makalah ebi
TRANSCRIPT
1. Persaingan Usaha dalam Perekonomian Modern
Persaingan antar pelaku usaha di dunia bisnis dan ekonomi adalah sebuah keharusan.
Persaingan usaha dapat diamati dari dua sisi, yaitu sisi pelaku usaha atau produsen dan sisi
konsumen. Dari sisi produsen, persaingan usaha berbicara mengenai bagaimana perusahaan
menentukan strategi bersaing, apakah dilakukan secara sehat atau saling mematikan. Dari sisi
konsumen, persaingan usaha terkait dengan seberapa tinggi harga yang ditawarkan dan
seberapa banyak ketersediaan pilihan. Kedua faktor tersebut akan menentukan tingkat
kesejahteraan konsumen atau masyarakat.
Dalam dunia perekonomian modern, langkah-langkah yang biasa digunakan untuk
memenangkan suatu persaingan usaha dari pihak produsen bisa berupa :
1. Praktek Dumping
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional dumping adalah penjualan suatu
komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang
wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di
pasar domestiknya atau di negara ketiga.
Sementara itu menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia) dumping adalah suatu
bentuk diskriminasi harga, di mana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang
berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara
pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar
tersebut .
Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara
pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri
barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang
harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang
Membancirnya produk-produk impor di negara kita ini, baik itu produk makanan
ataupun tekstil yang harganya jauh lebih murah dari produk sejenis buatan lokal,
kemungkinan besar itu juga merupakan salah satu cara pengusaha negara lain untuk
memenangkan persaingan dan mematikan pengusaha lokal dengan praktek dumping ini.
2. Praktek Countervailing
Menurut Adhi Warman dalam bukunya "Ekonomi Islam ; Suatu Kajian
Kontemporer", praktek countervailing diartikan sebagai pemberian berbagai macam subsidi
dan fasilitas yang dilakukan oleh suatu negara kepada produsun di negaranya agar mampu
menjual hasil produksinya dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga
di pasar internasional.
Praktek Countervailing ini seringkali ditemukan di negara maju atau industri. Negara
memberikan berbagai macam subsidi dan fasilitas, terutama kepada produsen pertanian dan
peternakan. Sehingga, dengan berbagai macam subsidi dan fasilitas yang diterima, si
produsen mampu menghasilkan produksi dengan skala yang sangat besar. Kelebihan dari
hasil produksi yang dihasilkan, ketika kebutuhan di negaranya telah terpenuhi, kemudian
dijual di pasar internasional dengan harga yang sangat murah yakni di bawah harga standar
internasional.
Di sisi lain, negara yang menjadi tujuan ekspor barang tersebut (negara berkembang), tidak
mampu bersaing untuk menjual komoditas yang sama. Hal ini disebabkan karena, pemerintah
di negaranya tidak mampu memberikan subsidi dan fasilitas bagi mereka. Sehingga tidaklah
mengherankan jika suatu negara yang dikategorikan sebagai negara agraris yang
penduduknya mayoritas bekerja di sektor pertanian harus mengimpor beras dari negara lain.
3. Praktek Predatory Pricing
Praktek ini bisa diartikan sebagai penetapan harga yang murah untuk mematikan
pesaing. Pada saat para pesaingnya telah gulung tikar, maka pengusaha yang menggunakan
praktek predatory pricing akan menaikkan harga barangnya kembali ke posisi harga yang
normal.
Predatory pricing terjadi apabila suatu perusahaan secara temporer mengenakan harga
rendah sebagai upaya untuk membendung masuknya pesaing ke suatu pasar, mengenyahkan
pesaing yang telah ada di dalam suatu pasar, atau mendikte pesaing di suatu pasar tertentu.
Praktek predatory prising seringkali dilakukan oleh pengusaha yang memiliki modal yang
lebih besar untuk mematikan usaha pengusaha lain yang memiliki modal di bawahnya.
Contoh kecil praktek seperti ini sangat jelas sekali terlihat pada persaingan antar supermarket
dengan ruko ataupun kios yang menjual komoditas yang sama. Selisih harga barang antara di
supermarket dengan harga barang di ruko ataupun di kios memang tidak terlalu signifikan.
Akan tetapi, untuk memenangkan persaingan, para pengelola supermarket seringkali
menurunkan harga barang mereka, memberikan diskon, memberikan berbagai macam bentuk
undian berhadiah yang kiranya tidak bisa diberikan oleh pedagang ruko maupun pedagang
kios.
4. Praktek Kolusif
Praktek kolusif ialah perilaku beberapa perusahaan untuk mengatur harga secara
bersama-sama atau membagi-bagi pasar sedemikian rupa sehingga memaksimumkan
keuntungan masing-masing perusahaan. Perilaku kolusi dapat dilakukan dengan tersembunyi
(tacit collusion) ataupun terbuka (explicit collusion). Contoh perilaku kolusi terbuka adalah
pembentukan kartel oleh perusahaan-perusahaan.
Dalam pengamatan penulis, praktek kolusif ini seringkali dilakukan oleh para pengelola
supermarket (misalnya : Daimond, Carrefur, Alfa Mart ). Praktek kolusif yang mereka
lakukan bisa berupa pemberian diskon terhadap suatu prodak secara bergantian ataupun tidak
akan memberi diskon terhadap suatu prodak jika ditempat lain sedang memberikan diskon
terhadap prodak yang sama. Misalnya : jika di supermarket Carrefur sedang memberikan
diskon terhadap pembelian produk susu, maka kemungkinan besar di Alfa Mart produk yang
di diskon adalah selain produk susu tersebut, begitu juga sebaliknya. Jadi, bisa dipastikan
bahwa kita tidak akan pernah menemukan pemberian diskon terhadap produk yang sama,
pada waktu yang sama diantara supermarket Carrefur, Alfa Mart, maupun Daimond.
5. Praktek Monopoli
Praktek monopoli terjadi ketika si pengusaha menjadi penjual tunggal atas suatu
produk barang dalam suatu perdagangan. Hal ini mengakibatkan si pengusaha bisa
melakukan pematokan harga suatu barang semaunya. Praktek monopoli baru bisa terjadi jika
mendapatkan restu dari pemerintah. Bahan Bakar Minyak, Listrik merupakan usaha yang
dimonopoli oleh BUMN Pertamina dan PLN. Sehingga tidaklah mengherankan jika
penaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik tidak terlalu memperhatikan mekanisme pasar.
Hal ini disebakan karena ketiadaan rival dalam sektor yang sama. Andaikata Peramina dan
PLN memiliki rival dalam sektor yang sama, kemungkinan besar ceritanya akan berbeda.
Dan tidak menutup kemungkinan, persaingan yang mucul seperti persaingan dalam sektor
telekomunikasi.
6. Praktek Monopsoni
Tidaklah jauh berbeda dengan praktek monopoli, praktek monopsoni terjadi ketika
dalam suatu perdagangan hanya terdapat pembeli tunggal. Hal ini lantas mengakibatkan pada
penetapan harga terhadap produk yang mau di jual oleh pihak lain didasarkan atas
kemauannya sendiri.
Praktek monopsoni, di Nusa Tenggara Barat, khususnya di pulau Lombok, terlihat sekali
dalam praktek jual-beli tembakau. Para pemilik gudang tembakau (perusahaan Djarum),
kerap kali memberikan harga atas penjualan tembakau para petani di bawah harga pasar yang
berlaku. Para petani di sana hanya bisa menerima dengan pasrah saja. Hal ini disebabkan
karena kebutuhan mereka akan uang untuk menutup biaya produksi yang telah dilakukan.
Sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak atas penetapan harga yang diberikan.
2. Persaingan Usaha dalam Ajaran Islam
Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan
dari kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai
didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk
melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda, kita diajarkan bahwa di
dalam tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam
bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi
dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan sepanjang
perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para pelanggan
tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada setiap pelaku
atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan berlangsung
secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang berhasil dalam
masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan atas mutu, kejujuran
dan kepercayaan.
Dan inilah yang menjadi salah satu kunci sukses Rasulullah dalam berbisnis. Dalam
dunia bisnis kepercayaan sangat penting artinya. Tanpa didasari atas rasa saling percaya,
maka transaksi bisnis tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga kita
dilarang untuk terlalu cepat percaya pada orang lain, karena hal ini rawan terhadap penipuan.
Maka, kita dianjurkan untuk melihat track record lawan binis kita sebelumnya.
Dalam ajaran Islam, setiap muslim yang ingin berbisnis maka dianjurkan untuk selalu
melakukan persaingan yang sehat, jujur, terbuka dan adil.
1. Melakukan Persaingan yang Sehat.
Baik itu dalam bentuk tidak diperbolehkan menawar barang yang sedang ditawar oleh
orang lain, tidak diperbolehkan membeli barang pedagang yang dari kampung yang belum
tahu harga pasar, Tidak diperbolehkan pura-pura menawar barang dengan harga tinggi untuk
mengelabui pembeli yang lain. Hal ini berpedoman pada firman Allah yang berbunyi:
“Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.”(Al Baqarah : 188)
Selain itu juga, berbeda dengan sistem kapitalisme dan komunisme yang melarang
terjadinya monopoli ataupun monopsoni, di dalam ajaran Islam siapapun boleh berbisnis
tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual atau pembeli, asalkan dia tidak melakukan
ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi atau dalam istilah ekonominya monopoly’s rent.
Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik untuk
dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius dari ajaran
Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT: "...agar harta itu jangan hanya
berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu sekalian..." (QS 59: 7). Selain riba,
monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan
segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Para ulama terkemuka abad pertengahan pun, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah, dan Ibn Khaldun, telah pula melakukan kajian yang mendalam tentang praktik
monopoli. Ibn Taimiyyah misalnya, dalam kitabnya Al-Hisbah fil Islam menyatakan bahwa
ajaran Islam sangat mendorong kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang
tidak bertentangan dengan aturan agama.
Kepemilikan dan penguasaan aset kekayaan di tangan individu adalah sesuatu yang
diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, ketika kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk
menciptakan praktik-praktik monopolistik yang merugikan, maka adalah tugas dan kewajiban
negara untuk melakukan intervensi dan koreksi.
Sementara itu, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah juga menyatakan pentingnya
peran negara dalam menciptakan keadilan ekonomi dan keseimbangan pasar. Ia menegaskan
bahwa pajak (dan juga denda) adalah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus untuk mengeliminasi praktik-praktik
kecurangan yang terjadi di pasar, termasuk praktik-praktik monopoli yang dilakukan oleh
segelintir pebisnis.
Namun demikian, ajaran Islam membolehkan praktik monopoli yang dilakukan oleh
negara, dengan syarat hanya terbatas pada bidang-bidang strategis yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda: "Manusia berserikat
dalam tiga hal: air, api, dan padang rumput". Ke depan, diperlukan langkah-langkah strategis
untuk mengelola investasi yang diharapkan dapat mengembangkan perekonomian nasional.
Lebih lanjut, berdasarkan kaidah fiqh yang disepakati oleh banyak ulama, segala hal
dalam bermuamalah pada dasarnya adalah dibolehkan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadulla daliilaan ‘alaa
tahriimihaa).
Islam mengajarkan bahwa manusia dalam berusaha, harus melepaskan diri dari hal-
hal yang dilarang oleh Allah, atau haram dan bathil. Hal-hal yang dilarang in meliputi bisnis
dengan cara dan untuk hal-hal berikut:
1. Riba
Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl),
atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu
(nasi’ah)”.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
2. Maysir
Kata maysir dalam arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah
tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Oleh karena itu disebut berjudi.
Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan
sedikit saja atau tidak berperan sama sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan keuntungan
hanya pada keberuntungan semata, bahkan sebagian orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan
suatu kesempatan.
Adapun dalil yang menjelaskan keharaman berjudi adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
(al-Maidah/5: 90-91)
3. Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathr (pertaruhan) sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud jual beli gharar
adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.
Gharar dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-A’raf 85
Artinya :
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
4. Zhulm
Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dho la ma” ( م ل ( ظ yang
bermaksud gelap. Di dalam al-Qur’an menggunakan kata zhulm selain itu juga digunakan
kata baghy, yang artinya juga sama dengan zalim yaitu melanggar haq orang lain.
Zhulm dilarang sebagaimana terdapat dalam QS Al-Baqarah : 193
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim” (al-Baqarah/2: 193)
5. Tabdzir
Tabdzir berasal dari akar kata badzara. Artinya al-habba yang berarti menabur ( benih ), menanam,
menumbuhkan, tumbuh-tumbuhan, menyebarkan, memboroskan dan menghambur-hamburkan
harta. Orang yang menghambur-hamburkan harta disebut al-mubadziru atau al-mubadzriku. Jika
kata tabdzir dipergunakan dalam kalimat: badzara al-mal tabdziran ( menghambur-hamburkan harta
), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzratan.
Allah melarang manusia untuk berbuat tabdzir sebagaimana terdapat dalam QS Al-Isra: 26-27
Artinya :
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”(al-Isra/17: 26-27).
6. Risywah
Risywah secara bahasa, Risywah berasal dari kata rasyâ (رشا) yang berarti al-ja’lu
(menyuap). rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan
menyogok ( بالـُم�صانعة الـحاجة �لـى ِإ �ة� .(الُو�ْص�َل Al-Râsyi adalah orang yang memberikan
risywah secara bathil, al-Murtasyi adalah orang yang mengambil risywah dan al-Ra`isy
adalah orang yang bekerja sebagai perantara risywah yang minta tambah atau minta kurang.
“...(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (dengan menyuapnya),
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu secara batil,
padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah/2: 188) dan hadist Rasullullah SAW ysng berbunyi :
الَله : رسُول لعن قال هريرة أبي عن أبيه عن سَلُمة أبي بن عُمرو عن عُوانة أبُو حدثنا قتيبة حدثنا
( ). الترمذى رواه الحكم في والُمرتشي الراشي سَلم و عَليه الَله .ْصَلى
Artinya:”Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang
menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum”. (HR. al-Turmuzi).
7. Maksiyat
Maksiat adalah perbuatan tercela dan telah difitrahkan agar manusia tidak menyukai sifat
kemaksiatan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT QS Al Hujurat 49: 7
Artinya :
“...tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah
dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan
tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiayatan
2. Kejujuran
Sebagaian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan
transparan dalam jual belinya. Ketika kita memiliki sifat jujur, maka orang lain akan menaruh
kepercayaan pada kita dan dia tidak perlu terlalu khawatir berbisnis dengan kita. Banyak
sekali orang yang berhasil dalam dunia bisnis karena sifat jujur yang mereka miliki. Hal ini
berpedoman pada Q.S. Al-Ahzab : 70
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar”.
3. Keterbukaan
Pada zaman sekarang ini, ketika manusia yang satu dengan manusia yang lain sulit
sekali saling percaya, apalagi dalam masalah yang berkaitan dengan keuangan, maka setiap
usaha yang ingin menjalin kerjasama ditintut untuk terbuka. Terbuka dalam arti bahwa
memiliki laporan keuangan yang jelas atas usaha yang dimiliki dimana laporan keuangan
tersebut bisa diaudit oleh pihak-pihak terkait. Dan sifat terbuka inilah yang merupakan salah
satu kunci sukses keberhasilan Rasulullah dalam berbisnis menjual barang-barang dagangan
khodijah.
4. Keadilan
Salah satu bentuk sederhana dalam berbisnis yang berkaitan dengan keadilan adalah
tidak menambah atau mengurangi berat timbangan dalam jual-beli. Hal ini berpedoman pada
Q.S. Al-Isra : 35
Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca
yang benar.
1. Good Corporate Governance
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Good Corporate Governance adalah serangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, hukum, dan
lembaga-lembaga yang mempengaruhi cara sebuah perusahaan (atau perusahaan) diarahkan,
diberikan atau dikendalikan. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para
pemangku kepentingan yang terlibat dan tujuan yang diatur perusahaan. Para pemangku
kepentingan utama adalah para pemegang saham, direksi, karyawan, pelanggan, kreditur,
pemasok, dan masyarakat pada umumnya.1
GCG ini menjadi acuan suatu korporasi dalam menjalankan operasional hariannya agar
berjalan lancar. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu
korporat atau para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility,
Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF. Penjabarannya
sebagai berikut :
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip
ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu
kepada segenap stakeholders-nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan
keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan
atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham
dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat
ditingkatkan.
2. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka
akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara
pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
1 http://taufiqarrakhman89.blogspot.com/2010/11/good-corporate-governance-gcg.html
Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab
atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan
perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab
atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan
kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama
masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan
perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk
bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
4. Indepandency (kemandirian)
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan
kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, prinsip ini menuntut bertindak secara
mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan. Tersirat dengan prinsip
ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap hak-hak
stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor
pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara
beragam kepentingan dalam perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan
melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak
lain.
Nah, demikian segelintir informasi terkait penerapan GCG dalam operasinalnya untuk
mencapai tujuan yang telah ditargetkan.
4. Good Corporate Governance dalam Islam
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite
Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry
Report - mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG
adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada
umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pada pengaturan kewenangan Direktur, manajer,
pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di
lingkungan tertentu.
Islam mengajarkan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab terhadap tugas yang
diembannya. Dalam beberapa kasus, orang bisa mendelegasikan tugas tersebut kepada orang
lain, akan tetapi dia harus tetap bertanggung jawab terhadap hasil dari pengerjaan tugas itu
karena bagaimanapun juga, tugas yang dibebankan tetap merupakan wewenangnya.
Rasulullah SAW diutus oleh Allah memperbaiki aklhaq manusia sebagaimana
dinyatakan dalam sebuah hadits:
�ُت� �ع�ْث �ب ُأل �ُم:م� ت �ار�م� م�ك �ِق� ْخ�ـَال� �ُأل ا
<ُم�ا �ن ِ �ِإ
”Bahwa sanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia”.
Akhlaq yang biasa diterjemahkan menjadi etika, moralitas atau budi pekerti, lebih dari
sekedar etika atau moralitas dalam pengertian umum, melainkan memiliki makna keterkaitan
hubungan timbal-balik antara manusia sebagai makhluq dengan Khaliqnya. Manusia
senantiasa merasa diawasi oleh al-Khaliq dalam setiap urusan, termasuk urusan bisnis.
Pelaksanaan bisnis dalam Islam hendaknya juga mengikuti pelaksanaan bisnis
Rasulullah SAW yang merupakan implementasi dari sifat-sifat beliiau yang dikategorikan
oleh para ulama menjadi empat ShiFAT sebagai kepanjangan dari:Shiddiq, Fathonah,
Amanah danTabligh.
1. Shiddiq berarti benar, yaitu senantiasa menyatakan dan melakukan kebenaran dan
kejujuran dimanapun berada dan kepada siapapun. Implikasinya dalam berbisnis adalah
tegaknya kejujuran dan menghindari segala bentuk penipuan, penggelapan dan perilaku
dusta.
2. Fathanah berarti cerdas, yaitu mampu berpikir secara jernih dan rasional serta mengambil
keputusan dengan cepat dan tepat. Dalam dunia bisnis sifat fatanah ini digunakan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang halal, tayib, ikhsan dan
tawazun
3. Amanah berarti dapat dipercaya, yaitu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Allah dan
orang lain. Dalam berbisnis, pemberian kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk
pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.
4. Tabligh berarti menyampaikan, yaitu menyampaikan Risalah dari Allah tentang kebenaran
yang harus ditegakkan di muka bumi. Kebenaran Risalah ini harus diteruskan oleh ummat
Islam dari waktu ke waktu agar Islam benar-benar dapat menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dalam dunia bisnis, penyampaian risalah kebenaran dapat diwujudkan dalam bentuk
sosialisasi praktik-praktik bisnis yang baik dan bersih, termasuk perilaku bisnis Rasulullah
Saw dan para sahabatnya.
Keempat sifat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya yang merupakan salah satu perwujudan dari iman dan takwa.
Dari keempat Shifat Rasulullah SAW yang wajib diteladani dan larangan yang wajib
dijauhi dalam bisnis yang Islami (syar’i), maka istilah umum dalam Good Corporate
Governance (GCG) juga dapat diterapkan pada tata kelola bisnis Islami, yang biasa dikenal
dengan TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independence danFairness)
atau di-Indonesiakan menjadi TARIK (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas,
Independensi dan Kewajaran)
Dalam Draft Umum Pedoman Good Governance Bisnis Syariah (GGBS) oleh Tim
Penyusun yang dibentuk oleh KNKG, TARIF atau TARIK ini dijelaskan sebagai berikut :2
1. Transparansi
2 http://kunami.wordpress.com/2007/11/09/pelaksanaan-good-corporate-governance
Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah/2: 282 “...dan
transparankanlah (persaksikanlah) jika kalian saling bertransaksi...”, dan berdasarkan hadits
yang menyatakan “... barang siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan informasi yang
diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk umat kami”, maka semua transaksi harus
dilakukan secara transparan. Tranparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan
(disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku
kepentingan. Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara
objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan
tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan yang sesuai dengan ketentuan syariah.
Transparansi meliputi:
1. Pelaku bisnis syariah harus menyediakan informasi tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh semua pemangku
kepentingan sesuai dengan haknya.
2. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi,
sasaran usaha dan strategi organisasi, kondisi keuangan, susunan pengurus,
kepemilikan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,
sistem dan pelaksanaan GGBS serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang
dapat mempengaruhi kondisi entitas bisnis syariah.
3. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh pelaku bisnis syariah tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan organisasi sesuai dengan peraturan
perundangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
4. Kebijakan organisasi harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada
semua pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana tercermin
dalam surat al-Isra/17: 84 yang artinya “Katakanlah setiap entitas bekerja sesuai dengan
posisinya dan Tuhan kalian yang lebih mengetahui siapa yang paling benar jalanya diantara
kalian”. dan dalam ayat 36 yang artinya “...dan janganlah kamu berbuat sesuatu tanpa
pengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan
dimintai pertanggungjawaban”. Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan
fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah harus
dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu bisnis
syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis
syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku kepentingan dan masyarakat pada
umumnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan.
Akuntabilitas meliputi :
1. Pelaku bisnis syariah harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-
masing organ dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-
nilai, dan strategi bisnis syariah.
2. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua elemen organisasi dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GGBS.
3. Pelaku bisnis syariah harus memastikan adanya sistem pengendalian yang efektif
dalam pengelolaan organisasi.
4. Pelaku bisnis syariah harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran organisasi
yang konsisten dengan sasaran bisnis yang digeluti, serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
5. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap elemen organisasi dan
semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis syariah dan pedoman prilaku
(code of conduct) yang telah disepakati.
6. Pelaku bisnis syariah harus meyakini bahwa semua prosedur dan mekanisme kerja
dapat menjamin kehalalan, tayib, ikhsan dan tawazun atas keseluruhan proses dan
hasil produksi.
3. Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility), pelaku bisnis syariah
harus mematuhi peraturan perundang-undangan dan ketentuan bisnis syariah, serta
melaksanakan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab atas
perbuatan manusia dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya direkam
dalam catatan yang akan dicermatinya nanti, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-
Isra/17: 14 yang artinya: “Bacalah kitabmu (laporan pertanggungjawabanmu). Cukuplah
kamu pada waktu itu mengevaluasi dirimu sendiri.” Akan lebih baik ditambahkan (QS.At-
taubah/9:105) Dengan pertanggungjawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat terpelihara
kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai pelaku bisnis
yang baik (good corporate citizen).
Responsibilitas meliputi:
1. Pelaku bisnis syariah harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan bisnis syariah dan perundangan, anggaran dasar serta
peraturan internal pelaku bisnis syariah (by-laws).
2. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan isi perjanjian yang dibuat termasuk tetapi tidak
terbatas pada pemenuhan hak dan kewajiban yang yang disepakati oleh para pihak.
3. Pelaku bisnis syariah harus melaksanakan tanggung jawab sosial antara lain dengan
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar tempat
berbisnis, dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Pelaksanaan
tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan dengan cara membayar zakat, infak dan
sadaqah.
4. Independensi
Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis syariah harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak tidak boleh saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait dengan konsistensi
atau sikap istiqomah yaitu tetap berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus
menghadapi risiko. Dalam surat Fushshilat/41: 30 Allah Swt berfrman: “Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):
"Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Independensi
merupakan karakter manusia yang bijak (ulul al-bab) yang dalam al-Qur’an disebutkan
sebanyak 16 kali, yang diantara karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap
informasi (mendengar perkataan) dan mengambil keputusan (mengikuti) yang terbaik (sesuai
dengan nuraninya tanpa tekanan pihak manapun)” (az-Zumar/39: 18).
Independensi meliputi:
1. Pelaku bisnis syariah harus bersikap independen dan harus menghindari terjadinya
dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan,
sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
2. Masing-masing organ Perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan peraturan perundangan dan ketentuan syariah, tidak saling mendominasi dan atau
melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
3. Seluruh jajaran bisnis syariah harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
uraian tugas dan tanggung jawabnya.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur kesamaan perlakuan dan
kesempatan. Allah Swt berfirman dalam surat al-Maidah/5: 8, yang artinya: “Wahai orang-
orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang
(golongan) lain menyebabkan kamu tidak berlaku adil. berlaku adillah kamu karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah karena Allah Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan.” Fairness atau kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil dalam
dunia bisnis. Setiap keputusan bisnis, baik dalan skala individu maupun lembaga, hendaklan
dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa yang biasa berlaku, dan tidak
diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis akan
mendapatkan hasil yang seimbang dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik
di dunia maupun di akhirat. Dalam usul fikih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari
sabda Rasulullah Saw, al-kharaj bidh-dhaman yang artinya bahwa usaha adalah sebanding
dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula dimengerti sebagai risiko yang berbanding
lurus dengan pulangan(return). Dalam melaksanakan kegiatannya, Pelaku bisnis syariah
harus senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan, berdasarkan
asas kewajaran dan kesetaraan.
Kewajaran dan Kesetaraan meliputi:
1. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan pada pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan organisasi serta
membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup
kedudukan masing-masing.
2. Pelaku bisnis syariah harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan.
3. Pelaku bisnis syariah harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
pegawai, berkarir, dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin (gender) dan kondisi fisik.
4. Pelaku bisnis syariah harus bersikap tawazun yaitu adil dalam pelayanan kepada para
nasabah atau pelanggan dengan tidak mengurangi hak mereka, serta memenuhi semua
kesepakatan dengan para pihak terkait dengan harga, kualitas, spesifikasi atau ketentuan
lain yang terkait dengan produk yang dihasilkannya.
3. Mewujudkan Persaingan Usaha Yang Sehat Lewat Good Corporate Governance
Akhir-akhir ini marak dibicarakan masalah persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini
tidak terlepas dari adanya praktik monopoli serta pelanggaran terhadap etika bisnis yang
masih dijumpai di kalangan dunia usaha. Praktik-praktik usaha anti-persaingan yang bertolak
belakang dengan prinsip prinsip good corporate governance (GCG) telah lama berkembang
dan tumbuh subur di negara kita. Beberapa praktik anti-persaingan usaha yang dapat
dijumpai dalam kegiatan bisnis di Indonesia, antara lain adanya praktik persekongkolan
(conspiracy) perusahaan tertentu untuk memenangkan sebuah tender di instansi pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta. Selain itu telah membudaya
pula tender arisan dalam sistem pengadaan barang (procurement). Sudah barang tentu hal ini
dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat serta terabaikannya prinsip
keterbukaan (transparency) dan kewajaran (fairness). Bambang Subianto, mantan Menteri
Keuangan RI dalam suatu kesempatan seminar tentang “Pencanangan e-Auction di
lingkungan BUMN”, beberapa waktu lalu, antara lain mengatakan bahwa perilaku curang
dalam bisnis sudah mewabah dan sudah sejak lama dipraktikkan. Hal tersebut mengacu pada
dua petunjuk gejala umum, yaitu praktik membesarkan biaya investasi (yang dikenal dengan
istilah mark up) dan praktik perkomisian dalam pengadaan barang dan jasa. Yang terakhir ini
tercermin dari kenyataan bahwa di suatu perusahaan maupun di instansi pemerintahan
muncul istilah ‘jabatan basah’ dan ‘jabatan kering’. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya
ekonomi biaya tinggi (high cost economy) serta cenderung membuka peluang terjadinya
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).3
4. Penerapan Prinsip GCG
Penerapan prinsip kewajaran (fairness), keterbukaan (transparency), akuntabilitas
(accountability), dan responsibilitas (responsibility) di dalam perusahaan, seharusnya
dijadikan sebagai pedoman atau pun acuan para pelaku usaha (bisnis) dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Perusahaan yang telah menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik
akan mampu memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap segala aktivitas bisnis yang
dijalankannya dalam menghadapi persaingan usaha. Dengan menerapkan GCG, sebuah
perusahaan akan memperlakukan para pesaingnya sebagai mitra bisnis yang setara, sehingga
dapat tercapai win-win solution. Artinya, dalam menjalankan bisnis, kedua-belah pihak akan
mengutamakan prinsip saling menguntungkan, bukan win loss, yaitu salah satu perusahaan
diuntungkan dan yang lain dirugikan. Penerapan prinsip-prinsip GCG di perusahaan
diharapkan dapat membantu terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan kondusif,
Sehingga mengakibatkan semakin banyaknya perusahaan yang sadar untuk
mengimplementasikan prinsip GCG dalam menjalankan kegiatan bisnisnya sehari-hari.
Dengan mulai menerapkan prinsip ini setidaknya dapat dihindarkan adanya praktik monopoli
serta persaingan usaha yang tidak sehat.
3 Oleh Muhammad Arief Effendy dalam harian SUARA KARYA Edisi Rabu, 18 Mei 2005, Rubrik “Opini“
DAFTAR PUSTAKA
Adhiwarman A. Karim. 2001. Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema
Insani Press.
Badrun, Faisal. 1996. dkk. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta : Kencana Press.
Faisal H. Basri & Dendi Ramdani. 2001. Kebijakan Persaingan di Era Otonomi ; Peranan
KPPU. Jakarta : Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta :
Rajawali Pers.
Sukarmi, 2002. “Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas”. Sinar
GRafika.
Susetyo, Kurniawan Eko. 2004. X-File : Menguak Tabir Mahasiswa. Jakarta : Eco Press.
http://mudharabah-ekonomisyariah.blogspot.com/2010/05/etika-persaingan-bisnis-
dalam.html