makalh pbl blok 22 skenario 1 2012
DESCRIPTION
makalah pblTRANSCRIPT
Meningitis Tuberkulosis
pada Orang Dewasa
Jovianto Reynold Andika Hidayat
102012313
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Telp (021) 56942061 Fax (021) 5631731
e-mail: [email protected]
1.1 Pendahuluan
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang terjadi pada Iapisan selaput yang
membungkus jaringan otak (arakhnoid, piamater) dan sumsum tulang belakang, yang
disebabkan oleh organisme seperti bakteri, virus, dan jamur. Meningitis merupakan masalah
kesehatan serius yang perlu diketahui dan diobati untuk meminimalkan gejala sisa neurologis
yang serius dan memastikan keselamatan pasien. lnfeksi terbatas pada meningeal yang
menyebabkan gejala yang menunjukkan meningitis (kaku kuduk, sakit kepala, demam)
sedangkan bila parenkim otak terkena, pasien memperlihatkan penurunan tingkat kesadaran,
kejang, defisit neurologis fokal, dan kenaikan tekanan intracranial.
1.2 Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak
Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea
terdiri dari tiga lapis, yaitu:
Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter
terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tcngkorak
untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella.
1
Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak
yang rneliputi selumh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid
disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening.
Pada mangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan
sistem otak dengan meningen sena dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah kc otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat
erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid
dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang.
Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang. 1
Gambar 1. Lapisan selaput otak
2
1.3 Anamnesis
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
dahulu, riwayat obstetric dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam
keluarga, anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial
ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan). Pada pasien usia lanjut perlu pula
dievaluasi status fungsionalnya. Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang surut
kesehatannya, termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya. Hal-hal yang perlu
ditanya sebagai berikut :
a. Nyeri kepala selalu ada, kadang-kadang sangat hebat dan difus.
b. Nyeri punggung seringkali ada
c. Temperatur biasanya tidak begitu meningkat seperti pada meningitis purulenta.
d. Sensitif terhadap cahaya ( fotopobia )
e. Malaise umum, gelisah, atau tidak enak badan
f. Nausea dan vomitus
g. Mengantuk dan pusing
h. Kadang-kadang terdapat bangkitan epileptik
i. Meningismus ( laseque dan kaku kuduk hampir selalu ada )
j. Organ-organ lain sering kena mis: paru-paru pada meningitis tuberkulosa
k. Umumnya terdapat tanda-tanda gangguan saraf kranial dan cabang-cabangnya.1
1.4 Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif bempa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nycri dan spasms otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.
3
b) Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul
kernudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri.
Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki
tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
c) Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala
dan tangan kanan diatas dada pasien kernudian dilakukan fleks kepala dengan cepat
kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher.
d) Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.2
Gambar 2. Kernig’s sign dan brundzinski’s sign
1.5 Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
i. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
4
ii. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menumn, kultur (+) beberapa
jenis bakteri.
b) Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
i. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
ii. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
c) Pemeriksaan Radiologis
i. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
ii. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi) dan foto dada.2
2.1 Definisi Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis tetap merupakan masalah utama dan merupakan penyebab
kematian penting di beberapa negara berkembang. Mycobacterium tuberculosis tipe human
sekarang merupakan penyebab dari sebagian besar meningitis tuberkulosis, tetapi
mikobakteria oportunistik mungkin menjadi penyebab penyakit ini pada pasien AIDS.2
2.2 Epidemiologi
Meningitis tuberculosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditasnya
selain bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh seseorang juga di pengaruhi oleh factor
social ekonomi, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat status gizi dan factor genetik
tertentu yang berhubungan faktor imun.
Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan pada negara maju. Faktor lingkungan (Environment) yang mempengaruhi
terjadinya meningitis bakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah
lingkungan dengan kebersihan yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup
serumah dengan penderita infeksi saluran pernafasan. Penyakit ini lebih banyak ditemukan
5
pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.
Meningitis pumlenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan
tubuh belum terbentuk sempuna.3
2.3 Klasifikasi
Meningitis tuberkulosis dibagi dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik.
Umumnya terdapat Iebih dari satu jenis dalam setiap penderita meningitis tuberculosis
a) Meningitis miliaris yang menyebar
Jenis ini merupakan komplikasi tuberkulosis miliaris, biasanya dari paru-paru yang
menyebar langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini terutama terjadi
pada anak, jarang pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel - tuberkel yang
kemudian pecah sehingga terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid.
Tuberkel - tuberkel juga terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak
bagian cekung dan dasar otak .
b) Bercak-bercak perkejuan fokal
Disini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terisi dari perkijuan yang
dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi penyebaran ke dalam
selaput otak. Kadang-kadang terdapat juga bercak-bercak perkejuan yang besar pada
selaput otak sehingga dapat menyebabkan peradangan yang luas.
c) Peradangan akut meningitis perkejuan
Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai, lebih kurang 78%. Pada jenis
ini terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus tuberkulosis primer
bagian Iain dari tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada selaput otak
dan jaringan otak. Meningitis timbul karena tuberkel-tuberkel tersebut pecah,
sehingga terjadi penyebaran kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid dan
ventrikulus.
d) Meningitis proliferatif
Pembahan-pembahan proliperatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh darah
selaput otak yang mengalami peradangan berupa endaneritis dan panarteritis. Akibat
penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Perubahan-
perubahan ini khas pada meningitis proliferatif yang sebelum penemuan kemoterapi
jarang terlihat.2
6
2.4 Faktor resiko
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-ekonomi
rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari — hari, perumahan tidak memenuhi
syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur berdesakan, kekurangan gizi, higiene
yang buruk, faktor suku atau ras, kurang atau tidak mendapat fasilitas imunisasi.
Meningitis tuberkulosis dapat terjadi pada setiap umur terutama pada anak antara 6
bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah umur 6 bulan kecuali apabila angka kejadian
tuberkulosis sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai
15 bulan.2
2.5 Perjalanan Penyakit
Sebagai akibat penyebaran dari fokus TB primer, atau penyebaran dari TB milier,
tuberkel-tuberkel kecil masuk ke dalam otak dan selaput otak. Kadang-kadang tuberkel ini
juga dapat masuk ke dalam tulang tengkorak atau tulang belakang. Mungkin juga masuk ke
dalam ruang subarakhnoid dan menyebabkan: meningitis, pembentukan massa kelabu
berbentuk agar-agar di dasar otak, dan peradangan serta penyempitan arteri yang menuju otak
yang dapat menyebabkan kerusakan otak secara lokal; ketiga proses ini menyebabkan
timbulnya gejala klinis.
Meningitis Tuberkulosis selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar
otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus
nasal, traktus gastrointestinal dan ginjal. Dengan demikian, meningitis tuberkulosis terjadi
sebagai komplikasi penyebaran tuberkulosis paru-paru. Terjadinya meningitis bukan karena
peradangan langsung pada selaput otak. Oleh penyebaran hematogen, tapi melalui
pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput
otak, sumsum tulang belakang tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke
dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difuse. Secara
mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian
lain dari kulit dimana terdapat perkijuan sentral dan dikelilingi oieh sel raksasa, limfosit, sel-
sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.
7
Penyebaran dapat pula terjadi secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia, bronkopneumonia,
endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus atau spondilitis.
Penyebaran kuman dalam ruang subarakhoid menyebabkan reaksi radang pada piamater dan
arakhnoid, cairan serebrospinal, ruang subarakhnoid dan ventrikulus. Akibat reaksi radang ini
adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman—kuman dan
toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan
fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subarakhnoid saja, tetapi terkumpul di
dasar tengkorak.
