makalah kemiskinan

26
STUDI FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DAN MEKANISME PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA (Makalah) Oleh : Sigit Prasetyo

Upload: annissa-ilmia-paramitha-siregar

Post on 05-Dec-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MISKIN

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH KEMISKINAN

STUDI FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DAN MEKANISME PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA

(Makalah)

Oleh :Sigit Prasetyo

MAGISTER ILMU EKONOMIFAKULTAS ILMU EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG2013

Page 2: MAKALAH KEMISKINAN

I. PENDAHULUAN

Nugroho & Dahuri, 2004:165-168 menyatakan kemiskinan merupakan kondisi

absolut dan relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam

suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya

sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena

sebab-sebab natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural disebabkan

keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan

struktural disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai kebijakan,

peraturan, dan keputusan dalam pembangunan, kemiskinan ini umumnya dapat dikenali

dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak seimbang. Kemiskinan kultural adalah

kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang

mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam

kemiskinan. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin jika dan hanya jika tingkat

pendapatannya tidak memungkinkan orang tersebut untuk mentaati tata nilai dan

norma dalam masyarakatnya.

Terdapat dua pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu pendekatan

absolut dan pendekatan relatif. Pertama, pendekatan kemiskinan absolut, yaitu

pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat mutlak

yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan. Seseorang atau

masyarakat yang tidak mampu keluar dari ukuran-ukuran tersebut dikelompokkan

sebagai miskin. Ukurannya antara lain berupa tingkat pendapatan, pengeluaran atau

konsumsi, atau kalori seseorang atau keluaga dalam satu waktu tertentu dan hal-hal

yang disetarakan dengan ukuran tersebut. Pendekatan absolut lebih mudah diterapkan

karena hanya memban-dingkan saja dengan batasan yang dikehendaki (Nugroho &

Dahuri, 2004:169). Kemiskinan absolut dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan

dimana tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.

Besarnya atau dimensi masalah kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk

yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum”

yang telah ditetapkan (Ahluwalia, 1974:10 dalam Wie, 1981:6).

Kedua, pendekatan kemiskinan relatif, yaitu pendekatan yang memandang

kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi ukuran-ukuran lainnya yang

berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Ukurannya berasal dari ukuran absolut

Page 3: MAKALAH KEMISKINAN

namun lebih ditekankan pada proporsi relatif. Misalnya garis kemiskinan adalah 20%

pendapatan terendah, median dari distribusi pendapatan dan lan-lain (Nugroho &

Dahuri, 2004:169). Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini garis kemiskinan akan

mengalami perubahan bila sekiranya seluruh tingkat kehidupan masyarakat mengalami

perubahan. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan mutlak/absolut.

Kelemahan konsep ini justru terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan

terlihat bahwa “kemungkinan kimiskinan akan selalu berada di antara kita”. Dalam

setiap waktu akan selalu terdapat sejumlah penduduk dari total penduduk yang dapat

dikategorikan sebagai miskin. Sehingga berbeda dengan konsep kemiskinan absolut

jumlah orang miskin tidak mungkin habis sepanjang zaman (Esmara, 1986:293).

BPS (2012) menyatakan untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan

ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Metode yang digunakan adalah dengan menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri

dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan-

makanan(GKBM). Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan

dan perdesaan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang

disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari. Sedangkan GKBM adalah

kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Garis kemiskinan di Indonesia diwujudkan dalam bentuk besarnya nilai rupiah

pengeluaran per kapita setipa bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum

makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada

pada kehidupan yang layak (BPS, 2011b). Jika seseorang memiliki penghasilan

(konsumsi) tiap bulan dibawah garis kemiskinan tersebut, maka ia dianggap miskin. Garis

kemiskinan Indonesia tahun 2005-2010 seperti terlihat pada gambar 6.13. Rata-rata

garis kemiskinan Indonesia 2005-2010 adalah Rp 175.145,- dengan rata-rata

pertumbuhan 9.70%.

Page 4: MAKALAH KEMISKINAN

2005 2006 2007 2008 2009 20100

50000

100000

150000

200000

250000

Gambar 6.13 Garis Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2010 (Rupiah)

Gar

is K

emis

kina

n

Sumber: BPS, (2011a)

Penduduk miskin menurut BPS (2011a) penduduk yang memiliki rata-rata

pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Penghitungan persentase

penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan menggunakan metode Head

Count Index (HCI). Persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2005-2010 seperti

terlihat pada ganbar 6.14. Berdasarkan data pada gambar teresebut, rata-rata

pertumbuhan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2005-2010 adalah (-

3,28%). Ini berarti semakin tahun jumlah keluarga miskin di Indonesia semakin menurun.

