limbah pakan ternak - unud · pemanfaatan teknologi serta level pemberian pakan limbah yang ......
TRANSCRIPT
LIMBAH PAKAN
TERNAK
PROF. DR. IR. I GST. NYM. GDE BIDURA, MS
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
BUKU AJAR
LIMBAH PAKAN TERNAK
PROF. DR. IR. I GST. NYM. GDE BIDURA, MS
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
PRAKATA
Terjadinya krisis ekonomi secara berkepanjangan di Indonesia membuat kita
sadar bahwa selama ini kita terlalu banyak berkiblat ke luar negeri, dan mempunyai
ketergantungan yang cukup besar terhadap komponen bahan pakan impor. Pada saat
itu, banyak peternak yang mengalami kebangkrutan karena tidak mampu membeli
ransum. Pelajaran berharga tersebut menjadikan kita harus mencari alternatif bahan
makanan yang bersifat inkonvensional yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia,
harganya murah, bersifat lokal, tetapi mempunyai kandungan nutrisi yang memadai
untuk ternak.
Beberapa bahan pakan, seperti pakan limbah dan yang bersifat inkonvensional
mempunyai potensi untuk dikembangkan ditinjau dari segi ketersediaannya, walaupun
kadang-kadang ditemukan faktor pembatas dalam penggunaannya. Misalnya,
kandungan serat kasar dan karbohidrat bukan pati (“Non Starch Polysacharides” = NSP)
dalam pakan akan berpengaruh negatif terhadap kecernaan ransum pada ternak
monogastrik. Demikian juga halnya dengan kandungan asam fitat dan taninya yang
tinggi menjadi faktor pembatas penggunaannya dalam ransum, khususnya ransum untuk
ternak unggas.
Dalam Buku Ajar ini, dikupas ihwal klasifikasi pakan limbah, limbah industri
pertanian, limbah perkebunan, limbah perikanan dan peternakan, jerami, dan hasil-hasil
penelitian mengenai pengaruh ransum berbasis limbah terhadap kuantitas dan kualitas
produksi ternak. Dengan demikian, bahan ajar ini akan sangat berguna dan membantu
sekali dalam pemahaman mengenai kuantitas dan kualitas bahan pakan limbah maupun
pakan inkonvensionil. Pemanfaatan teknologi serta level pemberian pakan limbah yang
tepat pada ternak akan dapat memberikan hasil yang optimal.
iii
Sasaran utama pengguna buku ajar ini adalah mahasiswa peternakan tingkat
sarjana untuk menunjang Mata Kuliah “Limbah Untuk Pakan Ternak (MKB 7056)”
maupun mahasiswa pascasarjana di bidang peternakan dan yang terkait dengannya.
Selain itu, buku ini juga akan bermanfaat bagi mereka yang berkecimpung atau
setidaknya menaruh minat di bidang peternakan, karena dalam buku ini juga diberikan
beberapa hasil penelitian dan pemanfaatan berbagai macam limbah, baik dengan
maupun tanpa sentuhan teknologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dekan
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, atas waktu dan dorongan yang diberikan
sehingga penyusunan buku ajar ini dapat terselesaikan. Penerbitan buku ini pun akan
sulit terwujud bila tidak ada kesempatan dan bimbingan dari bapak Prof. Ir. Dewa Ketut
Harya Putra, M.Sc. Ph.D. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang tulus kepada beliau. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada teman-
teman sejawat yang banyak membantu dalam penulisan Buku Ajar ini
Akhirnya, penulis berharap semoga buku ajar ini berguna untuk menambah
pengetahuan dan menjadi rujukan dalam penyusunan ransum ternak dengan
memperhitungkan prinsip-prinsip ekonomi, sehingga produktivitas ternak dapat
ditingkatkan. Buku ajar yang sederhana ini tidak akan sempurna bila tidak ada kritik
saran dari pembaca. Oleh karena itu, segala kritik dan saran untuk kesempurnaan buku
ajar ini sangat kami harapkan.
Denpasar, Maret 2017
Hormat kami,
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
I. RANSUM UNTUK TERNAK ………………………………….................. 1
1.1 Unsur Nutrisi pada Pakan …...………………………………………... 1
1.2 Pengertian Ransum untuk Ternak …………………………………….. 2
1.3 Pengertian Limbah .............................. ……………………………….. 4
1.4 AntiNutrisi Pakan Limbah …………………………………................. 5
1.5 Jenis Pakan Limbah untuk Ternak ……………………………………. 7
1.6 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis ………………………………….. 9
II. KLASIFIKASI PAKAN LIMBAH ………………………………………. 12
2.1 Pakan Limbah Sumber Protein ….…………………………………….. 12
2.2 Pakan Limbah Sumber Energi ………………………………………… 12
2.3 Pakan Limbah Sumber Lemak ………………………………………... 17
2.4 Pakan Limbah Berserat ………………..……………………………… 20
2.4.1. Jerami ........................................................................................... 22
2.4.2 Jerami Sebagai Pakan Ternak ....................................................... 24
2.5 Pakan Limbah Sumber Mineral ……………………………………….. 29
2.6 Pakan Limbah Sumber Vitamin ………………………………………. 31
2.7 Pakan Limbah Sumber Enzim ………………………………………… 32
2.7.1. Produksi Enzim Hewani ………………………………………... 32
2.7.2. Produksi Enzim Tanaman ……………………………………… 34
2.7.3. Produksi Enzim Mikroba ………………………………………. 35
2.7.4. Isolasi Enzim …………………………………………………… 37
2.8 Pakan Limbah Sumber Hormon ………………………………………. 40
III. LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN …………………………………….. 42
3.1 Potensi Limbah Kulit Biji ...................................................................... 42
3.1.1. Kulit Biji Kacang Kedelai …………………………………... 43
3.1.2. Bungkil Kacang Kedelai……………………………………… 44
3.2 Ampas Tahu…………………………………………………………… 45
3.3 Pollard ………………………………………………………………… 48
v
3.4 Dedak Padi…………………………………………………………….. 51
3.5 Bungkil Kelapa ………………………………………………………... 53
3.6 Onggok ………………………………………………………………... 54
IV. LIMBAH PERKEBUNAN ………………………………………………… 58
4.1 Kulit Cokelat (Theobroma cacao)…………………………………….. 58
4.2 Bungkil Inti Kelapa Sawit ……………………………………………. 61
4.3 Pelapah Sawit …………………………………………………………. 63
4.4 Batang Pisang (Musa paradisica) …………………………………….. 66
V. LIMBAH PERIKANAN DAN PETERNAKAN .……………………… 68
5.1 Limbah Ikan dan Udang ……………………………………………… 68
5.2 Tepung Darah …………………..……………………………………... 69
5.3 Kotoran Ayam…………………………………………………………. 69
5.4 Bulu Ayam…………………………………………………………….. 73
5.5 Isi Rumen……………………………………………………………… 77
VI. BAGIAN PENUTUP ………………………………………………………. 81
6.1 Limbah Pakan Ternak Alternatif ……………………………………… 81
6.2 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis ………………………………….. 81
6.3 Aplikasi Produk Bioteknologi ………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 86
vi
DAFTAR TABEL
Tabel teks Halaman
2.1. Kandungan protein dari beberapa bahan pakan asal hewan .................... 13
2.2. Pencapaian berat badan akhir, pertambahan berat badan dan
prosentase karkas dari itik yang mengkonsumsi ransum dengan
penggunaan lemak sapi sebagai pengganti sebagian energi jagung ( 0-7
minggu ) ..................................................................................................
18
2.3. Bilangan iodium dari beberapa bahan pakan untuk ternak ..................... 19
2.4. Tabel 2.4. Jenis jerami dengan kandungan nutrisinya ............................. 24
2.5. Tabel 2.5. Pengaruh penggunaan zeolit dalam ransum terhadap nilai
cerna dan laju aliran ransum pada ayam broiler .....................................
30
2.6. Enzim yang terdapat dan dapat diekstrak dari hewan dan tanaman ....... 33
2.7. Beberapa jenis mikroba yang menghasilkan enzim yang diproduksi
untuk tujuan komersial ............................................................................
36
3.1. Komposisi kimia kacang kedelai dan kulit ari kacang kedelai, yang
dipeoleh lewat perebusan (cara A) dan perebusan-perendaman (cara B)
43
3.2. Tabel 3.2. Pengaruh penambahan enzim cairan rumen pada wheat
pollard terhadap persentase polisakarida, oligosakarida, dan energi
termatabolis wheat pollard pada broiler .................................................
49
3.3. Perubahan kadar gula, polisakarida, oligosakarida, dan energi
termetabolis wheat pollard yang diberi enzim rumen .............................
50
3.4. Komposisi kimia berbagai jenis dedak padi ............................................ 52
3.5. Tingkat penggunaan dedak padi dalam ransum unggas dan babi ........... 53
3.6. Perubahan zat gizi onggok sebelum dan sesudah difermentasi dengan
kapang Aspergillus niger .........................................................................
56
4.1. Pengaruh penggunaan pod kakao yang disuplementasi ragi tape dalam
ransum terhadap distribusi lemak tubuh (% berat potong) itik Bali
jantan umur 8 minggu ..............................................................................
61
5.1. Pengaruh penggunaan kotoran ayam ras petelur dalam ransum terhadap
produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum pada ayam Lohmann
Brown fase peneluran pertama ................................................................
70
5.2. Kandungan zat makanan pada kotoran ayam ras .................................... 71
5.3. Kandungan zat makanan dari isi rumen sapi, kerbau, dan domba .......... 78
vii
DAFTAR GAMBAR
No teks Halaman
2.1. Sistem penyimpanan jerami tanpa menerapkan teknologi .......................... 27
3.1. Bagan pembuatan tepung tempe ampas tahu terfermentasi (Mahfudz
2006) ............................................................................................................
46
3.2. Onggok merupakan ampas hasil pemerasan ubi kayu dalam proses
pembuatan tapioka .......................................................................................
55
4.1. Pod kakao tanpa perlakuan (a) dan pod kakao yang telah mengalami
fermentasi dengan kapang (b) (Erika, 1998) ..............................................
60
4.2. Proses pembuatan produk fermentasi lumpur sawit (“Ferlawit”) ............... 63
4.3. Pelepah kelapa sawit yang direcah dapat digunakan sebagai pengganti
rumput gajah ................................................................................................
65
4.4. Batang pisang sebelum diberikan pada ternak, terlebih dahulu haris di
iris-iris tipis (kanan) ....................................................................................
66
5.1. Bulu ayam broiler sebagai sumber protein .................................................. 74
1
I. PAKAN UNTUK RANSUM TERNAK
1.1 Kandungan Nutrisi Pakan
Setiap bahan pakan atau pakan ternak, baik yang sengaja kita berikan kepada
ternak maupun yang diperolehnya sendiri, mengandung unsur-unsur nutrisi yang
konsentrasinya sangat bervariasi, tergantung pada jenis, macam dan keadaan bahan
pakan tersebut yang secara kompak akan mempengaruhi tekstur dan strukturnya.
Unsur nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan secara umum terdiri atas
air, mineral, protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin. Setelah dikonsumsi oleh
ternak, setiap unsur nutrisi berperan sesuai dengan fungsinya terhadap tubuh ternak
untuk mempertahankan hidup dan berproduksi secara normal. Unsur nutrisi tersebut
dapat diketahui melalui proses analisis terhadap bahan pakan, yang dilakukan di
laboratorium. Analisis itu dikenal dengan istilah “analisis proksimat”.
Pengetahuan tentang komposisi kimia atau nutrien dari berbagai bahan pakan
yang akan digunakan dalam penyusunan ransum juga mesti harus diketahui oleh para
penyusunan ransum. Komposisi kimia dari beberapa macam pakan yang sering
digunakan dalam penyusunan ransum unggas juga sudah tersaji dalam bentuk tabel
yang mudah digunakan. Oleh karena itu, untuk dapat menyusun ransum, dibutuhkan
tabel kebutuhan akan zat makanan dari ternak beserta tabel komposisi bahan pakan
yang akan disusun menjadi sebuah ransum.
Pakan pemacu merupakan sejenis pakan yang berperan sebagai pemacu
pertumbuhan dan peningkat populasi mikroba di dalam rumen, sehingga dapat
merangsang penambahan jumlah konsumsi serat kasar yang akan meningkatkan
produksi.
1
2
Molases sebagai bahan dasar pakan pemacu merupakan bahan pakan yang
dapat difermentasi dan mengandung beberapa mineral penting. Penambahannya
dapat memperbaiki formula ransum menjadi lebih kompak, mengandung energi
cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan palatabilitas serta citarasa.
Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi.
Setiap kilogram urea mempunyai nilai yang setara dengan 2,88 kg protein kasar
(6,25 x 46%). Dalam proporsi tertentu, bahan itu mempu
1.2 Pengertian Ransum untuk Ternak
Ransum atau ration adalah sejumlah bahan pakan atau campuran beberapa
bahan pakan yang dijatahkan untuk ternak dalam sehari yang disusun sedemikian
rupa sesuai dengan kebutuhan ternak yang bersangkutan berdasarkan fase
pertumbuhan, umur, berat badan, dan status fisiologis dari ternak bersangkutan.
Ransum biasanya berupa campuran beberapa jenis bahan pakan.
Ransum umumnya mempunyai kepadatan (density) 0,58 g/cm3. Apabila
energi ransum dikurangi sampai di bawah tingkat keperluan pemeliharaan dan
berfungsinya organ tubuh yang penting, bobot badan ayam akan menurun dan
akhirnya mati. Dalam keadaan kekurangan energi, simpanan energi tubuh yang
digunakan untuk mempertahankan hidup berturut-turut: (1) simpanan glikogen
tubuh, (2) simpanan lemak tubuh, dan (3) jaringan protein tubuh.
Menurut Parakkasi (l983), yang dimaksud dengan ransum adalah makanan
yang diberikan kepada ternak selama 24 jam di mana pemberiannya dapat dilakukan
sekali atau beberapa kali selama 24 jam tersebut. Ada dua macam istilah tentang
ransum, yaitu “ransum sempurna” dan “ransum-sempurna-ekonomis”. Ransum
sempurna adalah kombinasi beberapa bahan pakan yang bila dikonsumsi secara
3
normal dapat mensuplai zat makanan kepada ternak dalam perbandingan, jumlah,
dan bentuk sedemikian rupa sehingga berbagai fungsi fisiologis dalam tubuh dapat
berjalan normal.
Ransum seimbang adalah porsi makanan sehari-hari dari ternak yang disusun
sedemikian rupa agar mengandung bagian zat makanan yang cocok untuk kesehatan,
pertumbuhan, reproduksi, dan produksi. Kandungan energi dalam ransum
mempengaruhi banyaknya ransum yang dikonsumsi oleh ayam. Apabila ayam yang
sedang tumbuh atau bertelur diberi ransum dengan zat makanan yang seimbang,
maka ayam tersebut akan mengkonsumsi energi dalam jumlah yang tetap per
harinya.
Pakan penguat konsentrat yang berbentuk seperti tepung adalah sejenis pakan
komplet yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai
penguat. Pakan itu mudah dicerna, karena terbuat dari campuran beberapa bahan
pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil, kacang-kacangan,
vitamin dan mineral).
Khusus untuk penggunaan bahan pakan yang bersifat aditif (penggunaannya
di bawah 0,5% dari total ransum), sebelum dicampurkan dalam ransum, terlebih
dahulu bahan tersebut dicampurkan dengan bahan pakan lain seperti dedak padi.
Setelah semua bahan disebarkan sesuai dengan urutan, selanjutnya lingkaran tersebut
di bagi empat. Masing-masing bagian dicampur rata dan setelah rata betul kemudian
keempat bagian tersebut digabung menjadi satu dan kembali diaduk sehomogen
mungkin. Akhirnya ransum sudah siap diberikan pada ternak.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pembuatan pakan penguat, yaitu (1)
beberapa bahan pakan mudah diperoleh di suatu daerah, dengan harga bervariasi,
4
sedang di beberapa daerah lain sulit didapat. Harga per unit bahan pakan sangat
berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sehingga keseragaman harga per unit
nutrisi (bukan harga per unit berat) perlu dihitung terlebih dahulu dan (2) kualitas
pakan penguat dinyatakan dengan nilai nutrisi yang dikandungnya terutama
kandungan energi dan potein. Sebagai pedoman, setiap kilogram pakan penguat
harus mengandung minimal 2500 kkal energi, 17% protein, dan serat kasar 12%.
Zat makanan adalah penyusun atau sekelompok penyusun bahan makanan
dan umumnya mempunyai komposisi kimia yang serupa ataupun sama seperti yang
diperlukan untuk hidup. Protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin adalah zat-
zat makanan yang telah umum diketahui.
Konsentrat adalah campuran pakan yang mengandung serat kasar kurang dari
18% dan biasanya kaya akan protein atau energi. Konsentrat protein adalah
campuran dari beberapa macam bahan pakan dengan kandungan protein di atas 20%.
Apabila kandungan proteinnya di bawah 20%, maka disebut dengan konsentrat
energi.
Tidak ada sumber bahan pakan, baik itu murni dihasilkan untuk pakan ternak
maupun hasil sampingannya mengandung semua unsur nutrisi. Kekurangan
kandungan unsur nutrisi dapat ditutupi/diatasi dengan penambahan berbagai sumber
bahan pakan yang lain ke dalam bahan pakan tersebut sehingga terjadi substitusi
(saling melengkapi).
1.3 Pengertian Limbah untuk Pakan ternak
Bila dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (l998), pengertian limbah
secara harfiah didefinisikan sebagai sisa proses produksi dan air buangan pabrik.
Pengertian sisa di sini harus diartikan sebagai bahan sampingan yang tersisa setelah
5
proses produksi utama selesai. Winarno (l985) mendefinisikan secara khusus limbah
pertanian, yaitu bahan yang merupakan buangan dari proses perlakuan atau
pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil sampingan.
Mastika (l991) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan limbah pertanian
adalah hasil sampingan yang dihasilkan dari pertanian dan belum termanfaatkan
secara maksimal. Dalam bidang pertanian, industri, perkebunan, peternakan, dan
perikanan, maka pengertian limbah akan lebih luas lagi termasuk bahan sampingan
(“by product”), bahan terbuang, dan bahan tidak terpakai (“waste product”).
Apabila limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan optimal, akan
dapat diperoleh pakan yang murah dan bermutu, sehingga itu akan dapat
meningkatkan pendapatan peternak, mendukung upaya peningkatan populasi dan
produktivitas ternak, dan membuka peluang usaha, yang sekaligus dapat mengatasi
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh produksi limbah yang tidak ditangani
dengan baik.
1.4 Keterbatasan Nutrisi Pakan Limbah
Pakan limbah untuk ternak ruminansia maupun nonruminansia sebagiaan
tidak dapat dicerna dan proporsi yang tidak tercerna tersebut cukup besar (protein,
karbohidrat, dan mineral). Pada ternak monogastrik termasuk unggas, serat kasar
dapat dikatakan tidak dapat dicerna, sedangkan protein hampir 50% terbuang sebagai
feses. Walaupun ternak ruminansia memiliki rumen untuk membantu mencerna serat
kasar, pada kenyataannya kecernaan hijauan hanya mencapai 50-60%.
Keterbatasan nutrisi lainnya pada pakan limbah asal nabati adalah kandungan
serat kasarnya yang relatif lebih tinggi daripada bahan pakan asal hewani. Ternak
unggas hanya mampu mencerna serat kasar lebih kurang 20-30% dan itu berlangsung
6
di bagian sekum dan kolon. Namun, serat kasar pada ransum ternak unggas ternyata
mempunyai fungsi yang sangat penting, khususnya dalam upaya mengatasi kanker
saluran pencernaan dan mengurangi kegemukan pada ayam petelur.
Rendahnya availabilitas zat makanan yang terkandung dalam limbah
merupakan kendala utama dalam usaha memanfaatkan limbah untuk makanan
ternak. Keadaan tersebut di atas merupakan sifat umum daripada limbah.
Umumnya limbah mempunyai sifat “bulky” (“volumeneous = amba”) yang
disebabkan karena tingginya kandungan serat kasar di dalam limbah tersebut.
Misalnya, limbah yang bersumber dari proses penggilingan dedak padi mempunyai
density yang bervariasi, yaitu berkisar antara 0,24-0,30 g/cm3 (BoGohl, 1975).
Limbah yang berasal dari proses ekstraksi minyak, seperti bungkil kelapa, bungkil
kacang kedelai, dan bungkil kacang tanah mempunyai density berkisar antara 0,40-
0,60, sedangkan limbah yang bersumber dari hewan/ikan, seperti tepung daging dan
tepung ikan mempunyai angka density yang paling tinggi, yaitu berkisar antara 0,45-
0,64 g/cm3. Adanya sifat “bulky” tersebut menyebabkan konsumsi pakan akan
terbatas khususnya pada ternak unggas. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan
proses pelleting.
Bahan pakan limbah nabati umumnya tidak mempunyai kandungan asam
amino cukup seimbang, sehingga dalam penyusunan ransum hendaknya
menggunakan lebih dari satu bahan pakan asal nabati dengan tujuan untuk saling
melengkapi kelebihan dan kekurangan asam amino. Dengan demikian, bahan pakan
limbah asal hewani hanya sebagai pelengkap saja, mengingat harganya lebih mahal
jika dibandingkan dengan pakan nabati.
7
Tinggi rendahnya penggunaan bahan pakan asal tanaman dalam penyusunan
ransum erat kaitannya dengan harga dan kandungan nutrisi dari ransum yang dibuat.
Kandungan asam amino asal protein nabati umumnya rendah, tidak seimbang, dan
juga tidak lengkap. Bungkil kacang kedelai misalnya, sangat baik digunakan dalam
penyusunan ransum, tetapi kandungan metioninnya rendah. Demikian juga halnya
dengan bungkil kacang tanah; kandungan asam amino lysinnya rendah. Hal yang
sama juga terjadi pada bungkil kelapa; asam amino lysin dan metioninnya rendah.
Tidak ada sumber bahan pakan, baik yang murni dihasilkan untuk pakan
ternak maupun hasil sampingannya mengandung semua unsur nutrisi. Kekurangan
kandungan unsur nutrisi dapat ditingkatkan dengan penambahan berbagai sumber
bahan pakan yang lain ke dalam bahan pakan tersebut sehingga terjadi substitusi
(saling melengkapi).
