makalah demam tifoid
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami telah diberi
kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini adalah mengenai
“Makalah Modul III Blok Gangguan Sistem Imun dan Penyakit Infeksi, Demam Tifoid”
Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan serta do`a dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidak lupa kami
menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Dosen Koordinator Blok
2. Dosen Tutor
3. Orangtua kami
4. Rekan-rekan Sejawat
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan jasa-jasa yang telah diberikan
kepada kami. Amien
Batam, 2 Desember 2012
Kelompok I
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
TUTORIAL SEVEN JUMPS MODUL III.......................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 6
a. Latar Belakang.......................................................................................... 6
b. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
c. Tujuan .................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 7
a. Definisi .................................................................................................. 6
b. Etiologi ................................................................................................. 8
c. Epidemiologi ........................................................................................... 8
d. Tanda dan Gejala .................................................................................... 9
e. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................................... 11
f. Penegakan Diagnosis .........................................……………….......... 13
g. Komplikasi ............................................................................................. 18
h. Penatalaksanaan ...................................................................................... 19
i. Prognosis ................................................................................................ 21
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 22
a. Kesimpulan............................................................................................. 22
b. Saran…………………............................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 24
2
LAPORAN DISKUSI PANEL ............................……………...............…... 25
3
Maya Jajan Sembarangan
Maya seorang perempuan 17 tahun. Datang berobat ke poliklinik penyakit
dalam diantar ibunya dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu disertai mual,
muntah, diare. Menurut maya demam nya meningkat menjelang sore dan malam hari
saja, maya mengaku sering jajan di pinggir jalan bersama temen-temennya. Hasil
pemeriksaan dokter didapatkan: kesadaran: compos mentis, tekanan darah 100/60
mmHg, temperature 37,8 oC, nadi 100 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, lidah kotor
dengan tepi hiperemis. Dokter menganjurkan agar maya dirawat dan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Bagaimana anda menjelaskan keadaan yang dialami oleh
maya?
Seven jump :
Kata sulit :
1. Compos mentis adalah kesadaran penuh, dapat berkomunikasi dengan orang
sekitar, GCS : 15
2. Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Apabila
frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang
lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung
dalam waktu kurang dari 2 minggu maka hal ini disebut diare akut (WHO)
Kata kunci :
1. Maya seorang perempuan 17 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam dengan
keluhan demam sejak 1 minggu disertai mual, muntah, diare.
2. Demam nya meningkat menjelang sore dan malam hari saja, maya mengaku
sering jajan di pinggir jalan bersama temen-temennya.
3. Hasil pemeriksaan didapatkan: kesadaran: compos mentis, tekanan darah 100/60
mmHg, temperature 37,8 oC, nadi 100 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, lidah
kotor dengan tepi hiperemis.
Kunci permasalahan :
Maya seorang perempuan 17 tahun mengalami keluhan demam yang meningkat
sore dan malam hari saja yang disertai mual, muntah, dan diare.
Analisis masalah :
4
1. Mengapa demamnya meningkat menjelang sore dan malam hari saja?
2. Bagaimana patofisiologi tentang diare, lidah kotor dengan tepi hiperemis dan
respirasi cepat?
3. Mengapa dokter menganjurkan maya harus dirawat inap?
Tujuan umum :
Agar Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang demam thyfoid.
Tujuan khusus :
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi demam
thyfoid.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang epidemiologi demam
thyfoid.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi demam
thyfoid.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang tanda dan gejala
demam thyfoid.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi demam
thyfoid.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penegakkan diagnosis
demam thyfoid.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaan
demam thyfoid.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang komplikasi demam
thyfoid.
9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis demam
thyfoid.