Page 5: MAKALAH KEMISKINAN

2005 2006 2007 2008 2009 20100

24

68

10

1214

161820

Gambar 6.14 Persentase Penduduk Miskin Di Indonesia Tahun 2005-2010

Pers

enta

se

Sumber: BPS, 2011a (diolah)

Untuk memahami kondisi kemiskinan di Indonesia juga perlu dilihat besarnya

nilai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Menurut BPS

(2011a) Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan

pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi

nilai indeks, maka semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.

Sedangkan Indeks Keparahan Kemis-kinan memberikan gambaran mengenai

penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka

semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Nilai indeks

kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2010

seperti terlihat pada ganbar 6.15. Berdasarkan data pada gambar tersebut, rata-rata

partumbuhan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan masing-

masing adalah 2.78 dan 0.77. Sedangkan rata-rata partumbuhannya masing-masing

adalah (-3.63) dan (-3.83). Data ini menunjukkan bahwasemakin tahun persentase

penduduk miskin semakin menurun.

Page 6: MAKALAH KEMISKINAN

2005 2006 2007 2008 2009 20100.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

Gambar 6.15 Indeks Kedalaman Kemiskinan Dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2010

Indek Kedalaman Kemiskinan Indek Keparahan Kemiskinan

Angk

a In

deks

Sumber: BPS, (2011a)

Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam0

5

10

15

20

25

30

Gambar 6.16 Persentase Penduduk Miskin Beberapa Negara Anggota ASEAN Tahun 2009 (%)

Pen

dudu

k M

iski

n (%

)

Sumber: World Bank, (2012)http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC Catatan: Brunei DS, Kamboja, Laos, dan Singapura tidak tersedia data

World Bank (2012) mendefinisikan tingkat kemiskinan nasional sebagai

persentase dari populasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

Berdasarkan kriteria Word Bank tersebut, di Asean persentase rata-rata penduduk

miskin Indonesia tahun 2009 masih lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand

(gambar 6.16).

Page 7: MAKALAH KEMISKINAN

Berdasarkan fakta diatas, tulisan ini mencoba mengetahui apa sebenarnya faktor

penyebab kemiskinan yang ada di Indonesia berdasarkan berbagai hasil literatur pustaka

dan penelitian yang dilakukan oleh para pakar dan pandangan penulis. Pemahaman

tentang factor penyebab kemiskinan ini merupakan upaya yang tepat untuk

menemukan cara menguarangi kemiskinan tersebut (poverty alliveation). Karena

kemiskinan merupakan “lingkaran setan” (virtuous circle) yang hanya bisa di putus jika

kita benar-benar mengetahui dengan tepat di mana memulai untuk memutusnya.

II. PEMBAHASAN

2.1. Faktor Penentu Kemiskinan Di Indonesia

a. Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Penduduk (EDU)

Hasil penelitian Cameron (2000:175-176) tentang kemiskinan di Jawa yang

menyimpulkan bahwa pengurangan kemis-kinan diasosiasikan dengan meningkatnya

pencapaian pendidikan dan peningkatan penda-patan dari tenaga kerja terdidik. Hasil

penelitian Sukherman (2001:47-64) juga menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat

dipengaruhi oleh besarnya angka persentase angka melek huruf. Hasil penelitian lain

yang berbeda dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Niskanen (1996:1-16)

menunjukkan kemiskinan di AS menurun seiring meningkatnya pendidikan penduduk.

Hal yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23

negara berkembang menunjukkan kemiskinan dapat berkurang seiring dengan

meningkatnya pendidikan (menurunnya persentase buta huruf). Hasil penelitian ini juga

berlawanan dengan hasil penelitian Balisacan et.al (2003:329-351) yang menunjukkan

bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi kemiskinan. Dalam hal ini persentase orang

dewasa yang bisa membaca dan menulis mempengaruhi pengurangan kemiskinan

sebesar 0,129%.

b. Pendapatan Per kapita Penduduk (PC)

Hasil penelitian Iradian (2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun

1965-2003. Hasil penelitian-nya menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan

pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan

perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Peru-bahan pendapatan per kapita

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Hasil penelitian ini

mengisyaratkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi

yang telah dicapai oleh Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk.

