makam keramat dan perubahan sosial
TRANSCRIPT
MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)
Oleh:
Nia Purnamasari
104032201031
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)
Oleh:
Nia Purnamasari 104032201031
Dibawah Bimbingan
Dra. Jouharotul Jamilah, M.Si
NIP. 150 282 401
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang belaku di UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 24 Februari 2009
Nia Purnamasari
ABSTRAKSI
Nia Purnamasari
Makam Keramat dan Perubahan Sosial
Yang dimaksud makam keramat di sini adalah makam Rd. Aria Wira Tanu
atau lebih di kenal dengan Makam Dalem Cikundul, yang berada di kampung Majalaya, Cianjur. Beliau merupakan pendiri utama kabupaten Cianjur, dan juga
bupati pertama Cianjur. Pengeramatan terhadapnya sudah terjadi sejak dulu. Kekeramatan tersebut berangkat dari pemahaman teologis yang berawal dari
ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah.
Sedangkan secara sosiologis, seseorang bisa dikeramatkan karena ia memiliki
kharisma di masyarakat, kharisma itu bisa karena ilmunya ataupun
kepribadiannya. Pengeramatan terhadap wali masih berlangsung hingga saat ini.
Banyak para peziarah yang datang dan kedatangannya membawa perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi berdampak kepada masyarakat sekitar
makam. Masyarakat jadi lebih kreatif untuk membuka lahan usaha, seperti
berdagang. Bahkan banyak yang menggantungkan hidup dari keberadaan makam,
seperti: tukang parkir, penjaga tol, dan pengemis. Kharisma yang dimiliki Dalem
Cikundul tidak akan pernah luntur sampai kapan pun. Seperti yang diungkapkan
oleh Weber, bahwa ada tiga wewenang yang akan selalu berputar yaitu:
Wewenang kharimatik, berganti wewenang tradisional, kemudian wewenang
rasional, beralih lagi menjadi wewenang kharismatik, begitulah seterusnya. Subyek yang diteliti adalah masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul,
dimana mereka merupakan orang-orang yang hampir setiap hari ada di sana. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana makam keramat Dalem
Cikundul mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi keagamaan masyarakat sekitar makam. Melalui observasi dan wawancara, diketahui bahwa perubahan-
perubahan yang terjadi berawal dari pengeramatan terhadap Makam Dalem Cikundul. Perubahan yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat adalah
setelah reformasi. Dimana setelah reformasi semua berubah, mulai dari ekonomi,
sosial, bahkan kepengurusan makam pun ikut berubah. Tapi, dalam hal kegamaan
tidak terlalu nampak perubahannya. Karena, pada umumnya masyarakat
mengakui dan mengimani akan adanya yang sakral (ruh) dan masih melaksanakan
ritual keagamaan, seperti: Maulidan, Rajaban, dan Muharraman.
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����Alhamdulilah, segala puji dan syukur hanya pantas kita panjatkan
kehadirat Ilahi Robbi, Sang pemilik Jagat Raya ini. Atas izin dan Ridho-Nya,
akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan waktu yang telah ditentukan.
Sholawat beserta salam kita haturkan kepada manusia paling sempurna,
pemimpin umat yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran, baginda besar
Muhammad SAW, tidak lupa pula untuk keluarga dan sahabatnya. Penulis
menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dalam penulisan
skripsi ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, tegur sapa dan keritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan di masa depan.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin cepat selesai tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Drs. M. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dra. Ida Rosyidah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dra. Jouharotul Jamilah, Msi. Selaku Sekretaris jurusan Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan juga
dosen pembimbing yang dengan sabar selalu membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
4. Bapak Iput yang telah bersedia untuk membantu dan membukakan cakrawala
berfikir kepada penulis. Dan kepada bapak Drs. Makmun Ikhsan, Apt, yang
telah meminjamkan buku-bukunya kepada penulis
5. para petugas perpustakaan Utama dan perpustakaan fakultas ushuluddin dan
Filsafat terima kasih atas pelayanannya
6. Kepala desa beserta jajarannya, terima kasih atas informasi dan kesediaannya
untuk membantu dan memudahkan penulis
7. Untuk ayahanda tercinta bapak M. Saepudin dan Ibunda tersayang C. Aisah,
yang tak pernah lelah mendorong, menguatkan dan memberikan kasih
sayangnya. Cucuran keringat dan do’a tulus tidak akan pernah sanggup ananda
membalasnya.
8. Untuk kakak-kakakku, kang Dasep, teh Dede, teh Lilis, teh Neni dan teh Ai
yang selalu memberikan support. Makasih atas perhatian dan kasih sayangnya
yang tidak pernah putus, juga kakak iparku (a’ Enjon, kk, a’ Diki) dan tidak
lupa untuk keponakan-keponakanku Cindy, Daffa, Najwaa, Rafli dan Alifa,
yang selalu menantikan kehadiranku
9. Untuk saudara-saudaraku Umi, Ita, Uthi, Uus, dan Zumi, yang selalu
mewarnai kehidupanku, tawa yang indah sewaktu kita bersama, semoga
silaturahmi kita tidak akan pernah putus walau jarak memisahkan kita. Umi
makasih ya atas bantuannya selama ini.
10. Untuk saudara-saudaraku di kostan PGRI, teh Ufah dan teh Nei makasih ya
atas motivasinya, juga buat Neng dan Beti, ayo Semanga!!! jangan males….
11. Untuk sahabat-sahabatku, teman seperjuangan, Aya, Nenk, Opik, Amir,
Syiqqil, Wahid, Budi, Hari, Asep, Njah, Ina, Mamih dan teman-teman
Sosiologi Agama angkatan 2004. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng ya....
Ciputat, 24 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
D. Metodologi Penelitian ................................................................. 7
E. Sistematika Penulisan.................................................................. 10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Makam Keramat ......................................................................... 12
1. Pengertian Makam Keramat .................................................. 12
2. Simbol dan Sakralitas............................................................ 14
B. Perubahan Sosial......................................................................... 18
1. Pengertian Perubahan Sosial.................................................. 18
2. Faktor-faktor Perubahan Sosial ............................................. 20
3. Pola-pola Perubahan Sosial ................................................... 22
C. Agama dan Perubahan Sosial ...................................................... 26
1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial ............................... 26
2. Agama dalam Proses Modernisasi ......................................... 28
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Majalaya ........................................ 31
1. Geografi dan Demografi kampung Majalaya.......................... 31
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya ...................... 33
3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya ........................ 34
B. Makam Dalem Cikundul ............................................................. 35
1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul.............. 35
2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul ........................................ 43
BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KEAGAMAAN
MASYARAKAT
A. Perubahan Kehidupan Sosial....................................................... 45
1. Perubahan Sosial yang terjadi sebelum tahun 1990................ 46
2. Perubahan Sosial yang terjadi setelah tahun 1990 .................. 51
B. Perubahan Kehidupan ................................................................. 53
1. Komersialisasi Makam .......................................................... 53
2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah.................................. 57
C. Perubahan Kehidupan Keagamaan .............................................. 59
1. Kepercayaan Kepada yang Sakral .......................................... 59
2. Ritual Keagamaan ................................................................. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 64
B. Saran .......................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 66
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel I. Perubahan jumlah Pengunjung dari tahun ke tahun........................... 47
Tabel II. Data Instansi yang pernah datang...................................................... 49
Tabel III. Data Negara yang pernah datang ...................................................... 50
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat modern dewasa ini, dimana kemajuan teknologi
yang terus berkembang, arus globalisasi yang tidak terbendung. Ada satu
fenomena kehidupan yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu
membludaknya jumlah peziarah ke makam, baik makam wali maupun
makam-makam yang di anggap keramat 1. Salah satu makam yang di anggap
keramat oleh masyarakat sekitar adalah makam Cikundul.
Makam bisa disebut keramat jika penghuni makam tersebut adalah
orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Pengaruh tersebut bisa
berbentuk kharisma. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Weber bahwa
kharisma adalah suatu kelebihan tertentu yang terdapat dalam karakter dan
kepribadian seseorang 2. Kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu
yang terdapat pada kepribadian seseorang, yang karenanya dia terpisah dari
orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuasaan atau
mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya
merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu 3.
Seseorang yang memiliki kharisma biasanya diperlakukan secara
istimewa dalam masyarakat karena dianggap sebagai orang yang dianugerahi
1 Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikiologis kepada pihak lain.
2 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, (Jakarta: PT. Gramedia,
1986), h. 229 3 K. J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), h. 182
kekuasaan, sehingga para pengikut yang setia memiliki komitmen terhadap
normatif atau moral yang digambarkannya atau dicontohkannya. Menurut
Weber, otoritas kharisma biasanya ada dalam tokoh-tokoh agama, karena
mereka condong dihormati dan ditiru. Ketika otoritas kharisma ada pada
tokoh-tokoh agama maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi.
kemungkinan pertama, kharisma tersebut bisa berlangsung lama dan bisa juga
hanya bersifat sementara saja..
Kepercayaan masyarakat pada makam keramat diakui atau tidak
berangkat dari sebuah pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf
yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah tersebut. Yang
mana ada tiga hal yang menonjol pada diri mereka, yakni karamah, barakah,
dan syafaat. Ketiga hal itu melekat dan menjadikannya sebagai tokoh keramat,
baik ketika hidup maupun setelah meninggal, sehingga untuk mencari tiga hal
itulah makamnya menjadi pusat ziarah.
Asal muasal fenomena ziarah kubur sebenarnya bukan berasal dari
Islam, melainkan tradisi Yahudi dan Nasrani. Namun, tidak dapat di pungkiri
bahwa dalam Islam pun ada tradisi ziarah yang telah membudaya. Ziarah
kubur diperbolehkan jika untuk mengingat kematian ataupun mengambil
I’tibar (hikmah), yang tidak diperbolehkan adalah meminta-minta pada
makam, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di
atas kuburan mereka, dan sebagainya.
Mayoritas rakyat muslim melakukan ziarah kubur di hampir semua
negeri mereka, di Afrika Utara, Mesir, Sudan, Irak, Iran, Afganistan, India,
Pakistan, Bangladesh, Turki, Malaysia bahkan Indonesia.
Di Indonesia, pemujaan terhadap wali dalam arti ziarah ke makam wali
merupakan ritual yang sangat lazim. Makam wali yang sering dikunjungi oleh
peziarah adalah makam wali songo yang ada di Jawa, tidak terkecuali makam-
makam lain seperti makam Cikundul.
Salah satu permasalahan menarik yang muncul dalam fenomena ziarah
pada masyarakat adalah permasalahan sosial ekonomi. Dimana makam, jika
dilihat hanyalah sebuah pekuburan biasa tanpa makna. Tapi lain halnya jika
yang mendiami makam tersebut adalah seseorang yang memiliki kharisma dan
pengaruh di masyarakat.
Keberadaan makam Cikundul sebagai objek para peziarah, secara tidak
langsung telah memberikan banyak perubahan di segala bidang kehidupan.
Tidak terkecuali pada bidang sosial dan ekonomi. Yang ditandai dengan
banyaknya peminta-minta, setiap orang beramai-ramai ingin menjadi kuncen,
banyak orang yang berjualan di sekitar makam, tersedianya lapangan parkir,
dan lain-lain.
Perubahan-perubahan yang terjadi membawa dampak positif dan
negatif. Dampak positif yang bisa di ambil adalah sedikit banyak bisa
mengurangi jumlah pengangguran, membuka lahan usaha walaupun cuma
berdagang, sedangkan dampak negatifnya, komersialisasi yang dilakukan
terhadap makam bisa menimbulkan penyalah artian makam Cikundul.
Terjadinya perubahan sosial dimanapun dan kapan pun, termasuk di
daerah makam merupakan suatu kewajaran (natural) yang timbul sebagai
sebuah proses dari pergaulan hidup manusia. Semakin berkembangnya
kehidupan manusia, maka kehidupan masyarakat pun akan turut berubah.
Perubahan itu pun terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar makam,
apalagi makam yang dianggap keramat.
