makalah wani ret detach
DESCRIPTION
mataTRANSCRIPT
Makalah
ABLASIO RETINA(RETINAL DETACHMENT)
Disusun Oleh :
NURUL SYAZWANI BINTI RAMLI
NIM : 080100315
KELOMPOK : K5
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia- Nya yang memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bobby
Ramses E. Sitepu, SpM, dr. Fitria Aidy, Mked (Oph), SpH dan dr Vanda
Virgayanti, SpM di atas bimbingan dan tunjuk ajar beliau dalam mendidik saya.
Tidak dilupakan kepada teman-teman dan kedua ibu bapa saya yang telah
memberikan sokongan dan dukungan.
Judul makalah ini ialah mengenai “Ablasio Retina”. Adapun
tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan ablasio retina hingga penerapannya di
dalam klinis. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan
yang bersifat membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan
manfaat bagi makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Kangar, 30 Maret 2013
Penulis,
(Nurul Syazwani Binti Ramli)
080100315
2
ISI KANDUNGAN
KATA PENGANTAR ............................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................... 5
2.1. Anatomi Retina ............................................................ 5
2.2. Fisiologi Retina ........................................................... 7
2.3. Ablasio Retina……………........................................ 8
2.3.1. Definisi ............................................................. 8
2.3.2. Insidens .............................................................
2.3.3. Epidemiologi……………………......................
8
9
2.3.4. Etiologi ............................................................. 9
2.3.5. Patofisiologi ...................................................... 10
2.3.6. Klasifikasi Ablasio Retina ................................. 12
2.3.7. Gejala Klinis ...................................................... 17
2.3.8. Diagnosis .......................................................... 18
2.3.9. Pemeriksaan ..................................................... 20
2.3.10. Diagnosa Banding ............................................. 20
2.3.11. Penatalaksanaan ................................................ 21
2.3.12. Komplikasi ........................................................ 23
2.3.13. Prognosis ........................................................... 23
BAB III KESIMPULAN ........................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 25
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah “ablasio retina” (retinal detachment) menandakan pemisahan retina
yaitu fotoreseptor dan lapisan bagian dalam, dari epitel pigmen retina
dibawahnya. Terdapat tiga jenis utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi
dan ablasio serosa atau hemoragik.1
Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina
regmatogenosa. Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1
dalam 15.000 populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun
kira-kira 1 diantara 10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira
umur 40-70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5%
kemungkinan resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi
ekstraksi katarak dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian
ablasio hingga 10%.3
1.2. Batasan masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi retina, fisiologi retina,
klasifikasi ablasio retina, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis ablasio retina.
1.3. Tujuan penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami
tentang ablasio retina.
1.4 Metode penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Retina
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan terdiri
atas beberapa lapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bolamata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare,dan
berakhir di tepi ora serrate.
Gambar 2.1.1 Anatomi retina
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
vitreous.
2. Lapisan serabut saraf, merupakan akson-akson sel ganglion menuju saraf ke
arah saraf optic.
3. Lapisan sel ganglion, merupakan badan sel dari neuron kedua.
4. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
5
5. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller.
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan tempat sinaps sel fotoresptor dengan sel
bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan inti luar, merupakan lapisan inti sel kerucut dan sel batang.
8. Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
9. Lapisan fotoreseptor, terdiri dari sel batang dan kerucut.
10. Lapisan epitel pigmen retina, merupakan batas antara retina dan koroid
Gambar 2.1.2 Lapisan Retina
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika,
arteriretina sentral masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan
nutrisidalam retina. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat
nutrisi dari koroid.
Gambar 2.1.3 Retina Normal
6
2.2. Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata
harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan
sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan
fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls
saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan
akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk
ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian
besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1
antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf keluar, dan hal ini
menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama digunakan untuk
penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina
lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama
untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang
avaskuler pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi
kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut
mengandung rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif
yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal.
Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami
isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran
yang separuhnya terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling
luar fotoreseptor.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.
Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa
abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan.
Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, jika
senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan
malam oleh fotoreseptor batang.
7
2.3. Ablasio Retina (Retinal Detachment)
2.3.1. Definisi
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan
epitel berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina
yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen
pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas
fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne,
2002).
Gambar 2.3.1.1.Ablasio Retina
2.3.2. Insidensi
Bisanya terjadi pada usia 50 tahun dan pada penderita dengan myopi.
Rhegmatogenous detachment jarang terjadi pada kaum muda kecuali karena
trauma. Angka kejadiannya meningkat pada dekade ke – 4 dan puncaknya pada
dekade 5 dan ke – 6. Tiga faktor yang potensial menyebabkan terjadinya retinal
detachment adalah : Aphakia, degenerasi dari retina dan vitreuos dan myopi.
Perpindahan human lens (dihasilkan dalam apakia) dapat menjadikan
vitreous berpindah ke depan. Dalam beberapa kasus myopi, panjang
anteroposterior dari mata membesar, ukuran dari posterior chamber meningkat.
8
2.3.3. Epidemiologi
Insiden ablasio retina di Amerika Serikat adalah 1:15.000 populasi
dengan prevalensi 0,3%. Sumber lain menyatakan bahwa insidens ablasio retina di
Amerika Serikat adalah 12,5:100.000 kasus per tahun atau sekitar 28.000 kasus
per tahun.
Secara internasional, faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah
miopia 40-50%, operasi katarak (afakia, pseudofakia) 30-40%, dan trauma okuler
10-20%. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70 tahun, tetapi bisa
terjadi pada anak-anak dan remaja lebih banyak karena trauma.
Ablasio retina regmatogenosa merupakan ablasio retina yang paling sering
terjadi. Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina
regmatogenosa. Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien yang:
1. Memiliki miopia tinggi
2. Telah menjalani operasi katarak, terutama jika operasi ini mengalami
komplikasi kehilangan vitreus
3. Pernah mengalami ablasio retina pada mata kontralateral
4. Baru mengalami trauma mata berat.
2.3.4. Etiologi
1. Robekan retina
2. Tarikan dari jaringan di badan kaca
3. Desakan tumor, cairan, nanah ataupun darah.
2.3.5. Patofisiologi
9
Dalam keadaan normal terdapat gaya yang menjaga agar bagian sensoris
tetap melekat pada epitel berpigmen. Gaya ini dibentuk oleh tekanan negatif pada
ruang subretina sebagai hasil metabolic pump metabolik berpigmendan tekanan
onkotik yang realtif lebih tinggi pada koroid, serta adanya lem yang terbuat dari
mukopolisakarida yang melekatkan epitel berpigmen dan sensoris retina (sel
batang dan kerucut).
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata
yang matur dapat berpisah :
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami
likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio
progresif (ablasio regmatogenosa).
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina,
misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio
retina traksional).
3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan
subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada
kehamilan (ablasio retina eksudatif)
Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya
robekan retina atau lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan
pada mata afakia. Perubahan yang merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi
retina perifer (degenerasi kisi-kisi/lattice degeration), pencairan sebagian badan
kaca yang tetap melekat pada daerah retina tertentu, cedera, dan sebagainya.
Perubahan degeneratif retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di
koroid. Sklerosis dan sumbatan pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan
berkurangnya perdarahan ke retina. Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia
karena teregangnya dan menipisnya pembuluh darah retina. Perubahan ini
terutama terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat terjadinya 90% robekan retina.
10
Terjadinya degenerasi retina pada mata miopia 10 sampai 15 tahun lebih awal
daripada mata emetropia. Ablasi retina delapan kali lebih sering terjadi pada mata
miopia daripada mata emetropia atau hiperopia. Ablasi retina terjadi sampai 4%
dari semua mata afakia, yang berarti 100 kali lebih sering daripada mata fakia.
Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata miopia satu
dasawarsa lebih awal daripada mata normal. Depolimerisasi menyebabkan
penurunan daya ikat air dari asam hialuron sehingga kerangka badan kaca
mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan sebagian dan ablasi badan kaca
posterior.
Oleh karenanya badan kaca kehilangan konsistensi dan struktur yang
mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan retina pada epitel pigmen
lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik perlekatan vireoretina.
Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah sekeliling radang
atau daerah sklerosis degeneratif.
Sesudah ekstraksi katarak intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan
mata bahkan akan lebih kuat lagi. Sekali terjadi robekan retina, cairan akan
menyusup di bawah retina sehingga neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen
dan koroid.
2.3.6. Klasifikasi
11
Terdapat tiga jenis utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi dan
ablasio serosa atau hemoragik.
1. Ablasio Retina Regmatogenosa
Merupakan bentuk tersering dari ablasio retina. Pada ablasio retina
regmatogenosa dimana ablasi terjadi akibat adanya robekan di retina sehingga
cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi
pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui
robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
Mata yang berisiko untuk terjadinya ablasi retina adalah mata dengan
myopia tinggi, pascaretinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di
bagian perifer, 50% ablasi yang timbul pada afakia.
Ablasio retina akan memberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan
yang kadang-kadang terlihat sebagai tirai yang menutup, terdapatnya ada riwayat
pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan.
Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenis : Robekan tapal
kuda sering terjadi pada kuadran superotemporal, lubang atrofi di kuadran
temporal,dan dialysis retina di kuadran inferotemporal. Apabila terdapat robekan
retina multipel maka defek biasanya terletak 90 satu sama lain.
12
Gambar 2.3.6.1.. Robekan tapal kuda
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna
pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina
berwarna merah.
Gambar 2.3.6.2.
2. Ablasio Retina Traksi
Merupakan jenis tersering kedua, dan terutama disebabkan oleh retinopati
diabetes proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, retinopati pada prematuritas,
atau trauma mata. Ablasio retina karena traksi khas memiliki permukaan yang
lebih konkaf dan cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora seratta.
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut pada badan
13
kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina, dan penglihatan turun tanpa rasa
sakit.
Gambar 2.3.6.3.. Ablasio retina traksi
3. Ablasio Retina Serosa Atau Hemoragik
Ablasio ini adalah hasil dari penimbunan cairan dibawah retina sensorik,
dan terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit
degenerative, inflamasi, dan infeksi yang terbatas pada macula termasuk
neovaskularisasi subretina yang disebabkan oleh berbagai macam hal, mungkin
berkaitan dengan ablasio retina jenis ini.
Gambar 2.3.6.4. Ablasio retina serosa
14
Sedangkan menurut penyebabnya maka ablasi retina diklasifikasikan sebagai
berikut:
A. Ablasi primer.
Mata sebelumnya tidak sakit pada suatu waktu timbul ablasi retina.
1. Umur tua Proses sklerosis, menyebabkan retina menjadi degeneratif,
menimbulkan robekan dan ablasi retina pada orang tua dan miopia tinggi,
di ora serata sering menimbulkan degenerasi kistoid yang mudah pecah,
yang juga dapat menimbulkan ablasi retina.
2. Miopia tinggi Miopia tinggi disertai degenerasi retina, menimbulkan
robekan dan menyebabkan ablasi retina.
3. Trauma Ablasi terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisposisi
untuk terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk
terjadinya ablasi retina pada mata yang berbakat. Mata yang berbakat
untuk terjadinya ablasi retina adalah matadengan miopia tinggi, pasca
retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer, 50
% ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun pertama.
B. Ablasi Sekunder
Disebabkan penyakit lain :
1. Tumor koroid atau retina yang tumbuh ke depan, menyebabkan lepasnya
retina dari lapisan epitel pigmen, kemudian disusul dengan timbulnya
15
eksudasi oleh karena rangsangan, cairan ini mengumpul di dalam celah
potensial, menyebabkan ablasi retina misalnya pada retinablastoma.
2. Transudat, pada hipertensi, retinopati nefritika, coat’s disease.
3. Eksudat, pada koroiditis.
4. Oleh karena retraksi dari jaringan organisasi pada retinitis proliferas akibat
perdarahan di badan kaca atau peradangan dari uvea atau retina yang
masuk ke dalam badan kaca, trauma perforata, dapat menimbulkan
robekan dan disusul dengan ablasi retina. Disini menutup robekan tidak
ada gunanya, oleh karena jaringan fibrotik itu akan menarik lagi dan
menimbulkan robekan baru.
Ablasi retina, biasanya dihubungkan dengan pemisahan retina yang terjadi
karena adanya robekan pada retina. Robekan retina berbentuk ladam kuda sering
terdapat di temporal atas. Cairan badan kaca masuk melalui robekan ini ke dalam
celah potensial yang terletak dimulai dari temporal atas, lambat laun meluas
kebawah oleh karena cairan selalu mencari tempat yang terendah, yang
disebabkan oleh daya tarik bumi.
Ablasi makin lama makin tinggi, karena cairan yang masuk makin lama
makin banyak, juga makin luas dan retinanya menjadi berlipat-lipat untuk
akhirnya seluruh retina terlepas, terkecuali pada ora serata dan papil saraf optik, ia
masih melekat. Keadaan ini dinamakan ablasi total.
16
2.3.7. Gejala Klinis
1. Fotopsia dan floaters
- Floaters (terlihat benda hitam melayang-layang), yang terjadi karena
adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang
lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri. Tibul mendadak dan terlihat
ebagai bercak-bercak besar pada tengah lapang penglihatan
- Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya cahaya di
sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam
keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
2. Penurunan Visus.
Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup tirai yang
semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah lanjut dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan yang lebih berat. Gejala ini dapat terjadi jika
ablasi melibatkan makula dan kadang-kadang benda terlihat seperti
bergetar atau disebut pula metamorphosia.
17
2.3.8. Diagnosis
Tabel 1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina
Regmatogenus Traksi Eksudatif
Riwayat penyakit Afakia, myopia, trauma tumpul, photopsia, floaters, gangguan lapangan pandang yang progresif, dengan keadaan umum baik.
Diabetes, premature,trauma tembus, penyakit sel sabit, oklusi vena.
Factor-faktor sistemik seperti hipertensi maligna, eklampsia, gagal ginjal.
Kerusakan retina Terjadi pada 90-95 % kasus
Kerusakan primer tidak ada
Tidak ada
Perluasan ablasi Meluas dari oral ke discus, batas dan permukaan cembung tergantung gravitasi
Tidak meluas menuju ora, dapat sentral atau perifer
Tergantung volume dan gravitasi, perluasan menuju oral bervariasi, dapat sentral atau perifer
Pergerakan retina Bergelombang atau terlipat
Retina tegang, batas dan permukaan cekung, Meningkat pada titik tarikan
Smoothly elevated bullae, biasanya tanpa lipatan
Bukti kronis Terdapat garis pembatas, makrosis intra retinal, atropik retina
Garis pembatas Tidak ada
18
Pigmen pada vitreous
Terlihat pada 70 % kasus
Terlihat pada kasus trauma
Tidak ada
Perubahan vitreous
Sineretik, PVD, tarikan pada lapisan yang robek
Penarikan vitreoretinal
Tidak ada, kecuali pada uveitis
Cairan sub retinal Jernih Jernih atau tidak ada perpindahan
Dapat keruh dan berpindah secara cepat tergantung pada perubahan posisi kepala.
Massa koroid Tidak ada Tidak ada Bisa ada
Tekanan intraocular
Rendah Normal Bervariasi
Transluminasi Normal Normal Transluminasi terblok apabila ditemukan lesi pigmen koroid
Keaadan yang menyebabkan ablasio
Robeknya retina Retinopati diabetikum proliferative, post traumatis vitreous traction
Uveitis, metastasis tumor, melanoma maligna, retinoblastoma, hemangioma koroid, makulopati eksudatif senilis, ablasi eksudatif post cryotherapi atau dyathermi.
19
2.3.9. Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan lapangan pandang
3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya
trauma.
5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan
vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “tobacco dust”, ini merupakan
patognomonis dari ablasio retina pada 75 % kasus.
6. Periksa tekanan bola mata.
7. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan
berdilatasi)
2.3.10. Diagnosa Banding
1. Retinoschisis degeneratif, yaitu degenerasi peripheral tipikal sering
ditemukan pada orang dewasa, berlanjut dan meninggi 2-3 mm posterior
ke ora serrata. Daerah yang degenerasi tampak adanya gelembung dan
paling mudah diamati adanya depresi skleral. Kavitas kistoid pada lapisan
pleksiform luar mengandung hyalorinidase-mukopolisakarida sensitif.
Komplikasi yang diketahui dari degenerasi kistoid yang tipikal adalah
koalesensi dan ekstensi kavitas dan peningkatan kearah retinoskisis
degenerasi tipikal. Gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada
traksi vitreoretinal. Defek lapangan pandang jarang.
2. Choroidal detachment, gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena
tidak ada traksi viteroretinal. Defek lapangan pandang ada pada mata
dengan detachment choroidal yang luas.
20
2.3.11. Penatalaksanaan
1. Scleral buckling : setelah defek pada retina ditandai pada luar sclera,
cryosurgery dilakukan disekitar lesi. Dilanjutkan dengan memperkirakan
bagian dari dinding bola mata yang retinanya terlepas, lalu dilakukan
fiksasi dengan buckle segmental atau circular band (terlingkari >360
derajat) pada sclera. Keuntungan dari tehnik ini adalah menggunakan
peralatan dasar, waktu rehabilitasi pendek,resiko iatrogenic yang
menyebabkan kekeruhan lensa rendah, mencegah komplikasi intraocular
seperti perdarahan dan inflamasi.
2. Retinopeksi pneumatic : udara dimasukkan ke dalam viterus. Dengan
cara ini retina dapat dilekatkan kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum
atau sesudah penyuntikan gas atau koagulasi dengan laser yang dilakukan
di sekitar defek retina setelah perlekatan retina. Pelepasan dengan
robekan tunggal pada retina di tepi atas fundus (arah jam 10- jam 2)
adalah kondisi yang paling bagus untuk prosedur ini.
Gambar 2.3.10.1. Skleral buckling
21
Gambar 2.3.10.2. Retinopeksi
pneumatic
3. Pars Plana Vitrektomi : dibawah mikroskop, badan vitreus dan semua komponen penarikan epiretinal dan subretinal dikeluarkan. Lalu retina dilekatkan kembali dengan cairan perfluorocarbon. Defek pada retina ditutup dengan endolaser atau aplikasi eksokrio.
Keuntungan PPV:
1. Dapat menentukan lokasi defek secara tepat
2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini
dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
1. Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2. Dapat menyebabkan katarak.
3. Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon oil
4. Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli
anterior yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler.
Gambar 2.3.10.3. Vitrektomi
22
2.3.12. Komplikasi
1. Komplikasi awal setelah pembedahan
a. Peningkatan TIO
b. Glaukoma
c. Infeksi
d. Ablasio koroid
e. Kegagalan pelekatan retina
f. Ablasio retina berulang
2. Komplikasi lanjut
a. Infeksi
b. Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola
mata
c. Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
d. Diplopia
e. Kesalahan refraksi
f. astigmatisme
2.3.13. Prognosis
1. Apabila ablasio retina meliputi daerah macula, kemungkinan
pengembalian penglihatan sangat rendah.
2. Ablasio retina mempunyai risiko berulang.
23
BAB III
KESIMPULAN
Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen
retina (RIDE). keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi
pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya
atau lebih tua.
Ablasio retina terjadi apabila retina terlepas dari tempat perlekatannya. Kejadian
ini serupa dengan wallpaper yang terkelupas dari dinding. Hal ini diawali oleh
robeknya retina yang diikuti masuknya cairan pada robekan tersebut. Cairan
tersebut akan menyusup ke antara retina dan dinding bola mata yang berakibat
terlepasnya retina. Retina yang terlepas ini dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan secara permanen
Menurut perjalanan penyakitnya dibagi menjadi 3 : Ablatio Retina
Regmantogenesa, Ablatio Retina Traksi dan Ablatio Retina Eksudatif.
Prinsip Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan
kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P. Bab 1 : Anatomi dan Embriologi Mata, Retinal
Detachment. Dalam Vaughan GD, Asbury T.
2. American Academy Of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course :
Retina and Vitreuos.Section 12 th. Singapore. American Academy Of
Ophthalmology. 2007. P.7-15, 25
3. Guyton, Arthur C. Textbook of Medical Physiology. 11th edition.2006.
Philadelphia.Elsevier. P. 626-636
4. Gregory Luke Larkin.Retinal Detachment.EMedicine [Online] Available
from : http://www.emedicine.com/emerg/byname/Retinal-
Detachment.htm [Accesed on 28 March 2013]
5. James B.,dkk. Ablasi retina. In: Oftalmologi. 9th ed. Erlangga:Ciracas
Jakarta; 2003: 117-121.
6. Weng Sehu K. R.Lee William. Ophthalmic Pathology an Illustrated Guide
for Clinical. 2nd edition. Blackwel Publishing, USA : 2005.
7. Khaw PT, et all., ABC Of Eyes, Fourth Edition: Retinal Detachment. 4th
ed.2004. London. BMJ. P. 50.
8. Kanski, Jack J. Clinical Ophthalmology : Retinal Detachment. 5th ed.
2011. Cina. Elsevier.P. 349-386
9. Telander David G, MD, PhD., Retinal Detachment. Medscape Available
From:http://www.medscape.com [Accesed on 28 March 2013]
10. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. jakarta
25