makalah dunaliella salina

27
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya keanekaragaman hayati laut memiliki potensi sumberdaya laut dan selayaknya dapat dimanfaatkan secara optimal, baik berpotensi dalam bidang lingkungan, ekonomi, maupun kesehatan khususnya dalam bidang farmasi. Salah satu keanekaragaman hayati potensial adalah mikroalga. Saat ini, mikroalga telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar, terutama dalam bidang farmasi karena beberapa jenis mikroalga memiliki kandungan senyawa utama seperti protein, karbohidrat dan lemak. Selain itu mikroalga juga memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak dan pigmen yang dapat digunakan sebagai senyawa bioaktif dalam bidang farmasi untuk antiinflamasi, antivirus, antikanker, antifungi, dan antimikroba (Borowitzka, 1994). Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan. Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga dikelompokkan dalam filum 1

Upload: norayatisiregar

Post on 23-Dec-2015

237 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

genjer

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Dunaliella Salina

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingginya keanekaragaman hayati laut memiliki potensi sumberdaya laut dan

selayaknya dapat dimanfaatkan secara optimal, baik berpotensi dalam bidang

lingkungan, ekonomi, maupun kesehatan khususnya dalam bidang farmasi. Salah

satu keanekaragaman hayati potensial adalah mikroalga. Saat ini, mikroalga telah

menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar, terutama

dalam bidang farmasi karena beberapa jenis mikroalga memiliki kandungan senyawa

utama seperti protein, karbohidrat dan lemak. Selain itu mikroalga juga

memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak dan pigmen yang

dapat digunakan sebagai senyawa bioaktif dalam bidang farmasi untuk antiinflamasi,

antivirus, antikanker, antifungi, dan antimikroba (Borowitzka, 1994).

Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah

menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk

dimanfaatkan. Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan

tingkat organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga

dikelompokkan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan

daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan fotosintesis

(Kabinawa 2001). Selain itu, air dan karbon dioksida dengan adanya energi surya

dari matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti

karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat anorganik,

maka disebut sebagai produsen primer (Nontji, 1993).

Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian mulai

ditujukan untuk menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi diantaranya

sebagai sumber bahan kimia yang dapat menghasilkan produk seperti gliserol,

vitamin, protein, pigmen, enzim, dan bahan-bahan bioaktif lain. Bahan-bahan

bioaktif yang telah diketahui dapat dihasilkan dari mikroalga yaitu antioksidan,

toksin, bahan obat-obatan, dan zat pengatur pertumbuhan (Kabinawa 1994).

1

Page 2: Makalah Dunaliella Salina

Aplikasi bioteknologi sumberdaya perairan berperan dalam mengetahui

sekaligus menghasilkan bahan aktif termasuk antimikroba sehingga diperoleh bahan

aktif yang dapat dimanfaatkan untuk manusia dan lingkungan. Potensi sumber daya

alam terutama mikroalga belum banyak diungkap dan diteliti sehingga informasi

yang dapat diperoleh masih sangat terbatas. Berbagai hasil penelitian mengenai

bahan aktif termasuk antimikroba dari mikroalga telah dilaporkan oleh para pakar

(Hashimoto 1979 dalam Indhira 2004).

Senyawa antimikroba dari mikroalga umumnya belum teridentifikasi, namun

beberapa telah diketahui komponen penyusunnya, ada yang terdiri dari asam lemak,

fenol, dan asam organik. Hasil penelitian melaporkan beberapa mikroalga yang

memiliki potensi sebagai antimikroba antara lain Pophyridium cruentum, Lyngbya

sp, Spirulina platensis, Phormidium sp dan Chlorella sp. Sedangkan dari jenis

Dunaliella yang diketahui memiliki potensi antimikroba antara lain Dunaliella

primolecta dengan kandungan senyawa asam gama-linoenat, Dunaliella bardawil

dengan kandungan senyawa metabolisme karoten seperti neophytadiene dan beta-

ionone serta Dunaliella salina dengan kandungan senyawa asam linoleat dan asam

palmitat (Weldy dan Huesemann, 2007).

Antimikroba pada mikroalga dapat diekstraksi dari biomassa atau

ekstraselulernya. Beberapa metode ekstraksi telah dilakukan untuk mendapatkan

senyawa antimikroba dari Dunaliella salina. Ekstraksi dengan metode ini dilakukan

secara bertingkat dengan beberapa pelarut seperti metanol, n-heksana dan

diklorometan dan hasilnya menunjukkan adanya zona hambat terhadap Escherichhia

colli dan Staphylococcus aureus dengan komponen senyawa fenol dan asam 1,2-

dikarboksilat (Weldy dan Huesemann, 2007).

Dunaliella merupakan salah satu mikroalga yang cukup banyak diteliti

terutama sebagai sumber β-karoten dan gliserol. Pemanfaatan Dunaliella cukup

beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di

negara-negara maju. Dunaliella salina juga dapat dimanfaatkan sebagai jasad pakan

yang cukup baik. Telah dilakukan pemurnian sebagian komponen antibiotik

Dunaliella primolecta yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap bakteri

2

Page 3: Makalah Dunaliella Salina

Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Enterobacter

aerogenes. Ekstrak Dunaliella tertiolecta menunjukkan hasil positif sebagai

antibakteri (Becker, 1994).

3

Page 4: Makalah Dunaliella Salina

II. PEMBAHASAN

A. Dunaliella salina

Secara morfologi, Dunaliella merupakan mikroalga yang bersifat uniseluler,

mempunyai sepasang flagella yang sama panjangnya, sebuah kloroplast berbentuk

cangkir, dan tidak memiliki dinding sel. Dunaliella sering juga disebut sebagai

flagellata uniseluler hijau (green unicellulair flagellata). Bentuk sel Dunaliella juga

tidak stabil dan beragam, dapat berbentuk lonjong, bulat silindris, ellip dan lain-lain.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pertumbuhan, dan intensitas

sinar matahari (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Dunaliella memiliki kisaran toleransi pH yang luas mulai dari pH 1

(Dunaliella acidophila) sampai pH 11 (Dunaliella salina). Demikian halnya juga

dengan suhu, mulai dari -35ºC sampai 40ºC. Spesies Dunaliella dapat tumbuh

optimal pada pH 6-6,5 dan kisaran suhu antara 22-25ºC dengan salinitas air 30-35‰.

Dunaliella termasuk kelompok Chlorophyceae yang mengandung klorofil a dan b

serta karotenoid yang umumnya berupa β-karoten (Borowitzka, 1988).

Klasifikasi Dunaliella (Bougis 1979 dalam Isnansetyo dan Kurniastuty 1995)

adalah sebagai berikut:

Phylum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Volvocales

Famili : Polyblepharidaceae

Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella salina

Genus Dunaliella banyak dimanfaatkan sebagai makanan kesehatan seperti

halnya dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang tinggi. Spesies dari

genus Dunaliella ini cukup banyak dan telah dimanfaatkan diantaranya Dunaliella

viridis, Dunaliella primolecta, Dunaliella salina, Dunaliella acidophila, Dunaliella

bardawil, Dunaliella parva dan Dunaliella sp. Pemanfaatan Dunaliella cukup

4

Page 5: Makalah Dunaliella Salina

beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di

negara-negara maju, Dunaliella salina juga sebagai jasad pakan yang cukup baik dan

mendapat perhatian besar di beberapa negara seperti Australia, Amerika dan Israel

karena menghasilkan gliserol dan β-karoten (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan generatif. Reproduksi secara

aseksual terjadi dengan pembelahan secara memanjang. Saat proses pembelahan inti,

maka pirenoid akan melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling

berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas akan terbentuk suatu lekukan yang kemudian

akan membelah dan menjadi individu-individu baru, masing-masing dengan satu

flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma. Stigma yang terbentuk ini

merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjahjo et al., 2002).

Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui

konjugasi. Zigot berwarna merah atau hijau dikelilingi oleh dinding sporollenin yang

halus dan sangat tipis. Nukleus zigot akan membelah secara meiosis. Pembelahan ini

terjadi setelah tahap istrahat dan terbentuk lebih dari 32 sel yang dibebaskan melalui

retakan atau celah pada dinding sel induk (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

B. Pertumbuhan Dunaliella salina

Pengamatan pertumbuhan bertujuan untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan

sel Dunaliella salina selama penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata sel

tidak mengalami fase adaptasi, hal ini dikarenakan tidak adanya modifikasi media

kultur yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi

fase logaritmik, sehingga sel-sel yang diinokulasikan cepat beradaptasi terhadap

media kultur yang baru. Pertumbuhan sel diamati setiap hari hingga mencapai fase

stasioner, yaitu hari ke 16-18. Setelah kultur mencapai fase stasioner, dilakukan

pemanenan dengan cara disentrifus, endapan yang diperoleh, dikeringkan

menggunakan oven pada suhu 50oC agar kandungan nutrisi yang terdapat dalam

biomassa tidak rusak. Proses pemanenan dilakukan saat sel pada fase stasioner, hal

ini dikarenakan pada fase ini pembentukkan senyawa metabolit sekunder seperti

5

Page 6: Makalah Dunaliella Salina

asam lemak yang dapat sebagai senyawa antibakteri telah mencapai maksimum

(Naviner et.al., 1999).

C. Ekstraksi Senyawa Antimikroba

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari

suatu bahan ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari

campurannya dengan bantuan pelarut. Adapun beberapa faktor yang berpengaruh

terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang

digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut adalah daya

melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif

terhadap peralatan ekstraksi (Karger et al., 1973).

Ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara pengoperasiannya yaitu ekstraksi

dengan menggunakan pelarut (solvent extraction), ekstraksi dengan penekanan yang

sering disebut penekanan mekanik dan ekstraksi dengan pemanasan (rendering).

Menurut jenis pelarutnya, solvent extraction dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

aqueous phase (dilakukan dengan menggunakan air) dan organic phase (dilakukan

dengan menggunakan pelarut organik) (Winarno et al., 1973).

Menurut Harborne (1987), metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi

dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam bahan dalam pelarut

dengan atau tanpa pengadukan.

b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.

c) Reperkolasi yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan

sampel dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan.

d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara.

e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas :

a) Sokletasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan

sampel kering dengan menggunakan pelarut yang bervariasi.

6

Page 7: Makalah Dunaliella Salina

b) Arus balik yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan

pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan

c) Ultrasonik yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan

frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 kHz.

Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam

pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Oleh karena itu,

pemilihan pelarut yang sesuai akan sangat penting. Gaya yang bekerja dalam proses

ekstraksi adalah perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan

ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut mengalir ke dalam ruang sel sehingga

menyebabkan protoplasma membengkak dan menyebabkan kandungan sel akan

berdifusi ke luar sel. Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan

diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut

yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif

sama kepolarannya. Semakin besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut

tersebut (Achmadi, 1992).

Biomassa diekstraksi menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol

dengan cara maserasi dan digesti. Metode ini digunakan karena lebih mudah

dilakukan dan lebih praktis dibandingkan dengan metode lain. Cara ekstraksi dengan

metode maserasi dapat memberikan suatu perbedaan konsentrasi antar cairan penyari

dengan cairan di dalam sel. Hal ini menyebabkan isi sel akan larut secara difusi

sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara cairan penyari dengan cairan di

dalam sel. Keadaan bergerak pada proses maserasi menyebabkan turunnya

perpindahan zat aktif, sedangkan ekstraksi dengan metode digesti dapat memberikan

hasil ekstrak dengan kadar yang lebih tinggi karena pada cara ini menggunakan

pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan ekstrak (Harborne, 1987).

Biomassa Dunaliella salina diekstraksi sampai terlihat pucat agar senyawa

antibakteri yang terkandung dalam biomassa dapat terekstrak secara optimal.

Penggunaan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, bertujuan untuk

mendapatkan senyawa yang tersari dari masing-masing pelarut yang berbeda pula

(Harborne, 1987).

7

Page 8: Makalah Dunaliella Salina

Pelarut petroleum eter bersifat non polar yang merupakan campuran

hidrokarbon cair yang bersifat mudah menguap dan akan melarutkan senyawa-

senyawa yang bersifat non polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemak-

lemak, terpenoid dan steroid. Aseton sebagai pelarut semi polar akan melarutkan

senyawa bersifat semi polar seperti polifenol dan senyawa xanthon. Etanol sebagai

pelarut polar akan melarutkan senyawa yang bersifat polar seperti karbohidrat, dan

klorofil. Pada tahap awal ekstraksi, biomassa yang telah ditambahkan pelarut

dipecah selnya dengan sonifier bertujuan untuk memecahkan dinding sel mikroalga

sehingga memudahkan penarikan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang

terkandung dalam Dunaliella salina oleh pelarut, sehingga proses ekstraksi dapat

optimal (Harborne, 1987).

D. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Dunaliella salina

Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Escherichia coli

sebagai bakteri Gram negatif dan Staphylococcus aureus sebagai bakteri Gram

positif. Masing-masing ekstrak diuji aktivitas antibakterinya dengan menggunakan

metode difusi agar cara cakram dan dilakukan analisis kualitatif terhadap ekstrak

yang menghasilkan zona hambat paling besar. Konsentrasi larutan uji yang

digunakan adalah 100%, 75%, dan 50%. Perbedaan konsentrasi yang digunakan

dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji dalam

menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh,

menunjukkan bahwa kedua bakteri uji menunjukkan adanya zona hambat di

sekeliling lubang pada semua konsentrasi ekstrak yang diuji. Konsentrasi ekstrak

pada masing-masing metode ekstraksi (maserasi dan digesti) berbanding lurus

dengan ukuran diameter zona hambat yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka

diameter zona hambat akan besar, dan sebaliknya (Pelczar dan Chan, 2005).

Ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengan cara maserasi, menunjukkan

hasil zona hambat terbesar ditunjukkan oleh bakteri E. coli pada ekstrak etanol dan

zona hambat terkecil ditunjukkan pada ekstrak aseton. Sedangkan pada bakteri

S.aureus zona hambat terkecil terdapat pada ekstrak aseton dan zona hambat terbesar

8

Page 9: Makalah Dunaliella Salina

dihasilkan oleh ekstrak etanol. Pada ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengan

cara digesti menunjukkan hasil bahwa zona hambat terbesar terhadap bakteri S.

aureus pada ekstrak etanol dan terkecil pada ekstrak aseton. Demikian pula halnya,

pada bakteri E.coli zona hambat terkecil pada ekstrak aseton dan terbesar pada

eksrak etanol (Pelczar dan Chan, 2005).

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, ternyata zona hambat terbesar yang

terbentuk pada bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli ditunjukkan pada

ekstrak etanol (maserasi dan digesti) dibandingkan dengan ekstrak aseton dan ekstrak

petroleum eter. Sedangkan jika membandingkan antara kedua bakteri uji yang

digunakan ternyata pada semua ekstrak yang diuji, zona hambat bakteri Gram positif

(Staphylococcus aureus) lebih besar dibandingkan Gram negatif (Eschericia coli).

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sensitifitas antara bakteri Gram poritif

(Staphylococcus aureus) dengan bakteri Gram negatif (Escherichia coli), yaitu

adanya perbedaan struktur dinding sel (Pelczar dan Chan, 2005).

Pada bakteri Gram positif, struktur dinding selnya tebal (15-80 nm) dan

memiliki lapisan tunggal (mono), sedangkan pada bakteri Gram negatif yaitu

Escherichia coli, struktur dinding selnya tipis (10-15 nm) dan memiliki tiga lapisan

(multi). Disamping itu juga karena struktur dinding sel bakteri Gram positif berupa

kandung lemak yang rendah (1-4%) dibandingkan dengan bakteri Gram negatif,

kandungan lemaknya tinggi (11-22%) yang menyebabkan sulitnya terabsorpsi

senyawa antibakteri ke dalam sel Escherichia coli. Senyawa antibakteri yang mudah

terabsorsi ke dalam sel menyebabkan bakteri tersebut mati (Pelczar dan Chan, 2005).

Selain hal diatas, berdasarkan hasil identifikasi dengan KG-SM menunjukkan

adanya senyawa fenol dalam semua ekstrak Dunaliella salina yang menyebabkan

zona hambat pada E. coli lebih kecil dibandingkan dengan Staphylococcus aureus. E.

coli lebih resisten terhadap fenol dan ketahanannya terhadap fenol dalam ekstrak uji

dapat mempengaruhi pembentukkan zona hambat mati dan juga dilaporkan bahwa

fenol memiliki kemampuan antibakteri yang lebih kuat terhadap bakteri Gram positif

dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Fenol memilliki kecenderungan

9

Page 10: Makalah Dunaliella Salina

mengikat protein bakteri sehingga menghambat aktivitas enzim yang akhirnya

mengganggu aktivitas enzim metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan, 2005).

Dunaliella salina yang diekstrak dengan cara digesti menunjukkan zona

hambat yang lebih besar dibandingkan dengan maserasi, hal ini dikarenakan metode

digesti menggunakan pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan senyawa-

senyawa antibakteri dalam ekstrak sehingga dapat memberikan hasil ekstrak dengan

kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi. Kontrol negatif yang

digunakan pada penelitian ini adalah larutan petroleum eter, aseton, dan etanol,

hasilnya menunjukkan tidak adanya zona hambat pada kedua bakteri uji, hal ini

menunjukkan ekstrak Dunaliella salina mempunyai sifat antibakteri. Selain itu juga

dilakukan kontrol positif menggunakan antibiotik kloramfenikol yang bertujuan

untuk menguji sensitivitas bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.

Mekanisme kerja dari antibiotik kloramfenikol digolongkan sebagai antibiotik

dengan spektrum luas yaitu efektif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif

(Pelczar dan Chan, 2005).

E. Identifikasi Senyawa Antibakteri Dengan KG-SM

Uji kualitatif dengan KG-SM dilakukan pada ekstrak yang mempunyai zona

hambat terbesar, yaitu ekstrak etanol yang didapat dengan cara maserasi dan digesti.

Hasil KG-SM yang diperoleh dari ekstrak etanol secara maserasi dengan kualitas

persen diatas 90% terdapat senyawa Asam Heksadekanoat (12.98 %), Asam metil

ester Heksadekanoat (0.67%), Asam 8,11-metil ester Oktadekadieoat (1.76%), Asam

9,12-Oktadekadienoat (19.70%), yang merupakan senyawa golongan asam lemak

Sedangkan hasil KG-SM ekstrak etanol secara digesti adalah senyawa golongan

asam lemak, terpenoid, dan fenol, yaitu Asam Heksadekanoat (17.08%), Asam 9, 12-

Oktadekadienoat (22.73%), Asam 9, 12-metil ester Oktadekadienoat (2.89%),

Neophytadiena (0,68%), Phytol (16.06%) (Herrero et al., 2006).

Berdasarkan analisis kualitatif terhadap ekstrak etanol dengan metode

maserasi, senyawa dengan persentase kualitatif diatas 90% sebagian besar

merupakan senyawa golongan asam lemak. Sedangkan untuk ekstrak etanol secara

10

Page 11: Makalah Dunaliella Salina

digesti, senyawa dengan persentase kualitatif diatas 90% antara lain asam lemak,

golongan terpenoid dan fenol. Hal ini yang menyebabkan zona hambat pada ekstrak

yang dihasilkan dengan metode digesti lebih besar dibandingkan dengan ekstraksi

dengan maserasi. Disamping itu, juga karena luas area asam lemak yang dihasilkan

dari metode digesti (45,73%) lebih besar dibandingkan dengan metode maserasi

(36.06%). Senyawa asam lemak yang terdapat pada ekstrak etanol dengan cara

digesti maupun maserasi adalah Asam Heksadekanoat (asam palmitat) dan Asam

9,12-Oktadekadienoat (asam linoleat). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Borowitzka (1988) bahwa, senyawa yang bersifat sebagai antibakteri dalam

mikroalga Dunaliella salina adalah 3-trans heksadekanoat dan asam linolenat yang

merupakan golongan asam lemak (Herrero et al., 2006).

Asam Heksadekanoat (asam palmitat), Asam 9,12-Oktadekadienoat (asam

linoleat), dan neophytadiena merupakan senyawa yang bersifat sebagai antibakteri.

Hal ini sesuai dengan hasil analisis kualitatif dengan menggunakan KG-SM pada

penelitian ini, bahwa senyawa antibakteri yang diidentifikasi adalah Asam

Heksadekanoat, Asam 9,12-Oktadekadienoat, dan neophytadiena di samping

senyawa lainnya. Perbedaan kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada

Dunaliella salina sangat dipengaruhi oleh komposisi media kultur yang digunakan,

faktor lingkungan tempat tumbuhnya, intensitas cahaya yang diterima dan cara

mengekstraksi mikroalga tersebut (Weldy dan Huesemann, 2011).

F. Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri

Cara kerja penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa antimikroba

berbeda-beda. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan

mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan

permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan menghambat

enzim-enzim metabolik (Branen dan Davidson, 1993).

1) Kerusakan pada dinding sel

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula

yaitu asam N-asetilglukosamin, asam N-asetilmuramat, dan suatu peptida yang

11

Page 12: Makalah Dunaliella Salina

terdiri dari asam amino yaitu L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin. Lapisan

peptidoglikan merupakan suatu molekul raksasa. Bakteri Gram positif memiliki 40

lapisan peptidoglikan yang merupakan 50% dari bahan dinding sel sedangkan bakteri

Gram negatif hanya ada 1-2 lapisan peptidoglikan dan merupakan 10% dari bahan

dinding sel (Pelczar dan Chan, 2005).

Antimikroba dapat menghambat sintesa dinding sel mikroba yaitu dengan

menghambat pembentukan peptidoglikan yang merupakan komponen penting dari

dinding sel mikroba. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat juga disebabkan oleh

adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran

sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel, contohnya

penisilin dan sefalosporin (Nychas dan Tassou 2000 dalam Parhusip 2006).

2) Perubahan permeabilitas sel

Senyawa antimikroba dapat menyerang membran sitoplasma dan

mempengaruhi integritasnya. Membran sitoplasma berperan pada keutuhan sel

dimana mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran

keluar masuknya bahan-bahan lain. Kerusakan pada membran ini mengakibatkan

peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya

materi intraseluler. Mekanisme minyak atsiri (karvakrol, sitral, dan geraniol) adalah

mengganggu lapisan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan peningkatan

permeabilitas dan kehilangan unsur penyusun sel, contoh antimikroba ini adalah

polimiksin dan golongan polien (Kim et al. 1995 dalam Parhusip 2006).

3) Penghambatan sintesis protein dan asam nukleat

Síntesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam amino

melalui ikatan peptida. Senyawa antimikroba mampu menghambat sintesis protein

bakteri yaitu senyawa tersebut dapat bereaksi dengan komponen sel ribosom 50 S

yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya sintesis protein dan dilanjutkan

terbentuknya pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu pembentukan

protein, contohnya tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin. Senyawa antimikroba

juga dapat menghambat sintesa asam nukleat (DNA dan RNA) dengan cara

12

Page 13: Makalah Dunaliella Salina

menghambat DNA girase yang berfungsi dalam penataan kromosom sel mikroba,

contohnya enrofloksasin (Setiabudy dan Ganiswara, 1995).

4) Menghambat Enzim-enzim Metabolik

Enzim yang berperan dalam metabolisme dan juga pertumbuhan pada sel

mikroba dapat dihambat aktivitasnya oleh komponen antibakteri sehingga berakibat

terganggunya aktivitas maupun pertumbuhan mikroba-mikroba tersebut. Konsentrasi

dari antibakteri yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi pada

enzim. Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan

membunuh mikrooganisme melalui inaktivasi enzim-enzim metaboliknya. Senyawa

antibakteri sulfit, nitrit dan asam benzoat dapat menginaktivasi berbagai enzim

metabolik bakteri (Brown 1962 dalam Parhusip 2006).

13

Page 14: Makalah Dunaliella Salina

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah tentang Identifikasi dan Uji

Aktivitas Antibakteri Senyawa Aktif Secara Maserasi dan Digesti dalam Berbagai

Pelarut dari Mikroalga Dunaliella Salina adalah sebagai berikut:

1. Sel tidak mengalami fase adaptasi karena tidak adanya modifikasi media kultur

yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi fase

logaritmik.

2. Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam pelarut

yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Biomassa diekstraksi

menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol dengan cara maserasi

dan digesti karena lebih mudah dilakukan dan lebih praktis dibandingkan dengan

metode lain.

3. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 100%, 75%, dan 50%. Perbedaan

konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji

dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

4. Perbedaan kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada Dunaliella salina

sangat dipengaruhi oleh komposisi media kultur yang digunakan, faktor

lingkungan tempat tumbuhnya, intensitas cahaya yang diterima dan cara

mengekstraksi mikroalga tersebut.

5. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba

dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan

permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan

menghambat enzim-enzim metabolik.

14

Page 15: Makalah Dunaliella Salina

B. Saran

Sebaiknya dilakukan juga uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia

dari Dunaliella salina dan uji aktivitas antibakteri terhadap mikroorganisme yang

lainnya seperti Salmonella, Enterobacter aerogenes dan lain sebagainya.

15

Page 16: Makalah Dunaliella Salina

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi S. S. 1992. Teknik Kimia Organik. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

Becker E. W. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press. USA.

Borowitzka M. A. 1994. Microalgae as Sources of Pharmaceuticals and Other Biologically Active Compounds, Algal Biotechnology Laboratory, School of Biological & Environmental Sciences. Murdoch University. Perth,W. A. 6150.

Branen A. L, Davidson P. M. 1993. Antimicrobial in Foods. Second edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Harborne J. B. 1978. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. edisi II. (Terj.). Padma W. K. Sudiro. I. ITB. Bandung. hal 3-15 .

Herrero M, Ibanez. E, Cifuentes A, Reglero. G. 2006. Dunaliella salina Microalga Pressurized Liquid Extracts as Potential Antimicroials. Instituto de Fermentaciones Industriales CSIC Juan de la Cierva Madrid. Spain.

Indhira TA. 2004. Prospek Bioteknologi Sumberdaya Akuatik dalam Industri Farmasi. Jurnal Perikanan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Universitas Hang Tuah. Surabaya. 1(1): 27-30.

Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Kabinawa I. N. K. 1994. Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga. Puslitbang-Biotek. LIPI. Bogor.

Karger B. L., Synder L., Hosvarth C. 1973. An Introduction to Separation. John dan

Sons. Brisbane.

Naviner M, Berge J. P., Duran P., Le Bris H. 1999. Antibacterial Activity of The Marine Diatom Skeletonema Costatum Againts Aquacultural Pathogens. Journal Aquaculture. 174: 15-24.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Djambatan. Jakarta.

Parhusip A. J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. [disertasi]. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Pelczar M. J., Chan E. C. S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2. Hadioetomo R. S., Imas T., Tjitrosomo S. S., Angka S. L., Penerjemah. Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology. Jakarta.

Setiabudy R., Ganiswara V. H. S. 1995. Pengantar Antimikroba. Di dalam: Ganiswara S. G., Setiabudy R., Suyatna F. D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. FKUI. Jakarta.

16

Page 17: Makalah Dunaliella Salina

Tjahyo W., Ernawati L., Hanung S. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan: Proyek Pengembangan Perekayasaan Ekologi Balai Budaya Laut Lampung. Lampung. hal 30.

Weldy C. S and Huesemann M. 2011. Lipid Production by Dunaliella salina in Batch Culture: Effects of Nitrogen Limitation and Light Intensity. Science Undergraduate Laboratory Internship Program at Pacific Northwest National Lab. (online). http://www.scied.science.doe.gov.

Winarno F. G., Fardiaz D., Fardiaz S.. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan Elektroforesis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

17