majalah jejak islam no.1 nov 2014
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
1/35
DI BALIK LAYAR
KEMERDEKAAN
unuk Bangsa
Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia NO. I - NOVEMBER 2014
Mukaddimah Syajarah RekamKisahBekah Kemedekaan
Bagi Dakwah Islam
di Indonesia
Tenang Paa Pahlawan
dan Masa Lalu Kia
Meekam Ingaan
Peang Aceh
Elegi 10 Novembe dan
Resolusi Jihad yang
e(di)lupakan
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
2/35
Dari
KeHati
Meniti Diantara
Cinta&FaktaHati Meninjau sejarah dengan cinta. Itulah pesan Buya Hamka yang meresap ke dalam
redaksi kami. MajalahJejak Islamedisi pertama ini adalah sebuah ikhtiar untuk menghadirkan
penulisan sejarah Islam yang haluannya adalah pandangan hidup Islam dan bahan bakarnya
adalah cinta terhadap Islam. Dituangkannya tulisan-tulisan komunitas Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB) ke dalam bentuk majalah adalah upaya untuk lebih mendekatkan sejarah kepada umat
Islam di Indonesia, setelah sebelumnya tulisan kami lebih banyak bergeriliya di dunia maya.
MajalahJejak Islam edisi perdana ini menyajikan mengangkat tema Di balik Layar
Kemerdekaan,sebuah perbincangan mengenai para p ahlawan dan kemerdekaan. Tulisan dari
Tiar Anwar Bachtiar -sejarawan yang juga Ketua Umum PP Pemuda Persis- mengenai berkah
kemerdekaan bagi dakwah Islam, mengisi rubrik Mukaddimah; kemudian Rubrik Syajarah
diawali tulisan dari Tri Shubhi -penggiat Komunitas NuuN- yang meninjau para pahlawan,
serta telisik Susiyanto, dosen IAIN Surakarta, yang mengajak kita menatap riwayat Rahmah El
Yunusiyah, pejuang perempuan yang terpinggirkan dalam arus sejarah di Indonesia.
Tentu saja artikel-artikel lain oleh redaksiJejak Islam turut meramaikan edisi ini. Tidak pula
tertinggal, rubrik Kisah,sebuah rubrik khas yang meracik penulisan sejarah secara sastrawi
oleh Rizki Lesus. Dalam Dialog, kami hadirkan wawancara dengan Artawijaya, penulis sejarah
Islam yang produktif. Tengok pula rubrik Dari perbendaharaan Lama, yaitu rubrik yang
mengangkat kembali tulisan-tulisan tokoh Islam dari masa silam. Foto-foto esai dalam rubrik
Rekammencoba merogoh ingatan kita tentang Perang Aceh. Rubrik Catatan Punggung,
menutup rangkaian majalah ini, dengan mengaitkan antara realita masa kini dengan persoalan
sejarah.
Penulisan sejarah yang kami lalui dalamJejak Islam, berupaya meniti keseimbangan antara
kecintaan terhadap Islam dan penggalian data dan fakta yang kokoh. Mudah-mudahan
MajalahJejak Islam,yang hendak mempopulerkan sejarah Islam di Indonesia ini, diterima oleh
masyarakat, khususnya umat Islam. Sehingga umat Islam di Indonesia tak lagi asing dengan
masa lalunya sendiri di tanah air. Selamat menikmati.
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
3/35
R E D A K S I
PENERBIT Jejak Islam untuk Bangsa
@ipotisme
Jl. Taman Malaka E No.13
Jakarta Timur
www.jejakislam.net
20H a l a m a n
D A F T A R
0 6 M uk ad di ma h Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia
Tiar Anwar Bachtiar
5 0 S ya ja a h Rahmah El Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan
Susiyanto
1 2 S ya j a ah Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita
Tri Shubhi A
1 8 D a i P e b e nd a ha a a a nL a m a
Moh. Natsir dan Perjuangannya
Moh. Roem
4 4 D ia lo g Artawijaya
6 0 B u k u Takdir
Peter Carey
6 4 R e k am Merekam Ingatan Perang Aceh
6 4 C a a anP u n g g u n g
Buku dan Sanad yang Terputus
3 0 S ya ja a h Mereka yang Dilumpuhkan
Beggy Rizkiyansyah
K i s a h
Elegi 10 November dan Resolusi Jihad yang ter(di)lupakan
Rizki Lesus
isi
44H a l a m a n
S y a j a a h
Arti Kemerdekaan
Beggy Rizkiyansyah
PEMIMPIN REDAKSI
TIM REDAKSI
ARTISTIK
LUSTRASI SAMPUL
REDAKTUR AHLI
KONTRIBUTOR
Beggy Rizkiyansyah
M.Rizki Utama
NZI
Qbenk
Septian Anto W.AndiRyansyah
Tiar Anwar Bachtiar
Susiyanto
Alwi Alatas
TriShubhi A.
REDAKTUR RizkiLesus
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
4/35
6 Mukaddimah Mukaddimah
Sejak tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942,
sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang
hingga Merauke berada di dalam kekuasaan satu negara
kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut
belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi
provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai
daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda
dengan pangkat Regen (Bupati). Mereka diawasi oleh para
Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur General
sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri
jajahan. Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral
di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam.
Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda.
Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode
Kolonial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.
Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah
asing, kar, danpaling pentingmenyebabkan taraf hidup
masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-
abad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat l engkap bagi
kaum Muslimin untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya
dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda. Pekik Perang Sabil aliasjihad sabilillahterdengar
di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar
terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1825-
1830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda
adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan
serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong
Oleh : Tia Anwa Bachta
(Keua PP Pemuda Pesauan Islam)
Litogra Belanda tentang utusan Aceh yang menyerahkan surat Sultan
Alauddin Riayat Syah (1589-1604) kepada Prins Maurits, pendiri
dinasti Oranje, di bulan Agustus 1602
Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh
(1997). Banda Aceh: The Documentation and Information Center of Acheh
Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
5/35
8 Mukaddimah Mukaddimah
tu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888)
ada perlawanan para santri dan kyai yang sekalipun tidak
adi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda
tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak
didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad
ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan satri.
Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan
nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu
ahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kar, dan
zhalim. Oleh sebab itu, perlawanan sepanjang
Selama satu abad perlawanan meletus, giliran kemudian
generasi Muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad
ke-20. Perlawanan sik kini bermetamorfosis menjadi
perlawanan yang lebih mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah
menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911) yang memiliki
gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat
Indonesia dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan
HOS Tjokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingan-
kepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari
kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian
dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya
SI. Di Yogyakarta lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung
ahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdhatul
Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di
beberapa tempat yang lain pun lahir gerakan-gerakan serupa.
Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda, namun
semuanya memiliki cita-cita yang sama: bebaskan Indonesia
dari Belanda!
Tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang
berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan
sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan
Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka
sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan
perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam,
melainkan hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan
pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi kepentingan
kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan iniIslam
dan Sekulersaling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan
penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan
negara baru nantinya.
Singkat cerita, Belanda tidak bisa mempertahankan wilayah
Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu pada
Perang Pasik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang.
Jepang selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan
pada Indonesia, walaupun kelihatannya tidak sungguh-
sungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan
bala bantuan tentara dan l ogistik untuk kepentingan Perang
Pasik yang tengah dihadapinya. Akhirnya Jepang harus
menyerah kepada Sukutu pimpinan Amerika pada tahun 1945.
Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam
maupun sekuler untuk sementara bersatu memperjuangkan
bebasnya negara baru dari penjajah kar dengan diawali
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu
proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian, namun
akhirnya bebuah hasil yang manis merdekanya wilayah
kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kar.
Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam
Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan
para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme
tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam
proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan
Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti
yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila
dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak
gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata
yang dibuang: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya dalam sila pertama Pancasila. Walaupun
pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya
masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi
perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya
adalah Tauhid. Sekalipun tidak berkonsekuensi hukum
karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang,
namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah
ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia[BPUPKI], 2005).
Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini
juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai
Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim
independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam
sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis
Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan
selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh
sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur
harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini
berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden
5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam
dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan tnah terus
dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh
dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60-
an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an,
hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media
anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam
dari panggung kekuasaan.
Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan
berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk
tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa
kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik
umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam
takdir Allah mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa
ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu
dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan,
yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islammemang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir
semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik.
Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam
disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas
dari penguasa kar-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di
hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan
mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur
Islam. Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja,
konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak
garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang
kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan
berdasarkan Islam.
Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi
Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan.
Pak Natsir setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam berbagai
kesempatan sering mengatakan, Dulu kita berpolitik untuk
dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik. Slogan ini
pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya
yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali
terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam
didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikanlahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin
melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantren-
pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk
menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler.
Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-
lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai
menjangkau pelosok-pelosok negeri.
Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat
Islam Indonesia mengalami kebangkitan baru setelah pada
awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit
memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam
telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama
dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau
sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai
Pemungutan Suara kedua dalam
Sidang Konstituante 1 Juni 1959
Sumber foto : 30 Tahun Indonesia Merdeka
1950 - 1964 (1985) Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia
Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
6/35
Mukaddimah
digarap pada era 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya
generasi-generasi intelektual Muslim baru. Puncaknya, para
cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan
mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang
sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat
secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-
intelektual Muslim baru ini. Intelektual muslim baru inipun
tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini
memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor
kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga
pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan
unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya
diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan
barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif
menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya
lihat Riclefs, Islamisasi Jawa,2014).
Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun 70-an hingga
saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi agama
mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-
sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman Kolonial.
Perjuangan para mujahidin untuk membebaskan negeri ini
dari penguasa kar yang sangat menindas, baik secara politik,
ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai
dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik
Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang
kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya
dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya
tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para
pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada
dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di
negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah
ini memang pra-syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa.
Politik kita tergantung pada dakwah kita, demikian ungkap
Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri,
dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah
salah satu berkah dari Kemerdekaan yang diperjuangkan para
ulama dan mujahidin Islam terdahulu.Wallhu Alam.
m.natsir
Salah satu rekaman foto pertempuran 10 November 1945
Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakarta: Badan
Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA
Tiar Anwar Bachtiar
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
7/35
12 Syajarah Syajarah
Oleh : Ti Shubhi A.
(Penggia Komunias NuuN)
dan Masa Lalu Kita
Awal abad ke-20 sering dinisbati sebagai zaman mula hadirnya kesadaran nasional di tanah ini. Kesadaran dari orang-orang
yang menghuni kepulauan ini untuk bersatu dalam sebuah nation yang mandiri, terlepas dari yang kolonial. Zaman tumbuhnya
kesadaran nasional, begitu untuk mudahnya. Atau zaman di mana perasaan ke-Indonesia-an mulai tumbuh pada bangsa kita.
Sekilas ini ialah sebuah pembaharuan yang baik di tanah ini. Sebuah cara pandang baru yang dianut orang-orang, yang telah
mendorong dan kemudian melahirkan Indonesia. Akan tetapi patut direnungkan pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas
perihal ini:
Kebudayaan Barat telah menyelundupkan menyerang hati sanubari kita, jiwa kita, dan caranya menghasilkan keadaan demikian
ialah bahwa sewaktu bangsa-bangsa Barat menjajahi negara-negara kita mereka telah menjalankan dua tindakan penting yang
membawa kesan besar pada nasib kita kini:
Pertama ialah memutuskan Kaum Muslimin daripada ilmu pengetahuan mengenai Islm dengan secara lambat laun menerusi
sistem pelajaran.
Kedua ialah memasukan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu faham ilmu Barat dan unsur-unsur, nilai-nilai, dan faham
serta konsep-konsep Kebudayan Barat yang akan sedikit banyak menggantikan unsur-unsur dan nilai-nilai dan faham serta
konsep-konsep Islm, dan memutuskan hubungan kebudayaan Islm di kalangan Umat Islm seluruhnya 1.
Jika kita rasa-rasai, hadirnya kesadaran nasional di awal abad ke-20 yang lalu itu memanglah berasal dari orang-orang bangsa
kita yang terdidik secara Barat. Hanya saja, bukan sekadar semangat kemerdekaan yang mereka usung. Diam-diam mereka pun
mengangkut cara pandang Barat ke negeri ini. Kaum terpelajar Barat inilah yang menggelontorkan ke-modern-an dan sekaligus
berupaya meninggalkan masa lalu. Kaum terpelajar Barat inilah yang pada mulanya hendak menciptakan suatu kebaruan pada
bangsa ini. Mereka yang hendak memisahkan diri, menarik garis tegas antara masa lalu dan masa kesadaran nasional itu.Tuan Alisjahbana (Sutan Takdir Alsjahbana atau STA) dalam sebuah tulisan bertajuk Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru:
Indonesia-Prae Indonesia jelas menyatakan hal itu. Baginya, pahlawan-pahlawan yang telah berjuang di tanah ini sebelum abad
ke-20, bukanlah pejuang nasional, sebab ide nasionalisme saat itu pun belum ada.
Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain telah dijadikan orang Pahlawan Indonesia. Borobudur telah
menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa yang silam, musik gamelan telah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah
menjadi buku hasil kesustraan Indonesia.
Padahal ketika Dipenogoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu b elum ada, belum terbau-bau
perasaan keindonesiaan. Dipenogoro berjuang demi Tanah Jawa itu pun agaknya tiada dapat kita katakan bagi seluruh Tanah
Jawa. Tuanku Imam Bonjol Bagi Minangkabau, Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa baik
Dipenogoro, baik Tuanku Imam Bonjol, atau pun Teungku Umar tidak akan melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya
mereka mendapat kesempatan dahulu?2
Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita Tri Shubhi A.
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
8/35
14 Syajarah Syajarah
Pendapat ini jelas berbeda dengan pandangan kaum Islm.
Bagi kaum Muslimin, siapa yang berjuang menegakkan
kebenaran dan melawan kedzaliman ialah pahalwan Islm.
Apatah lagi mereka yang menegakkan keimanan kepada
Allh Swt di tanah ini. Tak terbantahkan lagi mereka adalah
pahlawan Islm sekaligus pahlawan bangsa. Tamar Djaja,
seorang penulis dari Himpunan Pengarang Islam telah
menyatakan hal ini secara tegas pada tahun 1956.
Kita mengenal nama2 jang mewangi waktu ini dari pahlawan2
kemerdekaan Indonesia zaman lalu seperti Diponegoro dari
Djawa, Imam Bondjol di Sumatera, Sulthan Hasanuddin di
Sulawesi, Pengran Ulu Paha di Maluku, Pangeran Antasari
di Kalimantan Selatan, Pangeran Ratu Idris di Kalimantan
Barat, Teuku Tjik di Tiro, Tenku Umar di Atjeh, Sulthan Thaha
di Djambi dan lain2 jang semuanya itu adalah pahlawan2
slam jang telah berdjasa mempertahankan tanah air dari
tjengkraman pendjadjahan3.
Buya Hamka turut serta menegaskan hal itu dalam sebuah
artikelnya berjudul Diponegoro Pahlawan Islam. Begini kata
Hamka:
Pangeran Diponegoro bersama pahlawan2 lain jang timbul
di dalam Abad Kesembilan Belas, adalah penentang2
pendjadjahan, pedjuang-pedjuang jang namanja tertulis
sebagai pembuka djalan bagi kita jang datang dibelakang
buat meneruskan perdjuangan mentjapai kemerdekaan Nusa
dan Bangsa. Sebahagian besar dari pedjuang itu mempunjai
tjita-tjita jang sama, jaitu mengusir pendjadjahan kar dan
menegakkan pemerintahan berdasar Islam. Pangeran
Diponegoro, Imam Bondjol, Teungku Tjhik di Tiro, Pangeran
Antasari di Kalimantan, boleh dikatakan samalah tjorak
mereka, jaitu berdjuang dalam garis tjita-tjita Islam.4
Perbedaan pendapat antara STA dengan HAMKA dan Tamar
Djaja di atas bukan lah hanya tentang perebutan siapa itu
pahlawan Indonesia. Lebih dari itu, perbedaan pandang itu
juga menunjukkan bahwa kedua pihak memiliki pandangan
yang berbeda tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia. Bagi
STA dan yang mengikutinya, Indonesia ialah sesuatu yang baru,
yang terlepas dari masa lalu, dari Islm dan harus mengikuti
kedinamisan Barat. Mari kita lihat pendapat Tuan Alisjahbana
itu, sengaja saya kutipkan agak panjang.
Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah
Indonesia dalam abad kedua puluh, ketika lahir suatu generasi
yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf
hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan
negerinya. Zaman sebelum itu, zaman sehigga penutup
abad kesembilan belas, ialah zaman prae-Indonesia, zaman
jahiliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost
Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah
Banjarmasin dan lain-lain.Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliah Indonesia itu setinggi-
tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian
kita tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali
zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang
biasa daripadanya. Sebab dalam isinya dan dalam bentuknya
keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi
baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan
Banten, bukan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin.
Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun
tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan
kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau
kebudayaan yang lain5.
Hal ini ditegaskan lagi dalam tulisan beliau yang lain, yang
berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.
Apakah semangat Indonesia itu? Semangat Indonesia ialah
kemauan yang timbul pada abad kedua puluh ini di kalangan
rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu dan dengan jalan
demikian hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat
yang layak di sisi bangsa-bangsa yang lain. Kamauan dan cita-
cita yang dijunjung dengan insyaf dan sedar serupa ini tidak
pernah terdapat di lingkungan kepulauan ini sebelum abad
kedua puluh.6
Dasar bagi kebaruan itu tak lain, menurut STA, ialah semangat
Barat.Katanya:
Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan
Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat
sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch.
Hal ini bukan berarti suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa.
Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar:
kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.7
Hal itu memang tidak disepakati semua pihak. Banyak
kalangan menilai bahwa semangat Barat bisa menyeret bangsa
ini kepada materialisme dan kekeringan batin. Sanusi Pane
mengusulkan agar semangat Barat itu musti dicampur dan
diimbangi dengan semangat Timur. Sebab jika Barat sangat
mencintai kebendaan, Timur memberikan kesejahteraan batin.
Perpaduan keduanya akan menghasilkan kebudayaan yang
sempurna bagi Indonesia.
Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faustdengan
Arjuna, memesrakan materialism, intellectualisme
dan individualism dengan spiritualisme, perasaan dan
collectivisme.8
Lalu bagaimana pendapat kaum Islm? Cukup di sini
disampaikan dua pernyataan dari Buya Mohammad Natsir dan
Tjokroaminoto. Imaduddin Abdurahman menuturkan bahwa
Buya Natsir pernah menyampaikan kepadanya tentang Barat
dan Timur itu.
