makalah kebijakan pemerintah indonesia terhadap industri tambang dan

27
MAKALAH KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP INDUSTRI TAMBANG DAN BATUBARA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara adalah suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi pola kehidupan masyarakat sangat berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam secara besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif yang terasa dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu upaya dan pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2001) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumber daya alam. Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi semua orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut

Upload: wid

Post on 29-Jan-2016

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

MAKALAH KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP INDUSTRI TAMBANG DAN BATUBARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang

Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara

adalah suatu upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila

ditinjau dari segi pola kehidupan masyarakat sangat berhubungan langsung

dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, pemakaian sumber-

sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam

secara besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan

berbagai dampak negatif yang terasa dalam jangka pendek maupun dalam

jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu upaya dan

pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu

pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang

tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhan mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2001)

menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara implisit juga

mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan

tetap menjaga kualitas sumber daya alam.

Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara

merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan

agar industri tetap berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang

berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu lingkungan (environment),

ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi semua orang

(equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri

namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal

industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat

besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak dan

menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut

masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat terkait dalam

pengelolaan lingkungan.

Page 2: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan

industri tambang batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan

meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar.

Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas

kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam dan bahan-

bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur

hidup produk sehingga tidak mengorbankan generasi mendatang dalam

memenuhi kebutuhannya (Purwanto, 2005).

Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang

dihasilkan dari limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Zat organik terlarut

2. Zat Padat tersuspensi

3. Nitrogen dan phosphor

4.  Minuman dan bahan-bahan terapung

5. Logam berat cyanida dan racun organic

6. Warna kekeruhan

7. Organic tracer

8. Bahan yang tidak mudah mengalami dekomposisi biologis (refactory

subtances)

1. Bahan yang mudah menguap (volatile materialis).

Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka

kerja dan proses yang terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan,

pelaksanaan, tindakan perbaikan dan tinjauan pengelolaan. Sistem

Manajemen Lingkungan menyediakan detail-detail spesifik dan instruksi-

instruksi yang berhubungan dengan struktur organisasi, personalia,

prosedur, pelatihan dan penelitian yang kesemuanya memainkan peran

dalam mengontrol dan meminimalkan dampak negatif akibat operasional

pabrik pada lingkungan (Soetrisnanto, 2005).

Dalam pada itu menurut Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML)

telah secara luas diimplementasikan di dunia industri. Meskipun sebagian

motivasinya untuk memperoleh sertifikat dan kemudian menjadi bagian dari

promosi, tetapi SML bisa menjadi pendorong penaatan lingkungan

(environmental compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat

memulainya dengan memahami bagaimana fungsi SML, tantangan yang

Page 3: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

mereka hadapi dan mengembangkan komitmen untuk meningkatkan kinerja

lingkungan serta mencoba untuk mengimplementasikan SML dalam bagian

kecil dari organisasi mereka.

1.2        Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara

2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terhadap PETI

3. Untuk mengetahui bagaimana rencana kebijakan pemerintah terhadap

sector pertambangan sumber daya alam

1.3        Tinjauan Pustaka

Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan pertanyaan:

1. Bagaimanakah Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara?

2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah terhadap PETI?

3. Bagaimanakah rencana kekbijakan pemerintah terhadap sector

pertambangan sumber daya alam?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih

diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan

tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan

Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah

ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:

Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan

oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi

daerah).

Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam

negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan

dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun

fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).

Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan

pembangunan daerah (community development) dan penanganan

lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan.

Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah

produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan

kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market

Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price

Reference / ICPR).

Page 5: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN

dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah

Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat

publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran

menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan

hukum.

Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

(“UU Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:

1. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan

studi kelayakan;

2. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau

seluruh kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di atas.

Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi

dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan

kegiatan usaha pertambangannya. IUPK Operasi Produksi ini akan

diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memiliki

data hasil kajian studi kelayakan.

Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”)

mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau

Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

2.2        Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI

v  Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat

Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan

yang dilakukan negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan

akan dibagi atas periode Kolonial Belanda dengan Periode Republik

Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak langsung

memberikan gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa

tersebut. Dalam perbandingan tersebut, terdapat perbedaan dan kesamaan-

kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran paradigma

Page 6: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan

tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA

yang dipaparkan diatas akan menjadi relevan.

a) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Kolonial Belanda

Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan

transaksi jual beli dengan Sultan Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti

dengan penggalian timah di pulau Bangka (1816), Pulau Belitung (1851),

dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan Batubara di Indonesia pertama

kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada tahun 1849 di

Pangaron, Kalimantan Timur. Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta

Belanda melakukan kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di

tenggara Samarinda. Pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan geologi

di daerah Sungai Durian, Sumatera Barat dan ditemukan suatu lapangan

Batubara Ombilin yang potensial. Pada tahun 1892, tambang batubara

Ombilin di Sawahlunto mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya

pembangunan kereta api pada tahun 1892.

Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan

pokok pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899

Staatsblad 241. Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian

ditambah dan diubah pada tahun 1910, 1918 dan 1906. Pada masa itu

pertambangan-pertambangan besar seperti pertambangan Batubara di

Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh negara. Tetapi

pihak swasta juga diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan

pertambangan seperti pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara .

Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial Belanda

mengikutsertakan masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu

sisi, pemerintah Kolonial Belanda merupakan penjajah yang ingin

mendapatkan keuntungan dari sumberdaya alam. Tapi disisi lain

pemerintah Kolonial Belanda tidak mau mengambil resiko dengan

memasukkan secara paksa para penambang dalam areal masyarakat

adat.Terdapat kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda mewajibkan

pengusaha pertambangan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian

dengan masyarakat adat pemilik wilayah adat tersebut setelah sipengusaha

Page 7: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

mendapat konsesi pertambangan dari pemerintah colonial Belanda. Salah

satu contoh menarik adalah di Sawahlunto-Sumatera Barat. Wilayah yang

diperjanjikan ini kemudian berkembang menjadi wilayah pertambangan PT.

BA-UPO di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal,

Asisten Residen Tanah Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas

notaris keresidenan tersebut dan daerah Vord Vander Capellen kedatangan

tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha warganegara Belanda

bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan

Pamuncak, wakil dari pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan

didampingi.

Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka

buat didaftarkan di notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara

Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang dengan Pieter Jacobus Scuuring

tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah masyarakat adat

ini. Pokok perjanjiannya adalah:

1. Masyarakat adat Kelarasan Silungkang bersedia untuk menyerahkan

pemanfaatan batubara miliknya kepada Pieter Jacobus Scuuring dan

akan menjaga keamanan usaha penggalian batubara tersebut.

2. Pieter Jacobus Scuuring akan memberikan 1/10 (sepersepuluh) dari

keuntungan yang didapat dalam mengusahakan pertambangan batubara

tersebut kepada penduduk Kelarasan Silungkang dan akan memberikan

sejumlah uang kepada orang-orang yang terlibat dalam perjanjian ini,

dengan anggaran tidak lebih dari F. 4000 (empat ribu gulden) per

tahunnya.

Perjanjian Pertambangan Batubara antara Masyarakat Adat Silungkang

Pengusaha Belanda (Djaar Sutan Pamuncak dengan Pieter Jacobus

Scuuring).

1. Pada saat yang bersamaan, dibanyak tempat banyak bertumbuhan

pertambangan rakyat. Tetapi belum banyak pengaturan terhadap

penambang rakyat tersebut. Perijinan pertambangan rakyat diberikan

oleh penguasa setempat dengan cakupan bahan galian seperti timah,

Page 8: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

emas dan intan. Khusus mengenai tambang intan, pemerintah kolonial

Belanda mengeluarkan Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923

Staatblats 1923 No. 565 yang mencabut Ordonantie tanggal 7 Juni 1900

Staatblats 1900 No. 174 . Pengaturan ini memuat ketentuan diantaranya:

Pertambangan intan tanpa konsesi di Martapura dan Pelaihari hanya

boleh dilakukan oleh penduduk setempat.

2. Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin harus

seijin residen dan harus membayar f. 0, 5 per 6 bulan.

3. Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus

memperoleh ijin menyewa dari Residen dan dikenai ongkos sewa

sebanyak f. 0,4 per meter per tahun. Penambang juga diwajibkan

membuat batas wilayahnya dengan biaya sendiri.

4. Bagi yang melakukan penambangan tanpa ijin dikenai hukuman

kurungan 1 tahun dan denda paling tinggi f. 100.

b) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI)

Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan

yang legendaris tentang dasar justifikasi Negara (NKRI) dalam penguasaan

dan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan). Dasar justifikasi

tersebut popular dengan sebutan Hak Menguasai Negara (HMN).

Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah

penting. Hak Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional

yang memberikan negara kekuatan untuk mengatur, mengelola dan

mengusahakan sumberdaya pertambangan. Perdebatan tentang Hak

Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam membahas

hubungan Negara dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam

(PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya pertambangan. Banyak penulis

yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat dalam PSDA, menggugat dan

mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan yuridis HMN.

Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh Negara

(pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure

dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.

Page 9: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan

konsep ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap

konsep Negara hukum klasik yang dipengaruhi oleh paham liberalisme dan

Negara hukum sosialis yang dipengaruhi oleh paham marxisme .

Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak

dipandang hanya semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga

mempunyai fungsi sebagai alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri

Negara kesejahteraan ini adalah;

1. Mengutamakan hak social ekonomi masyarakat,

2. Peran eksekutif lebih besar dari legislative,

3. Hak milik tidak bersifat mutlak,

4. Negara tidak hanya sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) tapi juga

terlibat dalam usaha-usaha social maupun ekonomi,

5. Kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur social ekonomi

dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga Negara,

6. Hukum public condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi

dari peran Negara yang luas dan

7. Negara bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan

social yang materil. Dengan pemahaman inilah, Negara mempunyai hak

untuk ikut campur dalam pertambangan.

Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia

mengadopsi kedua paham ini dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan

yuridis bagi Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 yang berbicara bertama kali

tentang konseptualisasi HMN dalam tingkatan yang lebih teknis dalam

pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945 memberikan penekanan pada

penguasaan Negara terhadap Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No. 5 Tahun

1960 lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu;

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan

Page 10: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa atau dalam kalaimat lain dapat disimpulkan, komponen

yang terkandung dalam HMN tersebut adalah kekuasaan untuk

mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan mengawasi

(toezicthouden).

Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU

No. 37 Prp Tahun 1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang

menentukan bahwa semua bahan galian yang diusahakan oleh rakyat

secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri

menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan

selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi

No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang Peneriban Usaha-Usaha

Dibidang Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan

Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No.

206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar

III Koti Operasi Ekonomi No.Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban

Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang

Bersamaan Penguasaannya.

Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki

Sendiri (berdikari). Secara tersirat diketahui bahwa keinginan pemerintah

untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan

sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat. Persandingan

bahasa penertiban dan pembinaan tidak memberikan kesejukan terhadap

pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan yang pasti terhadap

pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu.

Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada

pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan galian yang

terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan

endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah

kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan

dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.

Page 11: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

UU No. 11 tahun 1967 mendevinisikan pertambangan rakyat sebagai

Pertambangan Rakyat; adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan

galian dari semua golongan seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat

secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana

untuk pencaharian sendiri. Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan

kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian

untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan

bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat

setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan

Rakyat.

UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam

ketentuan ini ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan

setelah mendapat Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat yang

dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan

Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada

Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-

kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.

Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur

pertambangan rakyat ini diantaranya Kepmen Pertambangan No.

181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat

Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan

No. 188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat

Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen

Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang Pengaturan

Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah

Bolaangmongondow Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No.

763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat

Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik Malaya Propinsi

Jabar, Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang

Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan

Vital (Golongan A & B)

Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting

tentang kebijakan pemerintah yaitu :

Page 12: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

1. Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan

perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.

2. Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang

Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat

harus menyingkir.

3. Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap

dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin

pemegang kontrak pertambangan.

4. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan

sejumlah pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak

jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.

Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut,

banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala

dinas Pertambangan Kalimantan selatan menyebutkan Sepanjang tahun

1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang 334

penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan

memakai alat berat . Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto

sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500 orang penambang liar .

Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun

2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di

Kalimantan Selatan sampai tahun 2001 terdapat 6000 orang penambang

emas tanpa ijin.

Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa

Ijin) juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan

dengan skala kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari

daerah sekitar lokasi bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip

pada bahan tambang itu. Akhir-akhir ini berbagai perhatian tertuju pada

para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka dari tahun ke

tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat

Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi

penambangan kecil yang menghasilkan hampir semua mineral untuk

kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta pertahun. Rendahnya

jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih

disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam

memperoleh ijin penambangan .

Page 13: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan pemegang

kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui konflik.

Salah satu kasus yang terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya

Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab. Barito Utara Kalimantan

Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah

menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100%

sahamnya dimiliki oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT.

Indo Muro Kencana ini tumpang tindih dengan wilayah pertambangan

rakyat dan areal kawasan adat lainnya.

Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah

mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi

Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian

pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek

dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras berdatangan salah satunya

dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni 2000 .

Menakar Nasib Tambang Rakyat Dengan RUU Mineral dan Batubara

di sepanjang 2003 sampai dengan 2004 pemberitaan kasus-kasus dan

pengaturan pertambangan di Indonesia menyita perhatian pulik. Kelahiran

Perpu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disyahkan menjadi UU No. 19

Tahun 2004 memberikan warna tersendiri di pentas sejarah pertambangan.

Sementara itu, cakupan UU No. 11 Tahun 1967 mulai berkurang dengan

lahirnya UU Migas dan dilanjutkan dengan pembuatan RUU Mineral dan

Batubara yang saat ini dibahas di DPR

Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun

Anggaran 2005 Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;

“……….Dengan demikian, perkembangan penerimaan SDA pertambangan

umum tersebut, pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu

tarif per jenis pertambangan, harga jual, luas atau volume, dan nilai tukar

rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, faktor nonekonomi yang

diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan penerimaan SDA

pertambangan umum antara lain meliputi masalah keamanan di daerah

daerah penambangan, yang rawan terjadi penambangan tanpa ijin (Peti).

Page 14: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata

pemerintah sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat

atau menurunnya pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dengan

kenyataan ini, dalam rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi

salah satu prioritas yang harus ditangani segera. Penetapan prioritas ini

didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;

Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan

adalah kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi

ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya

harus hati-hati.

Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI

dengan kegiatan-kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan

rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan khususnya penggunaan

bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat

termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai

bahan pembantu pada industri kecil.

Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan

pada tahun 1996 tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar

dilakukan oleh masyarakat menjadi sebuah masalah yang cukup besar yang

menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI

sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan

dampak yang serius terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena

sebagian besar pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin

resmi dari pemerintah.

Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak

ketika membaca naskah akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah

akademik ini mengkategorikan PETI yaitu PETI versi baru dan PETI versi

lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan adanya penyandang

dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta

operasi dengan modus operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa

menjadi “korban” pembangunan, ini, yang didalamnya terlibat masyarakat

pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi kekuatan

Page 15: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini menimbulkan

masyalah yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara

dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan

hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu, kecelakaan

tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan,

premanisme dan prostitusi .

Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan

baru). Tidak ada pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama

(tradisonal) yang sebagian besar adalah penambang-penambang tradisi

seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini. Persoalan-

persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang

rakyat / PETI versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah

penambangannya ditimpa oleh kontrak-kontrak penambangan besar, seperti

dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti ini, maka perlakukan

terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.

Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana

tentang HMN dan pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat

kearah yang lebih menguntungkan pihak pertambangan. UU No. 5 Tahun

1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik ini menjadi

sebuah hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya

pengaturan Hak Mengusai Negara yang tidak berarti dimiliki (penjelasan

umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan kedudukan

sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .

Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang

dalam naskah akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk

semakin memperkuat kekuasaan negara atas sumberdaya pertambangan.

Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan memiliki

posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat.

Akan tetapi logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU

minerba menjadi inkonsisten dengan tawaran yang dimunculkan pada pasal

pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara. Pembahasan ini akan

relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan

Page 16: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private.

Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .

Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh

tambang rakyat, meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya

kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi

pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap

pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan

membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan rakyat,

maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia

dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas

lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia

mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan

Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha

Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen

Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan

Pembangunan Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan

beberapa metode dalam pengolahan emas dalam pengurangan emisi

mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5

ton per tahun .

v  Catatan-Catatan Penting dan Tawaran Solusi Alternatif

Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat,

terdapat beberapa catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita

yang akan menerangi jalan bagi pencarian-pencarian upaya terbaik untuk

mendudukkan sumberdaya pertambangan khususnya mineral dan batubara.

1. Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan.

Para penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan

dengan kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm

sejarah yang lebih tua dari negara.

2. Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan

sumberdaya tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu

memakai idiom pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-

kemasa merupakan bentuk lain dari perebutan sumberdaya itu sendiri.

Page 17: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

3. Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-

pemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan.

4. Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah

ada sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat

selalu dimulai dengan pendekatan pajak.

5. Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi

kontrak setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang

akan mengusahakan sumberdaya tambangnya yang merupakan satu

bagian kecil dari sebuah pengakuan terhadap pemilikan masyarakat

dengan tidak adanya pengalaman serupa dialam kemerdekaan dimana

kontrak-kontrak seperti itu tidak pernah lagi melibatkan masyarakat.

6. Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh

RUU Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah

maju.

7. Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam

tumbuh tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan.

Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang

muncul, dapat ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi

atas dua yaitu solusi transisional dan solusi utama. Solusi transisional

adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya

solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.

v  Solusi Transisional

1. Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan

sumberdaya alam terutama pertambangan yang merupakan kekayaan

bangsa. Evaluasi ini menyangkut kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat

dan praktek yang terjadi dilapangan. Dengan itu tentunya pembahasan

RUU Minerba di DPR harus dihentikan terlebih dahulu.

2. Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan

yang berlangsung sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik

yang berakar dari klaim hak kepemilikan ataupun konflik yang timbul

dari dampak-dampak pertambangan.

3. Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan

PETI yang disusun secara partisipatif termasuk masalah pengendalian

Page 18: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

lingkungan hidup, dimana solusi dan pendekatan terhadap penambang

tradisional (versi lama) harus berbeda dengan PETI versi baru .

4. Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak

pertambangan baru dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan

yang sudah ada dengan memperketat dan mempertinggi standar

lingkungan hidup.

v  Solusi Utama

Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka

waktu tertentu, pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi

masalah utama yang akan menyentuh masalah sesungguhnya dalam

pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi tersebut diantaranya :

1. Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan)

yang semata berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana

pengelolaan sumberda alam yang komprehensif.

2. Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas

sumberdaya alam yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan,

khususnya yang mengatur tentang hak ulayat segera diturunkan pada

ketentuan yang lebih operasional.

3. Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi

prinsip-prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

4. Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free,

Prior, Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan

untuk mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat

unsur mendasar yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku

secara kumulatif. Secara definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan

sebagai berikut;

A. Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya

kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas

masyakarat,

B. Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan

pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat,

C. Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai

proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan

D. Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .

Page 19: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

2.3        Rencana Kebijakan Pemerintah Terhadap Sektor

Pertambangan SDA

v  Kondisi Energi di Indonesia

Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer

Indonesia tahun 2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025,

sedangkan tabel 2 menunjukkan komposisi pembangkitan listrik dari tahun

2005 sampai 2007. Pada komposisi energi primer terlihat peningkatan rasio

untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya

sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada

tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5

tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan

batubara sebesar 33% pada bauran energi nasional di tahun 2025.

Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk

mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung

konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio

pemakaian batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana

realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun rasio gas

alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan

peningkatan ekspor gas.

 

Tabel 1. Statistik energi primer

Tabel 2. Komposisi bahan bakar pada pembangkitan listrik

v  Cadangan dan Kualitas Batubara

Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus

dilakukan, sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan

ditemukannya lapisan – lapisan baru batubara. Tabel 3 menampilkan

sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4 menunjukkan sumber

daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya

batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa

ditambang hanya sekitar 1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah

Page 20: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

ini dipastikan akan bertambah seiring dengan eksplorasi yang terus

berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh cadangan batubara

Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan (49,56%),

sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua.

Batubaranya pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan

karakteristik kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari cadangan yang ada,

diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar

kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit (dalam

tabel 4 merujuk ke sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah).

Antrasit juga diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Di

Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat batubara kokas sehingga

pembangunan tambang di sana berlangsung dengan pesat dalam beberapa

tahun belakangan ini.

Tabel 3. Sumber daya & cadangan batubara

Tabel 4. Sumber daya batubara berdasarkan kualitas

v  Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara

Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi

menjadi 4 kelompok, yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Coal Contract of

Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi, ③ KP (Kuasa Penambangan),

dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil kebijakan

pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui

upaya mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang

PKP2B memberikan kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah

produksi batubara Indonesia yang meningkat secara drastis sekarang ini.

PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim, Sumatera

Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun

tambang – tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam

negeri, sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.

Page 21: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B

yang masih terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku

lagi.

UU Minerba yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP),

yang didalamnya terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral &

batubara, yaitu Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah

Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha Pertambangan Khusus

(WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha

Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD,

perusahaan swasta, KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha

pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan transparansi perijinan, maka

sistem tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini. Ijin

pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin

Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin

Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP

Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Sebagai peraturan pelaksana dari UU

ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan peraturan – peraturan

tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah

pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha

pertambangan mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④

Reklamasi lahan pasca tambang.

Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di

bawah. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang

sebagian besar dihasilkan oleh 10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1.

Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang – tambang dengan

jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton), KPC (36

juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin

(16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah

produksi dari keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi

batubara nasional.

Tabel 5. Jumlah produksi batubara

v  Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor

Page 22: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah

kebutuhan domestik serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai

berproduksinya tambang – tambang PKP2B yang tersisa serta KP akan

meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga jumlah produksi

pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume

kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan

ekonomi dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220

juta ton. Hal ini berarti peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan

dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya

kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk ekspor

diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga

angka 185 juta ton pada tahun 2025.

Tabel 6. Prediksi jumlah produksi, kebutuhan domestik, dan ekspor

v  Kondisi Infrastruktur dan Pelabuhan Batubara

Di Indonesia, infrastruktur yang terkait dengan pengusahaan batubara

belumlah memadai. Transportasi batubara umumnya memanfaatkan sungai

besar, seperti Sungai Musi di Sumatera Selatan, Sungai Barito di

Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Sungai Mahakam di Kalimantan

Timur. Kereta batubara sampai saat ini hanya digunakan di tambang PTBA

Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selain itu, terminal batubara dan

pelabuhan batubara dapat dikatakan belum memadai pula. Batubara

kebanyakan diangkut dengan menggunakan tongkang melewati sungai

kemudian dipindahkan ke kapal batubara besar di laut lepas (trans-

shipment) sehingga efisiensi pengangkutan menjadi kurang baik. Untuk itu,

perlu upaya baru untuk mengatasi hal ini, misalnya penggunaan fasilitas

penimbunan dan pengangkutan batubara terapung skala besar (mega float)

atau pusher barge. Tabel 10 menampilkan pelabuhan – pelabuhan batubara

di Indonesia,  sedangkan foto 2 menampilkan situasi lokasi trans-

shipment di lepas pantai Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Taboneo).

Kemudian foto 3 menunjukkan suasanatrans-shipment dari tongkang ke

kapal besar. Di Taboneo, banyak kapal batubara besar yang menunggu

dalam jangka waktu lama.

 

Page 23: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

 

Tabel 7. Pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia

 

v  Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil

Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap

pemasukan negara. Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan

batubara:

Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan

yang penting bagi negara maupun daerah.

Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.

Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi

daerah.

Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin

pengusahaan batubara ini ke depannya, misalnya penguatan pengawasan

tambang terkait berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah,

penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap

penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 24: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1        Kesimpulan

UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti

memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor.

Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara – negara pengimpor

batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah

Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala

dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam

negeri diperkirakan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat

pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga

mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% sampai dengan tahun

2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi

panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih belum jelas. Dengan

demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah

kebutuhan energi dalam negeri  Indonesia dan sumber energi yang

memasoknya.

 

 

 

 

Page 25: Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang Dan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-

energi/2097-uu-pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-

minerba-molor-walhi-ancam-somasi-mk.html

http://sanyata.blogspot.com/