makna ajaran yesus tentang kebahagiaan studi hermeneutik ......makna ajaran yesus tentang...

38
Makna Ajaran Yesus tentang Kebahagiaan Studi Hermeneutik terhadap Matius 5:1-12 dalam Konteks Sosio-Politik Oleh: Vina Priselia Inik 712014067 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.-Teol.) Program Studi Teologi Fakultas Teologi UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Upload: others

Post on 17-Dec-2020

54 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Makna Ajaran Yesus tentang Kebahagiaan

    Studi Hermeneutik terhadap Matius 5:1-12 dalam Konteks Sosio-Politik

    Oleh:

    Vina Priselia Inik

    712014067

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,

    Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

    (S.Si.-Teol.)

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

    Motto

    Jika kita berdoa dan bekerja maka Tuhan tidak akan

    diam, Dia akan bekerja sesuai waktuNya, dan waktu

    Tuhan pasti yang terbaik

    1 Tawarikh 28:9b

    Sebab Tuhan menyelidiki segala hati dan mengerti segala

    niat dan cita-cita. Jika engkau mencari Dia, maka Ia

    berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau

    meninggalkan Dia maka Ia akan membuang engkau

    untuk selamanya.

  • vii

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus yang selalu hadir sebagai Ibu maupun Bapa

    yang oleh hikmatNya telah membawa dan menutun penulis dalam proses penulisan tugas

    akhir ini sehingga boleh terselesaikan dengan segala baik. Proses penulisan tugas akhir ini

    turut menjadi perjalanan iman penulis yang oleh kasihNya telah menghadirkan lingkungan

    yang mendukung serta orang-orang terkasih yang turut dalam terselesaikannya tugas akhir

    ini, untuk itu penulis berterimakasih kepada:

    1. Mama, Papa, opa Moses, kakak Klartje, Sufery, Esty, Onyong, Amelia dan adik

    Ambrosius serta ponakan-ponakan tersayang yang selalu menyemangati dan

    selalu mendoakan penulis.

    2. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang telah menerima dan

    mengijinkan penulis untuk dapat berproses dalam kampus hijau ini.

    3. Fakultas Teologi mulai dari para pimpinan, dosen, staf, serta petugas kebersihan

    yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman serta menciptakan

    lingkungan yang mendukug bagi penulis selama proses perkuliahan.

    4. Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si., MATS., Ph.D., sebagai Pembimbing I, serta

    Pdt. Gunawan Y.A Suprabowo, D.Th., sebagai Pembimbing II, yang dengan setia

    selalu mengarahkan dan membimbing penulis serta memperlengkapi penulis

    dengan berbagai ilmu demi rampungnya tugas akhir ini.

    5. Wali studi bersama rekan-rekan anak wali perwalian Pdt. Dr. Jacob Daan Engel.

    6. Kak Astrid Lusi dan kak Jilly Pingkan Kaunang yang telah menuntun penulis

    untuk masuk dalam dunia Hermeneutik Perjanjian Baru melalui ilmu, semangat

    serta buku-buku yang diberikan.

    7. Tiga perempuan hebat yang sudah bersama dengan Tuhan Yesus oma Distrina

    Hulukiti-Inik, oma Mathilda Soesamnto dan mama Selly yang selalu

    menyemangati dan mendoakan penulis selama hidup di dunia.

    8. Papa bo’i, mama, dan kak Hendramus Haning yang selalu menyemangati dan

    mendoakan penulis.

    9. Om Herman Kanalebe dan tante Debby Kimbal sebagai orang tua di Salatiga yang

    selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis.

    10. Untuk keluarga besar yang ada di Weda, Tobelo dan Bali yang selalu mendoakan

    dan memberikan semangat.

  • viii

    11. GKPB jemaat ‘Mandira Santi Negara, Gereja Kristen Jawa Tengah utara

    (GKJTU) jemaat ‘Salatiga, Gereja Kristen Indonesia (GKI) jemaat ‘Soka’

    Salatiga, serta Sekolah Dasar (SD) Kristen 4 Eben Haezer Salatiga, yang telah

    memberikan kesempatan melayani serta memperlengkapi penulis dengan

    pengalaman-pengalaman yang sangat mendukung bagi proses pembelajaran

    penulis.

    12. Rekan-rekan Teologi angkatan 2014 Bisa, Maju, Berprestasi! beserta pengurus

    angkatan periode 2017-selesai, yang telah menjadi saudara seperjuangan dan

    sepelayanan.

    13. Teman sepermainan dan seperjuangan, Sri Armita Sari, Devi Rosalia, Rahmania

    Yahya dan Nayat.

    14. Sahabat-sahabat terkasih, Rambu Lika Ndima, Nezia Mavitau, Frenky Kandars,

    Ara Tiara, Regina Magiantang, Rebeka Rubu, Hany Hawu, Putri Matalu, Jacobus

    Nahumury, Gabriel Angkouw, Risvanli Tongo-tongo, Marlen Bauronga dan kak

    Wina yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis bisa

    menyelesaikan tulisan ini.

    15. Rekan-rekan PPL 1-5 yang telah menjadi rekan sepelayanan selama PPL.

    16. Evi, Dania dan Josir sebagai teman seperjuangan dalam kelompok bimbingan

    yang memberikan semangat dan menemani hingga akhir penulisan Tugas Akhir.

    17. Anak-anak kos Kemiri 1 no 10 kak Dhini, kak Zhina, Chelsea Tuhuleruw, Agnes,

    dan Citra Nebore.

    18. Kak Agnes, kak Kezia, kak Fero, kak Diana, Putri Dakamoly dan teman-teman

    Perkantas.

    19. Suster Graciela yang sudah membantu penulis dengan semangat, doa dan buku-

    buku yang dipinjamkan.

    20. Iren, Sindy, Ti’i Amel, To’o, Nuel, Jun, Feliks dan anak Gang Bambu yang sudah

    menjadi keluarga dan mberikan semangat selama masa penulisan Tugas Akhir.

    21. Kak Selda, kak Mimi dan kak Vian yang sudah menjadi keluarga sejak awal

    penulis ke Salatiga sampai saat ini, yang selalu memberikan semangat dan doa.

    “God Is Good All The Time, All The Time God Is Good”

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman judul i

    Lembar Pengesahan ii

    Pernyataan Tidak Plagiat iii

    Pernyataan Persetujuan Akses iv

    Pernyataan Persetujuan Publikasi v

    Motto vi

    Ucapan Terimakasih vii

    Daftar isi ix

    Abstrak x

    1. Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1

    1.2. Rumusan Masalah 3

    1.3. Tujuan Penulisan 3

    1.4. Metode Penelitian 3

    1.5.Manfaat Penulisan 4

    1.6. Sistematika Penulisan 4

    2. Konteks Sosio-Politik Injil Matius 5:1-12 4 2.1. Penulis 4

    2.2.Waktu dan tempat Penulisan Injil Matius 6

    2.3.Alamat dan Tujuan Penulisan Injil Matius 7

    2.4. Situasi Pemerintahan Masa Penulisan Matius 5:1-12 8

    2.4.1.Kebijakan Sosial-Politik 8

    2.4.2.Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kebijakan Politik 11

    3. Rekonstruksi Makna Kebahagiaan dengan Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap Matius 5:1-12 15

    3.1. Kebahagiaan Mencakup Relasi Personal dengan yang Transenden 15

    3.2. Terhapusnya Perbedaan Kelas Sosial sebagai Elemen Kebahagiaan 18

    3.3.Keadilan dan Kebenaran sebagai Sumber Kebahagiaan 19

    4. Relevansi Rekonstruksi Sosio-Politik tentang Kebahagiaan Menurut 5:1-12 bagi Indonesia Masa Kini 22

    4.1. Kebahagiaan dalam Konteks Indonesia 22

    4.2. Sumbangsih Rekonstruksi Kebahagiaan Bagi Masyarajat Indonesia 24

    5. Penutup 24 5.1. Kesimpulan 24

    5.2. Saran 25

    6. Daftar Pustaka 26

  • x

    Abstrak

    Salah satu hal yang menjadi tujuan manusia adalah mengalami kebahagiaan. Namun

    kebahagiaan dalam konteks Indonesia sering dipandang sebagai hal yang menyenangkan

    secara lahir batin dan memiliki segala hal yang dibutuhkan. Dalam tulisan ini penulis

    mencoba untuk merekontruksi kembali makna kebahagiaan dari Injil Matius 5:1-12 dengan

    menggunakan studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Pendekatan sosio-politik

    ini dilakukan untuk melihat kembali latar belakang sosio-politik teks Matius 5:1-12. Dari

    latar belakang teks sosio-politik ditemukan makna kebahagiaan yang melampaui kesenangan

    lahir batin yaitu kebahagiaan dengan menjunjung tinggi hubungan yang baik dengan yang

    Transenden, kesetaran dalam masyarakat, keadilan dan kebenaran sebagai sumber

    kebahagiaan dalam kehidupan bersosial-politik. Dengan adanya makna kebahagiaan yang

    baru ini, gereja mampu berkonstribusi memberikan kebahagiaan kepada jemaat dengan tidak

    hanya memperhatikan pertumbuhan iman dalam jemaat melainkan pertumbuhan iman itu

    didasari dengan tindakan kesetaraan dalam jemaat dan masyarakat tanpa pandang bulu.

    Gereja juga mampu berperan dalam kesejahteraan masyarakat untuk tetap melakukan

    keadilan dan kebenaran demi kesejahteraan masyarakat yang menghasilkan kebahagiaan

    dalam kehidupan bersosial-politik.

    Kata Kunci : Kebahagiaan, Matius 5:1-12, Sosio-Politik

  • 1

    I. Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Salah satu hal yang menjadi tujuan manusia adalah mengalami kebahagiaan.

    Kebahagiaan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata “bahagia” yang berarti

    suatu keadaan atau perasaan senang, tentram, bebas dari segala hal yang menyusahkan.

    Sedangkan kebahagiaan merupakan kondisi dimana manusia merasakan kesenangan,

    keberuntungan, kemujuran dan ketenteraman hidup yang bersifat lahir batin.1

    Dalam

    Merriam Webster Dictionary, Happiness (kebahagiaan) berasal dari kata Happy yang berarti

    feeling or showing pleasure yang menunjuk pada kesenangan atau perasaan senang.