Bahwa bagi kita sebagai orang Islam, tidak mengenal
alternatif Barat dan Timur dan sebagainya. Kita hanya
mengenal satu alternatif ialah yang haq dan batil. Di mana kita
harus selamanya tegak memertahankan yang hak. 9
Mengenai Persatuan Indonesia. Apakah yang mendorong
umat Islm di kepulauan ini untuk bersatu? Apakah yang
seperti dikatakan oleh STA itu? Kesadaran baru akan sebuah
nationyang merdeka itu kah yang menyebabkan kita hendak
bersatu? Kaum Islm berbeda dalam hal ini. Dalam pidato
di Kongres Syarikat Islam yang pertama di Bandung, 1916,
Tjokroaminoto tegas menyatakan:
Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agamakita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan
seluruh bangsa kita, atau sebagian besar bangsa kita.10
Jelas sudah di hadapan kita perbedaan-perbedaan kaum
yang murni terdidik pendidikan Barat dengan Kaum Islm
dalam persoalan ini. Bahwa Indonesia yang dikehendaki dua
pihak adalah Indonesia yang berbeda. Bahwa cara pandang
terhadap masa lalu dari keduanya adalah bertentangan.
Adapun memang secara politik itu disatukan oleh proses-
proses formal semacam Sidang-Sidang PPKI, Sidang-Sidang
BPUPKI, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga saat ini. Berani saya sampaikan
bahwa bersatunya kita dengan kaum sekular dalam satu
ikatan NKRI ini barulah persatuan yang diakibatkan proses-
YAITU BERJUANG
DALAM GARIS
TJITA-TJITA ISLAM
Buya Hamka
Sentot Ali Basah , Imam Bonjol dan
Kyai Modjo. Ketiganya tampil berjuang
membela kemuliaan Islam.
Sumber foto Sentot dan Kyai Modjo:
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power
of Prohecy. Prince Dipanegara and The End
of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden:
KITLV Press
Sumber foto Imam Bondjol:
Hadler, Jeffrey (2008). A Historiography of
Violence and The Secular State in Indonesia:
Tuanku Imam Bondjol and The Use of History.
The Journal of Asian Studies vol 67 No.3
August 2008.
Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita Tri Shubhi A.
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
9/35
16 Syajarah Syajarah
proses politik. Tentang apa itu Indonesia secara kebudayaan,
secara gagasan, kita belumlah sepenuhnya bersepakat.
Bagi kita kaum Islm Indonesia ialah sesuatu yang tak
terpisah dengan sejarah para ulama, para wali, para Sulthan
dan umat Islm di masa dahulu. Islm kita haruslah Islm
yang menyambung sampai kepada baginda Rasulllh Saw.
Kita tak dapat melupakan Teuku Umar, Pangeran Dipoegoro,
Raja Ali Haji, Hamzah Fanshuri, Abdurauf Singkel, Para Wali
sebagaimana mereka tak melupakan Imam al-Ghazl, Imam
Bukhri, Imam Sya, Imam al-Asyari, para sahabat Nabi
dan tentu saja Rasulllh Saw. Sejarah kita di Nusantara ini
tersambung sampai kepada Baginda Nabi. Islm kita bukan
lah Islm yang baru, melainkan merupakan ajaran yang telah
dianuti kaum muslimin selama berbelas abad. Oleh karena
itu, perjungan kita bukan lah perjuangan yang terlepas dan
berdiri sendiri. Perjuangan hari ini ialah juga kelanjutan
perjuangan para ulama dan pahlawam Islm di masa lalu. Yang
kita lakukan di negeri Indonesia ini ialah menjalankan dan
melanjutkan risalah Nabi.
Sementara kaum sekular, kaum yang hendak memisahkan
agama dan negara, tak berpandangan semacam itu. STA ialah
seorang yang ekstrem, yang hendak mengajak bangsa ini
untuk berkiblat kepada Peradaban Barat. Namun pikirannya
tak lah tamat, pada masa sekarang ini, kalimat-kalimat yang
lebih halus telah diungkapkan oleh orang-orang sekular untuk
membawa negeri ini ke dalam pemisahan antara agama dan
kehidupan dunia. Kaum semacam ini akan terus menerus
memisahkan sejarah kita dari masa lalu Islm. Atau yang
seperti Sanusi Pane, menyambung-nyambungkan Indonesia ini
dengan zaman Hindu-Buddha tanpa menghiraukan peran dan
kehadiran Islm.
Orang-orang semacam itu akan terus menafsirkan Indonesia
dengan cara-cara mereka. Mereka memang menghendaki
Indonesia seperti yang mereka pikirkan. Mereka terus mengasah
gagasan-gagasan sekuler tentang Indonesia dan selalu berusaha
menerapkannya dalam berbangsa dan bernegara.
Kita tak bisa pula berpangku tangan. Ada dua hal yang
dapat kita perbuat. Pertama kita melanjutkan cita-cita
perjuangan para pendahulu kita. Caranya sekarang ini, ialah
dengan menafsirkan Indonesia dengan cara pandang Islm.
Menyatakan kehendak-kehendak kita atas Indonesia. Sebab
kita telah menangguk-reguk hasil perjuangan pahlawan Islm.
Kemudian mencoba mengetrapkan ajaran Islm bukan hanya
dalam kehidupan pribadi melainkan juga dalam berbangsa
dan bernegara.Kedua kita harus beradab pada para ulama
dan pahlawan Islm. Jangan kita lupakan mereka, jangan
kita tak pedulikan ikhtiar mereka. Pelajari apa yang telah
mereka ikhtiarkan dan apa yang mereka pikirkan. Lanjutkan
perjuangan mereka dan jangan merasa bahwa kita tidak
terlibat dengan mereka. Doaakan pula mereka dan para
syuhada yang telah sangat berkorban bagi bangsa ini, yang
karena pengorbanan mereka kita sekarang ini dapat menikmati
alam kemerdekaan.
Sekarang ini, perhatian kita kaum Islm terlalu tercurah pada
yang politik. Kita membalas mengkaji karya dan i khtiar pada
ulama dan pahlawan pendahulu kita. Pada akhirnya dalam
gelanggang politik pun kita seperti kehilangan arah. Bahkan
tak jarang kalah. Tak dapat kita menyatakan pendapat-
pendapat kita dalam politik sebab kita pun tak tahu pasti
apa sebenarnya kehendak kebangsaan kita. Ada baiknya kita
renungkan pandangan Buya Hamka berikut ini:
Nyoto, pemimpin PKI terkenal, orang kedua sesudah Aidit,
jarang absent bila terjadi Kongres-Kongres atau Konferensi
Kebudayaan, sedang dari pihak Islam boleh dikatakan
memandang sepi saja urusan itu. Mereka telah terpelet da lam
urusan politik sehari-hari dan tidak ada yang mempunyai minat
buat memasuki urusan itu 11.
Pada akhirnya marilah kita mendoa kepada Allh Swt, semoga
para ulama, para pahlawan Islm pahlawan bangsa, para
syuhada di negeri ini mendapatkan rahmat yang sebesar-
besarnya. Dan semoga kita senantiasa diberikan kekuatan
untuk tetap menyambung peradaban Nabi, sebagaimana para
pendahulu kita menyemainya di negeri ini.
Amin.
1. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, (Kuala Lumpur, 2001).
2. Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4.
3. Tamar Djaya, Peringatan 51 Tahun Pergerakan Islam Indonesia 16 Oktober 1905-16 Oktober 1956, dalam Suara Masjumi edisi 20 Oktober 1956.
4.Hamka, Diponegoro Pahlawan Islam, dalam Majalah Hikmah Edisi 22 Januari 1955.
5.Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting),Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985) Cet. Ke-4.
6. ibid
7. Ibid
8. Sanusi dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4
9. Imaduddin dalam Anwar Harjono (Penyunting),Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Cet Ke-2.
10. Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah(I), (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), Cet. Ke-2.
11. Hamka,Kebudayaan Islam di Indonesia, Panitia Nasional Menyambut Abad XV Hijriah, Jakarta, 1979.
Tri Shubhi A.
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
10/35
18 Dari Perbendaharaan Lama Dari Perbendaharaan Lama
Mohammad
Natsir
Seial media dakwah No.70
slam dan modenisasi
um.Akhi 1400 H/Apil 1980
Moh. Roem
Pada tanggal 5 Rabiul Awal 1400 H atau 23 Januari
1980, Sekretaris Jenderal Lembaga Hadiah Internasional
Malik Faisal, Dr. Ahamad Al-Dhubaidh memberitahukan
kepada Bapak Mohammad Natsir, bahwa berdasarkan
keputusan juri, yang diangkat oleh lembaga tersebut
untuk tahun 1400 H, tanda penghargaan di bidang
penghidmatan Islam akan diberikan kepada Mohammad
Natsir dari Indonesia bersama-sama dengan Syekh
Abul Hasan An-Nadwy dari Lucknow, India. Pada tanggal
25 Rabiul Awal 1400 H (12 Februari 1980 M) dalam
suatu upacara yang khidmat di ibukota Arab Saudi
Riyadh tanda penghargaan itu diberikan kepada yang
berkepentingan.
Dalam sebuah piagam tertanggal hari itu dinyatakan,
bahwa Hadiah Internasional Malik Faisal untuk
Pengabdian pada Islam untuk tahun 1400 Hdiberikan kepada Saudara Mohammad Natsir sebagai
penghargaan atas karya-karyanya yang patut mendapat
penghargaan dalam bidang pengabdian pada Islam dan
ummatnya yang berupa sebagai berikut:
1.Karya-karyanya di bidang dakwah dan mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
2.Usaha-usahanya untuk menyelesakan persoalan kaum
muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara
mereka.
3.Kegigihannya melawan penjajah yang ada di negerinya
Indonesia sampai memperoleh kemerdekaan.
4.Karyanya yang sungguh-sungguh dalam melawan
aliran-aliran destruktif, atheisme, dan lain-lain.
