makalah basic science.docx
TRANSCRIPT
MAKALAH DASAR PENDIDIKAN
PEMBELAJARAN MIPA UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH
Disusun oleh :
Nama :1. DEWI PURWANI (ACB 110 131)
2. DHARMAWATI (ACB 110 132)
3. DEBY PRIADMA (ACB 110 134)
4.SUPARDI (ACB 110 128)
5. DONANG (ACB 110 144)
1
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuania-Nya yang
diberikan pada kita semua sehingga kita dapat menjalankan segala aktivitas sehari-hari.
Penyusunan naskah ini merupakan bentuk respon terhadap program kebijakan bidang
pendidikan, paling tidak kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peran guru dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga saatnya nanti segala yang dicita-citakan
bersama tercapai dimana guru mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan
melalui wujud kinerja yang tidak diragukan lagi. Itu semua akan terjadi manakala kita mau
belajar dan menganalisis berbagai unsur yang memiliki nilai pengaruh terhadap kinerja guru.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang telah memberikan dukungan sehingga naskah
ini terwujud.
Mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Palangkaraya, April 2012
penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
Abstrak...................................................................................................................1-2
Bab I
Pendahuluan
A. Penyelenggaraan Proses Pendidikan Sains Saat Ini…………………………………….3-4
Bab Ii
Pembahasan
A. Pengertian Sains………………………………………………………………………………………..5-6B. Tujuan Pembelajaran Sains…………………………………………………………………………6-7C. Sikap Ilmiah……………………………………………………………………………………………….8-11
D. Inkuiri dan Proses Ilmiah…………………………………………………….…12
Bab Iii
A. Kesimpulan..................................................................................................13B. Saran............................................................................................................13-14
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15
3
ABSTRAK
Kemampuan manusia menciptakan berbagai peralatan dan menemukan mesin telah
mengubah perilakunya. Tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, kita hanya bisa
mendengarkan radio sambil menyelesaikan pekerjaan atau melakukan aktivitas lainnya di
rumah. Saat ini, kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa di mancanegara, seperti
pertandingan sepak bola di belahan dunia lain, tanpa harus pergi dan berdesak-desakan di
stadion sepak bola. Kita bias menyaksikan pertandingan sepak bola sambil malakukan
berbagai aktivitas di depan pesawat TV.
Contoh lain adalah berkat kemajuan teknologi bidang pesawat ruang angkasa luar,
memungkinkan manusia bisa menginjakkan kakinya di bulan. Berkat kemajuan pengetahuan
manusia dalam bidang kimia nuklir yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teknologi
nuklir seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka kebutuhan manusia akan
kekurangan energi listrik dapat teratasi.
Sederetan perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana
diilustrasikan di atas, merupakan contoh kemajuan teknologi sebagai akibat perkembangan
sains. Namun tidak semua teknologi memberi kemaslahat bagi umat manusia. Wujud
teknologi nuklir seperti bom atom, justru dapat membahayakan kehidupan umat manusia.
Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa demikian besarnya pengaruh perkembangan
pengetahuan manusia tentang sains pada kehidupan manusia. Terkait dengan itu, barangkali
kita sependapat apabila dikatakan bahwa seluruh kehidupan manusia dipengaruhi oleh
perkembangan sains.
Sebenarnya dengan hanya menampilkan contoh seperti di atas mungkin belumlah
cukup untuk menunjukkan terjadinya perubahan kehidupan manusia sebagai akibat
perkembangan sains. Namun demikian, dengan mengamati dan mencermati apa yang terjadi
4
dalam kehidupan sekitar kita, seperti kemajuan teknologi computer, tentu kita akan semakin
meyakini akan hal tersebut.
Pendidikan harus mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki kompetensi
minimal yang dipersayaratkan untuk dapat hidup layak di era persaingan bebas.
Bagaimana pendidikan itu selayaknya diselenggarakan? Berkaca pada pengalaman
penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada isi (content) sebagaimana sudah kita lakukan
yang ternyata kurang berhasil, maka seyogyanya kita harus segera melakukan perubahan.