    Sedangkan kata Happiness berarti a state of well-being and contentment yang menunjuk pada

    kondisi kesejahteraan, kegembiraan dan kepuasaan diri.2 Dari definisi kamus ini kebahagiaan

    mencakup empat elemen utama yakni perasaan senang, perasaan nikmat, perasaan tentram,

    dan perasaan kecukupan dari segi material. Pemahaman makna kebahagiaan ini membuat

    manusia menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup.3

    Dalam Ilmu Psikologi makna kebahagiaan adalah ketenangan batin, dan terpenuhinya

    kebutuhan-kebutuhan pokok menurut teori Abraham Maslow, mulai dari kebutuhan

    fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk diterima, kebutuhan untuk dihargai,

    dan kebutuhan aktualisasi diri.4 Sementara itu, dalam ilmu Filsafat menurut Plato gerak jiwa

    untuk meraih kebahagiaan dan keutamaannya harus mengarah kepada sesuatu di luar diri

    manusia yang disebut sebagai Tuhan. Gerak jiwa yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat

    materi atau fisik hanya memasung jiwa dalam kegelisahan dan kehampaan semata. Oleh

    karena itu manusia harus menggerakan jiwanya kepada yang bersifat transenden untuk

    merasakan kebahagiaan. Jika gerak jiwa manusia hanya mengarah kepada hal-hal yang

    bersifat materi maka manusia akan semakin menjauhi sumber kebahagiaan tersebut.5

    Pemahaman inilah yang membuat kebahagiaan menjadi elemen yang sangat penting dalam

    kehidupan manusia. Kebahagiaan juga sering dikaitkan dengan orang yang mempunyai

    kekuatan di hadapan Allah. Kekuatan itu didapatkan lewat hubungan pribadi yang baik

    1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 87. 2 https://www.merriam-webster.com/dictionary/happiness, diunduh Agustus 8, 2019. 3 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius,2009), 2.

    4 Iskandar, “Implementasi Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow Terhadap Peningkatan Kinerja

    Pustakawa,” Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khizanah Al- Hikmah 4, no. 1 (Januari-Juni

    2016); 27-28, diunduh Agustus 8, 2019, file:///C:/Users/lenovo/Downloads/1067-2049-1-PB.pdf. 5 Rusfian Effendi, Filsafat kebahagiaan (Plato, Aristoteles, AL-Ghazali, AL-Farabi), (Yogyakarta:

    Deepublish, 2017), 2-3.

    https://www.merriam-webster.com/dictionary/happinessfile:///C:/Users/lenovo/Downloads/1067-2049-1-PB.pdf

  • 2

    dengan Allah dan mempunyai kedudukan atau berkelebihan dalam hidupnya. Inilah

    pemahaman umum tentang makna kebahagiaan. Dalam Kekristenan Yesus juga

    menyampaikan ajaran-Nya tentang makna kebahagiaan dalam Injil Matius 5:1-12 tentang

    ucapan bahagia yang terkadang berbeda dengan pemahman orang pada umumnya tentang

    kebahagiaan.6

    Beberapa ahli Perjanjian Baru mengemukakan pendapat mereka tentang ucapan

    bahagia dalam Injil Matius 5:1-12. Riyadi mengatakan bahwa bahagia yang dimaksud oleh

    Yesus dalam Matius 5:1-12 merupakan ucapan bahagia yang diartikan secara religius.

    Seseorang bisa mengalami kebahagiaan apabila ia memiliki hubungan dekat dengan Allah

    dan diberkati. Kedekatan dengan Allah terlihat dari tindakan kasih yang diterapkan dalam

    kehidupan sehari-hari.7 Selain itu, pemaknaan ucapan bahagia yang disampaikan oleh Yesus

    memiliki konteks, tujuan dan makna tertentu.

    Leks juga mengemukakan pendapatnya tentang ucapan bahagia dalam Injil Matius

    5:1-12. Menurutnya, kebahagiaan yang Yesus maksudkan terkadang menjadi sebuah

    masalah, karena pemahaman orang pada umumnya kebahagiaan searti dengan memiliki apa

    yang diinginkan. Konsep kebahagiaan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Yesus.

    Menurut Yesus orang yang malang pun dapat disebut orang yang berbahagia.8 Pendapat lain

    dikemukakan oleh Singgih bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus adalah

    melepaskan banyak hal dalam hidup. Hal ini terjadi karena pada dasarnya kebahagiaan sudah

    menjadi bagian dari orang-orang yang menderita dalam dunia.9 Kebahagiaan yang tidak bisa

    diukur oleh ukuran manusia. Kebahagiaan yang tidak seperti pemahaman orang pada

    umumnya, sehingga Matius 5:1-12 harus dipahami dengan benar, apa yang disampaikan oleh

    Yesus tentang ucapan bahagia.

    Berangkat dari berbagai pandangan para ahli di atas, penulis tertarik untuk

    merekonstruksi kembali tentang makna kebahagiaan dalam Matius 5:1-12 melalui studi

    hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Studi Hermeneutik dengan pendekatan sosio-

    politik adalah usaha untuk memahami teks di dalam konteks sosio-politiknya. Pendekatan

    sosio-politik ini amat sangat penting karena selalu terdapat hubungan antara aspek individual

    6 Andar Ismail, Selamat Berbakti:33 renungan tentang beribadah, (Jakarta: Gunung Mulia,2008), 68-

    69. 7 Eko Riyadi, Matius “sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 61. 8 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 114. 9 Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium

    III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 189-190.

  • 3

    dengan aspek sosial, hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara

    struktur sosial dan struktur politik, tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik dan

    kekuasaan pemerintah yang mencakup sistem pemerintahan dalam suatu negara.10

    Penulis mengambil langkah yang berbeda dari beberapa penafsir seperti Stefan Leks,

    Eko Riyadi, dan Singgih yang telah menulis Matius 5:1-12 dengan menggunakan pendekatan

    sosio-historis. Karena itu, dalam tulisan ini penulis menggunakan metode hermeneutik

    dengan pendekatan sosio-politik dalam menafsirkan ucapan bahagia sebagai usaha

    merekonstruksi makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam Matius 5:1-12.

    Pendekatan ini dilakukan melalui studi pustaka dengan bantuan buku-buku hermeneutik

    sosio-politik dan buku tafsir Injil Matius.

    1.2 Rumusan Masalah

    Apa makna ajaran Yesus tentang kebahagiaan dalam Injil Matius 5:1-12 ditinjau dari

    studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Tujuan dari penulisan ini adalah merekonstruksi kembali makna kebahagiaan

    berdasarkan ajaran Yesus tentang kebahagiaan dalam Matius 5:1-12 melalui studi

    hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik.

    1.4 Metode Penelitian

    Penulis menggunakan studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Hal ini

    dilakukan untuk mencoba merekonstruksi makna kebahagiaan dalam konteks sosio-politik

    penulisan Injil Matius. Konteks sosio-politik menjelaskan tentang kondisi dari sosial-politik

    dalam suatu periode sejarah yang di dalamnya teks tersebut ditulis. Teks ini akan

    menginformasikan tentang riwayat teks tersebut, bagaimana teks itu muncul, di mana, kapan,

    siapa penulisnya dan seterusnya.11

    Kemudian penulis mencoba melihat dan memahami teks

    tersebut berdasarkan sejarahnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi

    pembaca pada masa kini tentang makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam

    Matius 5:1-12.

    10 Susi Fitria Dewi, Sosiologi Politik, (Yogyakarta: Gre Publishing, 2017), 7. 11 John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

    1996), 52.

  • 4

    1.5 Manfaat Penulisan

    1. Dengan meninjau kembali makna kebahagiaan dari Matius 5:1-12, pembaca masa kini

    dapat memperoleh makna yang lebih relevan tentang kebahagiaan.

    2. Menjadi sumbangan bagi pembaca yang berminat pada studi hermeneutik Perjanjian

    Baru.

    1.6 Sistematika Penulisan

    Tulisan ini terdiri dari lima bagian. Pertama, pendahuluan. Kedua, memuat informasi

    tentang konteks sosio-politik Injil Matius terkait dengan teks Matius 5:1-12. Bagian ketiga

    penulis memberikan pemaparan ulang tentang makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus

    dengan menggunakan studi hermeneutik terhadap teks Matius 5:1-12 menggunakan

    pendekatan sosio-politik. Bagian keempat berisi tentang relevansi rekonstruksi sosio-politik

    tentang kebahagiaan menurut Matius 5:1-12 bagi Indonesia masa kini. Bagian terakhir,

    memuat penutup dan saran daripada tulisan ini.

    2. Konteks Sosio-politik Injil Matius 5:1-12

    Pada bagian ini penulis akan membahas konteks sosio-politik dari Injil Matius 5:1-12.

    Hal ini menjadi penting, karena lewat bagian ini penulis dapat mengetahui latar belakang

    pengarang Injil Matius. Untuk itu, pokok-pokok yang akan penulis paparkan meliputi:

    Pertama, latar belakang Injil Matius 5:1-12. Kedua waktu dan tempat penulisan teks. Ketiga,

    alamat dan tujuan penulisan teks. Keempat, tentang situasi masyarakat penulisan teks yang

    berkaitan dengan latar belakang sosio-politik kota Antiokhia.

    2.1 Penulis

    Injil Matius merupakan salah satu Injil yang banyak diminati oleh para ahli Perjanjian

    Baru. Terlihat dari tulisan-tulisan yang ditulis oleh Aurelius Augustinus, De Heer, Groenen,

    John Drane dan masih banyak lagi. Para ahli Perjanjian Baru tertarik untuk meneliti dan

    mencari tahu tentang Injil Matius. Keingintahuan ini menghasilkan banyak pendapat tentang

    penulis dari Injil Matius. Ada tiga argument dasar tentang identitas penulis Injil Matius.

    Argumen pertama disampaikan oleh De heer yang berpatokan pada catatan Papias seorang

    Bapa gereja abad kedua. Papias mengatakan bahwa Injil Matius ditulis oleh murid Yesus

  • 5

    yaitu Rasul Matius yang menulis tentang Tuhan Yesus dalam bahasa Ibrani.12

    Matius murid

    Yesus yang menjadi saksi mata dari peristiwa-peristiwa yang dilukiskannya dalam Injilnya.

    Tulisan Papias ini kemudian ditafsirkan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani.

