makalah agraria

31
Makalah SELUBUNG KEPENTINGAN AGRARIA (Kajian Atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum) Mata kuliah : Politik Hukum Agraria Dosen : Dr. Yanis Maladi, SH.,M.H. Kelas : A Oleh: I KETUT SURYA BAWANA Nim. I2B 011 032 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2012

Upload: surya-bawana

Post on 24-Jul-2015

786 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Agraria

Makalah

SELUBUNG KEPENTINGAN AGRARIA

(Kajian Atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria

dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Terhadap Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum)

Mata kuliah : Politik Hukum AgrariaDosen : Dr. Yanis Maladi, SH.,M.H.Kelas : A

Oleh:

I KETUT SURYA BAWANANim. I2B 011 032

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS MATARAM

2012

Page 2: Makalah Agraria

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah

Politik Hukum Agraria ini dengan judul “Selubung Kepentingan Agaria”.

Sehingga dapat kami presentasikan di hadapan teman-teman mahasiswa dan

dosen.

Pembuatan makalah ini dibentuk dengan fokus bahasan tentang “Kajian

Atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum”. Tugas

makalah ini merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu

Hukum agar mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif

tentang teori-teori hukum.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang tersaji dalam makalah ini

masih jauh dari kata sempurna dan merupakan langkah awal untuk suatu tulisan

yang lebih baik lagi. Dengan demikian, penulis akan berterima kasih apabila ada

kritik maupun saran, yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah

ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi bagi kita

semua khususnya Lembaga Pendidikan Hukum di dalam melihat perkembangan

dan dinamika perkembangan hukum seiring perubahan zaman.

.

Mataram, Juni 2012

Penulis,

Page 3: Makalah Agraria

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ..................................................................................................... iKata Pengantar..................................................................................................... iiDaftar Isi.............................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 11.1 Latar Belakang................................................................................. 11.2 Rumusan Masalah............................................................................ 31.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 31.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................... 62.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah sesuai dengan maksud dan tujuan konstitusi Negara kita.. ..................................... 6

2.2 Kedudukan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam terhadap munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum sebagai tonggak penyelesaian carut marut permasalahan agrarian di Indonesia....................................................................... 16

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................. 283.1 Kesimpulan...................................................................................... 283.2 Saran................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Makalah Agraria

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara pada ujungnya untuk

kepentingan bangsa dan Negara, dengan manfaat sebesar-besarnya pada

kesejahteraan rakyat. pembangunan mempunyai bentuk dan jenis yang

beragam, salah satunya adalah pembangunan untuk memenuhi public good

atau untuk kepentingan umum (public purpose). Pembangunan kepentingan

umum pada implementasinya memerlukan ketersediaan tanah bagi kegiatan

pembangunan yang bersangkutan.

kesejarahan pengadaan tanah selama ini, ada sebagian ketersediaan

tanah yang berhasil diperoleh sesuai perencanaan, ada sebagian tanah yang

tidak berhasil diperoleh sesuai perencanaan. Hambatan dan kendala telah

terdeteksi, berbagai wacana berkembang, semua untuk memastikan bahwa

tanah untuk pembangunan harus tersedia tanahnya. Di sisi yang lain, hak atas

tanah atau kepemilikan atas tanah tidak boleh terkorbankan.

Dalam tataran hukum, sudah banyak peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar perolehan tanah untuk pembangunan, mulai dari Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Presiden Nomor 65 Tahun 2006, yang diatur secra teknis oleh Peraturan

Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, sampai pada tingkatan Undang-

Undang, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Pencabutan

Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Khusus untuk

Undang-Undang pencabutan hak atas tanah hanya beberapa kali

Page 5: Makalah Agraria

diimplementasikan karena secara politis dan secara sosiologis pada saat ini

menjadi tidak popular.

Dalam tataran kebijakan non legislasi, telah dibentuk banyak tim,

kelompok kerja, kelompok kajian, baik yang dibentuk oleh lembaga atau yang

dibentuk oleh kementerian, semua menghasilkan kebijakan, yang tujuannya

memastikan bahwa pembangunan dapat memperoleh tanah secara baik, sesuai

dengan tenggat waktu yang ditetapkan.

faktor dan aspek yang menjadi penghambat pengadaan tanah untuk

pembangunan telah teridentifikasi, namun penyelesaiannya lebih bersifat

simptomatik bahkan miopik, karena mekanisme penyelesaiannya berdasarkan

kasus per kasus.

Muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum pada tanggal 14 Januari

2012 telah banyak menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan baik

akademisi, masyarakat, dsb. Mengingat kemunculan Undang-Undang ini

disinyalir sebagai produk hukum yang pro kapitalis dan lebih

mengenyampingkan hak-hak kepemilikan tanah oleh rakyat kecil ataukah

kemunculannya sebagai jawaban terhadap penyelesaian pengadaan tanah yang

sebelumnya menuai kecaman sebagai akibat ketidakadilan terhadap

masyarakat. Terlebih lagi apabila dihubungkan dengan amanat Ketetapan

MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumberdaya Alam, maka akan kontraris.

Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan pengkajian guna menyusun makalah dengan judul “Selubung

Page 6: Makalah Agraria

Kepentingan Agraria (Kajian Atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam terhadap

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan umum).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya

dirumuskan pokok permasalahan – permasalahan sebagai berikut :

1.1.1 Apakah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum telah sesuai

dengan maksud dan tujuan konstitusi Negara kita ?

1.1.2 Bagaimanakah kedudukan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

terhadap munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum

sebagai tonggak penyelesaian carut marut permasalahan agrarian di

Indonesia ?

1.3 Tujuan

1.1.3 Tujuan umum

Diketahuinya alasan perlunya diadakan penyempurnaan hukum

tanah nasional.

Page 7: Makalah Agraria

1.1.4 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

umum telah sesuai dengan maksud dan tujuan konstitusi Negara

kita

2. Mengkaji kedudukan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

terhadap munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

umum sebagai tonggak penyelesaian carut marut permasalahan

agrarian di Indonesia.

1.1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang didapat dari institusi

pendidikan secara langsung dan menambah wawasan dan

pengetahuan khususnya alasan perlunya diadakan penyempurnaan

hukum tanah nasional dalam kaitannya perkuliahan politik hukum

agraria.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan bahan diskusi bagi peneliti dan rekan-rekan di

Program Studi Magister Ilmu Universitas Mataram guna

perkembangan perkuliahan.

Page 8: Makalah Agraria

3. Bagi Pemerintah

Dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak yang berwenang

dalam melakukan pengkajian/ pembenahan guna pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Page 9: Makalah Agraria

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan umum telah sesuai dengan maksud

dan tujuan konstitusi Negara kita

Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh

Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam

setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-

cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada

umumnya merupakan suatu persangkaan1”.

Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya

dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip

demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan

memperhatikan hal-hal berikut:

1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya;

2. ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: 1.hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, 2.hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya,3 bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, 4.bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan;

3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.

4. untuk memperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi;

5. perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan pemukiman kembali;

1 Sudikno Mertokusumo.,1996., Penemuan Hukum , Sebuah Pengantar, Cetakan

Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8

Page 10: Makalah Agraria

6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan

7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah210

Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan

Sumardjono di muka, maka dalam kontek sistem hukum dicantumkan azas/

prinsip agar bilamana di dalam sistem hukum terjadi sengketa, maka azas

bertugas untuk menyelesaikan.

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi

Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni:

1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;

2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa;

3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;

4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa;

5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;

6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi3

Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat (4) Undang-undang

Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan

untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif untuk

kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati hak

perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual

merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya

kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut.

Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara

Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam

2 Maria SW Sumardjono.,2005., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas, Jakarta, hlm.87-913 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,.2004.,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,

Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hlm.11 – 13

Page 11: Makalah Agraria

Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas Tanah tidak saja

memiliki karakter hukum sebagai sebuah produk hukum yang cacat dan

seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang

Dasar 1945 maupun Undang-undang No.5 Tahun 1960. Disamping itu

merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya:

“hal itu tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam paham negara hukum ini diutamakan adalah hukum sebagai suatu kesatuan sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum. Hukumlah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang. Artinya dalam faham kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang pengaturannya pada tingkat puncak atau tertinggi tercermin dalam konstitusi negara yaitu “the rule of constitution”. Dalam kaitan itu di negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengannya4”

Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka,

dikaitkan dengan produk hukum peraturan perundang-undangan mengenai

pengadaan tanah sejak diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15

Tahun 1975 sampai Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 mengingkari

hakikat negara hukum sebagaimana telah disepakati telah termaktub pada

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Akantetapi Satjipto Rahardjo (2007) memberikan pencerahan pada

pengkaji hukum seputar pandangannya terhadap Undang-undang Dasar 1945

bahwa ”undang-undang Dasar 1945 bukan teks biasa, melainkan alam pikiran

dari wakil bangsa yang menjelajahi sekalian ranah kehidupan manusia baik,

sosial, kultural, politik,ekonomi dan sebagainya yang menurut Ronald

Dworkin (1996) yang harus dibaca secara filosofis, disebut sebagai moral

reading” (Satjipto Rahardjo,2007: 33-34). Berhubung yang diatur maupun

akan diatur oleh Undang-undang Dasar 1945 adalah manusia (baca manusia

Indonesia) sudah barang tentu harus menempatkan manusia sebagai titik

4 Jimly Asshiddiqie.,2009., Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,Rajawali Pers, Jakarta,hlm.108

Page 12: Makalah Agraria

sentral/pusat. Mengapa demikian?, Satjipto Rahardjo (2007) menyatakan

bahwa hukum untuk manusia dengan sedemikian luas dimensinya, sehingga

membatasi perilaku manusia sebatas apa yang diatur oleh undang-undang

sama dengan mereduksi manusia itu sendiri (Satjipto Rahardjo.,2007: 37).

Mengacu pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar

1945 hasil amandemen keempat dinyatakan bahwa: ”bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Untaian kata ini mengandung

makna bahwa di dalamnya memberikan kekuasaan (baca kewenangan) pada

negara (baca pemerintah) untuk mengatur (memanage) sumber daya alam

yang terkandung di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang

diabdikan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara (disingkat

menjadi:HMN) termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menurut Pasal 2 UUPA, HMN hanya memberi wewenang kepada

negara untuk mengatur:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan perneliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Peraturan perundang-undangan di bidang agraria, memberi

kekuasaan yang besar kepada negara untuk menguasai semua tanah

yang ada di wilayah Indonesia, sehingga berpotensi melanggar hak ulayat

dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena itu, di kalangan ahli hukum

timbul gagasan untuk membatasi wewenang negara yang bersumber pada

HMN. Beberapa kesalahan pemaknaan oleh negara dalam hal ini dilakukan

oleh institusi pemerintah telah diteliti oleh Mohammad Bakri (2006) dalam

disertasinya mengemukakan keharusan pembatasan hak menguasai tanah oleh

Page 13: Makalah Agraria

negara dalam hubungannya dengan hak Ulayat dan hak perorangan atas tanah

(Mohammad Bakri,2006: 52).

Kewenangan yang dimiliki oleh negara atas pengelolaan bumi,

kekayaan alam yang pada realita dilaksanakan oleh pemerintah baik

pemerintah pusat maupun daerah melalui kebijakan-kebijakan (policy

making/ beleid maken) dilandasi nilai-nilai filosofi Pancasila seperti:

keTuhanan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan. Nilai-nilai sebagaimana

disebut menurut segolongan ahli hukum merupakan serangkain nilai-nilai

fundamental (a fundamental values) karena bisa diketemukan di semua sistem

hukum di dunia Soedikno Mertokoesoemo, 1986: 35-36, Satjipto Rahardjo

seperti dikutip oleh E Fernando M Manullang,2007: 98, John Rawls 1971

seperti dikutip E Fernando M Manullang 2007: 99, Satjipto Rahardjo, 2006:

60, Munir Fuady, 2007: 118-127). Hal esensial yang dapat diambil dari

beberapa pandangan ahli hukum sebagaimana disebut di muka adalah:

a. agar aturan hukum formal mencapai keadilan formal harus ada ketentuan

yang mengatur bagaimana memberlakukan manusia dalam kasus-kasus

tertentu, harus jelas sasaran pemberlakuannya, harus diterapkan secara

tidak memihak dan tanpa diskriminasi;

b. dibangunnya rule of moral dari sila-sila Pancasila seperti dikaji secara

ilmiah mendalam oleh Notonagoro (1979, 1984) misalnya sikap mau

mendengar keluh-kesah kawula negara, berani mengakui kesalahan/ berani

secara jujur bertanggung jawab dan berjanji untuk tidak mengulangi

kekeliruan, menentang sikap-tindak penyimpangan pengelolaan negara,

mendahulukan kepentingan yang luas daripada kepentingan diri sendiri

atau golongan, menolak mengambil hak pihak lain yang bukan menjadi

haknya. Berani menyatakan kekurangan dan tidak semata-mata

mengemukakan kelebihan, meletakkan kewenangan sebagai amanah

bukan sebagai dasar kekuasaan untuk menindas. Nilai-nilai (values)

demikian, menurut beberapa pakar sebagai penanding rule of law/ yang

banyak disimpangi atau hanya dipandang proforma belaka;

c. kegagalan logika dengan pendekatan formal logis dengan menggunakan

tiga model logika: silogistik, proposisi, predikat seperti didewakan oleh

Page 14: Makalah Agraria

ET Feteris (1994) yang disitir oleh Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri

Djatmiati, 2005: 13-15. Mengapa demikian?. Jawaban yang dapat

dikemukakan adalah positivisme hukum didasarkan pada hubungan sebab-

akibat (cause and effect) seperti pada silogisme, mengabaikan fakta non-

yuridik budaya,sosial-ekonomi, politik, terpancang pada ketentuan hukum

positif-tertulis dengan kata lain hukum negara (state law) mengabaikan

hukum rakyat (folk law) yang senyatanya lahir, tumbuh dan berkembang

pada komunitas yang bersangkutan.

Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh

pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara

memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau badan

hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu.

Rasionalitasnya, dalam hampir semua kajian pada literatur tentang aspek

hukum pengadaan tanah, pemerintah atas nama negara memerlukan tanah

namun, karena keterbatasan ketersediaan tanah untuk pembangunan

pengadaan tanah terhadap tanah yang dikuasai oleh negara (Pasal 2, 6 dan 18

UU No.5 Tahun 1960 (UUPA)) tidak mencukupi luasnya. Oleh karena itu

dengan ”terpaksa” berdasar Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, maka

pemerintah mengambil tanah-tanah hak (tanah yang padanya dilekati hak

individu atau badan hukum/ keagamaan) dengan memberikan penggantian

yang layak (Pasal 27 huruf a, 34, 40 UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) yuncto

PP No.40 Th 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai Atas Tanah, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum).

lebih lanjut Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak

Azasi Manusia dinyatakan:

Pasal 36(1) Setiap orang berhak mempunyai milik,baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

Page 15: Makalah Agraria

(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya

diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Mengacu pada Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-undang No.39 Tahun

1999, maka yang tepat pewadahan kaidah hukum yang mengatur mengenai

pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum berupa undang-

undang. Mengapa demikian?, alasannya karena masalah hak atas tanah

merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari

hak azasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di

dalamnya hak Adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara

paksa dengan mengabaikan aspirasi si subyek hak atas tanah.

Dan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menempatkan

TAP MPR sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

maka

Dengan kata lain, bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

umum merupakan amanat peraturan peruundang-undangan di atasnya dan

berlaku Lex specialis derogat legi generali yaitu asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Lebih Lanjut perlu menjadi koreksi bersama terhadap Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Page 16: Makalah Agraria

Untuk Kepentingan umum, bahwa aktivitas pengadaan tanah untuk

kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/ prinsip

tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:

a. pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum

b. pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum

(komersial) (Oloan Sitorus.,1995:7 dan 2004: 5)

Walaupun tersebut secara normatif pada Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

umum, sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah

kepentingan umum (Pasal 10 huruf b). Argumentasinya karena menurut

Kitay (1985) (dikutip penulis dari Soemardjono 2005:78) kepentingan umum

mengandung tiga unsur esensial: dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh

pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti

bermotifkan profit (Sumardjono.,2005:109). Dengan demikian, argumentasi

hukum yang paling tepat untuk jalan tol cara perolehan tanah oleh pemerintah

bukan dengan pengadaan tanah (berdasarkan ganti kerugian), melainkan

dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7) mengingat apabila mekanismenya

dengan ganti kerugian malah akan mengakibatkan hak-hak masyarakat

menjadi teraniayaoleh kepentingan pengusaha dan bukanlah kepentingan

umum seperti yang dihajatkan oleh Undang-Undang tersebut.

Terlepas dari kajian terhadap Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

umum, tentunya tidak tertutup kemungkinan banyak juga dapat kita temukan

di dalam pasal-pasal yang lain. Dalam makalah ini penulis mencantumkan

beberapa pasal krusial Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang dipastikan

menimbulkan masalah di waktu mendatang/ ke depan, sehingga diperlukan

pemikiran ulang serta sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan

perundang-undangan lain yang berkaitan.

No. Pasal Bab/ tentang Keterangan1. Pasal 12 Pembangunan untuk

kepentingan umum sebagaimana dimaksud Pasal 13 kecuali huruf (a) dilakukan kerjasama:

Perbuatan hukum ini akan mengakibatkan policy pemerintah/ Pemda akan mendua/ ambivalen apakah mengutamakan kepentingan rakyatnya atau mengutamakan

Page 17: Makalah Agraria

BUMN BUMD atau BUMS

kepentingan kegiatan bisnis sendiri

2. Pasal 49 Dalam hal terdapat keberatan, gugatan atau tuntutan atas pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan.Rumusan ini menunjukkan pemaksaan menyimpangi musyawarah bertentangan dengan sila keempat dan kelima serta kedua. Seharusnya, sebelum disepekati pihak yang memerlukan tanah dengan alasan apapun tidakdibenarkan melakukan aktifitas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kewajiban pada Pasal 50 mendaftarkan tanah, justru akan memicu sengketa hukum antar pihak yang belum ada kesepakatan.Pendaftaran tanah atas obyek tanah yang belum adakesepakatan bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata dan merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa/ pemerintah. jelas adanya sepihak, prinsip

Page 18: Makalah Agraria

2.2 Kedudukan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam terhadap munculnya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan umum sebagai tonggak penyelesaian

carut marut permasalahan agrarian di Indonesia.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya mengenai

kemunculan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum tersebut di atas, tentunya

kontradiktif terhadap Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang pada pokoknya

mengamanatkan “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan

memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian

maupun tanah perkotaan”. Tidak dapat dipungkiri kedepan dalam tataran

pelaksanaannya akan terjadi benturan kepentingan antara Pemerintah dengan

masyarakat.

Mengingat secara legal kini Ketetapan MPR tidaklah dapat diabaikan

begitu saja, hal ini dikarenakan sejak disyahkannya Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan seakan

melegitimasi keberadaan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan

perundang-undangan.

Lebih lanjut ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan

Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara. Seperti juga dengan Batang Tubuh UUD

1945, maka ketetapan MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok

kebijakan Negara, sifat norma hukumnya masih secara garis besar, dan

merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh norma hukum yang

Page 19: Makalah Agraria

berisi sanksi. Suatu Ketetapan MPR seharusnya adalah suatu keputusan yang

hanya mengikat/ ditujukan kepada Presiden, oleh karena ketetapan MPR

merupakan amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka

menjalankan pemerintahannya, dan tidak mengatur umum. Sebagai suatu

Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara, maka Ketetapan MPR juga

merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan,

maka norma Ketetapan MPR dapat “mengisi” atau “melengkapi” norma

Undang-Undang.5

Apabila merujuk pada Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, sesuai dengan

penjelasan, maka yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih

berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang

Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Pada Pasal 4 tersebut menyatakan bahwa Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

Undang-Undang, dimana dalam pasal 4 tersebut menyebutkan sebanyak 11

Ketetapan MPR yang salah satunya adalah Ketetapan Ketetapan Majelis

Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sampai terlaksananya

seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.

Akantetapi Apabila melihat DINAMIKA KONSTITUSI NEGARA

INDONESIA, tentunya bukanlah perkara mudah untuk melaksanakan

ketentuan pada Pasal . 7 Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

5

Maria, Farida.,2007., Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi , dan Materi Muatan), Cetakan Delapan, Kanisius, Yogyakarta,hlm.76

Page 20: Makalah Agraria

Sumberdaya Alam (yang ditetapkan pada tanggal 9 Nopember 2001), yang

pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :

Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk

segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaharuan agrarian dan

pengelolaan sumber daya alam dengan menjadikan ketetapan ini sebagai

landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua Undang-Undang dan

Peraturan Pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan ini harus

segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.

Perlu kita ketahui bersama pada tanggal dan tahun yang sama (9

Nopember 2001) oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu juga

melakukan amandemen ke- III UUD 1945 yang mengakibatkan sistem

Pemerintahan Negara Republik Indonesia mengalami beberapa

pergeseran, dimana :

Pasal 1

1. Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar. (***)3. Negara Indonesia adalah negara hukum. (***)

*** Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :(1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Yang apabila dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang

menetapkan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, dapat menimbulkan

berbagai penafsiran.

Sampai saat ini banyak pihak mengartikan bahwa ketentuan Pasal 1

ayat (2) UUD 1945 Perubahan tersebut merupakan pembagian kewenangan

terhadap lembaga-lembaga Negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.

(Maria Farida : 2007) dalam bukunya berpendapat bahwa Rumusan

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) yang

menyatakan“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya

Page 21: Makalah Agraria

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah lebih tepat, oleh karena dalam

rumusan tersebut jelas siapa pelaku yang ditunjuk menjadi adresatnya.6

Apabila dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sesudah perubahan)

menetapkan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar” , maka kemudian dalam penyelenggaraan

Negara rakyat yang berdaulat itu kemudian memberikan kedaulatannya

tersebut kepada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai wakil-wakilnya, serta memberikan

kepada Presiden baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala

Pemerintahan melalui Pemilihan Umum, dengan demikian bukankah ketiga

lembaga tersebut yang secara langsung diberikan kewenangan sebagai

pelaksana kedaulatan rakyat tersebut ?

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, tidaklah tepat apabila dikaji

dari pemahaman terhadap makna “Kedaulatan” atau “souvereign” itu sendiri.

