makalah kebijakan pembangunan kelompok 14 wilayah pesisir

25
TUGAS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN WILAYAH PESISIR Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan Oleh: Mugni Triyazi 230110070069 Nicky Sopyan 230110070070 M. Kamarul Tursina J 230110076003 Ronaldo Manalu 230110076003 Rizky Fajary L 230111008002 PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010

Upload: jhie-tursina-danius-jr

Post on 19-Jun-2015

4.416 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

TUGAS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN

WILAYAH PESISIR

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan

Oleh:

Mugni Triyazi 230110070069

Nicky Sopyan 230110070070

M. Kamarul Tursina J 230110076003

Ronaldo Manalu 230110076003

Rizky Fajary L 230111008002

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2010

Page 2: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya

sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah Kebijakan Pembangunan Perikanan Wilayah

Pesisir.

Makalah ini penting bagi kelancaran kegiatan belajar kami. Semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat yang baik pada penulis maupun pembaca. Penyusunan makalah ini

berpedoman pada berbagai literatur mengenai masyarakat pesisir baik media cetak maupun

elektronik.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan pada waktu kuliah, kepada rekan-rekan mahasiswa, serta kepada

berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa proses pembuatan makalah ini tidak ringan sehingga

memungkinkan adanya kekurangan maupun kesalahan baik dalam hal teknik penulisan, tata

bahasa maupun isinya. Oleh karena itu, guna penyempurnaan makalah ini, penulis

mengharapkan kritik, saran, maupun masukan dari pembaca. Sekian dan terima kasih semoga

bermanfaat.

Jatinangor, Mei 2010

Penulis

Page 3: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Wilayah Pesisir

Definisi Wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan peralihan

(interface area) antara ekosistem laut dan darat, Batas ke arah darat ; dari segi Ekologis; adalah

merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti ;

pasang surut, interusi air laut dan lain-lain, dari segi Administratif; adalah merupakan batas

terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2Km, 20 Km, dari garis

pantai). Dan dari segi Perencanaan ; adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang

menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan Batas ke arah laut ;dilihat dari

segi Ekologis; adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah

didarat seperti ;(aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dll), atau dampak kegiatan manusia di

darat (bahan pencemar, sedimen dll); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua

(Continental shef), dari segi Administratif; adalah sejauh 4 mill, atau 12 mill, dari garis pantai

ke arah laut.,dan dari segi Perencanaan ;adalah bergantung pada permasalahan atau substansi

yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. ( Dr. Ir.H. Rokhmin Dahuri, MSc. 2001,5)

Struktur Kawasan Pesisir terdiri dari :

(a) Kawasan Estuaria,

(b) Kawasan Padang Lamun,

(c) Kawasan Mangrove,

(d) Kawasan Terumbu karang dan

(e) Kawasan Laut. (Dr. Ir. Dietriech G.Bengen, DEA)

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumber daya alamnya telah

dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama,

khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya. Sementara itu kekayaan hidrokarbon

dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang

pembangunan ekonomi nasional. Selain menyediakan berbagai sumber daya tersebut, wilayah

Page 4: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan pelabuhan,

kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan

permukiman dan tempat pembuangan limbah.

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk

dikembangkan menjadi lebih baik. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumber daya

wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumber

daya dapat pulih (renewable resources), sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources),

dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Ketiga potensi inilah walaupun telah

dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak terencana dan terprogram dengan

baik (Dahuri dkk, 1996). Wilayah pesisir dan lautan beserta sumber daya yang terkandung di

dalamnya merupakan tumpuan harapan bagi bangsa Indonesia di masa depan. Di dalamnya

terkandung kekayaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam,

seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan

mineral, dan kawasan pariwisata. Akan tetapi pembangunan wilayah pesisir dan lautan selama

ini menunjukkan hasil yang kurang optimal.

Di beberapa kawasan pesisir dan lautan yang padat penduduk dan tinggi intensitas

pembangunannya terdapat berbagai gejala kerusakan lingkungan termasuk pencemaran,

degradasi fisik habitat utama pesisir (mangrove, terumbu karang, estuaria, dll) dan abrasi pantai

telah mencapai suatu tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem pesisir dan

lautan. Pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir dan laut untuk kegiatan

perikanan, pertambangan, perhubungan, industri, konservasi habitat, pariwisata, dan

permukiman, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berpotensi besar memicu konflik

kepentingan antar pihak, sehingga berdampak pada kelestarian fungsi dan kerusakan sumberdaya

alam.

1.2 Potensi Wilayah Pesisir

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari;

Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0,3 juta km2, Perairan Nasional

seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0 juta km2,

luas ZEE(Exclusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai 81.000 km dan

Page 5: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

jumlah pulau sekitar 17.000 pulau (Jacub Rais,6). Potensi Wilayah pesisir dan lautan Indonesia

dipandang dari segi pembangunan adalah :

• Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya,

dan Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan

Pulau-pulau kecil.

• Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti ; Minyak bumi dan Gas, Bahan

tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.

• Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal

Energy Conversion) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan

Kepelabuhanan serta Penampung (Penetralisir) limbah.( DKP, dalam Rohmin Dahuri,

2001)

Potensi wilayah pesisisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi

; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824

Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (Rumput Laut, ikan dan

kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528,403 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

567.080.000, Perairan Umum 356.020 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039.100 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$

5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000,

Secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang

baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. ( DKP, dalam Rohmin Dahuri,

2001)

Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesiadari dipandang dari segi penduduk

adalah sekitar 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan

perekonomian seperti : Perdagangan, Perikanan laut, Budidaya perikanan, Transportasi laut,

dan Pariwisata berkonsentrasi di wilayah pesisir. Potensi wilayah pesisir dari segi ekonomi

adalah pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir sangat lamban dan sebagian besar

penduduknya masih termasuk kategori miskin. Potensi wilayah pesisisr dipandang dari segi

kelembagaan adalah masih sangat terbatas.

Page 6: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

1.3 Visi pembangunan wilayah pesisir dan Lautan Indonesia

Wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung di

dalamnya merupakan sumber kehidupan dan sumber pembangunan yang harus dimanfaakan

secara optimal dan berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya

bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan mandiri.

1.4 Misi pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia

(1) Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal, dan merata ke segenap

lembaga pelaku pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

(2) Meningkatkan kemampuan bangsa dalam pemanfaatan sumberdaya.

(3) Menciptakan iklim yang kondusif bagi partisipasi segenap lapisan masyarakat.

