makalah basic science.docx

25
MAKALAH DASAR PENDIDIKAN PEMBELAJARAN MIPA UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH Disusun oleh : Nama : 1. DEWI PURWANI (ACB 110 131) 2. DHARMAWATI (ACB 110 132) 3. DEBY PRIADMA (ACB 110 134) 4.SUPARDI (ACB 110 128) 5. DONANG (ACB 110 144) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN 1

Upload: jessica-miller

Post on 06-Dec-2014

135 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

MAKALAH DASAR PENDIDIKAN

PEMBELAJARAN MIPA UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH

Disusun oleh :

Nama :1. DEWI PURWANI (ACB 110 131)

2. DHARMAWATI (ACB 110 132)

3. DEBY PRIADMA (ACB 110 134)

4.SUPARDI (ACB 110 128)

5. DONANG (ACB 110 144)

1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2012

KATA PENGANTAR

      Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuania-Nya yang

diberikan pada kita semua sehingga kita dapat menjalankan segala aktivitas sehari-hari.

      Penyusunan naskah ini merupakan bentuk respon terhadap program kebijakan bidang

pendidikan, paling tidak kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peran guru dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga saatnya nanti segala yang dicita-citakan

bersama tercapai dimana guru mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan

melalui wujud kinerja yang tidak diragukan lagi. Itu semua akan terjadi manakala kita mau

belajar dan menganalisis berbagai unsur yang memiliki nilai pengaruh terhadap kinerja guru.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang telah memberikan dukungan sehingga naskah

ini terwujud.

Mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangannya.

Palangkaraya, April 2012

penyusun

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................ii

Abstrak...................................................................................................................1-2

Bab I

Pendahuluan

A. Penyelenggaraan Proses Pendidikan Sains Saat Ini…………………………………….3-4

Bab Ii

Pembahasan

A. Pengertian Sains………………………………………………………………………………………..5-6B. Tujuan Pembelajaran Sains…………………………………………………………………………6-7C. Sikap Ilmiah……………………………………………………………………………………………….8-11

D. Inkuiri  dan Proses Ilmiah…………………………………………………….…12

Bab Iii

A. Kesimpulan..................................................................................................13B. Saran............................................................................................................13-14

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15

3

ABSTRAK

Kemampuan manusia menciptakan berbagai peralatan dan menemukan mesin telah

mengubah perilakunya. Tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, kita hanya bisa

mendengarkan radio sambil menyelesaikan pekerjaan atau melakukan aktivitas lainnya di

rumah. Saat ini, kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa di mancanegara, seperti

pertandingan sepak bola di belahan dunia lain, tanpa harus pergi dan berdesak-desakan di

stadion sepak bola. Kita bias menyaksikan pertandingan sepak bola sambil malakukan

berbagai aktivitas di depan pesawat TV.

Contoh lain adalah berkat kemajuan teknologi bidang pesawat ruang angkasa luar,

memungkinkan manusia bisa menginjakkan kakinya di bulan. Berkat kemajuan pengetahuan

manusia dalam bidang kimia nuklir yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teknologi

nuklir seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka kebutuhan manusia akan

kekurangan energi listrik dapat teratasi.

Sederetan perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana

diilustrasikan di atas, merupakan contoh kemajuan teknologi sebagai akibat perkembangan

sains. Namun tidak semua teknologi memberi kemaslahat bagi umat manusia. Wujud

teknologi nuklir seperti bom atom, justru dapat membahayakan kehidupan umat manusia.

Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa demikian besarnya pengaruh perkembangan

pengetahuan manusia tentang sains pada kehidupan manusia. Terkait dengan itu, barangkali

kita sependapat apabila dikatakan bahwa seluruh kehidupan manusia dipengaruhi oleh

perkembangan sains.

Sebenarnya dengan hanya menampilkan contoh seperti di atas mungkin belumlah

cukup untuk menunjukkan terjadinya perubahan kehidupan manusia sebagai akibat

perkembangan sains. Namun demikian, dengan mengamati dan mencermati apa yang terjadi

4

dalam kehidupan sekitar kita, seperti kemajuan teknologi computer, tentu kita akan semakin

meyakini akan hal tersebut.

Pendidikan harus mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki kompetensi

minimal yang dipersayaratkan untuk dapat hidup layak di era persaingan bebas.