Page 8: MAKALAH KEMISKINAN

Sementara sebagian besar penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak

menikmati capai tersebut. Dengan kata lain meskipun ekonomi tumbuh dengan baik,

tetapi mereka tetap berada dalam kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor,

upah, dan bentuk lain) yang selama ini terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh sebagai

orang. Peningkatan kontra prestasi tersebut tidak sampai menyentuh pada kelompok

yang barada pada garis kemisikinan. Kondisi di atas juga sejalan dengan hasil penelitian

Rifa’i (2010:317-327) yang menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan pendapatan

di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro Lampung. Dimana kenaikan pendapatan per

kapita hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di kedua kota tersebut.

Sementara sebagian besar penduduk masih tetap dalam kondisi miskin karena tidak

memiliki kemampuan untuk mengakses peningkatan pendapatan per kapita tersebut.

Namun demikian hasil penelitian ini berlawan dengan hasil peneltian Balisacan

et.al (2003:329-351) yang menunjukkan bahwa partumbuhan ekonomi mempengaruhi

kemiskinan. Dalam hal ini pendapatan (standar hidup) orang miskin akan meningkat

7,74% sejalan dengan kenaikan 10% pendapatan pada tingkat kabupaten/kotamadya.

Selain itu hasil penelitian Niskanen (1996:1-16) menunjukkan kemiskinan di AS menurun

seiring meningkatnya penda-patan per kapita. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan

hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) yang menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat

dipengaruhi oleh besarnya PDRB per kapita.

c. Rasio Ketergantungan Penduduk

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rifa’i (2010:317-327) yang

menunjukkan kemiskinan di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro Lampung

dipengaruhi oleh rasio ketergantungan penduduk. Besarnya penduduk yang beraktifitas

sebagai ibu rumah tangga, menganggur, dan sedang sekolah akan semakin

memperbesar rasio ketergantungan penduduk di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro.

Apalagi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh

signifikan terhadap pengurangan faktor penyebab kemiskinan. Artinya jikalau nantinya

penduduk yang saat ini sedang sekolah (SLTP/SMU/Diploma/Sarjana) telah lulus, maka

kehadiran mereka tidak akan membantu mengurangi faktor penyebab kemiskinan.

Tetapi kehadiran mereka justru akan menambah besar nilai rasio ketergantungan.

Dengan kata lain kemungkinan mereka untuk menjadi pengangguran lebih besar karena

Page 9: MAKALAH KEMISKINAN

sistem pendidikan yang ditenggarai tidak memiliki link and match dan miskin

praktek/keterampilan.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Knowles (2002:1) yang

menyatakan bahwa meningkatnya rasio ketergantungan akan meningkatkan proporsi

populasi yang hidup dalam kemiskinan. Angka kelahiran yang tinggi berimplikasi pada

tingginya rasio ketergantungan. Negara-negara berkembang di Asia yang sukses

mengurangi angka kelahiran, maka rasio ketergantungannya relatif rendah. Selain itu

juga hasil penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang

menunjukkan hasil yang sama yaitu kemiskinan akan meningkat seiring dengan

meningkatnya rasio ketergantungan. Hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) juga

menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya angka kematian bayi

dan angka total fertilitas yang dapat memicu naikya angka rasio ketergan-tungan.

Faktor penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat

kelahiran (fertilitas) yang tinggi. Word Bank (1978) menyatakan penyebab kemiskinan

adalah adanya ledakan penduduk (population growth) yang tidak terkendali karena

ledakan penduduk akan menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang

tinggi. Sementara itu Malthus (1798) dalam Todaro (2000:268) menyatakan bahwa

ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba pas-pasan (subsisten).

Sedangkan pemikiran neo-Malthus menyatakan bangsa-bangsa yang miskin tidak akan

pernah berhasil mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali

apabila mereka mengadakan pemeriksaan pengendalian preventif (preventive checks)

terhadap pertumbuhan populasi mereka, atau dengan menerap-kan pengendalian

kelahiran. Nilai rata-rata total vertility rate (TVR) Indonesia tahun 2010 adalah 2,5.

Artinya setiap keluarga memiliki tiga orang anak yang berarti dalam satu keluarga akan

terdiri dari lima jiwa. Semakin besar jumlah anak maka semakin besar jumlah

tanggungan yang harus di tanggung oleh kepala keluarga. Selanjutnya semakin besar

jumlah penduduk yang berusia tidak produktif maka semakin besar tanggungan yang

harus di tanggung oleh penduduk usia produktif.

d. Pertumbuhan Ekonomi (GRW)

