makalah epilepsi.doc
DESCRIPTION
epilepsiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi telah dikenal sejak zaman dahulu, dalam tulisan dari tahun 2080 sm telah
ditemukan pengenalan akan gejala-gejala epilepsi. Pada masa itu epilepsi masih dihubungkan
dengan pengaruh gaib, roh jahat dan pengaruh dari luar lainnya yang menimpa penderita.
Anggapan ini terus berkembang sampai tahun 400 sm, Hippocrates pada bukunya “On The
Sacred Disease” mengemukakan bahwa penyakit ini bukan disebabkan oleh tenaga
supernatural atau pengaruh gaib tetapi disebabkan karena perubahan dalam otak.
Di negara kita pun sudah lama dikenal terbukti dengan adanya nama lokal untuk
penyakit ini yang disebut sawan, ayan atau celengan dan hingga saat ini masih banyak yang
menghubungkannya dengan hal gaib dan berusaha menyembuhkan dengan cara-cara mistik.
Hingga saat inipun penatalaksanaan penderita epilepsi belum mencapai optimal, hal ini
disebabkan karena pengertian yang salah mengenai epilepsi masih berkembang di masyarakat
sehingga sebagian penderita tidak dibawa berobat malahan disembunyikan karena dianggap
sakit jiwa, membawa sial, dan aib bagi keluarga. Sedangkan tenaga kesehatan sendiri masih
banyak yang ragu-ragu mendiagnosa dan memberikan pengobatan.
Walaupun belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologis tentang epilepsi di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. Jika
dipakai angka-angka prevalensi dan insidens epilepsi yang didapatkan dalam kepustakaan,
yakni prevalensi 5-10 per 1000 dan insidens 0,5 per 1000. Maka dapat diperkirakan bahwa di
Indonesia yang berpenduduk sekitar 180 juta orang, terdapat 900.000-1.800.000 orang
dengan epilepsi, sedangkan insidens adalah 90.000 kasus epilepsi baru tiap tahun. Angka-
angka tersebut mengejutkan jika dibandingkan dengan angka prevalensi penyakit-penyakit
lain yang terdapat di Indonesi. Ini cukup memprihatinkan, terutama bila para penyandang
epilepsi tidak ditangani dengan baik sehingga menimbulkan masalah sosial dan menjadi
beban bagi keluarganya dan masyarakat. Di negara-negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia dimana jumlah spesialis masih kecil, sebagian besar penyandang epilepsi
diharapkan dapat ditanggulangi oleh dokter umum. Dalam penanggulangan epilepsi
pengobatan dengan obat-obat antikonvulsi menduduki tempat terpenting, meskipun faktor-
1
faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka yang menyandang epilepsi seperti faktor
psikososial, lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya perlu diperhatikan
juga. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama bidang kedokteran
pengetahuan mengenai epilepsi pun berkembang dengan pesat sehingga penatalaksanaan pun
semakin baik sehingga kualitas hidup penderita makin dapat ditingkatkan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang dicirikan
oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan
yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya
kejang atau serangan pada hipoglikemi.
Epilepsi berdasarkan etiologi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu sebagai
berikut.
a. Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang tak ditemukan faktor penyebab bangkitan
epilepsinya.
b. Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi sebagai akibat atau gejala dari penyakit lain.
Epilepsi idiopatik biasanya dimulai terjadi pada usia lebih dari 3 tahun, sedangkan
yang simptomatik dapat dimulai dari neonatus hingga usia lanjut sebagai akibat kelainan
kongenital, trauma kelahiran, gangguan metabolik dan infeksi, keracunan, kelainan struktural
misalnya pada abses atau tumor otak, kelainan vaskuler dan cedera kepala sedangkan pada
usia lanjut penyebab tersering adalah kelainan serebrovaskuler dan tumor serebri.
Ditinjau dari segi klinik, patofisiologis dan praktis epilepsi dapat didefinisikan sebagai
bangkitan yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron serebral yang berlebihan
secara berkala, dapat memberikan gejala gangguan kesadaran, gerakan involunter, gangguan
sensorik, motorik, peningkatan aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis.
3
2.2 Sejarah Epilepsi
Keterangan rinci tentang epilepsi yang paling tua terdapat di lembaran Babylon yang
tersimpan di British Museum. Bab ini merupakan bagian dari buku teks kedokteran Babylon
yang terdiri dari 40 lembar, dibuat pada tahun 2000 SM. Pada lembaran tadi termuat catatan
berbagai jenis serangan epilepsi yang berbeda sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini.
Uraian tentang epilepsi tadi menekankan betapa epilepsi disebabkan atau dipengaruhi oleh
kekuatan supranatural, dengan tiap jenis serangan dikaitkan dengan nama roh atau setan.
Dengan demikian terapinya didasarkan atas kekuatan spritual.
Kata epilepsi berasal dari Yunani epilepsia yang berarti serangan. Masyarakat percaya
bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan
penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut
terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya untuk
membawa penderita epilepsi ke dalam kehidupan normal.
Hippocrates percaya bahwa epilepsi bukanlah penyakit yang bersifat suci atau
keramat. Dia menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya
gangguan di otak, pandangan ini merupakan suatu hal yang revolusioner. Dia menyarankan
untuk memberi terapi fisik, bukan terapi spiritual, dan dia menyatakan bahwa bila penyakit
menjadi kronis maka penyakit tadi tidak dapat disembuhkan. Pada pertengahan abad ke 19
epilepsi memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh. Pada tahun 1857 Sir Charles Locock
untuk pertama kalinya mengenalkan sedativa sebagai pengendali serangan epilepsi. Pada
tahun 1870 John Hughlings Jackson mengenali korteks otak sebagai bagian yang terlibat
dalam epilepsi. Pada tahun 1929 Hans Berger memperlihatkan bahwa gelombang listrik di
otak manusia dapat direkam.
Hans Berger, seorang spesialis kedokteran jiwa, mengembangkan human
electroencephalograph pada saat itu dikenal juga sebagai EEG brainswaves. Manfaat EEG
tadi mulai dirasakan pada tahun 1930, yaitu dalam bidang epilepsi. EEG menunjukkan
adanya cetusan listrik di otak, di samping itu EEG juga menunjukkan pola cetusan
gelombang otak yang berbeda. EEG bermanfaat untuk menentukan letak sumber cetusan
listrik di otak. Dalam perkembangannya EEG juga berperan dalam persiapan terapi bedah
untuk epilepsi, hal demikian ini dikembangkan sejak tahun 1950 baik di London, Montreal,
maupun di Paris.
4
Pada pertengahan abad ke 20, EEG permukaan menjadi alat standar untuk
menentukan diagnosis dan klasifikasi serangan. Namun demikian, sebagaimana setiap
penemuan alat baru, banyak terjadi penyalahgunaan, penggunaan yang berlebihan, maupun
kesalahan interpretasi yang berkaitan dengan EEG. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang
yang tidak berpengalaman. Selama pertengahan pertama abad ke 20, obat utama untuk
epilepsi adalah fenobarbital (1912) dan fenitoin (1938). Kemudian sejak tahun 1960
ditemukan berbagai macam OAE baru. Penemuan tersebut didasarkan atas pengetahuan yang
maju tentang aktivitas elektrokimia di otak, terutama neurotransmitter pemacu (excitatory)
dan penghambat (inhibitory).
Pendorong lain dalam bidang kemajuan pengetahuan dan terapi epilepsi adalah
ditemukannya comuterized axial tomography (CAT) scan, magnetic, resonance imaging
(MRI), MRI spectroscopy, dan positron emission tomography (PET). Alat-alat tadi mampu
mengungkapkan lesi di otak yang bertanggung jawab atas terjadinya epilepsi.
The International League Against Epilepsi (ILAE), suatu organisasi profesional yang
memikirkan segala aspek epilepsi, didirikan pada tahun 1909. Pada tahun 1962 didirikan
organisasi yang setara dengan ILAE, diberi nama The International Bureau for Epilepsi
(IBE). Pada tahun 1997 kedua organisasi tersebut bersama-sama dengan WHO
menyelenggarakan Global Anti-epilepsi Campaign.
2.3 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi bangkitan epilepsi (ILAE, 1981) dibuat berdasarkan gejala klinik
gambaran EEG saat serangan (iktal) dan diluar serangan (interiktal).
1) Bangkitan fokal
a. Sederhana
Manifestasi klinik dapat bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang
terkena, dapat menetap atau menyebar tetapi terbatas pada satu hemisfer sehingga
bangkitan dapat terjadi pada salah satu bagian tubuh dan dapat menyebar pada sisi
tubuh yang sama. Bangkitan ini dapat terlihat sebagai gangguan motorik dengan
adanya kejang tonik-klonik pada satu bagian tubuh, terutama kepala atau mata,
bangkitan postural dimana lengan atau tungkai menjadi kaku pada sikap tertentu,
gangguan fonasi atau bicara. Bangkitan somato-sensorik berupa perasaan seperti
ditusuk jarum, rasa sebal, rasa nyeri atau terbakar. Bangkitan sensorik khusus berupa
5
bangkitan visual biasanya sederhana dan tidak terbentuk. Bangkitan auditorik berupa
bisikan, bunyi lonceng. Bangkitan olfaktorik dengan tercium bau biasanya yang tidak
menyenangkan seperti bau mayat, tinja dan lain-lain. Bangkitan gustatorik dengan
halusinasi rasa kecap. Bangkitan vertigo dengan rasa berputar dapat dirinya atau
benda disekitarnya, bangkitan otonom sebagai muntah, pucat, berkeringat,
inkontinensia urine atau tinja dapat pula berupa bangkitan psikis berupa perubahan
dari ingatan akan suatu perjalanan, waktu, keadaan seperti bermimpi, de javu (kembali
ke keadaan lampau) dan jamais’vu (tak mengenal kembali kejadian lampau).
Bangkitan gangguan kognitif dengan distorsi waktu dan depersonalisasi. Bangkitan
dengan gejala afektif dengan rasa sangat senang, rasa takut, depresi.
b. Kompleks
Bila bangkitan parsial sederhana disertai ganguan kesadaran. Yang dimaksud
dengan gangguan kesadaran disini tidak hanya derajat kuantitatif saja (somnolent,
sopor), juga perubahan derajat kesiagaan (awareness yaitu kontak penderita dengan
kejadian dan kemampuan mengingat kembali kejadian dan respons penderita terhadap
rangsang luar yaitu kemampuan penderita untuk melaksanakan suatu perintah atau
gerakan yang dikehendaki).
c. Umum sekunder
Bila bangkitan parsial sederhana atau parsial kompleks berkembang umum tonik
klonik disertai gangguan kesadaran.
2) Bangkitan umum
a. Lena (absence)
Dimana terjadi kehilangan kesadaran biasanya singkat sekali (beberapa detik
sampai setengah menit) ditandai dengan penghentian aktifitas yang sedang
berlangsung, pandangan kosong disertai rotasi bola mata ke atas, dapat disertai
gerakan motorik ringan, misalnya kedutan pada kelopak mata atau sudut mulut, mulut
mengecap-ngecap serangan biasanya sering, dalam satu hari dapat beberapa ratus kali.
Biasanya terdapat pada anak-anak usia 3 sampai 15 tahun, gambaran EEG khas yaitu
adanya gelombang 3 spd, dahulu dikenal sebagai petitmal, ditemukan pada 40%
penderita lena.
6
b. Mioklonik
Mioklonik terjadi kontraksi otot yang bersifat menyentak (jerking) serangan
mioklonik dapat berulang dengan cepat atau hanya sekali-sekali.
c. Tonik, klonik atau tonik-klonik
Bangkitan umum tonik, klonik atau tonik-klonik merupakan serangan berupa
gangguan kesadaran dikuti oleh keadaan tonik sampai pada otot pernafasan sehingga
terjadi stridor dan jeritan epileptic diikuti oleh kejang tonik klonik pada seluruh tubuh.
Bangkitan ini telah dikenal sebagai granmal. Jenis bangkitan ini dapat dimulai ada
masa anak-anak sampai dengan dewasa.
d. Atonik
Bangkitan umum atonik, penderita kehilangan tonus otot secara mendadak
sehingga terjatuh, bila berlangsung singkat terjadi drop attack.
2.4 Patofisiologi Epilepsi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni
neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan
oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami
depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan
berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron sekitarnya
atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama,
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi membuktikan
bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada
daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila
epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Beberapa keadaan yang dapat mencetuskan bangkitan epilepsi diantaranya faktor
genetik dimana sel neuron mempunyai faktor instrinsik untuk terjadinya lepas muatan listrik
yang abnromal, perubahan pada sel yang ditimbulkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit
7
misalnya anoksia, hipoksia, hipokapnia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipokalssemia,
dehidrasi, gangguan hormon adrenal dan progestron, gangguan pelepasan neurotransmitter
misalnya pada kerusakan serebral atau adanya toksin
2.5 Serangan Epilepsi
Didalam klasifikasi sindrom epilepsi menurut ILAE terdapat berbagai macam
sindrom yang tidak seluruhnya sering dijumpai maupun mudah dikenali. Tapi disini akan
dibahas sindrom epilepsi yang sering dijumpai.
2.5.1 Epilepsi Umum Tonik-Klonik
Epilepsi jenis ini dikenal pula sebagai grand mal epilepsy atau generalized tonic-
clonic seizures (GTCS), mengenai 2 dari 10.000 populasi. Serangan meliputi seluruh tubuh,
dimulai dengan rigiditas otot-otot tubuh (tonik) keudian diikuti oleh kontraksi otot-otot secara
ritmik (klonik), dan kehilangan kesadaran. Serangan dapat terjadi pada laki-laki maupun
wanita, umur berapa saja, dan cenderung menjadi kronis. Epilepsi jenis ini dapat bersifat
idiopatik maupun simtomatik.
2.5.2 Epilepsi Umum Absence
Epilepsi absence meliputi 10% kasus epilepsi pada usia anak-anak, mempunyai
prognosis yang baik. Sekitar 40% kasus dapat mengalami serangan tonik-klonik dan hal
demikian ini dapat diobati dengan valproat. Serangan tonik dan klonik pada umumnya terjadi
pada golongan laki-laki dengan awitan pada umur 8 tahun dan terapi awal tidak memberikan
hasil yang baik.
Pada penderita epilepsi absence tidak dijumpai kelainan neurologis lainnya dan
kognisinya juga normal. Namun demikian serangan absence dapat mengakibatkan kesulitan
belajar dan seterusnya menghambat kemampuan belajar penderita. Epilepsi absence lebih
banyak terjadi pada anak-anak perempuan daripada laki-laki (2:1). Awitan serangan terjadi
pada umur 5-10 tahun, namun demikian dapat muncul pada umur 3-13 tahun.
2.5.3 Sindrom Lennox-Gastaut
SLG merupakan salah satu bentuk epilepsi yang berat. SLG muncul pertama kali pada
umur 1-14 tahun, rata-rata 3 tahun. Munculnya serangan dipermudah oleh rasa mengantuk
atau bahkan tanpa rangsangan dapat muncul serangan. Di Eropa, pervalensi SLG adalah 0,1-8
0,28/1000 penduduk. Insedensi tahunan mendekati angka 2/100.000 anak. Di antara anak-
anak yang mengalami keterlambatan intelektual maka 7% dari mereka mengalami SLG, dan
diantara anak-anak yang diasramakan karena keterlambatan intelektual maka 16,3%
mengalami SLG.
SLG dicirikan oleh adanya berbagai jenis serangan, meliputi serangan tonik, atonik,
mioklonik dan absence tidak khas, terjadi setiap hari. Serangan ini sukar diatasi dengan obat
antikonvulsan, dan prognosis biasanya buruk. SLG dapat terjadi tanpa sebab yang jelas,
sering dihubungkan dengan berbagai abnormalitas yang ada sebelumnya, seperti anomali
perkembangan, kelainan metabolik, dan infeksi otak.
2.5.4 Epilepsi Lobus Frontalis
Gambaran umum yang membedakan epilepsi jenis ini dengan bukan epilepsi adalah
serangan besifat stereopatik, terjadi selama penderita tidur, serangan berlangsung sebentar,
segera mengalami generalisasi sekunder, manifestasi motorik menonjol, dan otomatisme
kompleks. Apabila hanya didasarkan atas riwayat maka gejala akan sulit untuk dibedakan
dengan gejala nonepilepsi. Tidak jarang terjadi bahwa penderita epilepsi lobus frontalis
terlebih dahulu dikirim ke spesialis kedokteran jiwa dan bukan ke spesialis saraf. Epilepsi ini
dilatar belakangi oleh berbagai macam penyakit, antara lain disgenesis kortikal, gliosis,
malformasi vaskular, neoplasma, infeksi, dan anoksia. Disamping itu ada yang bersifat
genetik dengan pewarisan autosomal dominant.
2.5.5 Epilepsi Lobus Oksipitalis Fotosensitif Idiopatik
Epilepsi jenis ini merupakan sebagian besar dari epilepsi refleks, serangan epilepsi
dirangsang oleh cahaya atau sinar di sekeliling penderita. Pada tahun 1948 Gastaut et al.
melaporkan bukti adanya hubungan antara serangan epilepsi dengan cahaya yang masuk ke
mata penderita, ialah dengan pemberian rangsangan cahaya secara intermiten terhadap
penderita epilepsi yang sensitif terhadap cahaya. Berdasarkan data di klinik atau pusat
epilepsi, maka proporsi epilepsi jenis ini adalah 0,4% dari 2.447 penderita epilepsi yang
dirawat di klinik tersebut. Penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki (4:1).
Sebagian besar penderita adalah kalangan remaja.
Epilepsi jenis ini dicirikan oleh serangan parsial yang muncul pada masa remaja.
Serangan umum sekunder tidak jarang terjadi. Faktor pencetus yang paling sering dijumpai
9
adalah televisi dan video games. Fenomena visual merupakan awal manifestasi serangan.
Para penderita umumnya menjelaskan adanya bintik atau lingkaran yang cemerlang, dengan
warna yang jelas atau berwarna-warni. Sementara itu beberapa penderita melaporkan adanya
kebutaan yang mendadak atau pandangan menjadi sangat tidak jelas. Fenomena visual
biasanya diikuti oleh tahap versive, kepala dan mata mengalami deviasi. Apabila serangan
berlanjut maka biasanya urutan serangan berikutnya adalah rasa tidak enak di perut, tidak
responsif terhadap sekelilingnya, dan muntah. Beberapa penderita mengeluh nyeri kepala
yang bersifat tajam atau seperti tertikam.
2.6 Jenis-jenis Serangan Epilepsi
Serangan epilepsi sangat bervariasi, walaupun demikian secara individual serangan
epilepsi bersifat stereotipik. Sebagian besar penderita epilepsi tidak menunjukkan kelainan
fisik, serangan hanya berlangsung sepintas tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Sementara
itu, serangan epilepsi bervariasi dalam waktu, tingkat penurunan kesadaran, perasaan
subjektif (sensorik), manifestasi objektif (motorik, kejang), dan perubahan psikologis.
Serangan epilepsi yang nonkonvulsif lebih sulit dikenali daripada yang bersifat
konvulsif dan akan lebih sulit lagi apabila serangan nonkonvulsif tadi disertai oleh perubahan
status mental, perubahan tingkah laku, atau gejala psikiatrik lainnya. Hal demikian ini juga
berlaku untuk status epilepatikus yang bersifat nonkonvulsif.
1) Epilepsi lobus temporalis (ELT)
Pada umumnya epilepsi yang tidak terdiagnosis termasuk dalam kelompok epilepsi
parsial terutama yang tidak mempunyai gejala kejang. Dari kelompok ini yang paling
menonjol adalah ELT atau epilepsi psikomotor. ELT meliputi sepertiga dari seluruh
jenis epilepsi yang serangannya sering melibatkan unsur psikis. Manifestasi ELT
sangat bervariasi, berupa sensasi epigastrik, halusinasi, gangguan memori, keadaan
seperti mimpi, otomatisme primer, gangguan afektif dan hipergrafia.
a. Sensasi epigastik
Sensasi epigastrik sebenarnya lebih merupakan halusinasi somatik, biasanya
hanya berupa rasa tidak enak bercampur dengan perasaan takut. Sensasi epigastrik ini
biasanya naik ke dada, tenggorokan, dan kemudian ke mulut. Variasi lainnya adalah
munculnya sensasi tertentu di daerah mulut dan bibir sehingga mulut penderita
berkomat-kamit atau mengecapkan lidah dan bibir berkali-kali. Gejala-gejala tersebut
10
bersumber pada fokus epilepsi di lobus temporalis bagian anterior dan kadang-kadang
melibatkan amigdala.
b. Halusinasi
Pada ELT dapat terjadi halusinasi pembauan atau penghidupan, pengecapan lidah,
pendengaran, penglihatan dan vestibular. Gangguan visual kadang-kadang lebih
bersifat ilusi daripada halusinasi, misalnya benda-benda terlihat lebih kecil
(mikropsia), terlihat lebih jauh atau terlihat terpilin. Pada beberapa penderita dapat
terjadi perubahan orientasi visual secara mendadak ataupun perubahan dalam hal
depth perception. Halusinasi kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam apresiasi
terhadap kecepatan atau intonasi bicara serta gangguan persepsi waktu. Fenomena
vestibular dapat berupa vertigo paroksismal.
c. Gangguan memori
Gangguan memori dan keadaan seperti mimpi meliputi dysmnesic syndrome (deja
vu, jamais vu) dan keadaan seperti mimpi. Penderita sering merasa seakan-akan
melayang-layang atau terapung-apung atau merasa bahwa antara jiwa dan raganya
seolah-olah terpisah. Di samping itu sering pula terdapat gangguan afektif yang
berupa perasaan takut, panik, cemas, ekstase, depresi atau kombinasi dari berbagai
episoda tadi. Hal-hal tadi merupakan fenomena temporolimbik.
d. Hipergrafia
Hipergrafia meliputi tiga hal pokok, ialah cara penulisan (misalnya memakai
bayangan cermin, kode, warna tinta yang berbeda-beda kaligrafi), ritualized script
exessive (misalnya panjang tulisan dan/atau frekuensi serta lamanya menulis), dan isi
atau tema tulisan (misalnya filosofi, etika, moral, agama). Hipergrafia merupakan
salah satu perubahan tingkah laku (yang lainnya adalah hiperemosionalisme,
obsesionalisme, religiousity, perubahan tingkah laku seksual dan circumstantiality)
yang terdapat pada ELT. Namun demikian hubungan antara disfungsi lobus
temporalis dengan perubahan tingkah laku tadi masih belum jelas benar.
e. Aura
Serangan epilepsi pada ELT dapat bersifat tunggal. Serangan tunggal ini dapat
berfungsi sebagai aura apabila sesudah serangan tadi muncul serngan-serangan
epilepsi lainnya. Dengan demikian aura merupakan tanda dari serangan parsial
kompleks.
11
2) Epilepsi refleks
Di samping ELT maka ada jenis epilepsi lainnya yang sulit dikenali sehingga dapat
lolos dari diagnosis epilepsi. Epilepsi refleks (ER) adalah salah satu contoh epilepsi
yang dapat membingungkan penderita, keluarganya, atau bahkan dokter yang
memeriksanya. Yang membingungkan bukan jenis serangannya melainkan kejadian-
kejadian sebelum munculnya serangan. Pada ER terdapat serangan secara teratur,
dalam bentuk serangan parsial maupun umum, sesudah penderita menerima rangsang
tertentu yang jelas diketahui jenisnya. Fenomena ini seringkali dipergunakan dalam
pemeriksaan EEG yang memanfaatkan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Istilah ER
mengandung makna yang luas. Sejak munculnya laporan tentang beberapa kasus ER
sebagai akibat dari parasit dalam usus, masturbasi, dan lain-lain yang bersifat
noncausative faktors maka terjadilah kebingungan dalam hal makna ER yang
sebenarnya. Sehubungan dengan hal ini, Penfield dan Erickson pada tahun 1941
mengusulkan istilah yang dianggap lebih cermat dan speisifk, ialah sensory-
precipitated seizures.
a. Photic-induced epilepsi
Epilepsi jenis ini disebut pula sebagai photosensitive epilepsi, merupakan salah
satu jenis ER yang membingungkan penderita, keluarga, maupun dokter yang
memeriksanya. Epilepsi jenis ini dapat terjadi dalam berbagai keadaan misalnya
perubahan sinar yang redup menjadi terang benderang, berkendaraan di sepanjang
deretan pepohonan di mana sinar matahari menerobos sela-sela dedauanan, melihat
roda berputar, melihat bandul berayun, melihat kedipan cahaya televisi atau lampu
neon, dan bahkan dapat self-induced ialah ketika penderita melambaikan tangan di
antara matanya dengan sumber cahaya. Jenis serangan epilepsi bervariasi dari gerakan
yang tak bermakna, lena, sampai kejang umum.
b. Pattern-evoked seizures
Sebagaimana photic-induced epilepsi maka jenis serangan seperti ini termasuk
kelompok visually-induced epilepsi dan lebih jarang dijumpai. Apabila penderita
melihat pola khusus atau tertentu misalnya kisi-kisi atau deretan garis vertikal atau
horizontal, maka akan muncul serangan lena. Sebagai contoh, keluarga penderita tidak
menyadari adanya fenomena ini, tetapi setelah ditelusuri secara retrospektif maka
terungkap bahwa penderita mengalami serangan epilepsi berulang kali setiap kali dia
mengenakan pakaian bermotif kotak-kotak atau bergaris.
12
c. Eye-closure seizures
Jenis serangan ini juga termasuk kelompok visually-induced epilepsi, disebut pula
dengan closing-the-eyes epilepsi. Kedipan atau tertutupnya mata dapat menginduksi
paroxysmal discharges yang tampak pada EEG serta merangsang munculnya
serangan epilepsi.
Ada beberapa pandangan mengenai mekanisme terjadinya serangan secara
reflektorik tadi. Diperkirakan bahwa serangan tadi didasarai oleh mekanisme
proprioseptif, kemudian ada pula yang berpendapat bahwa serangan tadi didasari oleh
mekanisme hubungan antara menutupnya kelopak mata dengan pusat kesadaran di
formasio retikularis. Di samping itu ada pula yang menduga bahwa mekanismenya
didasari oleh penekanan tangsang visual secara mendadak. Namun demikian
semuanya tadi tidak memberikan kejelasan. Kemudian muncul teori lain yang
mengatakan bahwa serangan tadi mungkin disebabkan oleh cahaya yang menerobos
sela-sela atau celah palpebra.
d. Eating-evoked epilepsi
Serangan epilepsi diinduksi oleh aktifitas makan (mengunyah, menelan). Jenis
epilepsi ini merupakan ER kompleks yang bersumber di lobus temporalis dan daerah
suprasylvii. Pada umumnya penderita tidak menyadari adanya hubungan antara
serangan epilepsi yang ada dengan aktivitas makan. Bagi yang menyadari fenomena
ini maka penderita cenderung takut untuk makan dengan akibat berat badan menurun
dan berikutnya terjadi gangguan nutrisi.
Serangan mioklonik pada jenis ER ini dirangsang oleh proses menelan makanan.
Dalam hal ini rangsangan tidak dipengaruhi oleh suhu, rasa, susunan, makanan,
lamanya makan atau tingkat proses menelan. Serangan epilepsi dimulai dengan
kehilangan kesadaran secara singkat, sering diiringi oleh otomatisme dan kemudian
diikuti oleh kelemahan otot faring, laring, lidah, wajah, dan leher. Dengan demikian
terjadi kelemahan otot-otot bulbar, penderita tidak mampu menelan dan berbicara,
sementara itu penderita masih tetap mengerti semua perintah yang bersifat kompleks.
Serangan tadi disertai oleh gelombang paku (spike waves) pada EEG yang berasal dari
fisura Sylvii kiri.
e. Language epilepsi
Bentuk lain dari ER adalah language epilepsi yang didominasi oleh reading
epilepsi. Dikenal dua jenis reading epilepsi ialah primary reading epilepsi (PRE) dan
13
secondary reading epilepsi (SRE). Untuk pertama kali kasus PRE dilaporkan oleh
Bickford et al. pada tahun 1956. Manifestasi PRE meliputi serangan mioklonik yang
singkat pada otot rahang, wajah, dan lidah sering kali disertai vokalisasi, kehilangan
kesadaran sejenak, serta kehilangan sebagian kalimat yang sedang dibacanya.s
erangan berupa kejang tonik-klonik.
Ciri lain dari PRE adalah terjadi pada usia dasawarsa kedua, riwayat keluarga
positif, tidak ada defisit neurologis. Ciri-ciri tadi untuk membedakan antara PRE dan
SRE. Pada SRE serangannya tidak bergantung pada aktivitas membaca, tidak ada
mioklonik otot rahang, dan resting EEG biasanya abnormal. Sementara itu pada PRE
menunjukkan resting EEG yang normal dan ketika sedang membaca maka pada
rekaman EEG muncul gelombang epileptiform.
Serangan pada reading epilepsi tidak berhubungan dengan materi yang sedang
dibaca, namun demikian ada kasus yang mengalami serangan ketika sedang membaca
bahasa asing di mana penderita berusaha untuk memahaminya. Ada pula kasus yang
menunjukkan serangan pada saat sedang menulis, mengetik main piano, dan membaca
notasi musik tanpa syair. Berdasarkan kasus-kasus tersebut timbul kesan bahwa
reading epilepsi merupakan suatu ganguan komunikasi dan serangannya dirangsang
oleh aktivitas fungsi luhur.
f. Auditory-evoked seizures
Rangsangan pada ER jenis ini bersifat spesifik misalnya dering pesawat telepon,
suara tertentu, atau musik tertentu. Ada pula rangsangan yang tidak spesifik misalnya
suara yang keras dan mendadak. Pada startle of acousticomotor seizures rangsangan
suara bersifat sangat mengejutkan dengan gejala myoclonic jerk yang bersifat tunggal
dan kemudian mncul berulang-ulang disusul oleh kejang tonik dan akhirnya kejang
tonik-klonik. Pada musicogenic seizures timbul serangan psikomotor disertai adanya
gelombang distrimik di daerah lobus temporalis.
g. Eyelid myoclonia
Eyelid myoclonia (EM) ada yang disertai absence (EMA) dan ada yang tanpa
absence. untuk pertama kali EMA dilaporkan oleh Jeavons pada tahun 1977. Sampai
dengan tahun 1996 ada 9 laporan dan konfirmasi mengenai EMA tadi. Pada awalnya
EMA disalahartikan sebagai tic atau manerisme. Gambaran klinisnya adalah sebagai
berikut adalah mata berkedip-kedip bersama-sama dengan kepala mendongak
tersentak-sentak dan bola mata melirik ke atas secara ritmis. Gerakan tersebut
14
berlangsung singkat, dalam satu hari dapat terjadi ratusan kali, disertai dengan
penurunan kesadaran, dipicu oleh sinar matahari atau cahaya yang berkedip-kedip.
3) Unclassified seizures
a. Versive seizures
Serangan epilepsi dicirikan oleh gerakan memalingkan kepala ke arah satu sisi
dan disertai oleh lirikan bola mata ke arah yang sama. Untuk pertama kalinya kasus
ini dilaporkan oleh John Hughlings Jackson pada tahun 1880. Gerakan tersebut
berlangsung beberapa detik yang kemudian diteruskan dengan kejang atau berhenti
begitu saja. Kadang-kadang kepala dan badan bersama-sama bergerak memutar ke
arah satu sisi, gerakan ini terjadi secara mendadak. Dikenal adanya contraversive
seizures kepala berpaling ke arah yang berlawanan dengan fokus epilepsi. Sedang
ipsiversive seizures kepala berpaling ke arah fokus epilepsi. Keduanya bersumber
pada fokus epilepsi di lobus frontalis, temporalis, atau oksipitalis.
b. Volvular epilepsi
Epilepsi jenis ini dicirikan oleh gerakan berputar, dengan langkah-langkah kecil,
satu sampai dengan beberapa kali putaran, sementara itu penderita tetap sadar tetapi
tidak mampu berbicara. Pada beberapa kasus dapat pula diakhiri dengan kejang umum
dan penurunan kesadaran. Fokus epilepsi tidak terbatas di daerah temporal saja tetapi
juga terdapat di daerah frontal bagian depan, parietal, dan oksipital.
Versive seizures dan volvular epilepsi menunjukkan gerakan mendadak dan aneh
(terutama bagi awam) sehingga ada kemungkinan dicarikan pertolongan kepada ihak
nonmedik. Sementara itu bagi klinis ada kemungkinan bahwa gerakan tersebut
dianggap sebagai perubahan tingkah laku atau sekedaar sebagai suatu tortikolis
spasmodik.
c. Aphasic seizures
Jenis serangan ini bersifat sepintas dan dapat muncul sebagai satu-satunya
manifestasi klinis. Pada beberapa kasus serangan afasia diikuti oleh gerakan klonik
pada otot wajah. Komponen afasia ini pada umumnya merupakan suatu serangan yang
dirangsang oleh musik dengan sifat suara tertentu. Dengan demikian ada yang
mengganggap atau memasukkannya ke dalam jenis musicigenic epilepsi.
d. Epileptic dizziness
Dizziness diartikan sebagai perasaaan kehilangan keseimbangan dalam waktu
sepintas. Dizziness dapat muncul sebagai akibat gangguan fungsi sistem vestibular di
15
sembarang tempat antara telinga dan korteks serebri. Di samping itu dapat pula terjadi
pad multplesclerosis dan hiperventilasi yang berkaitan dengan kecemasan atau
ketegangan emosional.
Epileptic dizziness diperkenalkan oleh John Hughllings Jackson dan kemudia
oleh Gowers lebih dari 100 tahun yang lalu. Serangan ini sering mucnul sebagai
bagian dari aura ada kejang umum. Namun demikian epilepsi jenis ini lebih spesifik
untuk epilepsi lobus temporalis. Pada beberapa kasus serangan dapat bersifat tunggal
yang muncul secara periodik dan didukung oleh gambaran EEG yang abnormal
dengan berbagai jenis gelombang, tanpa disertai gangguan fungsi vestibular.
16
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penyebab dan Pemicu Serangan Epilepsi
3.1.1 Penyebab
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-
sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65 % dari seluruh kasus
epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor yang sudah diketahui yaitu :
trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak,
masalah kardivaskular, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis),
dan infestasi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui faktor-faktor tersebut maka
epilepsi yang ada disebut epilepsi simtomatik. Sementara itu epilepsi yang faktor
penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik.
Untuk mencari faktor penyebab maka diperlukan anamnesis yang cermat dan lengkap.
Kejang demam merupakan salah satu factor resiko yang sering diperdebatkan. Kejang demam
sederhana terjadi pada 3-5 % anak-anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun yang sebelumnya
dalam keadaan sehat. Stroke merupakan faktor resiko epilepsi yang penting khususnya pada
kelompok lanjut usia. Penderita yang mengalami stroke memiliki kemungkinan 20 kali lebih
besar untuk epilepsi daripada populasi umum.
Faktor penyebab epilepsi sungguh sangat banyak, dapat bersifat tunggal maupun
dalam bentuk kombinasi. Upaya untuk mencari faktor penyebab antara lain pemeriksaan
darah, pemeriksaan cairan serebrospinal, CT scan, dan MRI. Berikut ini adalah daftar
penyebab epilepsi.
1) Idiopatik (penyebab tidak diketahui)
a. Terjadi pada umur berapa saja, terutama kelompok umur 5-20 tahun.
b. Tidak ada kelainan neurologis
c. Ada riwayat epilepsy pada keluarganya
2) Defek kongenital dan cedera perinatal
Munculnya serangan pada usia bayi atau anak-anak
3) Kelainan metabolik
a. Terjadi pada umur berapa saja
17
b. Komplikasi dari diabetes melitus
c. Ketidakseimbangan elektrolit
d. Gagal ginjal dan uremia
e. Defisiensi nutrisi
f. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
4) Trauma kepala
a. Terjadi pada umur berapa saja, terutama pada dewasa muda
b. Terutama pada kontusio serebri
c. Munculnya serangan biasanya 2 tahun pasca cedera
d. Bila muncul awal (2 minggu pascacedera) biasanya tidak menjadi kronis
5) Tumor dan proses desak ruang lainnya
a. Terjadi pada umur berapa saja, terutama umur di atas 30 tahun
b. Pada awalnya berupa serangan parsial
c. Kemudian berkembang menjadi serangan umum tonik-klinik
6) Gangguan kardivaskular
Terutama karena stroke dan pada lanjut usia
7) Infeksi
a. Dapat terjadi pada umur berapa saja
b. Mungkin bersifat reversible
c. Dalam bentuk ensefalitis, meningitis, abses
d. Dapat meruapakn akibat dari infeksi berat di bagian lain
e. Infeksi kronis (sifilis)
f. Komplikasi dari AIDS
8) Penyakit degeneratif
a. Terutama pada lanjut usia
b. Demensia Alzheimer
3.1.1 Pencetus serangan
Dalam penatalaksanaan epilepsy perlu ditanyakan hal-hal yang terjadi sebelum
muncul serangan, misalnya kelelahan fisik, kelelahan mental, kurang minum, kurang tidur,
terkena sinar matahari secara langsung, dan sinar dari layar monitor televise maupun
computer. Hal-hal tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya serangan.
18
1) Cahaya tertentu
Cahaya tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi demikian disebut
sebagai epilepsi fotosensitif atau fotogenik. Cahaya yang mampu merangsang
terjadinya serangan adalah cahaya yang berkedip-kedip atau menilaukan.
2) Kurang tidur
Diduga bahwa kurang tidur dapat menurunkan ambang serangan yang kemudian
memudahkan terjadinya serangan.
3) Faktor makan dan minum
Faktor makan dan minum sehari-hari dapat menjadi masalah pada penderita epilepsi.
Makan dan minum harus teratur, jangan sampai terlalu lapar dan terlalu haus ataupun
sebaliknya.
4) Suara tertentu
Suara tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini disebut
epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi atau
berkualitas keras dapat menimbulkan serangan.
5) Reading dan eating epilepsy
Reading epilepsy adalah serangan dirangsang oleh kegiatan membaca. Eating epilepsy
menunjukkan bahwa serangan terjadi pada saat penderita mengunyah makanan.
6) Lupa atau enggan minum obat
Lupa minum obat dapat menimbulkan serngan bahkan serangan yang muncul dapat
lebih lama atau lebih berat.
7) Drug abuse
Kokain dapat menimbulkan serangan dalam waktu beberapa detik, menit, atau jam
sesudah mengkonsumsinya.
8) Mensturasi
Hal ini berkaitan dengan kadar esterogen yang tinggi dan rendahnya kadar
progesteron.
9) Stres
Stress dapat mempengaruhi fungsi otak melalui berbagai cara. Stress berkaitan
dengan berbagai jenis emosi yang tidak mengenakkan perasaan misalnya khawatir,
takut, depresi, frustasi, dan marah.
19
3.2 Epidemiologi Epilepsi
Dibidang ilmu penyakit syaraf menduduki urutan kedua setelah gangguan peredaran
darah otak. Insidens epilepsi diberbagai negara bervariasi antara 0,2% sampai 0,7% bahkan di
negara berkembang diperkirakan mencapai 1%, sedangkan di Indonesia pada tahun 1983
diperkirakan terdapat 1 juta penderita, laki-laki lebih banyak daripada wanita. Bangkitan
epilepsi dapat dimulai pada semua umur, tetapi terdapat perbedaan frekuensi yang menyolok
pada kelompok umur tertentu 30%-32,9% penderita mendapat bangkitan pertama pada umur
kurang dari 4 tahun, 50%-51,5% pada usia kurang dari 10 tahun dan 75%-83,4% pada umur
kurang dari 20 tahun.
3.2.1 Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya
bervariasi, terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya disebut
idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik, sedangkan epilepsi
yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simptomatik. Pada epilepsi
idiopatik diduga adanya kelainan genetik. Untuk menentukan faktor penyebab dapat
diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali, misalnya usia dibawah 18 tahun
kemungkinan faktor adalah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat,
struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan
lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-
neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal atau postnatal. Faktor prenatal
dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang
dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
a. Faktor Prenatal
b. Faktor Natal
c. Faktor Postnatal
d. Faktor Herediter (Keturunan)
Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi.
Apabila seseorang mengidap epilepsi pada masa kecilnya, maka saudara kandungnya juga
20
memiliki resiko tinggi menderita epilepsi. Demikian pula pada anak-anak yang akan
dilahirkan.
e. Jenis kelamin
Lelaki lebih berisiko terkena epilepsi daripada wanita. Dari suatu penelitian yang
dilakukan oleh Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, didapatkan bahwa pria lebih sering
menderita kerusakan otak yang tidak fatal misalnya cedera kepala. Sedangkan penderita
wanita lebih cepat menyembunyikan penyakitnya dan tidak mencari pengoobatan.
f. Cedera kepala
Cedera ini bertanggung jawab pada banyak kasus epilepsi. Hal ini dapat dikurangi
resikonya dengan selalu menggunakan sabuk pengaman ketika mengendarai mobil dan
menggunakan helm ketika mengendarai motor, bermain ski, bersepeda atau melakukan
aktifitas lain yang berisiko terkena cedera kepala.
g. Strok dan penyakit vaskular lain
Ini dapat menyebabkan kerusakan otak yang memicu epilepsi. Kita dapat mengambil
beberapa langkah untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit tersebut, termasuk adalah batasi
untuk mengkonsumsi alkohol dan hindari rokok, makan makanan yang sehat dan selalu
berolahraga.
h. Infeksi pada otak
Infeksi seperti meningitis, menyebabkan peradangan pada otak atau tulang belakang
dan menyebabkan peningkatan risiko terkena epilepsi.
3.2.2 Distribusi
3.2.2.1 Orang
Di Indonesia sendiri, belum ada angka pasti yang menunjukkan berapa prevalensi dan
insidensi dari penyakit epilepsi. Namun, menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) tahun 2012, diperkirakan penderita epilepsi aktif saat ini adalah 1,8
juta per 220 juta penduduk Indonesia. Sedangkan perkiraan penderita baru yaitu 250.000
penderita pada tahun 2012. Selain itu, ada juga data dari WHO tahun 2005. Dilaporkan dari
108 negara meliputi 85,4% dari jumlah penduduk di dunia, ada sekitar 43.704.000 orang 21
dengan epilepsi. Ini berarti jumlah rata-rata orang dengan epilepsi adalah 8,93 per 1000
penduduk. Jumlah rata-rata orang dengan epilepsi per 1.000 populasi bervariasi di seluruh
wilayah. Penderita epilepsi lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
WHO menyatakan bahwa informasi mengenai jumlah orang dengan aktif epilepsi tidak
diperoleh dan informasi mengenai jumlah orang dengan epilepsi pada kelompok-kelompok
khusus misalnya anak-anak juga tidak diperoleh. Data mengenai jumlah orang dengan
epilepsi tidak dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian yang ketat sebagaimana
studi epidemiologi, metode tersebut mahal dan tidak mudah untuk melaksanakannya. Sumber
informasi bervariasi dari seluruh negara yang melaporkan. Sebagai contoh, beberapa
responden memberikan angka berdasarkan prevalensi umum atau temuan dari satu wilayah
tertentu negara atau jumlah orang yang memenuhi syarat untuk memakai obat antiepilepsi.
3.2.2.2 Tempat
Insidens (jumlah kasus baru per tahun) epilepsi adalah 24-53 per 100.000 penduduk di
negara maju. Di negara berkembang insidens epilepsi adalah 49,3-190 per 100 000 penduduk.
Kasus baru lebih banyak terjadi di negara berkembang. Jumlah rata-rata orang dengan
epilepsi di negara berpenghasilan tinggi adalah berkisar 7,99 per 1.000 penduduk dan 9,50
di negara-negara berpenghasilan rendah. Berikut ini adalah grafik distribusi rata-rata jumlah
penderita epilepsi di dunia.
22
Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah rata-rata orang yang menderita epilepsi di
Amerika adalah 12,59 per 1000 penduduk, 11,29 per 1000 penduduk di Afrika, dan
seterusnya.
3.2.2.3 Waktu
Epilepsi dapat terjadi kapan saja, tidak ada batasan waktu tertentu.
3.3 Diagnosa epilepsi
Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan factor
penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Penegakan diagnosis harus dilaksanakan
secara runtut dan terarah.
1) Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dikombinasikan
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
a. Kecermatan anamnesis
Laporan dari penderita dan saksi mata sangat bermanfaat untuk mengarahkan
diagnosis. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
b. Mode of onset
Mode of onset merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara jelas.
c. Aura
Pemeriksaan harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik kepada
penderita maupun saksi mata tentang aura, yang mungkin bersifat samar-samar atau
tidak menentu gambarannya. Bentuk-bentuk aura yang dapat digambarkan lebih jelas
antara lain sensasi aneh di dalam perut, dada, atau kepala, perasaan kesemutan dan
lainnya.
d. Kejadian selama dan sesudah serangan
Kejadian selama serangan harus dirinci dideskripsikan secara tepat. Kondisi
sesudah serangan bermanfaat untuk menentukan perjalanan serangan.
23
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada penderita yang lebih tua,
auskultasi di daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit vascular. Pada anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan pertumbuhan.
3) Elektro-ensefalografi
Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dengan pasta konduktif dapat mendeteksi
aktifitas listrik spontan di otak. EEG melukiskan aktifitas otak sebagai gelombang, frekuensi
gelombang di ukur per detik (Hz). Pada epilepsy pola EEG dapat membantu untuk
menentukan jenis dan lokasi serangan.
4) Rekaman video-EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningktkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
5) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitive dan secara anatomic akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Di samping itu MRI juga dapat
mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil, malformasi
vascular tertentu, dan penyakit demielinisasi.
3.4 Pengobatan Epilepsi
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak
kambuh. Obat yang dimaksud adalah obat antikonvulsan atau obat antiepilepsi. Pengobatan
epilepsi berlangsung lama. Hal ini harus dicamkan oleh penderita dan keluarganya.
Tabel Obat antikonvulsan yang lazim digunakan
Nama Generik Nama Dagang
Fenobarbital, Luminal
Fenitoin
Karbamazeptin Dilantin
24
Diazepam Tegretol, Temporol
Klonazepam Stesolid, Valium
Primidon Rivotril
Valproat Epilim, Leptilan
3.4.1 Fenobarbital (Luminal)
Fenobarbital mulai digunakan sebagai obat antikonvulsan pada tahun 1912. Harganya
murah, toksisitasnya rendah (cukup aman) dan dapat diperoleh di semua apotek. Fenobarbital
dapat digunakan terhadap hampir semua jenis epilepsi, misalnya : grandmal, psikomotor,
fokal motor. Dosis bagi orang dewasa 60-180 mg tiap 24 jam. Dosis umum pada anak 5-8
mg/kg.obat ini biasanya diberikan sehari sekali waktu malam atau 2 x sehari.obat ini
dinaikkan dosisnya 30 mg setiap minggu.
Efek samping dari fenobarbital adalah rasa kantuk. Ini dapat terjadi pada waktu
permulaan pengobatan dan biasanya berkurang atau menghilang setelah beberapa hari
pengobatan, rasa mengantuk ini dapat mengurangi kelincahan berfikir anak yang sedang
bersekolah. Bila perlu penderita dapat minum kopi untuk mengurangi rasa mengantuk. Pada
dosis yang lebih tinggi dapat terjadi gangguan koordinasi motorik (ataksia) dan nistagmus
(gerakan-gerakan pada bola mata).
Pada anak, fenobarbital sering mengakibatkan hiperaktivitas. Anak menjadi banyak
bergerak, sukar duduk diam untuk jangka waktu yang cuku, lama ia tidak dapat
berkonsentrasi pada satu topik selama beberapa menit, karena perhatiannya mudah sekali
beralih. Dan reaksi alergi sesekali dapat terjadi.
3.4.2 Difenilhidantoin (Phenytoin, Dilantin)
Obat difenilhidantoin digunakan terhadap epilepsi sejak tahun 1938. Obat ini
berkhasiat baik terhadap epilepsi jenis grandmal, jenis fokal dan psikomotor. Obat ini tidak
berkhasiat terhadap jenis petit mal dan terhadap kejang demam.
25
Pada penderita epilepsi yang bersekolah atau bekerja, lebih cocok memakai obat
difenilhidantoin (DFH) daripada fenobarbital. DFH kurang menyebabkan rasa mengantuk
dibanding fenobarbital. Pada anak yang bersekolah dan orang dewasa yang bekerja rasa
mengantuk harus dihindari agar mereka dapat berkonsentrasi dengan baik. Dosis DFH
berkisar antara 4-10 mg/kilogram berat badan/hari. Pada orang dewasa ini dapat diberi satu
kali atau dibagi dua kali sehari. Pada anak yang berat badannya kurang dari 30 kilogram,
diberikan dalam 3 dosis sehari. Dengan dosis tersebut di atas diharapkan kadar DFH di dalam
darah berada antara 10-20 mikrogram/ml (=kadar terapetik bagi DFH).
Efek samping dari DFH, pada dosis terapetik, yaitu pada kadar obat di dalam darah
yang berkisar antara 10-20 mikrogram/ml, umumnya tidak terjadi rasa mengantuk. Pada dosis
yang lebih tinggi, dengan kadar DFH di dalam darah yang lebih tinggi, dapat terjadi sedasi
(mengantuk,tidur), nistagmus (gerak ritmik bola mata), ataksia (gangguan koordinasi sistem
motorik).
Pada orang dewasa nistagmus umumnya muncul bila kadar obat di dalam darah lebih
besar dari 20 mikrogram/ml. Ataksia timbul pada kadar lebih 30 mikrogram/ml, dan sedasi
terlihat pada kadar lebih dari 40 mikrogram/ml. Pada anak gejala intoksikasi (keracunan) atau
efek samping biasanya kurang tegas. Biasanya berupa kurang nafsu makan, mengantuk,
prestasi sekolah menurun, ketidak stabilan dalam gerakan. Pada bayi sukar diketahui gejala
intoksikasi DFH. Gejala ataksia dan diplopia (melihat kembar) yang sering merupakan gejala
dini dari keracunan DFH, tidak mudah diketahui pada bayi. Itulah sebabnya DFH sebaiknya
tidak digunakan pada bayi.
Reaksi alergi dijumpai pada kira-kira 5% penderita yang mendapat DFH, dengan
gejala antara lain bercak-bercak merah di kulit. Bila didapatkan reaksi alergi, obat harus
segera dihentikan. Gusi yang bertambah tebal (hiperplasia) kadang-kadang dijumpai pada
penderita yang memakan obat DFH. Hal ini lebih sering dijumpai pada anak. Penebalan gusi
ini mulai terlihat 2-3 bulan pengobatan. Timbulnya penebalan gusi ini dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan mulut dan gigi geligi. Penderita harus menggosok gigi secara
teratur, 2-3 kali sehari. Bila perlu, hiperplasia gusi ini dapat diobati dengan pembedahan.
Hipertrikhosis (rambut badan bertambah) dapat pula terjadi pada beberapa penderita yang
mendapat DFH, dan mulai terlihat setelah mendapat obat lebih 2-3 bulan.
26
3.4.3 Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
Karbamazepin mulai digunakan sebagai obat antiepilepsi pada tahun 1974 di Amerika
Serikat. Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa karbamazepin merupakan
antikonvulsan yang terutama efektif terhadap epilepsi jenis psikomotor. Namun, juga
berkhasiat terhadap jenis grandmal dan jenis fokal motor. Karbamazepine tidak berkhasiat
terhadap epilepsi jenis petit mal.
Karbamazepin juga mempunyaiefek psikotropik (berpengaruh baik terhadap keadaan
psikis). Efek psikotropik ini dapat berupa penderitamenjadi lebih gesit, lebih bergairah,
gangguan tingkah laku berkurang atau menghilang. Efek psikotropik ini dapat dijumpai pada
segala jenis epilepsi. Karbamazepin kurang menyebabkan sedasi (rasa mengantuk) dibanding
antikonvulsan lainnya. Efek psikotropik obat ini merupakan suatu keuntungan bagi anak yang
menderita epilepsi jenis psikomotor, yang sering disertai gangguan tingkah laku.
Dosis karbamazepin ialah 10-30 mg/kilogram berat badan/hari pada anak, yang dibagi
dalam 2-4 kali pemberian. Pada orang dewasa dosis berkisar antara 400-1600 mg/hari. Kadar
terapetikdi dalam darah ialah 4,5-11 mikrogram/ml. Efek samping karbamazepin yang
berkaitan dengan besarnya dosis ialah rasa capai, nistagmus, rasa puyeng (vertigo), gangguan
koordinasi motorik (ataksia), bicara pelo dan melihat kembar (diplopia). Bila dosis dikurangi,
gejala ini akan menghilang atau berkurang.
Dapat pula terjadi reaksi alergi, berkurangnya sel-sel darah putih dan trombosit,
gangguan fungsi hati. Oleh karenanya harus diperiksa secara berkala keadaan darah dan
fungsi hati. Dianjurkan agar pemeriksaan ini dilakukan tiap bulan selama tahun pertama
pengobatan, dan setelah itu tiap tiga bulan. Bila terjadi reaksi alergi, obat harus segera
dihentikan.
3.4.4 Diazepam (Valium, Stesolid)-status epilepsi
Diazepam biasanya digunakan untuk kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsif) atau serangan epilepsi yang timbul secara beruntun (status epilepsi). Status
epilepsi atau kejang yang berlangsung lama merupakan keadaan darurat. Keadaan ini harus
segera diatasi dan diakhiri karena dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Serangan kejang atau epilepsinya dapat segera diakhiri dengan obat antikonvulsan diazepam,
yang diberikan melalui pembuluh darah vena.
27
Bila pemberian melalui vena ini sulit (misalnya tenaga medis tidak ada, harus diberi
oleh orang tuanya; atau mencari pembuluh darah vena sulit karena kecil pada bayi) diazepam
dapat diberikan melalui dubur (per rektum). Dosis per rektum ini ialah 5 mg bagi bayi yang
berat badannya kurang dari 10 kg, dan 10 mg bagi bayi atau anak yang berat badannya
melebihi 10 kg untuk sekali pemberian. Bila kejang masih belum berhenti, pemberian
diazepam dengan dosis yang sama dapat diulangi 15 menit kemudian.
Preparat diazepam yang dapat diberi per rektum yang dapat dibeli di apotek ialah
Stesolid, dengan kemasan 5 mg dan 10 mg. jika anda mempunyai anak dengan epilepsi,
mintalah resep dokter anda supaya ada persediaan obat tersebut di rumah.
Pemberian dilakukan dengan anak pada posisi miring menungging dan rektiol
(preparat stesolid) diolesi ujungnya dengan minyak makan dan dimasukkan pipa saluran
keluarnya ke dalam rektum (dubur) sedalam 3-5 cm. kemudian rektiol dipijat sampai kosong
dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua
otot pantatnya. Penderita yang mengalami kejang lama atau serangan epilepsi beruntun harus
dibawa ke rumah sakit guna pemeriksaan yang lebih teliti, mencari sebab-sebabnya serta
mengobatinya.
3.4.5 Klonazepam (Rivotril)
Klonazepam mulai diizinkan di Amerika Serikat pada tahun 1960 untuk epilepsi jenis
petit mal, spasmus infantil, lena tidak khas, mioklonik dan akinetik. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa obat ini juga berkhasiat pada epilepsi lainnya yaitu grandmal, fokal motor
dan psikomotor. Klonazepam biasanya sudah efektif dengan dosis yang rendah. Pengobatan
dengan klonazepam dimulai dengan dosis rendah, yaitu 0,01-0,03 mg/kg berat badan/hari
yang dibagi atas 2-3 kali pemberian. Bergantung kepada hasil pengobatan, maka dosis ini
dapat ditingkatkan secara bertahap, misalnya tiap tiga hari. Umumnya dosis 0,1-0,2 mg/kg
berat badan sudah memadai.
Pada orang dewasa biasanya kita mulai dengan dosis 1,5 mg sehari yang dibagi atas 3
kali pemberian. Bila belum berhasil dan bila gejala intoksikasi belum ada, dosis dapat
dinaikkan tiap 3 hari dengan 0,5-1,0 mg. Dosis maksimal yang dianjurkan untuk dewasa ialah
kira-kira 20 mg/hari. Pada beberapa penderita obat ini malah dapat pula mengakibatkan
meningkatnya jumlah serangan. Toleransi terhadap obat ini dapat pula terjadi, yaitu setelah
28
beberapa saat (1-6 bulan) klonazepam yang sebelumnya berkhasiat menekan serangan
epilepsi, akhirnya menjadi kurang bermanfaat dan serangan mulai timbul lagi.
Efek samping yang sering dijumpai ialah rasa mengantuk dan rasa lemah. Dapat juga
terjadi ataksia dan perubahan tingkah laku. Namun efek samping mengatuk dan ataksia ini
dapat mengurang atau menghilang setelah beberapa hari memakan obat. Bila tidak
menghilang, obat perlu dikurangi. Sampai saat ini belum ada dilaporkan akibat buruk obat ini
terhadap sistem pembentukan darah, hati atau ginjal.
3.4.6 Valporat (Epilim, Depakin, Leptilan)
Obat ini berkhasiat terhadap jenis epilepsi jenis absence (lena), namun obat ini juga
dapat digunakan pada jenis lainnya, serta berkhasiat terhadap kejang demam. Pada anak,
dosis obat ini berkisar dari15-60 mg/kg berat badan/hari. Pada orang dewaasa, besarnya dosis
adalah sekitar 20 mg/kg berat badan/hari atau 900-1800 mg/hari. Dosis ini masih dapt
ditingkatkan. Dianjurkan agar dosis dinaikkan bertahap. Kadar terapetik di dalam darah
berkisar antara 50-100 mikrogram/mililiter.
Efek samping obat ini sedikit. Yang sering dijumpai ialah rasa mual dan mengantuk.
Pada dosis yang tinggi dapat dijumpai ataksia dan tremor. Rambut rontok dapat terjadi, yang
kadang-kadang berkaitan dengan besarnya dosis obat. Komplikasi yang berat, yang pernah
terjadi ialah gagal hati.
29
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Rumah Sakit Hasan Sadikin. 1983. Pola Penderita Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung.
Shorvon, Simon. Alih Bahasa oleh Sidiarto, Lily. 1988. Epilepsi Untuk Praktek Umum.
Jakarta : Ciba Geigy Pharma Indonesia.
Lumbantobing, S.M. 2002. Epilepsi (Ayan). Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Harsono. 2001. Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rumah Sakit Hasan Sadikin. 1989. Simposium Epilepsi. Bandung : Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung.
31