    Berdasarkan catatan dari Papias, Rasul Matius murid Yesus dianggap sebagai penulis Injil

    ini. Namun bukti Matius murid Yesus yang menulis Injil ini tidak dapat dipastikan.13

    Argumen kedua disampaikan oleh John Drane dan Groenen. Menurut mereka Injil

    Matius bukan ditulis oleh Rasul Matius murid Yesus dikarenakan beberapa alasan. Pertama,

    tulisan dalam Injil Matius sejak awal ditulis dalam bahasa Yunani yang halus dan baik. Hal

    tersebut diperkuat dengan adanya bukti bahwa tulisan ini juga, bukan sebagai terjemahan

    melainkan sebuah karangan yang ditulis dalam bahasa Yunani asli.14

    Alasan kedua, tidak

    mungkin, seorang yang menjadi saksi mata kehidupan Yesus mengandalkan cerita yang

    sudah ditulis oleh Injil Markus untuk dasar tulisannya.15

    Alasan ketiga, bahasa Yunani yang

    digunakan dalam Injil Matius begitu halus dan baik. Sementara pada saat itu, dalam konteks

    masyarakat Palestina, seorang pemungut cukai dapat dikategorikan dalam kelas menengah.

    Orang kelas menengah pada saat itu, hanya mengetahui bahasa Yunani sehari-hari. Bahasa

    Yunani yang digunakan sehari-hari, bukanlah bahasa Yunani yang baik dan halus seperti

    yang digunakan dalam Injil Matius. Oleh karena alasan-alasan inilah John Drane dan

    Groenen tiba pada satu kesimpulan bahwa mungkin apa yang dimaksud oleh Papias

    bukanlah Injil Matius yang dipegang saat ini, melainkan suatu karya atau tulisan lain.16

    Namun identitas penulis dari Injil Matius tidak dapat dipastikan.

    Argumen ketiga, disampaikan oleh Stefan Leks. Menurutnya, penulis Injil Matius

    tidak memiliki identitas dan tidak dapat dipastikan siapa orangnya. Akan tetapi Leks tidak

    memberikan alasan atas argumennya. Sampai saat ini penulis Injil Matius masih menjadi

    misteri. Walaupun belum ada kepastian tentang identitas dari penulis Injil Matius, namun

    dapat diyakini bahwa penulis Injil ini merupakan seseorang yang berlatar belakang Yahudi.

    Penulis Injil Matius merupakan pengikut Yesus dan percaya pada Yesus.17

    Kepercayaannya

    pada Yesus membuatnya menulis Injil Matius.

    12 J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 3. 13 Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Pengantar Hermeneutik untuk Studi Hermeneutik Perjanjian Baru,

    (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana, 2015), 85. 14 Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1988), 46. 15 John, Drane, Memahami Perjanjian Baru; Pengantar Historis-Teologis, judul asli Introducing the

    New Testament, terjemahan P.G. Katoppo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 219. 16 Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta; Kanisius ,1984), 87. 17 Stefan, Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2003), 18-19.

  • 6

    Berdasarkan ketiga bentuk argumen para ahli ini, penulis setuju dengan pendapat

    Groenen dan Drane bahwa penulis Injil Matius merupakan seseorang yang tidak memiliki

    nama (anonim). Alasannya karena seorang yang dikatakan sebagai saksi mata dan penulis

    kitabnya tidak mungkin membuat karya dengan mengutip catatan orang lain. Jika memang

    penulis Matius merupakan saksi mata dari kehidupan Yesus maka pasti tulisan-tulisannya

    dipersingkat sesuai dengan fakta. Namun tulisan dalam Injil Matius terlihat begitu panjang

    dan telah dikembangkan. Inilah yang meyakinkan bahwa penulis Matius bukan saksi mata

    dari setiap karya yang Yesus lakukan.

    Walaupun penulis Injil Matius memang tidak memiliki nama, tetapi penulis Injil

    Matius mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, berlatar belakang Yahudi. Hal itu

    terlihat dari tulisan-tulisannya yang sangat memahami adat dan kebiasaan Yahudi yaitu

    Hukum Taurat bahkan Injilnya ditulis dalam kerangka Yahudi. Kedua, penulis Injil Matius

    merupakan seorang Kristen Yahudi Diaspora yang memiliki pendidikan cukup tinggi dan

    berkecimpung dalam misi pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan dunia. Oleh karena itu

    ia mampu menulis Injilnya dengan menggunakan bahasa Yunani yang halus dan baik.18

    Ketiga, penulis Injil Matius sering mengutip Perjanjian Lama dalam Injilnya. Sebagai contoh,

    Matius dalam tulisannya menyamakan Yesus sebagai Musa yang baru. Yesus menyampaikan

    ajaranNya di atas bukit (Mat 5:1-12), sama seperti Musa yang menerima lima Kitab Taurat di

    atas Bukit. Lima khotbah besar itu, sama dengan lima Kitab Taurat. Selain itu, Injil Matius

    juga banyak menekankan tentang penggenapan nubuatan yang dijanjikan dalam Perjanjian

    Lama, dan penjelasannya lebih lengkap dari bahan utama yang Matius gunakan yaitu Injil

    Markus.19

    2.2 Waktu dan Tempat Penulisan Injil Matius

    Hampir semua ahli Perjanjian Baru mempunyai pandangan yang sama bahwa Injil

    Matius ditulis pada pertengahan tahun 60-100 ZB. Dalam Injil ini Matius menyinggung

    tentang kehancuran Yerusalem sehingga para ahli Perjanjian Baru mengambil kesimpulan

    bahwa Injil Matius ditulis setelah tahun 70 ZB. Injil ini ditulis setelah peristiwa pembakaran

    Bait Allah di Yerusalem sekitar tahun 75-80 ZB pada abad pertama.20

    Bukti tahun penulisan

    Injil ini didukung dengan tulisan-tulisan yang ada dalam Injil Matius 22:7 yang menyinggung

    tentang kehancuran kota (kehancuran Yerusalem). Selain itu juga Injil ini menyinggung

    18 Groenen, Pengantar ke dalam, 87. 19 Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II, 38. 20. Setyawan, Buku Ajar, 85.

  • 7

    tentang penantian Kristus yang kedua kali (Matius 25:1-12) dan menyinggung tentang

    tempat-tempat ibadah (4:23, 10:17 dan 13:54). Injil ini banyak menyinggung beberapa hal

    yang terjadi pada tahun 70 ZB setelah penghancuran Yerusalem. Dari bukti-bukti ini penulis

    setuju dengan pandangan para ahli Perjanjian Baru bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun

    75-80 ZB. Waktu penulisan Injil ini, membantu para pembelajar Perjanjian Baru untuk

    mengetahui tempat penulisan Injil Matius.

    Tempat penulisan Injil Matius berada di Siria khususnya kota Antiokhia. Alasan

    Antiokhia sebagai tempat penulisan Injil ini karena dilihat dari ciri-ciri penulis yang banyak

    mengetahui tradisi Yahudi, menggunakan bahasa Yunani yang baik dan halus, menyinggung

    tentang uang dirham (mata uang siria, mat 24:17), aturan-aturan najis, dan adanya ketegangan

    yang terjadi antara jemaat Matius dan pemimpin Yahudi.21

    Alasan-alasan ini membuat para

    ahli Perjanjian Baru menyimpulkan bahwa tempat penulisan Injil Matius di Antiokhia.

    2.3 Alamat dan tujuan Penulisan Injil Matius

    Injil Matius adalah sebuah tulisan yang bersifat Yahudi, terlihat dari pembacanya

    yang berlatar belakang Yahudi. Para ahli Perjanjian Baru beranggapan bahwa, Injil ini ditulis

    bagi jemaat Kristen yang baru mengenal Yesus, dan berlatar belakang Yahudi. Hal itu terlihat

    jelas dari tulisan Matius yang banyak membahas tentang berbagai macam narasi kehidupan

    Yesus, ajaran-Nya dan tindakan dari Yesus. Semua perilaku Yesus disajikan dalam Injil

    Matius. Injil Matius juga merupakan sebuah Injil yang terbuka bagi bangsa-bangsa lain (Mat

    28:19-20; 12:21; 13:38; 24:14).22

    Adat Yahudi yang sangat “menajiskan” bangsa lain

    didobrak Yesus dengan menghadirkan Injil yang diberitakan kepada bangsa lain di luar

    Yahudi.

    Tujuan penulisan Injil ini adalah memperkenalkan Yesus sebagai Mesias. Ada juga

    beberapa tujuan lain yang ingin disampaikan oleh penulis Injil Matius. Pertama, keprihatinan

    penulis Injil Matius, dengan pemenuhan Perjanjian Lama (PL) dan posisi Mesianis Yesus.

    Matius melihat Yesus sebagai pemenuhan PL dengan penekanan khusus pada kerajaan Allah

    dan mendapatkan pengakuan bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah yang hidup. Anak

    Allah yang dijanjikan dalam PL yang digenapi dalam Perjanjian Baru sebagai penggenapan

    dari harapan umat Allah.23

    Alasan kedua, Injil Matius sebagai nasihat bagi jemaat di Siria

    21 Groenen, Pengantar ke dalam, 88-89. 22 Leks, Tafsir Injil Matius, 16. 23 Setyawan, Buku Ajar, 85-86.

  • 8

    untuk tetap hidup damai dan mempertahankan cinta kasih diantara mereka.24

    Alasan ketiga,

    Matius mengandaikan Yesus sebagai Musa yang baru. Hal itu terlihat jelas dengan adanya

    lima ajaran Yesus di atas bukit dengan kelima Kitab Taurat dan penyampaian hukum Allah

    yang diberikan kepada Musa di atas Gunung Sinai.25

    Bukti dan penyajian bahan-bahan dalam

    Injil Matius ini diberikan kepada jemaatnya sebagai pengetahuan dan pengenalan mereka

    terhadap Yesus. Selain itu, Matius menulis Injil ini sebagai senjata bagi jemaat dalam

    menghadapi serangan orang-orang Yahudi terhadap kepercayaan mereka pada Yesus.

    2.4 Situasi Pemerintahan Masa Penulisan Matius 5:1-12

    Situasi masyarakat masa penulisan teks ini meliputi dua pokok penting, antara lain:

    terkait kebijakan sosial-politik dan stratifikasi sosial berdasarkan kebijakan sosial-politik.