5
Demam thyfoid
Mind map :
6
Manifestasi klinis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjanganamnesis
definisi
etiologi
epidemiologi
komplikasi
prognosis
patosiologi
penatalaksanaanPenegakkan
diagnosis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid atau di kalangan masyarakat dikenal dengan Tipes merupakan suatu
penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Samonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi. Penularan atau penyebarannya melalui feco-oral (mulut) dari
makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri Salmonella Typhi / Paratyphi. Bisa
terjadi akibat pencucican tangan yang kurang bersih. Demam tifoid dapat ditemukan
pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar, umur 5- 9 tahun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan skenario di atas dapat di rumuskan masalah sebagai
berikut :
Apa definisi demam tifoid.
Apa penyebab demam tifoid.
Bagaimana mekanisme terjadinya demam tifoid.
Bagaimana penatalaksanaan demam tifoid.
C.Tujuan
Berdasarkan Rumusan masalah di atas dapat di tentukan tujuan sebagai berikut:
Untuk mengetahui apa pengertian demam tifoid
Untuk mengetahui apa penyebab demam tifoid
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya demam tifoid
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada demam tifoid
7
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
Demam typoid adalah infeksi yang disebabkan oleh salmonella thypi
atau salmonella parathyphi A, B dan C. penyakit ini mempunyai tanda yang
khas berupa penjalaran yang cepat berlangsung kurang lebih 3 minggu
disertai demam, taksosnia, pembesaran limpa dan erupsi kulit.
Demam typoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang berlangsung 3-5
minggu, disebabkan oleh salmonella thypoi yang ditandai demam tinggi,
sakit kepala lemah, batuk, spienomegali, gangguan kesadaran, distensi
abdomen, feses yang menyerupai sop katang dan leukopeni.
II. Etiologi
Demam tipoid dan demam paratipoid disebabkan oleh salmonella
typhi,salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B, salmonella paratyphi
C.
III. Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada
iklim. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit
ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi
dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit
ini.
Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia.
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu
sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang
diperhatikan.
8
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-
anak. Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas,
kemudian menghilang atau sembuh sendiri. Persentase penderita dengan
usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia Persentase
12 – 29 tahun 70 – 80 %
30 – 39 tahun 10 – 20 %
> 40 tahun 5 – 10 %
IV. Tanda dan Gejala
Pola awal penyakit keluhan dan tanda gejala meliputi:
- Anoreksia
- Rasa malas
- Sakit kepala bagian depan
- Nyeri otot
- Gangguan nyeri perut
• Pada minggu ke I keluhannya
- Demam hingga 400C
- Denyut nadi lemah
- Nadi 80-100 kali permenit
9
Akhir minggu ke I
- Lidah tampak kotor, berkerak, berwarna merah di ujung dan tepi
hiperemis
- Epistaksis
- Tenggorokan kering dan beradang
- Ruam kulit, pada abdomen salah satu sisi tapi tak merasa
- Bercak-bercak selama 3-5 hari lalu hilang sempurna.
• Pada minggu ke II
Demam turun khususnya pagi hari, pasien sakit akut, disorientasi lemas.
• Pada minggu ke III
- Gejala berkurang dan suhu mulai turun
- Terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi karena lepasnya kerak dan
ulkus
- Bila keadaan buruk terjadi tanda-tanda delirium
- Otak bergerak terus
- Inkontinentia urine
- Nyeri perut
- Bila nadi ditambah peritonitis maka hal ini menunjukkan terjadi
perforasi usus, keringat dingin, sukar bernapas dan denyut nadi lemah,
menandakan ada perdarahan.
• Pada minggu ke IV (stadium penyembuhan)
10
- Merupakan fase penyembuhan bila tidak ada tanda-tanda komplikasi
- Mereda 2-4 minggu
- Malaise tetap ada selama 1-2 bulan.
V. Patogenesis dan Patofisiologi
Penularan bakteri salmonella typhi dan salmonella paratyphi terjadi
melalui makanan dan minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut.
Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung. Bakteri yang dapat
melewati lambung akan masuk ke dalam usus, kemudian berkembangbiak.
Apabila respon imunitas humoral mukosa (immunoglobulin A) usus kurang
baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M).
selanjutnya ke lamina propia. Di dalam lamina propia bakteri berkembang
biak dan ditelan oleh sel-sel makrofag kemudian dibawa ke plaques payeri
di ilium distal.
Selanjutnya Kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus torsikus,
bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik atau tidak
menimbulkan gejala. Selanjutnya menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa diorgan-organ ini bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid, kemudian masuk lagi kedalam sirkulasi darah dan menyebabkan
bakteremia kedua yang simtomatik, menimbulkan gejala dan tanda penyakit
infeksi sistemik. Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu.
Berkembang biak dan di ekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan
empedu. Sebagian dari bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian
lainnya menembus usus lagi. Proses yang sama kemudian terjadi lagi, tapi
dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Bakteri salmonella thypi yang
berada di dalam makrofag yang telah teraktivasi, akan merangsang makrofag
menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator (sintokin) yang akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti : demam dan
11
koagulasi, pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis dan syok
septik.
Di dalam plaques payeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperflasia jaringan salmonella typhi di dalam makrofag dapat merangsang
reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang dapat menyebabkan hyperplasia dan
nekrosis jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah plaques payeri yang mengalami hiperflasia patologis
jaringan limpoid ini dapat berkembang ke lapisan otot. Lapisan serosa usus
sehingga dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin yang dihasilkan
samonella typhi dapat menempel direseptor sel endotel kapiler seluruh
organ, sehingga bisa menimbulkan komplikasi kardiovaskuler, gangguan
neuropsikiatrik dan gangguan organ lainnya.
12
VI. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Identitas (Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat)
Perjalanan penyakit hingga timbulnya gejala
Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan sekitar yang
mengalami keluhan/sakit yang sama dengan pasien
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif
(peningkatan suhu10 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan
ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri
abdomen,roseolae (jarang pada orang Indonesia).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekositnormal,ane
osinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, tromb
ositopenia,gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan
empedu) positif atau peningkatan titer ujiWidal >4 kali lipat
setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah
negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal
dengan titerantibodi O 1/320 atau H 1/640disertai gambaran
klinis khas menyokong diagnosis.
Kultur Darah
Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri
Salmonella typhi darispecimen yang berasal dari darah
penderita.Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan p
ada minggu pertamatimbulnya penyakit, karena kemungkinan
untuk positif mencapai 80-90%,khususnya pada pasien yang
belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3
kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4
hanya 10-15%.
Uji widal
13
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman
s,thypi. Pada ujiwidal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antar antigen kuman s.thypi den
gan antiboby yang di sebut aglutinin. Antigen yang di
gunakan pada ujiwidl adalahsuspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksuduji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderitatersangka demem tifoid yaitu:
a) Aglutinin O dari tubuh kuman
b) Aglutinin H dari flagella kuman
c) Aglutinin v simpai dari simpai kuman
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang di
gunakan untuk diagnostik demam tifoid
semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinanterinfeksi
penyakit ini.
Ada beberapa faktor yang memepengaruhi uji widal yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotic
2. Gangguan pembentukan antibody dan pemeberian
kortikosteroid
3. Waktu pengambilan darah
4. Daerah endemik atau non endemik
5. Riwayat vaksinasi
6. Reaksi anamnestik, yaitu penigkatan titer aglutinin pada i
nfeksi bukan demem tifoid akibat infeksi demem tifoid
masa lalu atau vaksinasi.
7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat
aglutinasi silangdan starin salmonella yang di gunakan
untuk suspensi antigen.Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer glutinin yg bermaknadiagnostik
untuk demem tifoid. Batas titer yg dipakai hanya
kesepakatan saja,haya berlaku setempat saja,dan dapat
berbeda pada tiap-tiap laboratorium.
