makalah masalah budaya dalam bahasa
TRANSCRIPT
MASALAH BUDAYA DALAM BAHASAOleh:
Muslimin dan Syahriah Madjid
A. Pendahuluan
Bahasa dan budaya merupakan dua entitas berbeda namun
dipandang memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain.
Kramsch (1998:3) menyatakan bahwa bahasa mengungkapkan,
membentuk, dan menandai realitas budaya penuturnya. Artinya
bahwa bahasa tidaklah berkembang dalam ruang hampa. Bahasa
adalah bagian dari suatu kebudayaan dan menjadi bagian terpenting
dalam komunikasi masyarakatnya. Bahasa adalah salah satu unsur
dari budaya sekaligus menjadi pusat dalam jalinan kerja antarunsur
tersebut.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup
bermasyarakat. Dalam perkembangannya, perilaku dan bicaranya
pun terpola, sehingga memudahkan antaranggota masyarakat untuk
menjalinan komunikasi dan interaksi sosialnya. Bila pola perilaku,
pola wicara, dalam berpikir, dan berperasaan mencapai titik kesera-
gaman, sehingga bisa dibedakan dengan pola masyarakat lain, maka
jadilah itu sebagai suatu budaya.
Whorf sebagai pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis
mengemukakan beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu
bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa
yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya
menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang
dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat
memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya
1
saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai
berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan
nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru
dipetik, sampai yang telah kering.
Dalam suatu pertemuan, bahasa yang digunakan oleh setiap
budaya tidak selalu mempunyai arti yang sama. Contoh kasus,
penggunaan kata “Ya” oleh orang Amerika dan Jepang. Dalam
kebudayaan Amerika, kata “Ya” adalah tanda menyetujui atau
menerima pernyataan sebelumnya. Sebaliknya kata “Ya” yang
diucapkan oleh orang Jepang, tidak berarti bahwa mereka setuju
dengan lawan bicara, tetapi sekedar menunjukkan bahwa mereka
mengerti apa yang dimaksudkan oleh pembicara.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh benturan budaya
dalam bahasa. Penggunaan bahasa juga mencerminkan gambaran
diri setiap budaya. Orang Amerika menggunakan kata dan kalimat
langsung untuk mencapai kesimpulan dengan cepat. Situasi ini tidak
akan cocok bagi para eksekutif Jepang dan Arab, barangkali juga
Indonesia termasuk di dalamnya karena nilai yang mereka anut
adalah keselarasan kelompok dan hubungan jangka panjang.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah-masalah
budaya dalam bahasa dengan mengacu kepada aspek-aspek
penggunaan bahasa oleh penuturnya sebagai manifestasi dari
konstruksi budaya yang melatarinya. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan
manusia. Pentingnya bahasa itu kadang-kadang kurang dipahami
oleh pemakainya karena mereka menggunakannya sehani-hani
seakan-akan bahasa itu adalah suatu hal yang biasa, seperti halnya,
manusia harus bernafas, berjalan, dan sebagainya (Bloomfield,
2
terjemahan Sutikno, 1995: 1). Padahal, bahasa mempunyai pengaruh
yang luar biasa, dan bahasa merupakan salah satu pembenda yang
sangat penting antara manusia dengan binatang. Kalau tidak ada
bahasa tentu manusia tidak dapat mengeksprsikan ide-ide yang ada
dalam pikirannya termasuk mengungkapkan budaya yang ada dalam
masyarakatnya.
Sesuai dengan topik bahasan kami, yaitu masalah badaya
dalam bahasa, kami mencoba memahaminya dari dua sudut
pandang,
Pertama, ciri-ciri budaya suatu masyarakat yang dapat
diketahui dari bahasa yang digunakan. Dalam hal ini kami mencoba
mamahami budaya seseorang atau kelompok berdasarkan bahasa
yang digunakannya.