    2.4. 1 Kebijakan Sosial-Politik

    Para ahli Perjanjian Baru menduga cukup kuat bahwa Injil Matius ditulis di kota

    Antiokhia. Antiokhia merupakan sebuah kota terbesar ketiga di Kekaisaran Romawi setelah

    Roma dan Alexandria. Antiokhia tak terpisahkan dari Kekaisaran Roma. Pemimpin

    Antiokhia adalah seorang gubernur yang diutus dan dipilih oleh Kaisar. Gubernur ini bekerja

    untuk Kaisar, tugasnya mengatur pajak, memelihara ketertiban umum di masyarakat,

    menegakan hukum dan pengawasan pemerintah daerah.26

    Tugas gubernur ini dipertanggung

    jawabkan di hadapan Kaisar.

    Dalam struktur sosial masyarakat Antiokhia saat itu terbagi dalam dua golongan yaitu

    kelompok elit dan non-elit.27

    Kelompok elit ini relatif lebih sedikit dari kelompok non-elit,

    namun mereka menonjol di kota Antiokhia karena mereka mengendalikan kekayaan dan

    24 De Heer, J.J Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, 7. 25 J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina

    Kasih/OMF, 2005), 40. 26 Warren Carter, Matthew Ancc Empire Initial Explorations, (United State of America: Library of

    Congress Cataloging-in-Publication Data, 2001), 38. 27 Ada dua macam kelompok elit yang pertama, para pejabat Negara, pengusaha besar dan pemilik

    tanah mereka yang hidup dalam kemewahan. Kelompok kedua, adalah pegawai pemerintah, tukang, pengusaha

    kecil dan petani. Kelompok ini merupakan orang-orang merdeka yang mempunyai kewarganegaraan penuh.

    Namun kelompok elit kedua ini bisa saja jatuh miskin ketika mendapat tekanan ekonomi, hingga menjadi budak. Sementara itu, kelompok non-elit adalah orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan. Ada dua golongan

    kelompok non-elit. Pertama, orang-orang yang pernah menjadi budak, yang kemudian diberi kemerdekaan oleh

    majikan. Kelompok non-elit yang kedua yaitu para budak. Budak-budak ini terkadang diperdagangkan oleh

    majikannya. Ada berbagai alasan orang menjadi budak, terkadang karena keturunan dan ada juga sebagai tawan

    perang. Para budak juga dapat menjual diri mereka sebagai budak untuk dapat membayar hutang. Inilah kelas

    sosial yang berada di kota Antiokhia. Lih Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, 23.

  • 9

    kekuasaan politik kekaisaran.28

    Pada struktur ini, dominasi kelompok elit bertumpu pada

    kemampuan (ekonomi, politik), kekayaan (terutama dari tanah) dan reputasi di masyarakat.29

    Dalam menjalankan tugas memerintah kota Antiokhia, gubernur bekerjasama dengan

    kelompok elit dan penguasa. Pembagian tugas hanya dilakukan bersama kelompok elit, hal

    ini mengakibatkan hukum bisa diperjual belikan. Tidak hanya itu, sistem sosial, politik,

    ekonomi dan budaya juga akhirnya hanya berpusat pada kelompok elit. Orang-orang yang

    memiliki kekayaan besar dan mempunyai kedudukan yang baik, mendapat perlakuan yang

    baik daripada orang-orang yang dikategorikan berasal dari kelompok non-elit. Kedudukan

    dan kekayaan menguntungkan beberapa pihak dan merugikan orang lain.30

    Kota Antiokhia diberi penghargaan sebagai pusat kota intelektual karena

    menghasilkan banyak orang yang berintelektual. Kota ini menjadi jalur pusat perjalanan

    kegiatan berbisnis.31

    Antiokhia juga, dijadikan titik pertemuan rute perdagangan penting yang

    terletak di tepi sungai Orentes yang berjarak dua puluh dua kilometer dari laut Mediterania.32

    Dalam struktur masyarakat Antiokhia gubernur yang menjadi wakil Kaisar menduduki posisi

    pertama. Gubernur memerintah Legium (tentara romawi), mengatur pajak dan memelihara

    ketertiban umum. Selanjutnya posisi kedua diduduki oleh kelompok elit yang merupakan

    sekutu Roma. Kelompok ini berperan dalam bidang politik, militer, adimistrasi dan

    perdagangan. Diantara kelompok ini yang paling menonjol adalah pemilik tanah besar yang

    kekayaannya berasal dari pengendalian tanah dan bahan baku. Kekuasaan kelompok elit

    dilakukan melalui boule (dewan) yang terdiri dari lima ratus anggota dan bertanggung jawab

    untuk hal-hal legislatif dan eksekutif dalam berkonsultasi dengan wakil kaisar. Kehidupan

    kelompok elit berasal dari pajak bunga atas pinjaman dan sewa tanah. Mereka juga

    memperoleh kekayaan dari penghasilan bisnis dan perdagangan.33

    Kelompok elit juga dibantu dalam melaksanakan kekuasaan mereka oleh dua

    kelompok. Pertama, para pemimpin keagamaan (pendeta atau imam) yang dipilih untuk

    bertugas di kuil-kuil kota. Pemilihan para pemimpin agama ini dilakukan sebagai imbalan

    atas tindakan keuntungan yang mereka lakukan bagi kota. Kedua, para pelayan yaitu mereka

    28 John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 1997), 133. 29

    Warren Carter, Mateo Y Los Márgenes Una le ctura sociopolítica y religiosa, (New York:

    Maryknoll Orbis Books 2007), 51. 30 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50. 31 Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial, 179-182.

    32 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50-51. 33 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 53.

  • 10

    yang melakukan perintah dari kelompok elit sebagai petugas pengadilan, pemungut cukai,

    birokrat pemerintah atau adimistrator, pegawai, pendidik, hakim dan tentara. Kekuatan para

    pelayan ini berasal dari hubungan mereka yang baik dengan kelompok elit sehingga mereka

    tunduk pada kepentingan kelompok elit. Posisi yang paling akhir adalah kelompok non-elit

    yang terdiri dari pedagang kecil, pengrajin (yang tidak menghasilkan cukup untuk

    mengumpulkan kekayaan yang signifikan), buruh, penjual makanan, penyedia transportasi

    dan buruh harian yang tidak terampil.34

    Selain itu kelompok non-elit juga bekerja menjadi

    borongan di dok-dok kapal, proyek bangunan dan di ladang. Untuk dapat bertahan hidup

    kelompok non-elit harus bekerja atau memberikan diri sebagai budak di bawah kelompok elit

    yang kuat. Cara lain untuk bertahan hidup adalah mencuri atau mengemis. Diantara para

    pengemis ini terdapat mereka yang buta, sakit, lumpuh dan penderita kusta.35

    Kelompok ini

    sering dimarginalkan oleh karena status sosial mereka yang rendah.

    Masyarakat Antiokhia memiliki latar belakang yang beragam. Ada orang Romawi,

    Yunani, Yahudi dan orang-orang asing yang menempati kota ini. Keberagaman masyarakat

    Antiokhia terkadang membawa persoalan etnis dan korban prasangka buruk. Korban

    prasangka yang lebih bersifat budaya daripada rasial. Misalnya orang Romawi menganggap

    orang Yunani lemah, penuh kepura-puraan dan tidak dapat dipercaya. Orang Timur

    sebaliknya menganggap orang-orang Romawi brutal, bodoh, dan sombong. Orang-orang

    Yunani maupun Romawi mencurigai kebiasaan-kebiasaan aneh orang Yahudi dan terkadang

    kebencian menjadi pecah dalam kekerasan yang sering kali didasarkan pada motif politik.

    Namun pada umumnya Antiokhia yang menjadi bagian dari kota Kekaisaran romawi tetap

    menerima orang asing dari berbagai ras, budaya dan kelas sosial.36

    Antiokhia tidak terlepas dari Kekaisaran Romawi. Sistem penerimaan orang orang-

    orang baru di kota ini, membuat tingkat kejahatan semakin tinggi. Alasannya karena

    terkadang insiden kecil mengakibatkan kekerasan massa. Pendatang baru yang memiliki

    sedikit keterikatan dengan tatanan sosial membuat kejahatan semakin meningkat. Persoalan

    etnis budaya dan agama, persaingan, kesalahpahaman, konflik dan kekacauan terjadi di

    Antiokhia. Selain itu kedudukan Antiokhia yang menjadi jalur pusat perjalanan kegiatan

    berbisnis, mengakibatkan perjumpaan budaya Timur dan Barat yang mengakibatkan konflik

    34 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 54. 35 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, 134. 36 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, 134.

  • 11

    etnis.37

    Kota Antiokhia juga pernah mengalami bencana alam seperti gempa bumi, kebakaran,

    banjir dan kerusuhan pada abad pertama.38

    Persoalan-persoalan ini memperlihatkan

    bagaimana konteks sosio-politik masyarakat Antiokhia yang penuh dengan kesengsaraan,

    keputusasaan dan kebencian. Hubungan sosial-politik dalam masyarakat Antiokhia sangat

    menekankan status seseorang, martabat seseorang yang bertumpu pada keturunan, kekayaan

    dan jabatan politik atau kuasa.39

    2.4.2 Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kebijakan Politik

    Dalam masyarakat Antiokhia, kelompok elit banyak melakukan investasi dan usaha

    untuk meningkatkan kekayaan. Kelompok elit menggunakan tenaga dari non-elit, untuk

    mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kelompok elit menggunakan tenaga dari non-elit

    untuk memperkaya diri dan mendukung kehidupan mereka. Kelompok non-elit dijadikan

    sebagai pedagang kecil, pengrajin, penjual makanan, penyedia transportasi dan buruh harian.

    Persoalan inilah yang mengakibatkan kehidupan non-elit sering ditindas oleh kelompok elit.

    Usaha kelompok elit untuk meningkatkan kekayaan mereka ini, sesuai dengan hubungan

    sosial-politik pada saat itu.

    Kelompok elit memperoleh kekayaan dari pajak dan bunga pinjaman. Mereka

    mengambil keuntungan dari pinjaman yang diberikan kepada pemilik tanah kecil. Jika

    pinjaman itu tidak dikembalikan, maka lahan yang dimiliki oleh pemilik tanah kecil akan

    diambil. Inilah permainan politik dari kelompok pemilik tanah besar, untuk mengambil

    keuntungan. Kelompok elit memperoleh kekayaan dari bisnis dan perdagangan.40

    Mereka

    juga mengendalikan kekayaan serta kekuasaan politik dan ekonomi pemerintah, namun untuk

    kepentingan diri sendiri. Kekayaan membuat mereka mendapatkan perlakuan yang lebih

    menyenangkan daripada kelompok non-elit.

    Pajak dan upeti memperkuat kesenjangan antara kelompok elit dan non-elit. Namun

    dalam pengumpulan pajak, kelompok elit melakukan politik pemanfaatan secara sewenang-

    wenang terhadap kelompok non-elit untuk kepentingan elit.41

    Pekerja buruh, petani dan

    budak tenaganya diekspolitasi dengan harga yang murah. Mereka juga dipaksa untuk

    37 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula,, 180-182. 38

    Carter, Matthew Ancc Empire, 48-49. 39 Paulina Jasri Dangga, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu Hermeneutik

    Sosio-Politik Terhadap Injil Matius 6:9-13. (Skripsi S.Si. Teol, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya

    Wacana, Salatiga, 2014), 16. 40 Warren, Mateo Y Los Márgenes, 54. 41 Carter, Matthew Ancc Empire, 44.

  • 12

    melakukan pembayaran upeti, pajak dan sewa tanah. Kelompok elit juga menyadap apa yang

    dimiliki oleh kelompok non-elit seperti pembayaran pajak dan sewa yang dibayar dalam

    bentuk barang dari petani atau nelayan dengan cara menyerahkan kepada kelompok elit 20-40

    persen dari hasil tangkapan, panen atau kawanan mereka. Kalau mereka tidak membayar

    pajak, maka mereka dianggap sebagai pemberontak karena menolak pengakuan kedaulatan

    Kaisar atas tanah, laut, tenaga kerja, dan produksi.

    Sistem pajak pada saat itu menjadi beban bagi masyarakat. Sistem pajaknya rangkap

    tiga. Masyarakat tidak hanya membayar pajak keagamaan (persepuluhan dari hasil bumi,

    pajak tahunan bagi Bait Allah), tetapi ada juga pajak negara rangkap dua. Ada pajak

    pemerintah yang biasanya ditarik melalui raja atau penguasa setempat dan pajak untuk

    pemerintah daerah (raja). Ada dua macam pajak, yaitu pajak secara langsung yang ditarik

    oleh pegawai negeri yaitu perorangan dan pajak tanah. Pajak tidak langsung seperti bea,

    cukai, tol dan sebagainya.42

    Pajak itu ditarik oleh pegawai negeri. Setiap tahun pajak ini

    dilelangkan atau ditender kepada negara. Orang yang mempunyai modal menawarkan

    sejumlah uang kepada negara. Kemudian setelah itu mereka akan mendapatkan hak untuk

    menarik pajak pada rakyat. Hasil pajak kemudian diberikan kepada negara. Oleh karena itu

    para pegawai yang dipercaya oleh negara menarik pajak pada rakyat dan mengorganisasikan

    penarikannya. Pada dasarnya negara telah menentukan tarif pajak yang boleh dipungut akan

    tetapi karena tidak ada pengawas dari negara maka para pegawai bertindak semaunya sendiri

    guna memperkaya diri dengan memeras rakyatnya.43

    Persoalan ini membuat kelompok non-

    elit semakin tertindas.

    Selain persoalan pajak, masyarakat juga mengalami persoalan budaya pemerintah

    kota Antiokhia yang berbentuk Yunani juga bahasa yang digunakan yaitu bahasa Yunani.

    Bahasa ini memainkan peran penting pada waktu itu.44

    Namun bahasa ini, hanya unggul

    dalam kalangan kelompok elit. Daya tarik bahasa Yunani, membuat kelompok elit

    terpengaruh untuk berpendidikan Yunani. Bahasa Yunani menjadi prasyarat untuk maju

    dalam bidang politik, sosial dan ekonomi.45

    Untuk mempertahankan hidup, orang harus

    belajar kebudayaan Yunani termasuk bahasa Yunani. Tanpa pendidikan dan bahasa Yunani

    penduduk Antiokhia tidak dapat bergerak dengan luas. Hal itu dikarenakan bahasa Yunani

    42 Groenen, Pengantar ke dalam, 37. 43 Groenen, Pengantar ke dalam, 37 44 Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 18. 45 Groenen, Pengantar ke dalam, 56.

  • 13

    digunakan oleh para pedagang, militer, para pekerja, sekolah-sekolah dan rakyat biasa.46

    Persoalan bahasa membuat kelompok non-elit semakin tertindas karena sulit berkembang

    dalam dunia sosio-politik dalam masyarakat, dan hanya kelompok elit yang mampu

    memenuhi prasyarat tersebut.

    Bahasa Yunani merupakan bahasa Internasional pada saat itu. Ada dua tingkat bahasa

    Yunani yang digunakan pada saat itu. Pertama, para ilmuan menggunakan bahasa Yunani

    yang halus dan baik. Kedua, rakyat biasa menggunakan bahasa Yunani untuk berkomunikasi

    sehari-hari, namun bahasa Yunani yang digunakan adalah bahasa Yunani yang kasar.47

    Kebudayaan Yunani ini tidak hanya berkembang melalui bahasa tetapi juga dalam dunia

    pendidikan. Orang-orang yang berasal dari kelompok elit biasanya membayar guru untuk

    mendapatkan pendidikan di rumah secara pribadi. Sementara itu, kelompok non-elit hanya

    menggunakan bahasa Yunani sehari-hari yang kasar. Bahasa Yunani dan kebudayaan Yunani

    saat itu tidak dapat dihindarkan dan harus harus diterima.48

    Permainan sosio-politik antara pemerintah atau penguasa dan kelompok elit

    memperlihatkan bagaimana persaingan untuk bertahan hidup pada saat itu. Hal ini membuat

    masyarakat elit saling bersaing untuk mempertahankan kekayaan dan kedudukan. Namun

    tidak semua orang mampu mempertahankan status sosial mereka. Aturan pemerintah, pajak

    bahkan persoalan sosio-politik saat itu membuat orang kehilangan kedudukan, harta dan

    keluarga. Dalam kondisi seperti inilah ajaran Yesus yang revolusioner hadir ditengah

    masyarakat untuk menciptakan konsep kebahagiaan yang baru. Konsep kebahagiaan yang

    tidak hanya berfokus pada hal material seperti yang terjadi pada saat itu dimana penekaan

    tentang pencarian kekayaan dan hidup dengan kebajikan dijunjung tinggi.49

    Rodney Stark

    mengungkapkan bahwa Antiokhia menggambarkan kota yang penuh dengan kesengsaraan,

    bahaya, ketakutan, keputusasaan, dan kebencian. Sebuah kota yang dipenuhi dengan

    kebencian dan ketakutan yang berakar pada pertentangan etnis yang intens dan diperburuk

    oleh aliran orang asing yang terus-menerus. Sebuah kota yang tidak memiliki jaringan

    keterikatan yang stabil sehingga insiden kecil dapat memicu kekerasan massa. Dalam kondisi

    inilah, kejahatan di kota makin berkembang.50

    46

    Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 19. 47 Groenen, Pengantar ke dalam, 56-57. 48 Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 20. 49 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 50 Magnus Zetterholm, The Formation Of Christianity In Antioch A social-scientific approach to the

    separation between Judaism and Christianity, (USA and Canada: Routledge, 2003), 30.

  • 14

    Dari gambaran konteks sosio-politik di atas, terlihat bagaimana latar belakang jemaat

    Matius yang terbiasa dengan kekayaan dan berasal dari kelompok elit.51

    Menurut Watren

    Carter banyak para ahli berargumen menunjukkan dimensi-dimensi penting tentang kelas

    sosial orang Yahudi di kota Antiokhia. Pertama pendapat dari Kingsbury bahwa bahasa

    Yunani yang digunakan penulis Matius mengindikasikan masyarakat yang berasal dari

    lingkungan perkotaan dan berbudaya (urban). Kedua, penggunaan kata “kota” dalam Injil

    Injil Matius digunakan sebanyak 26 kali sementara kata “desa” sebanyak 4 kali dibanding

    dengan Injil Markus. Ketiga, jemaat Matius diasumsikan akrab dengan kekayaan. Hal itu

    terlihat dari penggunan kata emas, perak atau tembaga dalam Injil Matius (Mat 10:9)

    dibandingkan dengan Injil Markus yang hanya menggunakan kata “koin tembaga” (Mar 6:8).

    Selain itu terdapat perbandingan identitas Yusuf orang Arimatea yang dalam Injil Lukas dan

    Markus disebut sebagai anggota dewan (Mar 15:43; Luk 23:50-51), sedangkan dalam Injil

    Matius disebut sebagai orang kaya (Mat 27:57). Keempat, pembahasan Matius tentang

    kekayaan lebih bervariasi dari Markus dan Lukas. Penggunaan sebutan emas, perak dan

    talenta sebanyak 28 kali, dibandingkan dengan Injil Markus yang hanya sekali menyebut

    perak dan Lukas yang menyebutkan empat kali lebih banyak dari Markus.52

    Penyataan ini

    memperlihatkan jemaat Matius yang berlatar belakang Yahudi dan sudah terbiasa dengan

    kekayaan.

    Jemaat Matius juga pernah mengirimkan bantuan makanan kepada pengungsi Kristen

    yang kelaparan di Yudea.53

    Bantuan ini memperlihatkan bahwa jemaat Matius adalah orang

    yang mampu dalam hal material sehingga mereka bisa membantu sesama pengikut Yesus

    yang sedang kesusahan. Argumen-argumen ini yang menguatkan dugaan bahwa komunitas

    Matius terdiri dari mereka yang hidup kaya. Artinya ada jejak dari mereka yang termasuk

    dalam golongan kelompok elit. Meskipun mereka berasal dari kelompok elit, namun identitas

    sebagai pengikut Yesus tetap menjadi persoalan bagi mereka. Karena ajaran Yesus terkadang

    mengkritik sistem pemerintah yang tidak adil. Salah satu contoh kritikan Yesus tentang pajak

    (Matius 22:15-22) yang membuat jemaat Matius sering diasingkan dari kotanya sendiri.

    (uraiakan apa isi kritikan Yesus, tidak sekadar mencantumkan ayat)

    Dalam konteks inilah Matius menulis Injil ini dan mengirimkannya kepada jemaat

    Antiokhia. Matius hadir di tengah-tengah jemaat untuk memberikan konsep kebahagiaan

    51 Paulina, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu Hermeneutik Sosio-Politik

    Terhadap Injil Matius 6:9-13, 17. 52 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 63. 53 Stambaugh, Dunia Sosial, 180.

  • 15

    yang baru bagi jemaat. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya berpusat pada kekayaan dan

    kedudukan. Matius berharap agar jemaatnya tetap mengikuti Yesus dan melakukan ajaran-

    Nya, sehingga mereka tidak kehilangan identitas sebagai pengikut Yesus. Matius berharap

    dalam konteks sosio-politik yang penuh dengan penderitaan, penindasan, dan putus asa,

    jemaat di Antiokhia harus tetap mempunyai pegangan hidup dan mempunyai harapan.

    Terutama konsep kebahagiaan yang baru yang tidak berpusat pada kekayaan dan kekuasaan.

    3. Rekonstruksi Makna Kebahagiaan dengan Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap

    Matius 5:1-12

    Dalam bagian ini penulis akan melakukan studi hermeneutik terhadap teks Matius

    5:1-12. Bagian ini sangat penting bagi penulis untuk mencapai tujuan penulisan yakni

    rekonstruksi teks khususnya tentang makna kebahagiaan dari Yesus dalam Matius 5:1-12. Di

    sini, penulis memuat beberapa bagian studi hermeneutik sosio-politik sebagai alat

    merekontruksi konsep kebahagiaan. Pertama, kebahagiaan mencakup relasi personal dengan

    yang transenden. Kedua, terhapusnya perbedaan kelas sosial sebagai elemen kebahagiaan.

    Konsep ketiga yaitu keadilan dan kebenaran sebagai sumber kebahagiaan.

    3.1 Kebahagiaan Mencakup Relasi Personal dengan yang Transenden

    Dalam teks Matius 5:1-12 terdapat 9 kali ucapan “berbahagialah” yang diucapkan

    oleh Yesus. Ucapan “bahagia” dalam bahasa Yunani disebut sebagai “ ριοι.”. Kata

    “ ριοι” ini ditemukan dalam varian tertua karena itu teks ini dianggap sebagai asli atau

    mendekati asli dan penulis pakai sebagai dasar penelitian.54

    Dalam Greek New Testament

    kata “ ριοι” diartikan sebagai Allah yang maha bahagia, diberkati dan berbahagia.55

    Dalam King James Version diterjemahkan sebagai kata “blessed” yang berarti “diberkati”.

    “Berkat” sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti karunia Tuhan dalam kehidupan

    manusia yang membawa kebaikan, bahagia dan keselamatan. Berkat bisa didapatkan untuk

    54 Pada ayat 4 dan 5 terdapat sebuah persoalan tentang kata berbahagialah yang dibuktikan lewat

    kritik apparatus. Ayat 4 yang dipersoalkan adalah ριοι ...... ρ ο ι, sedangkan ayat 5 yang

    dipersoalkan adalah ριοι... . Kedua teks ini ditemukan dalam kodeks Bazae (B) yang menandakan

    tingkat keraguan tergolong rendah pada abad ke IV yang tersimpan di Citta de Vaticano: Vaticanus. Kata ini

    juga digunakan dalam Injil Matius sebanyak tiga belas kali. Dari data ini, penulis berpendapat bahwa persoalan

    keraguan kata ριοι dalam ayat 4 dan 5 memiliki kesinambungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

    Struktur kata yang dipakai mulai ayat 1 sampai 11 sama-sama dibuka dengan kata ριοι (berbahagialah). Pengulangan kata ριοι berkali-kali dari ayat 3 sampai 11 menegaskan pentingnya makna “berbahagialah”

    dalam Injil Matius 5. Karena itu kata ριοι tidak bisa diremehkan, sebaliknya menjadi kata kunci yang

    penting dalam narasi Injil Matius tentang Kotbah di Bukit. Lih The Greek New Testament, Cet.3 (1988), LAI:

    Jakarta. P.22-25. 55 Barclay M. Newman, Kamus Yunani-Indonesia Untuk Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 2014), 102.

  • 16

    kebutuhan jasmani dan rohani, pemaknaanya lebih mendalam karena mencakup bahagia dan

    diberkati. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan kata “ ριοι” dengan

    “berbahagialah”. Kata “berbahagialah” diartikan sesuai dengan konteks pemahaman

    kebahagian di Indonesia yang merujuk pada hal-hal yang menentramkan hati secara lahir

    batin. Karena itu, kata “berbahagialah” digunakan dalam teks Matius 5:1-12 untuk

    memperlihatkan bahwa orang yang mencari Allah akan berbahagia. Namun kata “ ριοι”

    dalam bahasa Yunani dan bahasa Inggris diartikan sebagai kata religius yang dipahami

    sebagai berkat dari Allah. Itu berarti kata “ ριοι” dapat dialami baik dalam keadaan susah

    maupun senang.

    Dalam teks Matius 5:3-10 dikatakan “berbahagialah orang”, ucapan bahagia ini

    ditujukan kepada orang-orang secara umum yang mengikuti Yesus pada saat itu (5:1). Pada

    ayat 11-12 “berbahagialah kamu”, ucapan bahagia ini ditujukan kepada para murid yang setia

    mengikuti Yesus dalam menyebarkan Injil. Dalam teks Matius 5:1-12 terdapat sembilan

    ucapan bahagia yang diulang oleh Yesus. Pada anak kalimat pertama berbunyi

    “berbahagialah” kemudian disertai dengan penjelasan tentang peristiwa yang terjadi

    sekarang. Peristiwa yang berbicara tentang hal yang kurang menyukacitakan, akan tetapi

    anak kalimat kedua dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sebuah situasi penuh sukacita.

    Kalimat penyatu dalam dua anak kalimat ini adalah harapan. Kebahagiaan yang dimaksud

    dalam teks ini adalah kebahagiaan yang terarah pada masa depan yang terinspirasi dari

    peristiwa yang terjadi sekarang, tetapi terantisipasi oleh sebuah harapan tentang peristiwa

    yang akan terjadi di masa depan.56

    Maksudnya di sini adalah kebahagiaan dengan sebuah

    harapan bahwa situasi sekarang yang penuh dengan penderitaan akan berubah menjadi situasi

    yang membahagiakan.

    Poin pertama tentang makna kebahagiaan dalam teks Matius 5:1-12 menekankan

    tentang kebahagiaan yang terjadi karena relasi pribadi dengan yang transenden (Allah). Dari

    penjelasan teks (5:3-12) terlihat jelas kriteria orang-orang yang berbahagia. Namun dalam

    teks Matius 5:1-12 juga menjelaskan kriteria orang yang berbahagia. Diantara penjelasan

    kriteria tersebut hal yang paling utama yang dijelaskan dalam teks ini adalah “berbahagialah

    orang yang miskin di hadapan Allah”. Banyak para ahli menduga cukup kuat bahwa kata “οἱ

    ωχοὶ ῷ εύ ι” bukan berarti miskin di hadapan Allah melainkan miskin dalam Roh.57

    Di sini terlihat bagaimana Matius menekankan sifat rohani dalam hati individu yang merasa

    56 Leks, Tafsir Injil Matius, 114-115. 57 Leks, Tafsir Injil Matius,120.

  • 17

    diri miskin Roh (Allah) dalam hati. Matius menekankan kesadaran diri dalam individu

    tentang hubungan pribadi dengan yang transenden. Yang menyadari dalam diri bahwa hanya

    yang transenden yang disebut Tuhan yang mampu menolong kehidupan seseorang. Inilah

    bagian pertama dari kesadaraan orang yang menerima bagian dari kerajaan Allah.58

    Teks Matius 5:1-12 tampaknya merupakan kritikan bagi masyarakat Antiokhia yang

    pada saat itu menjunjung tinggi pencarian kekayaan dan hidup dengan kebajikan yang

    bertolak belakang dengan Matius 5:3.59

    Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak hanya

    dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekayaan dan kedudukan tetapi kebahagiaan ini

    dimiliki oleh orang yang dekat dengan yang Transenden (Allah). Teks Matius ini

    menunjukkan bahwa orang yang diberkati oleh Allah adalah mereka yang miskin Roh

    (Allah). Mereka yang hidup sederhana dan penuh hormat pada yang Transenden,

    mengandalkan dan membutuhkanNya. Kata “miskin” ini juga dalam kosakata Yahudi kuno

    sering dikaitkan dengan seseorang yang direndahkan, ditindas dan tidak mampu membela

    dirinya. Sementara itu, miskin dalam Roh berarti orang yang mau merendahkan dirinya,

    secara rohani dan tidak menjadi seorang pemberontak. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa

    orang yang miskin secara rohani adalah mereka yang rendah hati, sabar dan lemah lembut.60

    Sifat seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki hubungan yang baik dengan

    Transenden.

    Inilah ciri dari orang yang diberkati dan berbahagia. Jika pada umumnya orang yang

    mempunya kekayaan dan kekuasaan yang dapat berbahagia maka Yesus menciptakan makna

    kebahagiaan yang baru yang lebih menekankan pada relasi pribadi dengan yang Transenden.

    Jika seorang individu memiliki relasi pribadi yang baik dengan yang Transenden maka dalam

    situasi senang maupun susah ia akan tetap berbahagia (5:4-6). Pemakaian kata Kerajaan

    Allah dalam teks ini, menunjuk kepada orang yang merasa tak berdaya di dunia namun

    mengandalkan Roh (Allah), mereka akan mengalami karunia dan berkat yang tidak akan

    habis dan terpisahkan dari Kerajaan Allah (kerajaan yang damai tanpa ada kekerasan).

    Konsep ini terlihat berbeda dengan Kerajaan dunia yang dilakukan oleh Kaisar dan kelompok

    penguasa yang memaksa dan menindas orang lemah. Sementara itu, Kerajaan Allah

    menerima mereka yang tertindas dan dipaksa serta ditekan oleh manusia. Dari penjelasan teks

    58 Matius menyamakan Yesus sebagai Musa yang baru, yang diutus oleh Allah dalam Perjanjian Lama

    untuk menyampaikan sikap hidup dalam memperoleh Kerajaan Allah. Lih De Heer, Injil Matius Pasal 1-22,

    (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 66. 59 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 60 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, 120.