Setiap masyarakat manusia selama hidupnya, pasti mengalami
perubahan-perubahan. Perubahan itu ada yang bergerak cepat ataupun lambat.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat bersifat progress atau
regress, luas ataupun terbatas, cepat atau lambat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, struktur lembaga
kemasyarkatn, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan sebagainya.4
Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat memerlukan waktu
lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan terjadi
dengan sendirinya, tanpa rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Sedangkan
perubahan yang terjadi secara cepat, mengenai sendi-sendi atau dasar-dasar
pokok dari pada kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga
kemasyarakatan) lazimnya dinamakan "revolusi". Unsur-unsur yang pokok
dari pada suatu revolusi adalah adanya perubahan cepat bahwa perubahan
tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan
masyarakat. 5
Wilbert Moore sebagaimana yang dikutip oleh Robert H Lauer
mengartikan perubahan sosial sebagai "perubahan penting dari struktur
4 Drs. Kurnadi Shahab. M. Si., Sosiologi Pedesaan, (jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h.
14 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 292
sosial", dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah "pola-pola perilaku
dan interaksi sosial". Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial
berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma-norma, nilai-nilai, dan
fenomena kultural. Pengertian lain dalam melihat perubahan sosial sebagai
variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan
bentuk-bentuk sosial serta "setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan
dan standar perilaku. Semua itu menunjukkan bahwa perubahan sosial itu
adalah fenomena yang rumpil dalam arti menembus ke berbagai tingkat
kehidupan sosial.6
Perubahan sosial merupakan konsekuensi utama dari proses
modernisasi yang dialami oleh suatu masyarakat. Namun, ada yang
berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti
perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau
kebudayaan.7
Setiap perubahan sosial sebagai realitas yang menjadi sasaran,
senantiasa membawa tiga aspek, yaitu: aspek manusia, aspek waktu, dan aspek
tempat. Dengan kata lain, setiap perubahan yang berarti digerakkan oleh
manusia, dalam unit waktu tertentu dan lingkungan tertentu.8
Pada umumnya, tempat di sekitar makam hanyalah tempat biasa yang
tidak memiliki keistimewaan apa pun. Tapi, ramainya peziarah telah
6 Robert H Lauer, Perspektif tentang perubahan Sosial, edisi ke-2, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1993), h. 4 7 Abdullah Masmuh dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan
Tengger, (Jogjakarta: LKis, 2003). 8 Drs. D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Jogjakarta: Kanisius, 1989), h. 256
mengubah masyarakat di sekitar makam menjadi medan budaya (cultural
sphere) di mana banyak orang keluar masuk dengan membawa adat dan
kebiasaan yang berbeda. Kedatangan mereka telah mengubah kehidupan
masyarakat Majalaya. Perubahan yang paling menonjol di bidang ekonomi.
Masyarakat tidak lagi mengandalkan ekonomi dari pertanian saja, seperti
halnya di daerah pedesaan, tapi juga dari sector lain seperti perdagangan
melalui komersialisasi makam.
Komersialisasi yang dilakukan telah banyak memberikan pengaruh
yang cukup signifikan terutama dalam hal ekonomi, itu bisa terlihat dari
banyaknya masyarakat Majalaya yang kini sebagian bermata pencaharian
berdagang di sekitar makam. Makam tidak lagi hanya pekuburan biasa, tapi
juga sudah seperti tempat wisata.
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat judul "Makam Keramat dalam Mengubah Kehidupan Sosial
Ekonomi Masyarakat" sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah perubahan
sosial ekonomi pada masyarakat di sekitar makam keramat. Penelitian ini
dibatasi pada perubahan sosial ekonomi yang terjadi dari tahun 1990 sampai
sekarang. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara geografis
dibatasi pada masyarakat yang ada di sekitar makam yang berada di kampung
Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulan kabupaten Cianjur.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu:
"Bagaimana makam yang keramat Cikundul mampu mengubah
kehidupan ekonomi masyarakat Majalaya?"
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Majalaya, khususnya yang
berada di sekitar makam memahami keberadaan makam tersebut.
b. Untuk mengetahui sejauh mana makam Cikundul bisa meningkatkan
ekonomi masyarakat Majalaya.
c. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh makam Cikundul mampu
mendatangkan peziarah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menambah wawasan sosial keagamaan, terutama mengenai makam
keramat.
b. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Permasalahan yang terjadi di masyarakat terus berkembang, butuh cara
untuk mengetahui gejalanya. Maka dilakukanlah penelitian. Penelitian
dilakukan karena dorongan atau rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu.9
Metode yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif, yakni metode yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan
klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan
unit yang diteliti. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi
kasus.
Dimana studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk
mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case)
dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.10
Studi kasus diambil karena diharapkan bisa menjelaskan suatu
fenomena sosial yang ada di masyarakat secara gamblang dan jelas,
terutama dalam perubahan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar makam
di kampung Majalaya Cianjur.
9 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 3. 10
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian , Pemikiran Norman dan Egon Guba,
(Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), h. 93.
2. Subjek Penelitian
Penulis mengambil subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat
di sekitar makam yang berada di daerah kampung Majalaya desa Cijagang
kecamatan Cikalongkulon kabupaten Cianjur.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah
sebagai berikut:
a. Observasi Partisipan, yaitu dengan melakukan pengamatan secara
langsung terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki, seperti:
menjamurnya pedagang-pedagang di sekitar makam, banyaknya
peminta-minta, membludaknya peziarah pada waktu-waktu tertentu,
dan lain-lain.
b. Wawancara mendalam (indepth Interview), yaitu peneliti atau petugas
penelitian melakukan "interview" dengan informan secara lisan dan
mendalam.
c. kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, memahami,
dan menginterpretasikan buku-buku yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini.
4. Instrumen Pengumpulan Data
Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data dalam
penulisan skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan
yang dimuat dalam pedoman wawancara hanya hal-hal pokok, dan
umumnya berbentuk pertanyaan terbuka.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
analisis data kualitatif, dengan tidak menggunakan angka atau statistik,
tetapi berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-
penjelasan dan pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam
penelitian kualitatif ini, setiap kejadian yang terjadi di lapangan penulis
catat, baik dari hasil wawancara maupun observasi, kemudian peneliti
mereduksi (merangkum, mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek
penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap
kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan
pembahasan yang dibutuhkan dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut:
1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, serta sistematika penulisan.
2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan sebagai
rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu: pertama berisi pembahasan
mengenai makam dan pensakralan terhadap makam. Dan yang kedua
membahas tentang perubahan sosial, terutama berkaitan dengan perubahan
sosial, ekonomi dan keagamaan.
3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang
mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian.
Selain itu, bab ini juga memberi gambaran serta sedikit analisis mengenai
kondisi sosial, ekonomi dan agama masyarakat Majalaya.
4. Bab keempat (IV) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi
ini, berisi analisa proses terjadinya perubahan sosial ekonomi dari tahun
1990 sampai sekarang.
5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saran-
saran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Ag, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2002.
Al-Albani, M. Nashiruddin, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah & Wali di
Dunia Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007
Faisah, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Jhonson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, Jakarta: PT.
Gramedia, 1986.
Laure, Robert H, Perspektif tentang Perubahan Sosial, edisi ke-2, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1993.
Masmuh, Abdullah dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin
dan tengger, Jogjakarta: LKis, 2003.
Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006.
Razak, Yusran dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007.
OC, Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Jogjakarta: Kanisius, 1989.
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon
Guba, Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Subhani, Syaikh Ja’far, Tauhid dan Syirik Studi Kritis Faham Wahabi, Bandung: Mizan, 1987.
Syam, Nur, Islam Pesisir, Jogjakarta: LKis, 2005.
Veeger, K. J., Realitas Sosial, Jakarta: PT. Gramedia, 1993.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Makam Keramat
1. Pengertian Makam Keramat
Para wali dianggap orang yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah
mengapa makamnya selalu dipadati peziarah. Dalam tradisi jawa, makam
dianggap mengandung kesakralan. Arti makam diambil dari bahasa Arab
berasal dari kata maqam yang berarti tempat, status, atau hirarki. Sedangkan
tempat menyimpan jenazah dalam bahasa Arab disebut Qabr, yang lebih
dikenal dengan kubur atau kuburan. Pada umumnya kuburan atau makaman
digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan mayat.
Namun, ada kekhususan mengenai penggunaan kata makam atau kubur
tersebut, yakni jika yang dikuburkan itu adalah seorang wali atau orang suci,
maka tempat penguburannya disebut makam wali bukan kuburan wali.11
Keramat (dari bahasa Arab, karamah) mengandung arti kemuliaan atau
kemurahan. Di kalangan orang-orang tasawuf atau tarekat, berkembang
pengertian bahwa keramat adalah keadaan atau perbuatan luar biasa yang
timbul pada diri, atau dilakukan oleh para wali Allah. Banyak contoh yang
beredar di kalangan mereka, tentang keramat itu, seperti dapat mengharungi
lautan dengan sajadahnya (sajadah: tikar untuk Shalat), mengetahui adanya
11Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKis, 2005), h. 139.
bahaya sebelum terjadi, berada di dua tempat yang berjauhan pada waktu yang
sama dan lain sebagainya.
Tidak semua keadaan atau perbuatan luar biasa itu disebut keramat.
Yang terjadi pada diri nabi atau rasul, tidak disebut keramat, tapi mukjizat
(mu’jizat), sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau orang-orang
yang tidak beragama Islam, secara saleh disebut sihir, yang dapat juga disebut
mejik hitam.12
Bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya, makam tidak hanya
sekedar tempat untuk menyimpan mayat. Akan tetapi, makam merupakan
tempat keramat, karena di situ dikuburkan jasad orang keramat. Jasad orang
keramat tidak seperti orang kebanyakan, karena diyakini bahwa jasadnya tidak
akan dimakan binatang tanah, seperti: cacing tanah, ulat pemangsa jasad
manusia, dan lain-lain. Selain itu, jasadnya juga tidak akan rusak, serta rohnya
memiliki kekuatan untuk mendatangi makamnya. Dia dianggap sebagai orang
yang dekat dengan Allah SWT, sehingga dijadikan perantara doa agar doanya
cepat sampai kepada Allah SWT. Memang, tidak semua orang berziarah itu
benar tujuannya, sebab ada juga di antara mereka justru malah meminta roh
penghuni makam untuk mengabulkan doa atau permohonannya.
Pemujaan terhadap wali adalah ritual yang berlaku sejak lama di
kalangan dunia Islam. Masalah yang terjadi adalah masalah mendekatkan diri
kepada Allah SWT melalui perantara para wali yang sholeh.
12Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1992), h. 533-534.
Islam telah menentukan tempat-tempat dan waktu-waktu yang
memiliki keutamaan atau kekeramatan dibandingkan tempat lainnya. Dalam
ibadah-ibadah khusus, seperti shalat, berdoa, membaca al-Qur’an, dan
sebagainya. Kita dibenarkan tabarruk atau mencari keutamaannya. Namun
yang perlu dipahami bahwa ketentuan itu datangnya dari Allah SWT dan
rasul-Nya. Kita tidak dapat menentukan sendiri atau meraba-raba hal apa dan
di mana yang sekiranya mengandung kekeramatan atau keberkahan. Perkara
semacam itu termasuk mughayyabat (perkara gaib) yang tidak dapat dipahami
maksud hakiki dengan menggunakan akal atau intuisi belaka.13
2. Simbol dan Sakralitas
Simbol atau lambang dianggap sebagai suatu hasil kreatifitas manusia.
Di antara binatang-binatang, hanya manusialah yang mampu menciptakan
bahasa simbolik dan pemikiran abstrak. Dia tidak hanya berbuat dan bereaksi,
tetapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Simbol adalah bentuk
objek atau tanda apapun yang melahirkan respon sosial yang diakui bersama.14
Simbol ataupun lambang memiliki makna penting bagi suatu agama, karena
dalam simbol terdapat inti emosi keagamaan yang hanya bisa dipandang tidak
dapat diekspresikan. Maka semua upaya itu semata-mata merupakan
perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik.15
13Endra K. Pridhadhi, Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan
(Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004), h. 186.
14M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 62.
15Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 13.
Simbol memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pertama, simbol dibuat
dan dikembangkan secara bersama-sama dalam masyarakat. Ada budaya
masyarakat India yang masih menganggap bahwa sapi merupakan simbol
bagi umat Hindu, hanya mereka yang meyakini demikian. Begitu juga dengan
hajar aswad yang diyakini umat Islam sebagai simbol suci meskipun hanya
sebuah batu. Kedua, simbol mungkin memiliki lebih dari satu makna. Ketiga,
ada keterkaitan langsung antara budaya dengan pemaknaan terhadap sebuah
simbol. Simbol bisa berbeda sesuai waktu dan tempatnya, juga bisa berbeda
makna simbol tentang sesuatu pada satu kelompok dengan kelompok lain
terutama di masyarakat yang tingkat keragamannya sangat tinggi.
Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Yusron Razaq
berpendapat bahwa simbol mengungkap dimensi-dimensi realitas tertentu
yang akan menjauhkan pengetahuan kita. Sesuatu yang ada dalam sebuah
simbol memiliki kekuatan melampaui pemahaman dan kendali kita yang
disebut olehnya bersama Rudolf Otto sebagai “yang sakral”.16
Mungkin terpikir di benak kita tentang sesuatu yang sakral. Yang
sakral adalah yang berada di luar dirinya dan tidak terjangkau oleh akal atau
penalaran manusia yang lebih kita kenal dengan yang transenden. Sesuatu
yang sakral itu lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan
dengan hal-hal yang penuh misteri, baik yang sangat mengagumkan maupun
yang sangat menakutkan. Dalam masyarakat, yang kita kenal terdapat
16Yusron Razaq dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007), h. 34.
perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau yang sering kita katakan
antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular
or the profane).
Sesuatu yang sakral dan yang profan berkaitan erat dengan
pengalaman keagamaan manusia. Mengenai yang sakral dan yang profan
dibicarakan pula oleh Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh
Thomas F O’dea. Durkheim menyatakan yang suci lebih tinggi martabatnya
dibandingkan dengan yang profan dan mengandung sifat serius yang lebih
tinggi.17
Yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus
menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang,
tempat, waktu atau benda tertentu. Sebagai sifat yang dipercayai, ia bukanlah
sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas
yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda
itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang
sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu sisi
orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya
dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di sisi lain menurut
Coillois, ia juga berbahaya punya hal-hal yang taboo dilakukan terhadapnya.
Kalau kesuciannya dilanggar dan ditabookan dikerjakan juga, yang
bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya.
Sebaliknya yang profan adalah sesuatu yang biasa, yang rasional, yang
nyata, tidak ada perlakuan istimewa dan penghormatan terhadapnya.
17Thomas F O’dea, Sosiologi Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 36.
Memikirkannya seperti merumuskan teori dan mengamati dan melakukan
eksperimen terhadapnya, boleh dan sangat dianjurkan, tetapi tidak perlu
diiringi dengan doa dan dzikir. Segala sesuatu di alam ini sebenarnya profan,
karena kesakralan itu hanya anggapan sepihak dari manusia atau masyarakat
yang memercayainya saja.
Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan
sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu dan lain sebagainya. Sakral
(sacred) berarti suci. Pasangannya dari yang sakral adalah yang profan, yaitu
yang biasa saja atau yang alamiah. Dalam setiap agama memiliki sesuatu yang
disakralkan atau disucikan. Kitab suci Al-Qur’an, bulan Ramadhan, Tanah
Haram, Waliullah, Ka’bah, adalah suci dalam agama Islam. Tanda Salib,
Gereja, hari natal, kitab Bibel atau al-kitab dipercayai suci dalam agama
Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, Pura adalah
suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem, adalah suci dalam pandangan
masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta
Gautama, Vihara, dipercayai suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab
Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi.
Sakral atau pun tidak sakral kalau dilihat secara material, fisik atau
kimiawi sebenarnya sama saja, karena suci atau sakral bukan terletak pada
sifat benda itu sendiri, melainkan diberikan oleh manusia atau masyarakat
yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Menurut Durkheim
sebagaimana yang dikutip oleh Bustanudin Agus, manusia atau masyarakat
yang mempercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak
karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut.18
B. Perubahan Sosial
1. Pengertian Perubahan Sosial
Di dunia ini tidak ada yang tetap semuanya senantiasa berubah. Begitu
pula dengan masyarakat. Masyarakat adalah objek dari perubahan. Masyarakat
senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat
mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Di tingkat mezzo
terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Di tingkat makro
terjadi perubahan ekonomi, politik dan budaya (kultur). Masyarakat ada setiap
saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase
antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.19
Perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang serba
mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai
tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat
dunia.20
Meskipun tidak ada arti yang jelas mengenai perubahan sosial. Akan
tetapi, banyak pendapat menilai bahwa perubahan-perubahan sosial
merupakan gejala-gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
18 Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 80
19Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2007), h.
65.
20Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial edisi kedua
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 5.
Menurut Gillin sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto
mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-
cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-
perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Samuel Koening mengatakan
bahwa perubahan-perubahan sosial menunjuk modifikasi-modifikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut
terjadi karena sebab-sebab yang intern maupun sebab-sebab ekstern.
Definisi lain dikemukakan oleh Selo Soemardjan yang menyatakan
bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap,
dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia; perubahan-perubahan
mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat
tersebut.21
Lain halnya menurut Hendropuspito. Menurutnya, tidak ada arti yang
khusus mengenai perubahan sosial. Namun ada beberapa definisi yang di
angkat dari data hasil pengamatan tentang perubahan yang terjadi dalam
21 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali,
1986), h. 285
masyarakat. Dari data tersebut dapat ditarik dua rumusan mengenai definisi
perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial didefinisikan sebagai perbedaan
keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan
sebelumya, bisa pula diartikan sebagai perubahan sosial yang pasif. Kedua,
perubahan sosial adalah proses perkembangan unsur sosio-budaya dari waktu
ke waktu yang membawa perbedaan yang berarti dalam struktur dan fungsi
masyarakat dan diartikan lain sebagai perubahan sosial aktif.22
Perubahan sosial yang terjadi di tingkat makro meliputi ekonomi, di
mana ekonomi merupakan sentral dari kehidupan manusia. Persoalan ekonomi
dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Perkembangan
persoalan ekonomi berjalan seiring dengan perkembangan dari pertumbuhan
manusia itu sendiri dengan pengetahuan teknologis yang dimiliki.
Sosiologi memandang ekonomi sebagai studi bagaimana cara orang
atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang
langka dengan melakukan pendekatan sosiologi.
Hubungan ekonomi dan masyarakat saling berkaitan satu sama lain.
Sosiologi memandang ekonomi sebagai bagian integral dari masyarakat.23
2. Faktor Perubahan Sosial
Untuk mengetahui suatu perubahan yang terjadi pada masyarakat, maka
perlu diketahui penyebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan-
22Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.
256.
23Damsar, Sosiologi Ekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
h. 15.
perubahan itu. Faktor-faktor tersebut, disadari atau tidak, telah memberikan
pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya.
Ada dua faktor yang terjadi dalam perubahan sosial: faktor penyebab
dan faktor penunjang. Faktor penyebab adalah faktor yang langsung
mengakibatkan timbulnya perubahan sosial, baik berupa kejadian yang semula
tidak ada menjadi ada, maupun pengubahan realitas yang sudah ada
sebelumnya menjadi bentuk yang lain. Sedangkan faktor penunjang dalam
bahasa latin occatio hanya menciptakan kesempatan atau situasi yang
membantu penyebab menghasilkan akibatnya.
Adapun yang menjadi faktor penyebab dan penunjang perubahan
adalah sebagai berikut:
a. Faktor Penyebab Perubahan
Perubahan terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak mungkin
bisa dibendung. Perubahan adalah sesuatu hal yang wajar dan alami.
Sangat sulit menentukan penyebab perubahan sosial yang murni dan
tepat terjadi, karena bidang penyelidikan terlalu luas dan kabur serta
kurang pembatasan yang jelas.
Faktor penyebab perubahan sosial bisa dikategorikan menjadi
faktor manusia dan non manusia.
1) Faktor manusia
Kedudukan manusia sangat sentral dan penting dalam
masyarakat dan dalam perkembangan masyarakat, maka wajar jika
para ahli sosial serentak menunjuk manusia sebagai faktor
penyebab utama perubahan.
2) Faktor non manusia
Jumlah faktor non manusia yang menyebabkan perubahan
sosial cukup besar. Sebagian dari faktor-faktor itu pada mulanya
merupakan akibat yang ditimbulkan oleh manusia. Namun
kemudian menimbulkan perubahan masyarakat. Perubahan-
perubahan non manusia antara lain: pertambahan penduduk, sistem
ekonomi, penerapan penemuan baru (teknologi modern dan mode),
sistem pendidikan yang terencana, arus sekulerisasi, dan lain-lain.
b. Faktor penunjang perubahan
Faktor-faktor yang menunjang perubahan sosial meliputi:
1) Jiwa yang terbuka terhadap perubahan, terutama jiwa revolusioner
yang hidup dalam suatu masyarakat yang mau mengubah apa saja
yang telah ada.
2) Bertambahnya perbendaharaan ilmu pengetahuan memungkinkan
bertambahnya pemecahan baru mengenai berbagai masalah yang
dihadapi.
3) Timbulnya keinginan-keinginan baru yang dikobarkan sebagai
cita-cita nasional dan harus diperjuangkan pencapaiannya akan
membuka hati bangsa sehingga mengadakan perubahan-perubahan
guna memuaskan keinginan tersebut.
4) Bertambahnya penduduk merupakan tantangan berat yang perlu
dijawab dengan perubahan sosial.
5) Penemuan-penemuan baru di sektor-sektor sosio-budaya tertentu.
6) Kemajuan negara-negara lain juga merupakan faktor peluang bagi
Negara-negara terbelakang.24
3. Pola-pola Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah istilah yang taksa (ambiguous). Kadang kala
istilah ini digunakan dalam pengertian yang sempit, yang mengacu pada
perubahan-perubahan struktur sosial (keseimbangan di antara berbagai kelas
sosial, misalnya). Tetapi juga, kadang-kadang digunakan dalam pengertian
yang sangat luas yang mencakup organisasi politik, perekonomian dan
kebudayaan.
Perubahan di sini penekanannya lebih kepada pengertian yang lebih
luas. Perubahan sosial dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe atau pola
utama, yaitu:
a. Pola linear
Ide statisme atau yang dikenal dengan pola perubahan sosial
linear (Etzioni, 1973: 3-8, Kamanto Sunarto, 2000: 213), meyakini
bahwa kehidupan ini pasti, baku, tetap dan tiada toleransi untuk
perubahan. Dua tokoh pemikiran yang bisa dijadikan acuan terdapat
dalam karyanya August Comte dan Herbert Spencer, sebagaimana yang
dikutip oleh Rusmin Tumanggor. Menurut Comte, bahwa peradaban
manusia senantiasa mengikuti suatu arah perubahan yang pasti, alami,
sama dan tidak terelakkan. Sementara Spencer menambahkan bahwa
struktur sosial berjalan secara evolusioner kearah ukuran yang lebih
24Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik. h. 264-268.
besar, kemajemukan, keterpaduan, dan kepastian. Sehingga suatu
masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab.
Spencer adalah label yang diberikan pada model yang
menekankan pada evolusi sosial, dengan kata lain perubahan sosial
yang berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif (evolusi bukan
revolusi) dan perubahan sosial itu ditentukan dari dalam (endogen
bukannya eksogen).25
Namun ada pula pandangan unilinear bahwa masyarakat
berkembang ke arah kemunduran, dinamakan primitivisme, suatu
pandangan yang dikemukakan oleh Wilbert Moore.
b. Pola siklus
Menurut pola yang kedua, yaitu pola siklus, di mana mereka
menolak apapun yang bersifat tetap, stabil, dan baku. Menurut mereka,
masyarakat berkembang seperti roda, kadang di atas kadang di bawah.
Pandangan perubahan sosial pola siklus ini dapat dilihat pada
karyanya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto. Bagi Spengler,
kebudayaan tumbuh, berkembang, dan pudar laksana perjalanan
gelombang. Ia mencontohkan kebudayaan-kebudayaan besar seperti
kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurutnya, kebudayaan
Barat akan mengalami hal yang sama (tumbuh dan pudar). Sementara
bagi Pareto, setiap masyarakat memiliki dua lapisan, yaitu: lapisan atas
(elite) dan lapisan bawah (non elite), yang berkuasa dan yang tidak
25 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001), h. 198
berkuasa. Aristokrasi berjalan hanya dalam jangka waktu tertentu saja
dan akan selalu berganti dengan aristokrasi baru yang berasal dari
lapisan bawah. Aristokrat yang berupaya mempertahankan
kekuasaannya akan digulingkan oleh lapisan bawah dengan kekerasan
atau revolusi. 26
Tokoh lain yang menggagas pola siklus ini adalah Ibnu Khaldun,
ia menyatakan bahwa sejarah tidak akan berakhir, sejarah akan
senantiasa bergulir. Karena pada hakikatnya, sejarah adalah catatan
tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan
peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan
itu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan solidaritas golongan
(ashabiyah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan
rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-
kerajaan dan Negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya;
tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai
penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan;
dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam
peradaban karena watak peradaban itu sendiri.27
c. Pola campuran
Dalam melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat. Max
Weber dan Karl Marx merupakan dua tokoh klasik yang menyinggung
26Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2004), h. 53.
27Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005), h. 57.
perubahan. Keduanya berapresiasi terhadap perubahan sosial secara
linear sekaligus siklus.
Misalnya, masyarakat komunis yang didambakan Marx hasil dari
pemikiran konflik yang dikonstruknya adalah siklus perjalanan
bertahap dari masyarakat sebelumnya, yaitu feodalisme dan
kapitalisme. Pemikiran linear dari Marx dilihat dari pandangannya
bahwa perkembangan pesat kapitalisme mengakibatkan konflik antara
kaum buruh dan kaum borjuis yang dimenangkan oleh kaum buruh
dilanjutkan kemudian membentuk masyarakat komunis (masyarakat
yang tidak mengenal pembagian kerja tetapi diganti dengan kerja
sama). Menurut Marx, bahwa Negara-negara jajahan Barat akan
mengalami Proses yang sama yang dialami oleh masyarakat Barat.
Senada dengan Marx, Weber melihat perkembangan linear dari
masyarakat searah meningkatnya rasionalitas masyarakat. Di lain
pihak, Weber menyebut tiga wewenang yang ada dalam masyarakat
yang akan selalu beralih (siklus). Pada saat tertentu masyarakat
memiliki wewenang kharismatik dan mengalami rutinisasi sehingga
beralih menjadi wewenang tradisional, hingga wewenang rasional
kemudian menjadi wewenang kharismatik lagi dan begitu seterusnya.28
C. Agama dan Perubahan Sosial
1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial
28Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam. h. 54.
Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-
penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi
mereka dan masyarakat luas pada umumnya.29
Setiap agama, paling tidak memiliki terdiri atas lima dimensi: ritual,
mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan
upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa atau
kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman yang meliputi paling
sedikit tiga aspek: concern, cognition, trust dan fear. Keinginan untuk mencari
makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa, tawakal dan
takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu kepada
serangkaian yang menjelaskan eksistensi manusia vis-a-vis Tuhan dan
makhluk Tuhan yang lain. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat
pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya. Kedalaman tentang
ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark
sebagai consequential dimensisons adalah manifestasi ajaran agama dalam
kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan
agama.30
Pembahasan mengenai peran agama dalam mengubah kehidupan sosial
ekonomi masyarakat dibahas oleh Max Weber yang terkenal dalam bukunya
The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, di mana prinsif agama (dalam
29D. Hendropuspito OC, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.
34.
30Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, 9th ed. (Bandung: Mizan, 1998), h. 37-38.
hal ini Calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi (kapitalisme).
Weber mencoba menganalisa doktrin teologis dari beberapa aliran/sekte
Protestanisme, terutama Calvinisme, yang dianggapnya aliran yang paling
banyak menyumbang bagi perkembangan semangat kapitalisme. Ajaran
Calvin tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti, menurut Weber adalah
merupakan kunci utama dalam hal menentukan sikap hidup dari para
penganutnya. Takdir telah ditentukan; keselamatan diberikan Tuhan kepada
orang terpilih dan berusaha untuk memerangi segala keraguan dan godaan
setan, sebab ketiadaan kepercayaan, berarti kurangnya rahmat. Untuk
memupuk kepercayaan pada diri itu maka manusia haruslah bekerja keras.
Sebab, hanya kerja keras saja satu-satunya yang bisa menghilangkan keraguan
religius dan memberikan kepestian akan rahmat.31
Menurut perspektif Weberian, dalam konteks yang berbeda-beda,
agama dapat menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial. Adakalanya
juga sebagai sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo. Namun,
Weber juga meyakini bahwa agama secara gradual akan kehilangan
signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial dan
ekonomi modern.32
2. Agama dalam Proses Modernisasi
31Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi
(Jakarta: T. Pn., 1978), h. 8.
32Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam, h.39.
Modernisasi merupakan gejala universal. Modernisasi sering
diidentikan dengan kemajuan atau evolusi.
Satu fenomena yang menandai abad 20 dan terutama setelah perang
dunia kedua adalah pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menganggap dirinya
otonom dan bebas dari segala ikatan, baik agama, maupun sosial. Akibatnya,
tidak jarang penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi
bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama. Hal ini
disebabkan karena ilmu pengetahuan yang kini meliputi seantero segi hidup
dan kehidupan umat manusia lahir dan dikembangkan di dunia Barat.33
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih telah
menggeser nilai-nilai agama yang telah ada. Ilmu pengetahuan seolah diyakini
bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab kehidupan umat manusia.
Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu
dipandang hanya secara materi belaka. Di sinilah inti modernisme yang
ditolak oleh kaum tradisional, yaitu suatu pandangan yang hanya
mempercayai materi. Segala sesuatu diukur sebatas benda yang bisa dilihat
secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat yang tradisional, yang
memandang bahwa segala sesuatu memiliki hakikat. Hakikat itulah yang
sebenarnya adalah realitas.34
33Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: CV. Rajawali,
1987), h. 65.
34Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 188.
Pada dunia modern, yang profan menempati posisi dan pengaruh yang
sangat penting dan menggeser pengaruh yang sakral. Fenomena ini biasa
dikenal dengan sekulerisasi.
Sekulerisasi muncul pertama kali di Barat pada abad pertengahan, di
mana dominasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial lain menurun. Gereja
pada pada waktu itu yang sangat berkuasa, datang membawa pemikiran dan
ajaran khurafat menentang akal dan rasio, mempertahankan kebekuannya
melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan kekolotannya menghadapi
kemajuan. Bersama para raja menghadapi rakyat dan bersama-sama dengan
kaum feodal memusuhi kaum buruh dan mereka yang tertindas di bumi.
Gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu yang
bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi itu bulat
dianggap suatu kekafiran dan keluar dari agama. Inilah faktor yang membidani
lahirnya gerakan sekulerisme di Barat.35
Di dunia yang semakin modern ini, pengaruh agama diyakini
Durkheim akan semakin menurun. Pengaruh agama akan diambil alih oleh
penjelasan ilmiah dan kegiatan upacara keagamaan akan menempati sebagian
kecil saja ruang dan waktu kehidupan seseorang. “Tuhan yang dulu telah
mati” kata Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Amin Nurdin dan
Ahmad Abrori.
Pada masyarakat modern, bentuk alternatif agama dikenal dengan
nama “civil religion” atau agama sipil yang diutarakan Durkheim. Civil
35Dr. Yusuf Qaradhawi, Sekular Ekstrim (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2000), h. 7.
religion didefinisikan sebagai sekumpulan kepercayaan dan ritual keagamaan
di luar institusi keagamaan yang sudah ada. Pandangan Durkheim tersebut
tercermin pula dalam teori Robert N Bellah mengenai civil religion
sebagaimana yang dikutip oleh Dadang Kahdi. Dalam pengamatan Bellah, di
Amerika ada gejala yang disebutnya civil religion, suatu konsep Rossseu
seperti tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Amerika Serikat,
upacara-upacara dalam penerimaan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari
pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting di Amerika. Di situlah
tumbuh American's Nation Self Under Standing. Menurut Bellah, civil religion
adalah 'subordinasi' bangsa pada prinsif-prinsif etis yang mengatasi bangsa itu
sendiri. Bellah menolak anggapan bahwa yang dimaksud dengan civil religion
adalah ideologi yang memberi legitimasi cara hidup bangsa Amerika, bukan
pula suatu pemujaan diri suatu bangsa.36
36 Dadang Kahdi, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), h. 123.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Majalaya
1. Geografi dan demografi Kampung Majalaya
Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon,
Kabupaten Cianjur, selain dikenal dengan udaranya yang sejuk, juga sebagian
wilayahnya menjadi objek wisata ritual yang banyak dikunjungi masyarakat
dari berbagai daerah. Di sana dimakamkan seorang wali pendiri Cianjur, Rd.
Aria Wira Tanu Datar, yang menjadi bupati pertama Cianjur.
Batas-batas administratif Kampung Majalaya adalah: sebelah barat
berbatasan dengan Desa Mekarjaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa
Sukamulya; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; dan sebelah
utara berbatasan dengan Desa Sukamulya.
Kampung Majalaya memiliki luas 523.615 hektar tanah dengan fungsi
yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaannya. Adapun tata guna lahannya
adalah sebagai berikut: 110 hektar berupa sawah dengan irigasi ½ teknis;
6,205 hektar berupa sawah tadah hujan; 36,740 hektar berupa tegal/ladang; 20
hektar permukiman; 195,225 hektar tanah perkebunan milik perorangan; 13
hektar tanah pekuburan (tanah wakaf); dan 179,185 hektar luas prasarana
umum lainnya.
Meskipun lahan perkebunan lebih luas dibandingkan dengan lahan
pesawahan, tetapi Kampung Majalaya lebih mengandalkan pertanian sebagai
penghasilan utamanya.
Kantor Desa Cijagang terletak di Jalan Keramat Cikundul No. 01.
Untuk memasuki Kampung Majalaya atau berziarah ke makam Dalem
Cikundul sangat mudah, karena sudah memadainya sarana dan prasarana
transportasi. Jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Cianjur sekitar
21 km, sedangkan dari kota kecamatan sekitar 4 km.
Kampung Majalaya telah memiliki berbagai sarana transportasi dan
komunikasi yang relatif memadai, antara lain: jalan yang relatif bagus dan
dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, seperti truk, mobil, bahkan bis
besar; sarana komunikasi dengan tiga wartel; televisi dan radio yang dimiliki
oleh semua penduduk; dan adanya satu kantor pos pembantu.
Air sebagai sarana paling penting untuk kehidupan manusia.
Kebutuhan air bersih penduduk Majalaya diperoleh dari sumber air yang ada
di daerah tersebut berupa: tujuh mata air, tujuh belas sumur gali, lima sumur
pompa, 175 PAM, dan satu sungai.
Untuk sarana kesehatan masyarakat terdapat sebuah puskesmas yang
dilengkapi dengan ruang praktek dokter umum, rumah bersalin, dua toko obat,
dan empat posyandu.
Kampung Majalaya juga terkenal dengan bola volinya. Untuk
memfasilitasi warganya yang gemar terhadap olah raga, terdapat lapangan
sepak bola, lapangan bulu tangkis, meja ping pong dan lapangan voli.
Untuk penerangan rumah, hampir semua warga menggunakan jasa
PLN untuk menerangi rumahnya.
Demi terwujudnya masyarakat yang cerdas, sebagaimana yang
dicanangkan oleh pemerintah dengan wajib belajar sembilan tahun. Maka di
Kampung Majalaya terdapat berbagai lembaga pendidikan: satu TK milik
swasta, empat SD/Sederajat milik pemerintah, dan satu SLTP/Sederajat milik
pemerintah. Akan tetapi, jika para siswa ingin melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi, mereka harus keluar dari Desa Majalaya untuk bersekolah SLTA
yang ada di Kecamatan Cikalong Kulon, yang jaraknya tidak terlalu jauh dan
bisa ditempuh dengan ojek atau angkutan umum. Selain pendidikan formal,
terdapat pula pendidikan formal keagamaan: satu madrasah diniyyah, yang
belajarnya dari siang hari sampai sore hari, dan lima Pondok Pesantren. Selain
itu, ada pula pendidikan non formal/kursus, seperti bela diri dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya, jumlah lembaga tersebut digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel Lembaga Pendidikan di Majalaya
No Uraian Volume Keterangan
1. TK/RA 1
2. Madrasah Ibtidaiyah 1
3. SDN/Sederajat 4
4. SLTP/Sederajat 1
Jumlah 7
Kampung Majalaya mempunyai penduduk sebanyak 4.609 jiwa, yang
terdiri dari 2.333 penduduk laki-laki dan 2.276 penduduk perempuan. Dengan
kepadatan penduduk 27 orang per km2. Sementara itu, jumlah kepala keluarga
terdapat 1.201 orang.
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya
Pada umumnya mayoritas penduduk masyarakat Majalaya
bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani, sebagaimana data yang
diambil dari monografi desa Cijagang sebagai berikut: 60 orang sebagai
petani, 1.126 orang sebagai buruh tani, 59 orang sebagai PNS, 60 orang
sebagai pedagang, tiga orang sebagai montir, dua orang sebagai TNI, satu
orang sebagai POLRI, 26 orang sebagai pensiunan TNI/POLRI/ABRI, enam
orang sebagai dukun kampung terlatih, empat orang sebagai tukang jahit, tiga
orang sebagai tukang cukur, dua orang sebagai tukang service elektronik, tiga
orang sebagai tukang gali sumur, lima orang sebagai tukang pijat dan urut,
satu orang sebagai dokter, empat orang sebagai paramedis, dua orang sebagai
bidan, empat orang sebagai perawat, dan 50 orang sebagai tukang ojek. Untuk
lebih jelasnya, digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel Profesi Penduduk Majalaya
Jenis kelamin No. Jenis Pekerjaan
Laki-laki Perempuan
1 Petani 618 orang 32 orang
2 Buruh Tani 830 orang 295 orang
3 PNS 32 orang 27 orang
4 Pedagang 60 orang 60 orang
5 Montir 3 orang -
6 TNI 2 orang -
7 POLRI 1 orang -
8 Dukun Kampung 3 orang 3 orang
Jumlah 1549 417
Jika ditelusuri lebih jauh mengenai mata pencaharian penduduk
Majalaya, ada sebagian penduduk yang bekerja dalam dua bidang profesi
sekaligus, misalnya sebagai penjaga makam dan tukang parkir (petugas K.5).
Di sepanjang jalan menuju makam Dalem Cikundul, banyak ditemui
warga yang memanfaatkan lahan atau rumah yang dijadikan tempat usaha,
seperti warung atau pun toko. Sehingga pengunjung/peziarah tidak perlu
khawatir merasa kehausan atau kelaparan ketika berada di tempat ziarah.
Bahkan, saat malam tiba, kadang masih ada warung yang buka hingga larut
malam, apalagi pada malam jumat kliwon di bulan Mulud dan Rajab.
Ramainya pengunjung tidak hanya pada malam jumat kliwon di bulan
Mulud atau Rajab saja, tapi pada bulan-bulan biasa pun kadang masih ramai.
Keramaian pengunjung bisa dilihat pada hari minggu dan malam jumat.
Kesibukan masyarakat setempat nampak pada waktu-waktu tersebut.
Namun, pada hari-hari biasa, banyak warung yang tutup dan suasana pun
semakin sepi, meski ada satu atau dua pengunjung yang datang.
3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya
Mayoritas Penduduk Majalaya beragama Islam, meskipun ada
sebagian yang beragama Katolik. Untuk sarana peribadatan, tersedia lima
mesjid dan 26 langgar/surau. Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk
berupaya taat dalam menjalankan syariat agama. Ketaatan penduduk dalam
menjalankan aktifitas keagamaan bisa dilihat dengan diadakannya pengajian
rutin setiap hari, yakni ba’da Ashar, yang dilakukan bergilir di setiap RT. Pun,
apabila ada hari-hari besar keagamaan seperti Mulud, Rajab atau pun tahun
baru Islam, Remaja Mesjid selalu memperingatinya dengan melakukan
berbagai acara, seperti Muludan, Rajaban, Tabligh Akbar maupun khitanan
massal. Mauludan atau Rajaban ini biasanya diisi dengan acara pembukaan,
pembacaan ayat suci al-Qur’an, sambutan dari panitia, ceramah yang diisi oleh
kiayi/ustadz yang ditokohkan oleh masyarakat setempat, dan terakhir ditutup
dengan doa. Puncak peringatan Mauludan atau Rajaban biasanya diadakan di
makam Dalem Cikundul, dengan konsep acara yang sama. Namun,
kiayi/ustadz yang menjadi pembicara biasanya diundang dari luar daerah,
seperti Bandung, Sukabumi, Cianjur kota dan sekitarnya.
B. Makam Dalem Cikundul
1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul
Pada tahun 1529, dalam rangka penyebaran agama Islam, Talaga
direbut oleh Cirebon dari negara Pajajaran. Sejak itu kebanyakan rakyatnya
masuk agama Islam, tetapi raja-raja Talaga masih tetap menganut agama lama,
yakni Hindu. Urutan raja Talaga adalah sebagai berikut:
a. Prabu Siliwangi
b. Mundingsari
c. Mundingsari Leutik
d. Pucuk Umum
e. Sunan Parung Gangsa
f. Sunan Wanapri
g. Sunan Ciburang
Sunan Ciburang mempunyai putera bernama Aria Wangsa Goparana.
Dengan demikian Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan (generasi)
ketujuh dari Prabu Siliwangi terakhir. Aria Wangsa Goparana merupakan
orang pertama yang masuk agama Islam. Oleh karena masuk agama Islam ini
tidak direstui oleh orang tuanya, maka terpaksa Aria Wangsa Goparana
meninggalkan keraton Talaga dan pergi menuju Sagaraherang. Di sini Aria
Wangsa Goparana mendirikan Nagari (Sansk = Desa, Bld = negorij). Di
Sagaraherang Aria Wangsa Goparana mendirikan pesantren dan menyebarkan
agama Islam ke daerah sekitarnya.
Aria Wangsa Goparana wafat pada akhir abad ke-17 dan dimakamkan
di Kampung Nangkabeurit, Kecamatan Sagaraherang, Kabupaten Daerah
Tingkat II Purwakarta. Putera-puterinya adalah: (1) Djayasasana, (2)
Wiradiwangsa, (3) Candramanggala, (4) Santaaan Kumbang, (5) Yudanagara,
(6) Nawing Candradirana, (7) Santaan Yudanagara, dan (8) Nyi Murti.
Aria Wangsa Goparana menurunkan para bupati Cianjur yang bergelar
Wira Tanu dan Wira Tanu Datar serta para keturunannya.37 Diantara putranya
yang paling terkenal adalah Rd. Aria Wira Tanu yang nama kecilnya adalah
Djayasasana.
Sejak masa mudanya Djayasasana sangat takwa kepada Allah swt.,
tekun memperdalam agama, dan rajin bertapa Setelah dewasa, Jayasasana
meninggalkan Sagaraherang yang diikuti oleh sejumlah rakyat, lalu bermukim
37Bayu Suryaningrat, Memperingati Har Jadi Cianjur Ke-306 (Bandung:
Tpn, 1982), h. 7-8.
di Cijagang. Rakyatnya bertempat tinggal terpencar, yang umumnya di pinggir
berbagai kali.
Rd. Djayasasana sendiri bertempat tinggal di Cikundul. Oleh karena
itu, sub-nagari Cikundul menjadi ibunagari dari seluruh sub nagari tempat
pemukiman rakyat Djayasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680,
keseluruhan sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana ini disebut
Cianjur.
Pada tahun kurang lebih 1652 rakyat Djayasasana tersebut di atas
pernah dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata
ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, yang diantaranya 200 orang
diperintah oleh Mataram, selebihnya oleh Rd. Djayasasana sendiri, untuk
menjaga batas Barat. Sejak saat itu, Rd. Djayasasana Aria Wira Tanu (Wira
Tanu = senapati). Rakyatnya adalah orang merupakan satu kesatuan
masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
kolonisasi rakyat Wira Tanu terjadi sebelum tahun 1652 dari Sagaraherang ke
Cikundul dan sekitarnya.
Pada saat yang bersamaan, banyaknya rakyat Wira Tanu, yang pada
1652 sudah ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, tentunya sudah
bertambah dan cukup banyak untuk satu padaleman atau kabupatian. Oleh
karena itulah tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Wira
Tanu sebagai “regent” dan yang dimaksud dengan “negorye” Cianjur tidak
lain dari pada kabupatian Cianjur, karena wilayah kekuasaan “regent”
dinamakan “regenschap”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
padaleman atau kabupatian Cianjur lahir atas prakarsa sendiri pada tahun
1677, pada saat kekuasaan “de facto’ atas daerah cianjur khususnya dan
sebelah Barat Citarum umumnya, ada pada daerah yang bersangkutan. Jadi,
Cianjur adalah merdeka secara “de facto”.
Rd. Aria Wira Tanu, yang dimakamkan di Cikundul, disebut “Dalem”
Cikundul. Aria Wira Tanu adalah Dalem, atau bupati pertama dan
penghabisan dari Cianjur yang merdeka secara “de facto”
R. Wira Tanu wafat tahun 1633 dimakamkan di Kampung Majalaya,
Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Sekarang
banyak orang yang berziarah ke makam beliau. Makam tersebut diberi nama
“Dalem Cikundul”. Beliaulah yang paling populer di antara anak cucu
keturunan R. Wangsa Goparana.
2. Sakralitas makam Dalem Cikundul
Pensakralan terhadap makam Dalem Cikundul bersumber dari
Kharisma yang dimiliki R. Wira Tanu. Dulu, pada saat Dalem Cikundul
dilahirkan, banyak kejadian-kejadian yang menandai kelahirannya. Di antara
ciri-ciri yang dimiliki oleh Dalem Cikundul:
a. Dalam penuturan sebagian penduduk: saat sang bayi lahir, diketahui
oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (kini
termasuk Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten
Subang) bahwa jari telunjuk dan jari tengah sang bayi sama tinggi dan
sama besarnya. Menurut terkaan si kakek, sang bayi inilah yang besok
akan menjadi raja Sunda.
b. Pangeran Jaya Lalana/Jaya Sasana/R. Dalem Cikundul sejak burey
(anak sekitar umur tiga tahun) mempunyai kegemaran naik ke bukit dan
menghadap ke arah kiblat, dengan seolah-olah merenung serta
menerawang. Banyak penduduk mengetahui bahwa sang burey itu
mempunyai indera yang tajam luar biasa, terutama pendengaran,
penglihatan, perabaan, dan gaung suara yang berat (sekali pun berisik,
tapi masih dapat didengar oleh orang yang dipanggil).
c. Beberapa minggu sebelum sang jabang bayi dilahirkan, di langit
sebelah tenggara muncul bintang kemukus yang berwarna kuning
keemasan, dengan ekornya menunjuk ke arah kiblat. Kemudian, begitu
sang jabang bayi lahir dengan selamat, tanpa disadari bintang kemukus
tersebut hilang dari pandangan.
d. Nama Sagalaherang bukan dari kata “Sagara dan Herang”, melainkan
dari sebuah kondisi: yakni begitu adzan berkumandang tanda syukur
atas lahirnya seorang jabang bayi, yang kemudian diberi nama
Pangerana Jaya Lalana, terdengar oleh rakyat di daerah Dayeuh Kolot
dan Cibodas yang secara naluriah tahu bahwa sang jabang bayi
putranda dari Kiyai Aria Wangsa Gofarana telah lahir. Sehingga, secara
serentak segala tabuh-tabuhan di Mesjid, Musholla, gardu-gardu,
kentongan-kentongan antarkampung, ditalu dengan gemuruh. Pelita
dipasang di segala tempat, jalan-jalan, tempat-tempat pemandian dan
tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ke tempat
pekuburan rakyat/desa. Maka, muncullah sebutan “Sagalaherang”, yang
artinya: segalanya bercahaya terang benderang.
BAB IV
MAKAM DALEM CIKUNDUL
DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Jika dilihat secara kasat mata, makam Dalem Cikundul nampak sama
dengan makam-makam lainnya yang ada di sana. Namun, kharisma yang dimiliki
oleh R. Aria Wira Tanu, atau lebih dikenal dengan Dalem Cikundul (penghuni
makam tersebut), bagi penduduk nampak berbeda. Perjuangan dan jasa-jasa yang
telah diberikannya membuat orang di sekitarnya, atau yang mengenalnya dari
sejarah, menganggap bahwa beliau adalah orang suci yang dekat dengan Allah
swt. dan bisa memberikan karomah bagi siapa saja yang mendoakannya.
Meskipun dunia sudah semakin modern dan teknologi berkembang begitu pesat,
penghormatan dan pengeramatan terhadap Dalem Cikundul masih berlangsung
hingga saat ini.
Kehadiran atau keberadaan makam Dalem Cikundul yang dikeramatkan
tersebut selalu dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai kota, baik dari dalam
kota maupun luar kota, bahkan dari luar negeri sekali pun. Tidak dapat dipungkiri,
keberadaan makam ini cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi,
dan keagamaan masyarakat yang berada di lingkungan makam tersebut. Pengaruh
tersebut dapat bersifat negatif maupun positif.
Sisi positif yang bisa diambil dari keberadaan makam tersebut adalah
dalam segi ekonomi. Dengan adanya makam, otomatis akan banyak peziarah yang
datang. Kedatangan peziarah membuat masyarakat berpikir kreatif untuk
melakukan perdagangan demi menunjang hidupnya. Selain itu, para pemuda dapat
memanfaatkan lahan kosong yang bisa dijadikan tempat parkir, lalu mereka bisa
berkontribusi sebagai petugas parkir.
Akan tetapi, kita patut prihatin akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan
oleh keberadaan makam tersebut. Misalnya, ada orang yang lebih percaya kepada
makam dan menyalahartikan maksud dan tujuan berziarah. Hal itu menimbulkan
pengikisan akidah umat.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, banyak informasi yang penulis
dapatkan di sana. Salah satunya adalah bahwa ternyata keberadaan makam Dalem
Cikundul dapat memberikan keberkahan pada masyarakat di sekitar makam
maupun pada peziarah.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hasil penelitian yang penulis
lakukan, di bawah ini penulis akan memaparkan hasil penelitian mengenai
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitar makam Dalem
Cikundul dengan melihat kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.
A. Perubahan Kehidupan Sosial
1. Perubahan sosial yang terjadi sebelum tahun 1990
Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak akan ada seorang pun
yang bisa menghentikannya. Laju pertumbuhan terus berkembang; perubahan
akan terus dan terus terjadi seiring dengan generasi-generasi baru yang terus
bermunculan.
Begitupun dengan masyarakat. Masyarakat selalu dinamis, tidak statis.
Masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan-perubahan. Namun,
perubahan itu ada yang cepat, ada juga yang lambat. Seperti halnya
masyarakat yang berada di sekitar makam Dalem Cikundul, mereka
senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Dahulu, sebelum memasuki tahun 1990 atau lebih tepatnya tahun
1970-an, lokasi di sekitar makam tidak sepadat sekarang: daerahnya masih
berupa hutan; belum banyak penduduk yang tinggal di sana; dan rumah-rumah
pun masih jarang. Tidak hanya itu, yang berjualan di sana tidak begitu banyak;
kurang lebih ada sembilan atau sepuluh pedagang. Seperti yang dituturkan
oleh pak TW:
”.....kapungkur mah nya neng didieu masih hutan keneh, teu acan aya
bumi-bumi cara ayeuna, bapak ge kapungkur mah teu didieu, tapi dipalih
kulon cakeut mimih, terang teu? Anu dagang ge henteu rame cara ayeuna,
paling ge aya meureun salapan atawa sapuluh jongko, eta mun teu salah mah
tahun 1970-an, tapi ayeuna mah tos rame.....”38
(“dulu mah ya neng di sini masih hutan, belum ada rumah-rumah seperti sekarang, bapak aja dulu tidak
tinggal di sini, tapi di sebelah barat dekat rumah Mimih, tau engga? Yang dagang juga tidak seramai sekarang, paling Cuma sembilan atau sepuluh
jongko, itu kalo engga salah mah tahun 1970-an, tapi sekarang mah udah rame”)
Pada tahun 1990-an, yang bertepatan dengan pemerintahan Orde baru,
di mana pembangunan terus digalakkan, masyarakat merasakan kesejahteraan
dan ketentraman. Pada masa inilah kedatangan peziarah membludak. Namun,
bukan berarti sebelumnya tidak ada peziarah. Akan tetapi, puncaknya peziarah
yang datang terjadi pada masa Orde Baru atau sekitar tahun 1990-an.
Tabel I. Perubahan Jumlah Peziarah dari Tahun ke Tahun
Tahun Jumlah Peziarah
1990 184.329 orang
1991 230.611 orang
38Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari 2009.
1992 236.980 orang
1993 253.441 orang
1994 307.245 orang
1995 329.078 orang
1996 401.077 orang
1997 438.743 orang
1998 350.526 orang
1999 371.538 orang
2000 296.501 orang
2001 270.017 orang
2002 297.615 orang
2003 257.779 orang
2004 238.040 orang
2005 237.779 orang
2006 276.076 orang
2007 178.571 orang
Sumber: data diambil dari pendaftar pengunjung
Banyaknya peziarah yang datang biasanya pada bulan-bulan tertentu
saja, seperti pada bulan Mulud dan Rajab, apalagi jika Kliwon. Pada jumat
Kliwon di bulan Mulud atau Rajab, peziarah yang datang begitu banyak,
hingga memadati perkampungan warga. Bahkan, peziarah yang datang
membawa kendaraan tidak bisa parkir di sana, mereka harus memarkir
kendaraannya di dekat rumah-rumah penduduk sehingga untuk menuju ke
makam mereka harus rela berjalan kaki. Hal itu terjadi karena sarana parkir
kurang memadai. Seperti apa yang diungkapkan oleh mang UF, penjaga tol
masuk:
”....emang kangtos rame pisan, itu tuh nuju zamanna pak Harto,
kuncenna masih keneh mang Tarya, anu ziarah seueur, nu ziarah ge sampe
kudu jalan kaki sagala, soalna mobilna teu tiasa leubeut, nya kan lapangan
parkirna ge kur aya anu aya dijero wungkul teu acan aya anu didieu.....”39
(“memang sempet rame banget, itu tuh waktu zaman pak Harto, kuncennya
masih mang Tarya, yang ziarah banyak mereka sampai harus jalan kaki,
soalnya mobilnya engga bisa masuk, ya karena lapangan parkirnya Cuma yang di dalam doang yang belakang belum ada”)
Hal senada pun diungkapkan oleh ID (petugas parkir/K. 5), ”enya
kapungkur mah sarana parkirna kurang jadi anu parkir ngamankeunna agak
hese,”40 (“iya dulu sarana parkirnya kurang jadi kita-kita yang parkir
ngamaninnya agak susah”)
Peziarah yang datang terdiri dari berbagai daerah, tidak hanya dari
dalam kota saja melainkan dari luar kota bahkan luar negeri yang pernah
datang, umunya mereka hanya berwisata saja dan menikmati keindahan
pemandangannya. Tidak hanya itu, pejabat daerah dan kru TV pun pernah
datang ke makam Dalem Cikundul.
Tabel II. Data Instansi yang Pernah Datang
No. Instansi yang Pernah Datang
1 Kapolda Jawa Tengah
2 Pangdam III Siliwangi
3 Rektor IPB Bogor
4 Rektor Jayabaya
5 Gubernur LEMHANAS
6 DAN REM OGI SK
7 DANDIM 1018 Cianjur
8 Bupati Cianjur
9 KAJARI Cianjur
10 Mentri Kehutanan RI
11 Wakil Gubernur Jawa Barat
39Wawancara pribadi dengan mang UF, Cijagang, 21 januari 2009.
40Wawancara ribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari 2009.
12 Anggota DPR Cianjur
13 Kapolres Cianjur
14 Crew TV-Jkt
15 Crew TVRI
16 Crew Trans TV
Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung
Tabel III. Data Warga Negara yang Pernah Datang
No. Nama negara Jumlah orang
1 Austria 1 orang
2 Australia 8 orang
3 Brunei 41 orang
4 Belanda 12 orang
5 Kanada 1 orang
6 India 1 orang
7 Inggris 2 orang
8 Jepang 3 orang
9 London 1 orang
10 Malaysia 23 orang
11 Perancis 2 orang
12 Singapura 10 orang
13 Swedia 2 orang
14 Thailand 6 orang
15 Swiss 1 orang
16 Turki 1 orang
17 USA 1 orang
Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung
Manusia memiliki garis hidup yang beragam; tidak semua orang
memiliki nasib yang sama. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Di tempat
ziarah mana pun, selalu ada orang-orang fakir miskin yang mengais rezeki
dari belas kasih orang lain. Begitu pula yang terjadi di makam Dalem
Cikundul.
Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terus
terjadi. Perubahan tidak hanya terjadi di masyarakat pedagang atau pun para
peziarah yang datang dan terus berkembang. Perubahan yang cukup signifikan
terjadi dalam kepengurusan makam. Dulu, sebelum negara ini melakukan
reformasi, makam Dalem Cikundul dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul,
tapi sekarang, setelah reformasi, makam Dalem Cikundul di bawah naungan
Desa.
2. Perubahan sosial yang terjadi setelah tahun 1990
Seperti sudah disinggung sebelumnya, banyaknya peziarah yang
datang terjadi sekitar tahun 1990-an. Lain halnya ketika memasuki tahun
2000. Jumlah pengunjung/peziarah semakin menurun dari tahun ke tahun.
Reformasi menandai babak baru pemerintahan Indonesia. Krisis
moneter yang melanda bangsa ini berpengaruh kepada semua lapisan
masyarakat, mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat desa, tidak
terkecuali masyarakat Makam Dalem Cikundul.
Meskipun krisis dan jumlah pengunjung semakin menurun, tapi hal itu
tidak mematahkan semangat para pedagang untuk tetap berjualan. Jumlah
pedagang malah semakin bertambah yang tadinya 30 orang menjadi 60 orang
lebih. Seperti apa yang dituturkan oleh ID (petugas K.5/parkir),
“......abdi kirang terang pami tahun 1990-an mah, tapi mun teu lepat
anu dagang didieu kurang leuwih kapungkur mah aya 30 urangan, tapi
ayeuna tos aya 60 urang leuwih meureun, eta teh teu acan anu dagang
asongan seperti tukang keresek, tukang bakso, tukang bubur sareng nu
sanesna, mun di itung-itung aya meureun 70 urangan mah......”41
(“saya
kurang tau percis kalo tahun 1990-an, tapi sepengetahuan saya yang dagang di
41Wawancara pribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari, 2009.
sini kurang lebih dulu ada 30 oranglah, tapi sekarang udah ada kali 60 orang
lebih mah, itu belum termasuk yang dagang asongan, tukang kresek, tukang
bakso dan lainnya, mungkin kalo di itung-itung ada 70-an orang lebih mah”)
Para pedagang yang masih juga berjualan meskipun sepi adalah Ibu
NN dan Ibu NE, berikut penuturannya: “Biasana ge dagang teh tiap hari tara
pernah tutup cara ayeuna ning, bari sepi ge da nu meser mah aya wae.”42
(“biasanya juga dagang tiap hari engga pernah tutup seperti sekarang,
walaupun sepi yang beli mah ada aja”)
“.....warung buka tiap hari tapi ayeuna mah sepi neng, tapi warung
mah tetep buka, nu meser paling urang dieu wungkul, tutup paling jam
salapan weungi tapi mun masih rame kadang dugikeun ka jam sapuluh.....”43
(“warung buka tiap hari tapi sekarang mah sepi neng, tapi warung mah tetep
buka yang beli paling orang-orang sini aja, tutup paling jam sembilan malam
tapi kalo masih rame kadang nyampe jam sepuluh”)
Tapi lain halnya yang dilakukan oleh Bapak TW, warungnya buka
kalau rame saja, berikut penuturannya, “Tapi ayeuna mah karena sepi jadi
dagangna ngan pas rame wungkul, cara ayeuna sepi jadi tutup we.”44
(“kalo
dulu jualannya tiap hari sampe 24 jam kali, tapi sekarang karena sepi jadi buka
pas rame aja kayak sekarang sepi jadi tutup aja”)
Berkurangnya pengunjung tidak mengurangi jumlah peminta-minta,
justru semakin banyak, walaupun mereka minta-minta Cuma waktu-waktu
tertentu saja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu YY, “abdi nyuhunkeun di
dieu pas hari-hari tertentu wungkul, lamun rame karek kadieu, lamun teu
42Wawancara pribadi dengan Ibu NE, Cijagang, 20 Januari, 2009.
43Wawancara pribadi dengan Ibu NN, Cijagang, 19 Januari, 2009.
44Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari, 2009.
rame mah tara kadieu.”45
(“saya minta di sini pas hari-hari tertentu saja, kalo
rame baru kesini kalo engga rame mah engga pernah ke sini”)
Dari pertama jalan memasuki makam akan nampak pemandangan yang
memprihatinkan, potret tempat ziarah. Peziarah akan menemui para peminta-
minta dari beragam usia, mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua.
Ketika kita menaiki anak tangga, para peminta-minta berjejer bahkan di
samping gerbang kuburan banyak peminta-minta yang memasang alat dari
botol bekas aqua yang diikatkan pada bambu sebagai alat untuk memudahkan
para dermawan untuk memberikan sebagian rezekinya.
Selain itu, kepengurusan makam yang awalnya dikelola oleh yayasan
kini beralih dikelola oleh desa. Sejak reformasi bergulir di DPR, kepengurusan
makam pun mengalami reformasi. Ada kecemburuan sosial yang terjadi pada
sebagian masyarakat, sehingga mereka meminta supaya dilakukan reformasi
pada kepengurusan makam. Hal tersebut seperti apa yang dituturkan oleh Pak
AS selaku kuncen (juru kunci) di sana,
“....perubahan yang terjadi sejak reformasi, karena ada kecemburuan
sosial pada sebagian masyarakat, sehingga terjadilah perubahan-perubahan,
makam yang tadinya dikelola oleh yayasan sekarang dikelola oleh desa.....”46
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak EW, “Kapungkur mah
dikelola ku Yayasan Wargi Cikundul tapi saatos tahun 1998 dikelola ku
desa.” (“dulu dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul tapi sejak tahun 1998
dikelola oleh desa”)
45Wawancara pribadi dengan Ibu YY, Cijagang, 19 Januari 2009.
46 Wawancara pribadi dengan Bapak AS, Cijagang, 25 Januari 2009.
Kemudian, perubahan yang cukup menonjol adalah keterlibatan ketua
RT tiap-tiap ke Rt-an yang dilibatkan untuk menjadi juru kunci (kuncen).
B. Perubahan Kehidupan Ekonomi
1. Komersialisasi Makam
Dalam perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat, keberadaan
makam keramat Dalem Cikundul telah banyak memberikan keberkahan
kepada masyarakat sekitarnya. Apalagi dalam hal ekonomi. Masyarakat tidak
lagi mengandalkan pekerjaan hanya dalam sektor pertanian saja, melainkan
bertambah ke dalam sektor perdagangan. Kejelian masyarakat dalam melihat
potensi yang dimiliki untuk melakukan perdagangan telah turut serta dalam
menambah income untuk desa atau pemerintah daerah.
Para pedagang yang menempati warung (jongko) tetap atau permanen
harus membayar infak kepada desa. Besarnya tergantung tempatnya. Jika
warung (jongko) yang berada di depan sebelum memasuki makam infaknya
sebesar Rp. 10.000 perbulan. Sedangkan warung (jongko) yang di bawah
dekat makam infaknya Rp. 30.000 perbulan. Hal ini seperti yang dituturkan
oleh Ibu NN.
“....artos anu dihasilkeun biasana mah di anggo kanggo sewa
tempat/infak Rp. 30.000 sasasih, soalna tanah nu di anggo tanah wakaf, teras
kanggo meser barang dagangan anu tos seep, dagang pan aya sepina tara
angeur, jadi kedah pinter-pinter urang, lamun penghasilan langkung ageung,
biasana dimanfaatkeun kanggo meser barang-barang anu tos seep......”
(“uang yang dihasilkan biasanya dipakai untuk sewa tempat/infak Rp. 30.000
sebulan, soalnya tanah yang dipakai adalah tanah wakaf, terus untuk beli
barang dagangan yang sudah habis, dagangkan ada sepinya tidak pernah sama, jadi gimana pinter-pinter kita, kalo penghasilan lebih besar biasanya
dimanfaatkan untuk membeli barang-barang yang telah habis”)
Begitupun yang dilakukan oleh Ibu NE, berikut penuturannya,
“.....artosna nya kanggo emam sadidinteun, kadang incu sok
nyuhunkeun ongkos jang sakola kadieu, soalna indung bapakna mah jarang
masihan acis, kanggo, kredit elektronik seperti TV, Rice Cooker, sareng
kanggo sewa jongko Rp. 10.000 sasasih.......” (“uangnya ya buat makan sehari-hari, kadang cucu suka minta ongkos tuk sekolah kesini, soalnya orang
tuanya jarang ngasih uang, buat kredit elektronik kayak TV, Rice cooker, sama buat sewa jongko Rp. 10.000 sebulan”)
Di samping itu, adanya objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul
memberikan banyak perubahan bagi pembangunan makam, terbukti dengan
dibangunnya mesjid, memperbaiki jalan yang telah rusak, dan lain-lain.
Bahkan setiap tahunnya, objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul
memberikan income buat desa sebesar Rp. 17 juta tiap tahunnya.
Selain itu, sebelum para peziarah memasuki makam Dalem Cikundul,
mereka harus melalui gerbang masuk terlebih dahulu, dengan membayar tiket
masuk yang ketentuannya sudah diatur oleh Perda No. 11 tahun 2005. Adapun
ketentuan yang berlaku adalah sebagai berikut: untuk satu orang Rp. 1000,
untuk sepeda motor Rp. 1000, untuk Bis Rp. 2.500, dan untuk sedan, colt,
truck dan sebagainya Rp. 1.500. uang-uang tersebut disetorkan ke Pemda
setiap dua minggu sekali dengan besar penghasilan 60% masuk ke kas desa,
40% masuk ke kas Pemda.
Sedangkan jika di lapangan, peziarah yang hendak memarkirkan
kendaraannya harus mematuhi peraturan yang ada. Mereka harus membayar
uang K5 (kebersihan, keindahan, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban) atau
parkir, besarnya: untuk mobil Rp. 5000, untuk Colt Rp. 10.000, untuk Bis Rp.
20.000, dan untuk Motor Rp. 1000. untuk hak kelola K5 atau parkir tersebut
diserahkan kepada Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan atas SK
dari Kepala Desa.
Dalam Karang Taruna terdapat berbagai divisi salah satunya yaitu K5
atau parkir. Dalam K5 atau parkir tersebut dibagi kedalam 9 group yang terdiri
dari 7 orang. Biasanya uang dari hasil K5 atau parkir diberikan ke kas Karang
Taruna sebesar Rp. 7000 perminggu, selebihnya dibagi rata kepada yang
bertugas saat itu, yang dikoordinir oleh ketua group masing-masing. Hal ini
seperti apa yang dituturkan oleh KK selaku ketua Karang Taruna.
“.....sebenarnya sih petugas K5 atau kasarnya mah tukang parkir bukan
seutuhnya pengangguran, karena mereka juga bekerja serabutan, ada yang jadi
tukang ojek, ada yang suka ke pasir nyari kayu, ada yang ngajar dan lainnya,
jadi tukang parkir hanyalah sampingan sajalah, lumayan atu kanggo nambah
penghasilan. Sesepi-sepinya masih tetep dapat uang walaupun Cuma Rp.5000.
dan yang jadi tukang parkir adalah anggota Karang Taruna, usianya sekitar 25
s/d 40 tahun.. karena gini, kita udah dikasih kepercayaan oleh Kepala Desa
untuk bertanggung jawab dalam mengelola parkir dan itu ada Sk nya. Di Karang Taruna sendiri yang bertugas menjadi petugas K5 terdiri dari 9 group,
satu group terdiri dari 7 orang dan mereka bekerja di roling, mereka bekerja setiap hari selama 24 jam, mereka di tempat-tempat yang sudah disepakati,
memang kelihatannya mereka engga ada, padahal mereka ada, biasanya mereka bersembunyi di warung-warung. Penghasilan yang didapatkan terserah
group mereka mau digimanain tapi yang jelas mereka harus ngasih ke kas Karang Taruna pergroup sebesar Rp. 7000 perminggunya. Kalo lagi sepi, kita
pake sistem ngutang, kayak gini di saat sepi mereka engga bayar tapi aklo lagi
rame mereka bayar double, karena engga mungkinkan sepei terus, pasti ada
ramenya, uang yang Rp. 7000 itu untuk kemajuan Karang Taruna....”47
Ekonomi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Jenis
pekerjaan apapun akan dilakukan demi bisa survive hidup di dunia. Ada
banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa mereka harus bekerja. Salah
satunya karena agama, sebagaimana yang dibahas oleh Max Weber, di mana
47Wawancara pribadi dengan KK, Cijagang, 26 Januari 2009.
prinsif agama (dalam hal ini calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan
ekonomi (kapitalisme).
Namun, di lapangan penulis tidak menemukan hal tersebut. Dari
beberapa responden yang diteliti, mereka mengatakan motivasi mereka
bekerja adalah faktor kebutuhan. Sebagaimana yang dituturkan oleh EW,
“.....motivasi saya mau menjadi kuncen (juru kunci) itu karena:
pertama, kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa saya memiliki
kelebihan yaitu ilmu. kedua, karena ibadah. Dan yang ketiga ya karena materi,
saya tidak memungkiri bahwa saya butuh materi untuk bertahan hidup, da
urang mah sanes banceuy ( kita mah bukan banceuy)......”
Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh Ibu NE, “abdi mah
dagangn nya karena butuh” (saya dagang ya karena saya butuh).
Begitupun yang diungkapkan oleh mang UF, “abdi mah damel didieu
teh da butuh mun teu aya padamelan anu sanes mah hoyong ngalih tapi
zaman ayeuna milari damel teh da ninganan susah.” (“saya kerja di sini
karena butuh kalo ada pekerjaan lain, pengen pindah tapi zaman sekarang
nyari kerja susah”)
2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah
Pada hakekatnya berziarah ke makam adalah untuk menyadarkan
manusia bahwa hidup di dunia hanya sementara, suatu saat kita juga akan
menjadi bagian dari penghuni makam tersebut. Orang yang berziarah ke
makam pada umumnya telah mengetahui siapa sebenarnya orang yang
menghuni makam tersebut. Informasi itu bisa didapatkan dari keluarga atau
pun tetangga. Seperti yang terjadi pada Ibu MA yang mengetahui makam
Dalem Cikundul dari keluarganya. Para peziarah yang datang ada yang
bersama rombongan maupun datang sendiri-sendiri.
Kedatangan peziarah sangat dinantikan para pedagang. Karena dari
kedatangan merekalah sumber penghasilan didapat. Dagangan yang biasa
ditemui di sana adalah berbagai jenis makanan khas seperti manisan ceremai,
manisan malaka, lantak goreng, manisan belimbing, puruy, sale dan lain-lain.
Terdapat pula pernak-pernik seperti tasbih, mainan anak-anak, aksesoris, dan
lain-lain. Selain itu, warung nasi dan makanan-makanan ringan pun tersedia di
sana.
Tumbuh dan berkembangnya para peziarah memang bisa
meningkatkan taraf hidup masyarakat walaupun tidak banyak. Setidaknya
masyarakat bisa bertahan hidup di tengah masyarakat yang dilanda krisis.
Namun, akhir-akhir ini jumlah peziarah semakin menurun dan itu berpengaruh
terhadap penghasilan para pedagang maupun orang-orang yang mengandalkan
hidup dari para peziarah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu NN, berikut
penuturannya,
“.....ayeuna mah sepi paling kengeng ngan ukur Rp. 30 ribu atawa 40
ribu sadinten, lamun rame paling Rp. 200-300 ribu sawengi tara pernah
langkung, tapi pernah waktu zaman pak Harto, kengeng ageung sampe
kapeser emas renceum kenca katuhu, tapi saatos krismon bujeng-bujeng
kengeng sakitu sareng deuih nu ziarah teh ayeuna mah sok nyarandak bekel
nyalira paling kadieu mah meser rencangna wungkul......” (“sekarang mah
sepi paling dapet Cuma Rp. 30 ribu atau 40 ribu sehari, kalo rame paling
Cuma Rp. 200 ribu semalam engga pernah lebih, tapi pernah waktu zaman
Pak Harto, penghasilan besar sampe bisa beli emas gelang kiri kanan, tapi
setelah krismon boro-boro dapet segitu dan lagi yang ziarah sekarang suka
bawa makan sendiri kesini Cuma beli lauknya doang”)
Tidak hanya Ibu NN yang merasakan hal tersebut tapi yang lainnya
juga merasakan hal tersebut. Karena sumber keuangan berada pada
kedatangan para peziarah. Ibu NE pun mengalami hal yang sama, berikut
penuturannya,
“....penghasilan teu tangtos, kadang kengeng 300 ribu, komo mun sepi
paling kengeng 30 ribu atawa 50 ribu, kadang-kadang teu kengeng sama
sakali, tapi pernah sakali kengeng sajuta sawengi, bulan mulud jum’at kliwon
mun teu salah mah, tapi waktu zaman pak Harto......” (“penghasilan engga
tentu kadang dapet 300 ribu, apalagi kalo sepi paling dapet 30 ribu atau 50
ribu, kadang-kadang engga dapet sama sekal, tapi pernah sekali dapet satu juta
semalem, bulan mulud jum’at kliwon kalo engga salah, tapi waktu zaman pak
Harto”)
Tapi lain halnya yang dirasakan oleh bapak AS dan Ibu YY, menurut
mereka banyaknya peziarah tidak berpengaruh terhadap penghasilan mereka,
berikut penuturannya. Menurut Ibu YY, “Teu ngaruh-ngaruh teuing sih,
soalna pernah keur rame malah teu meunang acis sama sekali” (“tidak
berpengaruh banget sih, soalnya, waktu rame malah tidak dapat uang sama
sekali”), sedangkan menurut bapak AS, “ka bapak mah teu ngaruh soalna
bapak jadi kuncen teh dah penghormatan ka bapak karena dipinta ku desa,
lagian bapak mah niatna ge ibadah” (“buat bapak tidak berpengaruh, soalnya,
bapak jadi kuncen sebagai penghormatan karena dipinta oleh desa, lagi pula
bapak mah niatnya juga ibadah”)
C. Perubahan Kehidupan Keagamaan
Penulis membatasi perubahan keagamaan di sini pada kepercayaan
terhadap yang sakral (atau yang gaib) dan ritual (atau kegiatan keagamaan).