(4) Menjamin daya dukung dan kualitas lingkungan.

1.5 Tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia

1. Pembangunan kawasan pesisisr (coastal zone) beserta Sumberdaya alam dan Jasa-jasa

linkungan, environmental services secara efisien dan berkelanjutan untuk kesejahteraan

seluruh stakeholders (rakyat) secara adil.

2. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk

memenuhi kebutuhan manusia saat ini, tanpa mengurangi/ menghancurkan kemampuan

generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. “development which meets the needs

of the present without compromising the ability of generations to meet their own needs”

( Rohmin Dahuri,2001)

Page 7: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

BAB II

PERMASALAHAN WILAYAH PESISIR

2.1 Kemiskinan dan Keterbelakangan Masyarakat

Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di

kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di

seluruh wilayah negeri ini. Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan

mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau dengan

panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber

daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat

penting bagi penghidupan masyarakat. Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu

panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu memberikan

kontribusi nyata bagi masyarakat yang mendiaminya. Berharap kemakmuran hidup dari potensi

dan kekayaan alam yang ada tentu bukan keinginan yang muluk-muluk. Namun, kondisi yang

dialami sebagian besar masyarakat pesisir ternyata tak sepenuhnya sejahtera. Hal ini jika kita

melihat hasil analisis beberapa lembaga, yang mengungkapkan tingkat kemiskinan atau Poverty

Headcount Index (PHI) rata-rata 0,3241. Dengan begitu, artinya diindikasikan masih ada sekita

32% dari total masyarakat pesisir yang masuk kategori miskin. Kemiskinan dan keterbelakangan

masyarakat pesisir sejatinya bukan cerita baru di negeri ini. Kemiskinan yang mereka alami

seakan menjelma menjadi kemiskinan yang bersifat struktural.

Masyarakat pesisir ditengarai masih berlum terpenuhi hak-hak dasarnya seperti pangan,

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Akibatnya masih cukup banyak anak

nelayan miskin yang ikut terjebak dalam rantai kemiskinan sebagaimana yang dialami orang

tuanya. Kondisi tersebut tentu sebuah ironi, di tengah gemerlapnya kekayaan alam yang

melimpah ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat. Besarnya

potensi sektor kelautan seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan

kesejahteraan rakyat Indonesia. Sektor kelautan juga semestinya memberikan kontribusi yang

maksimal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun hingga sekarang, kontribusi yang

disumbangkan masih relatif relatif kecil bila dibandingkan dengan negara lain yang secara

geografis memiliki garis pantai lebih pendek. Semestinya, Bangsa Indonesia patut berbangga

Page 8: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

masih ada masyarakat yang rela mencurahkan hidup untuk mengelolah sumberdaya laut yang

ada. Mengingat, pembangunan sektor kelautan merupakan salah satu modal dasar pembangunan

nasional, sehingga perlu dikelola secara terpadu dan berkelanjutan dengan ditunjang sistem

kebijakan yang memadai. Sektor kelautan juga membuka peluang bagi bangsa ini untuk menuju

persaingan ekonomi global. Oleh karena itu, upaya memberdayakan masyarakat pesisir dan

membebaskan mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keharusan sebagai langkah

awal dalam membangunan sektor kelautan. Untuk itu, kebijakan yang diterapkan pemerintah

seharusnya lebih berpihak lagi pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

Inilah kenyataan dan persoalan yang dihadapi bangsa kita. Kenyataan ini pula yang

mendorong pemerintah terus mengupayakan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat

pesisir maupun nelayan. Beragam program pun telah dijalankan pemerintah agar mereka bisa

lebih berdaya. Salah satunya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di

sektor kelautan dan perikanan yang mulai dijalankan pada tahun ini. Program ini meliputi empat

komponen kegiatan di antaranya perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan

dan perikanan berbasis desa serta pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan. Selain itu ada

juga program penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan aparat serta

pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2009 ini alokasi dana untuk program PNPM Mandiri

Kelautan dan Perikanan berjumlah Rp116 miliar. Dana tersebut akan dialokasikan ke 120

kabupaten/kota dengan mendapat sekitar dana sebesar Rp926 juta yang akan dialokasikan dalam

bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) serta dana sosialisasi dan peningkatan kapasitas,

termasuk pelatihan-pelatihan bagi masyarakat.

Program ini diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan nelayan dan masyarakat

pesisir karena melalui program ini masyarakat boleh mengembangkan usaha sesuai dengan

kebutuhan dan kemampuannya. Masyarakat pun bisa mengembangkan kegiatan perekonomian

masyarakat berbasis sumberdaya lokal, baik masyarakatnya maupun sumberdaya alamnya. Kita

semua tentu menyadari, mengatasi masalah kemiskinan di masyarakat pesisir bukanlah pekerjaan

yang mudah. Dibutuhkan komitmen bersama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan

masyarakat itu sendiri. Jika semua stakeholder yang ada memiliki visi yang sama dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang tinggal di kawasan pesisir maka setiap

program yang ada akan dapat berjalan dengan baik. Begitu pula dengan PNPM Mandiri Kelautan

dan Perikanan ini, pemerintah daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung

Page 9: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

program tersebut karena mereka lebih memahami karakteristik masyarakat di daerahnya. Kita

patut berbangga, adanya program PNPM Mandiri disambut antusias oleh masyarakat. Seperti

yang dilakukan masyarakat Sulawesi Tengah. Di provinsi tersebut pemerintah daeranya memiliki

komitmen untuk menjadikan sumber daya kelautan sebagai salah satu sektor unggulan.

Keberadaan PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan tentu sangat membantu terutama dalam

mewujudkan komitmen menuju Propinsi Rumput Laut tahun 2011. Beragam program pun

dijalankan dalam rangka mendokrak potensi kelautan dan perikanan yang ada diwilayah Sulteng.

Seperti pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Pabrik Es PPI di

Kabupaten Donggala. Ada juga pembangunan Cluster Rumput Laut yang berbasis perpolisian

Mayarakat (POLMAS) yang dilaksanakan di daerah Kabupaten Parigi Moutong tepatnya di

Teluk Tomini. Pembangunan sarana tersebut diharapkan mampu meningkatkan pemberdayaan

masyarakat pesisir terutama kesejahteraan dan kesempatan kerja.

