makalah pbl blok 27. vita
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
Tindakan Profesionalisme Kedokteran
Vita Paramitha Teken
102012107
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana 2012
Jalan Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11510
Email : [email protected]
Pendahuluan
Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan.
Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun
mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak
akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa
dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan
dilakukan dokter terhadapnya.
Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah
perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan
sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan
tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan
etika itu. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran
Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai
kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang
penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang
mungkin terjadi, alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya. Prinsip autonomy
berkembang di mana seseorang bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya terhadap
dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain.
Skenario 5
Dr. P adalah seorang dokter spesialis obgin yang berpengalaman. Beliau baru saja
akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit, ketika seorang wanita muda
datang dengan ditemani oleh ibunya untuk berobat. Si pasien lalu menceritakan keluhannya
itu yaitu mengalami perdarahan pervaginam dan sangat kesakitan. Dr.P kemudian melakukan
pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba
melakukan aborsi. Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada
suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai
keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudian Dr.Q datang untuk menggantikan dr.P,
yang langsung pulang tanpa berbicara kepada pasien.
Hipotesis
Dr. P melakukan pelanggaran terhadap etika, disiplin, dan hukum kedokteran.
Pembahasan
Aspek Medis
Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah abortus, yaitu menggugurkan kandungan,
yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi
bahwa aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat
janin kurang dari 1000 gram.1
Secara garis besar, Aborsi dapat kita bagi menjadi:
1. Abortus spontan adalah keadaan di mana gugurnya kandungan seorang wanita yang
dapat disebabkan karena adanya kelainan dari mudigah atau fetus maupun adanya
penyakit pada ibu. Diperkirakan antara 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan
abortus secara spontan, dan secara yuridis tidak membawa implikasi apa-apa.
2. Aborsi Provokatus (sengaja) masih terbagi dua bagian kategori besar yakni :
a) Abortus provocatus medicinalis atau abortus theurapeticus
Yaitu penghentian kehamilan dengan tujuan agar kesehatan si-ibu baik agar
nyawanya dapat diselamatkan. Abortus yang dilakukan atas dasar pengobatan
(indikasi medis), biasanya baru dikerjakan bila kehamilan mengganggu kesehatan
atau membahayakan nyawa si ibu, misalnya bila si ibu menderita kanker atau
penyakit lain yang akan mendatangkan bahaya maut bila kehamilan tidak dihentikan.
Dengan adanya kemajuan di dalam dunia kedokteran, khususnya kemajuan
pengobatan maka kriteria penyakit yang membahayakan atau dapat menyebabkan
kematian si ibu akan selalu mengalami perubahan, hal mana tentunya akan memberi
pengaruh didalam penyidikan khususnya perundang-undangan pada umumnya,
demikian pula dengan definisi sehat menurut WHO dimana selain sehat dalam arti
jasmani/fisik juga termasuk sehat dalam arti kata rohani dan keadaan sosial-ekonomi
dari si ibu. Dengan demikian didalam menghadapi kasus semacam ini penyidik harus
memahami permasalahan, bila perlu penyidik meminta bantuan kepada organisasi
proteksi yang bersangkutan.1
b) Abortus provocatus criminalis
Yaitu tindakan abortus yang tidak mempunyai alasan medis yang dapat
dipertanggungjawabkan atau tanpa mempunyai arti medis yang bermakna. Jelas
tindakan penguguran kandungan di sini semata-mata untuk tujuan yang tidak baik dan
melawan hukum. Tindakan abortus tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis,
dan dilakukan hanya untuk kepentingan si-pelaku, walaupun ada kepentingan juga
dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan jenis ini sulit untuk melacaknya
oleh karena kedua belah pihak menginginkan agar abortus dapat terlaksana dengan
baik (crime without victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi yang
dikandung).
Indikasi medis melakukan tindakan abortus :
Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus
menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion)
Mola Hidatidosa atau hidramnion akut
Kelainan bawaan (trisomi 13,18)
Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis
Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan
adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya
pada tubuh seperti kanker payudara
Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi
Telah berulang kali mengalami operasi caesar
Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung
organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif,
toksemia gravidarum yang berat
Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai
komplikasi vaskuler, hipertiroid, dll
Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat
Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti
ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan psikiater.
Resiko Aborsi
Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:2
A. Resiko kesehatan dan keselamatan fisik
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang
akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang
ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
Kematian mendadak karena pendarahan hebat
Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya
Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
Kanker hati (Liver Cancer)
Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)Infeksi
rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).
B. Resiko kesehatan mental
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan
keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat
terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi
sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS, misalnya depresi,
frustasi, ingin bunuh diri dsb. Para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan
bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.2
Aspek Etika
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis
yang dilakukan terhadap pasien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada
niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang
dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk
menyembuhkan atau menolong pasien. Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari
seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik
adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983.3
Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International
Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-
undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia
yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,
kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54
Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu juga
sebaliknya. Pada kasus abortus provokatus kode etik yang dilanggar berupa KODEKI Bab II
butir 7d yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani”.3
Contoh pelanggaran etik murni antara lain menarik imbalan yang tidak wajar atau
menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi, mengambil alih pasien
tanpa persetujuan sejawatnya, memuji diri sendiri di depan pasien, tidak pernah mengikuti
pendidikan kedokteran yang berkesinambungan, dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Contoh pelanggaran etikolegal adalah pelayanan dokter di bawah standar, menerbitkan surat
keterangan palsu, membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter, abortus provokatus.
Aspek Hukum
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu. Aspek etik seringkali tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat
menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap
etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai
pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari semakin
tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya
dan lebih asertif, semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai
hasil dari luasnya arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan
kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna,
dan provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri. Praktek kedokteran
berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau
benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Akan tetapi
banyak sekali kelalaian dalam standar profesional yang berlaku umum atau sebuah proses
dimana terjadi kesalahan dalam prosedur dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan
dokter, kesalahan ini dapat berupa kesalahan diagnosa, kesalahan pemberian terapi, maupun
kesalahan dalam hal penanganan pasien dokter, serta pelanggaran atas tugas yang
menyebabkan seseorang menderita kerugian, akan tetapi bukan hanya dirugikan secara
materil, namun yang lebih utama adalah kerugian pada kejiwaan dan mental pasien serta
keluarganya. Hal ini dilakukan oleh seorang profesional ataupun bawahannya, agen atas
nama klien atau pasien yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien. Hal seperti ini
kita sebut sebagai Malpraktik.4
Abortus buatan legal, yaitu abortus buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, yakni harus
memenuhi hal sebagai berikut :4
(1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,
dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan
dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu.
(2) a. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan
janinnya terancam bahaya maut
b. Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli
kandungan seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
c. Hak utama untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali
dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat
diminta dari semua atau keluarganya.
d. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara lain
mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,tenaga
kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk persetujuan, sarana kesehatan
yang ditunjuk.
Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu :
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi
adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan
dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi)
Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.5
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan
etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban
etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan
untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.5
Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan
medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab
orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien
dalam pemberian inform consent adalah: 5
Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik
apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut
dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan
biaya pengobatan.
Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan
oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia
berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent.
Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi
beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.
Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu :5
a. Diagnosis
b. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan. Penjelasan
seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan
oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang
dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan kematangannya, serta
situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang
dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai
pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan
pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter.
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap
adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan
dokter yang merawatnya.
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan
Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan,
segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :5
1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat.
Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis
dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan
harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan
sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga.
Tujuan informed Consent
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui
atau disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP.
Peristiwa tersebut bisa ”risk of treatment” ataupun ”error judgement”.6
Bentuk Informed Consent
1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.
3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut : 6
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter
tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial
dengan yang dilakukan oleh dokter.
Malpraktek Medik
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan
kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang
dengan sikap hati-hatu melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian
diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3
aspek/hal: 7
1. Intensional Professional Misconduct : Bahwa seorang dokter atau dokter gigi
dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan
sengaja. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu
atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan
pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa
persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur
dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis
(illegal).
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang
karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien.
Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik,
namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat
dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis
kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya
melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu
tapi tidak sempurna.
3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis
tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter
cardiofaskuler melakukan operasi tulang.
Informed Consent segi Hukum dan Etika
Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu
filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal
informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua
disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi
sosial dan intelektual yang berbeda.7
Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada
pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat
dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan
atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana
jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan
medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya.
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara
otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua
pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien
mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter,
yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak
melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang dari prinsip
menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak
untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini
sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan.
Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hal ini.
Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di
dalam informed concent : 7
1. Autonomy
Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat
setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran
rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti
bahwa si pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak
secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh
yang bisa menghilangkan kebebasannya.
2. Non-maleficence
Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau
cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya
tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang
memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain.
Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal
yang diinginkan masyarakat secara common sense.
3. Beneficence
Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan,
benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan
menghilangkan kecederaan dari pasien.
4. Justice
Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak
bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan
bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak
terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya.
Kesimpulan
Pada kasus di atas, pasien wanita muda tersebut melanggar KUHP Bab XIX pasal 346
yang berbunyi “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun” sesuai dengan Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Dalam masalah tindakan medis dilatasi kuretase yang dilakukan oleh
dokter, maka dokter tidak dianggap bersalah sebab sesuai dengan Undang-undang RI No. 23
Tahun 1992 pasal 15 ayat 3 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa
dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Permasalahan tidak adanya persetujuan / inform
consent, dokter juga tidak dapat dinyatakan bersalah terkait pasal 11 BAB IV Peraturan
Menteri Kesehatan No.585 yang menyatakan Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau
pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam
keadaan gawat atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan
persetujuan dari siapapun.
Namun, dalam segi etika dan disiplin kedokteran dokter P dianggap tidak profesional
karena menyalahi ikatan antara dokter-pasien dengan tidak melanjutkan pemberian pelayanan
dan keterangan yang cukup baik kepada pasien maupun kepada dokter pengganti yang
merupakan pelanggaran kewajiban dokter sehingga tidak terpenuhinya hak-hak pasien.
Daftar Pustaka
1. Nasution BJ.Hukum kesehatan pertanggungjawaban dokter.Jakarta:Rineka
Cipta;2005.h.11-35
2. Chrisdiono M dan Achadiat. Dinamika etika dan hukum kedokteran dalam tantangan
zaman.Jakarta:EGC;2006.h.11-31.
3. Amir A. Bunga rampai hukum kedokteran.Jakarta:Widya Medika;1997.h.30-4.
4. Gunawandi J. Persetujuan tindakan medis ( informed consent).Pasien, Dokter, dan
Hukum.Jakarta: FK UI; 2007.h.2, 24-6.
5. Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien.
Jakarta: Diadit Media; 2005.h.10.
6. Hanafiah JM. Etika kedokteran dan hukum kesehatan edisi 4.Jakarta: EGC;
2008.h.25-30
7. Prodjodikoro W.Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia.Bandung: Refika
Aditama; 2008.h.21-9