5.Bimbingan yang diberikannya kepada berbagai macam
organisasi di negaranya untuk pembinaan pemuda-
pemuda Islam Indonesia.
Pada malam ini kita berkumpul di tempat yang
sederhana ini untuk bersama-sama menyatakann
berterima kasih kepada Ketua Lembaga Malik Faisal
bin Abdul Aziz, yang telah berkenan menganugerahkan
hadiah internasional kepada pemimpin kita Mohammad
Natsir.
Kita mengucap syukurAlhamdulillah, bahwa Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang telah meridloi hadiah
itu diberikan kepada pemimpin kita Mohammad Natsir.
Bersama dengan hadiah internasional Malik Faisal,
kami memohon kepada Allah Swt., semoga memberikan
tauk kepada Bapak Mohammad Natsir dalam usaha-
usahanya, dan semoga kami yang menerima didikannyadapat memanfaatkan pimpinannya.
Bapak Mohammad Natsir sejak masa muda memang
menunjukkan kesetiaan kepada agama yang kuat, serta
ketekunan yang tak kenal lelah.
Dalam masa remaja, ia telah bergerak dalam berbagai-
bagai organisasi, yang saya hanya menyebut dua saja
yaitu Jong Islamieten Bond dan Persatuan Islam, kedua-
duanya bergerak dalam bidang studi dan dakwah Islam.
Persatuan Islam menerbitkan majalah yang terkenal
yaitu: Pembela Islam, dimana Mohammad Natsir
mengembangkan penanya yang tajam tapi bijaksana
untuk membela Islam, yang pada waktu itu mendapat
serangan dari berbagai-bagai pihak. Persiapan itu
Mohammad Natsir, adalah sebuah cerminan nyata jiwa seorang pahlawan. Namun ironisnya
segala daya upaya serta pengorbanannya tak mendapatkan penghargaan yang layak di Indonesia.
Pemerintah baru mengukuhkan dirinya menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2008. Menunggu
hingga 100 tahun sejak kelahirannya, padahal jasa-jasanya begitu besar kepada Indonesia. Bahkan
ia lebih dihargai di luar negeri ketimbang (pemerintah) di dalam negerinya sendiri. Tulisan Moh
Roem 34 tahun yang lalu ini kami pandang penting untuk mengenang jasa-jasa Moh. Natsir dalam
bermacam sisi, dari Pembela Islam hingga Timor-timor.
1980
DAN PERJUANGANNYA
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
11/35
20 Dari Perbendaharaan Lama Dari Perbendaharaan Lama
membawa Mohammad Natsir dalam perjuangan
kemerdekaan, dalam mana senantiasa berdiri dan ikut
serta di baris depan.
Dengan melalui zaman Jepang yang sulit, maka pada
permulaan revolusi Mohammad Natsir termasuk orang
yang mendirikan dan ikut memimpin Partai Politik
Masyumi, dalam mana akhirnya ia menjadi Ketua Umum
selama ber tahun-tahun.
Setelah partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh
Presiden Sukarno, dengan demikian baginya bidang
politik sudah tertutup, maka bersama-sama dengan
rekan-rekannya secita-cita ia mendirikan Lembaga
Dakwah yang bernama Dewan Dakwah Islamiyah
ndonesia (DDII).
Maka tanda penghargaan yang baru diterimanya itu,
adalah satu bukti, bahwa Allah membuka tidak hanya
satu jalan, melainkan berbagai-bagai ikhtiar, bagaimana
seorang muslim dapat berbakti kepada Tuhan, agama,
dan bangsa serta negara.
Di masa sekarang memang sudah tidak ada partai-partai
seperti di kala Mohammad Natsir mendirikan sebuah
partai politik. Masa itu dinamakan zaman demokrasi
iberal atau parlamenter, dan bangsa Indonesia dimasa
tu mencapai kemerdekaan, berkat kerjasama antara
berbagai golongan dan partai politik. Dalam zaman itu
sudah tampak kegigihan Mohammad Natsir melawan
penjajahan yang ada di negerinya Indonesia sampai
tercapai kemerdekaan.
Usaha-usahanya untuk menyelesaikan persoalan kaum
muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara
mereka, dapat digambarkan dalam sejarah yang akan
saya ceritakan di bawah ini:
Proklamasi yang dicetuskan oleh bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya tidak dimengerti
oleh kepemiminan Belanda, yang sudah mengenal
bangsa Indonesia selama 300 tahun.
Kepemimpinan Belanda melihat Proklamasi itu tidaklah
sebagai sesuatu yang tumbuh dari hati nurani bangsa
ndonesia, akan tetapi lebih banyak sebagai bom waktu
Jepang, atau pemikiran-pemikiran Sukarno dan Hatta
saja, atau digerakkan oleh pengaruh komunis. Andai
kata kepemimpinan Belanda mengerti bahwa itu benar-
benar isi nurani bangsa Indonesia yang sudah dipimpin
Belanda selama 300 tahun dan yang sekarang mau
merdeka, maka penyelesaian soal Indonesia tidak
akan sampai memakan waktu lama dengan segala
kepahitannya inklusif dua aksi militer. Penyelesaian India
dan Pakistan dengan Inggris, berlainan sekali.
Karena itu Belanda meskipun lahirnya tidak dapat lain
dari melepaskan Indonesia, tapi memakai cara-cara
yang tidak tepat. Akhirnya Indonesia lepas juga dari
ikatan Belanda, tapi dengan cara yang terlalu banyak
kompromis, yang akhirnya tidak berjalan. Indonesia yang
diakui kemerdekaannya mempunyai struktur federal,
terdiri 16 negara bagian, ada i katan Uni Indonesia-
Belanda karena Belanda tidak ikhlas melepaskan Irian
Barat. Ikatan itu akhirnya semua musnah, sebelum
hubungan Belanda Indonesia menjadi baik seperti
sekarang.
Saya ingin mengutip pendapat baru di Nederland
yang meninjau lagi apa yang terjadi 30 tahun yang
lalu. Pemikir muda itu bernama Ben Van Kaam, yang
menamakan bangsanya sendiripada tahun 1949
dihinggapi oleh penyakit buta warna politik. Buta warna
politik itu sebenarnya sudah dimulai tahun 1945, waktu
Belanda tidak mengerti arti proklamasi Indonesia.
Negara Kesatuan Indonesia, yang oleh Belanda tadinya
dibagi-bagi dalam 16 negara bagian dalam struktur
federal, dalam waktu beberapa bulan saja sudah
dipulihkan kembali oleh rakyat. Dalam penyelesaian ini,
Mohammad Natsir sebagai Ketua Masyumi bekerjasama
dengan lain-lain partai, telah memberikan darma
baktinya dengan bijaksana, sehingga persoalan dapat
selesai tanpa membahayakan persatuan bangsa.
Mohammad Natsir menjalankan usaha itu dengan apa
yang dinamakan mosi integral.
Bagaimana caranya? Waktu itu ada 16 negara kecuali
R.I. diciptakan Belanda yang tergabung dalam Negara
Indonesia Serikat yang sudah merdeka dan berdaulat.
Tinta pengakuan kemerdekaan belum kering sudah ada
sebuah kabupaten Malang, pada tanggal 30 Januari
1950, menyatakan keluar dari Negara Jawa Timur,
ciptaan Van Mook dan menggabungkan diri dengan
Republik Jogya. Tindakan ini segera disusul oleh
Kabupaten Sukabumi, kotapraja Jakarta Raya, Sulawesi
Selatan. Kalau hal yang demikian i tu dibiarkan berjalan
terus, akan menjadi kosong negara Indonesia Serikat.
Mohammad Natsir tidak mau melihat Soekarno dan
Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden dari satu
federasi yang kosong. Karena itu Natsir mengajukan
mosi agar yang sedang berjalan itu disalurkan menurut
hukum dan dihindarkan perpecahan.
Akhirnya diadakan perundingan antara RepublikIndonesia yang berpusat di Jogja dan Negara Indonesia
serikat yang bertindak juga atas nama Negara Indonesia
Timur dan Negara Sumatera Timur. Maka hasilnya
kembalinya ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950,
yang dalam DPR memilih Soekarno dan Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden. Maka Mohammad Natsir
mendapat kehormatan untuk mengantarkan Negara
Kesatuan Indonesia yang pulih kembali sebagai Perdana
Menteri.
Masyumi sudah tidak ada sekarang. Bapak Natsir
mengabdi kepada Tuhan Islam dan Negara melalui
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muktamar
Alam Islami dan Majlis Tasisy Rabitah Alam Islami.
Muktamar Alam Islami, adalah badan Internasional
yang pada tahun 1926 didirikan oleh Raja Abdul Azis
Ibnu Saud bersama dengan Mufti Besar Palestina,
Muhammad Amin al Husaini di Mekah Mukarramah.
Pada saat itu hadir dari Indonesia pemimpin-pemimpin
besar kita Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Kyai Haji
Mas Mansur, Mohammad Natsir yang saat ini adalah
Wakil Presiden Muktamar Alam Islami. Kita bersyukur
dan bangga, bahwa jalan yang sudah dirintis oleh anak
moyang ummat Islam Indonesia pada saat ini diteruskan
oleh Mohammad Natsir.
Duduk dalam badan Internasional bagi Mohammad
Natsir sifatnya tidak berlainan dan bertentangan
dengan duduk dalam badan nasional. Sebab berbakti
kepada Tuhan, berdasarkan keadilan dan kebenaran
sama arahnya, apakah kita di dalam atau di luar negeri.
Demikianlah umpamanya dalam masalah penyelesaian
soal Timor Timur. Sebagaimana kita ketahui, Timor Timur
itu berada dalam penjajahan Portugis berabad-abad
lamanya. Setelah Indonesia berabad lama mengecap
kemerdekaan, maka dalam saat meninggalkan
jajahannya begitu saja dan membiarkan rakyat dikuasai
oleh golongan yang berhaluan kiri. Ribuan pengungsi
mengalir ke wilayah Indonesia. Timor Timur sendiri
merupakan daerah tak bertuan. Tentu saja Indonesia
tahu apa yang harus dikerjakan, tidak lain bersatu
dengan bagian yang dengan kekerasan dan telah wajar
telah dipisahkan itu.
Pada waktu itu ada negara-negara yang tidak kenal
persoalannya, ada negara anggota Konferensi Islamyang
ikut mengutuk Indonesia sebagai negara yang expansif
menyaplok negara lain. Negara-negara komunis tentu
anti-Indonesia. Sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam
Islami, Mohammad Natsir mengajukan satu usul resolusi
dalam konferensinya yang mendudukkan bagaimana
persoalan yang sebenarnya dan menyokong pendirian
serta langkah yang diambil oleh Indonesia. Usul resolusi
itu diterima dengan suara bulat dan dikirimkan ke PBB
dan organisasi-organisasi internasional lainnya, dan
khususnya kepada pemerintah negara anggota darikonferensi menteri-menteri luar negeri Islam.
Selanjutnya, Mohammad Natsir mengadakan kontak
dengan pemimpin-pemimpin yang berpengaruhdi
negara-negara Islam seperti Pakistan, dan mengadakan
konferensi pers guna menghilangkan salah paham.
Salahsatu slogan yang dilancarkan Natsir dalam
konferensi persnya berbunyi We dont wont a seconder
Anggola in South East Asia(Kita tidak suka menjadi
Anggola kedua di Asia Timur Tengah), menjadi kata
bersayap dan headlinedi surat-surat kabar Pakistan.
Dengan kata yang ringkas itu, khalayak ramai mudah
menanggapi apa sebenarnya hakekat persoalan Timor
Timur itu.
Kalau ada sesuatu yang penting bagi Indonesia dalam
kesempatan apapun Mohammad Natsir akan berbuat,
diminta atau tidak, sesuai keadilan. Tidak semata-mata
soal yang besar-besar yang menarik minat Mohammad
Natsir. Ia justru di kalangan kawan-kawan yang dekat
sering mendapat sesalan, ia terlalu banyak menerima
tamu. Ia terlalu banyak memperhatikan soal-soal yang
kecil-kecil yang sebenarnya dapat diserahkan kepada
pembantu-pembantunya. Ia suka menerima siapa
saja yang ingin ketemu dengannya. Mohammad Natsir
berpendirian, ia suka menerima tamu-tamu yang
penting-penting , yang membawakan soal-soal besar-
besar. Tapi bagaimana orang dapat tahu soal besar,
kalau ia tidak tahu soal kecil.
Demikianlah dalam Dewan Dakwah yang ia pimpin, ia
siapkan pemuda-pemuda Islam Indonesia yang pada
saatnya akan mengganti generasi yang sekarang sedang
menjalani bakti.
Kita doakan semoga Bapak Mohammad Natsir
dipelihara kekuatannya agar masih dapat meneruskan
pimpinannyakepada ummat yang sangat memerlukan
pimpinan itu.
Media Dakwah Edisi Islam dan Modernisasi
Sumber foto: Andi Ryansyah (JIB)
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
12/35
22 KisahKisah
Elegi 10 November
Resolusi Jihadyang Ter(di)lupakan
Oleh : Rizki Lesus
(Penggia Jejak Islam unuk Bangsa)
Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).
Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA
Mobil hancur akibat ledakan granat tangan di Surabaya
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
13/35
24 KisahKisah
Panas terik menggantung, diselingi desing pesawat yang terus berputar-putar di langitSurabaya. Lepas kumandang adzan bersahutan, ketika bulatnya mentari tepat di atas kepala,
pesawat yang berbunyi bagai kepakan sayap jangkrik super cepat, berbising, memuntahkan
puluhan ribu selebaran, puluhan ribu kertas bergoyang-goyang, terhempas angin, memenuhi
atap, mobil, sepeda, jalan, hingga lorong-lorong Kota tua ini.
Di tepi pantai, di penghujung darmaga, puluhan Kapal Perang Divisi 5 Inggris pimpinan Mayjen
EC Mansergh bergoyang di atas Laut Jawa, bersiap meluntahkan moncong-moncongnya. Satu
persatu Tank Sherman,gress dari Perang Dunia didatangkan dari Jakarta. 24 Pesawat tempur
bersiap melesat, menjatuhkan berton-ton bom di kota tepi pantai ini. Belum lagi 24.000
pasukan darat yang siap merangsek, Surabaya Siaga Satu!
nggris rupanya marah besar, atas kejadian sumir tewasnya Jendral Mallaby akhir Oktober
silam. Namun, rakyat Surabaya menganggap akal-akalan tentara Sekutu saja, seperti yang ada
dalam benak pemuda berusia seperempat abad bernama Soetomo, yang dikenal sebagai Bung
Tomo, seorang pemimpin Barisan Pemberontakkan Rakyat Surabaya.
Pernyataan-pernyataan Inggris berkenaan dengan tewasnya Brigjen Mallaby itu, kita hanya
anggap sebagai ulangan muslihat Jepang ketika hendak menguasai Manchuria dalam
ahun 1931,kenang Bung Tomo yang menganggap Inggris ingin merebut kemerdekaan dari
ndonesia. Ancaman Inggris sekarang memang bukan main-main. Lihat saja isi selebaran yangberjatuhan itu.
Katanya, pukul 06.00 esok, 10 November 1945, seluruh warga Surabaya harus meninggalkan
anah kelahiran mereka, harus menyerahkan senjata-senjata yang baru saja direngkuh dari
epang, menyambut riuhnya Hari Kemerdekaan silam. Semua harapan akan negeri merdeka,
berdiri di atas kaki sendiri seakan-akan akan sirna esok, menguap ke langit.
Namun, tentu saja semua itu takkan dibiarkan terjadi. Sebab, kata Bung Tomo, rakyat
Surabaya masih memiliki Allah, sang Maha Penolong. Dibacanya lamat-lamat selebaran itu,
ernyata tak hanya warga saja yang harus pergi. Sambil termenung, dibacanya pelan-pelan per
kata.
..Semua pimpinan Indonesia, termasuk pemimpin-pemimpin Pemuda, Kepala Polisi dan
Kepala Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg pada tanggal 9 November pukul
18.00. Mereka harus datang seorang demi seorang dengan membawa senjata-senjata yang
mereka punyai.
Senjata-senjata tersebut harus mereka letakkan di suatu tempat yang berjarak 100 yard (
sekitar 91,4 meter) dari tempat pertemuan. Dari situ orang-orang Indonesia yang dimaksudkan
harus menghadap dengan angkat tangan dan kemudian akan dilindungi. Mereka harus-harus
bersedia menandatangani suatu pernyataan menyerah dengan tiada bersyarat.
Sesaat, bulir bening berkumpul di sudut mata mantan wartawan Domei ini yang juga penyiar
adio ini. Menahan marah, bercampur haru, mukanya memerah, tak kuat membayangkan para
pemimpin Surabaya melakukan apa yang diperintahkan Sekutu dan NICA (Belanda).
Mendidih darah mudaku..Terlukis di depan mataku segenap keadaan, andai kata ultimatum
nggris tersebut kita penuhi. Pembesar-pembesar Republik Indonesia berbaris, tangan diangkat
ke atas, menyerah...tanpa syarat..
..Rakyat dengan perasaan takut seorang demi seorang meletakkan senjata yang
mereka rebut dari tangan Jepang di muka kaki serdadu-serdadu Inggris....bendera putih
menggantikan sang Dwiwarna yang melambai-lambai pada ujung senjata mereka.
..Tidak jauh dari situ kaki tangan NICA tertawa kecil, mengejek, menertawakan rakyat
ndonesia yang katanya hendak mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Sejenak Bung
Tomo bertekad. Tangannya mengepal kuat, namun segera hatinya melunak. Senyum merekah,
dengan penuh ketenangan.
Tidak terhingga syukurku kepada Allah SWT selelah melihat sikap rakyat yang mengerti akan
si serta maksud ultimatum tersebut.. guman bung Tomo.
ihad! Ya, Tak lain ialah rakyat Surabaya tak akan mengamini ultimatum Inggris, tak sudi
bertekuk negeri ini yang baru seumur jagung. Lilhatlah ketika para pemuda berdatangan,
memenuhi Surabaya. Para ulama, ustadz, Kyai, santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah
engah bersiaga. Ketika anak-anak kecil bersama ayah dan kakaknya tak goyah sedikitpun
untuk menyerahkan senjata.
Mata Bung Tomo semakin berlinang, melihat riuhnya para kakek, para jompo yang s emangat
berkobar-kobar menyatakan sanggup bertempur; ingin mereka berhadapan laki-laki dengan
kaum imperialis yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, katanya.
ihad, sebuah kata nan sederhana, nan membekas begitu dalam dalam lubuk Bung Tomo
setelah kabar Resolusi Perang Sabil Masyumi dan Resolusi Jihad NU menjadi buah bibir
masyarakat, menjadi panduan umat Islam Indonesia melawan Sekutu.