Permasalahan kemiskinan, BBM, sampah dan tingkat pendidikan yang dialami para

nelayan dan masyarakat pesisir tersebut merupakan pekerjaan rumah bangsa ini yang patut

segera diatasi. Tak heran jika upaya pemerintah dalam mengatasi hal itu telah dilakukan dengan

menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit,

seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan

(SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan, dan

masih banyak lagi. Seluruh program tersebut, terutama Program PNPM Kelautan dan Perikanan,

merupakan wujud komitmen pemerintah dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan

pemberdayaan masyarakat. Program Program PNPM Kelautan dan Perikanan menjadi harapan

besar bagi masyarakat di daerah pesisir dan nelayan karena sasaran penerima manfaatnya adalah

masyarakat kelautan dan perikanan dengan skala usaha mikro bidang usaha kelautan dan

perikanan seperti kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran ikan, usaha jasa

perikanan, pengelolaan wisata bahari, usaha garam rakyat serta usaha lainnya. Dengan demikian

program yang dijalankan tentu akan memberikan manfaat bagi masyarakat terutama peningkatan

kesejahteraan sehingga mampu mengangkat mereka dari belenggu kemiskinan yang ada.

2.2 Eksploitasi Ekosistem Secara Berlebihan

Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga eksosistim penting di

daerah pesisir. Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam

Page 10: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

melindungi pantai dari ancaman abrasi dan erosi serta tempat pemijahan bagi hewan-hewan

penghuni laut lainnya. Sebagai salah satu contoh ekosistem yang dieksploitasi secara berlebihan

yang akan dibahas disini adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan rumah

bagi banyak mahkluk hidup laut. Diperkirakan lebih dari 3.000 spesies dapt dijumpai pada

terumbu karang yang hidup di Asia Tenggara. Terumbu karang lebih banyak mengandung hewan

vertebrata. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepe-kepe dan betol menghabiskan seluruh waktunya

di terumbu karang, sedangkan ikan lain seperti ikan hiu atau ikan kuwe lebih banyak

menggunakan waktunya di terumbu karang untuk mencari makan. Udang lobster, ikan scorpion

dan beberapa jenis ikan karang lainnya diterumbu karang bagi mereka adalah sebagai tempat

bersarang dan memijah. Terumbu karang yang beraneka ragam bentuknya tersebut memberikan

tempat persembunyian yang baik bagi iakn. Di situ hidup banyak jenis ikan yang warnanya

indah. Indonesia memiliki lebih dari 253 jenis ikan hias laut. Bagi masyarakat pesisir terumbu

karang memberikan manfaat yang besar , selain mencegah bahaya abrasi mereka juga

memerlukan ikan, kima kepiting dan udang barong yang hidup di dalam terumbu karang sebagai

sumber makan dan mata pencaharian mereka.

Kenyataannya pada saat ini, sekitar 69 persen dari 2,5 juta hektare terumbu karang di

Indonesia, kini dalam kondisi rusak dan untuk menyelamatkannya perlu dukungan berbagai

pihak dan masyarakat di pinggir pantai. Indonesia, termasuk kawasan kaya terumbu karang atau

sekitar 10 persen terumbu karang di dunia berada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah

keberadan terumbu karang di Sumatera Barat, salah satu kawasan pantai barat di Sumatera,

tingkat kerusakan cukup tinggi yakni sekitar 70 persen dari total luas 25.984 hektare. Kerusakan

terumbu karang tersebut sebagian besar merupakan dampak dari aktifitas kegiatan manusia.

Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom ataupun racun menjadi contoh yang

paling banyak terjadi saat ini. Efek dari kerusakan yang diakibatkan kegiatan tersebut bukan

hanya berpengaruh terhadap kehidupan biota terumbu karang tapi terhadap ekosistem terumbu

karang secara keseluruhan. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan yang

menurun dan juga sumber nutrisi yang dibutuhkan masyarakat ikut berkurang. Kegiatan

penambangan kapur juga banyak ditemui di daerah pesisir, bahan baku pembuatan kapur tersebut

membuat para penambang tidak saja mengambil karang laut di tepi pantai, namun sudah masuk

hingga ke dalam laut. Akibat dari kegiatan tersebut, negara mengalami kerugian yang sangat

besar.

Page 11: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

Hal-hal lainnya yang berhubungan dengan eksploitasi terumbu karang adalah

pengambilan karang dan batu karang secara berlebihan. Karang dan batu karang memiliki bentuk

yang indah dan unik, oleh karena itu karang banyak dikoleksi sebagai hiasan. Hal ini akan

menjadi masalah yang serius yang akan mengancam keberadaan karang apabila tidak dilakukan

pembatasan. Pengambilan karang dalam jumlah besar seperti dilakukan para ekportir bunga

karang sangat membahayakan ekosistem terumbu karang dan sangat berpotensi menghilangkan

atau menurunkan keanekaragaman spesies karang. Sebagian masyarakat pesisir juga melakukan

pengambilan batu karang sebagai bahan bangunan yang akan mengganggu fungsi ekologis dari

ekosistem terumbu karang, selain dapat mengancam diversitas karang.

Pengrusakan terumbu karang tersebut khususnya yang disebabkan oleh aktivitas manusia,

merupakan tindakan inkonstitusional alias melanggar hukum. Dalam UU 1945 pasal 33 ayat 3

dinayatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 3 ini

merupakan landasarn yuridis dan sekaligus merupakan arah bagi pengaturan terhadap hal yang

berkaitan dengan sumberdaya terumbu karang. Selain itu salah satu tujuan dari Strategi

Konservasi Dunia 1980 adalah menetapkan terumbu karang sebagai sistem ekologi dan

penyangga kehidupan yang penting untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan

berkelanjutan. Karena itu, terumbu karang di sebagai salah satu sumberdaya alam yang ada di

Indonesia, pengelolaannya harus di dasarkan pada peraturan - peraturan,di antaranya:

1. UU RI No. 4/1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup.

2. UU RI No. 9/1985. Tentang perikanan.

3. UU RI No. 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem.

4. UU RI No. 9/1990 Tentang Kepariwisataan.

5. Peraturan pemerintah No. 29/1986 tentang analisa dampak lingkungan.

6. Keputusan menteri kehutanan No. 687/Kpts.II/1989 tanggal 15 Nopember 1989 tentang

pengusaha hutan wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Hutan Laut.

7. Surat edaran Menteri PPLH No. 408/MNPPLH/4/1979, tentang larangan pengambilan

batu karang yang dapat merusak lingkungan ekosistem laut, situjukan kepada Gubenur

Kapala Daerah, Tingkat I di seluruh Indonesia.