  • 18

    ini, terlihat jelas bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kekayaan melainkan kebahagiaan

    mencakup relasi yang baik dengan yang Transenden. Orang yang dekat dengan yang

    Transenden, memiliki relasi yang baik, akan mampu berbahagia dalam segala situasi baik

    susah maupun senang.

    3.2 Terhapusnya Perbedaan Kelas Sosial sebagai Elemen Kebahagiaan

    Relasi yang baik dengan yang Transenden merupakan bagian dari kebahagiaan. Hal

    itu tidak hanya dirasakan dalam hati melainkan terlihat dalam tindakan yang dilakukan dalam

    kehidupan bersosial dan berpolitik. Dalam konteks masyarakat Antiokhia pada dasarnya

    kedudukan dan kekuasaan merupakan sumber kebahagiaan. Orang yang berasal dari

    kelompok elit menikmati hidup yang bahagia dibandingkan dengan mereka yang berasal dari

    kelompok non-elit. Namun dalam teks Matius 5:1-12 Yesus mendobrak pemahaman ini. Teks

    Matius memperlihatkan bahwa terhapusnya perbedaan kelas sosial merupakan elemen dari

    kebahagiaan. Kebahagiaan yang terjadi apabila struktur sosial-politik adalah struktur yang

    tidak ada kelas sosial.

    Orang yang murah hati, yang suci hatinya, dan pembawa damai (7-9) adalah orang-

    orang yang tidak mengandalkan kekuatan, kekerasan, pengaruh dan kekuasaan dalam

    hubunganya dengan orang lain. Biasanya manusia mengandalkan kekuatan dan

    pengetahuannya. Manusia yang ideal adalah manusia yang punya, tahu dan bisa semua. Ini

    adalah ciri dari orang yang berbahagia pada umumnya. Namun demikian, apa yang ideal

    tersebut dibalik oleh ajaran Yesus. Setiap orang yang mau berbahagia harus melepaskan

    banyak hal dari kehidupannya.61

    Hal ini memperlihatkan ada sebuah penjelasan untuk

    menghapuskan perbedaan kelas dalam masyarakat mengingat konteks sosio-politik saat itu

    yang terbagi dalam dua kelas sosial yang terkadang membuat rusuh dalam masyarakat karena

    tidak adanya kesetaraan antara sesama manusia. Tampaknya Matius memang mengkritik

    hubungan masyarakat pada saat itu yang tidak menjunjung tinggi kesetaraan manusia

    melainkan hubungan yang dibangun berdasarkan kelas sosial.

    Kehidupan sosial-politik yang berdasarkan kelas sosial ini membuat manusia

    kehilangan konsep kebahagiaan yang sebenarnya, dan hanya berpusat pada konsep

    kebahagiaan yang terletak pada kekayaan dan kekuasaan. Matius menyadarkan pembaca

    untuk melihat pentingnya kemurahan hati, kesucian hati dan pembawa damai dalam suatu

    61 Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, 190.

  • 19

    masyarakat, karena orang-orang yang demikian akan bertindak berdasarkan kesetiaan total

    kepada yang Transenden. Pembawa damai adalah mereka yang tidak melibatkan diri dalam

    lingkaran kekerasan (5:38-42), mereka yang menolak pedang (26:52-54), dan mereka yang

    bisa menerima perintah radikal Yesus untuk mengasihi musuh (5:44-48).62

    Ungkapan berbelas kasih, suci hati dan pembawa damai dijelaskan oleh Matius untuk

    mempertegas pembaca agar mampu saling mengasihi satu dengan yang lain, melihat yang

    Transenden dalam setiap diri manusia dan mempunyai hubungan yang damai serta saling

    bersahabat dan mengupayakan persahabatan antar manusia tanpa memandangan kelas

    sosial.63

    Relasi seperti inlah yang ditegaskan oleh Matius. Kebahagiaan tanpa adanya batas-

    batas kelas sosial melainkan memandang setiap manusia sebagai ciptaan Allah dan

    menjunjung tinggi hidup dalam kesetaraan tanpa ada perbedaan kelas. Kebahagiaan yang

    tidak terbatas pada kedudukan dan kekuasaan melainkan mampu melepaskan kekuasaan dan

    kedudukan untuk hidup bersama dalam kesetaraan. Inilah konsep kebahagiaan yang

    sebenarnya dilihat dari konteks sosio-politik saat itu. Penghapusan kelas sosial sebagai

    sumber kebahagiaan. Dengan demikian maka yang Transenden akan menjaga, melindungi

    dan mengasihi orang yang mengupayakan kedamaian sebagai anak-anak Allah. Status ini

    diperoleh manusia berdasarkan relasi pribadi dengan yang Transenden semata-mata.64

    3.3 Keadilan dan Kebenaran sebagai Sumber Kebahagiaan

    Konteks masyarakat tentang kebahagiaan yang hanya berpusat pada kedudukan dan

    kekuasaan. Alasan ini yang membuat manusia menggunakan berbagai cara untuk tetap

    mempertahankan kedudukannya bahkan dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak benar.

    Dalam kamus Yunani kata “δι ιο ύ ” berarti keadilan, kebenaran, apa yang dituntut Allah,

    kebenaran yang dianugerahkan Allah dan kewajiban agama atau kedermawan.65

    Inilah

    pengertian dari “dikaiosunei” dalam kamus bahasa Yunani, sedangkan “kebenaran” dalam

    bahasa Yunani yaitu “dikaiosune” yang berarti kebenaran, apa yang benar dan jujur.66

    Penjelasan kamus memperlihatkan bahwa kata dikaiosune dan kata alítheia saling terhubung.

    Inilah penjelasan antara keadilan dan kebenaran sebagai konsep kebahagiaan.

    62

    Eko Riyadi, Matius Sungguh Ia Ini Adalah Anak Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 63. 63 Leks, Tafsir Injil Matius, 124. 64 Leks, Tafsir Injil Matius, 125. 65 Barclay M. Newman, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru, (Jakrta: BPK Gunung Mulia,

    2014), 6 dan 42. 66 Newman, Kamus Yunani-Indonesia), 6.

  • 20

    Kebahagiaan merupakan tujuan hidup dari manusia.67

    Manusia akan berjuang dengan

    segala cara untuk memperoleh kebahagiaan. Namun kebanyakan manusia memaknai

    kebahagiaan sebagai sesuatu yang bersifat menyenangkan lahir batin. Hal ini membuat

    manusia menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan hidup mereka. Seperti yang terjadi

    pada masyarakat Antiokhia yang hidupnya berpusat pada kedudukan dan kekuasaan, yang

    membuat kelas elit dan para penguasa bekerjasama untuk mencapai tujuan mereka.

    Kerjasama yang dilakukan oleh kelompok elit dan non-elit yang berimbas pada kelompok

    non-elit.

    Kerjasama antara kelompok elit politik yang mengakibatkan hukum bisa diperjual

    belikan. Tidak hanya itu, sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya juga akhirnya hanya

    berpusat pada kelompok elit. Orang-orang yang memiliki kekayaan besar dan mempunyai

    kedudukan yang baik, mendapat perlakuan yang baik daripada orang-orang yang

    dikategorikan berasal dari kelompok non-elit. Kedudukan dan kekayaan menguntungkan

    beberapa pihak dan merugikan orang lain.68

    Dalam konteks ini terlihat jelas bagaimana

    sistem pemerintahan dan struktur sosio-politik yang tidak adil dan tidak benar.

    Teks Matius 5:10-12 juga berbicara tentang penganiayaan yang dirasakan oleh orang-

    orang yang melakukan kebenaran. Kebenaran pada saat itu susah untuk dilakukan mengingat

    konteks sosio-politik yang menjunjung tinggi pencarian kekayaan dan hidup dengan

    kebajikan.69

    Konsep ini membuat manusia saling mempertahankan kedudukan dengan

    berbagai cara. Ketidakadilan dan ketidakbenaran ini tidak hanya terlihat dalam hukum yang

    tidak adil dan perlakuan yang diskriminasi terhadap kelompok non-elit melainkan dalam

    pengumpulan pajak juga terjadi ketidakadilan. Para pegawai pengumpulan pajak yang

    bertindak semau mereka dan memperkaya diri sendiri dengan pengumpulan pajak memeras

    rakyatnya.70

    Tidak hanya berhenti di situ pekerja buruh, petani dan budak tenaganya

    diekspolitasi dengan harga yang murah dan dipaksa untuk melakukan pembayaran upeti,

    pajak dan sewa tanah. Mereka juga harus menyerahkan kepada kelompok elit 20-40 persen

    dari hasil tangkapan, panen atau kawanan mereka. Di sini terlihat jelas perlakuan yang tidak

    adil dan tidak benar.

    67 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius,2009), 2. 68 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50. 69 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 70 Groenen, Pengantar ke dalam, 37

  • 21

    Latar belakang sosio-politik inilah yang membuat orang yang selalu mencari

    kebenaran akan digempur oleh mereka yang merasa telah memiliki kebenaran.71

    Namun

    Matius memperlihatkan bahwa walaupun seseorang yang dianiaya karena melakukan

    kebenaran yaitu kehendak Allah, maka ia akan tetap berbahagia. Kebahagiaan ini bisa

    dirasakan karena relasi yang baik dengan yang Transenden yang kemudian terlihat dalam

    setiap tindakan yang benar. Kebahagiaan yang dijanjikan tersebut adalah Kerajaan Sorga.

    Namun Matius juga memperingatkan pembacaanya untuk tidak takut melakukan keadilan dan

    kebenaran walaupun dianiaya karena nabi-nabi sebelumnya juga tetap melakukan apa yang

    baik dan benar walaupun mereka di aniaya (5:11-12).

    Dua bagian ucapan bahagia terakhir pada Matius 5:11-12 memperlihatkan bagaimana

    para murid tetap setia melakukan hal yang baik dan benar walaupun dalam keadaan sulit dan

    dianiaya. Teks tersebut juga memperlihatkan bahwa hidup yang baik dan benar tidak

    selamanya berjalan dengan mulus melainkan ketika manusia memiliki relasi yang baik

    dengan yang Transenden maka sikapnya dalam kehidupan sosial-politik akan tertuju pada hal

    yang baik dan benar dalam segala keadaan. Dua ucapan bahagia terakhir dalam Matius 5:11-

    12 berbicara mengenai para murid yang tetap setia mengabarkan Injil dan mereka tetap

    berbahagia dan diberkati walaupun terdapat penganiayan. Berkat dan kebahagiaan yang

    diterima para murid didapatkan karena kesetiaan dan ketaatan kepada yang Transenden.72

    Matius juga memperlihatkan kepada pembaca bahwa pada dasarnya kebahagiaan ada dalam

    diri setiap orang. Bahkan kebahagiaan juga adalah milik mereka yang dianggap menderita

    oleh manusia pada umumnya.