Bung Tomo teringat beberapa waktu silam ketika berjumpa dengan para ulama yang
begitu tulus dan cinta akan negerinya, para ulama yang siap berkorban untuk Tanah Air
dan Agamanya, seperti yang ia lihat di hadapannya, ketika para Kyai dan santri pun turut
mengangkat senjata untuk berjihad. Wajah-wajah tulus mereka semua kini memenuhi
Surabaya.
Terkenang, wajah yang lama tak bersua, KH Hasyim Asyari, sang pendiri NU, yang
mengukuhkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober silam, dan mengirimkan laskar-laskar Hizbullah
dan Sabilillah, membopong bambu runcing, memenuhi lorong-lorong Surabaya.
Jihad, sebuah kata nan membanggakan mereka, dengan secuplik kata ini, berdatangan
puluhan ribu kaum muslimin mempertahankan negara.
Disertasi William Frederick, In Memoriam. Sutomo, menyebutkan bahwa profesi wartawan
Bung Tomo yang menjadi awal ia menjali hubungan dengan KH Hasyim Asyari, KH Abbas
Cirebon, KH Amin, dll.
Agungkan Allah dalam setiap pidatomu, nasihat KH Hasyim Asyari begitu berbekas di relung
hati Bung Tomo, hingga kelak dalam tiap pidatonya, bung Tomo selalu mengagungkan Engkau
ya Rabb...
Kemuning senja menyapu langit Surabaya. Nasihat Pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asyari
begitu meresap, dimulailah dengan kemantapan membaca basmallah. Mulailah kembali Bung
Tomo siaran di Radio Pemberontakkan, berpidato dengan penuh semangat, dan meneguhkan
rakyat akan kemenangan dan kebesaran Allah.
Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa
kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah saudara-
saudara, bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar..Allahu akbar..!
Di penghujung senja, Takbir sungguh memekik, meramaikan gang-gang, mobil, kotak radio
seantero Surabaya. Allahu Akbar..sebuah pengakuan bahwa bala tentara musuh di seberang
sana hanyalah kecil dibanding kekuasaaanMu ya Rabb...
Bahwa, masih ada hambaMu yang mengingatMu, membesarkanMu, memujiMu, dan berharap
akan datangnya kemenangan, yang tak lain ialahjannah (surga), kemenangan yang besar.
Mati atau Merdeka, Allahu Akbar! sebuah peneguh hati yang begitu meresap, memasuki
relung hati rakyat yang bersiap menyambut genderang perang.
Senja itu, kecemasan berubah menjadi kemantapan, menyambut seruan jihad. Resolusi
Perang Sabil dan Resolusi Jihad NU, yang dikatakan Zainul Milal Bizawe dalam Lakar Ulama-
Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia, yang menggerakkan spiritual
rakyat Surabaya lah yang bertempur melawan penjajah Inggris.
Resolusi Perang Sabil, sebuah pengukuhan atas Resolusi Jihad NU, yang baru saja diumumkan
kemarin, 8 November di Yogyakarta dalam Kongres Umat Islam yang dihadiri seluruh ormas
Islam Indonesia. Ingin sekali, para Tokoh Jawa Timur itu hadir dalam peristiwa bersejarah
tersebut, namun apa daya, panggilan Jihad di Surabaya sangat mereka cintai, hingga semua
harus bersiaga.
Dalam Kongres Umat Islam selama dua hari (7-8 November 1945) tersebut, Partai Masyumi
disetujui umat menjadi satu-satunya partai Islam. Bergabunglah semua elemen umat: NU,
Muhammadiyah, Persis, Sarikat Islam, GPII, dan seluruhnya dalam Partai Masyumi sebagai
wadah perjuangan politik menegakkan Islam di Bumi Pertiwi.
Maklumat kedua selain pendirian Partai Politik Islam, ialah menimbang situasi yang sangat
genting, maka diperlukanlah kesatuan perjuangan melawan penjajahan Inggris yang sudah tiba
di bumi Indonesia. Karenanya, dikeluarkanlah Resolusi Perang Sabil, mengukuhkan Resolusi
Jihad NU, melawan segala bentuk imperialisme.
Wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia untuk berjuang dengan segenap jiwa raganya
dalam melawan dan menghapuskan Imperialisme demi terwujudnya kemerdekaan agama
dan negara,dalam sebuah kesepakatan kemarin yang dihadiri para tokoh bangsa seperti:
KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman W, Saifuddin Zuhri, dan ratusan
Kyai dari Jawa dan Sumatra.
Saat itu pula, Laskar perjuangan umat Islam, Hizbullah dan Sabilillah dikukuhkan untuk
melawan penjajahan dengan pimpinan Kyai Zainul Arin yang segera bertindak cepat
membentuk kesatuan Laskar di Surabaya. Para Ulama berbondong-bondong berdatangan ke
Rembang, Magelang, Kedu, Mojokerto, Surabaya, memenuhi panggilan jihad.
KH Abbas dari Cirebon jauh-jauh datang ke Jawa Timur, bersama ribuan santrinya. Bersama
KH Bisri dalam mobilnya sambil berteriak Allahu Akbar. Kalimat takbir itu menggema hingga
kemuning senja berganti dengan pekatnya malam.
Para tokoh dan pimpinan masyarakat Surabaya berkumpul, menanti balasan dari Jakarta yang
mencoba melobi Inggris. Terserah Surabaya.. berbalas suara di balik telepon sana. Maka
para tokoh pun berkumpul, Gubernur Surabaya Soeryo, Bung Tomo, KH Wahab Hasbullah,
Roeslan Abdul Gani, KH Mas Mansyur, Dul Arnowo, dan para pimpinan perlawanan.
Malam itu, semua doa berpanjat, berharap kemenangan, atau syahid menemput, di malam
yang begitu lengang melompong Malam itu, makin banyak doa diucapkan, makin keras
permohonan umat kepada Yang Maha besar, agar dilindungi tanah air dan rakyat Indonesia
dari marabahaya,kenang Bung Tomo.
Rukuk sujud pun terlakon. Dalam ruang-ruang sempit itu, para Ulama terus mendoakan rakyat
Surabaya. Bersiap kehilangan semuanya, harta, benda, keluarga, hingga jiwa mereka. Malam
itu begitu emosional, tengah malam, Gubernur Soeryo, sambil tak kuat menahan air mata yang
tiba-tiba meleleh mengguyur pipinya berpamitan dan berucap Selamat berjuang.. penghujung
pidatonya di Radio.
Hari nan dinanti pun tiba, ketika semburat merah pagi pun menyapa pucuk-pucuk Kapal
Perang Inggris di tepi pantai, menyapu pucuk-pucuk gedung yang menjulang di Ibu Kota
Jawa Timur itu. Surabaya masih lengang. Tak ada satu pun warga Surabaya sudi menyerah,
mengibarkan bendera putih dan memenuhi ultimatum Inggris.
Satu dua, nafas terhela. Bum..bum..bum..peluru perang pertama terpental dari Kapal Perang
di Tanjung Perak, menghancurkan bangunan di Surabaya. Genderang perang pun bermula.
Nafas warga tersengal, masih bersiap membalas, masih tetap tenang dalam lautan dzikir.
Takbir pun dengan teguh menggema di Surabaya. Puluhan ribu rakyat Surabaya dan dari luar
tetap bertahan, bersiap berperang, menahan peluru menunggu komando. Langit Surabaya
menjadi bising saat pesawat itu mengitar, memuntahkan bom. Bumm.. gelegarnya begitu
dahsyat.
Tiga jam pertama, mulai pukul 06.00-09.00 Inggris sudah mulai menggempur besar-besaran
Surabaya, dengan pasukan terbesar yang dikerahkan setelah Perang Dunia II. Kapal Sussex
terus menggempur menyisakan puing-puing yang terus teronggok.
Satu per satu korban bergelimpangan.A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r..pekik takbir Bung Tomo di
Radio menggema, menggetarkan musuh, menggerakkan massa agar mulai maju menyerang.
Pukul 09.00, ketika mentari mulai hangat, takbir menggema di seluruh penjuru kota. Allaahu
Akbar.. dorr...dorr.. Bum...Bum..Bumm.. Asap mengepul tinggi, darah merah segar
memuncrat hebat.
Satu per satu pasukan darat Inggris mulai keluar dari Kapal Sussex di Tanjung Perak.
Pesawat pun berputar-putar di langit Surabaya. Pagi itu, 10 November, Arek-arek semua
terbakar Takbir, maju tak gentar, melawan para penjajah di hadapan. Gubernur Soeryo terus
menguatkan rakyat. Seluruh elemen rakyat: GPII, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Barisan
Pemberontak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus membalas serangan Inggris.
A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r..terus menggema. Bum...Asap semakin mengepul memenuhi
Surabaya utara. TKR Divisi VII Surabaya, Jombang, Mojokerto dan pimpinan Hizbullah KH
Abdunnack Achyar, Husaini, Moh. Muhadjir menjadi garda terdepan di utara.
Darah-darah mengucur deras, pasukan Hizbullah dengan gagah berani bertempur melawanBung Tomo
PERCAYALAH SAUDARA-
SAUDARA, BAHWA TUHAN
AKAN MELINDUNGI KITA
SEMUA. ALLAHU AKBAR..
ALLAHU AKBAR..!
Bung Tomo, Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di markasnya.
Sumber foto: Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)
Rizki LesusElegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
14/35
26 KisahKisah
Sumber foto: Aboebakar, H (2011). Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta:
Mizan.
moncong tank baja yang memang tak berimbang. Bambu lawan tank? Tapi semangat jihad
begitu membara. Lihatlah ketika mereka loncat dari satu tank ke tank lain, membakar tank
dengan senjata seadanya. Darah syuhada pun bercucurah, mengalir deras di Bumi Jihad
Nusantara.
Pagi itu, debu-debu jihad menjadi saksi akan pertarungan terbesar seletah Perang Dunia
II, darahnya menjadi saksi di akhirat kelak bahwa ribuan syuhada berguguran. Ya Allah,pekik Takbir itu kelak menjadi saksi, bahwa masih ada orang yang menyebut AsmaMu untuk
membela negeri ini.
Bahwa dulu, umatmu begitu ingat akan asmaMu, ketika para perongrong itu ingin mengambil
negeri ini. Bahwa namaMu menggema dalam hati ketika dulu negeri ini masih seumur jagung.
Bahwa masih ada yang membelaMu di tengah kecamuk perang. Bahwa para pendahulu kami
mendengar namaMu menjadi tenang.
Negeri yang dipertahankan bukan dengan leyah-leyeh, bukan dengan seucap kata, bukan
oleh para penghinaMu, tapi oleh darah para syuhada. Lihatlah ketika lebih dari 30.000 orang
menggemakan kumandang takbir di Surabaya. 10 November, ketika darah itu mengalir deras
di lorong-lorong kota, bahwa mereka sangka, akan mudah menguasai Kota ini.
Namun, lihatlah ketika mereka semua yang menyebut namaMu dengan tulus mempertahankan
negeri ini, memanggul bambu, bayonet, hingga para pria tua yang terus menembakkan bedil.
Para wanita yang terus menyiapkan logistik dan merawat korban perang, fardhu ain,begitu
fatwa KH Hasyim Asyari meresap dalam jiwa mereka.
Allahu..Akbar...Allaahu akbar..Satu persatu anak menjadi yatim, wanita menjadi janda.
anak-anak ini yakin mereka diindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mereka percaya pada
kodrat Ilahi, Mereka berjuang atas nama keadulan dan kebenaran, teriak Gubernur Soeryo.
Tak ada harap selain kemerdekaan atau menjemput maut dalam senyum. Allahu akbar..Allahu
akbar.. detik terus berdetak. Dentuman berbalas tak hentinya menggelayut di Langit Surabaya
yang mendung tertutup asap tebal.
A-l-l-a-a-a-a-h..hanya Engkau peneguh kami. Semua orang tumpah ruah, hanya niat
karenaMu, ..f-i-s-a-b-i-l-i-l-l-a-a-h.., hanya karenaMu ya Allah. Jihad sabilillah, Jihad..Jihad..
Sayup-sayup suara terus menggema. Jihad, sebuah kata sarat makna, peneguh hati orang-
orang beriman. 10 November, kumandang jihad bersambut...
***
Bulatan merah kalender menunjuk tanggal 21 Oktober 1945. Ratusan Ulama pun berdatangan
ke sini, Surabaya. Suasana Surabaya lain dari biasanya. Dikabarkan tentara Sekutu sudah tiba
di Jakarta, dan beberapa hari lagi akan tiba di Surabaya dengan dalih melucuti Jepang yang
sebenarnya sudah mulai dilucuti oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan mereka sebenarnya tak perlu, karena rakyat Indonesia sudah merdeka dan
dapat mengurus semuanya sendiri. Namun, apa daya nafsu berkuasa para penjajah. Lihat
saja, peristiwa di Hotel Yamato September silam saat bendera Belanda berkibar. Tak ayal,
kelak akan ada tantangan besar untuk bangsa ini, karenanya seluruh ulama Rais Syuriah dan
Tandziyah NU seluruhnya berkumpul di Kantor Pengurus Besar NU Surabaya, termasuk aku.
Nampak di hadapanku sekarang, di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya satu persatu ulama
berdatangan: Ketua Masjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sekaligus Rais Akbar NU KH
Hasyim Asyari bersama putranya KH A Wahid Hasyim. KH M Dahlan, KH Mukhtar, KH Zuhdi,
KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdulaziz kudus, KH M Ilyas Pekalongan, KH Abdulhalim
Shiddiq Jember, dan lainnya.
Saya sengaja tidak menulis surat kepada saudara, karena saya tahu saudara sibuk dengan
tugas-tugas baru di daerah,tiba-tiba terdengan suara KH Wahid Hasyim sambil menggenggam
tanganku.
Dari mana Gus tahu aku sibuk dengan tugas baru?tanyaku. Hal itu jangan ditanyakan.
Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya punya mata seribu kurang seratus dan telinga
seribu kurang seratus,jawabnya jenaka.
Kami sering berucap bahwa seorang pemimpin itu harus punya seribu mata dan telinga, artinya
pemimpin harus sering sering melihat dan mendengar dari berbagai saluran yang tidak dimiliki
sembarang orang. Dan memang benar, aku kini sedang sibuk berada di wilayahku di Kedu.
Pada akhir bulan lalu, aku menyelenggarakan rapat Majelis Konsul NU daerah Kedu ditempatkediamanku (rumah mertuaku), di Kampung Baleduno Purworejo. Hadir dalam rapat itu antara
lain:
RH Mukhtar, Kyai Raden Iskandar, Kyai Ahmad Bunyamin, KH Ahmad Syatibi (semuanya
dari Banyumas), KH Nasuha dan KH Aishom (Keduanya dari Kebumen), KH Hasbullah dan
Muhammad Ali (Keduanya dari Wonosobo), KH Nawawi, KH Mandhur dan Kyai Ali (Ketiganya
dari Parakan), KH Raden Alwi, KH Abdullah Fathani, Abdulwahab Kodri (Ketiganya dari
Magelang), dan beberapa ulama Purworejo KH Mukri, KH Marodi, KH Damanduri, Kyai Sayyid
Muhammad, KH Jamil dan lain-lain bertindak selaku tuan rumah.
Selaku pihak penyelenggara, terlebih dulu kujelaskan arti penting pertemuan tersebut, yang
bertitik tolak dari memuncaknya situasi genting di seluruh Indonesia. Selama satu hari satu
malam, pertemuan Majelis Konsul itu berlangsung dengan penilaian yang mendalam dan
merata, lewat musyawarah dan semangat tinggi. Akhirnya diputuskan dengan bulat:
1) Segenap warga NU lelaki dan perempuan wajib berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dengan niatjihad sabilillah binizham(terorganisasi).
2) Sebagai konsul NU daerah Kedu, aku dibebani memimpin umat Nahdiyin- nahdiyat, dengan
memusatkan segenap ikhtiar lahir batin dan tawakal Alallah. Oleh sebab itu aku t idak
diizinkan meninggalkan daerah yang menjadi tanggungjawabku utama (Kedu dan Jawa
Tengah pada umumnya). Dengan lain perkataan, aku tidak diizinkan lagi berada di Jakarta
dengan alasan apapun.
3) Oleh karena aku juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia daerah Kedu, aku dibebani
tanggung jawab atas terselenggaranya kekompakan Hizbullah seluruh daerah Kedu sebagai
alat perjuangan bersenjata secara terorganisasi.
Tiga hal inilah yang akan kusampaikan dalam Muktamar Luar Biasa sekarang di Surabaya.
Bagaimana situasi Jawa Tengah?tiba-tiba Gus Wahid memecah lamunanku. Tak beda
dengan jakarta, Jawa Tengah bukan lagi terpanggang di atas api, tapi sudah mulai mendidih.
kataku.
Coba ceritakan peristiwa pelucutan Jepang di Magelang, semua orang bangga akan
keberanian anak cucu Syaikh Subakir... Kyai Wahid menyebut penduduk Magelang, sebagai
anak cucu Syekh Subakir.
Menurut cerita lama, pada zaman dahulu seorang Kyai turun dari Gunung Tidar untuk mengusir
setan menggoda penduduk Magelang. KH Mahfudz Siddiq, Ketua PBNU ketika Muktamar NU di
Magelang tahun 1939, menyebut RH Mukhtar (Konsul NU Jateng) dengan Syekh Subakir.
Sebenarnya, tanggal 5 Oktober 1945 Rakyat Magelang dan sekitarnya belum kompak betul
sebagai kekuatan tempur, terlalu banyak dari berbagai golongan. Tapi keberhasilan rakyat
Banyumas melucuti tentara Nipon dan semangat Arek-arek Suroboyo mengibarkan merah putih
di Hotel Yamato 19 September, membakar semangat
Ente dan anak buah mengambil kedudukan di mana? sela Kyai Wahid.
Aku cuman dengan kekuatan satu seksi Hizbullah mengambil posisi di Jalan Raya Pasar
Magelang yang dilindungi Gunung Tidar, H Said di Masjid Jamik, TKR dan Laskar mengepung
Kidobutai, Nipin menguai sekitar stasiun KA dan Jalan Ponco. Peristiwa itu latihan bertempur
dibanding peristiwa mendatang,kataku.
Yaaah, selama ini kan Cuma latihan berkelahi bukan? Kyai Wahid menyela.
Betul, makanya kami banyak yang gugup dan senewen, baru mendengar suara mitraliur
banyak yang terkecing-kencing...! Maklumlah, pengalaman pertama,kataku.
Berapa hari pertempuran dengan Nipon itu? bertanya Kyai Wahid
Kiyai Wahab Hasbullah dan Kiyai Bisri
Rizki Lesus
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
15/35
28 KisahKisah
Oooh..praktis cuma satu hari. Nipon-nipon itu sudah dapat dilucuti, tapi ada yang melarikan
diri ke arah Semarang sambil mengacau. Dengan pengalaman di Magelang itu, maka peristiwa
melucuit Kidobutai Nipon di Kota Baru Yogyakarta berlangsung lebih terkooirdinir. Hari itu juga
7 Oktober, meski rakyat korban banyak juga.
Hizbullah mengambil posisi di mana ketika itu?tanya KH Wahid.
Kami berada di sekitar Tugu Kota Yogyakarta, di simpang jalan Solo Magelang, di lain sisiKyai Kholil di Balokan dekat stauin KA Tugu. Ada tambahan, ada pemuda Kauman Yogyakarta,
namanya APS (Angkatan Perang Sabil),aku mengisahkan.
Allahu akbar!seru KH A Wahid Hayim.
Namanya revolusi. Umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan, mereka
mengikhlaskan nyawa mereka, apalagi yang lain. Ini harus dicatat dalam sejarah, katanya.
Cuma, namanya begitu seram..Angakatan Perang Sabil,kataku.
Tapi biar saja, itu reeksi dari semangat berjuang dan tafaul, mengharapkan berkah. Lha?
Nama Hizbullah apa tidak seram? Artinya kan tentara Allah. Di Surabaya kini muncul pasukan
baru bernama Malaikatul maut, apa kurang dahsyat? kami tertawa berbareng. Perbincangan
pun tertunda karena Hadratussyaikh Hasyim Asyari tiba dan memberikan arahan.
Dalam bahasa Arab yang fasih, beliau membuka Muktamar ini. Mata kami pun berkaca-kaca
mendengar seruannya, bahwa hanya dengan jihadlah, umat ini menjadi mulia. Haru menyeruak
dalam ruangan sempit itu, dalam suasana genting semua menyimak ucapan Hadratus Syaikh.
..Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu
ni, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi
sifat kepada kaum munak yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah...
Demikianlah, maka sesungguhnya, maka pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan
kemerdekaan dan membela kedaulatannya, dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang
ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun.
Barangsiapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti
memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya....
Maka barangsuapa yang memecah pendirian umat pancunglah leher mereka dengan
pedang...
Pidato Hadratusyaikh berapi-api menggetarkan jiwa, bahwa tak bisa kita hanya duduk saja.
Hari semakin larut. 22 Oktober 1945, Pimpinan rapat KH Abdul Wahab Hasbullah memintasatu persatu anggota menyampaikan pandangan tentang tentara NICA dan Sekutu yang akan
merangsek ke Indonesia.
Akhirnya, dengan suasana haru, seakan pertemuan terakhir, terciptalah Resolusi Jihad,
sebuah pernyataan sikap, sebuah fatwa akan Wajibnya laki-laki dan perempuan berjihad
sabilillah mempertahankan agama dan negara! KH Wahab Hasbullah bergetar membacakan
Resolusi jihad diiringi pekik takbir dan tangis haru para peserta.
Esoknya, KH Hasyim Asyari secara resmi membacakan poin-poin Resolusi Jihad NU yang
perinciannya sebagai berikut:
1) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agsutus 1945 wajib dipertahankan
2) RI sebagai pemerintah sah wajib dibela dan dipertahankan
3) Musuh RI terutama Belanda dan Inggris dalam tawanan perang bangsa Jepang, tentulah
akan, menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia
4) Umat Islam terutama Nahdatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda,
Sekutu, dll
5) Kewajiban tersebut jihad tiap umat Islam,fardhu ain, dalam radius 94 km, jarak
diperkenankannya sembahyang jama dan qashar. Adapun mereka yang berada di luar jarak
tersebut, berkewajiban membantu saudaranya dalam radius 94 km itu.
Resolusi jihad itu disusun di tengah kota Surabaya yang tengah terapnggang api revolusi. Usai
resolusi, para Ulama, santri berbondong-bondong memenuhi panggilan jihad. Bahwa negara ini
ditegakkan dengan darah para syuhada, dan tinta para ulama.
Pertempuran besar pun tak terelakkan memanas, hingga puncaknya 10 November, ketika kalimat takbir itu meggema di seluruh penjuru
Surabaya. Resolusi Jihad, peneguh hati kaum mukimini, bahwa semua jihad ini hanya ditujukan hanya untuk Allah...
***
Malam hari 9 November 1951. Di depan matanya yang sendu, di atas meja kerjanya, tergolek surat-surat Kabar yang memuat gambarnya di
halaman terdepan. Bung Karno baru menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk esok.
Bung Tomo duduk terpekur. Tak tertahankan air matanya, bulirnya yang begitu bening mengalir deras, meleleh melewati dua pipinya,
membasahi kertas di meja. Di hadapan istrinya, air matanya tumpah ruah tak karuan. Cemas? Memang. Berdebar-debar hatinya.
Gambarku dimuat di halaman depan koran, namaku dibaca khalayak ramai, katanya sesenggukan sambil membayangkan peristiwa enam
tahun silam.
Sedang sesungguhnya, tidak besar arti perbuatanku pada 10 November 1945 bila dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara yang
telah tewas binasa , hancur lebur, karena ikut menyebabkan menjadi besarnya hari 10 November itu. Bisiknya.
Aku masih hidup! Aku masih diizinkan Allah menghirup hawa negara merdeka yang telah dibiayai oleh darah dan jiwa, patriot-patriot sejati
sejak enam tahun lalu. Aku telah berumah tangga, beristri, beranak, aku telah mendekati tercapainya hidup layak sebagai manusia...meskipun
sementarahanya bagi keluargaku sendiri... syukur penuh makna, dalam tangis sendu Bung Tomo.
Tetapi apakah itu tujuan patriot-pahlawan kita ketika mereka itu rela ikhlas menyerahkan jiwa-raga mereka? Untuk perseorangan belaka...?
Ya Allah...yang Mahakasih dan Penyayang, berilah Ham baMu ini kekuatan guna menyelesaikan kewajiban-kewajiban kawanku yang telah gugur
itu. Larut dalam tangis Bung Tomo terus mendoakan para pahlawan.
Para manusia manusia yang memilih kematian sebagai jalan terindah hidupnya. Tak dirudung duka, jikalau hidup, maka mereka merayakan
kemenangan, jikalau pun takdir berpisah, maut menyapa, maka syahidlah dirinya, dan kemenangan di akhirat kelak menyapa, surga tanpa
hisab. Merekalah para syuhada di negeri ini. Orang-orang mengenangnya dengan Hari Pahlawan.
Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya
kepada kita, Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan keapda Allah; di antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya. (Al Ahzab: 22-23)
Pustaka:
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compass,
2014)
KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jogjakarta: LKiS, 2013)
Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)
Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakar-
ta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA
Penduduk mengungsi dalam hari-hari pertempuran di Surabaya
Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).
Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA
Situasi di Surabaya dalam hari-hari pertempuran.
Rizki LesusElegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
16/35
30 Syajarah Syajarah
Mereka yang
dilumpuhkan
Sketesa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya memasuki kerisdenan
lama (Magelang) untuk berunding.
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and
The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
17/35
32 Syajarah Syajarah
Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang
berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malariayang turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan
menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang
punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.
Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran
itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang
Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan.
Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya.
Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.
Jangan melakukan perundingan apa pun dengan diahanya dengan syarat pemenjaraan
seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun
juga (yang dapat diterima).1
Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan
bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa
orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda.
Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah
Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden
menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah
lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat.
Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi
jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja
Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan
perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam
posisi sulit.
Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang
menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun
mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian.
Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang
terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan
perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun
dilarang oleh Raja Willem I.
Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak
saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk)
karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya
dengan niat baik.2
Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari
penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan
begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan.
Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan
pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh
pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak
ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh
pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem
I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera
berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak
ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa
De Kock.
Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran
yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah
pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang
pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata
kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda
(wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.3
Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran
hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa
ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke
Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya,
Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga
ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848,
sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran
dipengasingan.
Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil,
terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan
menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada
orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir
ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak
dilakukan oleh negeri ini.
Perjuangan para pejuang Islam seringkali melalui jalan yang
mendaki, sukar hingga menyakitkan. Tindakan pengurungan,
pengasingan h ingga pembunuhan bahkan pembantaian
mengintai langkah-langkah mereka. Inilah sebagian kisahnya.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah
(Pegia Jejak Islam unuk Bangsa)
Pejuang Aceh
Sumber foto: Laffan, Michael. Islamic Nation
Hood and Colonial Indonesia; The Umma
Below the winds (2003), New York: Rouledge
Curzon
Mereka yang Dilumpuhkan Beggy Rizkiyansyah
-
8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014
18/35
34 Syajarah Syajarah
Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden
Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar
sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi.
Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana
ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan
menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke
pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap
kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir
hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma
perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari
bangsanya sendiri dalam kesepian.
Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah
kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di
Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji Paderi beberapa
tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam
perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa
bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah
terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.
nilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah
menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda
menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu.
28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka
berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah
bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal
dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi
yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benar-
benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki.
Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai.
Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi.
Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya
banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki
atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang
berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku
Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredarkemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke
sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani
peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan
menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa
hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya.
Al Quran, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan
runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi
di sumatera.4
Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat
memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di
Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di
ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya
hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah
kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi
pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin
mengganas. Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi
rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal sebagai perang
pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh
pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara
penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,
Vrouwen als deze waren er bi j honderden, wellicht duizenden
(wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan). Di
lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, en dat de
vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en
doodsverachting, yang dalam terjemahan bebasnya berarti
wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan
berani mati.5
Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu,
adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut
Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusihukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang
sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.
Tidak perlu bersedih hati, Cut.
Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami
adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja
artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau
mati ditembak? Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.
lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan
kita.
setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah
selesai, kawinlah dengan Pang Nanggro.6
Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan
kemudian. Menikahlah Pang Nanggro, dengan wanita tadi.
Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang