lp kompartemen sindrom
DESCRIPTION
kompartemen sindromTRANSCRIPT
A. Definisi
Kompartemen merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan
pembuluh darah dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan
pembungkus organ). Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya
kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian
jaringan.
Menurut Salter, kompartemen sindrom adalah peningkatan tekanan dari suatu
edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan
bawah maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang
secara anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf
intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakkan jaringan
intrakompartemen.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Kompartemen sindrom ditandai dengan nyeri yang
hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara
anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai
atas.
B. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskuler
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota
gerak bawah.
C. Patofisiologi
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua kemungkinan
mekanisme, yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen dan/atau bertambahnya
isi dari kompartemen tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi
bersamaan, ini adalah suatu keadaan yang menyulitkan untuk mencari
mekanisme awal atau etiologi yang sebenanya. Edema jaringan yang parah
atau hematom yang berkembang dapat menyebabkan bertambahnya isi
kompartemen yang dapat menyebabkan atau memberi kontribusi pada
compartment syndrome.
Tidak seperti balon, fasia tidak dapat mengembang, sehingga pembengkakan
pada sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam kompartemen
tersebut. Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di
kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke
otot dan sel saraf. Tanpa suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot akan
mengalami iskemia dan mulai mati dalam waktu beberapa jam. Iskemia
jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema jaringan di dalam
kompertemen semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen yang
menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang cedera. Jika
tekanan terus meningkat dalam suatu lingkaran setan yang semakin menguat
maka perfusi arteriol dapat terganggu sehingga menyebabkan iskemia jaringan
yang lebih parah.
TRAUMA/EXCERCISE
Lingkaran setan patofisiologi kompartemen sindrom
D. Manifestasi klinis
Pada kompartemen sindrom, didapatkan tanda dan gejala yang dikenal dengan
7P, yaitu:
1. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan tidak
terlokalisir, serta kadang digambarakan lebih parah dari cedera yang ada.
Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di dalam kompartemen dan
dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan morfin. Penggunaan analgesia
kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan masking pada iskemia
kompartemental.
2. Paresthesia (kesemutan) biasanya terjadi ketika diawal terjadinya
kompartemen sindrom karena penekanan pada saraf dan pembuluh darah di
dalam kompartemen.
3. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen
sindrom.
Peningkatan
tekanan intrakompartemen
Edema/
hematom lokal
(semakin bertambah)
Ganguan aliran
pembuluh darah
(pembuluh darah
kolaps)
Iskemia jaringan (dapat terjadi
kematian sel)
4. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien,
hal ini disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang melebihi
tekanan arteri.
5. Pallor (pucat) dikarenakan terjadinya penurunan perfusi ke dalam daerah
kompartemen.
6. Puffiness atau kulit yang tegang, bengkak, dan terlihat mengkilat
7. Poikilotermia (kulit terasa dingin)
E. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom
kompartemen dan pengukuran tekanan secara langsung. Gejala terpenting pada
pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri yang proporsinya tidak sesuai
dengan beratnya trauma. Nyeri pada regangan pasif juga merupakan gejala
yang mengarah pada compartment syndrome. Paresthesi berkenaan dengan
saraf yang melintang pada kompartemen yang bermasalah merupakan tanda
lanjutan dari compartment syndrome. Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas
yang tegang dan keras. Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika
tidak disertai cedera vaskuler. Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda
yang amat lanjut yang mengarah pada compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data
objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur. Cara ini paling
berguna jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien
politrauma, dan pasien dengan cedera kepala.
Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam
membantu menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen
dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak
kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-
pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau
trauma saraf perifer. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter. Prosedur pengukuran
tekanan kompartemen antara lain :
1. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
a. Teknik ini adalah kriteria diagnostik standar yang seharusnya menjadi
prioritas utama jika diagnosis masih dipertanyakan.
b. Alat yang dibutuhkan : spuitt 20 cc, three way tap, tabung intra vena,
normal saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan
darah. Pertama, atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai
saline sampai mengisi setengah tabung , tutup three way tap tahan
normal saline dalam tabung. Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak
sampai menginfiltrasi otot. Masukkan jarum 18 kedalam otot yang
diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka
three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan tekanan akan meningkat
secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen
tinggi, tekanan air raksa akan naik.
