makalah kebijakan pemerintah indonesia terhadap industri tambang dan
TRANSCRIPT
MAKALAH KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP INDUSTRI TAMBANG DAN BATUBARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara
adalah suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila
ditinjau dari segi pola kehidupan masyarakat sangat berhubungan langsung
dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, pemakaian sumber-
sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam
secara besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan
berbagai dampak negatif yang terasa dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu upaya dan
pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2001)
menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara implisit juga
mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan
tetap menjaga kualitas sumber daya alam.
Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara
merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan
agar industri tetap berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang
berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu lingkungan (environment),
ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi semua orang
(equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri
namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal
industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat
besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak dan
menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut
masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat terkait dalam
pengelolaan lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan
industri tambang batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas
kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam dan bahan-
bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur
hidup produk sehingga tidak mengorbankan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhannya (Purwanto, 2005).
Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang
dihasilkan dari limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Zat organik terlarut
2. Zat Padat tersuspensi
3. Nitrogen dan phosphor
4. Minuman dan bahan-bahan terapung
5. Logam berat cyanida dan racun organic
6. Warna kekeruhan
7. Organic tracer
8. Bahan yang tidak mudah mengalami dekomposisi biologis (refactory
subtances)
1. Bahan yang mudah menguap (volatile materialis).
Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka
kerja dan proses yang terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan,
pelaksanaan, tindakan perbaikan dan tinjauan pengelolaan. Sistem
Manajemen Lingkungan menyediakan detail-detail spesifik dan instruksi-
instruksi yang berhubungan dengan struktur organisasi, personalia,
prosedur, pelatihan dan penelitian yang kesemuanya memainkan peran
dalam mengontrol dan meminimalkan dampak negatif akibat operasional
pabrik pada lingkungan (Soetrisnanto, 2005).
Dalam pada itu menurut Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML)
telah secara luas diimplementasikan di dunia industri. Meskipun sebagian
motivasinya untuk memperoleh sertifikat dan kemudian menjadi bagian dari
promosi, tetapi SML bisa menjadi pendorong penaatan lingkungan
(environmental compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat
memulainya dengan memahami bagaimana fungsi SML, tantangan yang
mereka hadapi dan mengembangkan komitmen untuk meningkatkan kinerja
lingkungan serta mencoba untuk mengimplementasikan SML dalam bagian
kecil dari organisasi mereka.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara
2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terhadap PETI
3. Untuk mengetahui bagaimana rencana kebijakan pemerintah terhadap
sector pertambangan sumber daya alam
1.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan pertanyaan:
1. Bagaimanakah Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara?
2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah terhadap PETI?
3. Bagaimanakah rencana kekbijakan pemerintah terhadap sector
pertambangan sumber daya alam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih
diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan
tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan
Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah
ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:
Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan
oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi
daerah).
Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam
negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan
dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun
fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).
Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan
pembangunan daerah (community development) dan penanganan
lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan.
Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah
produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan
kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market
Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price
Reference / ICPR).
Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN
dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat
publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran
menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan
hukum.
Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(“UU Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
1. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan;
2. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau
seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi
dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan
diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki
data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”)
mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
2.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI
v Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan
yang dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan
akan dibagi atas periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik
Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak langsung
memberikan gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa
tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat perbedaan dan kesamaan-
kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran paradigma
pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan
tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA
yang dipaparkan diatas akan menjadi relevan.
a) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Kolonial Belanda
Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan
transaksi jual beli dengan Sultan Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan penggalian timah di pulau Bangka (1816), Pulau Belitung (1851),
dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan Batubara di Indonesia pertama
kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada tahun 1849 di
Pangaron, Kalimantan Timur. Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta
Belanda melakukan kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di
tenggara Samarinda. Pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan geologi
di daerah Sungai Durian, Sumatera Barat dan ditemukan suatu lapangan
Batubara Ombilin yang potensial. Pada tahun 1892, tambang batubara
Ombilin di Sawahlunto mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya
pembangunan kereta api pada tahun 1892.
Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan
pokok pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899
Staatsblad 241. Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian
ditambah dan diubah pada tahun 1910, 1918 dan 1906. Pada masa itu
pertambangan-pertambangan besar seperti pertambangan Batubara di
Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh negara. Tetapi
pihak swasta juga diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
pertambangan seperti pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara .
Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial Belanda
mengikutsertakan masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu
sisi, pemerintah Kolonial Belanda merupakan penjajah yang ingin
mendapatkan keuntungan dari sumberdaya alam. Tapi disisi lain
pemerintah Kolonial Belanda tidak mau mengambil resiko dengan
memasukkan secara paksa para penambang dalam areal masyarakat
adat.Terdapat kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda mewajibkan
pengusaha pertambangan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian
dengan masyarakat adat pemilik wilayah adat tersebut setelah sipengusaha
mendapat konsesi pertambangan dari pemerintah colonial Belanda. Salah
satu contoh menarik adalah di Sawahlunto-Sumatera Barat. Wilayah yang
diperjanjikan ini kemudian berkembang menjadi wilayah pertambangan PT.
BA-UPO di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal,
Asisten Residen Tanah Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas
notaris keresidenan tersebut dan daerah Vord Vander Capellen kedatangan
tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha warganegara Belanda
bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan
Pamuncak, wakil dari pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan
didampingi.
Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka
buat didaftarkan di notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara
Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang dengan Pieter Jacobus Scuuring
tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah masyarakat adat
ini. Pokok perjanjiannya adalah:
1. Masyarakat adat Kelarasan Silungkang bersedia untuk menyerahkan
pemanfaatan batubara miliknya kepada Pieter Jacobus Scuuring dan
akan menjaga keamanan usaha penggalian batubara tersebut.
2. Pieter Jacobus Scuuring akan memberikan 1/10 (sepersepuluh) dari
keuntungan yang didapat dalam mengusahakan pertambangan batubara
tersebut kepada penduduk Kelarasan Silungkang dan akan memberikan
sejumlah uang kepada orang-orang yang terlibat dalam perjanjian ini,
dengan anggaran tidak lebih dari F. 4000 (empat ribu gulden) per
tahunnya.
Perjanjian Pertambangan Batubara antara Masyarakat Adat Silungkang
Pengusaha Belanda (Djaar Sutan Pamuncak dengan Pieter Jacobus
Scuuring).
1. Pada saat yang bersamaan, dibanyak tempat banyak bertumbuhan
pertambangan rakyat. Tetapi belum banyak pengaturan terhadap
penambang rakyat tersebut. Perijinan pertambangan rakyat diberikan
oleh penguasa setempat dengan cakupan bahan galian seperti timah,
emas dan intan. Khusus mengenai tambang intan, pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923
Staatblats 1923 No. 565 yang mencabut Ordonantie tanggal 7 Juni 1900
Staatblats 1900 No. 174 . Pengaturan ini memuat ketentuan diantaranya:
Pertambangan intan tanpa konsesi di Martapura dan Pelaihari hanya
boleh dilakukan oleh penduduk setempat.
2. Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin harus
seijin residen dan harus membayar f. 0, 5 per 6 bulan.
3. Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus
memperoleh ijin menyewa dari Residen dan dikenai ongkos sewa
sebanyak f. 0,4 per meter per tahun. Penambang juga diwajibkan
membuat batas wilayahnya dengan biaya sendiri.
4. Bagi yang melakukan penambangan tanpa ijin dikenai hukuman
kurungan 1 tahun dan denda paling tinggi f. 100.
b) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan
yang legendaris tentang dasar justifikasi Negara (NKRI) dalam penguasaan
dan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan). Dasar justifikasi
tersebut popular dengan sebutan Hak Menguasai Negara (HMN).
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah
penting. Hak Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional
yang memberikan negara kekuatan untuk mengatur, mengelola dan
mengusahakan sumberdaya pertambangan. Perdebatan tentang Hak
Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam membahas
hubungan Negara dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
(PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya pertambangan. Banyak penulis
yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam PSDA, menggugat dan
mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan yuridis HMN.
Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh Negara
(pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure
dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan
konsep ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap
konsep Negara hukum klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan
Negara hukum sosialis yang dipengaruhi oleh paham marxisme .
Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak
dipandang hanya semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga
mempunyai fungsi sebagai alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri
Negara kesejahteraan ini adalah;
1. Mengutamakan hak social ekonomi masyarakat,
2. Peran eksekutif lebih besar dari legislative,
3. Hak milik tidak bersifat mutlak,
4. Negara tidak hanya sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) tapi juga
terlibat dalam usaha-usaha social maupun ekonomi,
5. Kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur social ekonomi
dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga Negara,
6. Hukum public condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi
dari peran Negara yang luas dan
7. Negara bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan
social yang materil. Dengan pemahaman inilah, Negara mempunyai hak
untuk ikut campur dalam pertambangan.
Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia
mengadopsi kedua paham ini dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan
yuridis bagi Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 yang berbicara bertama kali
tentang konseptualisasi HMN dalam tingkatan yang lebih teknis dalam
pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945 memberikan penekanan pada
penguasaan Negara terhadap Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No. 5 Tahun
1960 lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu;
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa atau dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen
yang terkandung dalam HMN tersebut adalah kekuasaan untuk
mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan mengawasi
(toezicthouden).
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU
No. 37 Prp Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang
menentukan bahwa semua bahan galian yang diusahakan oleh rakyat
secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri
menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan
selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi
No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang Peneriban Usaha-Usaha
Dibidang Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan
Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No.
206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar
III Koti Operasi Ekonomi No.Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban
Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang
Bersamaan Penguasaannya.
Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki
Sendiri (berdikari). Secara tersirat diketahui bahwa keinginan pemerintah
untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan
sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat. Persandingan
bahasa penertiban dan pembinaan tidak memberikan kesejukan terhadap
pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan yang pasti terhadap
pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.
Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada
pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan galian yang
terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan
endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah
kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan
dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.
UU No. 11 tahun 1967 mendevinisikan pertambangan rakyat sebagai
Pertambangan Rakyat; adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat
secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana
untuk pencaharian sendiri. Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan
kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian
untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan
bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat
setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan
Rakyat.
UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam
ketentuan ini ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan
setelah mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang
dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan
Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada
Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-
kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.
Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur
pertambangan rakyat ini diantaranya Kepmen Pertambangan No.
181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat
Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan
No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat
Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen
Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang Pengaturan
Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah
Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No.
763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat
Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi
Jabar, Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan
Vital (Golongan A & B)
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting
tentang kebijakan pemerintah yaitu :
1. Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2. Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang
Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat
harus menyingkir.
3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap
dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin
pemegang kontrak pertambangan.
4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan
sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak
jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.
Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut,
banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala
dinas Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang tahun
1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334
penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan
memakai alat berat . Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto
sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500 orang penambang liar .
Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun
2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di
Kalimantan Selatan sampai tahun 2001 terdapat 6000 orang penambang
emas tanpa ijin.
Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa
Ijin) juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan
dengan skala kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari
daerah sekitar lokasi bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip
pada bahan tambang itu. Akhir-akhir ini berbagai perhatian tertuju pada
para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka dari tahun ke
tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi
penambangan kecil yang menghasilkan hampir semua mineral untuk
kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta pertahun. Rendahnya
jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih
disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam
memperoleh ijin penambangan .
Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan pemegang
kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui konflik.
Salah satu kasus yang terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya
Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab. Barito Utara Kalimantan
Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah
menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100%
sahamnya dimiliki oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT.
Indo Muro Kencana ini tumpang tindih dengan wilayah pertambangan
rakyat dan areal kawasan adat lainnya.
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah
mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi
Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian
pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek
dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras berdatangan salah satunya
dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni 2000 .
Menakar Nasib Tambang Rakyat Dengan RUU Mineral dan Batubara
di sepanjang 2003 sampai dengan 2004 pemberitaan kasus-kasus dan
pengaturan pertambangan di Indonesia menyita perhatian pulik. Kelahiran
Perpu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disyahkan menjadi UU No. 19
Tahun 2004 memberikan warna tersendiri di pentas sejarah pertambangan.
Sementara itu, cakupan UU No. 11 Tahun 1967 mulai berkurang dengan
lahirnya UU Migas dan dilanjutkan dengan pembuatan RUU Mineral dan
Batubara yang saat ini dibahas di DPR
Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2005 Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;
“……….Dengan demikian, perkembangan penerimaan SDA pertambangan
umum tersebut, pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu
tarif per jenis pertambangan, harga jual, luas atau volume, dan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, faktor nonekonomi yang
diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan penerimaan SDA
pertambangan umum antara lain meliputi masalah keamanan di daerah
daerah penambangan, yang rawan terjadi penambangan tanpa ijin (Peti).
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata
pemerintah sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat
atau menurunnya pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan
kenyataan ini, dalam rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi
salah satu prioritas yang harus ditangani segera. Penetapan prioritas ini
didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan
adalah kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi
ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya
harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI
dengan kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan
rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan
bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat
termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai
bahan pembantu pada industri kecil.
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan
pada tahun 1996 tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar
dilakukan oleh masyarakat menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang
menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI
sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan
dampak yang serius terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena
sebagian besar pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin
resmi dari pemerintah.
Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak
ketika membaca naskah akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah
akademik ini mengkategorikan PETI yaitu PETI versi baru dan PETI versi
lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan adanya penyandang
dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta
operasi dengan modus operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa
menjadi “korban” pembangunan, ini, yang didalamnya terlibat masyarakat
pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi kekuatan
yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini menimbulkan
masyalah yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara
dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan
hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu, kecelakaan
tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan,
premanisme dan prostitusi .
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan
baru). Tidak ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama
(tradisonal) yang sebagian besar adalah penambang-penambang tradisi
seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini. Persoalan-
persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang
rakyat / PETI versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah
penambangannya ditimpa oleh kontrak-kontrak penambangan besar, seperti
dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti ini, maka perlakukan
terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana
tentang HMN dan pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat
kearah yang lebih menguntungkan pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun
1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik ini menjadi
sebuah hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya
pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti dimiliki (penjelasan
umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan kedudukan
sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang
dalam naskah akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk
semakin memperkuat kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan.
Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan memiliki
posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat.
Akan tetapi logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU
minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran yang dimunculkan pada pasal
pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara. Pembahasan ini akan
relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan
kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private.
Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh
tambang rakyat, meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya
kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi
pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap
pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan
membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan rakyat,
maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia
dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas
lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia
mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan
Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha
Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen
Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan
Pembangunan Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan
beberapa metode dalam pengolahan emas dalam pengurangan emisi
mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5
ton per tahun .
v Catatan-Catatan Penting dan Tawaran Solusi Alternatif
Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat,
terdapat beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita
yang akan menerangi jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk
mendudukkan sumberdaya pertambangan khususnya mineral dan batubara.
1. Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan.
Para penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan
dengan kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm
sejarah yang lebih tua dari negara.
2. Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan
sumberdaya tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu
memakai idiom pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-
kemasa merupakan bentuk lain dari perebutan sumberdaya itu sendiri.
3. Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-
pemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan.
4. Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah
ada sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat
selalu dimulai dengan pendekatan pajak.
5. Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi
kontrak setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang
akan mengusahakan sumberdaya tambangnya yang merupakan satu
bagian kecil dari sebuah pengakuan terhadap pemilikan masyarakat
dengan tidak adanya pengalaman serupa dialam kemerdekaan dimana
kontrak-kontrak seperti itu tidak pernah lagi melibatkan masyarakat.
6. Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh
RUU Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah
maju.
7. Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam
tumbuh tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan.
Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang
muncul, dapat ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi
atas dua yaitu solusi transisional dan solusi utama. Solusi transisional
adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya
solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.
v Solusi Transisional
1. Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan
sumberdaya alam terutama pertambangan yang merupakan kekayaan
bangsa. Evaluasi ini menyangkut kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat
dan praktek yang terjadi dilapangan. Dengan itu tentunya pembahasan
RUU Minerba di DPR harus dihentikan terlebih dahulu.
2. Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan
yang berlangsung sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik
yang berakar dari klaim hak kepemilikan ataupun konflik yang timbul
dari dampak-dampak pertambangan.
3. Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan
PETI yang disusun secara partisipatif termasuk masalah pengendalian
lingkungan hidup, dimana solusi dan pendekatan terhadap penambang
tradisional (versi lama) harus berbeda dengan PETI versi baru .
4. Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak
pertambangan baru dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan
yang sudah ada dengan memperketat dan mempertinggi standar
lingkungan hidup.
v Solusi Utama
Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka
waktu tertentu, pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi
masalah utama yang akan menyentuh masalah sesungguhnya dalam
pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi tersebut diantaranya :
1. Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan)
yang semata berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana
pengelolaan sumberda alam yang komprehensif.
2. Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas
sumberdaya alam yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan,
khususnya yang mengatur tentang hak ulayat segera diturunkan pada
ketentuan yang lebih operasional.
3. Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi
prinsip-prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
4. Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free,
Prior, Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan
untuk mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat
unsur mendasar yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku
secara kumulatif. Secara definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan
sebagai berikut;
A. Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya
kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas
masyakarat,
B. Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan
pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat,
C. Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai
proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan
D. Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .
2.3 Rencana Kebijakan Pemerintah Terhadap Sektor
Pertambangan SDA
v Kondisi Energi di Indonesia
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer
Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025,
sedangkan tabel 2 menunjukkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun
2005 sampai 2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio
untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya
sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada
tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5
tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan
batubara sebesar 33% pada bauran energi nasional di tahun 2025.
Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk
mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung
konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio
pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana
realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas
alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan
peningkatan ekspor gas.
Tabel 1. Statistik energi primer
Tabel 2. Komposisi bahan bakar pada pembangkitan listrik
v Cadangan dan Kualitas Batubara
Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus
dilakukan, sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan
ditemukannya lapisan – lapisan baru batubara. Tabel 3 menampilkan
sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4 menunjukkan sumber
daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya
batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa
ditambang hanya sekitar 1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah
ini dipastikan akan bertambah seiring dengan eksplorasi yang terus
berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh cadangan batubara
Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan (49,56%),
sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua.
Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan
karakteristik kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada,
diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar
kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit (dalam
tabel 4 merujuk ke sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah).
Antrasit juga diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Di
Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat batubara kokas sehingga
pembangunan tambang di sana berlangsung dengan pesat dalam beberapa
tahun belakangan ini.
Tabel 3. Sumber daya & cadangan batubara
Tabel 4. Sumber daya batubara berdasarkan kualitas
v Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi
menjadi 4 kelompok, yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of
Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi, ③ KP (Kuasa Penambangan),
dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil kebijakan
pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui
upaya mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang
PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah
produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini.
PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera
Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun
tambang – tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam
negeri, sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B
yang masih terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku
lagi.
UU Minerba yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP),
yang didalamnya terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral &
batubara, yaitu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha Pertambangan Khusus
(WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD,
perusahaan swasta, KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha
pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan transparansi perijinan, maka
sistem tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini. Ijin
pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin
Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Sebagai peraturan pelaksana dari UU
ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan peraturan – peraturan
tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah
pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④
Reklamasi lahan pasca tambang.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di
bawah. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang
sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1.
Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang – tambang dengan
jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton), KPC (36
juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin
(16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah
produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi
batubara nasional.
Tabel 5. Jumlah produksi batubara
v Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor
Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah
kebutuhan domestik serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai
berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang tersisa serta KP akan
meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga jumlah produksi
pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume
kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220
juta ton. Hal ini berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan
dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya
kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk ekspor
diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga
angka 185 juta ton pada tahun 2025.
Tabel 6. Prediksi jumlah produksi, kebutuhan domestik, dan ekspor
v Kondisi Infrastruktur dan Pelabuhan Batubara
Di Indonesia, infrastruktur yang terkait dengan pengusahaan batubara
belumlah memadai. Transportasi batubara umumnya memanfaatkan sungai
besar, seperti Sungai Musi di Sumatera Selatan, Sungai Barito di
Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Sungai Mahakam di Kalimantan
Timur. Kereta batubara sampai saat ini hanya digunakan di tambang PTBA
Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selain itu, terminal batubara dan
pelabuhan batubara dapat dikatakan belum memadai pula. Batubara
kebanyakan diangkut dengan menggunakan tongkang melewati sungai
kemudian dipindahkan ke kapal batubara besar di laut lepas (trans-
shipment) sehingga efisiensi pengangkutan menjadi kurang baik. Untuk itu,
perlu upaya baru untuk mengatasi hal ini, misalnya penggunaan fasilitas
penimbunan dan pengangkutan batubara terapung skala besar (mega float)
atau pusher barge. Tabel 10 menampilkan pelabuhan – pelabuhan batubara
di Indonesia, sedangkan foto 2 menampilkan situasi lokasi trans-
shipment di lepas pantai Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Taboneo).
Kemudian foto 3 menunjukkan suasanatrans-shipment dari tongkang ke
kapal besar. Di Taboneo, banyak kapal batubara besar yang menunggu
dalam jangka waktu lama.
Tabel 7. Pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia
v Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil
Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap
pemasukan negara. Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan
batubara:
Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan
yang penting bagi negara maupun daerah.
Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi
daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin
pengusahaan batubara ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan
tambang terkait berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah,
penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap
penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor.
Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara – negara pengimpor
batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala
dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam
negeri diperkirakan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga
mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% sampai dengan tahun
2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi
panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih belum jelas. Dengan
demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah
kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan sumber energi yang
memasoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-
energi/2097-uu-pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-
minerba-molor-walhi-ancam-somasi-mk.html
http://sanyata.blogspot.com/