Perubahan yang dilakukan bukan hanya sebatas pada konsep tetapi perubahan yang
menyeluruh sehingga benar-benar menyentuh sampai pada teknis penyelenggaraan proses
pembelajaran di sekolah. Perubahan itu juga harus didasarkan pada studi yang mendalam
bukan sekedar mengadopsi, agar perubahan yang dilakukan sesuai dengan kondisi objektif di
lapangan serta karakteristik sekolah dan masyarakat Indonesia.
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penyelenggaraan Proses Pendidikan Sains Saat Ini
Era globalisasi merupakan era informasi. Era globalisasi ditandai dengan perubahan
yang sangat cepat dan tidak dapat diramalkan serta terbukanya peluang kompetisi antar
manusia. Perubahan yang terjadi dan terbukanya peluang berkompetisi merupakan peluang
dan tantangan bagi mereka yang memiliki daya saing dan penuh prakarsa, tetapi akan menjadi
malapetaka bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi yang dipersyaratkan.
Dalam rangka mempersiapkan putra-putri kita memasuki era globalisasi, pendidikan
memegang peranan yang sangat strategis. Melalui praktik pendidikan yang tepat, kita dapat
membekali dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang dipersayaratkan kepada putra-
putri (baca: anak didik) kita sehingga mampu berkompetisi dan dapat hidup secara layak.
Namun, bagaimana penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah-sekolah kita
dewasa ini dibandingkan dengan perkembangan masyarakat pada era global ? Jika kita telaah
secara seksama, paling tidak ada lima hal yang menunjukkan ketidak sesuaian antara proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat global, yaitu :
1. Sekolah masih menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik,
sementara pada masyarakat global setiap individu dituntut untuk dapat menyelesaikan
masalah yang bersifat spesifik.
2. Sekolah menuntut setiap siswa untuk mastery matery, sementara di masyarakat setiap
individu dituntut untuk sharing jobs and responsibility.
6
3. Proses pembelajaran di sekolah kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat-alat
pikirnya (tool-lessthought), sementara di masyarakat dituntut untuk mempu mengunakan
peralatan kognitif (cognitive tools) secara optimal.
4. Proses pembelajaran di sekolah lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik
(symbolic thinking), sementara di masyarakat dituntut untuk terlibat secara langsung (direct
involved).
5. Di sekolah anak didik bertindak sebagai penerima informasi yang fasif dan guru bertindak
sebagai satu-satunya sumber informasi, sementara masyarakat di era global menuntut
kemampuan mencari, memilih dan memilah informasi ( searching of information).
6. Evaluasi belajar sains masih menekankan pada produk sains, sementara dalam
pengembangan sains danteknologi di masyarakat menuntut penguasaan keterampilan proses
sains dan sikap ilmiah.
Jika proses penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di sekolah tidak dapat
menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada akhirnya sekolah/
pendidikan tidak akan mampu mengantarkan para peserta didiknnya untuk dapat hidup dalam
masyarakat tetapi justru sebaliknya akan menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya.
Oleh karena itu, proses penyelenggaraan pendidikan harus melakukan perubahan secara terus
menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah orientasi tujuan
pembelajaran yang semula berorientasi pada isi (content), saat ini dan kedepan seyogyanya
berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup (life skills). Upaya ini dapat berjalan
dengan baik apabila semua komponen pelaksana pendidikan dan jajaran birokrat pendidikan
serta stakeholder berupaya untuk memahami dan memiliki komitmen terhadap pembangunan
pendidikan serta memberi kontribusi positif terhadap penyelenggaraan proses pendidikan
yang berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup (life skills) dalam masyarakat yang
cenderung berubah.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sains
Mendefinisikan sesuatu yang kompleks seperti halnya sains dalam satu kalimat
pendek, sederhana, dan berlaku universal sangatlah sulit, namun beberapa ahli telah
mencobanya. Definisi sains yang merefleksikan pendekatan yang diterima secara umum
dalam pendidikan sains saat ini adalah : “sains merupakan suatu pembelajaran yang
terakumulasi dan sistimatik tentang fenomena alam. Kemajuan sains ditandai bukan hanya
oleh suatu akumulasi fakta, tetapi oleh berkembangnya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Jadi
sains merupakan proses belajar yang dilakukan manusia untuk mempelajari fenomena-
fenomena alam sehingga menghasilkan sekumpulan fakta yang menuntun pada penemuan
berbagai konsep, prinsip, generalisasi, teori, dan hukum tentang alam sebagai wujud dari
produk sains. Pengumpulan fakta dilakukan melalui proses yaitu metode ilmiah dan sikap
ilmiah yang memungkinkan keduanya berkembang seiring dengan perkembangan
pemahaman manusia tentang alam.
James B. Conant, seorang ilmuwan bekebangsaan Amerika mendefinisikan sains
sebagai : “… adalah serangkaian skema konsep-konsep dan konseptual yang telah
dikembangkan sebagai suatu hasil eksperimen dan pengamatan yang mendorong
dilakukannya eksperimen dan pengamatan lebih lanjut. Seperti halnya definisi pertama,
definisi kedua pun menekankan bukan hanya pada produk sains tetapi juga pada proses sains
yaitu eksperimen dan pengamatan sebagai suatu bentuk metode ilmiah yang juga di dalamnya
terkandung sikap ilmiah. Produk sains yang telah ditemukan mendorong untuk dilakukan
8
eksperimen dan pengamatan lebih lanjut sehingga memungkingkan berkembangnya metode
ilmiah, sikap ilmiah, dan produk sains itu sendiri.
Istilah proses atau metode, pengamatan (observasi), dan sistematik yang digunakan
dalam difinisi sains menunjukkan adanya sifat dinamik dari sains baik dalam prinsip maupun
praktik. Implikasi yang penting dari definisi sains ini adalah: (1) Sains merupakan hasil dari
aktivitas manusia melalui proses sistematik yang disebut metode ilmiah yang didasari oleh
sikap ilmiah; (2) Sains memiliki otoritas yaitu observasi. Oleh karena itu, sains memiliki
keterbatasan, segala yang ada di luar jangkauan indra manusia sebagai alat observasi berada
di luar batas sains.
Berdasarkan kajian terhadap dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sains pada
hakikatnya meliputi tiga unsur, yaitu:
1. Sikap : Keyakinan, nilai, pendapat, dan aspek afeksi lainnya yang melekat pada
diri individu yang aktualisasinya ditunjukkan oleh caranya dalam berpikir, bersikap,
dan bertindak.. Misalnya tidak tergesa-gesa menyimpulkan tanpa didukung oleh data
yang cukup dalam memecahkan masalah.
2. Proses atau metode : Proses penyeledikan yang dilakukan untuk memecahkan
masalah. Misalnya merumuskan hipotesis, merancang dan melakukan eksperimen,
mengevaluasi data, mengukur dan lain sebagainya.
3. Produk : Fakta-fata, prinsip-prinsip, hukum-hukum, teori-teori, dan lain sebagainya
sebagai kesimpulan dari serangkaian hasil proses ilmiah. Misalnya prinsip ilmiah :
Logam akan memuai jika dipanaskan. \
B. Tujuan Pembelajaran Sains
Setelah kita mengupas tentang hakikat sains sebagaimana dipaparkan di atas, maka
jelaslah bahwa sains tidak terbatas hanya pada pengertian sains sebagai produk, melainkan
sains juga berkaitan dengan proses dan sikap ilmiah. Sains berkembang karena ditunjang oleh
kemajuan para ilmuwan dalam melakukan proses-proses sains serta komitmennya untuk
senantiasa mengedepankan sikap ilmiah dalam menyelesaikan tugas-tugas ilmiahnya.
Kaitannya dengan proses pembelajaran sains, maka barangkali kita sependapat bahwa
pembelajaran sains yang hanya berorientasi pada sains sebagai produk adalah sebuah
kekeliruan. Pembelajaran sains dengan kurikulum sains yang berbasis pada isi (content) yang
menekankan pada penguasaan berbagai konsep, prinsip, dan teori tentang sains tanpa
9
didukung oleh pengembangan keterampilan proses sains dan sikap ilmiah, akan menyebabkan
penguasaan peserta didik terhadap sains menjadi dangkal. Selain itu, pembelajran sains
demikian, tidak akan mampu melahirkan sosok ilmuwan masa depan yang tangguh. Sosok
ilmuwan yang memiliki bekal pengetahuan, keterampilan proses, dan sikap ilmiah yang
memadai. Pembelajaran sains yang demikian, pada gilirannya akan menyebabkan
perkembangan sains akan mengalami kemandekan (stagnant). Meskipun pendidikan sains
tidak bermaksud untuk melahirkan ilmuwan, tetapi akan lebih baik hasilnya apabila sains
diajarkan sesuai dengan hakikat sains itu sendiri.
Mencermati hal tersebut, maka selayaknya kita perlu secara arif melakukan reorientasi
tujuan pembelajaran sains selaras dengan hakikat sains itu sendiri. Kesadaran dan keyakinan
kita akan hakikat sains harus menjadi dasar pijakan dalam menyelenggarankan pembelajaran
sains. Selaras dengan hakikat sains, maka tujuan pembelajaran sains harus secara terintegrasi
meliputi ketiga matra sains sebagaimana telah dikupas di atas, yaitu: (1) Sains sebagai
produk; Pembelajaran sains harus dilselenggarakan dengan tujuan agar peserta didik
memahami dan menguasai secara mendalam konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori
yang essensial sebagai dasar untuk dapat menguasai produk-produk sains yang lebih
kompleks. (2) Sains sebagai proses; Pembelajaran sains juga harus beorientasi pada tujuan
untuk mengantarkan peserta didik kepada penguasaan keterampilan proses sains, baik
keterampilan proses dasar, maupun keterampilan proses terintegrasi. (3) Sains sebagai
pembentukan dan pengembangan sikap ilmiah; Pembelajaran sains juga harus terarah pada
tujuan agar bertumbuh dan berkembangnya sikap ilmiah pada diri peserta didik.
10
C. Sikap Ilmiah
a. Rasa Ingin Tahu tentang GeJala Alam
Sains berawal dari keinginan dan kebutuhan manusia yang mendorongnya untuk
mencari jawaban rasional terhadap sejumlah pertanyaan yang memenuhi benak mereka.
Misalnya, para pendaki gunung melakukan pendakian sejumlah gunung di berbagai tempat
karena mereka ingin tahu, anak kecil asik bermain pasir di pantai dan mereka menemukan
tekstur, warna, ukuran, rasa dari pasir karena hamparan pasir yang dilihatnya menggugah rasa
ingin tahu mereka, seorang ilmuwan mempelajari alam karena ia ingin tahu dan senang
melakukannya. Jadi, mereka melakukan aktivitas itu semua didasari motivasi yang sama yaitu
rasa ingin tahu (curiousity) yang mendorong mereka melakukan penyeledikan untuk
mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang ingin diketahui jawaban rasionalnya. Tanpa
adanya sikap ini, penemuan dan penyelidikan ilmiah (scientific inquiry) tidak akan pernah
ada.
Para ilmuwan dalam melakukan penyelidikan seringkali tidak menyadari akan manfaat
yang dihasilkan dari penemuannya serta tidak pernah puas dengan pengetahuan baru yang
ditemukannya. Bagi mereka, terpenuhinya rasa ingin tahu merupakan kebahagiaan dan
penghargaan (reward) yang tak ternilai bagi dirinya.
b. Rendah Hati dan Skeptis
Ilmuwan, karena ketidak-pernah-puasnya untuk mengetahui, menjadikannya belajar terus
menerus: bebas untuk mencari tahu, bebas mewujudkan rasa ingin tahunya, dan bebas
melakukan inkuiri. Ada semangat untuk mencari tahu, sehingga penyelidikan demi
penyeledikan terus dilakukan. Makin banyak yang diketahui dan ditemukannya, makin
merasa sedikit pengetahuannya. Hal ini merupakan gambaran dari sikap ilmiah lainnya, yaitu
rendah hati (humality) dan skeptis (skepticism).
11
Rendah hati merupakan sifat yang bebas dari rasa bangga dan arogan. Rasa bangga dan
arogan akan membawa seseorang pada sifat cepat puas, paling tahu, dan paling benar
sehingga akan menghentikan upaya mencari tahu lebih banyak dan lebih luas lagi. Rendah
hati merupakan sifat yang memperlihatkan bahwa apa yang telah diketahuinya belum
seberapa dibandingkan dengan luasnya pengetahuan yang belum diketahui/ditemukan. Hal ini
menjadikan para ilmuwan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan wawasannya
melalui penyelidikan.
Skeptis adalah sikap ragu terhadap sesuatu gagasan atau penemuan tertentu. Sekeptis juga
merupakan suatu sikap yang vital bagi seorang ilmuwan, karena keraguan akan mendorong
seorang ilmuwan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Skeptisme menjadikan seorang
ilmuwan tidak mau terjebak pada pemikiran-pemikiran statis seolah tidak ada gagasan
alternatif lain; atau jika alternatif itu muncul ia mencoba untuk mengevaluasinya secara
objektif. Authorianisme adalah musuh dari skeptisme dan merupakan anti-ilmiah (anti-
scientific). Sikap menonjolkan keilmuan, memastikan kebenaran, dan berpendirian keras
bukanlah sikap ilmiah karena akan menutup pikiran kita dari informasi baru. Sebaliknya,
seorang ilmuwan tidak mudah tertipu, mudah jatuh, dan mudah meyakini informasi atau
gagasan baru.
c. Suatu Pendekatan Positif terhadap Kegagalan
Seorang manusia cenderung menjadi kecil hati, khususnya apabila hasil kerja yang
dicapai menunjukkan sedikit kemajuan atau gagal menyelesaikan suatu masalah ketika
menjelang batas akhir suatu kegiatan/pekerjaan. Para ilmuwan mencoba untuk menangani
masalah ini dengan mengadopsi suatu pendekatan yang realistik dalam pekerjaannya. Mereka
memandang upaya-upaya mereka sebagai suatu aktivitas kontinum tanpa batas akhir. Hal
penting yang mereka berikan adalah bahwa dalam bekerja mereka melihat hasil kerja sebagai
suatu yang belum sempurna. Oleh karena itu, mereka bekerja secara berkelanjutan, apa yang
didapat sekarang menimbulkan tantangan baru untuk dipelajari, sehingga kelak mereka akan
lebih tahu tentang subjek yang dipelajari setelah mereka bekerja secara terus menerus.
“Kegagalan” dalam memecahkan suatu masalah tidak berarti gagal segalanya dan tidak
berarti berhenti sampai di situ. Semua pengetahuan yang diperoleh termasuk pengetahuan
tentang kegagalan memiliki nilai. Kegagalan bagi seorang ilmuwan harus dipandang sebagai
satu tahap dari serangkaian kegiatan penelitian panjang yang akan dijalaninya, sehingga jika
sebuah penelitian menunjukkan kegagalan maka seorang ilmuwan akan berkata “… ini bukan
12
jawaban benar yang saya cari, tetapi paling tidak saat ini saya sudah tahu bahwa ini bukan
jawaban dan saya harus mencari jalan lain untuk memperoleh cara penyelesaian masalah ini”.
Artinya, kegagalan sebenarnya merupakan salah satu bentuk kesuksesan, karena dari
kegagalan itu kita menjadi tahu salah satu jawaban yang tidak benar, dan kegagalan
merupakan informasi tambahan dari segudang informasi ilmiah yang dibutuhkan.
Satu contoh sukses besar dari sejumlah kegagalan dapat diamati dari kerja ilmiah yang
dilakukan Dr. Paul Ehrlich, salah seorang penerima hadiah Nobel pada tahun 1908 dalam
bidang obat-obatan (medicine) dan fisiologi. Beliau telah mengembangkan Salvarsan untuk
pengobatan syphilis setelah sebanyak 605 percobaan yang dilakukannya mengalami
kegagalan, dan pada percobaan ke-606 baru berhasil. Oleh karena itu, Salvarsan disebut
“606” oleh Dr. Paul Erlich, karena formula tersebut ditemukannya pada urutan percobaan ke-
606 dari serangkaian percobaan yang telah dilakukannya. Sebanyak 605 “kegagalan”
percobaan yang dilakuan oleh Dr. Paul Ehrlich tetap memberikan kontribusi positif terhadap
penelitian-penelitian bidang medis, karena dari percobaan-percobaannya itu telah dapat
dikembangkan sebanyak 606 formula.
Kegagalan mendorong para ilmuwan untuk mengetahui apa kesalahan yang telah
dilakukannya dan berusaha menghindari agar kekeliruan tersebut tidak terulang, serta mencari
arah baru dalam penelitiannya. Sikap yang memandang positif sebuah kegagalan itu sangat
penting agar kita tidak terjerembab pada kesalahan yang sama secara berulang.
d. Objektif
Seorang ilmuwan harus manjaga agar dalam melakukan penelitian tidak bias, dan
berusaha keras untuk objektif dalam setiap langkah penelitiannya untuk menemukan sejumlah
kebenaran tentang alam. Seorang individu yang tidak ilmiah atau tidak objektif ditandai
dengan suka memilih-milih atau memutar balikan data untuk menutupi
penyimpangan/biasnya. Anda mungkin memiliki pengalaman berhadapan dengan orang yang
melakukan hal ini yang dapat Anda simak dari ungkapan orang tesebut ketika
berargumentasi. Sebaliknya, seorang yang ilmiah atau objektif memiliki pemikiran terbuka
(open mind) dengan senantiasa mempertimbangkan data yang bertentangan dengan
keyakinannya, berlandasakan pada keputusan atas bukti-bukti yang didapatnya, tidak
13
melebih-lebihkan di luar fakta-fakta yang ada, dan menangguhkan penimbangan hingga ia
memperoleh data yang memadai.
Menjadi seorang yang objektif tentu saja merupakan beban yang relatif sulit, tetapi sikap
ini harus melekat erat dalam diri seorang ilmuwan. Tentu saja dari sekian banyak ilmuwan,
masih ada sejumlah ilmuwan yang kurang objektif. Oleh karena itu, prosedur-prosedur
pengamatan dan eksperimen serta metode-metode dari penelitian ilmiah yang telah dilaporkan
berkembang dengan melibatkan waktu berabad-abad lamanya.
Berikut ini adalah dua pertanyaan yang dapat digunakan sebagai penuntun bagi seorang
ilmuwan agar terjamin objektivitasnya, yaitu :
1. Seberapa tahu apa yang Anda ketahui? (Periksa validitas dari pengamatan)
2. Seberapa baik Anda mengetahui hal tersebut? (Periksa validitas dari pernyataan)
Untuk menerapkan dua pertanyaan ini secara konsisten, para ilmuwan mencoba untuk
meminimalkan kesalahan-kesalahannya dalam membuat pengamatannya dan dalam
pencatatan datanya. Mereka tahu bahwa datanya bisa direplikasi oleh siapapun yang
mengulang pekerjaannya di bawah kondisi yang sama, hal ini tidak menjadi pertimbangan
sejauh dapat dipercaya secara ilmiah. Kenyataan bahwa hasil-hasil penelitian ilmiah harus
dilaporkan sehingga dapat direplikasi oleh para peneliti lain.
Hal ini membuat ilmuwan lebih berhati-hati dalam menjaga akurasi datanya melalui
pengamatan dan pengujian data secara cermat. Pengamatan dan pengujian data hasil
ekperimen secara cermat adalah suatu usaha menjaga akurasi data dan merupakan landasan
dari sains. Keinginan untuk memperoleh ketepatan dalam mengamati dan mencatat data telah
meningkatkan perkembangan alat-alat saintifik (scientific instrument) secara cepat sehingga
menjadi lebih canggih. Dalam banyak eksperimen ilmiah, para ilmuwan tidak lagi terlalu
menyandarkan diri pada perasaan dan pengamatan indrawi untuk menperoleh data secara
akurat, tetapi dibantu oleh alat-alat canggih seperti fotografi, komputer, dan data prosesor.
Sikap-sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, rendah hati, skeptis, berpikir terbuka,
menghindari dogmatisme, pendekatan positif terhadap kegagalan merupakan aturan yang
dipedomani oleh ilmuwan dalam melakukan penyelidikan. Sikap ilmiah ini harus
dimanifestasikan oleh ilmuwan saat melaksanakan penyelidikannya. Derajat seberapa erat
sikap ilmiah ini melekat pada seorang ilmuwan akan menentukan seberapa baik ia akan dapat
melakukan penyeledikan ilmiahnya yang akan bermuara pada kualitas hasil penyeledikannya.
14
D. Inkuiri dan Proses Ilmiah
Inkuiri ilmiah dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai usaha mecari kebenaran atau
pengetahuan (knowledge). Aktivitas dalam inkuiri ilmiah meliputi mengidentifikasi dan
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis atau jawaban sementara yang bersifat rasional
atas masalah tersebut, dan merancang serta melakukan penyelidikan/penelitian untuk menguji
hipotesis yang diajukan. Kunci dari inkuiri ilmiah adalah pada pengajuan masalah atau
pertanyaan-pertanyaan yang berarti atau memiliki nilai (significan) tentang objek atau
fenomena tertentu. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya rasa ingin tahu yang
kemudian mendorong dilakukannya proses inkuiri ilmiah untuk mencari jawaban secara
rasional dan teruji secara empiris.
Sebagai ilmuwan yang sedang melakukan inkuiri ilmiah, prilaku mereka dalam
melakukan aktivitas inkuirinya diarahkan oleh sikap-sikap ilmiah sebagaimana telah
dikemukakan di atas. Mereka juga menggunakan metode-metode tertentu yang sering disebut
proses sains. Terkait dengan kegiatan pembelajaran sains, Funk et al.membagi proses sains
menjadi 16 proses sains yang selanjutnya disebut keterampilan proses sains dan dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu keterampilan proses sains dasar dan keterampilan proses
terintegrasi. Penguasaan keterampilan proses sains dasar merupakan prasyarat dalam
menguasai keterampilan proses sains terintegrasi. Keterampilan proses sains terintegrasi
merupakan keterampilan-keterampilan proses sains yang membentuk kecakapan dalam
memecahkan berbagai masalah.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah.
Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga
merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala
alam.
• pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya
lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan
guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
• pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil
belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan
keberhasilannya dalam berbagai bentuk.
• Pendidikan MIPA sangat berperan dalam kehidupan kita sehari hari, baik itu dalam bidang
tekhnologi maupun pada bidang yang lainnya
B. Saran
1. Sikap ilmiah harus sudah mulai ditanamkan sejak awal sekolah. Kalau Sejak awal siswa
sudah terbiasa “disuapi” dengan produk sains, maka sampai perguruan tinggi pun akan
lebih merasa senang apabila terus disuapi. Tugas dosen pertama-tama harus meniadakan
sikap yang tidak kondusif ini, kalau perlu dengan paksaan.
2. Penilaian atas belajar perlu lebih memerhatikan pada kegiatan yang dilakukan daripada
hasil yang dicapai. Kegagalan siswa dalam melakukan suatu percobaan sains jangan lalu
16
diartikan bahwa siswa tidak berhasil dalam belajarnya. Justru kegagalan merupakan bukti
keberhasilan, yaitu bahwa kegagalan itu menunjukkan bukan merupakan suatu prosedur
yang benar, dan informasi tentang kegagalan ini akan merupakan tambahan informasi
ilmiah.
3. Adanya perbedaan kemampuan dan minat diantara para siswa, sehingga tidak tepat bila
pendidikan diregimentasikan dengan derap langkah yang seragam mengikuti suatu
komando. Guru harus mampu dan diberi peluang serta kemungkinan untuk mengelola
tugas belajar yang berbeda.
4. Tersedianya sarana dan anggaran yang cukup untuk terlaksananya berbagai metode
ilmiah. Penerapan berbagai metode ini akan memberikan kontribusi yang sangat berarti
bagi tumbuh dan berkembangnya sikap ilmiah.
5. Perkembangan “body of knowledge” yang begitu pesat dan banyak, maka tidak mungkin
seseorang menguasainya. Oleh karena itu tujuan belajar seharusnya diarahkan pada
kemampuan belajar untuk belajar (learning to learn).
17
DAFTAR PUSTAKA
Conny Semiawan, dkk., 1988, Pendekatan keterampilan proses, Gramedia:
Jakarta.
Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang
Press.
Universitas Negeri Makassar, 2007, Panduan Model Pembelajaran Efektif,
UNM: Makassar.
Nasution, S.. 1982. Teknologi Pendidikan, Jemmars: Bandung
Husaini Usman, 2008, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Bumi Aksara:
Jakarta
18