui proses deasetilasi. Chitosan juga merupakan suatu polimer

multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil

primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan chitosan mempunyai kreatifitas

kimia yang tinggi.

9

Page 10: Limbah Cangkang Udang

Gambar 2.3.3 Struktur Chitosan

            Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut

dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun,

mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu

chitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh

karena itu, chitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan

induistri kesehatan.

2.4 Limbah Kulit Udang

Saat ini budidaya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang

merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas

dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang

di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian

kepala, kulit, dan ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan

pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian

jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi.

10

Page 11: Limbah Cangkang Udang

Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan

upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan

udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang

ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang

bagus.

Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal

pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di

negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam

industri sebagai bahan dasar pembuatan chitin dan chitosan.  Manfaatnya di berbagai industri

modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan,

kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Chitin dan chitosan serta turunannya mempunyai sifat

sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.

2.5 Pengawetan Kayu Menggunakan Limbah Cangkang Udang

Isolasi chitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan

protein dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan dengan aseton dan natrium

hipoklorit. Sedangkan transformasi chitin menjadi chitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan

basa berkonsentrasi tinggi.

Chitin dan chitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben

untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur

kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-

ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa chitin dan chitosan serta

11

Page 12: Limbah Cangkang Udang

tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan

pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.

Gambar 2.5.4 Diagram Alir Metode Isolasi khitin dari Limbah Udang

12

Page 13: Limbah Cangkang Udang

Cangkang udang mengandung zat chitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan

melalui beberapa tahap, akan dihasilkan chitosan, yaitu:

1. Dimineralisasi

Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar

Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian

dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang,

lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air

sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.

2. Deproteinisasi

Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium

hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya

dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga

diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan

pada suhu 80°C selama 24 jam.

3. Deasetilisasi chitin menjadi chitosan

Chitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan

perbandingan 20:1 (pelarut dibanding chitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu

140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan

pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama

24 jam.

13

Page 14: Limbah Cangkang Udang

Chitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam

pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan

pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat.

Pada saat ini chitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan

kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer

dalam bidang teknologi polimer. Setelah chitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode

pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan,

metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.

Aplikasi chitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat

pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum

dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan

rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan chitosan dengan metode perendaman

teksturnya menjadi lebih halus.

Ini sesuai dengan sifat chitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan

transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa chitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing

yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu. Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti

nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan chitosan dapat meningkatkan

penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut

disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan

hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode

pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan

konsentrasi bahan pengawet.

14

Page 15: Limbah Cangkang Udang

Dari segi lingkungan, penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman

karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang

sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan

unbiodegradable.

Dari sisi ekonomi, pemanfaatan chitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan

pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari

sumber daya lokal (local content).

Untuk ekstrasi chitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen,

sedangkan rendemen chitosan dari chitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu,

dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh chitosan

sebesar 81.642,56 ton. Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu

yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke

depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan

menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan

devisa negara jika diekspor ke luar negeri.

Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga

menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara

nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu

merealisasikan asas pelestarian hutan.

15

Page 16: Limbah Cangkang Udang

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jadi, supaya limbah cangkang udang tidak mengakibatkan penambahan sampah

dilingkungan kita maka limbah cangkang udang bisa digunakan kembali untuk

pengawetan kayu karena ternyata kulit udang mengandung chitosan yang bisa

membuat kayu lebih tahan lama.

3.2 Saran

Perluasan penelitian tentang cangkang udang agar limbahnya bisa digunakan

kembali untuk keperluan lainnya, sehingga tidak hanya untuk mengawetkan kayu.

16

Page 17: Limbah Cangkang Udang

Daftar Pustaka

www.scribd.com

www.onlinebuku.com

www.pasarkreasi.com

www.industri09firman.blog.mercubuana.ac.id

www.journal.uii.ac.id

www.eprints.undip.ac.id

17