14
Uji Tubex
Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan
waktu singkat untuk dilakukan (kurang lebih 5 menit). Untuk
meningkatkan spesivisitas, pemeriksaan ini menggunakan
anti¬gen O9 yang hanya ditemukan pada Salmonellae
serogroup D dan tidak pada mikroorganisme lain. Antigen
yang menyerupai ditemukan pula pada Trichinella spiralis
tetapi antibodi terhadap kedua jenis antigen ini tidak bereaksi
silang satu dengan yang lain. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D
walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi
oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan.
Anti¬gen ini dapat merangsang respons imun secara
independen terhadap timus, pada bayi, dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat ini,
respon terhadap anti¬gen O9 berlangsung cepat sehingga
deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk
infeksi sekunder. Uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan
tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi
lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam
komponen, meliputi:
1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas.
2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang
diselubungi dengan antigen S. typhi O9
3. Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna
biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal
spesifik untuk antigen 09.
Komponen-komponen ini stabil disimpan selama 1 tahun
dalam suhu 40C dan selama beberapa minggu dalam suhu
15
kamar.
Di dalam tabung, satu tetes serum dicampur selama kurang
lebih 1 menit dengan satu tetes reagen A. Dua tetes reagen B
kemudian dicampurkan dan didiamkan selama 1-2 menit.
Tabung kemudian diletakkan pada rak tabung yang
mengandung magnet dan didiamkan. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan
warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat
dilihat pada label.
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut.
Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B
akan bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada
daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak),
komponen mag-net yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang
dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna
merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran
serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung
antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet
rak dan memberikan warna biru pada larutan.
Interpretasi hasil uji Tubex:
Skor Interpretasi
<2 Negatif
3 Borderline
4-5 Positif
>6 Positif
Berbagai penelitian (House dkk, 2001; Olsen dkk, 2004; dan
Kawano dkk, 2007) menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas
dan spesivisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%).
16
Uji IgM Dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur
darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi
positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian
oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar
65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam
tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.
Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil
positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi
dan dapat mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG
17
terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada
strip nitroselulosa.
VII. Komplikasi
Komplikasi intestinal.
a. Perdarahan intestinal.
Pada plaques payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka, jika luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka perforasi
terjadi, apalagi kalau terjadi gangguan koagulasi.
b. Perforasi usus.
Biasa timbul pada minggu ke 3 namun dapat terjadi pula minggu ke 1. gejalanya
: mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
menyebar keseluruh perut disertai tanda-tanda ileus.
Komplikasi ekstra intestinal.
a.Komplikasi paru dapat terjadi pneumoni, empiema atau pleuritis.
b.Komplikasi hepatobilier pembengkakan hati ringan di jumpai pada 50%
penderita
c.Komplikasi kardiovaskuler. Miokarditis terjadi 1-5% penderita, sedangkan
kelainan EKG pada 10-15% penderita.
d. Komplikasi neuropsikiatrik. Gejala dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semikoma/ koma.
VIII. Penatalaksanaan
18
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang
meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun
suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana
komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
I. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan
BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
II. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus,
dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita
juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses
penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita
sudah tidak mengalami mual lagi.
III. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid
adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan
dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan
19
sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit
ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat
sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek
samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian
penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan
jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol
yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau
intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap
hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan
golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan
obat – obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan
trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus
jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium
statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam
gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan
respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam
3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan
kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol
tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian
fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada
20
trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
IX. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia
penderita,keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada
tidaknya komplikasi.
Di negara maju, dengan terapi antibiotik yangadekuat, angka mortalitasnya < 1
%. Di negara berkembang, angkamortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis,perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasigastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, danpneumonia
, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderitayang tidak diobati
dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapatterapi anti mikroba yang tepat,
manifestasi klinis relaps menjadi nyatasekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik
danmenyerupaipenyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individuya
ng mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadikarier kronis.
Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah danmeningkat sesuai usia. Karier kronis
terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasiendemam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris) lebihtinggi pada
karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
21
Typhoid fever, atau yang juga dikenal sebagai thypus, merupakan suatu
penyakit yang terjadi mendadak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella
typhosa.
Kuman tersebut masuk melalui saluran pencernaan, setelah berkembang biak
kemudian menembus dinding usus menuju saluran limfe, masuk ke dalam
pembuluh darah dalam waktu 24-72 jam. Kemudian dapat terjadi pembiakan
di sistem retikuloendothelial dan menyebar kembali ke pembuluh darah yang
kemudian menimbulkan berbagai gejala klinis.
Gejala yang timbul dapat berupa :
1. Panas badan yang semakin hari bertambah tinggi, terutama pada malam
hari (stepladder). Terjadi selama 7-10 hari, kemudian panasnya
menjadi konstan dan kontinyu.
2. Pada fase awal timbul gejala lemah, sakit kepala, infeksi tenggorokan,
rasa tidak enak di perut, dan terkadang sulit buang air besar.
3. Pada keadaan yang berat penderita bertambah sakit dan kesadaran mulai
menurun.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui bradikardi (denyut melemah) relatif,
pembesaran limfa, tegangnya otot perut, dan kembung. Dari pemeriksaan
laboratorium terdapat penurunan sel darah putih, didapatkan kuman tersebut
pada tinja atau kencing, dan peningkatan titer Widal. Dikatakan meningkat
bila titernya lebih dari 1/400 atau didapatkan kenaikan titer 2 kali lipat dari
titer sebelumnya dalam waktu 1 minggu.
Pengobatan pada penderita ini meliputi tirah baring, diet rendah serat – tinggi kalori
dan protein, obat-obatan berupa antibiotika, pengobatan terhadap keluhan, ataupun
pengobatan terhadap komplikasi yang mungkin timbul.
B. SARAN
Disadari oleh penulis bahwa makalah yang telah disusun oleh penulis tentang
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran terhadap makalah yang bersifat membangun agar makalah yang dibuat dapat
menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain masyarakat pada umumnya.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
Nelwan, R. H. H. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Widodo, Djoko. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
Jawetz et. Al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
24
LAPORAN DISKUSI PANEL
1. Q: Mengapa pada enatalaksanaan demam tifoid dianjurkan diet ?
A: Karena pada penderita positif demam tifoid dikhawatirkan terjadi
komplikasi perdarahan pada usus atau perforasi usus, oleh karena itu dianjurkan
untuk diet serat. Dianjurkan untuk makan makanan halus agar tidak
memperberat kerja usus.
2. Q: Apakah penatalaksanaan pada karier sementara dan karier menahun sama?
A: Pada penatalaksanaan karier menahun pada walnya kita lakukan
penatalaksanaan yang sama dengan karier sementara. Apabila tidak bisa diatasi
dengan penatalaksanaan tersebut, maka upaya terakhir adalah dengan
pengangkatan pada vesica velea sebagai sarang daripada S. Typhi.
Namun dilakukan dengan banyak sekali pertimbangan mengingat dampak yang
akan ditimbulkan akan lebih berbahaya.
3. Q: Bagaimana mekanisme lidah kotor?
A: Lidah kotor terjadi karena pengaktifan flora normal dalam mulut oleh bakteri
S. typhi. Dan kondisi lidah yang kotor ini merupakan gambaran dari keadaan
usus.
4. Q: Mengapa dilakukan hitung leukosit sedangkan tidak begitu memiliki arti?
A: Hitumg leukosit hanya untuk mengarahkan diagnosa.
Dosen Pakar:
Hasil dari pemeriksaan darah tepi hanya mengarahkan diagnose. Leukositosis
biasanya terdapat pada infeksi bakteri, sedangkan leucopenia mengarah kepada
demam tifoid.
Salmonella typhi bersarang memang di vesica velea. Saat drugs of choice tidak
bisa masuk ke vesica velea, maka dilakukan pengangkatan pada vesica velea,
namun dengan pertimbangan khusus.
25