Eksudat juga menyebar melalui pembuluh darah piamater dan menyerang jaringan
otak di bawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat
menyumbat aquaduktus silvii, foramen magendi, foramen luschka, dengan akibat terjadinya
hidrosefaius, edema papil dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada
pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subarakhnoid berupa kongesti, peradangan, dan
penyumbatan sehingga selain arthritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak, terutama
pada bagian korteks, medula oblongata dan ganglia basalis yang kemudian menyebabkan
perlunakan otak.2
2.6 Gambaran Klinis
Biasanya terdapat riwayat sakit yang menyeluruh selama 2 sampai 8 minggu-rasa
lemah, lelah, mudah tersinggung, perubahan tingkah laku, kehilangan nafsu makan, berat
badan menurun dan demam ringan. Kemudian sebagai akibat dari: (1) meningitis, akan
terjadi sakit kepala, muntah, dan kaku kuduk; (2) eksudat abu-abu pada dasar otak dapat
mengenai saraf-saraf otak dan menimbulkan gejala-gejala: penurunan penglihatan,
lumpuhnya salah satu kelopak mata, juling, anisokor, dan ketulian. Edema papil terdapat pada
40% pasien; (3) terkenanya arteri yang menuju otak dapat menimbulkan kejang-kejang,
afasia atau kelemahan otot lengan atau tungkai. Akan tetapi, setiap bagian otak dapat terkena;
(4) hidrosefalus umum terjadi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya sumbatan eksudat pada
beberapa saluran cairan serebrospinal di otak. Hidrosefalus merupakan penyebab utama dari
menurunnya kesadaran. Kerusakan yang diakibatkan mungkin akan menetap dan penyebab
prognosis yang buruk pada pasien yang baru terdiagnosis setelah kesadarannya menurun; (5)
sumbatan spinal oleh eksudat dapat menyebabkan kelemahan upper motor neuron atau
kelumpuhan tungkai; dan (6) karena penyakit TB di bagian lain dari tubuh sering kali terjadi,
8
carilah TB pada kelenjar getah bening, paru (khususnya TB milier), pembesaran hati atau
limpa, dan tuberkel pada koroid yang terlihat pada pemeriksaan retina.2
2.7 Diagnosis
Penyakit utama yang harus dibedakan adalah meningitis bakterialis, meningitis viral,
dan cryptococcal meningitis yang berkaitan dengan HIV. Pada meningitis bakterial dan viral
timbulnya penyakit lebih akut, sedangkan pada cryptococcal meningitis timbul lebih lambat.
Riwayat TB pada keluarga, atau ditemukannya TB di tempat lain pada tubuh akan lebih
mengarahkan pada TB. Akan tetapi, bukti yang paling baik adalah pemeriksaan cairan
serebrospinal melalui pungsi lumbal. Hal-hal yang penting adalah sebagai berikut: (1)
peningkatan tekanan; (2) makroskopik: mula-mula jernih, tetapi dapat membentuk bekuan
seperti ‘jaring laba-laba’ bila didiamkan. Dapat berwarna kekuningan bila terjadi sumbatan
spinal; (3) sel: 200-800 per mm3, awalnya terutama terdiri dari neutrofil (tetapi tidak
semuanya neutrofil seperti pada meningitis bakterialis, yang jumlahnya jauh lebih banyak
pada hitung sel), lama-lama terutama terdiri dari limfosit. Jumlah ini lebih rendah pada
AIDS; (4) glukosa: kadarnya rendah padaa 90% pasien, tetapi mungkin normal pada stadium
awal penyakit TB atau AIDS; dan (5) bakteriologi: sediaan apus hanya positif pada 10%
kecuali jumlah besar (10-12 ml) yang disentrifus lama dan kencang. Bila si pemeriksa
menyediakan waktu 30 menit atau lebih untuk melihat sediaan yang tebal, dapat dicapai hasil
positif sampai deengan 90%. Biakan harus dilakukan bila memungkinkan. Biakan biasanya
positif, tetapi memberikan konfirmasi yang terlambat untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis bakteriologis mungkin dapat diperoleh secara pasti dengan menemukan
mycobacteria pada spesimen lain seperti sputum atau pus. Pada daerah yang banyak HIV
lakukan pemeriksaan indian ink untuk cryptococcus.2
2.8 Diagniosis banding
a) Meningitis bacterial (piogenik)
Kebanyakan kasus meningitis bacterial disebabkan oleh infeksi meningen oleh satu
dari tiga organism berikut:
C Neisseria meningitides (meningokokus),
C Haemophilus influenza (tipe b) (jarang, terjadi setelah vaksinasi),
C Streptococcus pneumonia (pneumokokus).
9
Organisme lainnya, terutama mycobacterium tuberculosis, dapat ditemukan pada
kelompok berisiko yang spesifik, misalnya pasien immunocompromised. Di negera maju,
insidensi meningitis bacterial adalah 5-10 per 100.000 per tahun.
Gambaran klinis
Umumnnya terdapat nyeri kepala hebat disertai nyeri dan kekakuan pada leher dan
punggung, muntah, serta fotofobia. Kecepatan onset nyeri kepala cukup cepat (menit hingga
jam), walaupun umumnnya tidak mendadak seperti pendarahan subaracnoid. Pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran dan kejang.
Pemeriksaan umum menunjukkan tanda infeksi seperti demam, takikardia, syok, dan
kadang adanya bukti sumber infeksi primer (misalnya pneumonia, endokarditis, sinusitis,
otitis media). Sebagian besar kasus meningitis meningokokal akan disertai kemerahan,
biasanya.4
b) Meningitis Virus
Meningitis dan ensefalitis dapat timbul dari infeksi enterovirus, gondongan, herpes
simpleks, arbovirus, innfluenza, dan yang jarang, rubela atau virus Epstein-Barr. Meningitis
virus dapat menjadi bagian riwayat alami infeksi polio. Pasien mengalami nyeri kepala,
fotofobia, demam, dan kaku leher. LCS menunjukkan limfositosis; protein sedikit meningkat
dengan kadar glukosa normal. Apus tenggorok, spesimen LCS, dan feses harus dikirim untuk
kultur virus dan uji serologis. Tata laksana bersifat simtomatik karena sebagian besar pasien
sembuh tanpa sisa defisit dalam beberapa hari.5
c) Ensefalitis Virus
Ensefalitis virus disebabkan oleh bermacam-macam virus termasuk herpesvirus dan
arbovirus. Pasien mengalami demam disertai dengan nyeri kepala, kaku leher, dan gangguan
kesadaran. Tanda-tanda neurologis fokal dapat terjadi; konvulsi sering terjadi. Virus dapat
dikultur dari spesimen LCS, feses, dan tenggorok, dan dideteksi dengan teknik serologis.
Asiklovir digunakan untuk mengobati ensefalitis herpetik (yang biasanya mengenai lobus
temporal) dan menurunkan angka mortalitas menjadi kurang dari 20%, dan juga menurunkan
jumlah pasien yang mengalami sisa kecacatan yang berat.5
2.9 Komplikasi
10
Meningitis serosa merupakan komplikasi serius dari tuberkulosis terutama pada anak-
anak. Sarang infeksi tuberkulosis di luar susunan saraf, pada umumnya di paru akan
melepaskan spora Mycobacterium tuberculosa. Melalui lintasan hematogen ia tiba di korteks
serebri dan akhirnya mati atau dapat berkembang biak dan membentuk eksudat kaseosa.
Leptomeningens yang menutupi sarang infeksi di korteks dapat ikut terkena dan
menimbulkan meningitis sirkumkripta. Eksudat kaseosa dapat pula pecah dan masuk serta
membawa kuman tuberkulosis ke dalam ruang subarahnoid. Meningitis yang menyeluruh
akan berkembang secara berangsur-angsur dan membentuk tuberkuloma .
Meningitis tuberkulosis dapat berkembang juga sebagai penjalaran infeksi
tuberkulosis di mastoid atau spondilitis tuberkulosa. Meningens yang paling berat terkena
radang adalah bagian basal. Di bagian basal terdapat sisterna, sehingga berbagai komplikasi
umum sering dijumpai hidrosefalus. Saraf otak juga dapat tertekan oleh reorganisasi eksudat
di bagian basal. Hemiplegia, afasia dan lain — lain merupakan manifestasi ensefalomalasia
regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis pembuluh darah. Jika
plexus koroideus terkena radang tuberkulosis, maka produksi liquor sangat besar dan
hidrosefalus komunikans akan berkembang. Karena itu atrofi jaringan otak akan cepat terjadi
dan dapat menyebabkan gejala sisa berupa demensia dan perubahan watak. 6
2.10 Prognosis
Kematian sudah pasti bila penyakit TB tidak diobati: makin dini penyakit ini
didiagnosis dan diobati, makin besar kemungkinan pasien sembuh tanpa kerusakan serius
yang menetap. Makin baik kesadaran pasien ketika pengobatan dimulai, makin baik
prognosisnya. Bila pasien dalam keadaan koma, prognosis untuk sembuh sempurna sangat
buruk. Sayangnya pada 10-30% pasien yang dapat bertahan hidup terdapat beberapa
kerusakan menetap.
Oleh karena akibat dari penyakit ini sangat fatal bila tidak terdiagnosis, obatilah bila
diagnosis sudah sangat mungkin.2
2.11 Pengobatan Meningitis TB
11
Meningitis TB merupakan penyakit yang paling mengancam nyawa pasien
dibandingkan dengan bentuk TB lainnya. Terutama karena meningitis TB paling sering
meninggalkan gejala-gejala serius secara permanen. Oleh karena itu, pengobatan perlu
diberikan setuntas dan selengkap mungkin dan perlu dimulai sedini mungkin. Pengobatan
terbaik terdiri atas: isoniazid 10 mg/kg dengan rifampisin 10 mg/kg dan pirazinamid 35
mg/kg, yang ditambah dengan etambutol 25 mg/kg atau streptomisin 10 mg/kg pada awal
pengobatan.
Apabila keadaan pasien membaik betul, etambutol (atau streptomisin) dan
pirazinamid dapat dihentikan setelah 2-3 bulan. Kemudian dosis isoniazid dapat dikurangi
menjadi 5 mg/kg. Isoniazid dan rifampisin dilanjutkan setidaknya selama 9 bulan.
Peran kortikosteroid (prednisolon) telah terbukti melalui uji coba dengan
kontrol. Khususnya digunakan pada anak kecil dan jika penyakit amat berat. Mulai dengan
2x30 mg sehari (1 mg/kg dua kali sehari untuk anak) selama 4 minggu, lalu dikurangi
menjelang beberapa minggu sementara keadaan anak membaik. Bagi pasien yang memakai
rifampisin, dosis rifampisin perlu ditambah dengan setengahnya (mis. Menjadi 45 mg untuk
dewasa dan 1,5 mg/kg untuk anak).
Jika tersedia fasilitas, tindakan bedah mungkin bisa diperlukan untuk mengurangi
tekanan intrakranial atau untuk mencegah pengurangan penglihatan dengan cepat.2-4
2.12 Pencegahan
Ø Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah timbulnya faktor resiko
meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat.” Pencegahan penyakit infeksi meningitis dapat dilakukan dengan
pemberian vaksin pada bayi agar mendapatkan kekebalan tubuh terhadap bibit
penyakit tersebut.2,3
Daftar pustaka
12
1. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
2. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis klinis. Ed. 2. Jakarta: Widya Medika,
2002.h.180-6.
3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: Kedokteran klinis. Edisi keenam.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.h.121-5.
4. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: penerbit
Erlangga.2007.h.122-76.
5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Edisi ketiga.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.h.101.
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dan Hidayat,
2008.h. 319-20.
13