Page 12: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

8. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. IK.220/D4.T44/91, tentang penangkapan

ikan dengan bahan/alat terlarang - ditujukan kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi

Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia

9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman

Umum Pengelolaan Terumbu Karang.

2.3 Pencemaran

Secara keseluruhan, permasalahan yang timbul di wilayah pesisir sangat berhubungan

satu sama lain dikarenakan sebagian besar permasalahan yang ada disebabkan oleh tingkah laku

dan kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, eksploitasi ekosistem

secara belebihan di daerah pesisir mengakibatkan rusaknya fungsi lamun ataupun terumbu

karang sebagai tempat penguraian limbah sehingga terjadinya pencemaran di daerah-daerah yang

menjadi tempat masyarakat wilayah pesisir mencari nafkah (pantai, mangrove, estuaria dan

lainnya). Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat di wilayah

tersebut.

Selain itu, pencemaran yang terjadi juga banyak diakibatkan oleh pembuangan sampah ke

saluran air, minyak dari kapal-kapal, dan penggunaan zat kimia berbahaya pada kegiatan

perikanan. Pencemaran yang terjadi secara tidak langsung juga disebabkan kurang tegasnya

tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap para pelaku pencemaran tersebut.

Upaya yang diperlukan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran di wilayah

pesisir diantaranya adalah

1. Reklamasi pantai perlu direncanakan sedemikian rupa

2. Industri-industri yang mutlak di dirikan diwilayah pesisir wajib memproses limbah

buangannya

3. Undang-undang dan sanksi terhadap perusak wilayah pesisir dan pantai

4. Membentuk kelompok nelayan yang kritis dan berani mengamati pencemaran pesisir dan

pantai serta kerusakan hutanmangrove

5. Mengolah kawasan pesisir dan pantai secara terpadu yaitu: memanfaatkan, menjaga,

melestarikan dan memelihara

Page 13: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

2.4 Perubahan Garis Pantai

Di Indonesia, peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan

dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir, pembuangan limbah

ke laut, erosi pantai (abrasi), akresi pantai (penambahan pantai) dan sebagainya. Dalam

melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, manusia melakukan

perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap

lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Garis pantai adalah batas air laut pada

waktu pasang tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh

aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat

merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan

curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi peruhan garis pantai.

Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang mengalami erosi,

disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi dan segmen yang stabil.

Pemerintah mengemukakan bahwa sekitar 70 % pantai terutama berpasir di dunia mengalami

erosi pantai dan penyebab utama adalah aneka ragam pengaruh manusia secara langsung maupun

tak langsung yang menyebabkab berkurangnya jumlah ketersedian cadangan sedimen yang ada

di pantai dibandingkan dengan sedimen keluar dari pantai akibat pengaruh alam. Di beberapa

bagian pantai di dunia, erosi pantai yang terjadi telah menimbulkan kerugian yang besar berupa

rusaknya daerah pemukiman, pertambakan, dan jalan raya. Erosi pantai merupakan salah satu

masalah serius degradasi garis pantai yang disebabkan oleh angin, hujan, arus, dan gelombang

serta akibat aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti pembukaan hutan mangrove,

penambangan pasir laut dan penambangan terumbu karang di beberapa lokasi telah memberikan

kontribusi penting terhadap erosi pantai, karena hilangnya perlindungan pantai dari hantaman

gelombang dan badai. Pantai juga merupakan tempat rekreasi yang potensial bagi daerah

setempat sehingga keberadaannya perlu dijaga, dikelola dan dilestarikan.

Page 14: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

BAB III

CONTOH KASUS DI WILAYAH PESISIR INDONESIA

3.1 Kerusakan Wilayah Pesisir Pantai Timur Lampung

Pantai timur Provinsi Lampung yang mempunyai garis pantai sepanjang 270 km

merupakan wilayah pesisir dengan beragam potensi yang dapat menunjang pembangunan. Saat

ini pantai timur Lampung mengalami degradasi lingkungan yang cukup parah, terutama akibat

adanya kerusakan habitat mangrove yang diperparah dengan terjadinya abrasi

pantai. Kerusakan hutan mangrove sebagai green belt di wilayah tersebut sudah menghilangkan

fungsinya sebagai sarana mitigasi bencana di wilayah pesisir dan peranannya dalam menunjang

produksi perikanan tangkap. Lebih dari 80% hutan mangrove telah hilang akibat berbagai

aktivitas manusia, antara lain pertambakan, pemukiman, urbanisasi, pencemaran pesisir,

pengambilan kayu mangrove untuk berbagai kepentingan, dan lain-lain. Hal ini juga diperparah

dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan daratan dan lautan, sehingga kerusakan terus berlangsung hingga saat ini.

Selain itu, akibat tumpang tindihnya wewenang pengelolaan, kerusakan hutan bakau di

pesisir pantai timur Lampung makin meluas. Sudah sejak lama pengelolaan wilayah pesisir

menjadi tumpang tindih karena tidak jelasnya wewenang pengelolaan dan munculnya berbagai

kepentingan. Menurut Keppres No. 32 Tahun 1990 Dinas Kehutanan memiliki wewenang untuk

menjaga konservasi hutan bakau. Namun di sisi lain, Dinas Kelautan dan Perikanan juga

memiliki kepentingan untuk mengelola wilayah pesisir menjadi tambak dalam rangka

peningkatan ekonomi di sektor perikanan. Kerusakan wilayah pantai timur Lampung yang

membentang sepanjang pesisir Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur dan Lampung

Selatan telah dimulai sejak berkembangnya pertambakan udang secara besar-besaran di wilayah

tersebut pada tahun 1990-an yang mengkonversi areal mangrove. Sejarah pertambakan udang

yang berkembang di pantai timur Lampung telah dimulai sejak sebelum tahun 1960-an. Pada saat

itu telah berkembang budidaya tambak ekstensif skala sangat kecil untuk ikan bandeng, udang,

dan kepiting liar di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur. Pada era

tahun 1976 pembukaan lahan tambak yang pertama terjadi di Muara Gading Mas (Kecamatan

Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur) seluas 14 ha dan hingga tahun 1980 terjadi

Page 15: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

perluasan tambak udang yang sangat cepat di sepanjang pantai timur. Selanjutnya mulai tahun

1990-an perkembangan usaha tambak udang semakin pesat yang ditandai dengan konversi secara

besar-besaran kawasan mangrove untuk lahan tambak hingga luasnya diperkirakan mencapai

lebih dari 60.000 ha.

Selain tambak udang yang dimiliki oleh masyarakat, kawasan tambak udang intensif

telah dikembangkan di pesisir timur dengan pola tambak inti rakyat oleh PT CPB dan PT DCD

yang terletak di pesisir Kabupaten Tulang Bawang. Areal pertambakan PT DCD menempati

lahan seluas 16.250 ha yang terletak di antara Muara Way Mesuji dan Muara Way Tulang

Bawang di Kecamatan Rawajitu Timur; sedangkan areal pertambakan milik PT CPB terletak di

lahan pesisir antara Muara Way Tulang Bawang dan Way Seputih dengan alokasi lahan sekitar

23.900 ha yang terletak di Kecamatan Dente Teladas. Namun dalam perkembangannya, tidak

semua lahan yang dialokasikan digunakan oleh PT CPB; lahan-lahan tersebut banyak yang

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lahan pertanian, pemukiman, maupun tambak rakyat.

Dalam pembangunan areal pertambakannya, PT DCD dan PT CPB telah mengalokasikan

lahan yang berbatasan langsung dengan laut selebar 200 m sebagai kawasan green belt yang

ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Selain kedua perusahaan tersebut, di pesisir Tulang Bawang

juga berkembang tambak rakyat dengan sistem tradisional yang menempati lahan lebih dari

2.000 ha. Tambak-tambak rakyat ini umumnya dibangun di lahan yang terdapat di sekitar muara-

muara sungai hingga pesisir pantai dengan tidak menyisakan areal mangrove sebagai green belt.

Bahkan di beberapa tempat yang dialokasikan sebagai green belt milik PT DCD dan PT CPB

telah dijadikan tambak oleh masyarakat sejak tahun 1997 hingga sekarang. Kedua perusahaan

tidak dapat bertindak mencegah perambahan tersebut karena khawatir terjadi bentrokan,

sehingga perambahan semakin meluas. Di Kabupaten Lampung Timur, tepatnya di sebelah

selatan TN Way Kambas, kawasan pesisir di sepanjang garis pantai mulai dari Tanjung Penet

hingga Ketapang telah diubah seluruhnya dari rawa-rawa dan hutan mangrove menjadi lahan

pertanian padi dan sekarang menjadi tambak udang windu. Konversi lahan diawali dari pingir

pantai, kemudian dilanjutkan semakin lebar ke arah daratan. Di sekitar Sungai Pisang lebar

kawasan pertambakan ini mencapai 5 km ke arah daratan. Saat ini luas areal pertambakan dari

Tanjung Penet hingga ke Ketapang diperkirakan lebih dari 12.000 ha.

Page 16: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

Rusaknya hutan bakau akibat pembukaan tambak di sepanjang pesisir timur Lampung

membuat abrasi pantai semakin parah. Sejumlah kecamatan di pesisir pantai timur ini garis

pantainya mundur antara 300-700 meter ke daratan. Abrasi yang parah terjadi antara Kecamatan

Labuhan Maringgai, Lampung Timur, hingga Kecamatan Ketapang dan Bakauheni di Lampung

Selatan. Garis pantai di wilayah desa tersebut mundur sejauh 300 meter ke daratan. Kondisi ini

terjadi di Desa Margasari, Sriminosari, Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Bandar Agung,

Karya Makmur, Karya Tani, Mulyo Sari, hingga Desa Kuala Sekampung. Lokasi terparah berada

di Kecamatan Labuhan Maringgai antara muara Sungai Way Sekampung sampai muara Sungai

Way Seputih sepanjang 80 kilometer. Garis pantai di kawasan ini mundur sejauh 500 meter ke

daratan.

Kondisi pantai di Muara Way Penet, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai

berikut (a) sisi selatan muara Way Penet mengalami sedimentasi yang berasal dari hulu sungai

dan hasil abrasi pantai yang diangkut arus menyusur pantai dari arah seIatan, (b) sepanjang

sekitar 500 m dari sisi selatan muara ke selatan, garis pantai mengalami erosi/abrasi yang intensif

(c) rumah-rumah penduduk sudah roboh dan menurut penduduk setempat, garis pantai telah

mundur ke arah darat sejauh 500-800m sejak tahun 1988 (d) di lokasi dekat dengan TN Way

Kambas kondisi mangrove masih bagus karena ada konservasi dari Dinas Kehutanan; (e)

berbatasan dengan perkampungan yang rnengalami abrasi tersebut terdapat bakau pada garis

pantai dengan ketebalan ke arah darat kurang dari 100 m; (f) bakau pada garis pantai juga

mengalami abrasi.

Kondisi pantai di Desa Sri Minosari, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai

berikut: (a) kondisi pantai ditandai dengan terjadinya abrasi/erosi dimana garis pantai mundur ke

arah pantai dan telah mencapai tambak; (b) garis pantai yang baru berada persis di pinggir

tambak terluar; (c) muka pantai (berm) berupa sedimen pasir terletak di pinggir tambak. Kondisi

pantai di Desa Karya Makmur, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai berikut: (a)

proses abrasi/erosi garis pantai dengan jelas dapat terlihat; (b) gundukan sedimen berupa pasir

yang berwarna putih terlihat di sepanjang garis pantai; (c) garis pantai yang sudah mundur

terlihat dengan jelas karena garis pantai yang baru berada di tengah kolam tambak yang

sebelumnya berada jauh di belakang garis pantai.

Page 17: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

Kondisi pantai di Desa Karya Tani, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai

berikut: (a) garis pantai dengan tumpukan sedimen pasir yang terletak di tengah kolam tambak

mengindikasikan garis pantai telah mundur jauh ke arah darat, (b) menurut penduduk setempat,

garis pantai yang sebelumnya berada sekitar 100 m dari tambak terluar, sekarang telah berada di

petak tambak baris ke tiga dari pantai yang berarti dua petak tambak terluar telah hilang karena

proses abrasi erosi, (c) gundukan sedimen juga telah menutup muara saluran pembuang (outlet)

tambak. Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan, mulai dari Kuala Sekampung,

Desa Bandar Agung dan Desa Berundung, secara umum telah mengalami kerusakan yang cukup

parah. Di sepanjang wilayah pesisir tersebut terdapat areal pertambakan rakyat yang luas.

Kondisi penggunaan lahan di Desa Kuala Sekampung dan sekitarnya yang merupakan

daerah muara Sungai Sekampung memang didominasi oleh areal pertambakan rakyat yang masih

dikelola secara tradisional. Areal pertambakan tersebut merupakan areal terbuka yang tidak

menyisakan vegetasi mangrove sebagai green belt. Kondisi tanah yang berlumpur di daerah

Muara Way Sekampung dan sekitarnya memang merupakan penggunaan yang potensial untuk

daerah pertambakan, akan tetapi kondisi hutan mangrove sebagai benteng pertahanan dari

ancaman abrasi pantai harus dipertahankan. Pertambakan rakyat berbatasan langsung dengan laut

dan hanya dibatasi oleh beberapa baris saja tanaman mangrove. Keadaan ini sangat berbahaya,

karena apabila terjadi abrasi pantai yang terus menerus maka tambak akan berubah menjadi laut.

Demikian pula halnya bila terjadi bencana alam yang melanda wilayah pesisir, seperti

gelombang pasang ataupun tsunami, maka tingkat kerusakan dan kerugian akan semakin besar.

Pertumbuhan hutan bakau yang tersisa sudah sangat memprihatinkan, bahkan di lokasi-lokasi

tertentu sudah habis sama sekali. Di daerah Kuala Sekampung ketebalan mangrove dari tepi

pantai rata-rata paling jauh 10 meter. Kondisi ini sangat membahayakan, karena ancaman abrasi

pantai akibat ombak laut sangat serius. Di beberapa tempat terjadi abrasi pantai yang cukup

parah yang dapat diamati pada wilayah pesisir yang membentuk cekungan ke arah daratan;

sedangkan di tempat lainnya terjadi sedimentasi yang menyebabkan lahan daratan bertambah

luas.

Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan di Kuala Sekampung dapat digambarkan

bahwa kondisi vegetasi hutan mangrove untuk tingkat pohon didominasi oleh jenis Avicennia

officinalis dengan kerapatan 366 pohon/ha. Berdasarkan pengambilan contoh di dua lokasi

Page 18: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

tersebut diperoleh data berupa Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif, dan

Indeks Nilai Penting (INP) pohon.

Jenis pohon yang menyusun hutan mangrove di daerah tersebut adalah: Avicennia

officinalis, Rhizopora apiculata, Bruguierra gymnorrhiza dan Sonneratia alba.

Kondisi wilayah pesisir di Kecamatan Ketapang sangat berbeda keadaannya dengan

wilayah pesisir di Kecamatan Sragi. Wilayah pesisir di Kecamatan Ketapang lebih banyak

ditumbuhi oleh vegetasi kelapa (Cocos nucifera). Keadaan tanah di daerah Ketapang dan

sekitarnya tergolong berpasir. Kondisi tanah yang berpasir di daerah ini merupakan potensi yang

baik untuk perkebunan kelapa, sehingga kelapa rakyat sangat banyak dijumpai di daerah ini.

Selain banyak perkebunan kelapa, daerah Ketapang dan sekitarnya juga telah dikembangkan

untuk daerah rekreasi. Usaha pertambakan juga telah berkembang di beberapa tempat, terutama

di wilayah pesisir Desa Berundung, Legundi, Tridharmayoga, dan Ruguk. Tidak berbeda dengan

areal pertambakan yang terdapat di Kecamatan Sragi, di lokasi ini pun tambak dibangun di

pinggir pantai dengan tidak menyisakan vegetasi pantai sebagai kawasan green belt. Di beberapa

tempat juga dijumpai mangrove dalam kawasan yang tidak terlalu luas dan terancam

keberadaannya, seperti yang terjadi di Desa Sumur.

Keadaan hutan mangrove di Desa Sumur dan sekitarnya relatif masih baik. Daerah ini

mempunyai pantai yang landai dengan ombak yang kecil karena dilindungi oleh daerah Pulau

Rimau Balak dan Rimau Lunik. Di Desa Sumur dapat ditemukan mangrove jenis Avicennia

officinalis, Rhizopora apiculata, dan Burguierra gymnorrhiza. Kondisi vegetasi hutan mangrove

untuk tingkat pohon didominasi oleh jenis Rhizopora apiculata dengan kerapatan 285 pohon/ha.

Kondisi hutan mangrove relatif cukup baik tetapi sudah berkurang karena sebagian telah

ditebang dan pantainya mengalami abrasi. Saat ini di lokasi tersebut sedang dibangun pelabuhan

untuk kapal-kapal niaga beserta sarana dan prasarananya. Aktivitas ini merupakan ancaman

terhadap ekosistem mangrove yang ada di sekitar kawasan tersebut. Usaha pertambakan juga

telah berkembang di beberapa tempat di Kecamatan Bakauheni. Tidak berbeda dengan areal

pertambakan yang terdapat di Kecamatan Sragi, di lokasi ini pun tambak dibangun di pinggir

pantai dengan tidak menyisakan vegetasi pantai sebagai kawasan green belt. Pertambakan yang

terdapat di wilayah Bakauheni merupakan pertambakan intensif untuk membudidayakan udang

putih. Berbeda dengan wilayah pesisir di Kecamatan Labuhan Maringai ataupun Kecamatan

Page 19: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

Sragi yang didominasi lahan datar, wilayah pesisir Bakauheni memiliki lahan datar yang terbatas

sehingga pengembangan tambak udang tidak meluas. Di wilayah ini pengembangan tambak

dibatasi oleh topografi daratan yang berbukit-bukit. Keberadaan dan manfaat hutan sebenarnya

sudah banyak diketahui oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena masyarakat menyadari

pentingnya hutan mangrove sebagai pelindung dari bahaya tsunami, abrasi, dan sebagai tempat

flora serta fauna berkembang biak. Tetapi dengan berbagai kepentingan dan kebijakan yang ada

maka masyarakat sekarang ini lebih banyak mengarah kepada tindakan pengrusakan hutan

mangrove.

Page 20: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Aspek Sosial dan Ekonomi

Dilihat dari aspek ekonomi, pengelolaan lahan hutan menjadi lahan tambak memang

memberikan keuntungan bagi masyarakat yang memiliki kapital, sehingga mampu meningkatkan

produksi perikanan dalam negeri.Bagi masyarakat lokal, hal tersebut juga memicu inisiatif untuk

membuka lahan tambak walaupun hanya berskala kecil, sehingga memberikan peluang untuk

memperbaiki perekonomiannya. Masyarakat yang tidak memiliki modal dan tidak berpendidikan

juga terbuka peluang kerjanya sebagai pekerja kasar di pertambakan yang berskala besar

sehingga hal tersebut dapat mengurangi tingkat pengangguran. Namun efek negatifnya,

masyarakat yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja di pertambakan besar ataupun

membuka lahan sendiri menjadi resah sehingga dapat menimbulkan konflik ataupun sabotase

terhadap pemilik lahan tambak dengan alasan masyarakat melihat perizinan pembukaan lahan

untuk tambak tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang, tetapi tetap diberikan. Sementara

wewenang dan bentuk pengelolaan wilayah pesisir juga tidak jelas. Perambahan terhadap hutan

mangrove semakin meluas karena masyarakat yang hidup di sekitar industri tambak udang besar

tetap miskin karena tidak banyak dilibatkan. Di sekitar pesisir sepanjang 270 kilometer itu

terdapat 175 desa. Sekitar 95 desa di antaranya tergolong desa tertinggal. Yang dapat mereka

lakukan untuk bertahan hidup hanyalah menjual batang-batang pohon mangrove untuk

mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, kemiskinan menjadi faktor utama rusaknya

hutan bakau di daerah tersebut.

4.2 Aspek Ekologi

Harus diakui aktifitas alih fungsi hutan mangrove baik untuk diambil kayunya, maupun

untuk pembukaan lahan bagi pertambakan ikan akan sangat mempengaruhi struktur pantai. Hal

tersebut menjadi ancaman, khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar akan

membuat bentuk pantai berubah, bahkan dapat terjadi abrasi pantai yang nantinya dapat

membahayakan masyarakat pesisir itu sendiri. Mangrove yang menjadi tujuan ikan migrasi untuk

memijah, mencari makan dan berlindung juga tidak dapat lagi berfungsi secara efektif akibat dari

kerusakan di wilayah tersebut.

Page 21: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

4.3 Upaya Penanggulangan

Dalam rangka penanggulangan kerusakaan pantai timur Lampung beberapa upaya dan

program kegiatan telah dilakukan, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Upaya-upaya ini

dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi/kabupaten, PT DCD dan PT CPB,

masyarakat setempat, LSM, Perguruan Tingi, dan lain-lain. Pemerintah daerah melalui Dinas

Kehutanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan LPM Univesitas Lampung pada tahun 2006

telah menyusun dokumen Masterplan Rehabilitasi Hutan Mangrove Pesisir Timur Lampung.

Dalam masterplan tersebut dipaparkan beberapa permasalahan, baik fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan lain-lain, yang dihadapi dalam rangka merehabilitasi pesisir timur Lampung.

Perbaikan ekosistem mangrove tidak hanya mencakup kegiatan merehabilitasi lahan-lahan yang

kritis saja, tetapi permasalahan lebih kompleks karena menyangkut faktor ekonomi, sosial, dan

budaya.

Dalam masterplan tersebut dijelaskan langkah-langkah rencana aksi (action plan), antara

lain:

a) Penataan Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung, yang meliputi kegiatan:

• Konsultasi Publik tentang Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung

• Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung

• Penyusunan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung

b) Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat, yang mencakup kegiatan:

• Pengukuran dan Penetapan Kawasan Jalur Hijau (Green Belt) Hutan Mangrove

• Penetapan dan Redesign Tambak-tambak Masyarakat Berbasis Konservasi

• Rehabilitasi Hutan Mangrove pada Kawasan Green Belt

• Pengawasan dan Pemeliharaan Kawasan Green Belt Hutan Mangrove

c) Memasukkan topik ekosistem hutan mangrove sebagai muatan lokal dalam kurikulum

pendidikan formal dan non formal.

d) Pembangunan dan pengembangan mangrove center

e) Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi baru (regional)

f) Penyusunan payung hukum berbasis masyarakat untuk pengelolaan ekosistem hutan

mangrove

Page 22: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

g) Pembentukan, penguatan, dan pemberdayaan kelembagaan pengelolaan ekosistem

hutan mangrove.

Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan

Universitas Lampung melakukan kajian dan demonstrasi plot tentang tambak udang ramah

lingkungan dengan model wanamina (silvofisheries) di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan

Maringgai, Lampung Timur, yang bertujuan untuk mengaplikasikan konsep budidaya perikanan

sistem wanamina (silvofishery) di kawasan mangrove dalam bentuk demonstrasi pond

(dempond), yang mana hasilnya diupayakan dapat diterapkan kepada masyarakat. Apabila

tambak udang model wanamina ini dapat diterapkan, maka kegiatan rehabilitasi mangrove dapat

berjalan seiring dengan perubahan pola budidaya yang ramah lingkungan. Kegiatan ini juga

disertai dengan penyuluhan dan pelatihan tentang pentingnya peranan ekosistem mangrove di

wilayah pesisir serta aplikasi tambak wanamina sebagai salah satu cara budidaya ikan/udang di

lahan mangrove tanpa merusak ekosistem tersebut.

Pada Oktober 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melaksanakan

kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan

seluas 10 ha, yaitu sepanjang 1.000 m dengan ketebalan mangrove sekitar 100 m. Kegiatan ini

dilakukan alam rangka upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir yang melibatkan masyarakat

setempat. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizopora mucronata. Langkah konkrit yang

ditempuh oleh pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kawasan pesisir timur Lampung

antara lain seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Pemkab

Lampung Timur telah mengeluarkan Perda No.3 tahun 2002 yang mengatur hutan bakau di

pesisir pantai setidaknya harus memiliki ketebalan 100 meter dari garis pantai pasang tertinggi.

Upaya ini ditempuh untuk memberi payung hukum pengelolaan dan perlindungan kawasan

mangrove yang akan dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Timur. Setidaknya

dengan adanya perda ini maka Pemda Kabupaten Lampung Timur memiliki kekuatan hukum

untuk mencegah perusakan kawasan mangrove lebih lanjut. Melalui kegiatan rehabilitasi lahan

pemerintah Kabupaten Lampung Timur telah melakukan penanaman mangrove di sekitar pantai

timur. Pada tahun 2005 program rehabilitasi hutan mangrove dilakukan pada areal seluas 53

hektare di Labuhanmaringgai. Selanjutnya pada tahun 2006, rehabilitasi dilakukan pada areal

seluas 150 hektare, masing-masing 75 hektare di Pasirsakti dan Labuhanmaringgai. Tahun 2007

program lanjutan direncanakan akan dilaksanakan di dua kecamatan tersebut (Pasirsakti dan

Page 23: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

Labuhanmaringgai) dengan areal seluas 200 hektare. Selain kegiatan rehabilitasi lahan,

penegakan hukum juga dilakukan oleh Pemkab Lampung Timur terhadap masyarakat yang

merambah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Lampung Timur bersama aparat

kepolisian setempat akan menutup ratusan hektare tambak liar di kawasan pantai timur Kuala

Penet, Margasari, Labuhanmaringgai dan Pasir Sakti. Pasalnya, ratusan hektare tambak itu

berada di kawasan Register 15 Muara Sekampung. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri

Kehutanan Nomor 256/Kpts-2/II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Kehutanan, kawasan

pantai timur Lampung Timur masuk kawasan Register 15 Muara Sekampung Penutupan itu

merupakan kelanjutan dari operasi pengamanan hutan Register 15 Muara Sekampung yang

merupakan perairan pantai timur. Operasi pengamanan yang dilakukan selain melibatkan jajaran

Disbunhut juga melibatkan sejumlah anggota Sat Intelkam dan Satreskrim Kepolisian Resor

(Polres) Lampung Timur.

Sasaran utama operasi itu adalah pengamanan Register 15 Muara Sekampung yang

merupakan kawasan pesisir pantai timur Lampung Timur sepanjang 30 kilometer yang

memanjang dari Kuala Penet Margasari Labuhanmaringgai hingga Pasir Sakti saat ini sangat

memprihatinkan. Pada jalur itu, sedikitnya 500 hektare hutan bakau (mangrove) telah dikonversi

warga menjadi areal tambak. Lembaga Swadaya Masyarakat di Lampung juga turut berperan

dalam mengkampanyekan urgensi kerusakan lahan mangrove dalam rangka menggugah

kesadaran semua pihak akan pentingnya habitat mangrove di pesisir timur Lampung. WALHI

Lampung menginisiasi kegiatan tanam bakau di Dusun Bunut Selatan, Desa Bandar Agung,

Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, di sela-sela agenda South – North Consultation, 4

September 2007. Dalam kegiatan tanam bakau ini, WALHI Lampung mengikutsertakan seluruh

peserta South -North Consultation yang berasal dari berbagai negara, seperti Indonesia,

Bangladesh, India, Malaysia, Swedia, Venezuela, Honduras, Spanyol, Senegal, Nigeria,

Thailand, Srilanka, dan Afrika Selatan. Pihak swasta, dalam hal ini PT CPB dan PT DCD, juga

berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga kawasan green belt terkait dengan isu lingkungan

(eco labelling) dalam pemasaran (ekspor) udang produksi kedua perusahaan tersebut. Melalui

program community development, PT DCD dan PT CPB telah berupaya untuk merehabilitasi

lahan green belt dengan cara memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dengan

membentuk kelompok pengelola mangrove. Kelompok pengelola mangrove ini mengelola

pembibitan dan penanaman mangrove yang ditanam di areal green belt. Melihat betapa penting

Page 24: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

dan bermanfaatnya penanaman mangrove bagi industri budidaya udang, manajemen PT CPB

Bahari berkomitmen untuk selalu melestarikan mangrove yang diwujudkan dengan adanya

program konservasi mangrove atau mangrove conservation program (MCP). Program ini

merupakan program rehabilitasi mangrove yang habis dirambah pada 1999-2000. Sebelumnya,

yakni pada kurun waktu 1995-1998, PT CPB telah melakukan rehabilitasi (penghijauan)

mangrove di pesisir timur Lampung dengan luas area mencapai 2.819 ha, sepanjang 50 km

dengan ketebalan 500-1.500 meter.

Program konservasi mangrove (MCP) ini telah dimulai sejak tahun 2004. Hingga 2006

telah dilakukan penanaman kembali sebanyak 140.000 bibit bakau, dan jumlah tersebut akan

terus bertambah. Bibit bakau disemai di bedeng persemaian yang berada di dalam kawasan pond

site PT CPB, sehingga setiap saat dapat dipantau pertumbuhannya. Bakau yang ditanam oleh PT

CPB adalah Rhizopora apiculata yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain bibitnya

mudah disemaikan, mudah tumbuh pada substrat berlumpur dan memiliki daya ikat sedimen

yang tinggi sehingga mampu mencegah terjadinya abrasi lahan.

Prioritas utama penghijauan kembali tanaman bakau adalah di bantaran kanal utama

pengeluaran air (main outlet) dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan mangrove tersebut

karena limbah budidaya udang mengandung bahan organik yang tinggi sehingga dapat menjadi

nutrisi bagi mangrove. Tujuan lainnya adalah meminimalisir pencemaran limbah budidaya di

ekosistem pesisir sehingga suplai air laut untuk keperluan budidaya udang juga terjamin

kualitasnya. Kegiatan MCP merupakan suatu bentuk pelaksanaan program pengembangan

komunitas sekitar perusahaan atau community development program (CDP). Perusahaan

menyediakan lahan untuk dijadikan bedeng persemaian tanaman mangrove dan pengelolaannya

dilakukan oleh warga masyarakat Dusun Sungai Burung. Demikian pula dengan proses

penanaman bibit yang telah siap tanam, juga dilakukan bersama-sama, yakni antara pihak

perusahaan dan masyarakat lokal. Sebagai imbal balik, perusahaan menyediakan sejumlah dana

untuk menghargai jerih payah masyarakat lokal sekaligus membantu menyediakan

sarana/fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat, seperti gedung sekolah, balai pengobatan

serta pelayanan kesehatan bagi warga.

Page 25: Makalah Kebijakan Pembangunan Kelompok 14 Wilayah Pesisir

DAFTAR PUSTAKA

Rais, 2000. Kajian Kerawanan dan Dinamika Wilayah Pesisir. Materi Kuliah pada Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana IPB, 92

hal.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita Jakarta.

M. Salam Tarigan. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi

Banten. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430, Indonesia

Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir, Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Hotel Permata,

Bogor, 29 Oktober 2001

Bengen, D.G. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,

Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan

Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 September 2001.

http://www.telapak.org/tnews/news/156.html

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=96724

http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/11/16/pengembangan-komunal-masyarakat-pesisir-

pantai/

Retraubun, A.S.W. 2002. Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Data dan Masalah

Pengelolaannya. Makalah Lokakarya dalam rangka Penetapan Luas Terumbu

Karang, Panjang Pantai, dan Jumlah Pulau di Indonesia Berdasarkan Data

Penginderaan Jauh. oleh COREMAP. LIPI.