1.5 Jenis Pakan Limbah untuk Ternak
Bahan pakan limbah untuk ternak terbagi atas bahan pakan asal nabati atau
yang bersumber dari produk pertanian, bahan pakan asal hewani atau bahan pakan
asal produk perikanan, dan pakan limbah pelengkap yang umumnya buatan pabrik,
yang biasanya digunakan untuk menutupi atau menyempurnakan keseimbangan
nutrisi. Pakan limbah nabati mempunyai porsi 90 – 94% dari total formulasi ransum
ternak nonruminansia (Rasyaf, 2005). Hal tersebut disebabkan karena bahan pakan
nabati umumnya sebagai sumber energi yang harus selalu terpenuhi dalam
penyusunan ransum.
Karena demikian beragamnya jenis limbah yang ada, maka ada baiknya
limbah tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis limbah, antara lain sebagai
berikut ini :
8
1. Limbah pertanian: yang termasuk limbah pertanian di sini meliputi
jerami padi, jerami jagung, jerami kacang-kacangan, jerami kacang
kedelai, jerami kacang tanah, daun singkong, pucuk tebu, dan sebagainya.
2. Limbah industri pertanian atau “agro-industrial-by-product”, seperti
dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan bungkil
kacang tanah.
3. Limbah peternakan, seperti kotoran ayam, isi rumen, bulu ayam, lemak
telo, tulang, dan darah.
4. Limbah perikanan yang meliputi beberapa jenis ikan yang merupakan
hasil sampingan pada penangkapan udang dan limbah pada unit
pembekuan dan pengolahan/pengalengan ikan seperti bagian kepala, sirip,
ekor, dan isi perut.
5. Limbah perkebunan, yaitu meliputi semua hasil ikutan dalam usaha
tanaman perkebunan tertentu yang menghasilkan produk utama yang
menjadi tujuan pengusaha. Limbah perkebunan yang umumnya
digunakan sebagai pakan ternak, antara lain pucuk tebu dan daun tebu,
gulma hasil penyiangan, limbah rumput pengolahan antara lain tetes
(molasis), ampas kelapa sawit, ampas tebu (bagase), onggok, dan bagian
sampah seperti kulit kopi, kulit coklat, serta air buangan sawit.
6. Limbah tata boga yang meliputi limbah hasil restauran, hotel, rumah
tangga, dan pasar. Limbah tersebut berupa sisa dapur, hotel, dan sisa
sayuran di pasar yang merupakan limbah pasar yang cukup banyak serta
dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak babi dan ruminansia.
9
1.6 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis
Bahan pakan yang akan digunakan harus tersedia dalam waktu yang lama
atau ketersediaannya harus kontinyu. Bahan pakan yang sudah tersedia pada suatu
saat dan kemudian hilang (tidak tersedia) harus dihindarkan penggunaannya.
Masalah ketersediaan ini erat kaitannya dengan produksi.
Padi yang diproduksi secara masal dan nasional menyebabkan ketersediaan
dedak padi dan bekatul untuk ternak juga akan berlimpah. Lain halnya dengan bahan
pakan yang diproduksi secara terbatas akan menghasilkan bahan pakan yang terbatas
pula ketersediaannya. Karena masalah ketersediaan inilah, beberapa bahan pakan
inkonvensional tidak dapat digunakan dalam pembuatan ransum oleh pabrik
makanan ternak pada umumnya.
Beberapa contoh bahan pakan inkonvensional yang sering digunakan sebagai
bahan pakan oleh peternak tradisional adalah tepung daun singkong, tepung ubi
kayu, tepung sisa rumah potong, limbah tempe, kulit biji kacang kedelai, kulit
cokelat, dan lain-lain. Walaupun dari segi nutrisi bahan pakan tersebut dapat
dimanfaatkan oleh ternak, ketersediaannya yang terbatas dan tidak
berkesinambungan menjadikan bahan tersebut tidak layak digunakan sebagai bahan
utama penyusun ransum ternak. Contoh spesifik untuk di Indonesia adalah ubi kayu.
Ubi kayu produksinya cukup banyak, tetapi karena bahan ini masih banyak
digunakan untuk industri dan pangan manusia, serta kandungan nutrisinya yang
rendah maka ubi kayu tidak layak digunakan dalam penyusunan ransum ternak.
Produksi pertanian yang besar tentu akan menghasilkan banyak bahan pakan
untuk ternak. Indonesia yang mengutamakan produksi padi akan banyak
menghasilkan dedak dan bekatul. Karena itu, dedak padi selalu digunakan dalam
10
penyusunan ransum ternak. Selanjutnya, karena buah kelapa dan kelapa sawit banyak
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, maka hasil samping
pembuatan minyak goreng itu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti
bungkil kelapa dan bungkil sawit. Dapat dikatakan bahwa bahan pakan yang banyak
diproduksi akan menjamin ketersediaannya, sehingga terjamin pula kontinyuitas
penggunaannya dalam penyusunan ransum ternak.
Bahan pakan untuk ternak tidak boleh bersaing dengan manusia. Apabila
manusia lebih banyak membutuhkannya, maka bahan pakan tersebut tidak boleh
diberikan pada ternak, misalnya kacang kedelai. Namun demikian, bungkil kacang
kedelai dapat diberikan pada ternak.
Pertimbangan lainnya, harga bahan pakan itu sendiri. Walaupun dapat
digunakan sebagai bahan pakan, apabila harganya mahal, maka penggunaan bahan
atau peran bahan pakan itu sebagai bahan pakan ternak akan tersisihkan. Murah
ataupun mahalnya suatu bahan pakan harus dinilai dari manfaat bahan pakan itu
sendiri, yang merupakan cermin dari kualitasnya dan hasil yang diperoleh. Tepung
ikan misalnya, harganya memang mahal, tetapi bila dibandingkan dengan kandungan
proteinnya yang tinggi dan kelengkapan asam aminonya serta manfaat yang
diperoleh, maka penggunaan tepung ikan sebagai bahan pakan sumber protein
menjadi murah.
Walaupun harga absolut suatu bahan pakan murah, ketersediaannya banyak
dan berkesinambungan, tetapi bila kandungan gizinya rendah atau mengecewakan,
maka bahan pakan tersebut tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan unggas. Bagi
ternak monogastrik, batasannya adalah kandungan serat kasar suatu bahan. Semakin
11
tinggi kandungan serat kasarnya, akan semakin berkurang perannya dalam
penyusunan ransum nonruminansia (monogastrik dan unggas).
Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi yang terkandung di
dalamnya memegang peran penting untuk menentukan apakah bahan pakan tersebut
berperan atau tidak. Bahan pakan limbah yang mudah membentuk racun atau mudah
cemar juga tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan. Bungkil kelapa misalnya,
meskipun masih tetap digunakan karena kandungan minyaknya masih tinggi, ransum
yang mengandung bungkil kelapa dalam proporsi tinggi akan mudah tengik. Karena
itu, beberapa pabrik makanan ternak mulai meninggalkan penggunaan bungkil
kelapa dalam penyusunan ransum.
12
II. KLASIFIKASI PAKAN LIMBAH
2.1 Pakan Limbah Sumber Protein
Umumnya pakan limbah sebagai sumber protein ini sangat sulit didapat. Ada
saja faktor pembatas penggunaannya sebagai sumber protein. Misalnya, tepung bulu
ayam kandungan protein kasarnya tinggi dan dapat mencapai 75%. Akan tetapi,
karena nilai cerna proteinnya rendah yang disebabkan oleh adanya proses keratinisasi
pada bulu ayam tersebut, menyebabkan pakan limbah ini masih jarang digunakan
sebagai sumber protein pengganti tepung ikan yang harganya mahal.
Klasifikasi bahan pakan sebagai sumber protein adalah: (1) kandungan
protein kasarnya harus di atas 20%, (2) kandungan serat kasarnya di bawah 18%, dan
(3) nilai cerna bahan tersebut di atas 75%. Berdasarkan kriteria tersebut, sangat sulit
untuk mendapatkan pakan limbah sumber protein yang umumnya mempunyai
kecernaan rendah serta mengandung serat kasar yang tinggi. Namun demikian,
produk fermentasi dari pakan limbah tersebut akan dapat mengatasi semua hal
tersebut di atas.
Dalam proses pembuatan tepung ikan, sering dilakukan manipulasi melalui
penambahan urea yang apabila dianalisis akan memberikan kandungan protein kasar
yang tinggi. Hal lain yang ditakutkan adalah bahwa dalam proses pembuatan tepung
ikan di kapal yang berlangsung terlalu lama dan menerima panas yang terlalu tinggi,
dapat terbentuk racun yang bila dikonsumsi dapat menimbulkan penyakit muntah
hitam (Gizzerosin) yang menyerang dinding gizzard dan dapat menyebabkan
kematian yang mendadak pada ternak unggas.
Tepung ikan yang umumnya digunakan di Indonesia adalah yang bersumber
dari hasil samping pengolahan ikan, sehingga kualitasnya masih rendah. Namun
12
13
demikian, kandungan protein kasarnya berkisar antara 50-58% dan merupakan
sumber utama asam amino lysin dan metionin serta sebagai sumber mineral fosfor
(P) dan kalsium (Ca).
Pada Tabel 2.1, tersaji kandungan protein dan energi termetabolis beberapa
bahan pakan yang bersumber dari hewan yang umumnya digunakan dalam
penyusunan ransum.
Tabel 2.1. Kandungan protein dari beberapa bahan pakan asal hewan
Bahan Pakan Protein (%) ME (Kkal/kg) Keterangan
Sisa rumah
potong
50 1980 Metionin dan sistin sebagai faktor
kendala. Kualitas protein beragam
Tepung ikan 60 - 70 2640 - 3190 Sumber protein dan asam amino
yg baik, serta sumber mineral Ca
dan P
Tepung bulu
terhidrolisis
84 2310 Kualitas protein sangat rendah.
Miskin akan metionin, lysin,
histidin, triptofan
Tepung darah 80 2850 Rendah isoleusin dan kurang baik
digunakan dalam ransum
Sumber : Rasyaf (2002)
Keterbatasan lain dari pakan limbah sumber protein adalah adanya antinutrisi
(antitripsin) pada pakan limbah biji-bijian, yang dapat menurunkan kecernaan dalam
bahan tersebut terutama dari tanaman legum, sehingga menurunkan kecernaan
protein, karbohidrat, serta menghambat penggunaan mineral dan vitamin.
Penambahan enzim protease akan memperbaiki kecernaan dan ketersediaan asam
amino dari pakan limbah tersebut (Rooke et al., 1996; Beal et al., 1999).
Umumnya ada dua asam amino yang menjadi masalah (kekurangan) pada
pakan limbah yang bersumber dari biji-bijian, yaitu asam amino metionin dan lysin.
14
Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan penambahan dengan asam amino
sintetis yang sudah banyak beredar di pasaran, yaitu DL-Metionin yang mangandung
metionin sekitar 98 – 99% dan L- lysine mengandung 60 – 99% lysin.
Penggunaan asam amino sintetis seperti L-lysine dalam dunia industri
peternakan sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, harga asam amino tersebut sangat
mahal sehingga perlu dilakukan analisis ekonomisnya sebelum bahan tersebut
dipakai. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shin et al. (l992) melaporkan bahwa
suplementasi L-lysine ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan lemak, total karbohidrat, dan retensi nitrogen.
Termasuk ke dalam kelompok pakan limbah sumber protein adalah bungkil
kacang kedelai, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, tepung bulu
ayam, tepung darah, dan tepung limbah ikan.
2.2 Pakan Limbah Sumber Energi
Kriteria utama pakan limbah sumber energi ini antara lain (1) kandungan
protein kasarnya di bawah 20% dan (2) kandungan serat kasarnya lebih rendah dari
18%. Serat kasar untuk ternak ruminansia digunakan untuk sumber energi karena
adanya mikroorganisme dalam rumen. Akan tetapi, untuk ternak nonruminansia,
serat kasar tersebut tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Namun,
keberadaannya dalam saluran pencernaan ternak nonruminansia penting artinya,
khususnya dalam usaha meningkatkan kualitas produksi (Sutardi, l997).
Umumnya pakan limbah yang sering digunakan sebagai sumber energi adalah
lemak hewan yang bersumber dari sapi. Kandungan energi termetabolis dari lemak
sapi (tallow) sebesar 7700 kkal/kg. Lemak hewan mengandung lemak kasar sebesar
99,40% dan kandungan vitamin E sebesar 7,9 mg/kg.
15
Kandungan energi yang tinggi inilah yang menyebabkan lemak hewani
banyak digunakan untuk ransum unggas pedaging. Hal ini logis karena pertumbuhan
ayam pedaging sangat cepat dan kebutuhan akan energi termetabolisnya sangat
tinggi, yaitu berkisar antara 3.000-3.200 kkal/kg, dan akan sangat sulit dicapai kalau
hanya mengandalkan jagung kuning sebagai sumber energi dalam penyusunan
ransum.
Penggunaan minyak atau lemak dalam penyusunan ransum untuk ternak
nonruminansia mempunyai fungsi antara lain :
1. meningkatkan palatabilitas atau cita rasa ransum,
2. mengurangi sifat berdebu ransum, khususnya ransum yang berbentuk tepung
atau mash,
3. dapat memenuhi kebutuhan akan energi dalam ransum, karena lemak atau
minyak memberikan dua perempat kali lebih banyak energi daripada
karbohidrat dalam berat yang sama,
4. meningkatkan penyerapan vitamin A dan zat warna karoten, untuk
meningkatkan warna kuning pada kulit, kaki, dan kuning telur,
5. membantu penyerapan mineral tertentu, khususnya kalsium,
6. sebagai sumber vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan K), dan
7. sebagai sumber asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan oleh ternak
nonruminansia (unggas), yaitu asam linoleat, linolenat, dan arakidonat.
Menurut Lloyd et al. (l978), di antara komponen lemak yang paling penting
adalah asam lemak. Asam lemak digolongkan menjadi dua, yaitu asam lemak jenuh
dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh antara lain asam laurat, miristat, palmitat, dan
16
stearat, sedangkan asam lemak jenuh meliputi asam palmitoleat, oleat, linoleat, dan
arakidonat.
Pemecahan lemak ransum menjadi asam lemak, monogliserida, kholin, dan
lain-lain hampir semuanya terjadi di dalam duodenum dan jejunum. Di dalam kedua
organ ini terdapat garam empedu dan lipase pankreas. Di dalam duodenum, garam
empedu mengemulsikan lemak, kemudian dengan gerakan peristaltik terdipresi
menjadi butiran yang lebih kecil yang selanjutnya diikuti dengan masuknya lipase
(Tillman et al., 1998).
Lipida yang sudah tercerna dan sebagian larut dalam air membentuk misel
yang stabil. Misel tersebut terdiri atas asam lemak rantai panjang, monogliserida,
dan asam empedu yang terdifusi ke permukaan sel mukosa, selanjutnya diserap
(Anggorodi, 1985). Hampir semua lemak disimpan dalam jaringan lemak atau
daging dalam bentuk trigliserida. Ternak yang dalam keadaan puasa atau bila
glukosa di dalam ransum tidak cukup, trigliserida akan dirombak kembali sebagai
energi (Yasin, 1988).
Sifat dari lemak tubuh ternyata sangat dipengaruhi oleh sifat lemak dari
sumber bahan pakan yang diberikan. Hal ini sangat penting karena derajat kekerasan
lemak tubuh tersebut adalah suatu faktor yang menarik dalam nilai pemasaran dari
karkas daging ternak (Anggorodi, 1980). Pada ternak unggas, apabila ransumnya
mengandung kadar lemak yang tinggi, maka macam lemak dalam bahan makanan itu
akan sangat berpengaruh terhadap sifat lemak yang dibentuk di dalam tubuh unggas.
Lemak cadangan dalam tubuh tidak hanya terbentuk dari lemak yang
dimakan, tetapi berasal pula dari karbohidrat dan ada kalanya dari protein. Lebih
kurang 50 persen dari jaringan lemak terdapat di bawah kulit dan sisanya ada di
17
sekeliling alat-alat tubuh tertentu, utamanya ginjal, dalam membran sekeliling usus,
dalam urat daging, dan di tempat lainnya di dalam tubuh. Asam lemak dalam lemak
bahan pakan yang digunakan dalam penyusunan ransum akan disimpan dalam tubuh
dengan tidak mengalami perubahan.
Apabila ransum mengandung banyak bungkil kacang kedelai atau bungkil
kacang tanah, maka daging akan menjadi begitu lunak sehingga mutunya rendah.
Sebaliknya, bungkil kelapa akan menghasilkan daging yang keras.
Pakan limbah yang termasuk golongan sumber energi antara lain : dedak
padi, pollard, onggok, limbah roti, limbah hotel, dan lain sebagainya. Hampir semua
hijauan dari kelompok non leguminosa merupakan bahan pakan sumber energi.
Demikian juga halnya dengan kelompok jerami, seperti jerami padi, jerami jagung,
jerami tebu, jerami eceng gondok, dan lain sebagainya.
2.3 Pakan Limbah Sumber Lemak
Lemak sapi (beef tallow) merupakan bahan pakan alternatif yang dapat
dicoba, khususnya karena merupakan sumber energi yang sangat potensial, yaitu
dengan energi metabolis 7010 kkal/kg (Scott et al., 1982). Lemak sapi juga
merupakan sumber asam lemak esensial. Pemanfaatan lemak sapi sebagai pengganti
sebagian energi jagung secara ekonomis menguntungkan, karena harga lemak sapi
setiap satuan energi lebih murah jika dibandingkan dengan jagung.
Pemanfaatan lemak sapi pada dasarnya dimaksudkan untuk menggantikan
sebagian karbohidrat jagung sebagai sumber energi dengan memanfaatkan fenomena
extra caloric effect, yaitu sampai batas-batas tertentu dapat saling menggantikan
sebagai sumber energi. Pemanfaatan lemak sebagai sumber energi lebih
18
menguntungkan karena lebih kecil panas yang terbuang dalam proses metabolisme
(specific dynamic effect) ( French et al., 1974 ).
Pada Tabel 2.2, tersaji hasil penelitian Udayana (2005) yang menunjukkan
bahwa tidak ada masalah dengan penggantian energi jagung dengan energi lemak
sapi hingga batas tertentu. Penggantian energi jagung dengan energi lemak sapi
hingga 30% tidak berpengaruh terhadap pencapaian berat badan akhir dan
pertambahan berat badan itik. Pengaruhnya menjadi nyata ketika penggantian itu
ditingkatkan menjadi 40% dan 50%.
Tabel 2.2. Pencapaian berat badan akhir, pertambahan berat badan dan prosentase
karkas dari itik yang mengkonsumsi ransum dengan penggunaan lemak sapi
sebagai pengganti sebagian energi jagung ( 0-7 minggu )
Lemak
(%)
Berat
Badan
Awal
(g/ekor)
Berat Badan
Akhir
(g/ekor)
Pertambahan
Berat Badan
(g/ekor/7 mg)
Karkas
(%)
40,38 a* 998,92 a* 958,54 a* 48,38 a*
0 40,58 a 1069,89 a 1023,31 a 50,51 ac
10 40,90 a 1035,82 a 994,92 a 49,84 ab
20 40,83 a 1075,70 a 1034,87 a 53,27 a
30 40,88 a 1002,78 ab 961,90 ab 47,11 ab
40 40,97a 939,59 b 898,62 b 46,05 bc
50 40,95 a 921,17 b 880,22 b 43,89 b
Sumber : Udayana (2005)
* Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Konsekuensi logis pemanfaatan lemak sapi dalam ransum unggas adalah
berubahnya kecernaan ransum itu sendiri yang secara langsung berpengaruh pada
penyediaan zat makanan bagi penampilan ternak itu sendiri. Unggas mempunyai
19
kemampuan yang sangat terbatas dalam mencerna lemak, terutama pada periode
awal dari pertumbuhannya (Scott et al., 1982 ). Kondisi seperti ini akan berpengaruh
terhadap berkurangnya pertambahan berat badan, lebih rendahnya berat badan akhir
dan prosentase karkas yang dihasilkan.
Umumnya ternak yang diberi ransum berkadar lemak tidak jenuh yang tinggi
lemak tubuhnya akan lunak. Jadi, semakin tinggi derajat ketidakjenuhan dari lemak,
maka semakin tinggi pula bilangan iodiumnya dan semakin lunak pula lemaknya.
Pengukuran derajat ketidakjenuhan dari lemak dapat dilihat pada nilai bilangan
iodiumnya. Semakin tinggi nilai bilangan iodiumnya, semakin tinggi pula kandungan
lemak tidak jenuhnya.
Pada Tabel 2.3, tersaji nilai bilangan iodium dari beberapa bahan pakan yang
umum digunakan dalam penyusunan ransum ternak.
Tabel 2.3. Bilangan iodium dari beberapa bahan pakan untuk ternak
Lemak Bahan Pakan Bilangan Iodium dari
Lemak Bahan Pakan
Bilangan Iodium dari
Lemak Tubuh
Minyak Kacang kedelai 132 123
Minyak jagung 124 114
Minyak biji kapas 108 107
Minyak kacang tanah 102 98
Lemak babi 63 72
Lemak mentega 36 56
Minyak kelapa 8 35
Sumber : Anggorodi (1980)
Penimbunan lemak lunak dalam tubuh dapat diatur dengan mengubah
ransum. Apabila setelah beberapa lama bahan makanan yang kaya akan lemak tidak
20
jenuh diberikan, kemudian diganti dengan ransum yang akan menghasilkan lemak
keras, maka lemak yang ditimbun lama kelamaan akan menjadi keras.
2.4 Pakan Limbah Berserat
Beberapa produk limbah pertanian ataupun agro-industri pertanian
mengandung serat kasar yang tinggi. Serat kasar merupakan komponen dinding sel
tanaman yang sulit dicerna oleh ternak nonruminansia dan tidak mengandung nilai
nutrisi.
Serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis
(enzim yang dikeluarkan oleh unggas) sehingga tidak digolongkan sebagai sumber
zat makanan (Linder, 1985). Menurut Chot dan Annison (1990), serat kasar
merupakan bagian dari karbohidrat setelah dikurangi bahan ekstrak tanpa nitrogen
(BETN).