Hasil penelitian World Bank (1990); Fields & Jakobson (1989); Ravallion (1995)

dalam Tambunan (2001:75) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara

pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

Page 10: MAKALAH KEMISKINAN

tidak mampu mengurangi munculnya kemiskinan. Karena pertumbuhan ekonomi yang

tinggi (growth oriented) justru hanya memicu munculnya kesenjangan pendapatan dan

in-equality. Hal senada juga dihasilkan dalam penelitian Foster & Szekely (2002:1-28)

yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap upaya

menaikkan pendapatan penduduk miskin serta pertumbuhan ekonomi tidak bisa

mengurangi gap pendapatan antara orang kaya dan orang miskin pada 185 rumah

tangga dari 33 negara di Eropa, Amerika Latin, Asia, dan Kanada.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Booth (2000:73-104) yang

menun-jukkan telah terjadi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan

kemiskinan di Indonesia tahun 1985-1996 yang mengindikasikan telah terjadi

ketimpangan dalam pemera-taan hasil-hasil pembangunan di Indonesia pada kurun

waktu tersebut. Selain itu hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Iradian

(2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun 1965-2003. Hasil penelitian

Iradian menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan

terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi

pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif

terhadap kemiskinan dan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio)

maka semakin besar tingkat kemiskinan. Hal senada juga dihasilkan dalam penelitian

yang dilakukan Adelman & Morris (1973:6) dalam Bashri (2003). Adelman & Morris

mengungkapkan tentang peran pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang

dimana negera-negara tersebut bukan saja menghadapi kemerosotan dalam

ketimpangan (kemiskinan) relatif akibat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga masalah

kenaikan kemiskinan absolut. Adelman dan Moris menarik kesimpulan secara umum

bahwa proses pembangunan ekonomi yang growth oriented pada keadaan-keadaan

ekstrem yaitu pada saat keterbelakangan ekonomi dan kemajuan pembangunan

ekonomi yang tinggi, ternyata sama-sama menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi

sekitar 60% penduduk yang tergolong miskin dan tidak adanya trickle down effect yang

bersifat otomatis yang mengalirkan hasil pembangunan kepada golongan masyarakat

miskin.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai oleh Indonesia

ternyata tidak mampu mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan

ekonomi tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang di Indonesia. Efeknya

akan memuncul-kan kemiskinan struktural dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi

Page 11: MAKALAH KEMISKINAN

hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang kaya, sementara bagian terbesar

masyarakat yang tetap miskin. Keadaan ini sesuai dengan teori “trade off between

growth and equity” yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan

menimbulkan ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan atau

makin tidak merata, dan sebaliknya upaya pemerataan dapat terwujud dalam pertum-

buhan ekonomi yang rendah (Todaro, 2000:206).

Sebaliknya hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian Balisacan et.al

(2003:329-351) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi

kemiskinan. Selain itu hasil penelitian ini juga berlawanan dengan pernyataan

Bourguignon (2004:3-5) yang menjelaskan hubungan langsung yang mungkin terbentuk

antara pembangunan, pertumbuhan dan distribusi pendapatan melalui teorinya

“poverty-growth-inequality triangle”. Ia menya-takan bahwa pengurangan kemiskinan di

suatu negara dan di waktu tertentu ditentukan secara penuh oleh tingkat pertumbuhan

ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan. Hubungan ini sesuai dengan teori “tricle

down effect” dimana bila ekonomi tumbuh, maka secara otomatis akan terjadi

pemerataan hasil-hasil pemba-ngunan atau “perembesan” ke bawah sehingga hasil-hasil

pembangunan dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Dengan demikian kaum miskin

dapat keluar dari kemiskinannya.

Hasil penelitian ini juga berlawanan dengan pandangan Kuznets dalam Wie

(1983:4) menjelaskan mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan

ekonomi dan pemba-gian pendapatan yang menunjukkan bahwa proses pembangunan

ekonomi pada tahap awal umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam

pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar

dalam pembagian pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut. Hipotesis Kuznets

ini berupa kurva U terbalik dimana ketika pembangunan baru dimulai, distribusi

pendapatan akan makin tidak merata (terjadi kemis-kinan), namun setelah mencapai

suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan semakin merata

(kemakmuran).

e. Persentase Tenaga Kerja Di Sektor Pertanian (TKP)