Bagaimana pendidikan itu selayaknya diselenggarakan? Berkaca pada pengalaman

penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada isi (content) sebagaimana sudah kita lakukan

yang ternyata kurang berhasil, maka seyogyanya kita harus segera melakukan perubahan.

Perubahan yang dilakukan bukan hanya sebatas pada konsep tetapi perubahan yang

menyeluruh sehingga benar-benar menyentuh sampai pada teknis penyelenggaraan proses

pembelajaran di sekolah. Perubahan itu juga harus didasarkan pada studi yang mendalam

bukan sekedar mengadopsi, agar perubahan yang dilakukan sesuai dengan kondisi objektif di

lapangan serta karakteristik sekolah dan masyarakat Indonesia.

5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penyelenggaraan Proses Pendidikan Sains Saat Ini

Era globalisasi merupakan era informasi. Era globalisasi ditandai dengan perubahan

yang sangat cepat dan tidak dapat diramalkan serta terbukanya peluang kompetisi antar

manusia. Perubahan yang terjadi dan terbukanya peluang berkompetisi merupakan peluang

dan tantangan bagi mereka yang memiliki daya saing dan penuh prakarsa, tetapi akan menjadi

malapetaka bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi yang dipersyaratkan.

Dalam rangka mempersiapkan putra-putri kita memasuki era globalisasi, pendidikan

memegang peranan yang sangat strategis. Melalui praktik pendidikan yang tepat, kita dapat

membekali dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang dipersayaratkan kepada putra-

putri (baca: anak didik) kita sehingga mampu berkompetisi dan dapat hidup secara layak.

Namun, bagaimana penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah-sekolah kita

dewasa ini dibandingkan dengan perkembangan masyarakat pada era global ? Jika kita telaah

secara seksama, paling tidak ada lima hal yang menunjukkan ketidak sesuaian antara proses

penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat global, yaitu :

1. Sekolah masih menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik,

sementara pada masyarakat global setiap individu dituntut untuk dapat menyelesaikan

masalah yang bersifat spesifik.

2. Sekolah menuntut setiap siswa untuk mastery matery, sementara di masyarakat setiap

individu dituntut untuk sharing jobs and responsibility.

6

3. Proses pembelajaran di sekolah kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat-alat

pikirnya (tool-lessthought), sementara di masyarakat dituntut untuk mempu mengunakan

peralatan kognitif (cognitive tools) secara optimal.

4. Proses pembelajaran di sekolah lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik

(symbolic thinking), sementara di masyarakat dituntut untuk terlibat secara langsung (direct

involved).

5. Di sekolah anak didik bertindak sebagai penerima informasi yang fasif dan guru bertindak

sebagai satu-satunya sumber informasi, sementara masyarakat di era global menuntut

kemampuan mencari, memilih dan memilah informasi ( searching of information).

6. Evaluasi belajar sains masih menekankan pada produk sains, sementara dalam

pengembangan sains danteknologi di masyarakat menuntut penguasaan keterampilan proses

sains dan sikap ilmiah.

Jika proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di sekolah tidak dapat

menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada akhirnya sekolah/

pendidikan tidak akan mampu mengantarkan para peserta didiknnya untuk dapat hidup dalam

masyarakat tetapi justru sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya.

Oleh karena itu, proses penyelenggaraan pendidikan harus melakukan perubahan secara terus

menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dalam kehidupan

masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah orientasi tujuan

pembelajaran yang semula berorientasi pada isi (content), saat ini dan kedepan seyogyanya

berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup (life skills). Upaya ini dapat berjalan

dengan baik apabila semua komponen pelaksana pendidikan dan jajaran birokrat pendidikan

serta stakeholder berupaya untuk memahami dan memiliki komitmen terhadap pembangunan

pendidikan serta memberi kontribusi positif terhadap penyelenggaraan proses pendidikan

yang berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup (life skills) dalam masyarakat yang

cenderung berubah.

7

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Sains

Mendefinisikan sesuatu yang kompleks seperti halnya sains dalam satu kalimat

pendek, sederhana, dan berlaku universal sangatlah sulit, namun beberapa ahli telah

mencobanya. Definisi sains yang merefleksikan pendekatan yang diterima secara umum

dalam pendidikan sains saat ini adalah : “sains  merupakan suatu pembelajaran yang

terakumulasi dan sistimatik tentang fenomena alam. Kemajuan sains ditandai bukan hanya

oleh suatu akumulasi fakta, tetapi oleh berkembangnya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Jadi

sains merupakan proses belajar yang dilakukan manusia untuk mempelajari fenomena-

fenomena alam sehingga menghasilkan sekumpulan fakta yang menuntun pada penemuan

berbagai konsep, prinsip, generalisasi, teori, dan hukum tentang alam sebagai wujud dari

produk sains. Pengumpulan fakta dilakukan melalui proses yaitu metode ilmiah dan sikap

ilmiah yang memungkinkan keduanya berkembang seiring dengan perkembangan

pemahaman manusia tentang alam.

James B. Conant, seorang ilmuwan bekebangsaan Amerika mendefinisikan sains

sebagai : “… adalah serangkaian skema konsep-konsep dan konseptual yang telah

dikembangkan sebagai suatu hasil eksperimen dan pengamatan yang mendorong

dilakukannya eksperimen dan pengamatan lebih lanjut. Seperti halnya definisi pertama,

definisi kedua pun menekankan bukan hanya pada produk sains tetapi juga pada proses sains

yaitu eksperimen dan pengamatan sebagai suatu bentuk metode ilmiah yang juga di dalamnya

terkandung sikap ilmiah. Produk sains yang telah ditemukan mendorong untuk dilakukan

8

eksperimen dan pengamatan lebih lanjut sehingga memungkingkan berkembangnya metode

ilmiah, sikap ilmiah, dan produk sains itu sendiri.

Istilah proses atau metode, pengamatan (observasi), dan sistematik yang digunakan

dalam difinisi sains menunjukkan adanya sifat dinamik dari sains baik dalam prinsip maupun

praktik. Implikasi yang penting dari definisi sains ini adalah: (1) Sains merupakan hasil dari

aktivitas manusia melalui proses sistematik yang disebut metode ilmiah yang didasari oleh

sikap ilmiah; (2) Sains memiliki otoritas yaitu observasi. Oleh karena itu, sains memiliki

keterbatasan, segala yang ada di luar jangkauan indra manusia sebagai alat observasi berada

di luar batas sains.

Berdasarkan kajian terhadap dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sains pada

hakikatnya meliputi tiga unsur, yaitu:

 

1.    Sikap : Keyakinan, nilai, pendapat, dan aspek afeksi lainnya yang melekat pada

diri individu yang aktualisasinya ditunjukkan oleh caranya dalam berpikir, bersikap,

dan bertindak.. Misalnya tidak tergesa-gesa menyimpulkan tanpa didukung oleh data

yang cukup dalam memecahkan masalah.

2. Proses atau metode : Proses penyeledikan yang dilakukan untuk memecahkan

masalah. Misalnya merumuskan hipotesis, merancang dan melakukan eksperimen,

mengevaluasi data, mengukur dan lain sebagainya.

3. Produk : Fakta-fata, prinsip-prinsip, hukum-hukum, teori-teori, dan lain sebagainya

sebagai kesimpulan dari serangkaian hasil proses ilmiah. Misalnya prinsip ilmiah :

Logam akan memuai jika dipanaskan. \

B. Tujuan Pembelajaran Sains

Setelah kita mengupas tentang hakikat sains sebagaimana dipaparkan di atas, maka

jelaslah bahwa sains tidak terbatas hanya pada pengertian sains sebagai produk, melainkan

sains juga berkaitan dengan proses dan sikap ilmiah. Sains berkembang karena ditunjang oleh

kemajuan para ilmuwan dalam melakukan proses-proses sains serta komitmennya untuk

senantiasa mengedepankan sikap ilmiah dalam menyelesaikan tugas-tugas ilmiahnya.