2. Wick kateter
a. Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot. Selanjutnya, tarik jarum
dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik. Setelah itu, balut
wick kateter ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi system
dengan normal saline yang mengandung heparine dan ukur tekanan
kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter
dengan tangan menekan pada otot. Hilangkan semua tekanan external
pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen, jika tekanan
mencapai 30 mmHg, maka indikasi dilakukan fasciotomi.
b. Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah
8,5+6 mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang
dari 30 mmHg (tekanan pengisian kapiler diastolik), tidak perlu
khawatir tentang sindroma kompartemen. sindroma kompartemen dapat
timbul jika tekanan dalam kompartemen lebih dari 10 mmHg.
Pengukuran tekanan kompartemen
F. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
a. Comprehensive Metabolic Panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan
keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu
pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan
energi.
b. Complete Blood Cell Count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,
Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet),
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH,
MCHC), Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR),
Hitung Jenis Leukosit (Diff Count), Platelet Disribution Width (PDW),
Red Cell Distribution Width (RDW).
c. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila
pasien diberi heparin
d. Cardiac marker test (tes penanda jantung)
e. Urinalisis and urine drug screen
f. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat
g. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
2. Imaging
a. Rontgen pada ekstrimitas yang terkena
b. USG, membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT)
c. MRI
G. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit
fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui
bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang
terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli
bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak
untuk melakukan fasciotomi.
1. Terapi medikal/ non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan
aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan
mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30
mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mmHg maka tungkai cukup
diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya.
Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase
berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan
fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena
lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi
yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai
bawah fasciotomi dapat berarti membuka keempat kompartemen, kalau
perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka,
kalau terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat
luka dapat dijahit ( tanpa regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma,
pasien dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ),
dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan
memiliki tekanan jaringan yang normal.
Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena
penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah inti
dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus
permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika
dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran dan konsultasi yang
diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua
sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk
mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator
juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan
didekompresi. Setiap yang berpotensi mambatasi ruang termasuk kulit
dibuka di sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak
pada palpasi setelah prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal
mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah
nekrosis.
Kompartemen sindrom dengan operasi fasciotomi
H. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tanga, jari dan pergelangan tangan karena adanya trauma
pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
I. Perawatan Luka Post Fasciotomi
1. Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari
2. Kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
3. Jika jaringan post op fasciotomi sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan),
atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan
sendirinya
Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Kompartemen Sindrom
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Meliputi jenis kelamin, umur, demografi, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, dll
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasusini merupakan rasa nyeri yang
dialami oleh klien. Pengkajian mengenai nyeri dilakukan dengan
a. Provoking, merupakan peristiwa apa yang bisa mencetuskan nyeri yang
dirasakan oleh klien
b. Quality, seperti apa nyeri yang sedang dirasakan oleh klien saat ini
c. Region, tempat dimana rasa nyeri itu terjadi
d. Severity, skala nyeri yang dirasakan oleh klien
e. Time, berapa lama nyeri yang dirasakan oleh klien biasanya berlangsung
3. Status kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Terdapat riwayat penyakit mengenai kelainan tulang, tuberkulosis,
riwayat jatuh, dan lain – lain
b. Riwayat penyakit sekarang
Terjadinya fraktur tertutup yang menyebabkan terjadinya penigkatan
tekanan kompartemen, pemasangan gips aatau elastic bandage yang
terlalu ketat, terkena sengatan hewan berbisa, cedera ketika olah raga
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh
klien saat ini seperti kelainan tulang, tuberkulosis
4. Pengkajian keperawatan
a. Aktivitas dan latihan
Lari, mengangkat beban yang terlalu berat, sering beraktivitas dengan
mengandalkan kekuatan fisik, kurang istirahat
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: terdapat edema di bagian kompartemen ekstrimitas atas
dan bawah, klien terlihat lemah, tekanan darah >140/90 mmHg, peningkatan
nadi, peningkatan RR
Pengkajian fisik
a. Ekstrimitas
Ekstrimitas terlihat membiru atau sianosis, terdapat edema pada
kompartemen di ekstrimitas, terdapat nyeri tekan, tonus otot buruk,
warna kulit mengkilap di ekstrimitas yang terkena, tidak ditemukan
denyut nadi atau pulsasi pada ekstrimitas yang terkena.
b. Kulit dan kuku
Terlihat sianosis, tidak ada clubbing finger, akral teraba dingin
6. Terapi
Terapi atau pengobatan yang dijalani oleh klien
7. Pemeriksaan penunjang
Rontgen
MRI
B. Diagnosa keperawatam
a. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan dalam
kompartemen
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, ketidaknyamanan,
penurunan kekuatan otot
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan,
kerusakan muskuloskeletal, nyeri pada waktu bergerak.Ansietas
berhubungan dengan prosedur invasif pada klien
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk
melakukan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi,
ketidakseimbangan mobilitas.
e. Kurang Pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
pemahaman/mengingat kesalahan interpretasi informasi.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurangnya kontrol tidur dan
reaksi ketidaknyamanan.
C. Rencana tindakan keperawatan
No Diagnosa keperawatan
Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Nyeri akut berhubungan dengan tekanan dalam kompartemen
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri yang dirasakan klien akan berkurang/hilang
NOC:
1. Pain control 2. Pain level Kriteria hasil:
a. Klien akan dapat mengontrol nyeri den-gan indikator:1) mendemonstrasikan tentang penge-
nalan nyeri secara konsisten 2) mendemonstrasikan penggunaan
analgesik secara konsisten 3) mendemonstrasikan pelaporan nyeri
secara konsisten b. Klien akan dapat mencapai level nyeri
rendah dengan indikator:1) tidak melaporkan nyeri 2) tidak menunjukkan ekspresi wajah
N I C :
Pain management
1 . Kaji ekspresi non verbal klien yang menunjukkan ketidaknya-manan
2 . Berikan informasi tentang penyebab nyeri, berapa lama ny-eri akan hilang, dan cara men-gatasi nyeri
3 . Ajarkan prinsip manajemen ny-eri pada klien
4 . Hilangkan faktor resiko yang dapat meningkatkan nyeri klien
5 . Fasilitasi waktu tidur yang adekuat bagi klien
6 . Ajarkan teknik nafas dalam dan distraksi bagi klien
1. Mengkaji ekspresi non verbal klien
2. Meningkatkan pengetahuan klien tentang nyeri yang di-rasakan
3. Berusaha memandirikan klien
4. Membantu meningkatkan kenyamanan klien
5. Membantu klien meningkatkan kualitas istira-hat
6. Membantu mengalihkan per-hatian klien dari nyeri yang dirasakan
nyeri 7 . Kolaborasi pemberian analgetik bagi klien
7. Analgetik mengurangi nyeri klien
2 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, ketidaknyamanan, penurunan kekuatan otot
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam pasien mampu bergerak bebas
NOC:
1) joint movement 2) mobility levelKriteria Hasil:
1) Peningkatan aktivitas pasien2) Memperagakan penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi
N I C:
Exercise therapy (ambulation)
1. Kaji kemampuan fungsional otot
2. Atur posisi tiap 2 jam, (supinasi, sidelying) terutama pada bagian yang sakit
3. Mulai ROM. Aktif/pasif untuk semua ekstremitas . Anjurkan latihan meliputi latihan otot quadriceps/gluteal ekstensi, jari dan telapak tangan serta kaki.
1. Mengidentifikasi kekuatan /kelemahan dapat membantu memberi informasi yang diperlukan untuk membantu pemilihan intervensi
2. Dapat menurunkan resiko iskemia jaringan injury. Sisi yang sakit biasanya kekuran-gan sirkulasi dan sensasi yang buruk serta lebih mudah terjadi kerusakan kulit/deku-bitus
3. Meminimalkan atropi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kon-traktur, menurunkan resiko hiperkalsiurea dan osteoporo-sis pada pasien dengan haemorhagic.
4. Mencegah abduksi bahu dan fleksi siku
4. Tempatkan bantal di bawah ak-sila sampai lengan bawah
5. Elevasi lengan dan tangan
6. Observasi sisi yang sakit seperti warna, edema, atau tanda lain seperti perubahan sirkulasi.
7. Kolarobarsi dengan ahli terapi fisik, untuk latihan aktif, latihan dengan alat bantu dan ambulasi pasien.
5. dapat meningkatkan aliran balik vena dan mencegah ter-jadinya formasi edema.
6. jaringan yang edema sangat mudah mengalami trauma, dan sembuh dengan lama.
7. program secara individual akan sesuai dengan kebu-tuhan pasien baik dalam per-baikan defisit keseimbangan , koordinasi dan kekuatan
3 Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurangnya kontrol tidur
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan dapat memperbaiki pola tidurnya
NOC:
1. Sleep Kriteria hasil:
Klien mampu memperbaiki pola tidurnya
N I C :
Sleep enhancement
1 . Kaji pola tidur klien2 . Kaji efek pengobatan terhadap
pola tidur klien3 . Jelaskan arti pentingnya tidur
yang adekuat bagi klien
1. Mengetahui pola tidur klien2. Mengetahui feke obat bagi
kualitas tidur klien3. Meningkatkan pengetahuan
klien tentang pentingnya tidur bagi kesehatan tubuh
dengan baik dengan indikator:
a. jam tidur tidak berubah b. pola tidur tidak berubah c. tidur malam yang konsisten tidak
berubah
4 . Monitor pola tidur dan jumlah jam tidur pada klien
5 . Monitor kegiatan fisik atau psikologis yang dapat meng-ganggu waktu tidur klien
6 . Ciptakan lingkungan yang men-dukung kegiatan tidur klien
7 . Instruksikan klien untuk merelak-sasikan otot sebelum tidur
8 . Kolaborasi pemberian obat yang dapat membantu klien untuk tidur
klien4. Mengetahui dengan pasti
jumlah jam tidur klien5. Mengetahui dan dapat
mencegah kegiatan yang da-pat mengganggu waktu tidur klien
6. Meningkatkan rasa nyaman klien saat tidur
7. Meningkatkan rasa nyaman klien saat tidur
8. Memaksimalkan waktu tidur bagi klien yang dapat menun-jang kesehatannya
4 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi,
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien akan beradaptasi dengan baik.
NOC: Body image
Kriteria hasil:
Klien akan mampu menerima perubahan tubuhnya dengan indikator:
1) Pasien akan menyesuaikan perubahan fungsi tubuhnya
NIC: Increasing coping
1. Bantu pasien mengidentifikasi tu-juan yang diinginkan
2. Berikan semangat pada pasien
3. Jelaskan proses penyakit pada pasien
1. Proses perawatan dan inter-vensi sesuai dengan harapan pasien
2. Motivasi dapat mempen-garuhi konsep diri pasien
3. Meningkatkan pengetahuan pasien tentang kondisinya
4. Pengendalian diri meningkatkan penerimaan terhadap keadaan diri
ketidakseimbangan mobilitas
2) Pasien akan dapat menyesuaikan tubuhnya terhadap perubahan adanya penyakit
4. Bantu pasien untuk tidak merasa marah dan depresi
5. Tingkatkan aktifitas sosial dan komunitas
6. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan
7. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
5. Salah satu bentuk pengalihan terhadap kondisi pribadi
6. Meningkatkan koping dan mempengaruhi pasien mem-persepsikan citra tubuhnya
7. Menurunkan stress
5 Kurang Pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemahaman/mengingat kesalahan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien mengalami peningkatan pengetahuan
NOC:
Knowledge:disease process
Knowledge:medication
Kriteria hasil :
N I C :
Teaching: disease process
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit
2. Jelaskan patofisiologi penyakit dan kaitanya dengan pengobatan
3. Gambarkan tanda dan gejala yang mungkin timbul
4. Diskusikan perubahan gaya hidup yang diperlukan untuk mencegah komplikasi
5. Dukung pasien dalam melakukan
1. Mengetahui batasan penge-tahuan pasien
2. Mencegah kesalahan pasien dalam interpretasi penyakit
3. Apabila tanda dan gejala timbul pasien segera meng-informasikan
4. Pencegahan segera komp-likasi lebih lanjut
5. Memandirikan pasien
interpretasi informasi.
a. Mampu mengerti proses penyakit yang dialami dengan indikator:1) tahu proses penyakit secara spesifik2) tahu efek dari penyakit yang di-
alami3) tahu tanda dan gejala dari penyakit
yang dialamib. Mampu mengerti pengobatan yang di-
anjurkan dengan indikator:1) tahu efek terapeutik dari pengob-
atan2) tahu efek samping pengobatan3) tahu strategi untuk mendapatkan
pengobatan yang dibutuhkan
pemilihan pengobatanyaTeaching: prescribed medication
1. Jelaskan tujuan dari masing-mas-ing pengobatan
2. Jelaskan dosis, rute, dan durasi pengobatan
3. Periksa kembali pengetahuan pasien tentang pengobatan
4. Jelaskan efek samping dari setiap pengobatan
5. Jelaskan tanda dan gejala dari overdosis atau kekurangan dosis pengobatan
1. Meningkatkan pengetahuan pasien
2. Mencegah kecemasan yang mungkin timbul pada pasien
3. Mengetahui batasan penge-tahuan pasien
4. Mencegah kecemasan yang mungkin timbul pada pasien
5. Mencegah kecemasan yang mungkin timbul pada pasien
Daftar Pustaka
Amendola, Bruce Twaddle. 2003. Compartment syndromes in Skeletal trauma
basic science, management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders
Azar Frederick. 2003. Compartment syndrome in Campbell`s operative
orthopaedics. Ed 10th. Vol 3. Mosby. USA
Salter R B. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System; edisi ke-3. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins
Skinner H B. 2000. Current Diagnosis & Treatment in Orthopedics; edisi ke-2.
Singapore: The McGraw-Hill Companies
Spivak J M et al. 1999. Orthopaedics A Study Guide. Singapore: The McGraw-
Hill Companies