makalah farmakoterapi absorpsi
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Obat paling sering digunakan dengan pemberian oral. Walaupun
beberapa obat yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut,
sebagian besar dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari
semua ini sebagian besar dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat yang
dihasilkan setelah terjadi absorpsi pada beberapa permukaan sepanjang
saluran cerna. Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang
terbatas dalam saluran cerna, yang dimungkinkan karena tidak larut dan
atau daya absorpsi yang tidak baik melalui cara ini.
Dibandingkan dengan cara-cara lainnya, cara oral dianggap paling
alami, tidak sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat.
Hal-hal yang tidak menguntungkan pada pemberian secara oral termasuk
respon obat yang lambat (bila dibandingkan dengan obat-obat yang
diberikan secara parental) ; Kemungkinan absorpsi obat yang teratur, yang
tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar, jumlah
atau jenis makanan dalam saluran cerna ; dan kerusakan beberapa obat
oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran cerna.
Absorpsi obat setelah penggunaan melalui mulut dapat terjadi
pada berbagai tubuh antara rongga mulut dan anus. Umumnya hal penting
yang diharapkan dari sebagian besar contoh adalah makin tinggi absorpsi
1
2
suatu obat sepanjang saluran makanan, kerjanya akan lebih cepat.
Bagaimananpun karena perbedaan secara fisika dan kimia diantara zat obat
serta bentuk sediaan dimana obat diberikan ke dalam tubuh, maka suatu
obat mungkin akan diabsorpsi lebih baik pada suatu keadaan lingkungan
daripada lainnya, tanpa memandang tempatnya yang berhubungan satu
sama lain di dalam saluran cerna.
Dalam hal-hal tertentu rongga mulut merupakan tempat absorpsi
untuk obat-obat tertentu. Secara fisika absorpsi obat dalam mulut
dikendalikan dengan membiarkan melarutnya zat obat dan ditahan dalam
rongga mulut dengan tidak sering atau tidak ditelan sampai rasa dari obat
habis. Secara farmasi proses ini dibantu dengan menyediaakan obat dalam
bentuk terlarut atau sebagai tablet tidak bersalut yang dapat dipecah
dengan sempurna dan melarut dengan cepat yang dalam hal ini
penggunaan injeksi lebih disukai.
Kesanggupan obat untuk diabsorpsi dalam mulut, menyebabkan
dapat berada pada permukaan tempat absoprsi pada kadar yang lebih
tinggi daripada ditelan, karena obat-obat makin lama makin diencerkan
dengan cairan dan isi dari percernaan selama melewati saluran makanan.
Apabila cairan ini mempunyai pengaruh yang merusak terhadap kestabilan
zat obat, selanjutnya absorpsinya sebagai suatu molekul yang aktif
menjadi berkurang, mungkin diperlukan absorpsi oral atau pemberian
parental.
3
Pilihan yang sama mungkin diperlukan untuk obat-obat yang
sangat rentan terhadap degradasi metabolit oleh hati, karena pada absorpsi
dilambung dan usus zat obat memasuki sirkulasi portal (gerbang
perputaran) dan terbuka terhadap proses detoksifikasi dari hati.
Pemberian obat secara oral dengan ditelan merupakan pilihan
pertama kecuali bila obat tidak efektif dengan cara ini atau dibutuhkan
onset kerja obat yang sangat cepat yang dalam hal ini penggunaan injeksi
I.2 Rumusan Masalah
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi absorpsi obat secara
oral ?
I.3 Tujuan
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat secara
oral
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat
pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan diyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan.
Obat baru dapat berkhasiat apabila berhasil mencapai konsentrasi yang
sesuai pada tempat kerjanya, maka suatu absorpsi yang cukup merupakan
syarat untuk suatu efek terapeutik, sejauh obat tidak digunakan secara
intravasal atau tidak langsung dipakai pada tempat kerjanya.
Proses absorpsi biasanya ditentukan oleh pemberian obat.
Pemberian obat yang paling umum digunakan adalah pemberian obat per
oral. Pemberian oral merupaka rute pemberian yang termudah dan
absorpsi dalam saluran cerna mempunyai arti terbesar. Karena harga pH
sangat asam dalam lambung diabsoprsi tertutama asam-asam lemah dan
zat netral yang lipofil. Di pihak lain dapat pula terjadi lewatnya senyawa
terutama basa lemah , dari mukosa lambung ke lumen lambung.
II.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Oral
Proses absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Formulasi obat, meliputi : waktu disintegrasi, waktu disolusi, adanya
bahan tambahan.
4
5
2. Karakteristik pasien, meliputi : pH pada lumen lambung, waktu
pengosongan lambung, waktu transit usus, daerah permukaan sistem
gastrointestinal, adanya penyakit pada lambung.
3. Adanya substansi lain pada sistem gastrointestinal, meliputi : interaksi
dengan obat atau ion lain, makanan
4. Karakteristik farmakokinetik obat, meliputi : metabolisme obat oleh
bakteri usus, metabolisme obat oleh dinding usus.
1. Formulasi Obat
a. Waktu disintegrasi dan disolusi
Kecepatan absorpsi obat bentuk padat ditentukan oleh
kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat
oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavaibilitasnya.
Adakalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu disolusinya lebih
lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat
diberikan dengan interval yang lebih lama. Sediaan ini disebut
sediaan lepas lambat (sustained-release). Obat yang dirusak oleh
asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja
dibuat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan salut
enterik (enteric –coated).
b. Adanya bahan tambahan lain
Adanya bahan tambahan pada formulasi obat dapat
mempengaruhi kenaikan laju absorpsi obat tersebut serta dapat
menaikkan waktu penahanan obat dalam saluran cerna. Beberapa
6
bahan tambahan dapat memperlambat pelarutn obat sehingga
menurunkan absorpsi obat. Pengaruh pada absorpsi obat dari
beberapa bahan oenyusun tablet oral pada umumnya seperti pengisi
(lactosa) disintegrant (pati) lubricant (magnesium stearat) dan
komponen – komponen lain seperti bahan pengikat dan bahan
penstabil.
Bahan – bahan ini relatif aman akan tetapi bila digunakan
secara tidak tepat dalam formulasi, maka laju absorpsi dan juga
tingkat absorpsi obat dapat dipengaruhi. Contoh ; jumlah
magnesium stearat yang berlebihan sebagai lubricant dalam
formulasi tablet dapat memperlambat pelarutan obat dan
menyebabkan absorpsi obat yang lebih lambat. Sehingga perlu
menaikkan jumlah desintegrant untuk mengatasi efek perlambatan
dari lubricant pada saat pelarutan (disolusi).
2. Karakteristik Pasien
a. pH Lumen Lambung
Apabila harga pH sangat asam dalam lambung, maka akan
terjadi absorpsi terutama asam-asam lemah dan zat netral yang
lipofil. Di pihak lain dapat juga terjadi lewatnya senyawa terutama
basa lemah dari mukosa lambung ke lumen lambung. Basa lemah
terdapat terutama dalam bentuk yang tidak terionisasi dalam
plasma dan karena itu dapat berdifusi bersama dengan cairan
ekstrasel melalui dinding lambung ke dalam lambung.
7
Apabila mencapai lambung, senyawa ini sebagian besar
terionisasi akibat harga pH rendah. Karena itu bagian yang tak
terionisasi dalam lambung sangat kecil. Terjadi difusi ke arah
lumen lambung, bahkan apabila konsentrasi total senyawa dalam
cairan lambung (terionisasi ditambah tidak terionisasi) lebih tinggi
daripada konsentrasi dalam plasma.
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antacid,
akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut
dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis,
aspirin lebih banyak terionisasi sehingga absorbsi per satuan area
absorbsi lebih lambat, tetapi karena sangat luas area absorbsi di
usus halus maka kecepatan abrsorbsi secara keseluruhan tidak
banyak dipengaruhi.
Dengan demikian, dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa
akan mempercepat absorbsinya. Akan tetapi, suasana alkali di
saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat
basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dangan
akibat mengurangi absorbsinya. Berkurangnya keasaman lambung
oleh antasid akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan
asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan mengurangi
absorbsi Fe, yang di absorbsi paling baik bila cairan lambung
sangat asam.
8
b. Waktu pengosongan lambung dan waktu transit di usus
Absorpsi obat diusus halus selalu jauh lebih cepat
dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh
lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung. Selain itu epitel
lambung tutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai tahanan
listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan
pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan
absorpsi obat. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan
pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak
mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi atau yang mencapai
sirkulasi sistemik, kecuali pada 3 hal berikut ini :
Obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan
usus(misalnya digoxin, difenilhidantoin, prednison),
memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup
panjang untuk kelengkapan absorpsinya.
Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang
absorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten akibat
perbedaan penglepasan obat dilingkungan berbeda,
memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk
meningkatkan jumlah yang diserap.
Pada obat-obat yang mengalami metabolisme disaluran cerna,
misalnya penisilin G dan eritromysin oleh asam lambung,
levodopa dan klorpromasin oleh enzim dalam dinding saluran
9
cerna, pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang
lambat akan mengurangi jumlah obat yang diserap untuk
mencapai sirkulasi sistemik.
Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat
termasuk obat bersifat asam. Disini absorbsi terjadi jauh lebih
cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat
sampai di usus halus, makin cepat pula absorbsinya. Kecepatan
pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan
absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbi. Ini
berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar
tersebut tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas
metabolisme dinding usus halus lebih terbatas dibandingkan
kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat ini sampai di usus
halus, makin tinggi bioavailibilitanya.
c. Daerah permukaan sistem gastrointestinal
Usus halus merupakan organ absorpsi terpenting, tidak
hanya untuk bahan makanan, melainkan untuk bahan obat juga.
Peningkatan luas permukaan yang dibutuhkan untuk absorpsi yang
cepat dan sesempurna munkin dicapai melalui lipatan mukosa,
jonjot mukosa dan kripta mukosa serta mikrofili.
Harga pH berkisar dari asam lemah dalam duodenum
sampai basa lemah dalam bagian usus halus yang lebih dalam.
10
Karena itu terdapat asam lemah dalam jumlah yang cukup atau
basa lemah dalam bentuk tidak terionisasi sehingga dapat
terabsorpsi. Karena usus halus, yang panjang waktu pelewatan
untuk pengambilan bahan-bahan yang mampu berpenetrai
umumnya cukup. Walaupun demikian, pemendekan waktu
pelewatan, misalnya pemberian laksansia yang bekerja terhadap
usus halus atau diare, dapat banyak menurunkan jumlah absorpsi.
Pada umumnya absorpsi dalam usus besar secara kualitatif
sebanding dengan absorpsi dalam usus halus, hanya saja
permukaan absorpsi jauh lebih kecil karena tidak adanya jonjot
karena itu juga kemampuan absorpsi umumnya lebih rendah.
Beberapa bahan obat seperti alkaloid ergot diabsorpsi tidak baik
dalam usus besar.
d. Adanya penyakit gastrointestinal
Absorpsi obat pada pasien dengan gangguan pada sistem
gastrointestinal berbeda dengan absorpsi obat pada pasien yang
tidak mengalami gangguan gastrointestinal. Contoh; pasien dengan
operasi pengangkatan bagian dari saluran pencernaan (seperti perut
atau usus) mengalami perburukan penyerapan obat. Sehingga
absorpsi obat tidak optimal dan efek yang ditimbulkan juga sangat
minimal.
11
3. Adanya Substansi Lain Pada Sistem Gastrointestinal
Obat-obatan dan beberapa jenis makanan dapat meningkatkan
atau menurunkan kegiatan enzim ini dan oleh karena itu akan
mempengaruhi konsentrasi obat-obatan yang dimetabolis oleh enzim
ini. Peningkatan dalam kegiatan enzim ini mengarah ke penurunan
konsentrasi dan efek pada tindakan obat. Sebaliknya, penurunan dalam
aktivitas enzim mengarah ke peningkatan konsentrasi obat dan efek .
Contoh : Adanya ion – ion logam dan antibiotik tetrasiklin atau
turunannya. Tetrasiklin dapat bergabung dengan ion – ion logam
kalsium, magnesium, aluminium, dan ion – ion dalam saluran cerna,
secara bersama – sama membentuk suatu kompleks yang sukar
diabsorpsi. Apabila antasida dan tetrasiklin harus digunakan oleh
pasien, maka keduanya harus diberikan bergantian sesuai dengan
jadwal waktu yang ketat untuk mencegah interaksi keduanya (adanya
pembentukan kelat) sehingga dapat menghambat absorpsi dan efek
tetrasiklin akan berkurang.
Begitu juga jika tetrasiklin dikonsumsi bersama dengan
makanan yang mengandung kalsium, seperti susu dan keju. Contoh
lain; makanan tinggi serat bisa mengikat dengan obat dan mencegah
dari yang diserap. Pencahar dan diare, yang mempercepat perjalanan
zat melalui saluran pencernaan, dapat mengurangi penyerapan obat.
4. Karakteristik Farmakokinetik Obat
a. Metabolisme obat oleh bakteri usus
12
Pada pemberian oral, banyak obat (misalnya, isoproterenol,
meperidin, pentazosin, morfin) diabsorpsi utuh dari usus halus dan
dibawa pertama melalui sistem portal ke dalam hati, dimana obat
tersebut mengalami metabolisme yang hebat. Proses ini disebut
sebagai suatu efek first-pass. Beberapa obat yang diberikan per oral
(misalnya, klonazepam, klorpromazin) lebih banyak mengalami
metabolisme di usus daripada di hati. Efek first-pass bisa sangat
membatasi bioavailabilitas obat – obat yang diberikan per oral,
sehingga harus digunakan cara alternatif untuk mencapai kadar obat
dalam darah untuk terapi. Usus yang lebih distral mengandung
mikroorganisme yang mampu untuk melakukan reaksi – reaksi
metabolisme.
b. Metabolisme obat oleh dinding usus
Metabolisme obat oleh enzim di dinding usus pada pemberian
oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas
oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin
hampir sempurna. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau
dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain),
sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya
bersama makanan.
13
BAB III
KESIMPULAN
1. Berbagai cara pemberian obat mempengaruhi perbedaan kecepatan dan
luas absorpsi yang dihasilkan.
2. Kecepatan absorpsi obat dipengaruhi oleh;
a. Formulasi obat (waktu hancur, waktu disolusi, dan adanya bahan
tambahan lain), sehingga perlu adanya ekuivalen farmasetik.
b. Karakterisitik pasien juga mempengaruhi absorpsi obat diantaranya
pH lumen lambung, waktu pengosongan lambung, waktu transit usus,
daerah permukaan sistem gastrointestinal, dan adanya penyakit
gastrointestinal, sehingga perlu pengaturan pada saat pemberian obat
dan penggantian farmasetik.
c. Adanya substansi lain pada sistem gastrointestinal seperti interaksi
dengan obat lain/ion dan makanan. Hal ini dapat dicegah dengan
pengaturan waktu pemberian obat, dan penggantian terapeutik,
d. Karakteristik farmakokinetik obat, yaitu terdiri dari metabolisme obat
oleh bakteri usus dan oleh dinding usus atau biasa disebut dengan
eliminasi lintas pertama. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain),
sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya
bersama makanan.
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Anonim .2011. Gut bacteria could exert control over metabolic functions of other
organs. http://www.news-medical.net. Diakses tanggal 28 Oktober 2011.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas
Indonesia : Jakarta. Hal. 81-82, 95-99.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 1995. Farmakologi dan Terapi
Edisi IV. Universitas Indonesia : Jakarta. Hal. 3-5.
Breckendridge, A., Orme, M. L’E. Principles Of Clinical Phamacology and
Therapeutics. Hal 7.5
Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Hal. 54.
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi V. ITB : Bandung. Hal 9, 11-13.
Ogbru, Omudhome. 2008. Interaksi Obat. http:// www.ahliwasir.com. Diakses
tanggal 28 Oktober 2011.
Shargel, Leon. 2005. Biofarmaseutika dan Farmakokinetika Terapan Edisi II.
Airlangga University Press : Surabaya. Hal. 126, 168-169.
Titian, Putri.2010. Interaksi Obat. http://titianputri.blogspot.com. Diakses tanggal
28 oktober 2011.
Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana. 2002. Obat-Obat Penting Edisi V. PT. Elex
Media Komputindo : Jakarta. Hal. 21-22.