Kaitannya dengan proses pembelajaran sains, maka barangkali kita sependapat bahwa

pembelajaran sains yang hanya berorientasi pada sains sebagai produk adalah sebuah

kekeliruan. Pembelajaran sains dengan kurikulum sains yang berbasis pada isi (content) yang

menekankan pada penguasaan berbagai konsep, prinsip, dan teori tentang sains tanpa

9

didukung oleh pengembangan keterampilan proses sains dan sikap ilmiah, akan menyebabkan

penguasaan peserta didik terhadap sains menjadi dangkal. Selain itu, pembelajran sains

demikian, tidak akan mampu melahirkan sosok ilmuwan masa depan yang tangguh. Sosok

ilmuwan yang memiliki bekal pengetahuan, keterampilan proses, dan sikap ilmiah yang

memadai. Pembelajaran sains yang demikian, pada gilirannya akan menyebabkan

perkembangan sains akan mengalami kemandekan (stagnant). Meskipun pendidikan sains

tidak bermaksud untuk melahirkan ilmuwan, tetapi akan lebih baik hasilnya apabila sains

diajarkan sesuai dengan hakikat sains itu sendiri.

Mencermati hal tersebut, maka selayaknya kita perlu secara arif melakukan reorientasi

tujuan pembelajaran sains selaras dengan hakikat sains itu sendiri. Kesadaran dan keyakinan

kita akan hakikat sains harus menjadi dasar pijakan dalam menyelenggarankan pembelajaran

sains. Selaras dengan hakikat sains, maka tujuan pembelajaran sains harus secara terintegrasi

meliputi ketiga matra sains sebagaimana telah dikupas di atas, yaitu: (1) Sains sebagai

produk; Pembelajaran sains harus dilselenggarakan dengan tujuan agar peserta didik

memahami dan menguasai secara mendalam konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori

yang essensial sebagai dasar untuk dapat menguasai produk-produk sains yang lebih

kompleks. (2) Sains sebagai proses; Pembelajaran sains  juga harus beorientasi pada tujuan

untuk mengantarkan peserta didik kepada penguasaan keterampilan proses sains, baik

keterampilan proses dasar, maupun keterampilan proses terintegrasi. (3) Sains sebagai

pembentukan dan pengembangan sikap ilmiah; Pembelajaran sains juga harus terarah pada

tujuan agar bertumbuh dan berkembangnya sikap ilmiah pada diri peserta didik.

10

C. Sikap Ilmiah

a. Rasa Ingin Tahu tentang GeJala Alam

 

Sains berawal dari keinginan dan kebutuhan manusia yang mendorongnya untuk

mencari jawaban rasional terhadap sejumlah pertanyaan yang memenuhi benak mereka.

Misalnya, para pendaki gunung melakukan pendakian sejumlah gunung di berbagai tempat

karena mereka ingin tahu, anak kecil asik bermain pasir di pantai dan mereka menemukan

tekstur, warna, ukuran, rasa dari pasir karena hamparan pasir yang dilihatnya menggugah rasa

ingin tahu mereka, seorang ilmuwan mempelajari alam karena ia ingin tahu dan senang

melakukannya. Jadi, mereka melakukan aktivitas itu semua didasari motivasi yang sama yaitu

rasa ingin tahu (curiousity) yang mendorong mereka melakukan penyeledikan untuk

mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang ingin diketahui jawaban rasionalnya. Tanpa

adanya sikap ini, penemuan dan penyelidikan ilmiah (scientific inquiry) tidak akan pernah

ada.

Para ilmuwan dalam melakukan penyelidikan seringkali tidak menyadari akan manfaat

yang dihasilkan dari penemuannya serta tidak pernah puas dengan pengetahuan baru yang

ditemukannya. Bagi mereka, terpenuhinya rasa ingin tahu merupakan kebahagiaan dan

penghargaan (reward) yang tak ternilai bagi dirinya.

 

b. Rendah Hati dan Skeptis

Ilmuwan, karena ketidak-pernah-puasnya untuk mengetahui, menjadikannya belajar terus

menerus: bebas untuk mencari tahu, bebas mewujudkan rasa ingin tahunya, dan bebas

melakukan inkuiri. Ada semangat untuk mencari tahu, sehingga penyelidikan demi

penyeledikan terus dilakukan. Makin banyak yang diketahui dan ditemukannya, makin

merasa sedikit pengetahuannya. Hal ini merupakan gambaran dari sikap ilmiah lainnya, yaitu

rendah hati (humality) dan skeptis (skepticism).

11

Rendah hati merupakan sifat yang bebas dari rasa bangga dan arogan. Rasa bangga dan

arogan akan membawa seseorang pada sifat cepat puas, paling tahu, dan paling benar

sehingga akan menghentikan upaya mencari tahu lebih banyak dan lebih luas lagi. Rendah

hati merupakan sifat yang memperlihatkan bahwa apa yang telah diketahuinya belum

seberapa dibandingkan dengan luasnya pengetahuan yang belum diketahui/ditemukan. Hal ini

menjadikan para ilmuwan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan wawasannya

melalui penyelidikan. 

 

Skeptis adalah sikap ragu terhadap sesuatu gagasan atau penemuan tertentu. Sekeptis juga

merupakan suatu sikap yang vital bagi seorang ilmuwan, karena keraguan akan mendorong

seorang ilmuwan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Skeptisme menjadikan seorang

ilmuwan tidak mau terjebak pada pemikiran-pemikiran statis seolah tidak ada gagasan

alternatif lain; atau jika alternatif itu muncul ia mencoba untuk mengevaluasinya secara

objektif.  Authorianisme adalah musuh dari skeptisme dan merupakan anti-ilmiah (anti-

scientific). Sikap menonjolkan keilmuan, memastikan kebenaran, dan berpendirian keras

bukanlah sikap ilmiah karena akan menutup pikiran kita dari informasi baru. Sebaliknya,

seorang ilmuwan tidak mudah tertipu, mudah jatuh, dan mudah meyakini informasi atau

gagasan baru.

c. Suatu Pendekatan Positif  terhadap Kegagalan

Seorang manusia cenderung menjadi kecil hati, khususnya apabila hasil kerja yang

dicapai menunjukkan sedikit kemajuan atau gagal menyelesaikan suatu masalah ketika

menjelang batas akhir suatu kegiatan/pekerjaan. Para ilmuwan mencoba untuk menangani

masalah ini dengan mengadopsi suatu pendekatan yang realistik dalam pekerjaannya. Mereka

memandang upaya-upaya mereka sebagai suatu aktivitas kontinum tanpa batas akhir. Hal

penting yang mereka berikan adalah bahwa dalam bekerja mereka melihat hasil kerja sebagai

suatu yang belum sempurna. Oleh karena itu, mereka bekerja secara berkelanjutan, apa yang

didapat sekarang menimbulkan tantangan baru untuk dipelajari, sehingga kelak mereka akan

lebih tahu tentang subjek yang dipelajari setelah mereka bekerja secara terus menerus.

“Kegagalan” dalam memecahkan suatu masalah tidak berarti gagal segalanya dan tidak

berarti berhenti sampai di situ. Semua pengetahuan yang diperoleh termasuk pengetahuan

tentang kegagalan memiliki nilai. Kegagalan bagi seorang ilmuwan harus dipandang sebagai

satu tahap dari serangkaian kegiatan penelitian panjang yang akan dijalaninya, sehingga jika

sebuah penelitian menunjukkan kegagalan maka seorang ilmuwan akan berkata “… ini bukan

12

jawaban benar yang saya cari, tetapi paling tidak saat ini saya sudah tahu bahwa ini bukan

jawaban dan saya harus mencari jalan lain untuk memperoleh cara penyelesaian masalah ini”.

Artinya, kegagalan sebenarnya merupakan salah satu bentuk kesuksesan, karena dari

kegagalan itu kita menjadi tahu salah satu jawaban yang tidak benar, dan kegagalan

merupakan informasi tambahan dari segudang informasi ilmiah yang dibutuhkan.

 

Satu contoh sukses besar dari sejumlah kegagalan dapat diamati dari kerja ilmiah yang

dilakukan Dr. Paul Ehrlich, salah seorang penerima hadiah Nobel pada tahun 1908 dalam

bidang obat-obatan (medicine) dan fisiologi. Beliau telah mengembangkan Salvarsan untuk

pengobatan syphilis setelah sebanyak 605 percobaan yang dilakukannya mengalami

kegagalan, dan pada percobaan ke-606 baru berhasil. Oleh karena itu, Salvarsan disebut

“606” oleh Dr. Paul Erlich, karena formula tersebut ditemukannya pada urutan percobaan ke-

606 dari serangkaian percobaan yang telah dilakukannya. Sebanyak 605 “kegagalan”

percobaan yang dilakuan oleh Dr. Paul Ehrlich tetap memberikan kontribusi positif terhadap

penelitian-penelitian bidang medis, karena dari percobaan-percobaannya itu telah dapat

dikembangkan sebanyak 606 formula.

Kegagalan mendorong para ilmuwan untuk mengetahui apa kesalahan yang telah

dilakukannya dan berusaha menghindari agar kekeliruan tersebut tidak terulang, serta mencari

arah baru dalam penelitiannya. Sikap yang memandang positif sebuah kegagalan itu sangat

penting agar kita tidak terjerembab pada kesalahan yang sama secara berulang.

 

d. Objektif

Seorang ilmuwan harus manjaga agar dalam melakukan penelitian tidak bias, dan

berusaha keras untuk objektif dalam setiap langkah penelitiannya untuk menemukan sejumlah

kebenaran tentang alam. Seorang individu yang tidak ilmiah atau tidak objektif ditandai

dengan suka memilih-milih atau memutar balikan data untuk menutupi

penyimpangan/biasnya. Anda mungkin memiliki pengalaman berhadapan dengan orang yang

melakukan hal ini yang dapat Anda simak dari ungkapan orang tesebut ketika

berargumentasi. Sebaliknya, seorang yang ilmiah atau objektif memiliki pemikiran terbuka

(open mind) dengan senantiasa mempertimbangkan  data yang bertentangan dengan

keyakinannya, berlandasakan pada keputusan atas bukti-bukti yang didapatnya, tidak

13

melebih-lebihkan di luar fakta-fakta yang ada, dan menangguhkan penimbangan hingga ia

memperoleh data yang memadai.

Menjadi seorang yang objektif tentu saja merupakan beban yang relatif sulit, tetapi sikap

ini harus melekat erat dalam diri seorang ilmuwan. Tentu saja dari sekian banyak ilmuwan,

masih ada sejumlah ilmuwan yang kurang objektif. Oleh karena itu, prosedur-prosedur

pengamatan dan eksperimen serta metode-metode dari penelitian ilmiah yang telah dilaporkan

berkembang dengan melibatkan waktu berabad-abad lamanya.

Berikut ini adalah dua pertanyaan yang dapat digunakan sebagai penuntun bagi seorang

ilmuwan agar terjamin objektivitasnya, yaitu :

1.    Seberapa tahu apa yang Anda ketahui? (Periksa validitas dari pengamatan)

2.    Seberapa baik Anda mengetahui hal tersebut? (Periksa validitas dari pernyataan)

Untuk menerapkan dua pertanyaan ini secara konsisten, para ilmuwan mencoba untuk

meminimalkan kesalahan-kesalahannya dalam membuat pengamatannya dan dalam

pencatatan datanya. Mereka tahu bahwa datanya bisa direplikasi oleh siapapun yang

mengulang pekerjaannya di bawah kondisi yang sama, hal ini tidak menjadi pertimbangan

sejauh dapat dipercaya secara ilmiah. Kenyataan bahwa hasil-hasil penelitian ilmiah harus

dilaporkan sehingga dapat direplikasi oleh para peneliti lain.

Hal ini membuat ilmuwan  lebih berhati-hati dalam menjaga akurasi datanya melalui

pengamatan dan pengujian data secara cermat. Pengamatan dan pengujian  data hasil

ekperimen secara cermat adalah suatu usaha menjaga akurasi data dan merupakan landasan

dari sains. Keinginan untuk memperoleh ketepatan dalam mengamati dan mencatat data telah

meningkatkan perkembangan alat-alat saintifik (scientific instrument) secara cepat sehingga

menjadi lebih canggih. Dalam banyak eksperimen ilmiah, para ilmuwan tidak lagi terlalu

menyandarkan diri pada perasaan  dan pengamatan indrawi untuk menperoleh data secara

akurat, tetapi dibantu oleh alat-alat canggih seperti fotografi, komputer, dan data prosesor.

Sikap-sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, rendah hati, skeptis, berpikir terbuka,

menghindari dogmatisme, pendekatan positif terhadap kegagalan merupakan aturan yang

dipedomani oleh ilmuwan dalam melakukan penyelidikan. Sikap ilmiah ini harus

dimanifestasikan oleh ilmuwan saat melaksanakan penyelidikannya. Derajat seberapa erat

sikap ilmiah ini melekat pada seorang ilmuwan akan menentukan seberapa baik ia akan dapat

melakukan penyeledikan ilmiahnya yang akan bermuara pada kualitas hasil penyeledikannya.

 

14

D. Inkuiri  dan Proses Ilmiah

Inkuiri ilmiah dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai usaha mecari kebenaran atau

pengetahuan (knowledge). Aktivitas dalam inkuiri ilmiah meliputi mengidentifikasi dan

merumuskan masalah, merumuskan hipotesis atau jawaban sementara yang bersifat rasional

atas masalah tersebut, dan merancang serta melakukan penyelidikan/penelitian untuk menguji

hipotesis yang diajukan. Kunci dari inkuiri ilmiah adalah pada pengajuan masalah atau

pertanyaan-pertanyaan yang berarti atau memiliki nilai (significan) tentang objek atau

fenomena tertentu. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya rasa ingin tahu yang

kemudian mendorong dilakukannya proses inkuiri ilmiah untuk mencari jawaban secara

rasional dan teruji secara empiris.

Sebagai ilmuwan yang sedang melakukan inkuiri ilmiah, prilaku mereka dalam

melakukan aktivitas inkuirinya diarahkan oleh sikap-sikap ilmiah sebagaimana telah

dikemukakan di atas. Mereka juga menggunakan metode-metode tertentu yang sering disebut 

proses sains. Terkait dengan kegiatan pembelajaran sains, Funk et al.membagi proses sains

menjadi 16 proses sains yang selanjutnya disebut keterampilan proses sains dan dibagi ke

dalam dua kelompok, yaitu keterampilan proses sains dasar dan keterampilan proses

terintegrasi. Penguasaan keterampilan proses sains dasar merupakan prasyarat dalam

menguasai keterampilan proses sains terintegrasi. Keterampilan proses sains terintegrasi

merupakan keterampilan-keterampilan proses sains yang membentuk kecakapan dalam

memecahkan berbagai masalah.

15

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

• Pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah.

Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga

merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala

alam.

• pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya

lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan

guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting

• pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil

belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan

keberhasilannya dalam berbagai bentuk.

• Pendidikan MIPA sangat berperan dalam kehidupan kita sehari hari, baik itu dalam bidang

tekhnologi maupun pada bidang yang lainnya

B. Saran

1. Sikap ilmiah harus sudah mulai ditanamkan sejak awal sekolah. Kalau Sejak awal siswa

sudah terbiasa “disuapi” dengan produk sains, maka sampai perguruan tinggi pun akan

lebih merasa senang apabila terus disuapi. Tugas dosen pertama-tama harus meniadakan

sikap yang tidak kondusif ini, kalau perlu dengan paksaan.

2. Penilaian atas belajar perlu lebih memerhatikan pada kegiatan yang dilakukan daripada

hasil yang dicapai. Kegagalan siswa dalam melakukan suatu percobaan sains jangan lalu

16

diartikan bahwa siswa tidak berhasil dalam belajarnya. Justru kegagalan merupakan bukti

keberhasilan, yaitu bahwa kegagalan itu menunjukkan bukan merupakan suatu prosedur

yang benar, dan informasi tentang kegagalan ini akan merupakan tambahan informasi

ilmiah.

3. Adanya perbedaan kemampuan dan minat diantara para siswa, sehingga tidak tepat bila

pendidikan diregimentasikan dengan derap langkah yang seragam mengikuti suatu

komando. Guru harus mampu dan diberi peluang serta kemungkinan untuk mengelola

tugas belajar yang berbeda.

4. Tersedianya sarana dan anggaran yang cukup untuk terlaksananya berbagai metode

ilmiah. Penerapan berbagai metode ini akan memberikan kontribusi yang sangat berarti

bagi tumbuh dan berkembangnya sikap ilmiah.

5. Perkembangan “body of knowledge” yang begitu pesat dan banyak, maka tidak mungkin

seseorang menguasainya. Oleh karena itu tujuan belajar seharusnya diarahkan pada

kemampuan belajar untuk belajar (learning to  learn).

17

DAFTAR PUSTAKA

Conny Semiawan, dkk., 1988, Pendekatan keterampilan proses, Gramedia:

Jakarta.

Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang

Press.

Universitas Negeri Makassar, 2007, Panduan Model Pembelajaran Efektif,

UNM: Makassar.

Nasution, S.. 1982. Teknologi Pendidikan, Jemmars: Bandung

Husaini Usman, 2008, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Bumi Aksara:

Jakarta

18