Kedua, kesalahpahaman yang terjadi dalam memahami bahasa
yang digunakan seseorang karena perbedaan budaya yang
mendengar atau membaca. Sebagaimana diketahui, di samping
bahasa itu milik umum di dalam masyarakat, bahasa merupakan milik
pribadi seseorang. Bahasa merupakan tempat pelarian pada waktu
kesunyian, bila hati bertempur melawan kehidupan, baik di dalam
manusia itu sendiri maupun kehidupan sekelilingnya, bahkan
kehidupan yang mungkin hanya tampak di dalam angan-angannya
saja; dan pertarungan atau penjelajahan itu diselesaikan dan
dituangkan di dalam monolog seorang penyair atau di dalam buku
harian seorang pemikir.
B. Kebudayaan
3
Sebagai ilustrasi, bagaimana penggunaan wacana kebudayaan
untuk membandingkan dua budaya yang berbeda, bisa diperhatikan
dua wacana berikut ini.
4
Wacana budaya A:
1. Setiap orang dapat mengatakan sesuatu pada seseorang
seperti ini:
-- “Saya kira ini.”
-- “Saya kira bukan ini.”
2. Rasanya baik mengatakan apa yang saya pikirkan kepada
seseorang.
3. Rasanya baik mengatakan apa yang saya rasakan kepada
seseorang.
Wacana budaya B:
4.Saya tidak dapat mengatakan sesuatu pada seseorang seperti
ini,
-- “Saya kira ini.”
-- “Saya kira bukan ini.”
5. Rasanya baik tidak mengatakan apa yang saya pikirkan.
6. Saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan.
Dari wacana yang diteliti Wierzbicka (1996b) tersebut, ternyata
wacana 1, 2, 3 merupakan representasi dari norma budaya Amerika.
Wacana 1 menyatakan kebebasan dalam mengemukakan pendapat;
sedangkan wacana 2 dan 3 menjelaskan nilai budaya verbalisasi dan
ekspresi terbuka dan jujur. Sementara itu, wacana 4, 5, 6 merupakan
representasi dari norma budaya Jepang. Bertolak belakang dengan
norma budaya Amerika, orang-orang Jepang di didik untuk mengerti
perasaan, keinginan, dan kebutuhan orang lain tanpa komunikasi
verbal. “Lain ladang lain belalang,lain lubuk lain ikannya.”
Dengan mengacu pada kedua contoh wacana budaya di atas,
barangkali kita bisa menjelaskan apa itu budaya. Budaya atau
5
kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi
kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya
kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai "mekanisme
kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz,
1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (Keesing &
Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan
serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-
rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-
model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley,
1972).
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini
akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti
serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta
menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang
buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau
kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu
diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral
tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem
etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).
Implikasi dari melihat kebudayaan sebagai pengetahuan
manusia adalah, bahwa kelakuan dan hasil kelakuan (yang terwujud
dalam bentuk benda-benda kebudayaan) tidak dapat digolongkan
sebagai kebudayaan. Dalam kenyataannya, perbedaan ini dapat diuji
kalau kita melihat bahwa kebudayaan itu adalah sebagai satuan ide
yang tidak dapat di-observasi karena adanya di dalam kepala
6
manusia, sedangkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan adalah
satuan gejala yang dapat di-observasi karena terwujud dalam
berbagai tindakan manusia. Lebih lanjut, kebudayaan merupakan
seperangkat ciri-ciri yang dipunyai oleh para anggota masyarakat,
sedangkan kelakuan merupakan seperangkat ciri-ciri yang ada pada
masyarakat karena kelakuan terwujud dalam berbagai interaksi
sosial yang melibatkan para warga masyarakat, baik secara sebagian
maupun secara keseluruhan.
C. Pola Budaya dalam Bahasa
Bahasa merupakan wahana budaya. Sebagai wahana budaya,
bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa
adalah cermin budaya, maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari
unsur-unsur budaya lain di masyarakat itu. Oleh karena itu, jika ingin
mengetahui unsur-unsur budaya suatu masyarakat secara
keseluruhan, orang harus mempelajari bahasa masyarakat yang
bersangkutan sebagai mediumnya.
Bahasa Inggris, misalnya mempunyai beragam perbedaan
sesuai subbudaya yang dikarenakan perbedaan wilayah
penggunanya. Oleh karena itu, ada bahasa Inggris-British, Inggris-
Amerika, Inggris-Australia, dan seterusnya. Selanjutnya bahasa
Inggris-Amerika pun dapat dipilah lagi, untuk Amerika bagian barat,
tengah, selatan, utara, dll. Perbedaan soial dan level pendidikan juga
merupakan variasi subbudaya. Sebagian besar variasi budaya tidak
boleh diabaikan bila mereka akan mempelajari bahasa Inggris.
Misalnya budaya Spanyol, Perancis, Arab, Cina, Rusia, dll.
Di samping variasi kelompok, individu sebagai anggota budaya
juga turut pula mendukung terhadap seluruh atau sebagian dari pola
7
budaya. Dan sebaliknya, budaya juga mempengaruhi individu secara
sebagian maupun keseluruhan. Bisa saja individu menolak pola
budaya sebagai cara menegaskan individualitasnya.
D. Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya
Indonesia
Masalah silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa
dari konteks budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani
masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup dalam keragaman.
Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik yang
harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan
masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam
tataran satu bahasa nasional disinergikan dengan kepentingan
sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.
Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah
sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan
manusia dan kelompok yang diawali dengan sistem budaya
khusnudzan (sebagai dataran budaya tinggi). Yang dimaksud adalah
pemahaman budaya sebagai rujukan dari cara bersikap dan
bertindak (code of conduct).
Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman
budaya sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia
terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi
sosial. Pokok-pokok yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan
mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial
yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-
masing sub entitas budaya itu mewarisi “pikiran, perasaan, makna ,
8
tanda budaya dan simbol-simbol” yang muncul dalam tuturan
berbahasa Indonesia. Kata “Assalamu’alaikum
Warrohmatullahiwabarokatuh” memang berasal dari bahasa Arab,
karena kata ini dibawa serta oleh ajaran agama Islam. Tetapi kata ini
telah identik dengan pola perilaku bangsa Indonesia dan bahasa
Indonesia. Untuk memahami dan menggunakan kata ini tidak
sekedar dihafal dan dilihat artinya dalam kamus yang sementara
diartikan semacam “salam” kepada orang. Padahal menurut
pemahaman masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim, kata ini
memiliki makna yang lebih dalam yaitu semacam doa serta
penggunaan nama Tuhan, sehingga sebelum diucapkan perlu
pemahaman tentang tanda budaya kehidupan Muslim.
Demikian juga misalnya sering kita dengar kata “Mendhem Jero
Mikul Dhuwur” yang sering digunakan di era orde baru untuk konsep
“tenggang rasa terhadap perasaan orang lain, terutama
orang/generasi tua”, sudah berbeda artinya ketika kata ini digunakan
dalam kalangan sistem tanda budaya Jawa. Oleh sebab itulah untuk
memahami sistem tanda budaya dalam pendekatan silang budaya,
khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan
sikap yang terbuka (open-minded) serta tidak ada penghalang
komunikasi (communication barriers), baik dalam tindak tutur
maupun dalam sikap bahasa. Kadang-kadang kecurigaan menjadikan
“keengganan” berbahasa, karena hal inilah yang sering terjadi dalam
suatu proses asimilasi. Kecurigaan merupakan persoalan psikologis
sebagai akibat sifat stereotipe. Orang mungkin menyangka bahwa
suku Jawa sangat identik dengan feodalisme mengingat sistem
bahasanya yang berjenjang-jenjang, berputar-putar dan penuh makna
konotatif. Padahal ini sebagai salah satu gambaran kurang
9
dipahaminya sosiokultural Jawa, yang sesungguhnya memiliki tiga
bentuk masyarakat secara sosiokultural yaitu Keraton, Pesantren dan
Pedesaan, atau Pesisir, dan Pedalaman, sehingga memerlukan
asimilasi untuk menghindari stereotipe. Asimilasi sebagai salah satu
bentuk proses-proses sosial yang erat hubungannya dengan
pertemuan dua kebudayaan atau lebih.
Pendekatan silang budaya dalam belajar bahasa Indonesia
memerlukan asimilasi sosio-struktural atau sharing their experience.
Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia
merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang
dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan
demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan
pada pemilikan (to have). Apabila sikap demikian ini menjadi suatu
mentalitas dalam kalangan trend setters dalam masyarakat Indonesia
dapat digambarkan dampak selanjutnya secara sosial. Pencitraan
budaya Indonesia.
Penutur Bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia dalam arti
sesungguhnya. Para penutur bahasa Indonesia adalah suku-suku
bangsa di Indonesia yang dipersatukan oleh semangat “nation state”,
sebuah gambaran imajinatif, yang senyatanya adalah orang Jawa
berbicara bahasa Indonesia, orang Sunda berbicara bahasa
Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia. Akar
10
Jati diri Masyarakat
Citra DiriSistem nilai
Artefak
Sistem Sosial
Belajar Bahasa
Kosa kata
to have
semua ini adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai lingua franca
dan semangat nasionalisme menghadapi kolonial.
Bahasa Indonesia dalam tata kebudayaan Indonesia adalah
sumber pertama sebuah pandangan yang memungkinkan seseorang
menangkap gejala ontologis. Masyarakat penutur menangkap
kesadaran berbahasa nasional dilakukan dengan sadar dalam sebuah
keberaturan dan kebermaknaan (kosmologis). Dengan konsep
kosmologis bahasa Indonesia dalam percaturan kebudayaan
Indonesia ini, maka dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan
pendekatan silang budaya akan menjadikan kebudayaan sebagai
sistem realitas (system of reality) dan sistem makna (system of
meaning). Dengan meminjam istilah yang pernah ditulis oleh Dr.
Ignas Kleden, bahwa bahasa Indonesia memiliki “kedekatan saudara”
dengan “Eufemisme Bahasa, Konsensus Sosial dan Kreativitas Kata”.
Rasa kata dalam bahasa Indonesia (maaf: mungkin bagi penutur dari
Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep kebudayaan
Jawa berkenaan dengan konsep “ adi luhung” tercermin suatu nilai
bahwa pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus
digunakan untuk mengganti ungkapan yang terang atau kasar. Sudah
lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan
“Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda” dibandingkan dengan “kau
atau kamu” sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan “Bung”
cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat
nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada
kecenderungan di kalangan anak muda lebih suka menggunakan
bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata “ gue (saya)
dan lu/elu “.
11
E. Masalah dalam Memahami Bahasa Karena Pengaruh
Budaya
1. Masalah dalam bahasa verbal
Kenyataan menunjukkan bahwa budaya sangat mempengaruhi
gaya berbahasa seseorang (Levine dan Adelman, 1998: 65-66). Hal
ini kadang-kadang menyebabkan salah pengertian bagi yang
mendengarnya. Misalnya, orang Itali, pada umumnya, sarigat
bersemangat (high involvement) kalau berbicara tentang politik
tetapi orang Amerika tidak (high considerateness). Pada suatu kali,
orang Itali berkata dengan bersemangat tentang masalah politik
dengan orang Amerika dan mengharapkan orang Amerika melibatkan
diri dalam percakapan tersebut. Orang Amerika tidak meresponnya
seperti yang diharapkan oleh orang Itali. Akibatnya orang Itali
merasa tersinggung karena merasa tidak dihargai oleh lawan
bicaranya orang Amerika, dengan mengatakan “well, everyone is
entitled to an opinion, I accept that your opinion is different than
mine”. Orang Itali kesal karena tidak mendapat respon yang
diharapkan dan berkata “is it all you have to say about it?”
Apa yang dapat dipelajari dan masalah di atas adalah terdapat
pengaruh budaya dalam bahasa dan cara penggunaan bahasa
seseorang. Dalam hal di atas sebenarnya tidak ada masalah kalau
orang Itali sebelumnya memahami bahwa masalah politik bukanlan
masalah yang hangat dibicarakan bagi umumnya orang Amerika dan
sebaliknya kalau orang Amerika mengetahui bahwa masalah politik
merupakan topik yang menarik bagi umumnya orang Itali, tentu dia
akan meresponnya minimal untuk tidak membuat orang Itali
tersinggung.
12
Masalah high involvement dan high considerateness tidak mesti
melambangkan budaya suatu negara. Masyarakat tertentu dalam
suatu negara mempunyai pola high involvement, sedangkan
masyarakat yang lain dalam negara yang sama mempunyai pola high
considerateness. Orang New York di Amerika terkenal dengan high
involvement, sedangkan orang California terkenal dengan high
considerateness. Ketika terjadi percakapan di antara dua masyarakat
ini, orang New York menyatakan bahwa orang California nampaknya
lamban, kurang cerdas, dan tidak responsive, sementara orang
California mengatakan bahwa orang New York terlalu agresif dan
dominatif. Hal yang sama juga sering terjadi di Indonesia. Misalnya,
sering terjadi kesalahpahaman antara teman-teman dari suku batak
ketika berkomunikasi dengan teman-teman dari suku Sunda, dan
suku Bugis dengan suku Madura, dan sebagainya.
Di samping pola high involvement dan high considerateness,
ada lagi pembagian budaya yang lain yang dikemukakan oleh Levine
dan Alderman. Ada masyarakat yang menganggap cara bicara
langsung sebagai cara yang bagus dan ada masyarakat yang
menganggap bahwa cara bicara yang tidak langsung sebagai cara
yang baik dalam berkomunikasi. Orang Amerika menganggap gaya
bicara langsung sebagai gaya bicara yang ideal. Sehingga pada
masyarakatnya ditemukan ungkapan-ungkapan: get to the point,
don’t beat aroung the bush, lets get down to business. Orang Jepang,
berbeda dengan orang Amerika, tidak mau mengatakan sesuatu
dengan langsung dan berusaha mencari cara lain. Karena itu, orang
Jepang mempunyai minimal 20 kata untuk menyatakan tidak.
Perkataan I don’t agree with you atau you are wrong dianggap
ungkapan yang tidak sopan bagi budaya Jepang.
13
2. Masalah dalam bahasa Non-verbal
Banyak hal yang diungkapkan dengan bahasa nonverbal yang
sama di semua negara. Persasaan gembira, sedih, dan takut
umumnya diungkapkan dengan cara yang sama oleh masyarakat
dunia. Namun, ditemui perbedaan bahasa nonverbal pada
masyarakat tertentu yang dapat menyebabkan kebingungan dan
salah pengertian. Rasa persahabatan terdapat dimana-mana, tetapi
cara mengungkapkannya berbeda dan masyarakat yang satu dengan
yang lainnya. Pada masyarakat Indonesia, adalah suatu hal yang
biasa kalau sesama laki-laki atau sesama perempuan berpegangan
tangan waktu bejalan. Tetapi hal ini merupakan suatu kelainan pada
masyarakat lain, misalnya, Amerika. Kalau melihat hal ini, orang
Amerika akan Iangsung menyimpulkan bahwa yang berjalan tersebut
adalah pasangan Gay atau Lesbian. Contoh lain adalah penggunaan
telapak tangan ke atas ketika memanggil orang lain. Bagi orang
Amerika ini hal yang normal, tetapi sangat tidak sopan bagi orang
Indonesia. Menyetop taksi dengan tangan kiri adalah hal yang biasa
bagi orang Amerika dan sebagian orang Indonesia sekarang, tetapi
belum berterima bagi orang Timur Tengah dan Sumatera Barat.
Penggunaan tangan dan lengan untuk tujuan komunikasi juga
bervariasi. Isyarat tangan bagi orang Amerika diarahkan pada
aktivitas; bagi orang ltalia berfungsi sebagai ilustrasi dan untuk
menunjukkan (display); bagi orang Yahudi merupakan penekanan;
dan bagi orang Jerman hal itu melukiskan sikap dan komitmen,
Jensen (2006: 266).
14
Ketika orang Amerika menggenggamkan kedua tangannya di
atas kepala, hal itu lazimnya menunjukkan kebanggaan dan
terkadang kesombongan, sebagai tanda kemenangan atas musuh
(seperti yang ditunjukkan oleh petinju). Akan tetapi bagi orang Rusia
hal itu berarti persahabatan. Maka ketika Kruschev mengunjungi
Amerika dan diberitakan lewat foto melakukan isyarat tersebut,
jutaan orang Amerika marah karena menganggapnya sebagai isyarat
arogan atas keyakinan dan keunggulan Komunisme atas Amerika dan
kapitalismenya. Sedangkan di Kolombia isyarat serupa tetapi dengan
tangan yang setingkat dengan wajah berarti “Saya setuju dengan
anda”.
Ketika seorang pria asal Sumatera Barat berada di Beijing, dia
makan pada sebuah rumah makan tradisional. Selesai makan, dia
minta air kepada pelayan untuk mencuci tangan. Oleh karena tidak
bisa berbahasa Cina atau mungkin karena sering makan di restoran
Padang, dia menggunakan isyarat tangan seperti yang biasa
dilakukan kebanyakan orang Indonesia, yaitu merema-remas tangan.
Kemudian pelayan-pelayan itu mangut-manggut dan langsung pergi
ke belakang. Pria ini merasa kesal karena menunggu lama sekali,
padahal cuma minta air kobokan. Tak lama kemudian pelayan itu
datang dengan membawa sebuah nampan besar yang isinya ternyata
kepiting rebus! Kontan saja pria itu kaget dan tidak dapat menahan
tawa. Ternyata pelayan itu salah mengartikan isyarat pria tadi.
Banyak lagi contoh-contoh lain yang hams diwaspadai kalau
berkomunikasi dengan orang lain untuk menghindari salah
pengertian karena faktor budaya.
15
3. Masalah yang timbul karena kesalahan memahami kata
tertentu
Di samping masalah-masalah di atas, pada bagian ini kami
mencoba mengemukakan beberapa kesalahpengertian yang terjadi
pada mayarakat yang berbeda dalam memahami kata yang sama.
- kata boleh dan percuma dalam bahasa melayu
Seoarang perempuan dari Padang ke Singapura menemui
suaminya bersama seorang bayi. Di Singapura dia dikenalkan oleh
suaminya dengan seorang perempuan Melayu yang telah berumur
45 tahun. Si perempuan melayu ini sangat senang dengan bayi
dan malah mau mengadobsi si bayi kalau diizinkan. Perempuan
dari Padang, karena menganggap perempuan Melayu ini masih
produktif, mengatakan: “Tambah sajalah anaknya, Kak’. Orang
Melayu tersebut menjawab: “tidak boleh”. Setelah berpisah
dengan Melayu tersebut, perempuan dari Padang itu menanyakan
pada suaminya kenapa perempuan tidak boleh menambah anak di
Singapura. Suaminya mengatakan bahwa dalam bahasa Melayu,
kata tidak boleh dapat berarti tidak bisa. Jadi, kata tidak boleh
yang diucapkan perempuan melayu itu berarti tidak bisa.
Pada sebuah iklan radio di Malaysia dinyakatan bahwa malam itu
ada pertunjukkan spektakuler di pulau Sentosa, dengan
menampilkan bintang-bintang lawak, penyanyi, dan group band
terkenal. Namun, orang Indonesia tidak berminat pergi kesana
karena di akhir iklannya dinyatakan “masuk percuma”.
- Kata marano dan cilok dalam bahasa Minang
Pada tahun delapan puluhan, ada sebuah bank didirikan di
Padang dengan nama Maranu Bank. Bank ini didirikan pada lokasi
16
yang cukup strategis, yakni, di Jalan Khatib Sulaiman. Namun, bank
ini tidak mendapat tempat di hati masyarakat sehingga tidak
beberapa lama kemudian tidak beraktivitas lagi. Salah satu penyebab
utamanya adalah kata maranu mempunyai makna yang tidak bagus
dalam bahasa Minang. Kata maranu mirip dengan kata marano yang
berarti merana dalam bahasa Minang. Tapi sebaliknya kata maranu
bagi orang Bugis bermakna senang atau gembira.
Seorang pemuda yang berasal dan Riau pernah mengikuti
pertukaran pemuda antar provinsi Riau dan Jawa Barat. Setiap
kelompok terdiri dan 10 orang, lima dan Riau (Pakanbaru) yang tak
asing dengan bahasa Minangnya dan lima dari Jawa Barat. Ketika
mereka baru menyelesaikan tugas di suatu daerah di Jawa Barat,
salah seorang penduduk berteriak, “Cilok!Cilok!” Spontan saja
mereka yang berasal dan Riau mengejar orang yang melintas di
depan rumah. Pemuda itu meminta orang tersebut untuk
mengembalikan barang-barang yang diciloknya secara paksa. Tanpa
disadari terjadilah kesalahpahaman antara pemuda dan orang itu.
Tak lama kemudian datanglah seorang penduduk dengan membawa
mangkok dan meminta cilok seharga Rp2000,- Sang pemuda
terperangah dan meminta maaf kepada orang itu. Dalam bahasa
Minang cilok berarti pencuri, sedangkan dalam bahasa Sunda ciok
adalah sejenis makanan.
- Kata kemplang dalam bahasa Jawa
Iwin, seorang mahasiswa asal Gorontalo baru saja berkunjung
di daerah Lampung. Dia membawa ole-ole berupa makanan khas
daerah Lampung bernama kemplang. Di tempat kostnya dia
menawari Karlina, temannya yang orang Jawa.
17
Karlina : “Hei kapan datang dari Lampung?”
Iwin : “Tadi malam. Oh, iya, mau ole-ole nggak?”
Karlina : “Mau, dong. Kamu bawa ole-ole apa?”
Iwin : “Kamu mau kemplang?”
Karlina : “Nggak. Enak aja. Emang saya salah apa mau
dikemplang
segala?”
sekian dan terima kasih
Sumber Bacaan:
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1.
Condon, John C. dan Fathi Yousef. An introduction to Intercultural Communication. New York: Mcmillan. 1985.
Edward, John. 1985. language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language: an Interdisciplinary social Science Approach to Language in Society. Newbury House Publisher
Gee, James P. An Introduction to Human Language: Fundamental Concepts in Linguistics. New Jersey: Prentice Hall. 1993.
Goddard, C & A. Wierzbicka. 1996. “Discourse and Culture”. Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.
Goody, Esther N. (ed.). 2985. Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction. Combridge
Gordon, George N. 1965. The Languages of Communication. New York: Hasting House
18
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.
Kramsch, Clam. Language and Culture. Oxford University Press. 1998.
Levine, Deena R dan Mara B. Adelman. Beyond Language: Cross-Cultural Communication. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall Regents. 1998.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pen gantar. Bandung: Rosdakarya. 2007.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.
19