makalah hukum ikip jember
DESCRIPTION
TUGAS KULIAH HUKUMTRANSCRIPT
TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM
ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN SIRI ACENG H.M. FIKRI SELAKU
BUPATI KABUPATEN GARUT
YUDHA BAGUS T.P., SH.
NIM. 120720101006
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
2012
1
BAB I PENDAHULUAN
Polemik pernikahan Bupati Garut Aceng H.M. Fikri selama 4 (empat) hari
menghiasi media pemberitaan di awal bulan Desember. Bukan hanya menjadi
konsumsi masyarakat umum saja, bahkan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono merasa terusik dengan pemberitaan tersebut. Presiden
menaruh atensi khusus terhadap kasus ini dengan memerintahkan Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah Gamawan Fauzi dan Gubernur Jawa Barat Achmad
Heriyawan untuk melakukan investigasi.
Kasus ini bermula dari permintaan Bupati Garut Aceng H.M. Fikri kepada
salah satu tokoh ulama untuk dicarikan calon istri. Dengan permintaan itu,
dikenalkanlah sang bupati dengan seorang gadis yang bernama Fani Oktora (18
Tahun). Mereka melaksanakan pernikahan siri/bawah tangan pada 14 Juli 2012
dengan dihadiri oleh kedua orang tua Fani, kerabat dekat dan beberapa tokoh ulama
Kabupaten Garut sebagai saksi sekaligus penghulu. Menurut Aceng H.M. Fikri
dalam wawancara ekslusive di Kabar Petang TV One menyatakan bahwa salah satu
alasan kenapa beliau menceraikan Fani karena pada saat melakukan hubungan suami
istri, beliau merasakan adanya suatu keanehan dengan kondisi fisik Fani terkait
masalah Virginity (keperawanan) dan adanya beberapa penyakit yang diderita oleh
Fani yang tidak dikemukan pada saat proses Ta’aruf (perkenalan/pertemuan)
terdahulu1. Dengan kejadian ini, maka tanggal 17 Juli 2012, Aceng H.M. Fikri
menceraikan Fani melalui pesan singkat (Short Massage Service) sebelum beliau
berangkat umroh. Akan tetapi, pada saat menceraikan Fani, Aceng H.M. Fikri
memberikan sejumlah uang untuk biaya pendidikan dan biaya hidup yang disaksikan
oleh keluarga Fani Oktora2.
Pada awal bulan Desember, kasus pernikahan kilat alat Bupati Garut Aceng
H.M. Fikri semakin berhembus kencang hingga menjadi Top Headline News Media
cetak dan elketronik bahkan sampai mengganggu pemerintah pusat. Ribuan
masyarakat Garut dan berbagai elemen masyarakat diluar Garut tak henti-hentinya
1 www.TVOne.com diakses 20 Desember 2012.2 www.vivanews.com diakses 20 Desember 2012.
2
mencela dan mengkritik perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut yang
melakukan perbuatan tersebut yang dianggap melukai dan merendahkan harkat
martabat kaum wanita. Pengaduan Fani Oktora ke Badan Reserse Kriminal Mabes
POLRI terkait penderitaan yang dialami merupakan puncak dari permasalahan yang
terjadi.
Dari uraian singkat diatas, penulis akan menganalisis perbuatan Aceng H.M.
Fikri selaku Bupati Garut atas perbuatan yang dilakukannya apakah melanggar
peraturan perundang-undangan atau tidak. Penulis mengkajinya dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga?
3. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah?
3
BAB II PEMBASAHAN
1. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan kilat ala Aceng H.M. Fikri menjadi trend center news
dipenghujung tahun 2012. Pada hakekatnya, perkawinan yang dilakukan oleh Aceng
H.M. Fikri telah memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam agama islam.
Hanya saja, sebagai pejabat publik yang seharusnya memberikan teladan bagi
masyarakatnya dengan melakukan perkawinan yang bukan hanya didasarkan pada
keyakinan sebagai pemeluk agama islam namun juga harus mematuhi dan mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika saja, Aceng H.M. fikri bukanlah
pejabat publik tentunya pemberitaan perkawianan siri maupun masa pernikahan yang
singkat tidak akan dipersoalkan oleh banyak pihak.
Berdasarkan uraian Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kalimat yang tersurat dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan secara
gamblang bahwa tujuan dari adanya suatu pernikahan adalah membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974
menyatakan :
Pasal 2 Ayat 1 :Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 Ayat 2 :Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kasus Aceng H.M. Fikri telah memenuhi rumusan Pasal 2 Ayat 1 jadi tidak
perlu untuk dipersoalkan ataupun diperdebatkan. Akan tetapi, memasuki rumusan
dalam Pasal 2 Ayat 2 inilah yang menjadi persoalan karena rumusan dari pasal
tersebut menyatakan setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pernikahan yang dilakukan oleh Aceng H.M. Fikri dengan
4
Fani Oktora pada tanggal 14 Juli 2012 tidak dicatatkan di lembaga yang berwenang
yakni Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Dengan tidak dicatatkannya
pernikahan tersebut maka secara otomatis perbuatan tersebut tidak mentaati
peraturan perundang-undangan yang penulis uraikan terdiri dari UU Nomor 12
Tahun 2008 tentang Administrasi Kependudukan dan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Administrasi Kependudukan
memberikan tempat yang istimewa terhadap pelaksanaan perkawinan sebagai suatu
peristiwa penting. Pasal 1 Angka 17 menyatakan :
“Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir rnati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Dengan melekatnya kategori pernikahan sebagai peristiwa penting maka Pasal 3 UU
Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa :
“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”
Pasal 3 menyebutkan kata wajib yang berarti tidak ada pengecualian bagi setiap
proses pernikahan yang telah memenuhi rumusan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan.
Proses pencatatan tersebut dituangkan dalam Pasal 8 UU Administrasi
Kependudukan sebagai berikut :
Pasal 8 Ayat 1 :“Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi :a. Mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa
Penting;b. Memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap
Penduduk atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;
c. Menerbitkan Dokumen Kependudukan;d. Mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil;e. Menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting;
5
f. Melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”
Pasal 8 Ayat 2 :“Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA Kecamatan.”
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pernikahan
harus dicatatkan maka dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan mengenai vital dan urgentnya pencatatan
pernikahan sebagai peristiwa penting ke lembaga berwenang. Pasal 5 menegaskan
kembali arti pentingnya pencatatan pernikahan sebagaimana yang tersurat :
Pasal 5 Ayat 1 :“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Pasal 5 Ayat 2 :“Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Meminimalisir terjadinya pernikahan dibawah tangan/siri semakin menyeruak dan
berkembang yang pada nantinya akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa
tidak adanya kepastian hukum terhadap status perkawinannya, status anak,
pembagian harta gono gini, diskriminasi terhadap wanita dan anak-anak serta lain
sebagainya. Pasal 6 Inpres Nomor 1 Taun 1991 mengatur bahwa :
Pasal 6 Ayat 1 :“Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 6 Ayat 2 :“Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
2. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Undang-Undang 23 Nomor 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
6
Dalam kaitannya dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan kasus yang terjadi antara Fani Oktora dan
Aceng H.M. Fikri harus dipandang dari sudut yang objektif dan proporsional. Karena
selama ini, apa yang disuguhkan oleh Fani Oktora kepada Masyarakat Umum
melalui media cetak maupun elektronik hanya sebatas pengakuan versi yang
bersansgkutan. Artinya, dalam keadaan bagaimanapun apalagi situasi dan kondisi
yang terjadi seperti kasus ini bisa saja itu merupakan suatu strategi untuk lebih
menjerat Aceng H.M. Fikri atau kalau boleh penulis sebutkan seperti “mencuci dosa
sendiri”. Jika kita berpikir secara obejktif, pernikahan yang terjadi antara Fani Oktora
dengan Aceng H.M. Fikri bukan terjadi karena pemaksaan, adanya ketidaktahuan
kedua orang tua Fani Oktora maupun adanya ketidakmampuan keluarga Fani Oktora
dalam permasalahan ekonomi.
Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2004, menyatakan :“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Dari uraian pasal diatas, dapat penulis jabarkan unsur-unsur yang tersurat dalam
pasal tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan kekerasan dalam rumah
tangga, sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan terhadap seseorang
2. adanya akibat berupa penderitaan/kesengsaraan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga
3. adanay ancaman melalui perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan
4. perbuatan tersebut melawan hukum
Penjelasan lebih lanjut terkait unsur-unsur diatas diatur dalam UU Nomor 23 Tahun
2004, sebagai berikut :
Pasal 5 :”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :a. kekerasan fisik;b. kekerasan psikis;c. kekerasan seksual; atau
7
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6 menyatakan :“Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Pasal 7 :“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Pasal 8 :“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebutb. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 :1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atauperjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaankepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.s
Dengan beredarnya informasi tentang penyekapan Fani Oktora oleh Aceng
H.M. Fikri setelah diceraikan via SMS sehingga pihak keluarga harus menjemput
Fani dan informasi tersebut tidak dibantah secara gamblang oleh Aceng H.M. Fikri
maka penulis membuat terstimoni bahwa Aceng H.M. Fikri melanggar unsur-unsur
yang terdapat pada Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 yaitu melakukan
perbuatan yang menyebabkan penderiataan secara psikologis yang mana perbuatan
tersebut melawan hukum. Alasan penulis memberikan testimoni tersebut didasarkan
pada Pasal 7 yang menyatakan bahwa Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
8
Dari pemberitaan media massa, jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Aceng
H.M. Fikri terhadap Fani Oktora dengan mengurungnya didalam rumah telah
bertentangan dengan Pasal 7 yang menyebabkan Fani Oktora merasa kehilangan
kemampuan tidak berdaya atas perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh Aceng
H.M. Fikri. Akan tetapi, seperti yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa kita
harus melihatnya secara objektif dan proporsional maka seharusnya juga kita melihat
dan mendengar pengakuan versi Aceng H.M. Fikri sebagai pembanding (second
opinion) sehingga pada nantinya kita dapat menjudge perbuatan yang dilakukan
Aceng H.M. Fikri bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 atau tidak.
3. Apakah perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut melanggar
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah
Pernikahan Aceng H.M. Fikri selaku pejabat publik yang menduduki jabatan
sebagai Bupati Garut telah bertentangan Pasal 101 Ayat 2 PP Nomor 6 Tahun 2005
terkait dengan sumpah/janji Kepala Daerah dalam pelantikan dan pengangkatannya
sebagai pejabat negara. Pasal 101 Ayat 2 PP Nomor 6 Tahun 2005 menyebutkan :
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Dalam sumpah/janji tersebut dimana seorang Kepala maupun Wakil Kepala Daerah
wajib untuk :
1. Melaksanakan tugas sebagai kewajiban Kepala maupun Wakil Kepala
Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
2. Memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
3. Menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-
lurusnya
4. Berbhakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.
9
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam sumpah/janji pelantikan
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah maka perbuatan Aceng H.M. Fikri selaku
pejabat publik yang menjabat Bupati Garut tidak sesuai konstitusi/peraturan
perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Pasal 1 Jo. Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pasal 1 Angka 17 Jo. Pasal 3 Jo. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Administrasi Kependudukan
3. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah :
Pasal 27 Ayat 1 :“Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
a. Meningkatkan kesejahteraan rakyat;b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;c. Melaksanakan kehidupan demokrasi;d. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-
undangan;e. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;f. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;g. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan
baik.h. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangan daerah;i. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di
daerah dan semua perangkat daerah;j. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan
pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.s
Pasal 28“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang :a. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan
keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;
10
b. Turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c. Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung. maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
d. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
e. Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasai 25 huruf f;
f. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
g. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
4. Pasal 5 Jo. Pasal 6 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam
Dari uraian diatas, konsekuensi bagi Kepala atau Wakil Kepala Daerah yang
melakukan pengingkaran terhadap sumpah/janji sebagai Kepala Daerah dan
melanggar peraturan perundang-undangan maka dapat diberhentikan/dimakzulkan.
Regulasi mekanisme pemberhentian Kepala atau Wakil Kepala Daerah diatur sebagai
berikut :
Pasal 123 Ayat 2 :
“ Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena:a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Pejabat yang baru;b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;c. Tidak lagi memenuhi syarat Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah;d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah;e. Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau Wakil
Kepala Daerah; dan/atauf. Melanggar larangan bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah.
Pasal 123 Ayat 3 : “Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a, huruf b diberitahukan oleh Pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan DPRD.
Pasal 123 Ayat 4 :
11
“Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e, dilaksanakan dengan ketentuan:a. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan
kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya.
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a, diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden.
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
12
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam kasus ini, Aceng H.M. Fikri sebagai pejabat publik (Bupati Garut) yang
harus menjadi teladan bagi masyarakat khususnya Kabupaten Garut Jawa Barat
telah melanggar tujuan dari sebuah perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU
Nomor 1 Tahun 1974 dan kewajiban untuk mencatat perkawinannya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor
1 Tahun 1974.
2. Kaitannya dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
dituduhkan pihak Fani Oktora kepada Aceng H.M. Fikri diperlukan
pembuktian lagi dengan mendengarkan dan mengcross cek keterangan dari
kedua belah pihak. Akan tetapi, jika penulis berkaca pada kliping koran yang
menjadi topik pembahasan kali ini maka penulis menyimpulkan bahwa
perbuatan Aceng H.M. Fikri kepada Fani Oktora dengan mengunci yang
bersangkutan didalam rumah dan ditinggal berangkat Umroh sehingga perlu
untuk dijemput oleh pihak keluarga Fani Oktora maka Aceng H.M. Fikri telah
melanggar Pasal 1 Ayat 1 Jo. Pasal 5 Huruf b Jo. Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3. Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut dapat diberhentikan/dimakzulkan
melalui mekanisme rapat paripurna DPRD Kabupaten Garut yang diatur dalam
Pasal 123 Ayat 2 Jo. Pasal 123 Ayat 3 Jo. Pasal 123 Ayat 4 PP Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemberhentikan tersebut didasari oelh
pelanggaran peraturan perundang-undangan berupa :
1. Pasal 1 Jo. Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pasal 1 Angka 17 Jo. Pasal 3 Jo. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Administrasi Kependudukan
3. Pasal 27 Ayat 1 Huruf d dan e Jo. Pasal 28 Huruf f Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008
13
4. Pasal 5 Jo. Pasal 6 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
14
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
B. Internet :
www.TVOne.com diakses pada tangal 20 Desember 2012
www.vivanews.com diakses 20 Desember 2012
15