makanan kecil
DESCRIPTION
Makanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilMakanan kecilTRANSCRIPT
Apa itu konstitusi? Jawaban paling sederhana atas pertanyaan
tersebut adalah pertama, konstitusi sebuah negara adalah dokumen
tertulis atau teks yang menjabarkan kekuataan atas parlemen,
pemerintahan, pengadilan atau institusi nasional penting lainnya.
Hampir semua negara memiliki konstitusi tipe ini. Kedua,
konstitusi yang mengacu pada aturan hukum yang menjabarkan
kekuatan para menteri dan Parlemen dan mengatur hubungan antara
keduanya.1 Aturan hukum adalah aturan yang diinterpretasikan dan
dilaksanakan oleh pengadilan; Sedangkan yang non aturan hukum
adalah kebiasaan atau konvensi-konvensi dianggap sebagai
penetapan kewajiban meskipun mereka tidak dilaksanakan oleh
hakim.2
Secara etimologis antara kata “konstitusi”,
“konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama,
namun penggunaan atau penerapannya berbeda. Konstitusi adalah
segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-
Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu
negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang
maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau
menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut
adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan
1 K.C. Wheare, Modern Constitutions, Edisi Kedua, Oxford, 1966, hlm. 1.
2 Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, Oxford, Oxford University Press, 1998, hlm. 1.
FN0311 1
konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.3
Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu
politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi
(konstitusionalisme) terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
3. Peradilan yang bebas dan mandiri
4. Pertanggungjawaban pada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan “maskot” bagi
suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu
pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur
prinsip-prinsip diatas, namun tidak diimplementasikan. Dalam
praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan
sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham
konstitusi.4
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya
merupakan proses sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk
dikaji. Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah
3 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991, hlm. 521.
4 Ciri-ciri pemerintahan yang konstitusional; memperluas partisipasi politik, memberi kekuasaan legislatif pada rakyat, menolak pemerintahan otoriter, dan sebagainya. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 16.
FN0311 2
disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani,
dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hukum (semacam
kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M.)
Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi
Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah
konstitusi dari berbagai negara.
Pemahaman awal tentang “konstitusi” pada masa itu, hanyalah
merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan
semata-mata. Kemudian pada masa Kekaisaran Roma, pengertian
constituionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para
preator. Termasuk di dalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari
para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat di
samping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup
besar sampai abad pertengahan. Di mana konsep tentang kekuasaan
tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma telah menjelma
dalam bentuk L’Etat General di Perancis, bahkan kegandrungan
orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi
tumbuhnya paham: “Demokrasi Perwakilan” dan “Nasionalisme”. Dua
paham inilah merupakan cikal bakal munculnya paham
konstitusionalisme modern.5
5 C.F. Strong, Modern Political Constitusions, London, Sidgwick, & Jackson Limited, 1996, hlm. 20.
FN0311 3
Pada zaman abad pertengahan corak, konstitusionalismenya
bergeser ke arah feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu
pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah. Suasana
seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang
harus mengabdi pada salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang
semestinya mempunyai status lebih tinggi daripada tuan tanah,
menjadi tidak mendapat tempat.6
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar
tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula
tidak tertulis.
Menurut Brian Thompshon, secara sederhana pertanyaan: what
is a constitusion dapat dijawab bahwa “...a constitution is a
document which contains the rules for the operation of an
organization”.7
Istilah konstitusi berasal dari Bahasa Perancis (constituer)
yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang
dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan
menyatakan suatu negara.8
6 Koerniatmo Soetoprawiro, Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2 Tahun V, Mei 1987, hlm. 23.
7 Brian Thompsons, Textbook on Constitusional and Administrative Law,edisi ke 3, Blackstone Press ltd., London, 1997, hlm. 3.
8 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara Di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10.
FN0311 4
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa
Indonesia disebut konstitusi.9 Pengertian konstitusi, dalam
praktik dapat berarti luas daripada pengertian Undang-Undang
Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-
Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan
diselenggarakan.
Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah
studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia dan yang
dituangkan dalam buku dengan judul Written Constitution, antara
lain mengatakan bahwa:
1. Constitution as means of forming the state’s own
political and legal system
2. Constitution as a national document dan as a birth
certificate dan bahkan as a sign of adulthood and
independence.10
9 Sri Soemantri M., Susunan Ketatanegaraan Menurut UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29.
10 Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, dikutip dari Jurnal Hukum, No. 6 Vol. 3, 1996, hlm. 4.