Dalam ilmu pangan, serat sering dibedakan berdasarkan kelarutannya dalam
air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air. Serat yang tidak
larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah
komponen nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit
gandum, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan biji-bijian (Harianto, 1996).
Penggunaan serat terlarut dalam ransum, seperti agar dan keragenan yang
banyak terdapat pada rumput laut ternyata dapat berfungsi sebagai :
1. penyerap air dan membentuk massa atau gumpalan yang merangsang gerakan
usus;
2. mempercepat laju aliran ransum dan memperkecil timbulnya pertumbuhan sel
ganas kanker;
3. menurunkan kadar kolesterol darah; dan
21
4. mengontrol berat badan (Abu Bakar, 2001) dan menjaga keseimbangan
mikroflora saluran pencernaan, seperti Lactobacilli dan Bifidobacteria (Bao-
Ming Shi et al., 2001).
Selain serat kasar adanya polisakarida bukan pati menyebabkan ketersediaan
pati rendah. Salah satu dari polisakarida bukan pati yang dapat mengganggu
kecernaan lemak, protein, dan bahan kering adalah arabinoxylan (Ward dan
Marquardt, 1987) sehingga arabinoxylan sering disebut antinutrisi, karena kerekatan
susunan dengan yang lain dalam polisakarida (Chot dan Annison, 1990; Chot, 2001).
Kelompok pakan yang tinggi fraksi seratnya memerlukan pengolahan terlebih
dahulu sebelum diberikan kepada ternak untuk meningkatkan fermentabilitasnya.
Hal ini dimaksudkan untuk memutuskan ikatan lignoselulosa yang sulit dicerna oleh
mikroba atau enzim pencernaan. Penambahan enzim arabinoxylanase dalam ransum
dapat mendepolimerisasi polisakarida bukan pati yang larut ataupun tak larut ke
dalam bentuk polimer yang lebih kecil (Pack dan Bedford, 1997), dan mampu
meningkatkan ketersediaan energi (Chot, 2001).
Basyir (l999) melaporkan bahwa arti penting serat kasar bagi ternak unggas
antara lain sebagai pemelihara struktur dan fungsi normal dari saluran pencernaan.
Pengaruh positif serat kasar pada ternak monogastrik dapat dibedakan menjadi tiga.
1. Serat kasar dapat mengurangi populasi sel goblet pada epitel usus.
Berkurangnya sel goblet ini menyebabkan jumlah lendir yang
dihasilkannyapun berkurang. Akibatnya, proses penyerapan zat makanan
oleh usus meningkat karena lendir dari sel goblet tersebut dalam saluran
pencernaan akan menghambat bagi proses absorpsi nutrisi, serta saluran
pencernaan menjadi lebih panjang.
22
2. Serat kasar dalam jangka lama dengan jumlah yang moderat berpengaruh
positif terhadap penyerapan mineral makanan. Hal ini terbukti dari hasil
penelitian yang menggunakan kulit gandum sebagai sumber serat dalam
waktu yang lama ternyata dapat meningkatkan retensi mineral sodium dan
potasium. Demikian juga halnya, penggunaan kulit kacang kedelai dalam
ransum ternyata dapat meningkatkan retensi mineral copper (Co) dan besi
(Fe).
3. Serat kasar yang tinggi dalam ransum dan diberikan dalam waktu yang lama
dapat mencegah kanibalisme pada ayam.
2.4.1. Jerami
Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Posisi
Indonesia terletak pada garis khatulistiwa sebagai kumpulan dari ribuan pulau-pulau
kecil (archipelago). Keadaan alam seperti ini menghasilkan iklim yang sangat
mendukung bagi kelangsungan hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Kondisi
tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang sangat
subur. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi yang sangat besar dalam
sektor pertanian. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadikan pertanian
sebagai komoditas usaha dan profesi. Kebutuhan akan pangan dalam negeri dapat
dipenuhi sebagian oleh sektor pertanian. Produktivitas pertanian tanaman pangan di
Indonesia setiap tahunnya.
Terkait dengan itu, setiap panen raya pertanian tanaman pangan di Indonesia
ini selalu membawa hasil sampingan atau limbah pertanian yang cukup besar pula.
Setiap tahunnya dihasilkan limbah pertanian yang sangat berlimpah hingga mencapai
jutaan ton. Limbah pertanian ini terdiri atas jerami padi, daun jagung, batang jagung,
23
daun kedelai, daun kacang tanah, dan ubi kayu. Jerami padi merupakan limbah
pertanian terbesar dengan jumlah sekitar 20 juta ton per tahun. Sebagian besar
jerami padi tidak dimanfaatkan, karena selalu dibakar setelah proses pemanenan. Di
lain pihak, sektor peternakan membutuhkan makanan ternak (pakan) yang harus
tersedia sepanjang waktu.
Jerami sudah tak asing lagi bagi petani peternak di Indonesia. Hal ini karena
ketersediaannya cukup melimpah sepanjang tahun, terutama pada saat panen raya
padi tiba. Jerami tersebut dimanfaatkan sebagai campuran atau makanan ternak jika
persediaan hijauan segar sudah tak mencukupi kebutuhan untuk konsumsi ternak.
Kendala keterbatasan jerami sebagai pakan adalah minimnya kandungan
nutrisi dari limbah pertanian tersebut. Berdasarkan realita yang ada, jerami umumnya
mengandung energi netto yang rendah per satuan berat. Kadar seratnya tinggi, yaitu
dalam keadaan kering mengandung serat kasar lebih dari 10% sehingga nilai hayati
jerami padi sangat rendah. Daya cernanya sekitar 40%, jumlah konsumsinya di
bawah 2% bobot badan ternak, dan kadar proteinnya 3 – 5%. Namun, untuk hidup
ternak ruminansia dibutuhkan bahan hijauan pakan dengan nilai kecernaan minimal
50 – 55% dan kandungan protein kasar sekitar 8% (Djajanegara, 1983).
Jenis jerami dan kandungan nutrisi yang terdapat di dalamnya tersaji pada
Tabel 2.4. Apabila dilihat dari kandungan protein kasarnya, maka jerami kacang
kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang otok sangat bagus digunakan
sebagai sumber protein untuk ternak ruminansia.
24
Tabel 2.4. Jenis jerami dengan kandungan nutrisinya
Nama Bahan Nutrien
BK (%) PK (%) LK (%) SK (%) TDN (%)
Jerami Padi
Jerami Kacang Kedelai
Jerami Kacang Tanah
Jerami Kacang Hijau
Jerami Kacang Panjang
Jerami Kacang Otok
Jerami Kulit Kedelai
Jerami Jagung Segar
31,867
30,389
29,084
21,934
28,395
15,516
61,933
21,685
5,211
14,097
11,314
15,319
6,941
16,058
7,998
9,660
1,166
3,542
3,319
3,593
3,334
3,925
5,071
2,209
26,779
20,966
16,616
26,899
33,491
38,080
38,672
26,300
51,496
61,592
64,504
55,522
55,280
48,313
56,129
60,237
Sumber : Analisis Proksimat Lab. Lolit Sapi Potong Grati Pasuruan.
Rendahnya tingkat kecernaan jerami padi, karena ikatan yang terjadi pada
jerami padi (selulosa dan hemiselulosa) ini sulit dipecah oleh mikroba rumen. Karena
itu, jerami yang dikonsumsi ini pun sulit dicerna dan banyak yang tidak
dimanfaatkan oleh pencernaan ruminansia. Dengan melihat komposisi zat nutrisi
jerami yang tergolong marginal itu, maka untuk mencapai hasil optimal dalam
penggemukan ternak ruminansia, perlu juga ditambahkan makanan penguat
(konsentrat).
2.4.2. Jerami Sebagai Pakan Ternak
Selama ini di Bali ternak terutama jenis ruminansia dipelihara hanya dengan
diberi pakan berupa rumput dan hijauan segar saja. Namun, dengan semakin
terbatasnya lahan, persoalan pakan ternak menjadi sebuah kendala dalam
pemenuhannya.
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Bali tahun 2004, luas areal
sawah (luas tanam) tahun 2004 adalah seluas 153.121 ha. Luas panen tanaman padi
25
selama satu tahun dari bulan Januari sampai Desember tahun 2004 adalah sebesar
144.146 ha. Tiap hektar tanaman padi dapat menghasilkan 3,86 ton bahan kering
jerami padi atau setara dengan 9,65 ton jerami segar. Dengan demikian, dalam satu
tahunnya Bali menghasilkan kira-kira 1.340.999,25 ton jerami segar/tahun. Kalau
dikonversikan dengan kebutuhan ternak terutama sapi dengan konsumsi berat kering
sebanyak 10 kg/ekor/hari atau 25 kg segar/ekor/hari, maka hal ini akan dapat
memenuhi kebutuhan sekitar 152.438,27 ekor ternak sapi.
Keadaan tersebut baru menggambarkan ketersediaan salah satu jenis jerami
saja, yaitu jerami padi. Bagaimana halnya dengan jenis jerami yang lainnya yang
jumlahnya juga cukup besar. Kalau potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara
optimal, maka akan dapat diperoleh kontribusi yang besar terhadap pengembangan
ternak ke depannya. Dengan memanfaatkan jerami sebagai pakan ternak, akan dapat
ditingkatkan daya tampung ternak, serta ditingkatkan efisiensi usaha, karena tidak
diperlukan investasi berupa lahan untuk penanaman hijauan pakan ternak.
Jerami padi (Oriza sativa) adalah salah satu contoh limbah pertanian yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan hijauan untuk ternak ruminansia.
Jerami padi merupakan limbah pertanian yang paling banyak, yaitu sekitar 43% dari
seluruh produksi limbah pertanian (Soejono, 1996), sehingga mempunyai potensi
yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan akan hijauan pakan di Indonesia
terutama sebagai sumber energi.
Jerami padi adalah limbah dari pemanenan tanaman padi yang berupa daun
atau batang tanaman padi setelah dipanen atau diambil gabahnya. Yang dimaksud
dengan jerami padi adalah bagian batang tumbuh yang setelah diambil bulir-bulir
26
buah bersama atau tidak dengan tangkainya dikuranggi dengan akar dan bagian
batang yang tertinggal setelah disabit kurang lebih 10 - 20 cm di atas tanah.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak masih sangat terbatas, yaitu
sekitar 35%. Produksi jerami padi secara nasional di tahun 1991 adalah sebanyak
39.069.772 ton bahan kering. Apabila jerami padi tersebut dimanfaatkan dengan
baik dan tepat, maka akan dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak ruminansia
sebanyak 13-14 juta unit ternak (UT). Menurut Komar (l984), pemanfaatan jerami
padi sebagai pakan ternak di Indonesia baru berkisar antara 31-39%, sedangkan yang
dibakar atau yang dikembalikan ke tanah sebagai pupuk sebesar 36-62%, dan sekitar
7 - 16 % digunakan untuk keperluan industri.
Jumlah produksi jerami padi di Bali mencapai 4,66 ton bahan kering per
hektar (BPS Propinsi Bali, 2000). Jerami padi yang dihasilkan selama ini sebagian
besar dibakar dan sebagian kecil dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk
kompos. Pada musim kemarau di daerah tertentu di Bali, jerami padi dimanfaatkan
sebagai pakan ternak.
Dari data limbah pertanian di Jawa dan Bali, diperoleh limbah pertanian
rata-rata 28,7 ton/tahun, dan sebanyak 67,20% berupa jerami padi (Anon., 2002).
Walaupun jumlahnya berlimpah, pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak masih
sangat terbatas, karena nilai gizinya rendah.
Anon. (2005) menyatakan bahwa kandungan protein kasar jerami padi
adalah sebesar 4,5%, lemak kasar 1,3%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 42%, abu
16,50%, dan bahan keringnya 80%. Selain itu, kecernaan jerami padi juga rendah,
yaitu berkisar antara 30 – 40% yang disebabkan karena dinding sel jerami padi sudah
mengalami lignifikasi bertaraf lanjut. Di samping itu, juga sudah terjadi ikatan
27
kompleks antara selulosa dan hemiselulosa dengan lignin menjadi lignoselulosa dan
lignohemiselulosa yang sangat sulit dicerna oleh mikroba rumen. Dilaporkan juga
bahwa kandungan selulosa jerami padi adalah sebesar 33% dan hemiselulosanya
26% yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia sebagai sumber energi, tetapi
dengan adanya ikatan tersebut menjadi sulit dicerna oleh mikroba rumen.
Di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, penerapan
bioteknologi pada pakan serat bermutu rendah, seperti jerami misalnya, belum begitu
populer. Menurut Rachim (2003), produksi jerami padi di Bali sangat tinggi, yaitu
berkisar antara 320 – 400 ribu ton jerami padi per musim panen. Dapat dibayangkan
berapa ribu ton ketersediaan jerami padi di Bali khususnya per tahun apabila dalam
setahunnya ada tiga kali musim panen. Pada Gambar 2.1, tersaji cara petani
peternak menyimpan jerami untuk pakan ternak tanpa sentuhan bioteknologi.
Gambar 2.1. Sistem penyimpanan jerami tanpa menerapkan teknologi
Jerami umumnya dibakar atau disimpan begitu saja di bawah pohon tanpa
perlakuan apa pun juga. Padahal, dengan sedikit sentuhan teknologi, jerami yang
28
merupakan pakan serat bermutu rendah akan meningkat nilai gunanya bagi
peningkatan produksi ternak.
Sebagai bahan pakan, jerami padi memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya: tingginya kadar komponen serat (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dan
silika. Di samping itu, kandungan protein kasarnya hanya berkisar antara 3 – 5% dari
bahan kering, kandungan mineral kalsium dan fosfornya masing-masing 0,41% dan
0,29%, padahal pemberian yang aman untuk ternak ruminansia sekitar 1,0% Ca dan
0,75% P dari bahan kering ransum (Sutrisno, 1988).
Selain itu, jerami padi memiliki sifat voluminous dan memakan tempat
(“bulky”), tingkat konsumsi (voluntary feed intake) rendah, dan nilai nutrisinya juga
rendah, karena kadar lignin dan silikanya tinggi dalam dinding sel sehingga sulit
dicerna oleh mikroba rumen, serta kandungan nitrogen dan energi termetabolismenya
rendah (Van Soest, 1985).
Jakson (1978) menyatakan bahwa serat kasar pada jerami padi mengandung
silika dalam gugus organik sebanyak 12 - 16% dari bahan kering. Silika merupakan
kristal yang terdapat dalam dinding sel dan mengisi ruang antarsel. Kristal silika ini
tidak larut dalam cairan rumen, sehingga menjadi hambatan bagi mikroba rumen dan
enzim yang dihasilkan untuk mencerna jerami padi (Sutrisno, 1988). Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa faktor lain yang menghambat daya cerna jerami padi adalah adanya
kandungan lignin yang cukup tinggi yang tidak dapat dihancurkan oleh mikroba
rumen.
29
2.5 Pakan Limbah Sumber Mineral
Pakan limbah sumber mineral yang paling banyak digunakan dalam
penyusunan ransum ternak, khususnya untuk ternak yang sedang menyusui, bertelur,
dan sedang tumbuh adalah sebagai berikut ini.
Tepung tulang. Bahan ini mengandung mineral kalsium (Ca) 24% dan
fosfor (P) 12%. Penggunaan tepung tulang mulai jarang ditemukan semenjak
sudah banyak ditemukannya sumber mineral sintetis yang diproduksi oleh
pabarik pakan maupun farmasi.
Tepung Kulit Kerang. Bahan ini merupakan sumber mineral Ca yang sangat
baik, dan kandungan kalsiumnya 38%, sering digunakan sebagai grit untuk
membantu pencernaan di bagian gizzard.
Kapur. Yang sering digunakan adalah kalsium karbonat, sering juga dikenal
dengan nama heavy. Kandungan kalsium (Ca) pada kapur hampir sama
dengan kulit kerang, yaitu 38%.
Garam dapur. Garam yang paling umum digunakan dalam penyusunan
ransum unggas adalah garam dapur, yang mengandung Iodium 30 – 100 ppm.
Garam dapur (NaCl) merupakan sumber mineral Na dan Cl. Penggunaannya
dibatasi sampai 0,25%. Bila berlebihan, sering terjadi pengeluaran kotoran
yang basah dan dalam jumlah banyak, sehingga litter menjadi basah. Hal ini
akan dapat mengganggu kenyamanan ayam.
Zeolit. Zeolit merupakan batuan vulkanik yang sebagian besar merupakan
mineral aluminosilikat terhidrat dengan struktur tiga dimensi dan mempunyai
kemampuan sebagai penukar kation, serta struktur kristal yang membangun
mineral tersebut mempunyai banyak rongga kecil yang dapat menyimpan air
30
dan kation (Mumpton dan Fishman, 1977). Sifat zeolit tersebut diduga dapat
berfungsi sebagai "carrier" zat makanan atau dapat menahan laju aliran
ransum dalam saluran pencernaan ternak nonruminansia sehingga peluang
untuk penyerapan zat makanan dapat lebih banyak (Soejono dan Santoso,
1990).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan zeolit dalam
ransum ternyata dapat meningkatkan penggunaan bahan organik, kalsium, dan
nitrogen ransum (Evans, 1989), serta dapat meningkatkan pertambahan berat dan
efisiensi penggunaan ransum (Nakaue et al. , l98l). Adanya kemampuan zeolit dalam
meningkatkan nilai cerna ransum telah dibuktikan oleh Bidura (l997) yang
mendapatkan bahwa penggunaan 2-6% zeolit dalam ransum secara nyata dapat
meningkatkan koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO)
pada broiler umur 0-6 minggu. Untuk lebih jelasnya, hasil penelitian tersebut tersaji
pada Tabel 2.5. Di samping itu, penggunaan zeolit dalam ransom ternyata dapat
menghambat laju aliran digesta dalam saluran pencernaan ayam sehingga peluang
untuk penyerapan zat makanan menjadi lebih lama.
Tabel 2.5. Pengaruh penggunaan zeolit dalam ransum terhadap nilai cerna dan laju
aliran ransum pada ayam broiler
Variabel Tingkat Zeolit dalam Ransum
0% 2% 4% 6%
Koefisien cerna bahan kering (%) 68,64 71,64 72,43 68,77
Koefisien cerna bahan organik (%) 74,77 75,39 77,51 75,01
Rate of Passage (menit) 168,4 169,80 172,80 170,80
Sumber : Bidura (l997)
31
Hasil penelitian yang dilakukan Harmiati (2004) melaporkan bahwa
penggunaan 2% zeolit dalam ransum nyata meningkatkan berat telur, tebal kulit
telur, berat jenis telur, dan nilai warna kuning telur ayam petelur Lohmann Brown.
2.6 Pakan Limbah Sumber Vitamin
Hampir semua vitamin terdapat dalam bahan pakan dari sumber nabati
maupun hewani. Umumnya pakan limbah berlemak banyak mengandung vitamin A,
D, E, dan K, sedangkan pakan limbah yang bersumber dari biji-bijian dan hijauan
banyak mengandung vitamin yang larut dalam air.
Vitamin digolongkan menjadi dua, yaitu (1) vitamin yang larut dalam lemak
dan (2) vitamin yang larut dalam air. Yang pertama dapat diekstrak dari bahan pakan
dengan larutan lemak dan yang kedua dengan air. Vitamin yang larut dalam lemak
termasuk vitamin A, D, E, dan K serta mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen.
Vitamin yang larut dalam air terdiri atas : asam askorbat (vitamin C) dan B-kompleks
(tiamin, riboflavin, asam nikotin, asam folik, biotin, asam pantotenat, piridoxin, dan
vitamin B12). Zat tersebut mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen dan dapat
pula mengandung nitrogen, sulfur, atau kobalt.
Kekurangan vitamin menyebabkan gangguan pertumbuhan, menurunnya
reproduksi dan produksi. Tidak jarang kekurangan vitamin menyebabkan kematian
pada ternak dewasa dan menurunnya mortalitas. Gejala defisiensi yang sering
dijumpai pada ternak, khususnya ternak unggas yang menderita kekurangan vitamin,
adalah sebagai berikut ini.
1. Anorexia, yaitu hilangnya nafsu makan ayam yang diakibatkan oleh
kekurangan vitamin A. Apabila gejala ini berlanjut, dapat terjadi kematian.
32
2. Ataxia, yaitu hilangnya keseimbangan ayam. Juga sering dijumpai hilangnya
warna kuning pada sisik kaki dan paruh. Berjalan beberapa langkah, terus
duduk memakai lutut (hock). Gejala ini timbul akibat kekurangan vitamin A
dan D.
3. Xeroptalmia, yaitu terjadinya pelepuhan di bagian atas saluran pencernaan
(glandula mukosa). Ditemukan adanya pustula putih kecil pada saluran
pernafasan, mulut, esofagus, faring, dan tembolok. Apabila butir-butir
tersebut pecah, dapat terjadi infeksi bakteri pada ayam. Gejala ini timbul
karena kekurangan vitamin A.
4. Enchephalomalacia adalah suatu keadaan di mana ayam mengalami ataxia
yang disebabkan karena terjadinya pendarahan dan oedema dalam molekul
dan lapisan granular dari otak, sebagai akibat ayam mengalami kekurangan
vitamin E.
5. Exudative diathesis, yaitu sejenis oedema yang disebabkan karena sangat
meningkatnya permeabilitas kapiler. Gejala ini timbul akibat defisiensi
vitamin E dan berhubungan erat dengan mineral selenium (Se).
2.7 Pakan Limbah Sumber Enzim
2.7.1. Produksi Enzim Hewani
Enzim komersial dari produk hewan biasanya diperoleh dalam bentuk ekstrak
kasar. Cara produksinya tergantung kepada jenis sumber. Berbagai enzim disintesis
dalam bentuk proenzim, sehingga harus diubah menjadi bentuk aktifnya dengan
menambahkan tripsin atau cairan duodenum (yang mengandung tripsin). Cairan
enzim yang diperoleh dipekatkan. Apabila terdapat banyak pekatan lendir, cairan
tersebut selanjutnya dapat diekstrak dengan metode ekstraksi protein biasa melalui
33
pengendapan protein oleh aseton atau ammonium sulfat yang selanjutnya diikuti
dengan pengeringan.