Hasil penelitian Booth (2000:73-104) yang menunjukkan bahwa kemiskinan di

pedesaan di Indonesia dapat berkurang dengan meningkatkan nilai tambah hasil

pertanian. Sehingga pembangunan pedesaan dan pertanian, dimana ada kenaikkan

Page 12: MAKALAH KEMISKINAN

produktivitas per hektar atau pada rumah tangga, seharusnya diprio-ritaskan untuk

bagian pulau di luar Jawa dan Bali dimana kemiskinan tinggi. Persentase tenaga kerja di

sektor pertanian tidak mampu mengurangi factor penyebab kemiskinan karena sektor

ini secara umum ditenggarai memiliki produktifitas rendah, kelebihan tenaga kerja, upah

yang rendah, dan bersifat subsisten. Selain itu penelitian Ritonga (2006) juga

menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia pada umumnya bekerja di sektor

pertanian dan mempunyai tingkat pendidikan SD kebawah. Oleh karena itu program

pengentasan kemiskinan di sektor pertanian perlu diprioritaskan. Pembangunan sektor

pertanian melalui revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pembangunan

masyarakat pedesaan perlu menjadi pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia

keluar dari permasalahan kemiskinan.

Namun demikian hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian Rifa’i,

dkk (2006:48) yang menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja usaha kecil yang

bergerak di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan produktifitas tenaga

kerja usaha kecil yang bergerak di sektor industri. Sehingga kehadiran tenaga kerja di

sektor pertanian tidak mampu mengurangi faktor penyebab munculnya kemiskinan di

Provinsi Lampung. Sementara itu Kuntjoro (2003:131) menyatakan sebuah negara

miskin karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten, metode

produksi yang tradisional, dan seringkali dibarengi dengan sikap apatis terhadap

lingkungan. Sektor pertanian dianggap sebagai sektor pemicu kemiskinan karena, seperti

dinyatakan oleh Lewis dalam Todaro (2000:100), sektor pertanian merupakan sektor

subsisten yang kelebihan penduduk dan produktivitas marjinal tenaga kerjanya hampir

sama dengan nol.

Hasil penelitian lain berlawanan dengan hasil penelitian ini adalah penelitian

Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang menunjukkan kemiskinan

akan mening-kat seiring dengan meningkatnya persentase tenaga kerja di sektor

pertanian. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Suryahadi dan Sumarto (2003)

yang menyatakan bahwa sektor pertanian adalah salah satu sumber kemiskinan dan

daya tahan sektor ini lebih rentan terha-dap krisis ekonomi. Hal yang sama juga

dinyatakan oleh Skoufias (2000) yang menyatakan bahwa konsumsi tenaga kerja sektor

industri lebih besar dari konsumsi tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan

bahwa pendapatan pekerja usaha kecil yang bekerja disektor industri non pertanian

lebih besar daripada penghasilan tenaga kerja usaha kecil yang bekerja disektor industri

Page 13: MAKALAH KEMISKINAN

yang bergerak disektor pertanian. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa

produktivitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor pertanian lebih rendah

jika dibandingkan dengan produktifitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor

industri.

f. Persentase Tenaga Kerja Disektor Industri (TKI)

Hasil penelitian Cameron (2000:175-176) yang menyatakan bahwa pengurangan

kemiskinan di Jawa diasosiasikan dengan meningkatnya peningkatan pendapatan dari

tenaga kerja terdidik dan pendapatan yang didapat pekerja di luar pertanian (sektor

industri). Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian

Sukherman (2001:47-64) menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh

besarnya angka kontribusi sektor industri terhadap perekonomian regional. Hasil

penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang juga

menunjukkan kemiskinan dapat berkurang seiring dengan meningkatnya persentase

tenaga kerja di sektor industri.

Peran penting sektor industri dalam mengurangi faktor penyebab kemiskinan

salah satunya ditunjukkan oleh hasil penelitian Skoufias (2000) yang menyatakan bahwa

konsumsi tenaga kerja sektor industri lebih besar dari konsumsi tenaga kerja sektor

pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan pekerja usaha kecil yang bekerja

disektor industri non pertanian lebih besar daripada penghasilan tenaga kerja usaha

kecil yang bekerja disektor industri yang bergerak disektor pertanian. Secara umum jika

seseorang yang bekerja di sektor industri memiliki tingkat konsumsi yang tinggi, maka

sudah dapat dipastikan pendapatannya akan cenderung tinggi. Karena pada umumya

tingkat konsumsi akan tetap berada di bawah pendapatan. Jika jika konsumsi seseorang

tinggi, maka pendapatanya juga akan tinggi. Jika pendapatan seseorang tinggi, maka

upaya pengurangan faktor penyebab kemiskinan akan semakin mudah diwujudkan.

2.2. Mekanisme Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia

Mekanisme penanggulanan kemiskinan di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Pemerintah harus mengurangi rasio ketergantungan penduduk. Peningkatan rasio

ketergantungan salah satunya dapat terjadi karena ledakan penduduk yang tidak

terkendali. Ledakan penduduk akan menimbulkan rasio ketergantungan anak (Child

Dependency Ratio). Rasio ketergantungan anak merupakan persentase penduduk

Page 14: MAKALAH KEMISKINAN

usia belum produktif (usia 0-14 tahun) terhadap penduduk usia produktif (usia 14-

64 tahun). Rasio ketergantungan anak digunakan untuk menunjukkan besarnya

beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap anak-anak di suatu daerah

pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu penurunan rasio ketergantungan anak

dapat dilakukan dengan mengendalikan tingkat kelahiran, misalnya melalui

intensifikasi program KB, intensifikasi perawatan ibu hamil dan menyusui,

pengaturan kelahiran, pengaturan batas usia menikah, dll.

Peningkatan rasio ketergantungan juga dapat disebabkan karena ledakan

penduduk usia lanjut (usia 65 tahun keatas). Ledakan penduduk lanjut usia akan

menimbulkan rasio ketergantungan lanjut usia (Old Dependency Ratio). Rasio

ketergantungan lanjut usia merupakan persentase penduduk usia lanjut (usia 65

tahun keatas) terhadap penduduk usia produktif (usia 14-64 tahun). Indikator ini

digunakan untuk menggam-barkan besarnya beban tanggungan penduduk usia

produktif terhadap pendudukan lanjut usia di suatu daerah pada suatu waktu

tertentu. Penurunan rasio ketergan-tungan lanjut usia dapat dilakukan dengan

“menjaga” agar usia produktif penduduk semakin panjang. Tindakan yang dilakukan

misalnya dengan memberikan keteram-pilan kepada penduduk, peningkatan

kesehatan penduduk, perbaikan gizi sejak usia dini, dll. Penuruan rasio

ketergantungan ini bersifat jangka panjang.

Window of opportunity merupakan ‘celah sempit’ sebagai bonus demografi,

yaitu suatu kesempatan yang hanya terjadi satu kali bagi semua penduduk negara

atau daerah tertentu. Kesempatan tersebut berupa tersedianya kondisi atau ukuran

yang sangat ideal pada perbandingan antara jumlah penduduk produktif dengan

non-produktif. Pada saat itu rasio ketergantungan adalah yang terendah, biasanya

nilainya berada di bawah 50%. Untuk memunculnya window of opportunity maka

Pemerintah Kota Metro dapat melakukan kebijakan transisi demografi. Transisi

demografi ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan angka kelahihan (fertility)

dan angka kematian (mortality) hingga mencapai angka yang rendah, sehingga

pertumbuhan penduduk mendekati nol. Proses transisi demografi ini dianggap

selesai ketika nilai NRR = 1. Angka Reproduksi Netto/Net Reproduction Rate (NRR)

merupakan angka yang menunujukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang akan

dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksi seandainya wanita tersebut

Page 15: MAKALAH KEMISKINAN

mengikuti pola fertilitas yang berlaku pada saat angka itu dihitung, dengan

memperhatikan kelangsungan hidup wanita tersebut selama masa reproduksi.

Kebijakan transisi demografi yang diambil pemerintah akan dapat

memunculkan dampak positif yaitu, pertama, menurunkan proporsi jumlah anak

(usia 0-15 tahun) karena adanya penurunan tingkat fertilitas. Kedua, meningkatkan

jumlah anak yang survived keusia dewasa, karena penurunan kematian bayi. Ketiga,

terjadi ledakan penduduk usia kerja. Ledakan penduduk usia kerja ini akan lebih

menguntungkan jika dibandingkan dengan ledakan penduduk karena tingkat

fertilitas yang tinggi. Karena ledakan penduduk yang disebabkan tingkat fertilitas

yang tinggi justru hanya akan meningkatkan Rasio Ketergantungan (Dependency

Ratio) dan Rasio Ketergantungan Anak (Child Dependency Ratio). Keempat, angka

ketergantungan akan turun hingga mencapai titik terendah, sehingga akan

memunculkan kondisi yang disebut window of opportunity.

b) Pemerintah harus meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Upaya

peningkatan pendapatan per kapita masyarakat harus diikuti dengan pemerataan

pendapatan. Karena pendapatan tanpa pemerataan justru akan menimbulkan

ketimpangan (inequality). Upaya pening-katan pendapatan per kapita masyarakat

dapat dilakukan misalnya dengan perluasan lapangan kerja, pemberian bantuan

usaha, perbaikan aturan peng-upah-an (aturan perburuhan), dll.

c) Pemerintah harus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Upaya peningkatan

pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan misalnya dengan perbaikan sarana dan

prasarana usaha, pemberian bantuan usaha, penjaminan kepastian usaha, dll.

d) Pemerintah harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor pertanian (TKP).

Peningkatan persentase tenaga kerja di sektor pertanian dilakukan dengan cara

membuat sektor pertanian dapat menjadi tempat untuk menggangtungkan hidup

sehingga sektor tersebut menjadi lebih menarik untuk dimasuki pekerja/calon

pekerja. Cara tersebut dapat ditembuh dengan cara inten-sifikasi sektor pertanian,

ekstensifikasi sektor pertanian, peningkatan/perbaikan nilai tukar petani,

melibatkan petani dalam bisnis melalui kegiatan agro industri, dll. Pemerintah

harus mampu merubah image bahwa sektor pertanian merupakan sektor

tradisional yang kental dengan istilah produktifitas tenaga kerjanya rendah, upah

rendah, sumber kemiskinan, konsumsi tenaga kerja sektor sektor pertanian lebih

rendah dibandingkan konsumsi tenaga kerja sektor industri, sektor subsisten yang

Page 16: MAKALAH KEMISKINAN

kelebihan penduduk, dll. Sektor pertanian harus diciptakan lebih “sexy” agar

menarik untuk dimasuki dan layak dijadikan sebagai gantungan hidup. Pemerintah

harus melakukan pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian,

perikanan, dan kehutanan serta pembangunan masyarakat pedesaan sebagai

pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan

kemiskinan.

e) Pemerintah harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor industri (TKI).

Selama ini sektor industri dianggap lebih menarik di banding sektor pertanian.

Sektor industri juga lebih memberikan jaminan pendapatan per kapita yang lebih

tinggi. Sektor industri juga lebih banyak menghasilkan jumlah konsumsi yang lebih

tinggi. Namun serapan tenaga kerja sektor industri lebih kecil kecil dibandingkan

sektor pertanian. Salah satu penyebabnya adalah sektor ini memerlukan

persyaratan khusus yaitu keterampilan (skill) bagi tenaga kerjanya. Oleh karena itu

upaya peningkatan persentase tenaga kerja di sektor industri dapat dilakukan

dengan cara intensifikasi balai latihan kerja (BLK), intensifikasi sekolah-sekolah yang

secara nyata memeiliki kompetensi keterampilan bagi lulusan (sekolah kejuruan),

pendidikan vokasi, dll. Jika calon tenaga kerja ini dibekali dengan skill tertentu,

maka diharapkan tenaga kerja akan lebih mudah diserap oleh dunia industri.

III. KESIMPULAN

a) Rasio ketergantungan penduduk berpengaruh signifikan terhadap faktor

penyebab kemiskinan di Indonesia, sedangkan tingkat pendidikan penduduk,

pendapatan per kapita masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja

di sektor pertanian, dan jumlah tenaga kerja disektor industri tidak berpengaruh

signifikan.

b) Upaya penanggulangan kemiskinan dapat di tempuh dengan cara menurunkan

rasio ketergantungan penduduk dan meningkatkan pendapatan per kapita

masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, dan

jumlah tenaga kerja disektor industri.

Page 17: MAKALAH KEMISKINAN

c) DAFTAR PUSTAKA

Aprilani, Deddy. Rifa’i, Ahmad. 2007. Pengaruh Jiwa Wirausaha dan Manajemen Usaha Terhadap Keberhasilan Usaha (Studi pada UMKM di Bandar Lampung). Laporan Penelitian Hibah DIPA PNBP Unila November 2007.

Balisacan, A. & Pernia, E. & Asra, A. 2003. Revisiting, Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol 39. No. 3.

Bashri, Yanto. 2003. Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia, Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Jakarta: Prenada.

Berg, Hendrik Van Den. 2001. Economic Growth and Development. New York: Mc. Grow-Hill.

BKKBN. 2010. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2010. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta.

Booth, Anne. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assesment. Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol.36, No.1.

Bourguignon, Francois. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Report on Indian Council For Research on International Eco Relations, New Delhi.

BPS. 2010a. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik. Jakarta.BPS. 2010b. Pendapatan Nasional Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.BPS. 2011a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan

Pusat Statistik. Jakarta.BPS. 2011b. Berita Resmi Statistik No. 33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011. Badan Pusat Statistik.

Jakarta.BPS. 2012. Kemiskinan: Konsep dan Definisi. BPS Sulawesi Barat.

http://sulbar.bps.go.id/index.php?link=stat&sub=miskin&tab=miskin_prov&jenis=2

Brata, Aloysius G 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia dan Kemiskinan. Makalah Dalam Seminar “Making Services Works for the Poor Research Competition”, Jakarta: World Bank.

Cameron, Lisa A. 2000. Poverty and Inequality in Java: Examining the Impact of The Changing Age, Educational, and Industrial Structure. Journal of Development Economics, Vol. 62 (2000).

Djodjohadikusumo, Sumitro. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Esmara, Hendra. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia

Foster E. James dan Szekely, Miguel. 2002. Is Economic Growth Good for the Poor? Tracking Low Incomes Using General Means. Report on Symposium on Poverty Measurement, Mexico.

Gujarati, Domodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGrawHill Singapore.Hakim, Abdul. 2002. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Ekonisia.

Hasan, M. Fadhil. 2005. Refleksi Masalah Pengangguran dan Kemiskinan. Journal of Quarterly Review of The Indonesian Economy. Vol 7 (1). Oktober. 2005. pp 1-3

Iradian, Garbis. 2005. Inequality, Poverty, and Growth: Cross Country Evidence. IMF Working Paper. Middle East and Central Asia Departement.

Islam, Rizwatul. 2003. The Nexus of Economic Growth, Employment and Poverty Reduction An Empirical Analysis. Report on Seminar on Accelerating Growth and Poverty Reduction in Bangladesh. ILO, Geneva.

Page 18: MAKALAH KEMISKINAN

Kimhi, Ayal. 2004. Growth, Inequality, and Labor Markets in LDCs: A Survey. Discussion Paper No. 8.04, The Hebrew Univercity of Jerussalem.

Knowles, James. C. 2002. A Look at Poverty in The Developing Countries of Asia. Asia-Pacific Population & Policy, No. 52, January 2000.

Kuntjoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan, Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Lopez, Humberto. 2004. Pro Growth, Pro Poor: Is There a Trade Off. The World Bank.Manurung, Jonni J. Manurung, Adler Haymans & Saragih, Ferdinand Dehoutman. 2005.

Ekonometrik Teori dan Aplikasi. Elex Media Komputindo. Jakarta.Mubyarto. 2004. Reformasi, Teori Ekonomi dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis.

Vol. 19 No. 2. hal 107-119.Navarro, Juan. Carlos. 2002. Education and Poverty: Challenges and Reason for

Optimism. Equidad, Vol. III, No. 2, October 2002, Inter-American Development Bank.

Niskanen, William A. 1996. Welfare and Culture of Poverty. The Cato Jurnal, Vol. 16, No. 1.

Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rochmin. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

Prasetyo, Sigit. Rifa’i, Ahmad. Aprilani, Deddy. 2007. Strategi-Bisnis Usaha Kecil Di Bandar Lampung. Laporan Penelitian Hibah PDM Dikti November 2007.

Ritonga, Hamonangan. 2006. Perkembangan Indikator Kemiskinan dan Ketena-gakerjaan Tahun 2004 dan Perkiraan Tahun 2005-2006. Journal of Quarterly Review of The Indone-sian Economy. Vol 7 (1). January 2006. pp 17-31.

Skoufias, Emmanuel. 2000. Changes in Houshold Welfare, Poverty and Inequality During The Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 36 No. 2 Augustus. 2000. pp 97-144

Sritua Arief. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI Press. Jakarta.Sukherman, Maman. 2001. Assosiasi Kemiskinan Dengan Peubah Sosek di Propinsi Jawa

Barat, Jurnal Kependudukan Padjadjaran. Vol. 3, No. 1, Januari 2001 : 47-64.Supranto, J. 1984. Ekonometrik Buku Dua. Lembaga Penerbit FE UISuryahadi, Asep and Sumarto, Sudarno. 2003. Poverty and Vulnerability in Indonesia

Before and After Economic Crisis. Asian Economic Journal. Vol 17 No. 1. pp 45-64. www.blackwellpublishing.com/journals/asej.

Sutyastie, Remi Soemitro. 2006. Korelasi Pembangunan Ekonomi, Manusia dan Kemiskinan di Indonesia. Journal of Quarterly Review of The Indonesian Economy. Vol 7 (1). January 2006. pp 5-16

Tambunan, Tulus T.H.. 2001. Transformasi Ekonomi Di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh, Jilid I. Terjemahan Hasris Munandar. Jakarta: Erlangga.

Wie, Thee Kian. 1983. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif. Jakarta: LP3ES.

World Bank. 2012. Poverty Headcount Ratio at National Poverty Line (% of Population). http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC