makalah kelompok 3 kelas kim 3b p1

Upload: diana-agustini-raharja

Post on 02-Jun-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    1/16

    METODE ANALISIS BIOTIN, ASAM PANTOTENAT, ASAM

    FOLAT, DAN VITAMIN B12SERTA KETERSEDIAAN

    HAYATI FOLAT

    Diana Agustini Raharja J3L112168

    Dwi Rakhmawati J3L112143

    Feni Ayudia J3L212192Ismail Maqqi J3L112044

    Regina Bhakti J3L112161

    PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA

    PROGRAM DIPLOMA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    2/16

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    3/16

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI i

    1 STRUKTUR DAN SIFAT UMUM 12 ANALISIS KUANTITATIF SENYAWA MIRIP VITAMIN DAN

    KETERSEDIAAN HAYATI FOLAT 3

    2.1 Analisis Kuantitatif Berdasarkan Metode Biospesifik 3

    2.1.1 Analisis Biotin 3

    2.1.2 Asam Pantotenat 5

    2.1.3 Analisis Asam Folat 6

    2.1.3.1 Perbandingan Metode Analisis Asam Folat 6

    2.1.3.2 Ketersediaan Hayati Folat 7

    2.1.4 Vitamin B12 9

    2.2 Analisis Kuantitatif Berdasarkan Metode Biosensor 10

    3 SIMPULAN 124 DAFTAR PUSTAKA 12

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Struktur asam folat 1

    Gambar 2 Struktur asam pantotenat 2

    Gambar 3 Struktur vitamin B12 2Gambar 4 Struktur biotin 3

    Gambar 5 Mekanisme metode ELISA 4

    Gambar 6 Mekanisme metode EPBA 4

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Perbedaan format ELISA dalam penentuan analog asam pantotenat 5

    Tabel 2 Hasil kandungan asam pantotenat dalam makanan 6Tabel 3 Perbandingan metode ELISA dan uji mikrobiologis 6

    Tabel 4 Hasil analisis folat dalam kubis brussel 7

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    4/16

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    5/16

    1

    1 STRUKTUR DAN SIFAT UMUM

    Bentuk alami utama folat (Gambar 1) dalam bahan-bahan dari sumber

    tanaman, hewan, dan mikrob ialah spesies poliglutamil dari 5,6,7,8-tetrahidrofolat(folatH4). Sebagian besar folat yang terdapat secara alami dalam jaringan tanaman

    dan hewan, serta dalam bahan pangan yang berasal dari sumber tanaman dan

    hewan, memiliki sebuah rantai samping dari 5 sampai 7 residu glutamat dengan

    tautan -peptida umumnya diasumsikan bahwa kira-kira 80% folat bahan pangan

    berada dalam bentuk poliglutamin. Semua folat, terlepas dari tingkat organisasi

    sistem cincin pteridina, substituen satu-karbon N5 atau N10, atau panjang rantai

    poliglutaminnya, menambahkan aktivitas vitamin pada mamalia, termasuk

    manusia. Analog folat dengan sebuat gugus 4-amino atau modifikasi lainnya

    sering menjadi antagonis yang potensial untuk digunakan dalam kemoterapi,

    untuk penyakit kanker dan penyakit autoimun.

    N

    N

    N

    N

    N

    OH

    OH O

    O

    N

    O

    OH

    H

    H

    H

    Gambar 1 Struktur asam folat

    Asam pantotenat (Gambar 2) termasuk ke dalam vitamin larut air yang

    terdiri atas -alanina dalam tautan amida dengan asam 2,4-dihidroksi-3,3-

    dimetilbutirat. Asam pantotenat umumnya terkandung dalam daging, bebijian,

    telur, susu, dan berbagai sayuran segar. Asam pantotenat umumnya terdapat

    dalam bahan pangan dan bahan hayati dalam bentuk koenzim A yang sebagian

    besar berupa turunan tioester. Tioester yang terbentuk dari turunan koenzim A

    dengan asam-asam organik akan mempermudah proses metabolik terutama dalam

    proses penyingkiran dan penambahan gugus asil dalam reaksi biosintetik dan

    katabolik. Asam pantotenat sebagai suatu komponen dari koenzim A dan sebagaisuatu gugus prostetik yang terikat secara kovalen dari protein pembawa asil dalam

    sintetis asam lemak secara metabolik. Kalsium pantotenat merupakan kristal putih

    yang lebih stabil dan kurang higroskopis daripada asam bebasnya dan merupakan

    bentuk sintetik yang digunakan dalam fortifikasi bahan pangan dan suplemen

    vitamin.

    Asam pantotenat stabil dalam pH 5-7 dan menunjukkan stabilitas relatif

    dalam bahan pangan yang penyimpanannya rendah air. Asam pantotenat dalam

    bahan pangan berkurang kadarnya diakibatkan oleh proses termal dan pemasakan.

    Hilangnya asam pantotenat umumnya disebabkan oleh pelepasan, bukan

    destruksi. Asam pantotenat dapat diuji dengan berbagai metode seperti uji

    mikrobiologis menggunakanLactobacillus plantarumatau radioimunologi (RIA).

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    6/16

    2

    Penentuan asam pantotenat sebagai vitamin larut air dapat pula dilakukan dengan

    menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), metode reaksi enzim

    dalam kapiler, analisis elektrokimia, dan enzyme-linked immunosorbent assay

    (ELISA).

    CH3

    H

    O

    N

    OH

    O

    OHOH

    CH3H

    H

    Gambar 2 Struktur asam pantotenat

    Vitamin B12 (Gambar 3) memiliki aktivitas vitamin serupa dengan

    sianokobalamin. Sianokobalamin digunakan dalam fortifikasi bahan pangan dan

    asupan nutrisi yang memiliki stabilitas tinggi dan mudah diperoleh secara

    komersial. Mekanisme penguraian vitamin B12 belum seluruhnya ditentukan,sebagian dikarenakan komplesitas molekul dan konsentrasi yang sangat rendah

    dalam bahan pangan. Penguraian fotokimia koenzim vitamin B12 menghasilkan

    akuokobalamin. Reaksi ini berpengaruh terhadap metabolisme dan fungsi vitamin

    B12, tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas vitamin B12 total dari bahan pangan

    karena akuokobalamin mempertahankan aktivitas vitamin B12. Stabilitas

    keseluruhan vitamin B12paling tinggi pada pH 4-7.

    N

    Co+

    N

    N

    N

    NN

    O

    P

    N

    OO-

    O O

    NH

    O

    O

    O

    O

    OH

    O

    O

    O

    CH3

    CH3

    CH3

    CH3

    NH2

    NH2

    NH2

    CH3

    NH2

    NH2

    NH2

    CH3

    CH3

    CH3

    OH

    CH3

    CH3

    CH3

    HH

    H

    H

    Gambar 3 Struktur vitamin B12

    Biotin (Gambar 4) merupakan vitamin bisiklik larut air yang berfungsi

    secara koenzimatis pada reaksi karboksilasi dan transkarboksilasi. Bentuk alami

    biotin ialah D-biotin bebas dan biositin. Biositin berfungsi sebagai bentuk

    koenzim dan terdiri atas residu lisina terbiotinilasi yang tergabung secara kovalen

    pada rantai protein dari berbagai karboksilase. Biotin bebas maupun biositin

    terikat protein menunjukkan aktivitas vitamin ketika dikonsumsi dalam makanan.

    Biotin stabil pada panas, cahaya dan oksigen. Nilai pH yang terlalu tinggi atau

    rendah dapat menyebabkan penguraian karena biotin mendorong hidrolisis ikatan

    amida dari sistem cincin biotin.

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    7/16

    3

    NH NH

    S

    O

    (CH2)4-COOH

    H

    Gambar 4 Struktur biotin

    Biotin dalam makanan nampaknya telah terpenuhi jumlahnya, sehingga

    ketersedian hayati yang tidak sempurna biasanya tidak terlalu berpengaruh pada

    nilai gizi. Sintesis biotin oleh bakteri pada usus halus memberikan sumber biotin

    tambahan yang tersedia untuk manusia. Kebanyakan biotin dalam bahan pangan

    berbentuk biositin terikat protein. Bentuk terikat ini akan dilepaskan olehbiotinidase dalam cairan pankreas dan dalam mukosa usus menjadi bentuk bebas

    yang aktif secara fungsional.

    2 ANALISIS KUANTITATIF SENYAWA MIRIP VITAMIN

    DAN KETERSEDIAAN HAYATI FOLAT

    2.1 Analisis Kuantitatif Berdasarkan Metode Biospesifik

    2.1.1 Analisis Biotin

    Penentuan biotin dalam makanan dan bahan hayati biasanya dilakukan

    dengan uji mikrobiologis dengan Lactobacillus plantarum atau dengan metode

    pengikatan ligan yang melibatkan avidin sebagai protein pengikat. Uji

    mikrobiologis dan pengikatan ligan merespon biotin bebas dan biositin, tetapi

    biositin tidak dapat ditentukan tanpa dilepaskan terlebih dahulu dari protein

    dengan pembelahan ikatan peptida oleh hidrolisis asam atau enzimatik. Terdapat

    uji enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme protein binding

    assay (EPBA) yang telah dikembangkan untuk analisis biotin dalam makanan.

    Metode ELISA menggunakan reagen yang stabil dan tak reaktif yang dapat

    disimpan lama. Jenis uji seperti ini telah banyak digunakan untuk analisis

    makanan. Uji ini dilakukan dengan peralatan yang murah. Jenis sistem ELISA

    yang sering digunakan untuk vitamin ialah sistem tidak langsung, yang mana

    konjugat protein-vitamin (hapten) yang bergerak ke permukaan. Dalam sistem

    tidak langsung pertama-tama antibodi primer dan vitamin bebas ditambahkan ke

    dalam sumur-sumur pada pelat mikrotitrasi. Antibodi akan terdistribusi diantara

    vitamin dan vitamin termobilisasi. Kemudian sumur dibilas, antibodi ikatan

    primer dideteksi dengan penambahan enzim antibodi kedua. Setelah diinkubasi

    pada waktu tertentu molekul yang tidak berikatan dibilas dan substrat

    ditambahkan. Enzim antibodi kedua akan mengubah substrat menjadi produk

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    8/16

    4

    yang kemudian diwarnai. Densitas optik akan ditentukan setelah beberapa waktu

    dan sampel akan dikuantifikasi dengan merujuk pada kurva standar.

    Penggunaan antibodi pada EPBA digantikan oleh enzim-protein, protein

    pengikat ditandai langsung dengan manautkan secara kimia suatu enzim. Dengan

    demikian metode EPBA dalam tahap inkubasi lebih sedikit dibandingkan denganmetode ELISA.

    Gambar 5 Mekanisme metode ELISA

    Gambar 6 Mekanisme metode EPBA

    Hasil uji mikrobiologis pada pengujian biotin menggunakan Lactobacillus

    plantarummenunjukkan respons yang baik, biotin D-sulfoksida (100%) dan D,L-

    oksibiotin (50%). Meskipun metode RIA memberikan hasil yang dapat diterima

    dengan uji mikrobiologis untuk penentuan kandungan biotin dalam sampel

    makanan hewan, hasil yang diperoleh dari metode radioimunologi (RIA) 20-50%

    lebih tinggi dibandingkan dengan uji mikrobiologis pada sampel gandum. Uji ini

    sensitif untuk menganalisis 1-10 ng biotin, tetapi penerapannya untuk penentuan

    biotin dalam makanan masih terbatas dan tidak pasti. Antibodi telah diproduksi

    pada uji EPBA untuk biotin menggunakan sintetsis konjugat biotin-albumin

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    9/16

    5

    serum anak sapi (BSA) melalui gugus asam karboksilat pada sisi rantai..Antibodi

    ini sangat spesifik untuk D-biotin, dan tidak menunjukkan reaktivitas-silang. Uji

    EPBA lebih sensitif dibandingkan dengan uji ELISA. Uji EPBA menghasilkan

    batas deteksi 10 g per sumur sedangkan uji ELISA hanya menghasilkan batas

    deteksi 500 g per sumur. Uji EPBA memiliki spesifisitas yang luas danmengenali analog biotin lainnya dibandingkan dengan uji mikrobiologis

    menggunakanL. plantarum. EPBA telah digunakan untuk menentukan kandungan

    biotin dalam hati anak domba dan hasilnya baik.

    2.1.2 Asam Pantotenat

    Asam pantotenat dalam bahan pangan umumnya terdapat dalam bentuk

    bebas dan sebagian besar berikatan sebagai koenzim A dan berbagai turunan

    protein. Penentuan asam pantotenat dalam penelitian sebelumnya telah banyak

    menggunakan metode mikrobiologis. Pengembangan metode dalam penentuanasam pantotenat yang lebih tepat dan spesifik dilakukan untuk menentukan kadar

    asam pantotenat dalam makanan. Metode yang digunakan dalam penentuan kadar

    asam pantotenat dalam bahan pangan antara lain ELISA, mikrobiologis, KCKT,

    dan teknologi biosensor.

    Metode ELISA-taklangsung dikembangkan untuk analisis bahan pangan.

    Asam pantotenat dan imunogen albumin serum anak sapi (BSA) dikonjugasikan

    melalui dua cara. Cara pertama, alkohol 1 diderivatisasi dengan menggunakan

    bromoasetil bromida. Turunan bromoasetil dari asam pantotenat kemudian

    direaksikan dengan protein tereduksi dan terdenaturasi. Cara kedua, asam

    pantotenat ditautkan dengan BSA melalui gugus asam karboksilat dengan

    manggunakan prosedur anhidrida campuran. Antiserum yang digunakan ialah

    bromoasetil bromida (BA) dan anhidrida campuran (MA). Tabel 1 menunjukkan

    perbedaan hasil dari kedua antiserum, serum bromoasetil spesifik untuk penentuan

    asam pantotenat dengan reaktivitas silang rendah untuk komponen yang diuji.Berbeda dengan BA, antibodi meningkat dengan pemasangan pada molekul ujung

    melalui asam karboksilat. Hasil menunjukkan penentuan yang baik untuk

    panteteina dan pantotenol. Kedua antiserum gagal untuk mengindentifikasi

    koenzim A, diperkirakan karena mengandung turunan asam pantotenat pada setiap

    ujung molekul.

    Tabel 1 Perbedaan format ELISA dalam penentuan analog asam pantotenatKomponen

    Jenis

    antiserum

    Pengenceran

    (v:v)

    Fase padat (PA-KLH)

    (g mL-1)

    Limit deteksi

    (g per sumur)

    Asam

    pantotenatBA 1:4000 0.1 500

    Asam

    pantotenatMA 1:10000 1.0 5000

    Panteteina MA 1:10000 1.0 5

    Pantenol MA 1:10000 1.0 50

    Tabel 2 menunjukkan hasil penentuan asam pantotenat dengan metode

    ELISA lebih baik dibandingkan dengan uji mikrobiologis. Uji ELISA

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    10/16

    6

    menghasilkan nilai yang mendekati hasil literatur dibandingkan dengan metode

    mikrobiologis. Penentuan asam pantotenat dengan metode ELISA menggunakan

    antobodi aktif yang spesifik untuk vitamin yang berikatan kovalen dengan enzim

    fosfatase basa. Penetuan asam pantotenat dengan uji mikrobiologis menggunakan

    L. plantarum. Hasil yang ditunjukkan dengan menggunakan metodemikrobiologis memiliki perbedaan yang signifikan dengan hasil yang ditunjukkan

    oleh literatur sehingga hasil yang diperoleh kurang baik dibandingkan dengan

    metode ELISA.

    Tabel 2 Hasil kandungan asam pantotenat dalam makanan

    MakananELISA

    (mg per 100 g)

    Uji mikrobiologis

    (mg per 100 g)

    Kandungan

    pantotenat

    literatur

    (mg per 100 g)

    Susu 0.36 0.28 0.35

    Kentang 0.23 0.23 0.30Roti 0.23 0.23 0.30

    Telur 1.74 1.46 1.80

    Hati 8.25 8.65 8.20

    Selada 0.18 0.07 0.20

    Tabel 3 menunjukkan perbandingan antara metode ELISA dan metode

    mikrobiologis dari berbagai segi. Metode ELISA lebih menguntungkan

    dibandingkan uji mikrobiologis dengan hasil yang lebih teliti serta sensitivitas

    dan akurasi yang baik.

    Tabel 3 Perbandingan metode ELISA dan uji mikrobiologis

    Metode ELISA Uji mikrobiologis

    PeralatanInkubator, piring

    mikrotitrasi

    Autoklaf,

    spektrofotometer,

    inkubator

    ReagenAntiserum (primer dan

    sekunder)

    Organisme, kultur, kaldu

    mikroinokulum, media

    Biaya Reagen lebih murahReagen lebih murah tetapi

    biaya tenaga kerja mahal

    Persiapan uji (jam) 2 7

    Lamanya uji (jam) 4 24-36

    2.1.3 Analisis Asam Folat

    2.1.3.1 Perbandingan Metode Analisis Asam Folat

    Analisis folat dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode

    KCKT, RIA, EPBA, dan uji mikrobiologis. Metode KCKT menggunakan deteksi

    ultraviolet (UV)dan fluorometri untuk melakukan analisis folat yang terkandung

    dalam makanan. Metode KCKT memiliki kekurangan, yaitu akan sulit untuk

    mendeteksi kadar vitamin dalam konsentrasi rendah yang terdapat dalam

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    11/16

    7

    makanan, sehingga dapat pula dilakukan analisis dengan metode EPBA dengan

    memanfaatkan protein pengikat folat berlabel enzim dari susu sapi. Asam folat

    mewakili kelompok penting vitamin kelompok B. Prosedur yang paling banyak

    digunakan dan diterima untuk mendeteksi folat dalam makanan ialah uji

    mikrobiologis menggunakan Lactobaacillus rhamnosusdan Enterococcus hirae.Tingkat folat rendah yang ditemukan dalam sebagian besar makanan dapat

    menyebabkan masalah dalam deteksi dan kuantifikasi vitamin menggunakan

    metode KCKT UV dan deteksi fluorometrik. Uji mikrobiologis dalam analisis

    folat menunjukkan hasil yang cukup memuaskan dibandingkan dengan metode

    KCKT. Beberapa literatur dalam analisis folat menggunakan metode RIA yang

    dibandingkan dengan uji mikrobiologis, didapatkan bahwa antara metode RIA dan

    uji mikrobiologis sering bertentangan. Faktor yang mempengaruhi afinitas folat

    pengikat protein ialah suhu, waktu inkubasi dan pH. Asam pteroilglutamat lebih

    stabil dibandingkan dengan 5-metil tetrahidrofuran (THF), pada pH yang lebih

    tinggi dari 9.3, PGA akan lebih stabil dibandingkan 5-metil tetrahidrofuran

    (THF), sebagai alternatif EPBA dikembangkan untuk folat yang mengikat proteindari susu sapi.

    Tabel 4 Hasil analisis folat dalam kubis brussel

    Metode Enzim dekonjugasi

    Rerata kandungan

    Folat (g per 100

    gram)

    Uji mikrobiologisPlasma manusia

    Plasma ayam

    824

    984

    EPBAPlasma manusia

    Plasma ayam

    739

    320

    RPBAPlasma manusia

    Plasma ayam

    93

    290

    KCKTPlasma manusia

    Plasma ayam

    762

    729

    Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa metode yang paling

    baik untuk analisis folat adalah metode uji mikrobiologis, karena dari keempat

    metode tersebut kandungan folat yang paling besar ditunjukkan pada uji

    mikrobiologis, yaitu sebesar 824 g per 100 gram pada plasma manusia dan 984

    g per 100 gram pada plasma ayam.

    2.1.3.2 Ketersediaan Hayati Folat

    Nilai nutrisi vitamin dalam bahan pangan bergantung pada konsentrasi total

    bentuk vitamin yang secara hayati aktif dan ketersediaannya untuk diserap dan

    digunakan dalam jalur metabolisme. Metode penentuan ketersediaan vitamin folat

    pada awalnya menggunakan hewan percobaan anak ayam, namun percobaan

    dengan menggunakan hewan mamalia seperti tikus lebih cocok digunakan untuk

    menentukan ketersediaan folat dalam makanan manusia. Akan tetapi, kedua

    metode tersebut memiliki kekurangan, yaitu memerlukan banyak hewan uji dan

    menggunakan teknik uji mikrobiologis yang lama. Ketersediaan hayati folat

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    12/16

    8

    dalam penelitian diukur dengan hewan uji tikus Wistar jantan yang pertama-tama

    dimiskinkan terlebih dahulu folatnya dengan pemberian pakan semisintetik bebas-

    folat (FFS) dan air secara ad libitum, yaitu pemberian air kepada tikus sampai

    pada saat tikus dalam kondisi tidak mau lagi minum meski minuman di sekitarnya

    masih ada. Sukrosa dan kasein merupakan 2 komponen utama dalam FFS.Tikus kemudian diberikan makan lagi dengan menggunakan suplemen folat

    yang mengandung asam pteroilglutamat atau kubis yang dikering-bekukan yang

    digabungkan ke dalam pakan semisintetik untuk mengukur peningkatan pada folat

    jaringan. Semua pakan disimpan dalam kantong politena hitam pada suhu -40 C

    tersebih dahulu sebelum digunakan, karena folat dalam pakan stabil pada suhu

    tersebut, akan tetapi kandungan folat akan berkurang ketika berada di kandang

    hewan percobaan. Oleh karena itu, pakan suplemen asam pteroilglutamat

    dianalisis pada awal dan akhir waktu pemberian makanan selama 7 hari.

    Uji mikrobiologis ketersediaan folat dalam makanan dilakukan dengan cara

    sampel pakan dihomogenkan dengan bufer asam askorbat, dididihkan,

    didinginkan, disentrifugasi, kemudian supernatan disimpan pada suhu -20 Csebelum digunakan untuk pengujian. Ekstrak ditambahkan dengan enzim

    dekonjugase ginjal babi untuk memotong poliglutamat folat. Kandungan total

    folat pada ekstrak pakan ditentukan berdasarkan respons pertumbuhan

    Lactobacillus casei. Medium pertumbuhan kasein asam folat ditambahkan dengan

    asam askorbat, kemudian diinkubasi. Kurva kalibrasi dibuat dari asam

    pteroilglutamat dengan berbagai konsentrasi. PertumbuhanL. caseidiukur dengan

    menggunakan nefelometer EEL.

    Tikus yang telah memasuki waktu akhir pemberian makanan kembali

    dengan suplemen folat dibius dengan injeksi pada rongga perut menggunakan

    natrium barbiturat dan dibunuh dengan irisan pada bagian perut tengah, kemudiansampel darah diambil dari vena kava. Hati tikus dibilas dengan larutan salin

    fisiologis beku-dingin, kemudian dipotong menjadi potongan kecil. Usus halus

    diambil, dibilas dengan salin, celah usus dibuka dan mukosa digoreskan dari

    bagian jejunum dengan menggunakan kaca preparat. Sampel hati dan mukosa

    usus disimpan dalam cairan nitrogen. Sampel serum yang diperoleh dari

    sentrifugasi disimpan pula dalam cairan nitrogen sebelum dianalisis. Ketersediaan

    folat pada sumber makanan diukur dengan cara menghitung folat yang

    dikonsumsi oleh tikus dan membandingkan kenaikan folat serumnya pada pakan

    yang mengandung kubis mentah dengan pakan yang mengandung asam

    pteroilglutamat.

    Ekstraksi sampel jaringan dilakukan dengan cara bagian hati atau mukosajejunum dihomogenkan dengan larutan asam askorbat, dididihkan, didinginkan,

    disentrifugasi, supernatan ditampung, kemudian pelet diekstraksi ulang.

    Supernatan digabungkan, kemudian diencerkan seperlunya untuk dianalisis

    dengan menggunakan radioimmunoassay(RIA).Pengujian folat serum dan folat

    jaringan dilakukan dengan menggunakan kit RIA berdasarkan pengikatan protein

    secara kompetitif. Sampel serum diencerkan dengan menggunakan larutan asam

    askorbat, dipanaskan dalam kondisi gelap yang bertujuan menghancurkan

    endogen folat-pengikat protein. Setelah didinginkan, folat-pengikat protein

    berlabel-[125I] ditambahkan baik ke dalam sampel serum maupun standar asam

    folat, kemudian larutan diinkubasi dalam larutan bufer pH 9.3 pada kondisi gelap

    dan pada suhu ruangan. Folat terikat dan folat bebas dipisahkan dengan

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    13/16

    9

    menggunakan dekstran-berlapis arang dan diikuti dengan sentrifugasi. Supernatan

    didekantasi dan dicacah dengan alat cacah kelipan gama Philips PW4750.

    Hasil yang diperoleh ketika hewan diberi makan kembali dengan suplemen

    folat, yaitu terjadinya peningkatan konsentrasi folat jaringan yang mencerminkan

    jumlah folat dalam pakan. Peningkatan folat serum mencerminkan konsentrasiasam pteroilglutamat yang lebih tinggi dengan jumlah yang sama dengan pakan

    yang dikonsumsi. Tikus yang sebelumnya dimiskinkan folatnya, kemudian diberi

    makan kembali dengan suplemen kubis. Suplementasi kubis lebih rendah diterima

    dengan baik oleh hewan uji dan tidak banyak berpengaruh pada asupan pakan atau

    pertambahan bobot, sebaliknya pada pemberian kubis yang lebih tinggi, hewan uji

    berkurang nafsu makannya. Akan tetapi, kedua kelompok perlakuan pakan kubis

    tersebut sama-sama menghasilkan kadar folat serum yang lebih tinggi daripada

    kontrol, kira-kira sebanding dengan kubis yang diberikan.

    Respons cadangan folat tersebut pada pemberian pakan kembali dengan

    jumlah folat tertentu digunakan sebagai cara mengukur pengambilan dan

    pemanfaatan vitamin tersebut oleh hewan uji. Kisaran respons terlebar didapatpada folat serum, yang juga lebih mudah diukur dengan menggunakan RIA.

    Pengujian jaringan padat terbukti lebih rumit antara lain karena lebih kompleks,

    rentan memberikan hasil yang tidak akurat, proses pembedahan memerlukan

    waktu yang banyak, serta hati dan mukosa usus memiliki kemungkinan besar

    terkontaminasi dengan darah. Hal terakhir ini dapat berperan pada tidak

    konsistennya respons folat hati pada asupan makanan.

    Salah satu kesulitan utama dalam uji ketersediaan hayati vitamin ini ialah

    penggabungan makanan manusia ke dalam pakan hewan pada jumlah yang tepat

    dan memiliki nilai yang cukup tinggi agar dapat diukur. Pemberian pakan kubis

    yang dikering-bekukan tampaknya mengatasi masalah ini. Kadar folat serummeningkat secara signifikan, bahkan pada penambahan yang relatif sedikit.

    Aktivitas enzim asam pteroilglutamat (PGA) hidrolase dalam sitoplasma sel

    mukosa usus halus hewan uji agaknya berperan dalam mengurai bentuk

    poliglutamat dari folat dalam pakan tersebut sehingga menjadi bentuk yang

    tersedia.

    2.1.4 Vitamin B12

    Vitamin B12 dalam bahan pangan ditentukan dengan uji pertumbuhan

    mikrobiologis menggunakan Lactobacillus leichmannii atau Ochromonasmalhamensis. Bakteri tersebut digunakan karena memiliki spesivisitas yang lebih

    besar untuk kobalamins dan memberikan penilaian yang lebih akurat dari aktivitas

    biologis vitamin. Kelemahan dari bakteri O. malhamensis memerlukan waktu

    inkubasi yang lebih lama, yaitu mencapai 34 hari dibandingkan dengan L.

    leichmannii, sedangkan kelemahan bakteri L. leichmannii dapat mengalami

    gangguan jika sampel mengandung deoksiribonukleosida.

    Vitamin B12 dalam uji klinis menggunakan RIA berdasarkan persaingan

    antara sianokobalamin bertanda 57Co dan vitamin bebas yang tidak bertanda

    terhadap tapak pengikatan yang jumlahnya terbatas pada protein pengikat B12.

    Jenis awal uji pengikatan ligan radioaktif untuk vitamin B12dalam spesimen klinis

    sering tidak akurat, karena protein pengikat yang digunakan dapat mengikat

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    14/16

    10

    bentuk aktif vitamin B12 maupun analog inaktif secara hayati sehingga

    menimbulkan galat positif, sedangkan penentuan vitamin B12 dalam makanan

    dengan RIA diperoleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji

    mikrobiologis. Hal ini disebabkan pada metode RIA bergantung pada ekstraksi.

    Prosedur ekstraksi yang lebih hebat cenderung mendapatkan hasil lebih tinggidibandingkan dengan uji mikrobiologis. Sementara keberadaan sianida dalam

    prosedur ekstraksi dilaporkan memberikan hasil yang hampir sama dengan uji

    mikrobiologis.

    Metode EPBA telah dikembangkan dalam pelat mikrotitrasi untuk analisis

    vitamin B12dalam bahan pangan terfortifikasi. Protein-R ditandai dengan enzim

    peroksidase horseradish (HRP), lalu konjugat enzim-protein dimurnikan dengan

    fast protein liquid chromatography(FPLC). R-protein umumnya digunakan pada

    metode EPBA karena harganya lebih murah. Fase terimobilisasi disiapkan dengan

    menggabungkan sianokobalamin dengan keyhole limpet hemocyanin (KLH)

    menggunakan prosedur bromoasetil bromida, yaitu melalui gugus alkohol primer.

    Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mana konjugat disintesismenggunakan gugus karboksilamida pada cincin corrin. Peningkatan sensitivitas

    uji ditemukan dengan menggunakan konjugat bromoasetil dibandingkan dengan

    sebelumnya sehingga protein-R bertanda enzim dapat digunakan pada

    pengenceran yang lebih tinggi. Pelapisan pelat mikrotitrasi dan larutan enzim

    protein-R berlabel digunakan untuk menstabilkan selama beberapa bulan tanpa

    kehilangan aktivitas yang cukup besar.

    Batas deteksi uji ini ialah 9 pg per sumur dan terdapat sedikit pengikatan

    latar-belakang yang tak-spesifik. Penggunaan EPBA untuk menentukan jumlah

    sianokobalamin yang ditambahkan dalam sereal makan pagi memberikan hasil

    yang sesuai dengan jumlah teoritis. Ekstrak sampel yang tidak dilakukanpenambahan diuji untuk mengetahui gangguan yang terdapat dalam uji dan

    didapat hasil kurva yang tidak dapat diperkirakan yang dibandingkan dengan

    larutan standar. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa inkubasi dengan waktu

    yang lebih cepat memberikan hasil yang sama dengan inkubasi yang dilakukan

    sepanjang malam.

    Metode EPBA lebih bagus dibandingkan dengan metode mikrobiologis dan

    RIA. Metode ini lebih mudah dilakukan, memiliki potensi ketertiruan yang lebih

    baik, dan waktu pengujian yang lebih singkat dibandingkan dengan prosedur

    mikrobiologis (denganLactobacillus leichmanniidan Ochromonas malhamensis).

    Akan tetapi, batas deteksi untuk EPBA baru dapat digunakan pada bahan pangan

    yang difortifikasi. Metode EPBA digunakan untuk mengukur jumlah alami dalambahan pangan. Kepekaan pengujian masih harus ditingkatkan dengan

    menggunakan sistem deteksi titik-akhir lain, dan prosedur ekstraksi atau clean-up

    mungkin diperlukan, serta memiliki waktu yang lebih singkat dibandingkan

    dengan uji mikrobiologis.

    2.2 Analisis Kuantitatif Berdasarkan Metode Biosensor

    Metode lain yang dapat digunakan dalam penentuan kandungan vitamin

    larut air dalam makanan ialah dengan uji biosensor. Uji biosensor berbeda dengan

    uji biospesifik, yaitu uji biosensor merupakan uji yang digunakan untuk menguji

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    15/16

    11

    seluruh vitamin larut air seperti biotin, asam pantotenat, asam folat, vitamin B12,

    dan vitamin B6 yang lebih cepat dan praktis karena menggunakan kit yang

    spesifik untuk senyawa tertentu dibandingkan dengan metode biospsifik yang

    hanya digunakan untuk menguji satu senyawa atau satu vitamin yang larut air.

    Metode biosensor optis surface plasmon resonance (SPR) menggunakan alat kitBiacore Qflex.

    Komponen utama cip sensor pada biosensor komersial terdiri atas cahaya

    dan permukaan cip sensor. Cahaya dipantulkan seluruhnya secara internal pada

    suatu antarmuka kaca-film logam (biasanya emas), dan reflektans diamati sebagai

    fungsi sudut, pada sudut tertentu (sudut SPR), intensitas sinar pantul teramati

    minimum. Hal ini menunjukkan eksitasi plasmon permukaan pada antarmuka

    logam-larutan. Posisi respons tersebut peka akan perubahan indeks bias di sekitar

    permukaan logam. Permukaan cip sensor terdiri atas permukaan kaca yang

    dilapisi dengan selapis tipis emas yang dapat menjadi dasar untuk aneka

    permukaan khusus yang dirancang untuk mengoptimumkan pengikatan secara

    kovalen dan imobilisasi berbagai biomolekul. Permukaan yang paling banyakdigunakan ialah matriks yang tersusun dari gugus karboksimetil (CM) yang

    langsung terikat pada lapisan emas atau terikat secara kovalen melalui penaut

    hidrogel dekstran dengan panjang bervariasi.

    Permukaan cip sensor yang memiliki matriks dekstran CM, terdapat lapisan

    penaut alkanatiol yang memungkinkan pengikatan secara kovalen ke matriks

    dekstran CM dan meminimumkan pengikatan non-spesifik ke lapisan emas.

    Lapisan hidrogel dekstran membentuk suatu lingkungan hidrofilik bagi

    biomolekul yang terikat, sehingga mereka tetap dalam keadaan tidak terdenaturasi.

    Gugus CM dapat berikatan kovalen dengan amina, tiol, aldehida, dan gugus lain

    yang segera setelah berinteraksi dengan sampel yang diinjeksikan, indeks biaspada antarmuka antara permukaan sensor dan larutan tersebut berubah sebanding

    dengan perubahan massa di permukaan. Akibatnya, ketika molekul dalam larutan

    uji terikat pada suatu target yang diimobilisasikan pada permukaan cip, massa

    molekul meningkat yang memperbesar indeks bias lokal. Sebaliknya, ketika

    komponen terurai, indeks bias di dekat permukaan cip sensor akan menurun.

    Perubahan real-time massa pada permukaan cip sensor dideteksi secara optis dan

    dilaporkan dalam bentuk sensor gram (akur sudut resonans [dalam RU] terhadap

    waktu).

    Prinsip metode biosensor ialah molekul pendeteksi yang memiliki bobot

    molekul tinggi seperti protein atau antibodi pengikat vitamin (VBP/A)

    ditambahkan ke dalam sampel. Larutan sampel diinjeksikan pada cip sensor, makaVBP/A akan terikat ke analit (vitamin) dalam sampel sebanding dengan jumlah

    analit (vitamin) dalam sampel terebut. Protein atau antibodi pengikat vitamin

    VBP/A yang tidak terikat akan tetap di dalam larutan dan berinteraksi dengan

    analit (vitamin atau turunan vitamin) pada permukaan sensor. Pengikatan ke

    permukaaan ini berlangsung dalam suatu aliran yang kontinu, bebas pulsa, dan

    terkendali, sehingga menjaga konsentrasi VBP/A yang konstan di permukaan cip.

    Oleh karena itu, tingkat respons setara dengan waktu kontak antara sampel dan

    permukaan, yaitu volume injeksi. Respons diukur sebagai perbedaan mutlak yang

    diperoleh segera sebelum dan segera sesudah injeksi sampel. Semakin tinggi

    konsentrasi vitamin dalam sampel, semakin bertingkat inkubasi dan semakin

  • 8/10/2019 Makalah Kelompok 3 Kelas KIM 3B P1

    16/16

    12

    rendah respons yang terdeteksi pada cip biosensor. Respons dari deret konsentrasi

    standar digunakan untuk membuat kurva kalibrasi.

    3 SIMPULAN

    Berdasarkan analisis yang telah digunakan, biosensor merupakan teknologi

    yang lebih baik dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan metode

    biospesifik seperti ELISA, EPBA, RIA, dan mikrobiologis. Keuntungan dari

    teknologi biosensor ialah seluruh vitamin larut air dapat terdeteksi, sedangkan

    metode biospesifik hanya dapat mendeteksi satu senyawa saja. Konsentrasi serum

    diperoleh paling tinggi pada ketersediaan hayati folat, sedangkan konsentrasi

    terendah terdapat pada mukosa usus.

    4 DAFTAR PUSTAKA

    Finglas PM, Morgan MRA. 1993. Application of biospecific methods to the

    determination of B-group vitamins in food a review.Food Chem.49:191-

    201.

    Gao Y, Guo F, Gokavi S, Chow A, Sheng Q, Guo M. 2008. Quantification of

    water-soluble vitamins in milk-based infant formulae using biosesor-basedassays.Food Chem. 110:769-776.

    Gee JM, Bhabuta A, Johnson IT. 1989. A technique for assesing the biological

    avaibility of folate in foods.Food Chem. 31:149-158.

    Lindsay RC. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. Di dalam: Fennema OR, editor.

    New York (US): Marcell Dekker.