Kedaulatan adalah suatu kekuasaan untuk mengatur dan memerintah, sehingga

lembaga-lembaga atau perorangan yang melaksanakan kedaulatan tersebut

tentunya merupakan lembaga yang amat berkuasa untuk membentuk peraturan

–peraturan.

Menurut Teori Rousseau, yang menyatakan bahwa rakyat dapat berada

di dua tempat atau dua posisi, yaitu rakyat sebagai “Citoyen” yang berarti

rakyat yang memerintah atau yang berdaulat, dan rakyat sebagai “Sujet” yang

berarti rakyat yang diperintah, maka posisi Presiden Republik Indonesia

sesudah perubahan UUD 1945, adalah lebih kuat dari pada sebelum

Perubahan UUD 1945. Hal ini dapat dipahami, oleh karena sebelum

Perubahan UUD 1945 Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR), dan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut rakyat

memberikan mandatnya untuk memerintah. Dengan Posisi tersebut, maka

penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden ialah penyelenggara

pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dengan Perubahan UUD 1945 pada Pasal 6 A yang menetapkan

bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara

6 Ibid, Hal 150

Page 22: Makalah Agraria

langsung oleh rakyat”, berarti rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau

sebagai “Citoyen” telah memberikan “mandatnya” atau kedaulatannya kepada

Presiden secara langsung, sehingga dengan demikian rakyat telah

menyerahkan kewenangan untuk memerintah dan mengatur tersebut langsung

kepada Presiden. Hal tersebut lebih menguatkan posisi Presiden yang menurut

ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang

Dasar”.

Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di Negara

Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif dan

sekaligus pemegang kekuasaan legislative (bersama Dewan Perwakilan

Rakyat). Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan pendapat Jellinek yang

mengatakan bahwa Pemerintahan dalam arti formal mengandung

kekuasaan mengatur mengatur (verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus

(Entscheidungsgewalt), sedangkan Pemerintahan dalam arti material

mengandung unsur melaksanakan (das Element der Regierung und das der

Vollziehung).

Van Vollenhoven juga berpendapat bahwa pemerintahan dalam arti luas

itu meliputi fungsi ketataprajaan (bestuur), keamanan/ kepolisian (politie)

dan pengaturan (regeling), sedangkan fungsi peradilan (rechtspraak) itu

dipisahkan karena adanya wawasan Negara berdasarkan atas hukum.

Dengan adanya Kekuasaan Pemerintahan tersebut, Presiden

mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu di Negara Republik

Indonesia, hanya saja kekuasaan mengatur ini mempunyai suatu batasan

sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa apabila

Presiden akan membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama dengan

Dewan Perwakilan Rakyat, dengan perkataan lain apabila Presiden akan

mengatur dengan jalur Undang-Undang, maka Presiden harus membentuknya

bersama Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan apabila Presiden hendak

mengatur dengan jalur eksekutif, dapat dilaksanakan dengan pembentukan

Peraturan Presiden. Itulah mengapa beberapa dalam Pasal Undang-Undang

Page 23: Makalah Agraria

Nomor 2 Tahun 2012 tersebut menyebutkan ketentuan sebagai tindak lanjut

pelaksanaanya diatur dengan Peraturan Presiden.

Menyambung keterkaitan antara Ketetapan Majelis Pemusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (yang ditetapkan pada tanggal

9 Nopember 2001) dengan Amandemen ke- III UUD 1945 oleh Majelis

Pemusyawaratan Rakyat (MPR) yang juga ditetapkan pada tanggal 9

Nopember 2001) menimbulkan kerancuan dalam implementasinya,

mengingat pada saat itu Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR,

sehingga wajar Pemerintah tidak merespon Ketetapan MPR tersebut.

Selanjutnya barulah setelah 2 (dua) tahun kemudian tepatnya tanggal 7

Agustus 2003 MPR mengeluarkan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status

Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai

Dengan Tahun 2002 dimana dalam pasal 4 menyebutkan bahwa Ketetapan

MPRS dan Ketetapan MPR Republik Indonesia tetap berlaku sampai dengan

terbentuknya Undang-Undang, yang salah satunya pada angka 11

menyebutkan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor IX/MPR/2001.

Dengan adanya peninjauan tersebut tidak lantas amanat tersebut

dilaksanakan mengingat pada tanggal 22 juni 2004 telah disahkan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa Jenis Peraturan

Perundang-undangan adalah :

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang/ Perpu

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah

Kemudian dalam Pasal 7 ayat (4), menyebutkan bahwa Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui

Page 24: Makalah Agraria

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Akantetapi dalam Pasal 7 ayat (5) menyebutkan bahwa Kekuatan

hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Meskipun lebih lanjut dalam Penjelasan dari Pasal 7 ayat (4)

menyebutkan salah satunya adalah Peraturan yang dikeluarkan oleh

majelis Permusyawaratan Rakyat tetap saja tidak masuk dalam hierarki

peraturan perundang-undangan, sehingga lagi-lagi menyebabkan

Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya

Alam belum dapat diimplementasikan.