FN0311 5
Kedua ahli Hukum Tata Negara Belanda di atas mengatakan, bahwa
selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat
untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya
sendiri. Itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken Undang-Undang
Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen
formal yang berisi:11
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
waktu sekarang ataupun waktu yang akan dating;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Apabila masing-masing materi muatan tersebut dikaji, maka
kita dapat menarik kesimpulan bahwa disamping sebagai dokumen
nasional dan tanda kedewasaan dari kemerdekaan sebagai bangsa,
konstitusi juga sebagai alat yang berisi sistem politik dan
sistem hukum yang hendak diwujudkan.
Menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai:12
11 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 1.
12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
FN0311 6
1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan
sebagainya.
2. Hak-hak asasi manusia.
3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu
dari Undang-Undang Dasar.
Konstitusi dapat digolongkan dalam beberapa cara. Beberapa
di antaranya kurang penting atau tidak membantu. Perbedaan klasik
digambarkan oleh Bryce adalah antara konstitusi fleksibel dan
kaku.13 Konstitusi dari Inggris termasuk kategori fleksibel,
seperti halnya yang Roma Kuno. Dalam konstitusi yang fleksibel
tidak ada perbedaan antara hukum biasa dan konstitusional. Dalam
hal prinsip hukum dan prosedur, yang terakhir dapat diubah atau
dicabut dengan mudah sebagai sediakala. Konstitusi kaku, di sisi
lain, hanya dapat diubah dengan prosedur tertentu yang ditetapkan
dalam konstitusi itu sendiri, seperti referendum atau suara
mayoritas khusus, mungkin dua-pertiga, dari anggota dari setiap
rumah legislatif.
13 J. Bryce, Studies in History and Jurispriudence, Oxford, 1901, Esai III.FN0311 7
Ada dua alasan mengapa perbedaan antara konstitusi fleksibel
dan kaku sekarang agak tidak membantu. Pertama, kelompok
konstitusi fleksibel, mereka yang dapat diubah dengan prosedur
legislatif biasa, terlalu kecil. Kedua, perbedaan itu
menyesatkan, sejauh ini diambil untuk menunjukkan bahwa dalam
prakteknya konstitusi kaku tentu tidak mungkin atau sangat sulit
untuk mengubah.
Apabila hendak mengetahui klasifikasi konstitusi, tentunya
harus membandingkan beberapa konstitusi yang ada di beberapa
negara. Dari sekian banyak yang dianggap mewakili adalah salah
seorang ahli konstitusi dari Inggris, yaitu K.C. Wheare yang
berpendapat tentang macam-macam klasifikasi suatu konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Wheare mengungkapkan panjang lebar mengenai
macam-macam konstitusi dilengkapi dengan beberapa contoh
konstitusi di beberapa negara, namun pada intinya adalah sebagai
berikut:14
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis
(written constitution and no written constitusions)
2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible
constitution and rigid constitution);
14 K.C. Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975, hlm. 2-31.
FN0311 8
3. Konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-
tinggi (supreme constitution and not supreme
constitution);
4. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal
constitution and unitary constitution);
5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan
konstitusi sistem pemerintahan parlementer (presidential
executive and parliamentary executive constitution).
Berdasarkan klasifikasi konstitusi di atas, Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang
rijid, konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen,
konstitusi berderajat tinggi, konstitusi kesatuan, dan yang
terakhir termasuk konstitusi yang menganut sistem pemerintahan
campuran. Karena dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disamping
mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, juga
mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer. Di
sinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Walton H. Hamilton memulai artikel yang ditulisnya dengan
judul Constitutionalism yang menjadi salah satu entry dalam
Encyclopedia of Social Sciences tahun 1930 dengan kalimat
”Constitutionalism is the name given to the trust which men
repose in the power of words engrossed on parchment to keep
FN0311 9
government in order”.15 Untuk tujuan to keep a government in
order itu diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga
dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan
dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk
merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam
kehidupan umat manusia.
Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
mengambil bentuknya dalam doktrin king-in-parliament, yang ada
pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas.
Karena itu, seperti diuraikan oleh Richard S. Kay:
“By 1776 Blackstone was able to write that was Parliament does “no authority upon earth can undo”. It was partly in response to the positing of a leviathan-state that the idea of a government of limited purpose, and therefore of a limited power, was reformulated and explicated.”16
Oleh sebab itu, konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap
sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern.
Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints
upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum
atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi
15 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hlm. 225.
16 Larry Alexander, Constitutionalism: Philosophical Foundations, Cambridge University Press, 1998, hlm. 18 dan 51.
FN0311 10
negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan
melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut
negara.17
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman
modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan, yaitu:18
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama.
Berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan
tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu
negara.
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaran negara.
Kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas
aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus
kedua ini juga sangat prinsipil karena di dalam suatu
negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang
hendak harus ada keyakinan bersama.
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur-
prosedur ketatanegaraan.
17 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism (3rd edition, 1968), Van Nostrand Company, New Jersey, hlm. 9.
18 Ibid., hlm. 12-13.FN0311 11
Dengan adanya kesepakatan mengenai bangunan organ negara dan
prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ-
organ negara serta hubungan antar organ-organ tersebut dan
warga negara, maka isi konstitusi dapat dengan mudah
dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama.
Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenar-
benarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan yang
lazim disebut sebagai prinsip limited government. Karena itu
menurut William G. Andrews, “Under constitionalism, two types pf
limitations impinge on the government. Power prescribe and
procedures prescribed”.19 Kekuasaan melarang dan prosedur
ditentukan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu: hubungan antara pemerintahan
dengan warga negara; dan hubungan antara lembaga pemerintahan
yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu
biasanya konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal
penting, yaitu (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ
negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga negara yang satu
dengan lembaga negara yang lain, dan (c) mengatur hubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Thomas Paine dalam bukunya Common Sense dikatakan bahwa
konstitusi juga mempunyai kewenangan sebagai “a national symbol”.
19 Ibid., hlm. 13.FN0311 12
Menurut Paine20 konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja
dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan
fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan
fungsi kepala negara.
Relatif mudah untuk menyarankan beberapa jawaban terhadap
pertanyaan tentang fungsi dan tujuan dari Konstitusi. Kita dapat
melihat pada situasi politik di mana mereka disusun dan diadopsi.
Pertama, kesempatan umum untuk membingkai konstitusi adalah
emansipasi suatu negara dari sebuah rezim kolonial. Kedua,
konstitusi dibuat untuk mendirikan prinsip yang fundamental dari
sistem baru pemerintahan setelah revolusi. Ketiga, setelah Perang
Dunia ketiga, Jerman, Itali, dan Jepang semua mengadopsi
konstitusi baru, untuk membuat sebuah awal baru menyusul
kekalahan mereka dan pengalaman pemerintahan totaliter.21
Dengan demikian, menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi-fungsi
konstitusi dapat dirinci sebagai berikut:22
1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dan
warga negara.
20 Political Works, Belfords, Clark and Co., Chicago, 1879, hal. 33.
21 Eric Barendt, An Introduction.. Opcit, hlm. 3.
22 Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Cet. 2), Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 33-34
FN0311 13
4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber
kekuasaan yang asli (yang dalam system demokrasi adalah
rakyat) kepada organ negara.
6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
7. Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan
kebangsaan.
8. Fungsi simbolik sebagai pusat upacara.
9. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam
arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti
luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
10. Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan
masyarakat, baik dalam arti sempit maupunn dalam arti
luas.
Menurut Sri Soemantri dalam disertasinya, tidak ada satu
negara pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi
atau Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.23
Pernyataan yang senada bahkan sedikit lebih radikal bahwa tanpa
konstitusi negara tidak mungkin ada.24
23 Sri Soemantri, Prosedur…, op.cit., hlm. 1-2.
24 Max Boli Sabon, Fungsi Ganda Konstitusi, PT Graviti, Bandung, 1991, hlm. 44.
FN0311 14
Asal-usul konstitusi dalam suatu negara pada dasarnya sudah
bisa diketahui dari sejarah dan pertumbuhan konstitusi di masing-
masing negara. Asal-usul konstitusi sebagai hukum dasar dari
negara-negara tersebut dapat digali dari dua sudut pandang yaitu
dari sudut bentuk negara dan dari sudut pembentuk konstitusinya.
Dari sudut bentuk negara, Hawgood dalam bukunya Modern
Constitution Since 1787 mengemukakan bahwa sebenarnya ada
Sembilan macam bentuk negara yang sekaligus menunjuk bentuk-
bentuk konstitusinya. Tetapi kesembilan bentuk negara itu telah
menjadi bangunan-bangunan historis dimana sekarang sudah tidak
mempunyai arti lagi. Maka dari itu hanya diambil tiga bentuk
negara, yaitu:25
1. Spontaneous State (Spontane Staat). Konsitusinya disebut
Revolutionary Constitution.
Adalah negara yang timbul sebagai akibat revolusi. Dengan
demikian konstitusinya bersifat revolusioner.
2. Negotiated State (Parlementaire Staat). Konstitusinya
disebut Parlementarian Constitution.
Adalah negara yang berdasarkan pada kebenaran relatif.
Bukan berdasarkan absolute waarheid seperti oosterse
demokratie, yaitu Rusia.
3. Derivative State (Algeleide Staat). Konstitusinya disebut
Neo-National Constitution.
25 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 141.FN0311 15
Adalah negara yang konstitusinya mengambil pengalaman
dari negara-negara yang sudah ada. Derivative State ini
hanya meniru, tidak ada buah pikiran yang asli. Bentuk
negaranya juga meniru negara barat.
Neo-Nationalisme ini menurut Prof Djokosutono ialah
nasionalisme yang timbul akibat Perang Dunia I. Mereka itu meniru
konstitusi dari negara barat. Kesalahan Hawgood; kata
Djokosutono, derivative state tidak overnmen segala-galanya
begitu saja. Melainkan mau tidak mau harus dipengaruhi oleh natur
un kulturbedingungen. Mestinya derivative state jangan dipandang
secara mutlak, tetapi harus ada penyesuaian dengan keadaan negara
sendiri. Inilah kritik Djokosutono terhadap Hawgood.26
Konsekuensi logis dari kenyataaan bahwa tanpa konstitusi
negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi
yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara.
Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. DR. A. Hamid Attamimi, dalam
disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau
Undang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi
batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus
dijalankan.27
26 Djokosutono, Hukum Tata Negara, (dihimpun oleh Harum al-Rasid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 90.
27 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, UI, Jakarta, 1990, hlm. 215.
FN0311 16
Pada sisi lain, eksistensi suatu “negara” yang diisyaratkan
oleh A.G. Pringgodigdo, baru riel-ada kalau memenuhi empat unsur
(1) memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat, (2) wilayah
tertentu, (3) rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa dan
(4) pengakuan dari negara-negara lain.28
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi
(grondwet) dari dua segi. Pertama, dari segi isi karena
konstitusi memuat dasar dari struktur dan memuat fungsi negara.
Kedua, dari segi bentuk oleh karena memuat konstitusi bukan
sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa saja oleh seorang
raja, raja dengan rakyat, badan konstituante atau lembaga
diktator.29
Membahas Undang-Undang Dasar 1945 atau Konstitusi Negara
Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus
1945, yakni sehari setelah proklamasi kemerdekaan. undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dituangkan dalam
sebuah dokumen formal, dimana dokumen tersebut telah dipersiapkan
jauh sebelum Indonesia merdeka, dan baru dirancang oleh Badan
Penyeledik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
dengan dua masa sidang yaitu tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan
tanggal 10 – 17 Juli 1945. Sebagai dokumen formal, undang-Undang
28 C.S.T. Kansil, Hukum Antar Tata Pemerintahan, Airlangga, Jakarta, hlm. 13.
29 Djokosutono, Hukum…, op.cit., hlm. 48.FN0311 17
Dasar Tahun 1945 ditetapkan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh PPKI.30
Berbicara tentang fungsi dan peranan undang-Undang Dasar
Tahun 1945, sejarah telah membuktikan melalui beberapa kurun
waktu berlakunya undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara teoritis
pergantian undang-Undang Dasar setidak-tidaknya telah membawa
perubahan struktural dan mekanisme penyelenggaraan pemerintah
negara, dan kemungkinan yang lebih jauh ialah perubahan dasar
filsafat dan tujuan negara. Tetapi dalam praktek ketatanegaraan
di Indonesia, ternyata pergantian undang-Undang Dasar itu tidak
membawa perubahan pada dasar filsafat dan tujuan negara, dan
hanya terbatas pada perubahan struktur, mekanisme, dan policy
saja. Jadi dasar filsafat negara kita tetap Pancasila dan tujuan
pokoknya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
30 Saefroedin Bahar, dkk. Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1992, hlm. 137 – 290 (Sidang BPUPKI) dan hlm. 293-324 (Sidang PPKI).
FN0311 18
Fungsi dan peranan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara
konsepsional tercermin dalam; berfungsinya Pancasila sebagai
landasan filosofi bangsa, berfungsinya sistem presidensial secara
konstitusional sebagai landasan struktural yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar, dan berfungsinya tujuan nasional yang
terimplementir dalam kebijaksanaan politik yng tertuang dalam
GBHN.31
Fungsi dan peranan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara
operasional artinya apa yang telah tercermin di dalam peranan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara konsepsional di atas,
benar-benar terealisir secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan hanya itu saja, tapi mampu dilestarikan serta
peningkatan usaha-usaha pelestariannya. Semua ini harus
dilaksanakan oleh superstruktur (Pemerintah), infrastruktur
(Partai Politik dan lain-lain) dan segenap masyarakat seluruhnya.
32
Semua konsepsi di atas, sebenarnya telah dicita-citakan oleh
para tokoh bangsa ini sebagaimana jauh sebelumnya telah
dituangkan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
31 Dahlan Thaib, Teori Hukum dan Konstitusi, Cetakan kelima, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 92.
32 Dahlan Thaib, Teori Hukum..., Ibid, hlm. 93. FN0311 19
FN0311 20