Berbagai pakan limbah lainnya seperti limbah pengolahan ikan dan putih
telur banyak dimanfaatkan sebagai sumber enzim protease dan lisozim. Katalase
yang berguna untuk menguraikan hydrogen peroksida (H2O2) dalam susu banyak
diperoleh dari hati ayam. Beberapa jenis enzim yang dapat diekstrak dari hewan dan
tanaman tersaji pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Enzim yang terdapat dan dapat diekstrak dari hewan dan tanaman
Enzim Sumber
Hewan Tanaman
Alfa-Amilase, Tripsin, dan
Khimotripsin
Kelenjar Pankreas Kecambah Barley
Beta-Amilase - Barley, ubi jalar, kac.
kedelai, gandum
R – Enzim Lipoksigenase - Kacang-kacangan,
kentang
Endo Beta-glukonase - Kecambah barley
Papain - Pepaya
Bromelin - Nenas
Pepsin Lambung
Renin Abomasum anak sapi
Esterase Kelenjar pankreas
Glukosa oksidase dan katalase Hati
Protease pankreas umumnya digunakan sebagai campuran preparat komersial
pengempuk daging. Komponen protease yang bekerja secara nyata adalah tripsin,
khimotripsin, kolagenase, elastase, dan pepsin. Tripsin memotong sisi karboksil lisin
34
dan arginin, sedangkan khimotripsin bekerja pada sisi karboksil triptofan, fenilalanin,
leusin, dan metionin. Elastase bekerja pada sisi karboksilalanin, dan kolagenase
bekerja pada sisi amino glisin. Substrat kolagen sendiri kaya akan glisin dan prolin.
2.7.2. Produksi Enzim Tanaman
Berbeda dengan enzim dari hewan yang umumnya diperoleh sebagai produk
samping, tanaman tertentu secara khusus dipelihara untuk menghasilkan enzim.
Contoh yang paling nyata adalah pohon pepaya untuk memproduksi papain. Papain
dari pepaya dan enzim amilolitik dari kecambah barley merupakan contoh enzim asal
tanaman yang dimanfaatkan dalam skala besar, khususnya dalam industri roti.
Enzim amilolitik dari malt atau kecambah barley bekerja dalam bentuk sel
asli (bentuk kecambah) dan tidak diekstrak seperti halnya dengan papain. Papain
terdapat dalam getah pohon, terutama getah buah papaya muda. Getah ini biasanya
dipanen dari pohon yang masih muda pada musim panas di pagi hari, sebab waktu
panen sangat mempengaruhi jumlah getah yang dihasilkan.
Papain dalam getah sangat sensitif terhadap adanya logam Oleh karena itu,
sebaiknya digunakan batang kayu atau kaca untuk menoreh buah dan bukan pisau
logam. Getah tersebut dikumpulkan dalam wadah non logam seperti mangkok
plastik atau dapat diambil langsung apabila getah dalam buah tidak menetes dan
sudah berkoagulasi di permukaan buah.
Pemanenan dapat dilakukan berulang-ulang pada buah papaya yang masih
muda. Mula-mula getah papaya yang baru diambil akan berbentuk cair, selanjutnya
mengental, dan terakhir menggumpal. Secara sederhana, papain dapat dijual sebagai
getah (lateks) yang sudah dikeringkan. Dari 1 kg getah papaya segar, akan diperoleh
200 g lateks (papain) kering. Pengeringan dapat dilakukan di bawah sinar matahari
35
atau oven bersuhu rendah. Senyawa bisulfit dapat ditambahkan untuk
mempertahankan stabilitas enzim selama pengeringan dan penyimpanan.
Pengeringan secara vakum lebih populer karena enzim yang dihasilkan lebih awet.
Papain merupakan enzim proteolitik, yaitu enzim yang mengkatalisis reaksi
hidrolisis suatu substrat protein. Hasil hidrolisis enzimatik protein adalah suatu
hidrolisat yang mengandung peptida dengan berat molekul rendah dan asam amino
bebas. Produk hidroklisat umumnya mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air,
kapasitas emulsinya baik, kemampuan mengembangnya besar, serta mudah diserap
oleh tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi enzim papain pada
ransum ayam petelur dapat meningkatkan konsumsi pakan (Sasongko, 1993).
Dalam produksi papain (crude papain) secara tradisional, getah hasil
penyadapan buah dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Papain yang diperoleh
dengan cara ini mempunyai aktivitas proteolitik yang lebih rendah daripada papain
yang dikeringkan dengan pengering semprot (spray drier) (Muhidin, 2003). Daun
pepaya yang layu sampai kering masih mengandung enzim, walaupun aktivitas
proteolitiknya rendah.
2.7.3. Produksi Enzim Mikroba
Produksi enzim dari mikroba menunjukkan keuntungan yang lebih besar jika
dibandingkan dengan produksi enzim dari sumber nonmikroba. Produksi enzim
mikroba dapat ditingkatkan pada skala besar dalam ruang yang relatif terbatas.
Teknik budidaya mikroba jauh lebih canggih bila dibandingkan dengan produksi
enzim dari hewan atau tanaman. Selain itu, pengembangbiakannya memerlukan
waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar 2 – 10 hari dalam “batch”
36
Spesies Aspergillus menunjukkan peranan yang sejajar dengan Bacillus
dalam memproduksi enzim. Golongan ini tersebar luas dan sangat beragam, serta
hanya beberapa spesies yang bersifat patogenik seperti Aspergillus plavus, A.
fumigatus, dan A. parasiticus. Golongan A. flavus membahayakan karena organisme
ini menghasilkan zat racun aflatoksin yang sangat toksik. Di antara golongan
Aspergillus, maka Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae yang paling banyak
digunakan dalam meningkatkan nilai nutrisi pakan (Maggy, 1989). Kapang
Aspergillus oryzae dan A. niger merupakan kapang penghasil amylase, glukoamilase,
protease, dan pektinase.
Tabel 2.7. Beberapa jenis mikroba yang menghasilkan enzim yang diproduksi untuk
tujuan komersial
Mikroba Golongan Enzim Komersial
Mucor miehei, Mucor pusillus Bakteri Renet
Endothia parasitica Bakteri Renet
Trichoderma viride dan T. reesei Kapang Selulase
Micrococcus lysodeikticus Bakteri Katalase
Bacillus licheniformis Bakteri Amilase, Protease
Rhizopus sp. Kapang Amilase, Glukoamilase,
Pektinase, Lipase, dan Protease
Streptomyces sp. Bakteri Glukosa isomerase
Streptococcus sp. Bakteri Streptokinase
Clostridium histoliticum Bakteri Kolagenase
Sumber : Maggy (1989)
Di antara sekian banyak mikroba penghasil enzim, kapang dari jenis
Aspergillus niger, A. oryzae, Saccharomyces, dan bakteri Bacillus subtillis termasuk
37
ke dalam golongan yang dipandang aman bagi kesehatan manusia maupun ternak.
Beberapa jenis mikroba penghasil enzim tersaji pada Tabel 2.7.
Species Bacillus sangat cocok untuk produksi enzim. Mikroba jenis Bacillus
merupakan golongan saprofit yang tidak menghasilkan toksin. Golongan ini mudah
ditumbuhkan dan tidak memerlukan substrat mahal. Beberapa Bacillus mampu
menghasilkan antibiotika polipeptida, misalnya B. licheniformis yang memproduksi
Bacitracin.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya substrat, suhu,
keasaman, kofaktor, dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat
keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein yang dapat
mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH
yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan
mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama
sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh kofaktor dan inhibitor. Dewasa ini, enzim
adalah senyawa umum yang digunakan dalam proses produksi. Enzim yang
digunakan pada umumnya berasal dari enzim yang diisolasi dari bakteri.
Penggunaan enzim dalam proses produksi dapat meningkatkan efisiensi yang
kemudian akan meningkatkan jumlah produksi.
2.7.4. Isolasi Enzim
Enzim sebenarnya dengan mudah dapat diisolasi dari sumbernya. Contohnya
enzim papain yang dapat diisolasi dari tanaman papaya. Metode sederhana untuk
mendapatkan enzim papain dari tanaman papaya, dapat diuraikan sebagai berikut ini
(Tarwiyah, 2001).
38
1. Penyadapan: (i) Penyadapan dilakukan terhadap buah muda dengan diameter
6 – 7 cm. Kulit buah ditoreh sedalam 0,5cm dari atas ke bawah. Torehan
tersebut dibuat sebanyak 4 buah untuk setiap buah papaya; (ii) Dari torehan,
akan menetes getah buah. Tetesan getah ditampung dengan mangkok.
Mangkok tersebut diletakkan pada penyangga dan penyangga tersebut
diikatkan 10 cm di bawah getah terendah; (iii) Bagian dalam mangkok dapat
dilapisi dengan kain blacu yang terbuat dari katun. Pelapisan ini berguna
untuk mencegah terperciknya getah keluar mangkok dan memudahkan pada
waktu melepaskan getah dari mangkok. Getah dapat dilepaskan dengan
menarik kain blacu; (iv) Penorehan dapat dilakukan setiap 2 atau 3 hari.
Paling sedikit penorehan dilakukan sekali seminggu. Perlu diusahakan agar
penorehan baru berjarak 2 cm dari penorehan sebelumnya (v) Biasanya
tetesan getah akan terhenti setelah 1 jam penorehan. Setelah tidak ada getah
yang menetes, getah dikeluarkan dari mangkok. Getah menempel kuat pada
mangkok. Oleh karena itu, perlu dikerok-kerok untuk melepaskannya dari
mangkok. Apabila mangkok dilapisi kain blacu, getah lebih mudah
dilepaskan dari mangkok, yaitu dengan menarik kain pelapis mangkok.
2. Reduksi molekul Pro-papain menjadi Papain : Molekul papain pada getah
papain merupakan pro-papain yang mempunyai ikatan disulfida. Bila ikatan
disulfida ini direduksi (diputus), maka dihasilkan molekul papain yang aktif
(dapat mengkatalisis pemutusan ikatan peptida). Senyawa pereduksi yang
digunakan adalah senyawa sulfit dalam bentuk Natrium bisulfit. Caranya
secara berturutan adalah sebagai berikut ini. (1) Natrium bisulfit dan NaCl
dilarutkan di dalam air. Setiap 1 liter air memerlukan 14 gram Natrium
39
Bisulfit dan 3 gram NaCl. Campuran ini diaduk sehingga diperoleh larutan
yang homogen. Larutan ini disebut larutan pengaktif; (2) Larutan pengaktif
dicampur dengan getah papaya. Tiap 1 kg getah papaya dicampur dengan 1
liter larutan pengaktif. Campuran diaduk sampai rata sehingga berupa bubur;
(3) Bubur tersebut disaring dengan kain saring untuk membuang kotoran
yang mungkin ada.
3. Pengeringan getah: Getah papaya perlu dikeringkan sesegera mungkin.
Apabila langit berawan, sebaikya getah dikeringkan dengan alat pengering
pada suhu 55 – 60 0C. Getah yang tidak segera dikeringkan atau tidak tersedia
panas yang mencukupi selama pengeringan akan berwarna sawo matang dan
berbau busuk. Getah yang sudah mongering disebut dengan konsentrat
papain. Kadar air konsentrat ini sebaiknya maksimum 9 %.
4. Hasil: Rata-rata setiap pohon dapat menghasilkan 0,25 – 0,35 kg getah kering
per tahun. Pohon sehat dapat disadap selama 3 tahun, mulai umur 1 – 3
tahun. Semakin tua tanaman, semakin turun produksi getahnya. Dalam setiap
hektar kebun papaya, dapat dihasilkan getah kering sebesar 67 – 135 kg per
tahun.
5. Penggilingan: Konsentrat papain yang telah cukup kering kemudian digiling
sampai halus. Jika jumlahnya tidak banyak, penggilingan dapat dilakukan
dengan menggunakan blender.
6. Pengemasan: tepung konsentrat papain harus disimpan pada wadah tertutup,
dan wadah yang dapat digunakan adalah botol kaca berwarna gelap, botol
plastik yang tidak bening, kantung plastik berlapis aluminium, dan kantung
kertas yang dimasukkan ke dalam plastik polietilin.
40
Enzim lainnya adalah Bromelin biasanya diperoleh dari limbah kulit, batang,
daun, atau bagian lain yang merupakan buangan tanaman nenas. Tanaman Ficus
carica menghasilkan fisin yang terdapat pada bagian getahnya (lateksnya). Tanaman
kacang tanah (Arachis hipogea) juga memproduksi protease arachin pada bijinya.
Waluh atau labu (Cucurbita pepo) memproduksi protease pada bagian bunganya,
dan buah semangka (Curcumis melon) dilaporkan juga mengandung protease.
2.8 Pakan Limbah Sumber Hormon
Pakan limbah sumber hormon yang paling mudah didapat adalah melalui
pengambilan kelenjar hipofisa ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) dari kepala
ternak tersebut. Ketersediaan kelenjar hipofisa sapi cukup banyak, khususnya di
daerah perkotaan. Kelenjar hipofisa merupakan kelenjar sistem endokrin yang
terletak di bawah dasar otak dan terlindung dalam sebuah bentukan dari tulang di
bawah hipotalamus yang disebut dengan sella turcica (Djojosoebagio, 1990).
Kelenjar hipofisa ini merupakan organ yang relatif kecil ukurannya jika
dibandingkan dengan ukuran tubuh; misalnya pada sapi ukuran 1.988 + 0,49 mg
(Oka, 1992). Hormon yang dihasilkan mempunyai pengaruh pada sejumlah proses
vital dalam tubuh manusia maupun hewan. Pengaruh yang luas dari kelenjar hipofisa
di dalam tubuh disebabkan oleh kerja hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa
tersebut.
Umumnya, kepala ternak besar (sapi, kerbau, kambing, dan domba) setelah
diambil bagian otak, kulit, lidah, dan kuping, maka yang tertinggal adalah bagian
tulang. Kelenjar hopofisa yang tersembunyi di bagian dasar otak, biasanya tidak ikut
terambil. Oleh karena itu, akan sangat ekonomis sekali bila diambil untuk diekstrak
41
atau diambil hormonnya. Hormon yang terkandung di dalamnya dapat digunakan
untuk memacu pertumbuhan dan menurunkan akumulasi lemak dalam tubuh ternak.
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa sudah banyak diketahui
sebagai salah satu hormon yang berperan dalam metabolisme zat makanan seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Menurut Partodihardjo (1987), hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisa ada sembilan macam, yaitu: ACTH
(Adrenocorticotrope hormone), TSH (Thyroid stimulating hormone), FSH (Follicle
stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone), STH (Somatrotropin hormone),
MSH, Prolaktin, Vasopresin, dan Oksitosin.
Hormon merupakan substansi organik yang disekresikan oleh kelenjar
endokrin langsung ke dalam sirkulasi darah, yang kemudian diteruskan ke organ
sasarannya. Dalam jumlah yang relatif sangat sedikit, hormon tersebut sudah mampu
memberikan perubahan fisiologis yang cukup besar pada organ sasarannya. Hormon
sangat berperan dalam mengatur fungsi fisiologis organ tubuh sehingga sering
dicobakan sebagai zat perangsang pertumbuhan pada ternak seperti hormon
testosteron, tiroksin, dan kortison.
42
III. LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN
3.1 Potensi Limbah Kulit Biji
Kulit dari beberapa jenis biji-bijian ataupun leguminosa merupakan limbah
pertanian yang mempunyai potensi cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber
energi pakan ternak. Selain potensinya sebagai sumber energi, kulit biji-bijian juga
mempunyai keunggulan dalam menurunkan kadar kolesterol dan komponen lemak
tubuh pada ternak (Piliang, 1997).
Lundin et al. (l993) melaporkan bahwa marmot yang diberi ransum dengan
kandungan serat kasar tinggi (12%) yang bersumber dari kulit kacang kedelai dan
dedak gandum ternyata meningkatkan densitas volume epitel dan vilus di daerah
jejunum, ileum serta di bagian proksimal dan distal usus halusnya. Dilaporkan juga
oleh Rhein et al. (l992) bahwa pemberian 8% kulit kacang kedelai atau kulit kacang
tanah yang diberi tambahan ragi tape sebanyak 0,75% ternyata dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum dan tidak berpengaruh terhadap pertambahan berat
badan babi lepas sapih.
Piliang et al. (l996) menyatakan bahwa suplementasi kulit kacang kedelai ke
dalam ransum primata (Macaca fascicularis) dapat menurunkan kadar kolesterol,
kadar trigliserida, dan kadar LDL darah. Dilaporkan juga oleh Bakhit et al. (l994)
bahwa konsumsi kulit kacang kedelai mampu menurunkan kadar lemak darah.
Yalcin et al. (l990) melaporkan bahwa penggunaan kulit kacang hazel dengan
kisaran 2 - 6 % tidak berpengaruh pada produksi telur dan FCR, tetapi meningkatkan
warna kuning telur.
42
43
3.1.1. Kulit Biji Kacang Kedelai
Lebih dari 90 % tempe diproduksi oleh perusahaan rumah tangga yang
jumlahnya di Indonesia mencapai sekitar 10 ribu buah dan jumlah kacang kedelai
yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut adalah sekitar 5000 ton/hari (Subekti,
1982). Kulit biji/ari yang dihasilkan adalah 15 – 20 % dari biji kacang kedelai.
Rata-rata konsumsi tempe per orang per hari di pulau Jawa berkisar antara
30–120 gram per hari. Hal tersebut disebabkan karena tempe berfungsi sebagai
sumber protein pengganti daging dengan harga relatif murah (Winarno, 1979). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ternyata kandungan nutrisi dari kulit ari kacang
kedelai yang diperoleh lewat perebusan dan perebusan menunjukkan adanya
perbedaan. Uraian lebih rinci tersaji pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Komposisi kimia kacang kedelai dan kulit ari kacang kedelai, yang
dipeoleh lewat perebusan (cara A) dan perebusan-perendaman (cara B)
Zat Makanan Kacang Kedelai Kulit Biji Kacang
Kedelai/Ampas Tempe
Cara A Cara B Cara A Cara B
Bahan Kering (%) 90.0 91,20 19,50 20,50
Protein kasar (%) 38,60 35,70 17,20 13,00
Energi (MJ/kg) 23,50 23,70 18.00 18,20
Serat Kasar (%) 14,80 15,10 64,00 70,20
Ca (%) 0,30 0,30 0,40 0,40
Fosfor (%) 0,60 0,60 0,20 0,20
Abu (%) 5,30 5,30 2,90 2,30
Sumber : Bakrie et al. (1990)
Ampas tempe atau kulit ari kacang kedelai yang dihasilkan terdiri atas “tista”
atau kulit ari (87,70-92,90%), pecahan cutiledon (6,1-10,50%) dan tunas atau
44
hipokotil (1,0-1,80%). Koefisien cerna bahan keringnya secara in vitro tinggi, yaitu
berkisar antara 73,20-81,60% (Bakrie et al., 1990).
3.1.2. Bungkil Kacang Kedelai
Penggunaan kacang kedelai mentah dalam pembuatan ransum masih sangat
jarang. Hal ini disebabkan karena kacang kedelai masih digunakan dalam pembuatan
tahu dan tempe, serta masih mengandung zat penghambat pertumbuhan yang sering
dikenal dengan istilah antitripsin. Antitripsin baru dapat dihilangkan dengan proses
pemanasan.
Bungkil kacang kedelai merupakan hasil samping pembuatan minyak kedelai;
merupakan sumber protein dan sering digunakan dalam penyusunan ransum untuk
mendampingi tepung ikan. Kandungan proteinnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara
42-50%, dan energi termetabolisnya berkisar antara 2825 – 2890 kkal/kg. Faktor
pembatas penggunaannya sebagai sumber protein dalam ransum adalah asam
aminonya yang tidak seimbang dan defisien akan methionin. Namun, itu dapat
diatasi, mengingat sudah ada asam amino sintetis (metionin sintetis). Kandungan
seratnya tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 6%.
Penggunaan bungkil kacang kedelai dalam ransum unggas adalah :
untuk ayam ras petelur dan pedaging : 0- 30%,
itik petelur : 0 – 40%, dan
entog atau sejenisnya : 0 – 45%.
Khomsan (1999) menyatakan bahwa dalam kedelai terkandung zat yang
disebut beta-sitosterol yang mempunyai efek hipokolesterolemik (menurunkan kadar
kolesterol). Di samping itu, penggunaan ragi dalam proses fermentasi kacang kedelai
menjadi tempe juga akan menekan kadar kolesterol. Hal ini disebabkan karena
45
proses peragian tersebut dapat meningkatkan niasin dari 9 mg dalam kacang kedelai
menjadi 60 mg dalam tempe per 100 g bahan. Niasin dapat menurunkan kadar
kolesterol total dan kolesterol jahat (LDL) serta menaikkan kadar kolesterol baik
(HDL). Dalam tempe ditemukan juga isoflavon yang merupakan enzim paling
penting dalam tempe. Isoflavon dapat membersihkan berbagai radikal (zat beracun)
yang berada dalam darah dan mengikis endapan kolesterol pada dinding pembuluh
darah koroner yang mengalami proses pengapuran.
3.2 Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah pembuatan tahu dan masih mengandung
protein dengan asam amino lysin dan metionin serta kalsium yang cukup tinggi.
Akan tetapi, kandungan serat kasar dan air pada ampas tahu tinggi, sehingga menjadi
faktor pembatas penggunaannya dalam penyusunan ransum. Oleh karena itu, untuk
memberdayagunakan ampas tahu, perlu diberikan perlakuan dan salah satunya
adalah dengan fermentasi (Mahfudz, 2006).
Mahfudz (2006) melaporkan bahwa ampas tahu, sebelum dipakai sebagai
bahan penyusun ransum, terlebih dahulu difermentasi dengan ragi yang mengandung
kapang Rhyzopus oligosporus dan R. oryzae. Ada tiga tahap pembuatan ampas tahu
terfermentasi, yaitu (1) persiapan ampas tahu, meliputi pencucian, pengepresan, dan
pengukusan; (2) inokulasi dengan kapang, pencetakan, dan inkubasi selama 40 jam,
dan (3) pembuatan tepung yang dimulai dengan mengiris tipis ampas tahu tersebut
(“germbus”), menjemur, dan menggiling. Uraiannya secara lebih rinci tersaji pada
Gambar 3.1.
46
Ampas Tahu
Pemeraman selama 24 jam (suhu kamar)
Pencucian dengan air mengalir sampai air jernih
Pengepresan untuk mengurangi kadar air
Pengukusan selama 60 menit
Pendinginan sampai suhu kamar (dengan diangin-anginkan)
Inokulasi dengan 1% ragi tempe (mengandung kapang R. oligosporus dan R. oryzae)
Pencetakan
Inkubasi 40 Jam
Tempe ampas tahu dipotong tipis agar mudah kering
Dijemur matahari
Digiling dan diayak
Tepung tempe ampas tahu
Gambar 3.1. Bagan pembuatan tepung tempe ampas tahu terfermentasi (Mahfudz
2006)
Mahfudz et al. (l997) menyatakan bahwa tempe ampas tahu memiliki
kandungan protein kasar 21,66%, Serat kasar 20,26%, Lemak kasar 2,73%, abu
3,68%, dan kadar air 11,18%, Ca 1,09 %; P 0,88% dan energi termatabolisnya 2.830
47
kkal/kg bahan. Duldjaman (2005) melaporkan bahwa ampas tahu mengandung
protein kasar 23,62%, BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 41,98%, serat kasar
22,65%, dan lemak kasar 7,78%.
Penggunaan ampas tahu terfermentasi pada level 10% tidak berpengaruh
nyata terhadap berat karkas dan persentase karkas. Akan tetapi, pada level 15% dan
20% secara nyata meningkat. Peningkatan pemberian ampas tahu secara nyata
meningkatkan bobot karkas dan luas otot mata rusuk (cm2). Hampir semua
komponen karkas domba (otot, lemak, jaringan ikat, dan tulang) meningkat dengan
semakin meningkatnya pemberian ampas tahu (100-300 g/ekor/hari (Duldjaman,
2005). Penggunaan ampas tahu terfermentasi dengan ragi oncom pada level 10%,
15%, dan 20% dalam ransum ayam pedaging nyata meningkatkan konsumsi ransum,
pertambahan berat badan, dan efisiensi penggunaan ransum.
Mahfudz et al. (l996) menyatakan bahwa meningkatnya nafsu makan dengan
adanya penggunaan ampas tahu terfermentasi dalam ransum disebabkan karena
proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan asam glutamat yang dapat
meningkatkan nafsu makan ayam. Proses fermentasi akan memecah protein dan
karbohidrat menjadi asam amino, N, dan karbon terlarut, yang diperlukan untuk
sintesis protein (Rahayu et al., l989). Meningkatnya kecernaan protein juga
mempermudah metabolisme protein, sehingga secara langsung juga meningkatkan
sintesis protein daging (Suparno, 1982)
Proses fermentasi dengan menggunakan ragi yang mengandung kapang
Rhizopus oligosporus dan R. oryzae akan menyederhanakan partikel bahan pakan,
sehingga akan meningkatkan nilai gizinya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi akan
48
mengubah protein menjadi asam amino dan secara tidak langsung akan menurunkan
kadar serat kasarnya.
Proses fermentasi yang tidak sempurna tampaknya menyebabkan
berkembangnya bakteri lain yang bersifat patogen yang menimbulkan gangguan
kesehatan dan kematian ternak penelitian.
3.3 Pollard
Gandum (Triticum aestinum) adalah termasuk jenis tanaman rumput-
rumputan (gramineae) yang ditanam untuk produksi biji. Di negara-negara penghasil
gandum (Kanada, USA, Eropa, dan Australia), biji gandum dimanfaatkan sebagian
besar untuk makanan manusia dan sebagian kecil merupakan sumber energi untuk
pakan ternak.
Menurut Mc.Donald et al. (1978), biji gandum terdiri atas 85% endosperma,
13% dedak dengan kulit biji, serta 2% germ (embrio dan lembaga). Banyaknya
tepung yang dihasilkan bervariasi. Sebagai contoh, di Inggris tepung yang dihasilkan
± 72% dan sisa yang 28% terdiri atas : wheat germ (embrio) yang mengandung
protein 22-32%, bran (straight run bran) campuran dedak dengan kandungan serat
kasar 8,5 – 12%, dan protein kasar 12,5 – 16%.
Pollard merupakan limbah dari pengolahan gandum. Kandungan nutrisinya
cukup baik, yaitu mengandung energi termetabolis 1140 kkal/kg, protein 11,80%,
serat kasar 11,20%, dan lemak kasar 3,0% (Wawan, 2003). Menurut Scott et al.
(l982), pollard mengandung energi termetabolis 1300 kkal/kg, protein kasar 15%,
lemak kasar 4,0%, dan serat kasar 10%. Lebih jauh, NRC (l984) melaporkan bahwa
pollard mengandung energi termetabolis 1300 kkal/kg; protein 15,70%; lemak kasar
3,0%; dan serat kasar 11 %.
49
Wheat pollard merupakan bahan pakan alternatif sebagai pengganti jagung.
Kelemahan utama wheat pollard sebagai bahan pakan ternak adalah tingginya
kandungan polisakarida non-pati, yaitu arabinoxilan. Selain itu, penggunaan yang
tinggi dalam ransum ternak monogastrik, khususnya ternak unggas dapat berperan
sebagai antinutrisi, yaitu dapat menghalang-halangi penyerapan asam amino dan
mineral dalam saluran pencernaan (Vranjes dan Wenk, l995). Selain itu, pemberian
wheat pollard yang tinggi pada unggas akan dapat menekan pertumbuhan. Karena
itu, sampai saat ini pemakaian wheat pollard pada unggas belum optimal dan
penggunaan pada ransum tidak boleh melebihi 15%.
Tingginya kandungan polisakarida non-pati pada wheat pollard dapat diatasi
dengan menambahkan enzim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
enzim yang bersumber dari cairan rumen pada tingkat 620 – 1240 U/kg wheat
pollard ternyata dapat meurunkan kandungan polisakarida dan sebaliknya dapat
meningkatkan oligosakarida serta kandungan energi metabolis wheat pollard. Uraian
lebih jelasnya tersaji pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Pengaruh penambahan enzim cairan rumen pada wheat pollard terhadap
persentase polisakarida, oligosakarida, dan energi termatabolis wheat
pollard pada broiler
Perlakuan Polisakarida
(%)
Oligosakarida
(%)
Energi
Termetabolis
(MJ/kg)
Kontrol 26,32 73,68 6,176
620 U/kg Enzim Rumen 22,24 77,76 6,248
1240 U/kg Enzim Rumen 22,38 77,62 7,548
Bahan sampingan wheat (wheat by products) merupakan hasil sisa dari
produk gandum yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian karena manfaat utama
50
yang berupa tepung gandum telah diperuntukkan untuk manusia. Bahan sampingan
yang potensial untuk dimanfaatkan baik untuk ternak maupun untuk manusia adalah
dedak gandum. Dedak gandum yang merupakan 13% bagian biji ini sangat baik
untuk sumber protein pada pakan ternak dan pakan suplemen manusia karena
kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi (8,5 – 12 %). Serat kasar, yang sebagian
besar adalah selulosa dan lignin hampir semuanya tidak tercerna oleh ternak
monogastrik termasuk manusia (Ensminger et al., 1990).
Pollard yang beredar di pasaran umumnya ada dua macam, yaitu pollard
halus dan pollard kasar. Hasil analisis di laboratorium menunjukkan bahwa
kandungan serat kasar pollard tersebut masing-masing 15,34% dan 26,42%.
Tingginya kandungan serat kasar pada pollard menjadi faktor pembatas
penggunaannya dalam ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
pollard di atas 15% pada ayam menyebabkan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan
ransum menurun.
Tabel 3.3. Perubahan kadar gula, polisakarida, oligosakarida, dan energi termetabolis
wheat pollard yang diberi enzim rumen
Perlakuan Gula Total (mg/g) Prosentase (%) Energi
Termetabolis
(MJ/kg) Sebelum
dialisis
Setelah
dialisis
Polisa
karida
Oligosa
karida
Tanpa Enzim 175,79 46,28 26,32 73,68 6,176 ± 0,37
Enzim 620 U/kg 186,83 41,55 22,24 77,76 6,248 ± 0,19
Enzim 1.240 U/kg 154,33 34,55 22,38 77,62 7,548 ± 0,27
Sumbe : Pantaya (2005)
Pada Tabel 3.3, terlihat prosentase penurunan polisakarida antara wheat
pollard tanpa enzim dan wheat pollard dengan penambahan enzim 620 dan 1.240
51
U/kg masing-masing sebesar 4% dan 3,9%. Wheat pollard tanpa enzim mengandung
polisakarida yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diberi enzim. Rataan
energi termetabolis memperlihatkan bahwa penambahan enzim akan meningkatkan
energi termetabolisme wheat pollard.
3.4 Dedak Padi
Dedak padi merupakan pakan limbah yang paling banyak digunakan dalam
penyusunan ransum. Dedak padi merupakan limbah dari proses pengolahan gabah
dan tidak dikonsumsi oleh manusia. Kelemahan utama dedak padi adalah kandungan
serat kasarnya yang cukup tinggi, yaitu 13,0%. Serat kasar yang tinggi tersebut
merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam penyusunan ransum ternak
nonruminansia. Namun, kandungan proteinnya yang berkisar antara 12 – 13,5% dan
energi termetabolis berkisar antara 1640 – 1890 kkal/kg, menjadikan bahan pakan
ini sangat diperhitungkan dalam penyusunan ransum ternak nonruminansia.
Kelemahan lain dari dedak padi adalah kandungan asam aminonya yang
rendah, demikian juga halnya dengan vitamin dan mineral. Pada Tabel 3.4, tersaji
data komposisi kimia dari dedak padi kasar, dedak halus yang bersumber dari pabrik
dan kampung, serta bekatul yang mempunyai nilai nutrisi yang paling bagus di antara
dedak padi lainnya.
Dari Tabel 3.4 tersebut, ternyata kandungan nutrien dedak padi yang
bersumber dari pabrik masih lebih baik jika dibandingkan dengan dedak padi
kampung. Umumnya, dedak padi yang beredar di pasaran hampir semuanya
bersumber dari pabrik. Oleh karena itu, ketelitian dalam pemilihan dedak padi sangat
penting artinya, karena perbedaan kandungan nutrien cukup signifikan.
52
Kandungan protein dedak padi umumnya disebut oryzem, dan protein ini
memiliki nilai gizi yang tinggi karena banyak mengandung asam amino esensial.
Dedak padi mengandung minyak sekitar 10 – 30%, dan asam lemak tidak jenuh yang
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 75 – 80%. Kandungan karbohidrat pada dedak
padi dapat mencapai 40 – 49% dan sebagian besar dalam bentuk pati.
Tabel 3.4. Komposisi kimia berbagai jenis dedak padi
Komponen
(%)
Dedak Kasar Dedak Halus Bekatul
Pabrik Kampung
Air 10,50 10,90 11,70 12,55
Protein kasar 6,10 13,60 10,10 10,80
Lemak kasar 2,30 6,20 4,90 2,90
Ether extract 38,80 - - -
Serat kasar 26,80 8,00 15,30 4,90
Nitrogen - 50,80 48,10 61,30
Abu 15,50 8,50 9.90 7,55
Dedak padi merupakan selaput antara beras dengan sekam padi dengan berat
lebih kurang 8,50% dari berat padi. Dedak dihasilkan dari penggilingan padi
menjadi beras (Sulistya, 1987). Dedak dapat dihasilkan dari penyosohan beras pecah
kulit menjadi beras, termasuk di dalamnya lapisan kutikula dan sebagian kecil
lembaga.
Penggunaan dedak padi dalam ransum ada batasnya, yaitu 0-15% untuk ayam
petelur fase starter; 0-20% untuk ayam petelur fase grower; dan 0-20% untuk
ayam petelur fase layer. Untuk ayam broiler, penggunaannya berkisar antara 5-20%,
53
dan tidak lebih dari 20% karena akan dapat menurunkan produktivitas ayam. Pada
Tabel 3.5, tersaji batas penggunaan dedak padi dalam penyusunan ransum ternak.
Tabel 3.5. Tingkat penggunaan dedak padi dalam ransum unggas dan babi
Jenis Hewan Level Penggunaan
Starter Grower Finiser/Layer
Ayam ras petelur 0 – 15 0 – 20 0 – 20
Broiler 5 – 20 5 – 20 5 – 20
Kalkun 5 – 8 10 – 20 10 – 25
Itik 5 – 10 5 – 15 5 – 25
Entog 5 – 10 10 – 25 10 – 30
Babi 1 – 20 10 – 30 20 – 40
Hasil penelitian Rianto et al. (2006) menunjukkan bahwa semakin tinggi
pemberian dedak padi dalam ransum berbasis rumput gajah, semakin meningkat
pertambahan berat badan harian (g/ekor/hari) domba. Selain itu, juga terjadi
peningkatan yang signifikan pada berat daging dan lemak karkas.
3.5 Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan limbah dari proses pembuatan minyak kelapa.
Kalau proses pembuatan minyak kelapa cukup baik, maka kandungan lemak bungkil
kelapanya akan rendah (dapat disimpan lama). Namun, bila proses pembuatan
minyak tidak sempurna, bungkil kelapa masih banyak mengandung lemak. Hal inilah
yang menjadi kendala penggunaannya dalam penyusunan ransum unggas karena
bahan tersebut mudah tengik. Namun, kendala tersebut dapat diatasi dengan
penambahan zat anti jamur dan antioksidan.
54
Kandungan protein kasarnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20 – 26 %
tergantung pada proses pembuatannya. Demikian juga, kandungan energi
termetabolisnya rendah 1640 kkal/kg dan tergantung pada proses pembuatannya.
Namun, yang dapat dimanfaatkan oleh ternak unggas khususnya berkisar antara 53 –
81 %. Akan tetapi, karena proses pembuatan bungkil kelapa tersebut melalui proses
pemanasan, asam amino lysin mudah rusak, sehingga dapat dikatakan bahwa bungkil
kelapa kandungan asam amino lysinnya masih perlu disuplementasi dengan asam
amino lysin sintetis di samping metionin.
Penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan ransum unggas adalah :
untuk ayam ras petelur : 0 – 25%,
ayam ras pedaging : 0- 15%,
ayam buras : 0 – 35%,
itik : 10 -35%,
entog/itik manila : 10 – 20%, dan
angsa : 10 – 30%.
Teknologi fermentasi dapat meningkatkan kualitas dari bahan pakan
khususnya yang memiliki serat kasar dan antinutrisi yang tinggi. Fermentasi dapat
meningkatkan kecernaan bahan pakan melalui penyederhanaan zat yang terkandung
dalam bahan pakan oleh enzim yang diproduksi oleh fermentor (mikroba).
3.6 Onggok
Penggunaan ubi kayu dalam ransum unggas dan dalam keadaan mentah
kurang memuaskan karena mengandung racun, yaitu asam sianida (HCN). Namun,
penjemuran, perebusan, atau pemanasan bahan tersebut dapat menurunkan atau
menghilangkan racun tersebut.
55
Kelebihan utama ubi kayu adalah kandungan energi termetabolisnya yang
cukup tinggi, yaitu 2970 kkal/kg. Namun, kandungan protein kasarnya rendah,
berkisar antara 0,18 – 2,50%, serat kasarnya 0,77 – 0,97%, dan lemak kasarnya 0,94
– 0,95%. Kandungan protein kasar ubi kayu sangat beragam tergantung pada
varietas tanamannya.
Gambar 3.2. Onggok merupakan ampas hasil pemerasan ubi kayu dalam proses
pembuatan tapioka.
Onggok (Gambar 3.2) adalah limbah padat atau ampas yang merupakan hasil
pemerasan ubi kayu dalam proses pengolahan pati (tapioka). Onggok umumnya
masih mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu 45–69% dengan kandungan
serat kasarnya berkisar antara 8 – 11%.
Ubi kayu (Manihot carthagenesi) kandungan protein kasarnya dapat
mencapai 15,4%. Pemanasan ubi kayu di dalam oven dapat mengurangi HCN bebas
dan menghancurkan enzim linamarin, yaitu enzim yang dibutuhkan untuk hidrolisis
glukosida dalam bentuk HCN bebas.
Lebih rinci perubahan kandungan nutrisi pada onggok sebelum dan sesudah
difermentasi dengan A. niger tersaji pada Tabel 3.6. Dari hasil fermentasi tersebut,
56
peningkatan yang paling tinggi nampaknya terjadi pada kandungan protein kasar,
yaitu dari 0,44 % menjadi 23,96 %.
Tabel 3.6. Perubahan zat gizi onggok sebelum dan sesudah difermentasi dengan
kapang Aspergillus niger
Zat Gizi (%) Onggok Onggok fermentasi
Protein kasar 0,44 23,96
Serat kasar 10,53 14,56
Abu 2,40 2,60
Kalsium 0,09 0,25
Fosfor 0,03 0,26
Treonin - 0,29
Alanin - 0,39
Glisin - 0,29
Valin - 0,36
Metionin - 0,10
Isoleusin - 0,26
Leusin - 0,42
Fenilalanin - 0,27
Lisin - 0,25
Arginin - 0,32
Sumber : Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor (2004)
Hasil penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor (2004) melaporkan
bahwa penggunaan onggok terfermentasi dalam ransum ternak ternyata
meningkatkan produktivitas ternak. Proses fermentasi dengan menggunakan kapang
Aspergillus niger ternyata dapat meningkatkan daya cerna bahan kering dan protein
57
kasar onggok. Dengan penambahan campuran mineral tertentu ke dalam onggok,
dapat ditingkatkan kandungan protein onggok, karena ativitas kapang yang mampu
mengubah nitrogen anorganik menjadi protein.
Batas penggunaan onggok terfermentasi dalam ransum adalah sebagai
berikut:
pada ayam buras : 10%,
ayam broiler : 7,50% ,
ayam/itik petelur : 10%, dan
sapi perah : 25%.
Tingginya kandungan karbohidrat pada onggok menyebabkan onggok cocok
digunakan sebagai sumber karbon dalam fermentasi padat maupun cair. Namun
demikian, penggunaan onggok sebagai bahan pakan alternatif jarang dilakukan
karena kandungan protein kasarnya yang rendah, yaitu 0,44 %.
58
IV. LIMBAH PERKEBUNAN
4.1 Kulit Cokelat (Theobroma cacao)
Tanaman kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu tanaman
perkebunan, yang saat ini penanamannya berkembang dengan pesat, khususnya di
pulau Jawa dan Bali. Tujuan utama produksi kakao adalah untuk mendapatkan
bijinya (bean) yang menjadi salah satu devisa andalan Indonesia. Dalam proses
tersebut pengeluaran biji tersebut, dihasilkan limbah yang jumlahnya jauh lebih
banyak. Buah kakao terdiri atas 73% cangkang buah atau pod dan 27% isi buah
yang terdiri atas biji beserta musilase (Wong et al., l986).
Wong et al. (l986) menyatakan bahwa kulit cokelat atau cangkang kakao
mengandung theobromine (3,7-dimethyl-xanthine). Konsentrasi yang tertinggi
terdapat pada isi biji (nib), pada kulit biji sekitar 1,8-2,1%, dan pada cangkang kakao
sekitar 0,17-0,20%. Lebih lanjut, dilaporkan juga oleh Sutardi (l99l) bahwa konsumsi
theobromine dalam jumlah banyak oleh unggas dapat mengganggu pertumbuhan,
produksi telur, terjadi lisis pada usus halus, dan apabila terlalu banyak dapat
menimbulkan kematian.
Umumnya, buah kakao (Theobroma cacao) setelah dipanen, buah dikupas di
kebun dan isinya (27%) diangkut ke pabrik untuk diolah, sedangkan bagian
cangkangnya/pod (73%) biasanya disebarkan di sekitar tanaman. Penyebaran di
sekitar tanaman dapat mengundang infeksi jamur Phytopthora palmivora pada buah,
yang dikenal dengan nama “black pod disease”.
Menurut Sutardi (l99l), berdasarkan hasil analisis proksimat bahan kering
cangkang kakao terdiri atas : 12,6% abu; 8,9% protein kasar; 0,90% lemak kasar;
58
59
34,50% serat kasar; dan energi metabolisnya 1746 kka/kg bahan kering. Smith
(l984) menyatakan bahwa fraksi karbohidrat (BETN) pada cangkang kakao sangat
mudah dicerna, tetapi kecernaan serat kasarnya rendah. Hal ini disebabkan karena
kadar NDF (Neutral Detergent Fibre) pada cangkang kakao tinggi, yaitu 66,30 %,
ADFnya (Acid Detergent Fibre) 65,10%, dan lignin 28,0%, serta kadar silikanya
rendah yaitu 0,17%.
Biofermentasi pod kakao dengan kapang Phanerochaete chrysosporium
ternyata dapat melunakkan dan memecah dinding serat pod kakao dan juga mampu
melepaskan pita-pita serat mikrofibrilnya, sehingga struktur serat menjadi rapuh dan
lebih terbuka. Kapang tersebut bekerja secara bertahap dalam memecah komponen
dinding sel. Melalui benang fibril hifanya, kapang Phanerochaete chrysosporium
mengeluarkan enzim peroksidase ekstraseluler. Enzim peroksidase ekstraseluler
tersebut bekerja secara aktif pada aktivitas lignolisis sehingga ikatan lignoselulosa
putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2 dan selulosa dapat dimanfaatkan oleh
mikroba rumen. Fermentasi cangkang coklat dengan inokulan EM-4 dapat
meningkatkan kandungan fosfornya (Arsyad et al., 2001); demikian juga halnya
dengan kandungan protein dan koefisien cernanya (Bidura et al., 2002).
Proses biofermentasi pada pod kakao akan merombak struktur jaringan kimia
dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa dan lignin, sehingga ransum mudah
dicerna. Pada saat berada di dalam saluran pencernaan ayam, mikroba fermenter ini
akan mampu bekerja sebagai probiotik. Probiotik dalam saluran pencernaan dapat
meningkatkan kecernaan zat makanan (Jin et al., 1997), dapat meningkatkan retensi
protein, mineral Ca, Co, P, dan Mn (Nahashon et al., 1994).
60
Perubahan struktur jaringan serat pod kakao sebagai akibat difermentasi oleh
kapang secara visual dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM) tersaji pada
Gambar 4.1. Pada gambar tampak penampang dinding serat pod kakao sebelum
difermentasi (kiri) dan sesudah difermentasi oleh kapang (kanan). Biofermentasi pod
kakao dengan kapang Phanerochaete chrysosporium ternyata dapat melunakkan dan
memecah dinding serat pod kakao.
(a) (b)
Gambar 4.1. Pod kakao tanpa perlakuan (a) dan pod kakao yang telah mengalami
fermentasi dengan kapang (b) (Erika, 1998).
Kapang mampu melepaskan pita-pita serat mikrofibrilnya, sehingga struktur
serat menjadi rapuh dan lebih terbuka (Gambar 4.1b). Kapang tersebut bekerja
secara bertahap dalam memecah komponen dinding sel. Melalui benang fibril
hifanya, kapang Phanerochaete chrysosporium mengeluarkan enzim peroksidase
ekstraseluler. Enzim peroksidase ekstraseluler tersebut bekerja secara aktif pada
aktivitas lignolisis sehingga ikatan lignoselulosa putus, dan fraksi lignin terurai
menjadi CO2 dan selulosa dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen.
61
Hasil penelitian Mariani dan Suryani (2004) menunjukkan bahwa
penggunaan 15 – 30% pod kakao dalam ransum nyata menurunkan berat potong itik
Bali jantan, akan tetapi dengan adanya suplementasi 0,50% ragi tape (perlakuan C
dan D), berat potong yang dihasilkan sama dengan kontrol (tanpa pod kakao) dan
nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa ragi tape (perlakuan B dan C).
Hasil yang lebih rinci tersaji pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Pengaruh penggunaan pod kakao yang disuplementasi ragi tape dalam
ransum terhadap distribusi lemak tubuh (% berat potong) itik Bali jantan
umur 8 minggu
Variabel Perlakuan1)
A B C D E
Berat Potong (g) 1316,67bc3) 1350,00b 1171,67d 1443,33a 1295,83c
Pad-fat (%) 0,33a3)
0,33a 0,25b 0,22b 0,22b
Lemak abdomen (%) 0,83a 0,83a 0,74ab 0,72ab 0,70b
Kolesterol daging
(mg/100g)
70,88a 71.05a 67,76b 69,72a 66,66b
Keterangan : Sumber (Mariani dan Suryani, 2004)
1. Ransum tanpa pod kakao dan ragi sebagai kontrol (A), ransum dengan 15%
pod kakao (B), ransum dengan 30% pod kakao (C), ransum dengan 15% pod
kakao + 0,50% ragi tape (D), dan ransum dengan 30% pod kakao + 0,50%
ragi tape (E).
2. Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan
perbedaan nyata (P<0,05)
4.2 Bungkil Inti Kelapa Sawit
Bungkil inti kelapa sawit merupakan hasil ikutan proses pemisahan minyak
inti sawit. Produksi bungkil inti sawit sebagai pakan ternak dapat diduga jumlahnya,
yaitu 2,20% dari total tandan buah sawit.
62
Kandungan nutrisi bungkil inti kelapa swait adalah 85 – 91% bahan kering,
12,5 – 21,30% protein kasar, 12,50 – 21,30% lemak kasar, 11,90 – 20,80% serat
kasar, 0,20 – 0,40% Ca, 0,30 – 0,70% P, 41,0 – 55,30% BETN, dan kandungan
energi termetabolisnya berkisar antara 1600 – 2900 kkal/kg bahan (Aritonang,
1985). Menurut Hartadi et al. (l986), kandungan nutrien bungkil ini kelapa sawit
adalah 14,0% air; 12,90 % protein kasar; 9,40% lemak kasar; 16,90 % serat kasar;
0,21% Ca; 0,53 % P; dan 41,20% BETN.
Bungkil inti kelapa sawit mengandung cukup asam amino metionin dan
sistin, tetapi kekurangan lysin. Struktur serat kasar pada bungkil inti kelapa sawit
tersusun sedemikian rupa, sehingga menjaring protein di dalamnya dan struktur ini
tahan terhadap pencernaan enzim dan bakteri saluran pencernaan ternak
monogastrik. Penggunaan bungkil inti kelapa sawit dalam ransum babi dapat sampai
30%, karena belum berpengaruh nyata bila dibandingkan dengan ransum tanpa
mengandung bungkil inti kelapa sawit. Hasil penelitian Putri (1994) melaporkan
bahwa penggunaan 22% bungkil inti kelapa sawit dalam ransum babi ternyata tidak
berpengaruh terhadap pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan ransum,
tetapi secara nyata dapat menyebabkan menipisnya tebal lemak punggung dan
menurunkan kadar kolesterol pada daging loin babi perlakuan.
Lumpur sawit, yaitu hasil sampingan proses pengolahan minyak sawit
(“crude palm oil”), cocok digunakan sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak
monogastrik maupun ternak ruminansia sebagai sumber energi. Hasil kajian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2004) melaporkan bahwa lumpur sawit
mengandung bahan kering 84-93 %; protein kasar 9-14 %; lemak kasar 10-13%;
BETN 39 – 46 %; dan energi termetabolisnya 2900 – 3100 kkal/kg bahan.
63
Lumpur Sawit
+ Air dan Campuran
Mineral
Dikukus Selama 30 Menit
+ Inokulum A. Niger
Inkubasi Aerob 3 Hari
Inkubasi Enzimatis 2 hari
Dikeringkan
Digiling
Ferlawit
Gambar 4.2. Proses pembuatan produk fermentasi lumpur sawit (“Ferlawit”)
64
Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor (2004) telah menerapkan bioteknologi
fermentasi pada lumpur sawit dengan menggunakan kapang Aspergillus niger.
Produk fermentasi tersebut diberi nama “Ferlawit” merupakan singkatan dari
“Fermentasi lumpur sawit”. Produk fermentasi tersebut ternyata dapat meningkatkan
kandungan protein dan asam amino pada lumpur sawit. Lebih rinci, tahapan proses
produksi “Ferlawit” tersaji pada Gambar 4.2.
Mula-mula lumpur sawit ditambahi larutan mineral secukupnya, selanjutnya
dikukus dengan drum. Setelah dingin, kemudian ditambahkan inokulan Aspergillus
niger yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein pada lumpur sawit.
Tahapan berikutnya adalah inkubasi selama lima hari atau satu minggu, setelah itu di
keringkan dengan sinar matahari. Tahap terakhir adalah proses pembuatan tepung
“Ferlawit”. Pada proses ini diperlukan tenaga tambahan apabila tidak ada mesin
penggiling. Namun demikian, sebaiknya proses penghancuran “Ferlawit” tersebut
dilakukan pada saat sebelum dikeringkan.
Lumpur sawit yang sudah terolah dapat diberikan sebagai suplemen tunggal
atau komponen konsentrat sebanyak 15 – 30 %. Hasil percobaan pada kambing dan
domba ternyata pemberiannya mampu memberikan pertambahan bobot badan
masing-masing 70 g dan 80 g per ekor per hari.
Pada Gambar 4.2, tersaji bentuk fisik dari “Ferlawit” yang ukurannya masih
menyerupai gumpalan tanah liat saja. Untuk ternak ruminansia, hal tersebut tidak
menjadi masalah, namun untuk ternak nonruminansia khususnya unggas, ukuran
“Ferlawit” tersebut hendaknya seperti tepung, sehingga lebih mudah dicampurkan
dengan bahan pakan lainnya.
65
4.3 Pelapah Sawit
Hasil kajian pemanfaatan pohon kelapa sawit sebagai pakan ternak, yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2004) di Sumatera
Utara, menunjukkan bahwa sebelum dihasilkan buah sawit, ternyata pelepah daun
kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk ternak ruminansia
(sapi dan kambing). Umumnya pelepah kelapa sawit secara rutin dipangkas untuk
mendapatkan buah tandan yang banyak. Sebelum diberikan pada ternak kambing
atau sapi, terlebih dahulu pelepah tandan tersebut dikupas, selanjutnya dicacah dan
dapat diberikan langsung pada ternak dalam keadaan segar atau dicampur dengan
konsentrat. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Pelepah kelapa sawit yang direcah dapat digunakan sebagai pengganti
rumput gajah
Kandungan nutrien pelepah kelapa sawit adalah sebagai berikut: bahan kering
80-85%; protein kasar 7-11%; selulosa 30-34%; hemiselulosa 34-36%; dan lignin
16-18%. Pemberian pada ternak dapat dicampurkan langsung dengan konsentrat atau
diberikan segar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata pelepah kelapa sawit
66
yang sudah dicacah dapat mengganti penggunaan rumput sampai level 80 % tanpa
berpengaruh buruk pada penampilan kambing.
4.4 Batang Pisang (Musa paradisica)
Tanaman pisang (Musa paradisica) merupakan tanaman tropis dan subtropis
yang banyak tumbuh di Indonesia. Selain buahnya, ternyata batangnya sudah banyak
dimanfaatkan sebagai campuran pakan babi, kuda, dan ternak ruminansia lainnya.
Batang pisang merupakan batang semu karena dibentuk oleh pelepah daun yang
memanjang dan saling menutupi.
Umumnya, batang pisang yang digunakan oleh peternak sebagai pakan ternak
babi adalah batang pisang yang sudah diambil buahnya. Sebelum diberikan pada
babi, terlebih batang pisang tersebut diiris tipis-tipis dan dihancurkan.
Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 4.4.
(a) (b) Gambar 4.4. Batang pisang sebelum diberikan pada ternak, terlebih dahulu haris
di iris-iris tipis (kanan)
Batang pisang sebagai pakan ternak mengandung 92,50% air; 0,35% protein
kasar, 4,60% karbohidrat, dan kaya akan mineral, antara lain mengandung fosfor 135
67
mg, kalsium 122 mg, kalium 213 mg; dan zat besi 0,70 mg. Kandungan mineral
utama yang terkandung pada batang pisang dan diharapkan akan paling banyak
perannya adalah mineral Zn yang berkisar antara 37-163 ppm. Mineral Zn akan
mempengaruhi kualitas karkas melalui peningkatan metabolisme protein.
Hasil penelitian Wibawa (l997) melaporkan bahwa penggunaan 4 % batang
pisang dalam ransum babi dapat direkomendasikan karena belum berpengaruh
terhadap penampilan babi. Akan tetapi, pemberian pada level 8 % dan 12 % dalam
ransum nyata menurunkan berat potong, berat karkas, dan persentase karkas babi.
Sebaliknya, pemberiannya secara nyata menurunkan persentase lemak karkas babi.
68
V. LIMBAH PERIKANAN DAN PETERNAKAN
5.1 Limbah Ikan dan Udang
Dalam industri pengolahan ikan, hanya 40% daging yang dapat dimakan dan
60% sebagai limbah (kepala, tulang, kulit, dan jeroan). Pembusukan ikan/limbah
ikan disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk, aktivitas enzim endogenus, dan
reaksi kimia (oksidasi). Pembusukan kebanyakan disebabkan oleh aktivitas bakteri
Bacillus, Micrococcus, dan Coryneform. Jumlah ikan yang hilang sebagai akibat
pembusukan oleh aktivitas mikroba diperkirakan lebih dari 10% dari total jumlah
ikan yang ditangkap di dunia.
Ikan atau limbah ikan sangat kaya akan protein dan lipida, tetapi memiliki
gula bebas (ribosa, glukosa, dan fruktosa) yang sangat rendah yang tersedia untuk
fermentasi oleh bakteri. Sumber energi untuk pertumbuhan bakteri pada ikan adalah
asam-asam amino bebas yang konsentrasinya meningkat sebagai hasil dari proteolisis
pada ikan pascapanen. Bakteri pembusuk memanfaatkan asam-asam amino sebagai
sumber energi, sedangkan bakteri asam laktat mempunyai kemampuan yang terbatas
untuk mendekomposisi asam amino, apabila tidak tersedia cukup glukosa.
Limbah industri udang adalah berupa kulit pembungkus dan kepala udang itu
sendiri, yang selanjutnya dikeringkan dan digiling halus. Pengeringan limbah udang
dapat dilakukan dengan uap panas, udara panas, atau sinar matahari. Bagian tubuh
udang yang menjadi limbah sangat menentukan kualitas dari limbah udang tersebut.
Kandungan proteinnya berkisar antara 35 – 45%. Penggunaannya pada ayam petelur
sebaiknya di bawah 7 %, sedangkan pada unggas pedaging berkisar antara 8 – 14%
68
69
5.2 Tepung Darah
Limbah pemotongan hewan yang jarang mendapat perhatian adalah darah.
Tepung darah sangat tinggi kandungan proteinnya, yaitu 80%. Namun, daya serap
unggas terhadap protein darah tersebut sangat rendah, sehingga penggunaannya
dalam ransum dibatasi maksimum 2%. Selain kaya akan protein, tepung darah juga
kaya akan asam amino lysin, arginin, metionin, sistin, dan leusin. Akan tetapi,
kandungan asam amino isoleusin dan argininnya rendah serta nilai biologis dari
protein tepung darah rendah. Ini berarti bahwa walaupun kandungan protein tepung
darah tinggi, yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh atau yang dapat dicerna rendah.
Darah yang akan dijadikan tepung darah dapat diambil dari RPA (rumah
potong ayam) setempat dengan cara yang higienis, kemudian direbus dalam wajan
tertutup dengan tekanan yang tinggi. Selanjutnya, bahan ditiriskan, diiris tipis, dan
dikeringkan. Setelah kering, irisan darah selanjutnya digiling untuk dijadikan tepung.
5.3 Kotoran Ayam
Kegiatan peternakan ayam menyebabkan terjadinya peningkatan produksi
kotoran ayam yang disebabkan oleh tingginya jumlah populasi ayam. Di lain pihak,
keuntungan yang diperoleh peternak kurang memadai sebagai akibat mahalnya harga
bahan pakan konvensional.
Kedua permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan cara menggunakan
kotoran ayam tersebut sebagai bahan pakan. Kotoran ayam masih mempunyai nilai
gizi yang berasal dari bahan pakan yang tidak dicerna, mikroorganisme, pakan yang
terbuang, dan bahan organik sisa lainnya. Namun, kotoran yang tidak diproses dapat
mengganggu kesehatan ternak (Laconi, 1992). Untuk itu, kotoran perlu proses untuk
70
meningkatkan nilai gizinya dan untuk menghilangkan sesuatu yang berpengaruh
negatif seperti mikroorgnisme patogen, residu obat, logam berat, dan lain-lain.
Kotoran ayam sebelum digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari berbagai
unsur yang membahayakan, selanjutnya dikeringkan, dan digiling halus. Faktor
pembatas penggunaannya adalah nilai cerna proteinnya yang rendah dan kandungan
serat kasarnya yang tinggi (14,9 – 18,60%).
Bau kotoran ayam sebagai bahan pakan dalam penyusunan ransum unggas
menyebabkan konsumsi akan menurun. Oleh karena itu, sebelum diberikan terlebih
dahulu dikeringkan dan didiamkan beberapa hari. Tujuan pengeringan, disamping
untuk menghilangkan bau juga untuk menghilangkan bakteri salmonela. Ransum
yang menggunakan kotoran ayam sebaiknya disajikan dalam bentuk crumble atau
pellet.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muller (l980) menunjukkan bahwa
penggunaan kotoran ayam ras petelur pada tingkat 12,5 % dalam ransum ternyata
dapat meningkatkan produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Pengaruh penggunaan kotoran ayam ras petelur dalam ransum terhadap
produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum pada ayam Lohmann
Brown fase peneluran pertama
Variabel Kotoran Ayam Dalam
Ransum
0 % 12,5 % 25,0 %
Hen-day Production (%) 64,40 67,80 65,00
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hari) 96,40 95,10 107,80
Feed Conversion Ratio (ransum/berat telur) 2,41 2,22 3,00
Sumber : Muller (l980)
71
Apabila dalam proses pengolahan kotoran ayam baik, dan di dalam
penyusunan ransum dikombinasikan dengan bahan lain yang cukup baik kandungan
nutrisinya, maka penggunaan kotoran ayam dalam ransum unggas dapat mencapai
30% dari total ransum.
Hasil penelitian yang dilakukan Santoso et al. (2004) melaporkan bahwa
peningkatan energi dan BETN kotoran ayam disebabkan karena pembentukan gula
yang berasal dari pemecahan serat kasar. Selain itu, penurunan kadar protein dalam
kotoran mungkin juga menyediakan sejumlah substrat untuk mensintesis karbohidrat.
Ini merupakan hasil yang mengejutkan, sebab biasanya proses fermentasi
menurunkan kadar energi bahan pakan (Hanafiah, 1995; Susanawati, 1998).
Tabel 5.2, menyajikan kandungan nutrisi dari kotoran ayam yang berasal dari
lantai “cage” dan kotoran ayam yang berasal dari lantai “litter”.
Tabel 5.2. Kandungan zat makanan pada kotoran ayam ras
Nutrisi Tinja Ayam
Cage Litter
Protein kasar % 28,70 25,30
Lemak kasar % 1,70 2,30
Serat Kasar % 14,90 18,60
Ca % 2,70 2,50
P total % 2,20 1,60
Metionin % 0,12 0,13
Lysin % 0,39 0,49
Triptofan % 0,53 -
Leusin % 0,80 0,70
Arginin % 0,38 0,43
Fenilalanin % 0,35 0,49
Sumber : Rasyaf (2002)
72
Komponen nitrogen dalam kotoran ayam terutama dalam bentuk asam urat
dan amoniak (Santoso et al., 1999). Untuk meningkatkan nilai senyawa nitrogen
dalam kotoran, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi asam amino atau
protein mikroba.
Penurunan kadar protein menunjukkan bahwa EM4 (yang terutama
mengandung Lactobacillus sp.) kurang efektif untuk mensintesis protein mikroba
dari senyawa nitrogen dalam kotoran. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat
pelepasan nitrogen selama fermentasi. Telah diketahui bahwa fermentasi oleh bakteri
asam laktat menurunkan kadar protein bahan pakan (Ohshima et al.,1997). Untuk
memperbaiki kadar protein kotoran, EM4 sebaiknya dikombinasikan dengan
mikroorganisme efektif lainnya. Handayani (1997) menemukan bahwa fermentasi
kotoran ayam pedaging dengan ragi tape meningkatkan kadar protein kotoran.
EM4 sangat efektif untuk memecah serat kasar dalam kotoran ayam. EM4
diduga menghasilkan sejumlah besar enzim yang mampu memecah serat kasar
terutama selulase. Keuntungan penggunaan Lactobacillus untuk memecah serat kasar
adalah bahwa bakteri tidak menghasilkan serat kasar dalam aktivitasnya, sehingga
mereka lebih efektif dalam menurunkan kadar serat kasar bahan pakan jika
dibandingkan dengan ragi atau kapang (Hanifah, 1995; Pasaribu et al., 1998).
Kadar lemak yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh meningkatnya sintesis
asam lemak. Penurunan serat kasar dan protein diduga meningkatkan ketersediaan
substrat untuk merangsang sintesis asam lemak. Peningkatan sintesis asam lemak
merupakan faktor utama peningkatan kadar lemak suatu bahan (Scorve et al.,1993).
Pada Gambar 12, tersaji sistem pemeliharaan ayam dengan lantai “cage”
sehingga kotoran ayam yang terkumpul di bawahnya lebih mudah digunakan sebagai
73
pakan ayam. Berbeda halnya dengan kotoran ayam yang berasal dari lantai “litter”;
kotoran ayam bercampur dengan bahan penyusun “litter’ itu sendiri yang umumnya
bersumber dari sekam padi.
Teknologi pengolahan limbah merupakan salah satu alternatif dalam
penyediaan pakan dan bermanfaat pula dalam mengurangi pencemaran lingkungan.
Peningkatan mutu pakan dengan menggunakan kotoran ayam dapat dilakukan
dengan metode “wastelage”, yaitu proses pembuatan silase dengan
memfermentasikan limbah pertanian (“by-product”) yang ditambahi limbah ternak.
Sutrisno et al. (2006) menyatakan bahwa cara pengeringan ternyata menurunkan
daya hidup mikroba kotoran ayam (pengeringan dengan oven lebih baik daripada
matahari).
5.4 Bulu Ayam
Bulu ayam merupakan hasil ikutan usaha pemotongan ayam. Tepung bulu
komersial diolah dengan proses hidrolisis dengan pemanasan dan tekanan uap dan
merupakan sumber protein yang baik dengan kuantitas protein dan energi relatif
tinggi. Bulu ayam tersedia cukup banyak, yang bersumber dari rumah potong ayam.
Namun, penggunaannya secara penuh belum begitu banyak.
Tepung bulu ayam mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang cukup
banyak, berkesinambungan, dan sebagai bahan pakan ternak harganya relatif murah,
tetapi penggunaannya sebagai bahan pakan penyusun pakan ternak belum banyak
dimanfaatkan. Padahal, kandungan protein bulu ayam sangat tinggi, yaitu 85,60%
(Ochetim, 1993). Hal tersebut disebabkan karena rendahnya kecernaan protein pada
bulu ayam yang disebabkan oleh adanya proses keratinisasi dan daya cernanya
rendah (Han dan Parson, 1991). Kandungan keratinnya sebanyak 8,8% dari
74
kandungan proteinnya (Scott et al., 1982) dan kandungan asam amino lysin,
metionin, histidin, dan triptofannya rendah (William et al., 1982).
Komposisi zat makanan pada bulu ayam menurut Ochetim (l993) adalah
85,60% protein kasar, dengan komposisi asam amino glisin 4,20%; leusin 5,43%;
sistin 6,40%; histidin 0,53%; lisin 2,26%; arginin 4,40%; isoleusin 3,00%; metionin
0,32%; fenilalanin 3,18%; prolin 6,81%; serin 5,72%; treonin 2,47%; tirosin
1,79%; valin 4,13%; asam aspartat 3,42%; dan asam glutamat 6,90%.
Gambar 5.1. Bulu ayam broiler sebagai sumber protein
Menurut Fenita (2002) yang dikutip oleh Chaniago (2002), tepung bulu ayam
mengandung 64,10% protein kasar; 1,31% lemak kasar; 1,09% serat kasar; 0,21%
Ca; 0,20% P. Kandungan asam aminonya secara berturutan adalah 4,73% arginin;
2,03% isoleusin; 5,47% leusin; 1,46% lysin; 0,37% metionin; 3,30% penilalanin;
3,63% treonin; 4,27% valin; dan 2,21% sistein. Kelemahan utama tepung bulu ayam
sebagai pakan (Gambar 5.1), yaitu rendahnya kandungan metionin sehingga perlu
adanya suplementasi metionin sintetis. Kelemahan lain tepung bulu ayam adalah
75
ketidakseimbangan asam aminonya (Moran et al., 1966 dalam Ochetim, 1993).
Menurut Sutradi (1979), ketidakseimbangan beberapa asam amino akan mengubah
pola konsentrasi asam amino dalam tubuh. Apabila konsentrasi asam amino berubah,
maka selera makan menurun. Akibatnya, konsumsi pakan menurun.
Nuraini et al. (2002) melaporkan bahwa tepung bulu ayam mengandung
bahan kering 92,34%, protein kasar 80,42%, lemak kasar 7,79%, serat kasar 0,88%,
dan abu 2,63%. Agar kandungan zat-zat makanan pada tepung bulu ayam menyamai
tepung ikan, maka harus ditambahkan dengan 25% minyak kelapa (75 : 25).
Dilaporkan juga bahwa penggunaan tepung bulu ayam (75% tepung bulu ayam +
25% minyak kelapa) pada level 2,5%, 5%, dan 7,5% sebagai pengganti penggunaan
tepung ikan dalam ransum secara nyata dapat menurunkan konsumsi ransum,
pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan ransum, persentase karkas, dan
persentase lemak abdominal ayam. Akan tetapi, penambahan enzim papain dalam
ransum (0,03 – 0,06%) ternyata dapat memberikan hasil yang sama dengan kontrol.
Ada kecendrungan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum dan penurunan
jumlah lemak abdominal bila dibandingkan dengan kontrol
Lin et al. (2001) melaporkan bahwa mikroorganisme Streptomyces fradiae
ternyata dapat menghidrolisis bulu ayam sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim
pencernaan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa keratinisasi pada bulu ayam dapat
diatasi dengan teknologi fermentasi. Menurut Koh et al. (l963), enzim keratinolitik
ternyata dapat diproduksi oleh strain Aspergillus. Dilaporkan juga oleh Shih dan Lee
(l993) dalam Lin et al. (2001) bahwa tepung bulu ayam terfermentasi dengan
Bacillus licheniformis ternyata dapat meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam
sehingga dapat digunakan dalam ransum sebagai pengganti bungkil kedelai.
76
Tingginya kandungan asam amino sistin pada bulu ayam dapat menutupi
kekurangan asam amino metionin. Menurut Sugahara dan Kubo (l992), ransum yang
mengandung asam amino arginin dan asam amino yang mengandung sulfur tinggi
ternyata dapat menurunkan retensi energi sebagai lemak, sehingga karkas yang
dihasilkan akan mengandung lemak rendah. Wessel (l992) melaporkan bahwa
pengukusan bulu ayam yang terlalu lama ternyata dapat menurunkan kandungan
asam amino metionin, histidin, lisin, dan triptofan.
Nuraini at al. (2002) menyatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan
penggunaan tepung bulu ayam adalah penggunaan enzim dalam pakan yang
bertujuan antara lain untuk meningkatkan nilai gizi dari pakan tersebut. Penggunaan
enzim papain sebagai enzim proteolitik diketahui mampu memutuskan rantai peptida
kompleks menjadi asam-asam amino yang lebih sederhana pada kondisi yang sesuai
dengan fisiologi ayam.
Penggunaan enzim papain diharapkan dapat meningkatkan daya cerna protein
pakan dan mengoptimalkan kerja sistem pencernaan serta absorpsi zat makanan
dalam saluran pencernaan ayam. Dilaporkan bahwa penambahan 0,03% dan 0,06%
enzim papain dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan konsumsi ransum,
persentase karkas, pertambahan berat badan, dan efisiensi penggunaan ransum ayam.
Persentase lemak abdominal ayam meningkat secara tidak nyata dengan semakin
meningkat kandungan enzim papain dalam ransum.
Papain sebagai enzim protease akan dapat mengkatalisis molekul protein
menjadi fragmen yang lebih kecil, di mana peptidase menghidrolisis fragmen
polipeptida menjadi asam-asam amino sehingga dalam tubuh ayam akan lebih mudah
dicerna.
77
5.5 Isi Rumen
Salah satu limbah yang dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) adalah isi
rumen. Sebagai hasil buangan, volume isi rumen mencapai 10 – 12 % dari berat
hidup ternak. Pada prinsipnya, isi rumen adalah bahan pakan yang tercerna dan tidak
tercerna yang belum sempat diserap oleh usus serta masih tercampur dengan getah
lambung, enzim-enzim pencernaan, dan mikroba rumen.
Cairan rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan kaya akan kandungan
enzim pendegradasi serat dan vitamin. Cairan rumen mengandung enzim -amilase,
galaktosidase, hemiselulase, selulase, dan xilanase (Williams dan Withers, 1992).
Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida
dihidrolisis dalam rumen disebabkan karena pengaruh sinergis dan interaksi dari
kompleks mikroorganisme, terutama selulase dan xilanase ( Trinci et al., 1994). Isi
rumen yang merupakan limbah rumah potong hewan apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mencemari lingkungan. Sebaliknya, isi rumen berpotensi sebagai feed
additive. Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengelolaan
silase jerami padi. Lebih lanjut, cairan rumen pada onggok sebagai bahan baku
penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (volatile fatty acids)
(Hardiyanto, 2001).
Hasil penelitian Nitis (l987) menunjukkan bahwa penggunaan campuran isi
rumen dengan tepung limbah ikan dengan perbandingan 37% : 63% sebagai sumber
protein konsentrat pada ransum ayam petelur pada level 15-35% ternyata
menurunkan produksi telur. Hal ini duduga karena tingginya kandungan serat kasar
dan zat makanan yang tidak tercerna. Kandungan zat makanan pada isi rumen dari
ternak sapi, kerbau, dan domba tersaji pada Tabel 5.3.
78
Tabel 53. Kandungan zat makanan dari isi rumen sapi, kerbau, dan domba
Zat Makanan (%) Isi Rumen
Sapi Kerbau Domba
Air 8,80 – 14,63 7,52 8,28
Protein kasar 7,11 – 9,63 7,37 13,38 – 14,41
Serat kasar 24,80 – 35,71 23,10 24,38 – 33,98
Lemak kasar 1,23 – 2,62 1,72 3,59- 4,35
BETN 26,43 – 38,40 36,10 20,31 – 32,97
Kalsium 0,20 – 1,22 0,62 0,68
Fosfor 0,29 – 0,54 0,58 0,80 – 1,08
Energi (GE kkal/kg) 3118 - 3380 - 3577 – 3650
Sumber : Nitis (l987)
Isi rumen kaya akan zat makanan berupa asam-asam amino, vitamin B-
kompleks, serta mineral yang sangat bermanfaat bagi ternak. Selain itu, isi rumen
mengandung serat kasar yang tinggi, lignin, silika, dan energi termetabolisnya
rendah. Kadang-kadang ditemukan juga senyawa antinutrisi. Oleh karena itu,
pemakaian isi rumen sebagai pakan ternak sangat terbatas.
Salah satu bakteri yang terkandung dalam cairan rumen adalah bakteri
selulolitik. Isolasi bakteri selulolitik dari cairan rumen dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Purnomohadi, 2006).
Untuk mendapatkan bakteri selulolitik, dilakukan pemurnian bahan dari
cairan rumen dari ternak yang baru disembelih.
Bakteri yang dominan terpilih dari proses ini adalah enam macam isolat dari
genus bakteri selulolitik yang bersifat fakultatif (anaerob), yaitu
79
Cellulomonas, Cytophaga, Bacillus, Lactobacillus, Acidothermus, dan
Cellvibrio.
Keenam genus bakteri tersebut kemudian dikembangkan untuk digunakan
sebagai inokulum.
Cara pembuatan inokulum adalah stok bakteri pada media miring ditambahi
aquadest steril 5 ml, divorteks selama 1 menit untuk membuat suspensi
bakteri dari media miring tabung untuk selanjutnya dituang pada 45 ml media
cair Czapek Modification.
Inkubasi dengan suhu kamar pada sacker selama 2 hari.
Suspensi bakteri 50 ml pada media cair Czapek Modification dimasukkan ke
dalam 450 ml cairan carboxil metil cellulose (CMC) yang telah ditambah
malt ekstrak.
Inkubasi dengan suhu kamar selama 2 hari.
Suspensi siap diinokulasikan pada bahan pakan (jerami padi)
5.6 Limbah Ternak Lainnya
Bahan lain yang berpotensi untuk digunakan sebagai pakan ternak adalah
limbah rumah pemotongan ternak berupa campuran tulang dan sisa daging yang
masih melekat (meat and bone meal). Untuk produk luar negeri, kandungan protein
kasar bahan pakan ini dapat mencapai 55 – 60%. Bahan pakan ini sangat bagus
untuk sumber mineral kalsium dan fosfor. Penggunaannya dalam ransum unggas
umumnya berkisar antara 2,5 – 10%.
Dalam suatu usaha breeding penetasan yang kapasitas setiap minggunya
dapat mencapai 10.000 butir telur, akan banyak sekali limbah penetasan yang
dihasilkan. Limbah penetasan ini dapat berupa telur yang tidak ada tunasnya (setelah
80
tiga hari seleksi), telur dengan tunas tetapi gagal menetas, dan kulit telur itu sendiri.
Umumnya limbah penetasan telur ini dijadikan tepung dan sangat bagus sebagai
bahan pakan sumber mineral kalsium dan fosfor.
81
VI. PENUTUP
6.1 Limbah Pakan Ternak Alternatif
Seiring dengan makin menyempitnya lahan untuk menanam hijauan, maka
pemanfaatan limbah untuk pakan akan terus meningkat. Nilai pakan limbah sangat
tergantung pada jenis limbah, kandungan nutrisi limbah, dan ada tidaknya senyawa
antinutrisi pada limbah tersebut. Faktor pembatas pemanfaatan limbah sebagai pakan
ternak umumnya kandungan nutrisinya rendah dan kurang disukai oleh ternak. Atas
dasar pertimbangan itu, perlu ditemukan upaya meningkatkan pendayagunaan limbah
untuk pakan ternak secara berkelanjutan.
Onggok yang difermentasi oleh Aspergillus niger menghasilkan produk
dengan kecernaan bahan kering dan protein yang lebih tinggi. Produk yang
dihasilkan memiliki kandungan protein kasar berkisar antara 35 – 40%. Karena itu,
ubi kayu yang semula sebagai sumber energi berubah menjadi sumber protein bagi
unggas.
6.2 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis
Sebelum digunakan sebagai pakan ternak, sebaiknya perlu dilakukan analisis
teknis dan ekonomis terhadap pakan limbah tersebut. Pakan limbah yang akan
digunakan harus tersedia dalam waktu yang cukup lama atau ketersediaannya harus
kontinyu. Bahan pakan yang sudah tersedia pada suatu saat, kemudian hilang (tidak
tersedia) harus dihindarkan penggunaannya. Padi yang diproduksi secara masal dan
nasional menyebabkan ketersediaan dedak padi dan bekatul untuk ternak juga akan
berlimpah. Lain halnya dengan bahan pakan yang diproduksi secara terbatas akan
menghasilkan bahan pakan yang terbatas pula ketersediaannya.
81
82
Produksi pertanian yang besar tentu akan menghasilkan banyak bahan pakan
untuk ternak. Indonesia yang mengutamakan produksi padi akan banyak
menghasilkan dedak dan bekatul. Karena itu, dedak padi selalu digunakan dalam
penyusunan ransum ternak. Selanjutnya, buah kelapa dan kelapa sawit banyak
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, maka hasil samping
pembuatan minyak goreng itu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti
bungkil kelapa dan bungkil sawit.
Pertimbangan lainnya, yaitu bahan pakan untuk ternak tidak boleh bersaing
dengan manusia. Apabila manusia lebih banyak membutuhkannya, maka bahan
pakan tersebut tidak boleh diberikan pada ternak, misalnya kacang kedelai. Namun
demikian, bungkil kacang kedelai dapat diberikan pada ternak.
Pertimbangan selanjutnya, yaitu harga bahan pakan itu sendiri. Walaupun
dapat digunakan sebagai bahan pakan, apabila harganya mahal, maka penggunaan
bahan atau peran bahan pakan itu sebagai bahan pakan ternak akan tersisihkan.
Murah ataupun mahalnya suatu bahan pakan harus dinilai dari manfaat bahan pakan
itu sendiri, yang merupakan cermin dari kualitasnya dan hasil yang diperoleh.
Tepung ikan misalnya, harganya memang mahal, tetapi bila dibandingkan dengan
kandungan proteinnya yang tinggi dan kelengkapan asam aminonya serta manfaat
yang diperoleh, maka penggunaan tepung ikan sebagai bahan pakan sumber protein
menjadi murah.
Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi yang terkandung di
dalam pakan limbah memegang peranan penting untuk menentukan apakah bahan
pakan tersebut berperan atau tidak. Bahan pakan limbah yang mudah membentuk
racun atau mudah cemar juga tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan. Bungkil
83
kelapa misalnya, meskipun masih tetap digunakan, karena kandungan minyaknya
masih tinggi, maka ransum yang mengandung bungkil kelapa dalam proporsi tinggi
akan mudah tengik. Karena itu, beberapa pabrik makanan ternak mulai
meninggalkan penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan ransum.
Pengolahan pakan limbah sebagai pakan ternak pada prinsipnya ditujukan
untuk memecah selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan
yang lebih mudah dicerna serta meningkatkan kandungan nutrisinya. Pemanfaatan
limbah (jerami) yang difermentasi akan dapat memberikan beberapa keuntungan
antara lain: (i) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam penyediaan hijauan
sebagai pakan utama ternak ruminansia, (ii) meningkatkan daya dukung lahan
pertanian, karena pemeliharaan ternak ruminansia tidak harus menyediakan lahan
sebagai tempat tanaman hijauan makanan ternak, dan (iii) dapat memberikan nilai
tambah bagi petani, apabila suatu saat nanti petani telah dapat melihat peluang
tersebut, yang artinya jerami tidak lagi sebagai limbah yang mengganggu proses
produksi, melainkan sebagai produk yang menguntungkan.
Aplikasi bioteknologi pada ternak monogastrik adalah melalui pemanfaatan
mikroorganisme tertentu untuk memperbaiki efisiensi penggunaan pakan,
pemanfaatan enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme, penciptaan bahan kimia
seperti zat gizi, antibiotik, dan pemacu pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam
pakan monogastrik, baik bahan tersebut dari hasil fermentasi ataupun lainnya.
Misalnya, cairan rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan kaya akan
kandungan enzim pendegradasi serat dan vitamin. Cairan rumen mengandung
enzim -amilase, galaktosidase, hemiselulase, selulase, dan xilanase (Williams dan
Withers, 1992).
84
Pemberian enzim phitase pada ransum unggas dapat mengatasi problema
yang disebabkan oleh senyawa fitat, yaitu senyawa yang dapat mengikat fosfor.
Dengan adanya phytase, ternyata fosfor dapat dimanfaatkan lebih banyak.
Penambahan Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
kecernaan fosfor, dan pada sorghum ternyata dapat menurunkan kandungan
tanninnya.
6.3 Aplikasi Produk Bioteknologi
Di Negara yang sudah maju, usaha peningkatan kualitas ternak terus
dilakukan. Beberapa penelitian terakhir memperlihatkan bahwa suplemen enzim
dalam pakan ternak untuk hewan monogastrik, berpotensi meningkatkan nilai nutrisi
pakan limbah (Graham et al., 1988; Annison, 1992; Wenk et al., 1993).
Dalam saluran pencernaan ternak monogastrik, proses pencernaan terjadi
secara enzimatis. Oleh karena itu, beberapa peneliti telah mencoba menambahkan
enzim dalam pakan untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Menurut
Sterling et al. (1998), pemberian enzim dapat menurunkan kekenyalan (viskositas) isi
usus hingga 20 % dibandingkan dengan makanan standarnya (biji-bijian tanpa
enzim). Dengan demikian, proses pencernaan makanan di usus menjadi lebih mudah.
Penambahan enzim protease ke dalam pakan dapat berperan dalam pemecahan
protein menjadi asam amino. Asam amino selanjutnya diserap ke dalam tubuh dan
selanjutnya diubah menjadi protein tubuh (Wahju, 1992).
Penambahan enzim dapat menguraikan komponen dinding sel tanaman yang
terdiri atas selulosa, hemiselulosa, xylanosa, dan pektin. Enzim akan mengurangi
kandungan serat detergen netral (NDF) dan “acid detergent fibre” (ADF) sehingga
akan meningkatkan kecernaan pakan. Juga akan meningkatkan pelepasan bagian
85
karbohidrat yang terlarut yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri penghasil asam laktat
untuk menurunkan pH.
Guna mendapatkan enzim protease yang berpotensi dalam meningkatkan
nilai nutrisi pakan, maka enzim tersebut harus memiliki aktivitas biologis saat
mencapai saluran pencernaan (Spring et al., 1995). Saluran pencernaan ternak
unggas mempunyai pH asam (4 - 5). Oleh karena itu, seleksi mikroorganisme yang
akan digunakan harus diisolasi dari mikroorganisme yang hidup di dalam saluran
pencernaan ternak unggas dengan menggunakan medium yang bersifat asam.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Batshan, H. A. and E. O. S. Hussein. l999. Performance and Carcass
Composition of Broiler under Heat Stress : 1. The Effects of Dietary Energy
and Protein. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 12 (6) : 914 – 922
Andajani, R. l997. Peran Probiotik dalam Meningkatkan Produksi Unggas. Poultry
Indonesia nomor 26/April l997 Hal : 19-20
Anggorodi, R. l979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta
Anggorodi, R. l985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.
Universitas Indonesia Press., Jakarta.
Annison, G. 1992. Commercial Enzyme Supplementation of Wheat-based diets
Raises Ileal Glycanase Activities and Improves Apparent Metabolisable
Energy, Starch and Pentosan Digestible in Broiler Chickens. Anim. Feed Sci.
Technol. 38:105-212
Anonymous. 1990. Potensi Zeolit Dalam Agroindustri. Makalah seminar Zeo
Agroindustri 90. Kerjsama PPSKI - HKTI - UNPA, Bandung.
Anonymous. 2002. Amoniasi, Jerami Pakan Bermutu. http://A/Harian Umum Suara
Merdeka, 30 September 2002
Anonymus. 2004. Pelatihan Integrated Farming Sistem. Lembah Hijau
Multifarm.Solo. Indonesia.
Anonymous. 2005. The Use of Fibrous Residues in South East Asia.
http://www.edu/unu press/food/unu 06/cap 5.htm.
Bakrie, B., T. Panggabean, T. Sitompul, M. Winogroho, dan N. G. Yates. 1990.
Analisa Kualitas Ampas Tempe Sebagai Makanan ternak Ruminansia. Ilmu
dan Peternakan 4 (3) : 319 – 321
Ballard, F. J., R. J. Johnson, P.C. Owens, G. L. Francis, F. M. Upton, J. P. McMurtry
and J. C. Wallace. 1990. Chicken Insuline Like Growth Factor-1 : Amino
Acid Squence, Radio Immunoassay, and Plasma Levels Between Strains and
During Growth. Gen. Comp. Endocrinology 79 : 459 – 468.
Barrow, P. A. l992. Probiotics for Chickens. In. Probiotics The Scientific Basis (By :
R. Fuller). First Ed. Chapman and Hall, London. Hal : 225 - 250.
Bidura, I. G. N. G. 1993. Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum Terhadap
Pertambahan Berat Badan Ayam Umur 0 - 6 minggu. Laporan Penelitian,
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
86
87
Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh Aras Protein Ransum terhadap Nitrogen dan
Energi Termetabolis pada itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1
(1) : 12-19
Bidura, I. G. N. G. 1998. Pengaruh Aras Serat Kasar Ransum terhadap Produksi
Telur Ayam Lohmann Brown. Majalah Ilmiah Peternakan, Fapet Unud 1 (2) :
23-27
Bidura, I. G. N .G. 2002. Pengaruh Penggunaan Pod Kakao dalam Ransum yang
Disuplementasi Ragi Tape Terhadap Penampilan Itik Bali Umur 2 – 8
Minggu. Laporan Penelitian Dosen Muda, Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 2005. Bioteknologi Pakan dan Aplikasinya. Buku Ajar. Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. UPT Penerbit
Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan A. W. Puger. 2003. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun
Duckweed dalam Ransum terhadap Penampilan Itik Bali Jantan Umur 0 – 8
Minggu. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G dan I. W. Wirawan. 2007. Pemanfaatan Pollard yang
Disuplementasi dengan Kultur Campuran sebagai Upaya Tingkatkan
Penampilan dan Turunkan Kolesterol Tubuh Itik. Laporan Penelitian, fak.
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G., I.D. G. A. Udayana, I M. Suasta dan T. G. B. Yadnya. l996.
Pengaruh Tingkat Serat Kasar Ransum Terhadap Produksi dan Kadar
Kolesterol Telur Ayam. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Unud.,
Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I. G. P. B. Suastina. 2002. Pengaruh Suplementasi Ragi Tape
dalam Ransum terhadap Efisiensi Penggunaan Ransum. Majalah Ilmiah
Peternakan 5 (1) : 06 – 11.
Bidura, I. G. N. G. dan I. M. Suasta. 2003. Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu
Ayam Terfermentasi dalam Ransum terhadap Penampilan Ayam Broiler
Umur 2 – 6 Minggu. Laporan Penelitian, Fakultas peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Bidura, I G. N. G. dan I. N. Suwidjayana. 2000. Pemanfaatan Pod Kakao yang
Disuplementasi Probiotik dalam Ransum terhadap Produksi dan Kadar
Kolesterol Telur Ayam. Laporan Penelitian Dosen Muda. Ditbinlitabmas,
Dikti, Fakultas Peternakan, Unud, Denpasar.
88
Bidura, I. G. N. G. dan I. W. Sudiastra. 2002. Suplementasi Ragi Tape dalam
Ransum yang Mengandung Kulit Kacang Kedelai terhadap Penampilan dan
Distribusi Lemak Tubuh Broiler. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan,
Unud., Denpasar.
Bidura, I. G. N .G. dan I. W. Sudiastra. 2002. Pengaruh Penggunaan Pod Kakao
dalam Ransum yang Disuplementasi Ragi Tape Terhadap Penampilan Itik
Bali Umur 2 – 8 Minggu. Laporan Penelitian Dosen Muda, Fakultas
Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G dan I. W. Sudiastra. 2003. Pengaruh Pemberian Ransum
Terfermentasi dengan Ragi terhadap Penampilan Broiler Umur 2 – 6 Minggu.
Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.
Bidura, I. G. N. G. dan I.W. Wirawan. 2007. Pemanfaatan Pollard yang
Difermentasi dengan Kultur Campuran sebagai Upaya Tingkatkan
Penampilan dan Turunkan Kolesterol Tubuh Itik. Laporan Penelitian,
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Bidura, I. G. N. G., I. M. Suasta, dan F, Hildha. 2004. Pengaruh Suplementasi
Enzim Kompleks dalam Ransum Berprotein Rendah terhadap Penampilan
Ayam Jantan Tipe Petelur. Laporan Penelitian Program SP-4 Jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Bidura, I. G. N. G., I. W. Sudiastra, I. K. Purna, I. K. Ramia, dan I. D. G. Alit
Udayana. 1993. Suplementasi Zeolit dalam Ransum Komersial Terhadap
Pertambahan Bobot Badan dan Efisiensi Penggunaan Ransum Ayam Broiler.
Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar.
Bumpuss, J. A. and S. D. Aust. 1987. Biodegradation of Environmental Pollutans by
The White Rot Fungus Phanerochaete chrysosporium : Involvement of The
Lignin Degrading System. Biossyas 6 : 166 – 170
Candrawati, D. P. M. A. 1999. Pendugaan Kebutuhan Energi dan protein Ayam
Kampung Umur 0 – 8 Minggu. Tesis Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Candrawati, D. P. M. A., N. M. Witariadi, I. G. N. G. Bidura, dan M. Dewantari.
2006. Pengaruh Suplementasi Enzim Phylazim dalam Ransum yang
Menggunakan 30% Dedak Padi terhadap Penampilan Broiler. Majalah Ilmiah
Peternakan (9) 3 : 73 - 77
Chen, C., A. M. Pearson, T. H. Coleman, J. J. Pestka and S. D. Aust. 1984. Tissue
deposition and clearance of aflatoxin from broiler chikens fed a contaminated
diet. Food Chem. Toxic. 22 : 447 - 451.
Chiang, S. H. and W. M. Hsieh. l995. Effect of Direct Feed Microorganisms on
Broiler Growth Performance and Litter Ammonia Level. Asian-Aus. J. Anim.
Sci. 8 : 159 – 162
89
Choct, M. 1997. Feed enzymes; current and future aplication. In 11th annual Asia
Pacific Lecture Tour. 73-82.
Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplement pada Jerami
Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian
untuk Makanan Ternak. Ed. A.T. Karoceri. LIPI, p. 192-197.
Doyle, P. T., C. Davendra and G. R. Pearce. 1986. Rice straw as a Feed for Ruminants.
International Development Program of Australian Universities and Colleges
Ltd., Cambera, p.54-89.
Evans, M. 1989. Zeolites-Do They Have a Role In Poultry Production ?. In Recent
Advances In Animal Nutrition (Ed. Farel, D.J.). University of England
Armidale, NSW 2351 Australia.
Ferket, P. R., and T. Middelton. 1999. Antinutritive in Feedstuffs. Poultry
International, March, 1999. 38 (3) : 46 – 55
Fuller, R. l989. History and Development of Probiotics, in : Probiotics the Scientific
Basis. Ed. Fuller, R. First Ed. Chapmann and Hall, London, Hal : 1 – 10
Graham, H., W. Loewgren, D. Petterson, and P. Aman. 1988. Effect of Enzyme
Supplementation on Digestion of Barley Pollard-Based Pig Diet. Nutr. Rep.
Int. 38: 1073-1139
Guntoro, S. 2004. Pemanfaatan Limbah dalam Integrasi Perkebunan dan ternak.
Balai pengkajian Teknologi Pertanian bali, Denpasar.
Hadioetomo, R. S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Penerbit PT Gramedia
Jakarta.
Hagino, A., E. Inomata, K. Katoh, S. Oda, Y. Sasaki, and Y. Obara. 2000. Effects
of Dietary Starch and Protein Supplement on GH, IGF-1 and Insulin
Secretion in Sheep. In. Animal Production for a Consuming World, Vol. C.
(Ed. G.M. Stone). A Supplement of the Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 : 265
Ha, J. S. S., S. W. Lee, W. Kim, I. K. Han, K. Ushida and K. J. Kang. 2001.
Degradation of Rice Straw by Rumen Fungi and Cellulolytic Bacteria through
Mono, Co or Sequential Culture. School of Agric. Biotech. Seoul National
Univ. Korea.
Han, Y. and D. H. Baker. 1994. Digestible Lysine Requirement of Male and Female
Broiler Chicks During the Period Three to Six Weeks Posthatching. Poult.
Sci. 73 : 1739 – 1745
Hanafi, N. D. 2001. Enzim sebagai Alternatif baru dalam Peningkatan Kualitas
Pakan untuk Ternak. Program pascasarjana, IPB, Bogor.
90
Handriani, H. 1992. Pemakaian Zeolit dalam Ransum Ayam Petelur Tipe Medium
Fase Produksi II terhadap Bobot Telur dan Kualitas Telur. Skripsi Fakultas
Peternakan, IPB. Bogor.
Harianto. l996. Manfaat Serat Makanan. Sadar Pangan dan Gizi Vol. 5 (2) : 4-5
Harmiati, A.A.I. 2004. Pengaruh Suplementasi Zeolit dalam Ransum Berprotein
Rendah rterhadap Kualitas telur Ayam Lohmann Brown. Majalah Ilmiah
peternakan Vol 7 Vol 1 : 34 - 42
Hartanto, R. 1990 Pengaruh Jenis kapang dan Lama fermentasi terhadap Mutu dan
daya simpan tempe Limbah Jamur Merang. Skripsi fak. Teknologi pertanian,
IPB, Bogor.
Hidayatullah, Gunawan, Koeswardono, Mudikdjo, dan Erlisa, 2005. Pengelolaan
Limbah Cair Usaha Peternakan Sapi Perah Melalui Penerapan Konsep
Produksi Bersih. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Vol 8. No.1 : 124-136
Hickling, D., W. Guenter, and M. E. Jackson. 1990. The Effect of Dietary
Methionine and Lysine on Broiler Chickens Performance and Breast Meat
Yield. Can. J. Anim. Sci. 70 : 673 – 678
Islam, K.M.S., M. Shahjalal, A.M.M. Tareque, and M.A.R. Howlider. 1997.
Complete Replecement of Dietary Fish Meal by Duckweed and Soybean
Meal on The Performance of Broiler. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 10 (6) : 629 –
634.
Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah and S. Jalaludin. l997. Probiotics in Poultry :
Modes of Action. Worlds Poultry Sci. J. 53 (4) : 351-368
Kataren, P. P., A. P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadarta, dan I. P. Kompiang.
1999. Bungkil Inti Sawit dan Produk Fermentasinya Sebagai Pakan Ayam
Pedaging. Journal Ilmu ternak dan Veteriner 4 (2) : 107 – 112
Khomsan, A. 1999. Kiat Sehat Menurunkan Kolesterol. Harian Swara No. 29 Hal. 7,
Jakarta
Koh, W., A. Santto and R. Messing. 1963. Keratinolytic Enzymes from Aspergillus
flavus and A. niger. Bacteriol. Proc. 38 : 18 – 24.
Kubena, L.F., J.W. Deaton, F.C. Chen and F.N. Reece. l974. Factors Influencing The
Quality af Abdominal Fat in Broilers. 2. Cage Versus Floor Rearing. Poultry
Sci. 53 : 574 – 576
Linder, M.C. 1985. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Ed. II. Penterjemah A.
Parakkasi. Penerbit UI., Jakarta.
91
Lloyd, L.E., B.E. McDonald and E.W. Crampton. l978. The Carbohidrates and
Their Metabolism. In : Fundamental of Nutrition. 2 nd Ed. W.H. Freman and
Co., San Francisco.
Mahardika, I. G. 1990. Penggunaan Lemak Sapi atau Minyak Kelapa Sebagai
Sumber Energi Pengganti Jagung Untuk Ayam Broiler. Thesis Fakultas
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mahfudz, L. D. 2006. Efektifitas Oncom Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan Ayam.
Jurnal Produksi Ternak Vol. 8 (2) : 108 – 114
Mahfudz, L. D., K. Hayashi, M. Hamada, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1996. The
Effective Use of Shochu Ditellery By-Product as Growth Promoting Factor
for Broiler Chicken. Japanese Poult. Sci. 33 (1) : 1 – 7
Mahfudz, L. D., K. Hayashi, K. Nakashima, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1997. A
Growth Promoting Factor for Primary Chicks Muscle Cell Culture From
Shochu Distillery By-Product. Biosecience, Biotechnology and Biochemistry,
December 58 : 715 – 720
Mahfudz, L. D. 2006. Ampas Tahu Fermentasi sebagai Bahan Pakan Ayam
Pedaging. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu pertanian Vol 21 (1) : 39 – 45.
Maksudi. 2000. Quantitative Oxidation on Nutrients In Broiler Treated with -
agonist L-644,969. Bulletin of Animal Sci. 24 (3) : 94 – 102
Mariani, N. P. dan N. N. Suryani. 2004. Pengaruh penggunaan pod kakao yang
disuplementasi ragi tape dalam ransum terhadap jumlah pad-fat dan kadar
kolesterol daging itik Bali. Majalah Ilmiah peternakan Vol 7 (2) : 87 – 93
Mastika, I. M. 2001. Ilmu Gizi Ternak Unggas. Buku Ajar. UPT Penerbit,
Universitas Udayana, Denpasar
Mastika, I. M. 1991. Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian serta
Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak. Pidato Pengukuhan GuruBesar
Tetap dalam Ilmu Nutrisi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 1995.
Animal Nutrition. Jhon Wiley and Sons, New York.
Menge, H., L.H. Littlefield, L.T. Frobish and B.T. Weinland. 1974. Effect of
Cellulose and Cholesterol on Blood and Yolk Lipids and Reproductive
Effiency of The Hen. J. Nutr. 104 : 1554 – 1566
Mohan, B., R. Kadirvel, M. Bhaskaran and A. Natarajan. l995. Effect of Probiotic
Suplementation on Serum and Yolk Kolesterol and Egg Shell Thicness In
Layers. British Poultry Sci. 36 : 799 – 803
92
Nuraini, E., Koentjoko, dan Soehardjono. 2002. Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu
Ayam dan Papain dalam Pakan terhadap Penampilan Ayam Pedaging.
Biosain Vol. 2 (1) : 14 – 19.
Ochetim, S. 1993. The Effects of Partial Replacement of Soybean Meal with Boiled
Fether Meal on The Performance of Broiler Chickens. AJAS. 6 (4) : 597 –
600
Oka, A. A. 1992. Studi Anatomi Perbandingan Letak Kelenjar Hipofisa Ternak Sapi,
Kerbau dan Domba Serta Pengaruh Ekstraknya Terhadap Spermiasi dan Mani
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Thesis, Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Owing, W. J., D. L. Reynolds, R. J. Hasiak and P. R. Ferket. l990. Influence of
Dietary Suplementation with Streptococcus faecium M-74 on Broiler Body
Weight, Feed Conversion, Carcass Characteristics and Intestinal Microbial
Colonization. Poultry Sci. 69 : 1257 – 1264
Pantaya, D. 2005. Penambahan Enzim CairanRumen untuk Terhadap kandungan
Energi Metabolis Wheat Pollard. Majalah Ilmiah Peternakan Vol. 8 (1) : 12 –
18
Pantaya, D. 2005. Penambahan Enzim dari Cairan Rumen untuk Peningkatan
kandungan Energi metabolis Wheat Pollard. Majalah Ilmiah Peternakan 8 (1)
: 14 – 19
Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Park, H. Y., I. K. Han and K. N. Heo. l994. Effects of Suplemention of Single Cell
Protein and Yeast Culture on Growth Performance in Broiler Chicks. Kor. J.
Anim. Nutr. Feed 18 (5) : 346-351
Piao, X.S ., I. K. Han, J. H. Kim, W. T. Cho, Y. H. Kim and C. Liang. l999. Effects
of Kemzyme, Phytase and Yeast Suplementation on The Growth Performance
and Pollution Reduction of Broiler Chicks. AJAS 12 (1) : 36-41
Piliang, W. G. 1997. Strategi Penyediaan Pakan Ternak Berkelanjutan Melalui
Pemanfaatan Energi Alternatif. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi,
Fapet IPB, Bogor
Plummer, D.T. l977. An Introduction to Practical Biochemestry. McGraw-Hill Book
Co., Ltd. New Delhi.
Pluske, J. R. 1997. Defining the future role of enzymes within the Asia Pacific
region. . In 11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 45-64.
93
Purnomohadi, M. 2006. Peranan Bakteri Selulolitik Cairan Rumen pada Fermentasi
Jerami Padi terhadap Mutu Pakan. Protein. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan dan Perikanan Vol 13 (2) : 108 – 112
Rasyaf, M. l994. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke 8 PT. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Rasyaf, M. 2002. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Cetakan ke 9, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta
Rianto, E., E. Lindasari, dan E. Purbowati. 2006. Pertumbuhan dan Komponen Fisik
Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras
Berbeda. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak Vo.8 (1) : 28-33
Said, C. 1996. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa sawit. Trubus
Agriwidya, Ungaran.
Santoso, U., D. Kurniawati, dan J. Setianto. Perubahan Komposisi Nutrisi Kotoran
Ayam Petelur yang Difermentasi dengan Mikroorganisme Efektif. Majalah
Ilmiah peternakan Vol. 7 (3) : 145 – 151
Schute, J.B., and J. de Jong . 1996. Effect of a dietary protease enzyme preparation
(vegpro) supplementation on broiler chick performance. In Lyons, T.P. and
K.A. Jacques. Biotechnology in the feed Industry. Proc. Alltech’s Twelfth
Annual Symposium. 233-240.
Scott, M. L., M. C. Neisheim and R. J. Young. l982. Nutrition of The Chickens. 2nd
Ed. Publishing by : M.L. Scott and Assoc. Ithaca, New York.
Seaton, K. W., O. P. Thomas, R. M. Gous and E. H. Bossard. l978. The Effect of
Diet on Liver Glycogen and Body Composition in The Chick. Poult. Sci. 57 :
692-697
Shin, H. Y., I. K. Han, and Y. J. Choi. 1992. Studies on Potassium-Lysine
Interrelationship in Broiler Chiks. I. Effect of Potassium-Lysine
Interrelationships on Growth Performance and Nutrient Utilizability. AJAS 5
(1) : 139 – 144
Sibbald, I. R., and M. S. Wolynetz. l986. Effects of Dietary Lysine and Feed Intake
on Energy Utilization and Tissue Synthesis by Broiler Chicks. Poult. Sci. 65 :
98 – 105
Sillence, M. N., Q. Liu, G. Chen, and G. H. Zhou. 2000. Effects of Combined
Somatotropin and Clenbuterol Treatment on Growth and Body Composition
in Pigs. In. Animal Production for a Consuming World, Vol. C. (Ed. G.M.
Stone). A
Siregar, S. B. 2005. Penggemukkan Sapi. Penebar Swadaya. Cetakan XI, Jakarta
94
Soehadji, 1992. Kebijaksanaan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Peternakan
dan Penanganan Limbah Peternakan. Makalah Seminar. Direktorat Jenderal
Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Sterling, K. G., J. M. Harter-Dennis, M. J. Estienne, and K.V. McElwain. 1998.
Effect of Enzyme Addition in Pelleted vs. Mash Barley Based Diets for
Broilers. Abstract American Society of Animal Science Northeast Section.
76: 81
Suasta, I. M. 2004. Pengaruh Penggunaan Tepung bulu ayam terfermentasi dalam
ransum terhadap penampilan ayam broiler umur 2 – 6 minggu. Majalah
Ilmiah Peternakan Vol. 7 (3) : 238 – 145
Suasta, I. M. Dan I G. N. G. Bidura. 2001. Pengaruh Penggantian Jagung Kuning
dengan Campuran Limbah Roti dan Tepung Jerami Bawang Putih terhadap
Produksi Telur Ayam Lohmann Brown Umur 42 – 50 Minggu. Laporan
Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Subekti. 1982. Meningkatkan Citra Tempe sebagai makanan hari Depan. Harian
Sinar harapan 25 Maret 1982, Jakarta.
Sudiastra, I W. dan I M. Suasta. l997. Pemanfaatan Limbah Roti untuk Makanan
Ternak Babi. Laporan Penelitian Dosen Muda, Ditbinlitabmas, Dirjen Dikti.,
Fapet. Unud., Denpasar.
Suharsono, 1991. Probiotik Alternatif Pengganti Antibiotik dalam Bidang
Peternakan. Fak. Peternakan UNPAD. Bandung.
Suhendra, P. l992. Menurunkan Kolesterol Telur Melalui Ransum. Poultry
Indonesia Nomor 151/September l992 Hal : 15 – 17
Sukada, I. K., I. G. N. G. Bidura, dan D. A. Warmadewi. 2007. Pengaruh
Penggunaan Pollard, Kulit Kacang Kedelai, dan Pod Kakao Terfermentasi
dengan Ragi Tape terhadap Karkas dan Kadar Kolesterol Daging Itik Bali
Jantan. Majalah Ilmiah peternakan (10) 2 : 53 – 59
Susila, T. G. O. Dan I. B. G. Partama. 2005. Penggunaan Nitrogen pada sapi bali
Penggemukkan yang Diberi Ransum Berbasis jerami Padi dengan Amoniasi
Urea dan Suplementasi Mineral. Majalah Ilmiah Peternakan Vol 8 (1) : 24 –
30.
Sutrisno, C. I., B. W. H. F. Prasetyono, dan E. Ali. 2006. Pemanfaatan Kotoran
Ayam untuk Meningkatkan Kualitas Pucuk tebu sebagai pakan Ruminansia.
Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol. 21 (1) : 33 – 38
95
Tanaka, K., B. S. Youn, U. Santoso, S. Ohtani, and M. Sakaida. 1992. Effects of
Fermented Feed Products From Chub Mackerel Extract on Growth and
Carcass Composition, Hepatic Lipogenesis and on Contents of Various Lipid
Fraction in The Liver and The Thigh Muscle of Broiler. Anim. Sci. Technol.
63 : 32 – 37
Tarwiyah, Kemal. 2001. Konsentrat Papain. Teknologi Tepat Guna Agroindustri
Kecil, Sumatera Barat, Hasbullah. Dewan Ilmu Pengetahuan, Tekonologi dan
Industri Sumatera Barat.
Tie Tze. 2002. Terapi Pepaya. PT. Prestasi Pustaka raya, Jakarta Sudjatinah, C. H.,
Wibowo, dan P. Widiyaningrum. 2005. Pengaruh Pemberian Ekstrak daun
Pepaya terhadap Tampilan Produksi Ayam Broiler. J. Indon. Trop. Agric. 30
(4) : 224 -229
Trotter, D. C. 1990. Biotechnology in The Pulp Paper Industry. A Review Part 1. J.
Tappi. 198 – 202
Udayana, I. D. G. A. 2005. Pengaruh penggunaan lemak sapi sebagai pengganti
sebagian energi jagung terhadap berat badan akhir dan prosentase karkas pada
itik bali. Majalah Ilmiah peternakan Vol 8 (1) : 12 – 19
Utama, C. S., I. Estiningdriati, V. D. Yunianto, dan W. Murningsih. 2006. Pengaruh
Penambahan Aras Mineral pada fermentasi Sorghum dengan Ragi Tempe
terhadap Kecernaan Zat Pakan pada Ayam Petelur. Protein, Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan dan Perikanan Vol 13 (2) : 103 – 109
Vallie, K., J. Barry, Brock, K. Dinesh, and J. H. Michael. 1992. Degradation of 2.4
toluen by the Lignin-Degrading Fungi Phanerochaete chrysosporium. J. Appl.
And Env. Microbiol. 8 : 221 - 228
Van-der-Heiden, D. 1994. The Hormonal Regulation of Energy Metabolism. In.
Energy Metabolism of Farm Animals (J.F. Aquilera, Ed.) Proc. Of the 13th
Symposium Mojocar, Spain 18 – 24 Sept 1994. EAAP Publication No. 76,
1994. P. 11 – 15.
Vranjes, V. And C. Wenk. 1995. The Influences of Extruded vs Untreated Barley in
The Feed with and without dietary Enzyme Supplement on Broiler
Performance. Anim. Feed Sci. And tech. 54 : 21 – 32.
Wahju, 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wawan, M. I. W. 2003. Membuat Pakan Ayam ras Pedaging. Cetakan Pertama,
Penerbit PT. AgroMedia Pustaka,Jakarta.
96
Wenk, C., R. Koelliker, and R. Messikommer. 1993. Whole Maize Plants in Diets for
Growing Pig: Effects of Three Different Enzymes on the Feet Utilization.
Pages 165-169 in : Prosiding of The First Symposium of Enzymes in Animal
Nutrition. Kartause Ittingen, Switzerland.
Wihandoyo. 1985. Memanfaatkan Ubi Jalar Buangan sebagai Sumber Energi dalam
Pakan Ayam Pedaging. Lembaga Penelitian UGM, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
William, C. M., C. G. Lee, J. D. Garlich, and J. C. H. Shih. 1991. Evaluation of a
Bacterial Feather Fermentation Product, Feather Lysate, as a Feed Protein.
Poult. Sci. 70 : 85 - 93).
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.
Wessels, J. P. N. 1992. A Study of The Protein Quality of Different Feather Meals.
Poult. Sci. 51 : 537 – 541