Sekian lama (7 tahun) posisi mengambang tersebut tidak lantas

perjuangan mereformasi agrarian surut tepatnya pada tanggal 12 Agustus 2011

telah disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang menempatkan TAP MPR sebagai salah

satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, hal ini dapat ditemukan

dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan adalah :

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang.

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Kemudian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi :

“Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

Page 25: Makalah Agraria

Sebagai Konsekuensi hal tersebut di atas, maka Pemerintah tidak dapat

lagi berkelit/ mengindahkan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam, akantetapi tentunya Presiden Sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi diharapkan dapat lebih fair

dalam mengambil kebijakan-kebijakan dengan tidak bersifat diskriminatif.

Dimana kita ketahui bersama bahwa maksud dan tujuan dari Tap MPR

tersebut sangatlah mulia, namun untuk terlaksananya hal tersebut bukanlah

perkara yang mudah mengingat kondisi agraria di Negara kita yang sudah

mengakar sangat diperlukan komitmen yang luar biasa guna mewujudkannya,

sehingga Pemerintah lebih menekankan pada kebijakan-kebijakan yang dinilai

dapat secara instan mendongkrak kondisi perekonomian saja.

Implikasi terhadap hal tersebut di atas justru tidak dijadikan

momentum awal perubahan oleh Pemerintah sebagai mana yang

direncanakan dalam Program Legislasi Nasional yakni diagendakan

Pembentukan sejumlah Rancangan Undang-Undang tentang7 :

a. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Undang-Undang Pokok Agraria;

b. Hak Milik Atas Tanah;

c. Pengambil-alihan Lahan Untuk Kepentingan Umum;

d. Energi;

e. Mineral dan Batubara;

f. Minyak dan Gas Bumi;

g. Tata Ruang;

h. Kelistrikan;

i. Kelautan;

j. Pengelolaan Sumber Daya Alam;

k. Sumber Daya Genetik;

l. Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

7

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI), 2006 Hal. 44-45

Page 26: Makalah Agraria

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka harusnya Pemerintah

melakukan perubahan terlebih dahulu terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, mengingat Roh awalnya justru

terletak pada aturan tersebut. Akantetapi Pemerintah malah menetapkan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan umum sebagai prioritas utama, tentunya

langkah pemerintah tersebut akan menimbulkan dampak berkurangnya tanah-

tanah yang dimiliki oleh rakyat yang nantinya akan dilakukan Reformasi

Agraria (land reform).

Melihat kondisi di atas, maka sebagai bahan pertimbangan adapun

syarat suksesnya reforma agraria adalah 8:

1. Kemauan Politik Pemerintah yang kuat

Syarat dasar dan utama bagi berjalannya reforma agraria harus

bertitik tolak dari kemauan politik pemerintah yang kuat sebagai

pemegang otoritas. Pemerintah harus mampu menyediakan iklim dan

infrastruktur pelaksanaan program yang melibatkan semua elemen

birokrasi yaitu instansi-instansi teknis terkait, masyarakat petani dan

pihak-pihak berkepentingan lainnya seperti lembaga keuangan yaitu bank,

koperasi dan sebagainya. Siapapun yang memegang tampuk pemerintahan

harus menempatkan reforma agraria sebagai suatu keharusan untuk

dijalankan dan tidak memandangnya sebagai komoditas politik yang sarat

kepentingan sesaat sehingga lemah dari sisi perencanaan maupun

pelaksanaanya serta tidak memiliki kontinuitas yang memadai. Hal yang

juga perlu digaris bahwahi adalah jangan sampai ada pertarungan

kepentingan dan ego sektoral antar instansi teknis pemerintah yang

masing-masing berjalan sesuai dengan kemauannya sendiri tanpa ada

8 Nurjihadi, Muhammad, http://jihadnp34.blogspot.com/2012/02/reforma-agraria-

indonesia-antara-wacana.html diakses pada hari kamis tanggal 28 Juni 2012.

Page 27: Makalah Agraria

suatu garis koordinasi yang jelas sehingga tidak terdapat mata rantai yang

solid dan kokoh dalam implementasi reforma agraria yang sudah

diprioritaskan untuk dilaksanakan.

2. Dukungan Teknis bagi Modal dan Produksi

Departemen teknis dalam hal ini Departemen Pertanian harus lebih

giat melakukan kompetensinya yaitu membantu petani tentang bagaimana

menghasilakan produktivitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang

tanah/lahan dengan merekayasa segala bentuk input produksi mulai dari

teknologi pertanian, kredit usaha, ketrampilan petani sampai kepada

perbaikan pasar dan sistem informasi pasar. Land reform dengan

redistribusi tanahnya hanya akan menjadi program yang sia-sia jika

dukungan infrastruktur dan kelembagaan pertanian tidak tersedia.

3. Membuka Akses Pasar kepada Petani

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kemana petani akan

membawa hasil produksinya. Maka akses kepada pasar harus benar-benar

diberikan, sehingga petani tidak akan lagi dipermainkan oleh tidak adanya

pasar dengan harga rasional yang bisa menampung produksinya sehingga

kesejahteraan tidak tercapai. Dalam hal ini sekali lagi keseriusan dari

pihak-pihak terkait akan sangat menentukan.

4. Penguatan kelembagaan Pengelola Reforma Agraria

Sebagai suatu program nasional yang membutuhkan 'kekuatan'

dalam implementasinya, maka sudah seharusnya apabila lembaga teknis

yang terkait didalamnya juga memiliki kekuatan di dalam peranan, otoritas

dan fungsi-fungsinya. Hal ini juga menunjuk kepada Badan Pertanahan

Page 28: Makalah Agraria

Nasional Republik Indonesia (BPN RI) yang nantinya akan menjadi

'pemain kunci' dalam implementasi program reforma agraria. Status Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) sebagai Lembaga

Pemerintah Non Departemen harus segera ditingkatkan atau dikembalikan

kepada Kementerian Agraria agar peranannya semakin kuat dan seimbang

dengan Departemen lain dalam melakukan koordinasi. Revitalisasi fungsi

BPN juga perlu digalakkan agar tidak hanya 'mengurusi' sertifikat tanah

sebagai sebuah produk akhir, melainkan lebih luas dari itu, mampu

memfasilitasi pencapaian sebuah tujuan yang lebih besar lagi yaitu

kemakmuran rakyat dan pengelolaan sumber daya agraria yang

berkeadilan.

Page 29: Makalah Agraria

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum merupakan

amanat peraturan peruundang-undangan di atasnya dan berlaku Lex

specialis derogat legi generali yaitu asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis),

akantetapi masih terdapat beberapa pasal krusial yang perlu

diharmonisasi dan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-

undangan lainnya.

2. Perdebatan yang sangat panjang memang mengiringi keberadaan

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001, hal tersebut dikarenakan oleh

beberapa faktor baik Dinamika Konstitusi maupun pengaturan

mengenai pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kemunculan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan umum kontradiktif terhadap

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam. Mengingat, tidak dapat dipungkiri ke

depan dalam tataran pelaksanaannya akan terjadi benturan kepentingan

antara Pemerintah dan masyarakat. Konsekuensi dimunculkan kembali

Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan

(dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan), tidak tertutup kemungkinan bagi

Pemerintah dapat mengimplementasikan maksud dan tujuan Tap MPR

tersebut. Namun demikian tetap mempertimbangkan beberapa langkah

agar reformasi agrarian dapat terlaksana, yakni (1) Kemauan Politik

Pemerintah yang kuat, (2) Dukungan Teknis bagi Modal dan Produksi,

Page 30: Makalah Agraria

(3) Membuka Akses Pasar kepada Petani dan (4) Penguatan

kelembagaan Pengelola Reforma Agraria.

3.2 Saran

Hendaknya Pemerintah selaku pemegang kebijakan dengan segera

melakukan pembenahan-pembenahan dalam hal perundang-undangan

yang terkait dengan hukum tanah nasional, mengingat sampai dengan saat

ini masih banyak diketemukan produk hukum yang bertentangan antara

satu dengan lainnya, sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis

Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Page 31: Makalah Agraria

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta :

Universitas Trisakti, 2003)

Jimly Asshiddiqie.,2009., Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,Rajawali

Pers, Jakarta

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Ketetapan MPR

RI dan Keputusan MPR RI), 2006

Maria SW Sumardjono.,2005., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas, Jakarta,

Maria, Farida.,2007., Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi , dan Materi

Muatan), Cetakan Delapan, Kanisius, Yogyakarta

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,.2004.,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta,

Sudikno Mertokusumo.,1996., Penemuan Hukum , Sebuah Pengantar, Cetakan

Pertama, Liberty, Yogyakarta

Nurjihadi, Muhammad, http://jihadnp34.blogspot.com/2012/02/reforma-agraria-

indonesia-antara-wacana.html diakses pada hari kamis tanggal 28 Juni

2012.