1. Kepercayaan kepada yang sakral atau yang gaib
Yang dimaksud dengan kepercayaan kepada yang sakral atau yang
gaib di sini adalah kepercayaan terhadap ruh. Ruh merupakan perkara gaib,
yang tidak bisa diraba oleh tangan, dilihat oleh mata, dan dijangkau oleh akal.
Namun, umat muslim mempercayai dan mengimani akan eksistensinya.
Dalam dunia yang semakin modern ini, di mana teknologi semakin
canggih, dan temuan-temuan baru semakin bermunculan, kepercayaan
masyarakat terhadap yang sakral atau yang gaib tidak berubah.
Penulis melihat tidak ada perubahan dalam hal kepercayaan terhadap
yang sakral atau yang gaib. Semua responden mempercayai bahwa ruh Rd.
Aria Wira Tanu atau Dalem Cikundul bisa memberikan keberkahan kepada
masyarakat maupun kepada pengunjung. Berikut penuturan mereka Bapak
AS,
“....ruh ngadatangan kuburna saatos 3 hari, 7 hari, sabulan, bulan-
bulan tertentu, bahkan tiap tahun, meureun ceuk roh teh, ‘euh itu aing keur
didaharan ku cacing’, lamun urang-urang mah, moal bisa masihan
kaberkahan kecuali orang-orang anu boga elmu, soalna ku elmuna eta tiasa
masihan kaberkahan jang batur, soalna anjeuna langkung cakeut jeung gusti
Allah......” (“ruh akan mendatangi kuburnya setelah 3 hari, 7 hari, satu bulan, bulan-bulan tertentu, bahkan setiap tahun. Mungkin kata ruh teh, ‘oh ternyata
itu jasad saya yang sedang di makan cacing’, kalo orang seperti kita, kita
tidak bisa memberikan keberkahan kecuali orang-orang yang berilmu,
soalnya karena ilmunya itu bisa memberikan keberkahan kepada orang lain,
karena ia lebih dekat dengan Allah swt.”)
Hal senada diungkapkan ID,
“....saya percaya yen ruh Rd. Aria Wira Tanu tiasa masihan
kaberkahan ka urang, komo ka nu didagang anu ngagantungkeun ekonomina
ka nu ziarah nya karena aya makam eta, teras bisa membuka lapangan
pekerjaan eta buktina kaberkahan ayana makam.....” (“saya percaya bahwa
ruh Rd. Aria Wira Tanu bisa memberikan keberkahan kepada kita, apalagi
bagi pedagang yang menggantungkan ekonominya kepada peziarah ya karena ada makamnya, terus bisa membuka lapangan pekerjaan eta buktina
keberkahan adanya makam”)
Lain halnya yang diungkapkan oleh bapak EW, “ruh moal mere
nanaon soalna tos teu aya, anu dicari ku urang mah karomahna” (“ruh tidak
akan memberikan apa-apa, soalnya udah engga ada yang dicari oleh kita
adalah karomahnya”)
Dan bagi MA, dia tidak hanya percaya bahwa ruh bisa memberikan
keberkahan, tapi juga ia bisa merasakannya, berikut penuturannya,
“.....tiap kali saya datang, dan berziarah ke sini, selalu ada
manfaatnya, batin saya jadi lebih tenang, setiap kali datang ke sini selalu ada
peruabahan salah satunya ya itu tadi, perubahan itu bukan karena
makamnya tapi karena ziarah yang saya lakukan hanya sebagai syareat saja
hakikatnya tetap dari Allah swt., Kalo ada yang mengatakan bahwa itu
bid’ah atau apapun itu, bagi saya itu hak orang terserah kepercayaan
masing-masing, tapi bagi saya ziarah ke makam apalagi makam wali
disunahkan oleh Rasulullah SAW......”
Meskipun mereka masih mengimani dan meyakini akan keberkahan
yang diberikan ruh Rd. Aria Wira Tanu/Dalem Cikundul, demi menjaga
supaya peziarah tidak salah dalam memaknai ziarah mereka, sebelum
memulai tawasul, biasanya juru kunci (Kuncen) mengingatkan terlebih
dahulu bahwa kita tidak boleh meminta kepada kuburan, akan tetapi kita
hanya berdoa kepada Allah swt. Ziarah hanya sebagai jalan atau syariat saja.
Tidak ada ritual khusus dalam pelaksanaan ziarah, yang dilakukan
oleh peziarah hanya tawasul saja. Walaupun ada para peziarah yang
melakukan mandi di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti
pemandian Cijagang, Cikahuripan, dan Ciasihan. Demi menjaga niat baik
para peziarah, biasanya juru tawasul/kuncen sebelum melakukan tawasul suka
mengingatkan kepada pengunjung bahwa mereka hanya berdoa kepada Allah
swt. saja bukan kepada makam/eyang.
2. Ritual atau Kegiatan Keagamaan
Dalam kegiatan/ritual keagamaan di sini adalah Peringatan Hari Besar
Islam (PHBI). Dalam kegiatan keagamaan tidak ada yang berbeda dari tiap
tahunnya, kegiatan yang biasanya dilakukan adalah Mauludan, Rajaban, dan
Muharraman (dalam menyambut tahun baru Islam). Sebagaimana diketahui
bahwa bulan Mulud adalah bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam,
karena pada bulan inilah baginda besar kita Muhammad SAW dilahirkan.
Begitupun dengan bulan Rajab, di mana Rasulullah melakukan perjalanan
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga ke Sidratul Muntaha dan
mendapatkan tugas/perintah untuk melaksanakan sholat 5 waktu, peristiwa itu
dikenal dengan Isra Mi’raj.
Perayaan untuk memperingati Mauludan maupun Rajaban dari satu
tempat ke tempat yang lain hampir sama. Sama halnya dengan di daerah
makam. Di Majalaya sendiri, peringatan Mauludan dan Rajaban dilaksanakan
pada masing-masing mesjid dari tiap ke-Rtan secara bergilir setiap harinya.
Sedangkan di makam Dalem Cikundul peringatan Mauludan dan Rajaban
dilaksanakan sesuai kesepakatan dari 3 pihak, yaitu: Pengurus Makam
Keramat Cikundul, Desa dan Karang Taruna. Pelaksanaan Mauludan maupun
Rajaban yang diadakan di makam biasanya lebih ramai dibandingkan dengan
di mesjid-mesjid yang ada di Majalaya. Karena, selain diramaikan oleh para
peziarah, sudah menjadi kebiasaan untuk memperingati Maulud Nabi dan
Rajaban selalu mengadakan Tablig Akbar dengan mengundang pembicara
(da’i) dari luar daerah. Peringatan tersebut sudah berlangsung sejak lama,
turun temurun dari dulu.
Sedangkan untuk memperingati tahun baru Islam (Muharram), agenda
yang selalu dilaksanakan adalah khitanan masal. Peserta khitan massal
diambil dari anak yang tidak mampu, anak yang sudah layak untuk dikhitan,
dan anak yang mau dikhitan walaupun usianya masih kecil. Pelaksanaan
khitan massal sudah berlangsung sejak tahun 1998 dengan Djarum Super
sebagai sponsor tetap. Djarum Super bisa menjadi sponsor tetap karena
hampir di setiap warung menjual rokok Djarum Super dan laris. Selain
Djarum Super, dana lain diperoleh dari donatur, serta mengajukan proposal
kepada instansi yang ada seperti PEMDA. Semua orang terlibat dalam
menyukseskan acara khitan masal tersebut, mulai dari kepala desa, aparatur
desa, ketua RT, pengurus makam, bahkan masyarakat seluruhnya.48
48Berdasarkan hasil pengamatan penulis atas informasi dari warga sekitar
yang bukan responden yang telah ditetapkan.
OUT LINE
MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, Cianjur)
BAB I PENDAHULUAN
F. Latar Belakang Masalah
G. Pembatasan dan Perumusan Masalah
H. Tujuan dan Manfaat Penelitian
I. Metode Penelitian
J. Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
D. Makam Keramat
3. Pengertian Makam Keramat
4. Simbol dan Sakralitas
E. Perubahan Sosial
4. Pengertian Perubahan Sosial ekonomi
5. Faktor-faktor Perubahan Sosial ekonomi
6. Pola-pola Perubahan Sosial ekonomi
F. Agama dan Perubahan Sosial
3. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial
4. Agama dalam Proses Modernisasi
5. Perubahan Sosial Keagamaan di Indonesia
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Majalaya
4. Geografi dan Demografi kampung Majalaya
5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya
6. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya
B. Makam Dalem Cikundul
1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul
2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul
BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
D. Perubahan Kehidupan Sosial
3. Pemahaman terhadap Sakralitas Makam
4. Stratifikasi Sosial dalam Birokrasi Makam
E. Perubahan Kehidupan Keagamaan
3. Tentang Tuhan
4. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus
F. Perubahan Kehidupan Ekonomi
3. Komersialisasi Makam
4. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah
BAB V PENUTUP
C. Kesimpulan
D. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: T. Pn, 1978.
Agus, Bustamin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Al-albani, M. Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. Jakarta: Gema
Insani, 1999.
Ali, Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: CV. Rajawali, 1987
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
Chambert, Henri, dkk. Ziarah & Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2007.
Damsar. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986.
Kahdi, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005.
Lauer, Robert H. Perspektif Perubahan Sosial. edisi ke-2. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1993.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori. Mengerti Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Nurhadiansyah, Iman. "Pariwisata dan Perubahan Sosial". Skripsi S-1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005.
OC, Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Kanisius, 1998.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _. Sosiologi Sistematik. Jogjakarta: Kanisius, 1989.
O'dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Pridhadhi, Endra K. Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan. Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004.
Qaradhawi, Yusuf. Sekular Ekstrim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.
Rahmat, Jalaludin. Psikologi Agama. Bandung: Mizan, 2003.
Razaq, Yusron dan Ervan Nurtawab. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon
Guba. Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Jogja, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Subhani, Syaikh Fajar. Tauhid dan Syiriq Studi Kritis Faham Wahabi. Bandung:
Mizan, 1987.
Sucipto, Toto. "Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Keramat Wangsa
Goparana Sagalaherang". Dalam Sindu Galba, ed. Budaya Spiritual
Masyarakat Sunda. Bandung: Alqaprint Jatinangor, t.t.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis, 2005.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2007.
Tumanggor, Rusmin. Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2004.
Veeger, K. J. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia, 1993.
Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar (Rd. Ngabehi Jayasasana)
Dalem Cikundul di tulis oleh Cc Irwansyah.
Wawancara pribadi dengan Ibu Maska’nah, 18 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Ibu NN, 19 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Ibu YY, 19 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Mang UF, 19 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Ibu NE, 20 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Bapak TW, 20 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Bapak EW, 20 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan ID, 21 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Bapak AS, 25 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan KK, 26 Januari 2009.
Nomor : Istimewa
Lampiran : Satu berkas
Hal : Proposal Pengajuan Judul Skripsi
Kepada Yang Terhormat
Ketua Jurusan Sosiologi Agama
Di tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera saya sampaikan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa di beri kemudahan dan sukses dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari.
Sehubungan dengan syarat untuk mendapatkan gelar S-1 pada Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nia Purnamasari
NIM : 104032201031 Fak/Prodi : Ushuluddin dan Filsafat/Sosiologi Agama
Semester : IX
Bermaksud untuk mengajukan proposal skripsi dengan judul “Makam Keramat
dan Perubahan Sosial ekonomi (Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam
Dalem Cikundul, Majalaya, Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur)”.
Sebagai bahan pertimbangan, maka saya lampirkan:
1. Out line Skripsi
2. Abstraksi
3. Daftar Pustaka Sementara
4. Sertifikat Praktikum
Demikian proposal ini saya ajukan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr. Wb.
Jakarta, 5
Agustus
2008
Dosen Pembimbing Akademik Pemohon
Dra. Jauharatul Jamilah, Msi Nia
Purnamas
ari
Mengetahui,
Ketua Jurusan Sosiologi Agama
Dra. Ida Rosyidah, M.A.