    Inilah makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam teks Matius 5:1-12.

    Kebahagiaan karena relasi yang baik dengan yang Transenden, penghapusan kelas sosial, dan

    keadilan serta kebenaran sebagai sumber kebahagiaan. Terkadang orang berpikir bahwa

    kebahagiaan hanya sebatas memiliki kekayaan dan kedudukan, merasakan kententraman

    secara lahir dan batin karena memiliki segalanya. Akan tetapi dari Matius 5:1-12 terlihat jelas

    bahwa kebahagiaan bisa dialami dalam segala keadaan asalkan setiap orang memiliki relasi

    yang baik dengan yang transenden, menjunjung tinggi kesetaraan sebagai ciptaan Allah, serta

    menerapkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sosial-politik di masyarakat. Inilah tiga

    konsep kebahagiaan dari teks Matius 5:1-12.

    71 Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, 190. 72 Riyadi, Matius Sungguh Ia Ini, 63.

  • 22

    4. Relevansi Rekonstruksi Sosio-Politik tentang Kebahagiaan Menurut 5:1-12 bagi

    Indonesia Masa Kini

    Setelah penulis menemukan makna kebahagiaan dari konteks sosio-politik Injil Matius

    5:1-12, maka penulis akan merelevansikannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia untuk

    merekonstruksi kebahagiaan di Indonesia. Penulis akan mendeskripsikan dan memberikan

    penilaian kritis teologis terkait dengan kehidupan masyarakat di Indonesia.

    4.1 Kebahagiaan dalam Konteks Indonesia

    Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Masyaraknya terdiri dari berbagai

    suku, ras dan agama. Indonesia memiliki masyarakat majemuk yang menekankan

    keanekaragaman yang terdiri dari suku dan bangsa.73

    Keberagaman Indonesia, disatukan oleh

    pendiri negara kesatuan Republik Indonesia melalui sebuah gagasan masyarakat yang ideal

    yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Namun dalam konteks

    masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mengalami keadilan sosial. Hal itu terjadi

    karena banyaknya masalah sosial dan politik di Indonesia yang terjadi. Kemajemukan

    terkadang menjadi pemecah bagi rakyat Indonesia. Perbedaan kelas sosial juga masih terjadi.

    Orang yang mempunyai kedudukan dan kekayaan mampu menikmati kehidupan yang layak

    berbeda dengan orang dari kelas menengah kebawah. Persoalan ini membuat masyarakat

    Indonesia saling berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Terkadang politik

    uang dan perebutan kekuasaan membuat masyarakat kelas bawah menjadi korban.

    Ketika masyarakat menjadi pecah dan saling membenci, mengakibatkan adanya

    sebuah perpecahan. Oleh karena itu, pemimpin negara harus berjuang keras bersama

    rakyatnya untuk menciptakan masyarakat yang damai, toleran dan saling membantu satu

    dengan yang lain. Jika dalam masyarakat masih ada konsep perbedaan kelas sosial maka

    penindasan tetap terjadi. Namun jika tidak ada lagi perbedaan kelas sosial maka masyarakat

    dapat hidup berdampingan tidak ada lagi perbedaan dalam menikmati fasilitas negara.

    Pendidikan, pengobatan dan hidup yang layak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Jika

    dalam kehidupan masyarakat Indonesia hal ini dilakukan maka setiap hari orang akan

    berbahagia. Bukan karena kekayaan dan keudukan melainkan karena kedamaian dan

    ketentraman serta kesetaran terjadi dalam Negara. Akan tetapi pada kenyataannya dan

    73 Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Resolusi Kaum Politik Muda, (Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia,2018), 104.

  • 23

    berdasarkan laporan bahwa peringkat kebahagiaan masyarakat Indonesia tidak bisa dikatakan

    tinggi, bahkan kecenderungan menurun.

    Berdasarkan laporan PBB melalui Sustainable Development Solution Network

    (SDSN) dan The World Happiness Report Negara paling bahagia di dunia tahun 2019

    terdapat di Finlandia. Walaupun masyarakat Finlandia membayar pajak tinggi tetapi hal itu

    dilakukan untuk asuransi, mereka juga percaya pada pemerintah, mereka hidup dalam

    kebebasan, saling bermurah hati dan saling peduli. Indonesia masuk pada peringkat ke-92

    sebagai negara paling bahagia di dunia.74

    Di sini terlihat bagaimana perhatian pemerintah

    terhadap kesejahteraan masyarakat dan gaya hidup yang saling menghargai yang

    menciptakan kebahagiaan dalam masyarakat.

    Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk.

    Kemajemukan masyarakat Indonesia tidak hanya terletak pada keberagaman suku dan

    bahasa, namun juga keberagaman agama. Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah

    Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.75

    Adanya pengakuan pemerintah tersebut, maka masyarakat Indonesia khususnya yang

    beragama Kristen haruslah mempunyai tingkah laku yang baik. Akan tetapi perbedaan

    tingkah laku bukan berarti mendiskriminasikan agama lain melainkan harus menunjukkan

    sikap hidup yang baik sebagai pengikut Yesus dalam kehidupan sosial-politik. Saling

    menghargai dan mengasihi, saling menolong satu dengan yang lain tanpa melihat latar

    belakang serta saling peduli dan melakukan hal yang benar dalam kehidupan bermasyarakat.

    Menjadikan kasih sebagai patokan hidup bersama inilah identitas orang Kristen yang harus

    ditunjukkan dalam kehidupan bermasyarakat.

    Pengikut Yesus mempunyai etika Kristen tersendiri. Etika yang tidak hanya

    mengharapkan kehidupan yang dihargai oleh orang lain dan mempunyai kedudukan atau

    kekuasaan, melainkan kehidupan yang saling mengasihi. Yesus menginginkan agar

    pengikutNya mampu menciptakan sorga di dunia. Melakukan hukum kasih dan etika yang

    Yesus ucapkan dalam Injil Matius 5:1-12. Tidak membedakan satu dengan yang lain dan

    mampu melakukan hal yang benar dan adil. Ketika pengikut Yesus mampu melakukan ajaran

    74

    Siti Khotimah, “Terungkap, Ini Negara Paling Bahagia di Dunia Tahun 2019”, Liputan 6, 19 Juni

    2019, di akses 11 Agustus 2019, https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-

    bahagia-di-dunia-tahun-

    2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fgl

    obal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019 . 75 A.A Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 2.

    https://worldhappiness.report/https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019

  • 24

    Yesus, maka masyarakat yang beragama Kristen mampu hidup berdampingan dengan semua

    masyarakat yang berbeda latar belakang agama, suku dan bahasa. Tidak hanya itu saja tetapi

    masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Kristen juga mampu menciptakan konsep

    kebahagiaan yang baru. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya terbatas pada kekayaan dan

    kekuasaan, melainkan konsep kebahagiaan yang diajarkan oleh Yesus. Kebahagiaan dalam

    melakukan perintah Allah, hidup dalam Allah, melakukan hal yang benar dan mengasihi

    sesama manusia. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri melainkan

    tercipta lewat perilaku sosial di masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan

    cinta kasih, menegakkan keadilan dan kebenaran, memperhatikan orang yang tertindas, saling

    menolong, saling menghargai dan tidak melakukan kekerasan untuk kepentingan diri sendiri.

    4.2 Sumbangsih Rekonstruksi Kebahagiaan Bagi Masyarakat Indonesia

    Model kebahagiaan yang Yesus sampaikan juga tidak hanya berlaku bagi masyarakat

    yang beragama Kristen melainkan konsep kebahagiaan ini juga bisa diterapkan oleh agama

    lain. Jika semua masyarakat Indonesia mampu melakukan apa yang diajarkan oleh Yesus

    yang ditulis oleh Matius, maka masyarakat Indonesia mampu hidup berdampingan. Bukan

    hanya sekadar hidup, tetapi dapat menciptakan masyarakat yang saling menghargai, saling

    membantu, menghormati dan mengasihi satu dengan yang lain. Sampai pada akhirnya akan

    terwujud sebuah masyarakat yang damai dan berbahagia. Kebahagiaan tidak lagi dipahami

    sebagai hal yang menyenangkan hati secara lahir batin. Namun kebahagiaan ini dipahami

    sebagai sebuah keharusan untuk hidup benar di dunia dengan tetap setia dan taat pada Allah

    Tuhan yang disembah dan diyakini. Tidak hanya berhenti di situ melainkan melakukan hal-

    hal baik yang diajarkan oleh Tuhan. Inilah konsep kebahagiaan yang ditawarkan oleh Yesus

    yang masih berlaku untuk dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Konsep

    kebahagiaan ini sangat baik untuk dilakukan atau diterapkan oleh masyarakat Indonesia.

    5. Penutup

    5.1. Kesimpulan

    Kebahagiaan tidak selalu tentang sesuatu yang menyenangkan hati secara lahir batin,

    bukan juga tentang sesuatu yang kita inginkan yang menyenangkan hati secara lahir batin.

    Kebahagiaan adalah ketika manusia mempunyai hubungan yang baik dengan yang transenden

    kemudian kedekatan itu diaplikasikan dalam tindakan hidup bermasyarakat dengan

    melakukan ajaran yang benar baik dalam bidang sosial maupun politik. Indonesia sebagai

  • 25

    masyarakat yang majemuk dan taat pada agama lebih bagi Indonesia. Namun ketaatan itu

    tidak hanya diperkatakan melainkan harus diterapkan dalam kehidupan bersosial-politik. Jika

    semua manusia yang beragama bisa menafsir ajaran agamanya dengan baik dan benar maka

    kehidupan akan berjalan dengan baik. Akan tetapi jika hal-hal baik yang ada dalam agama

    hanya sebatas perkataan maka kedamaian dan kebahagiaan itu tidak akan terlihat.

    Masyarakat Indonesia juga merupakan masyarakat yang mempunyai banyak hukum

    yang diatur oleh negara. Hukum ini jika ditafsir dan dilakukan dengan adil dan benar maka

    akan terjadi ketidakadilan dan penindasan. Namun dalam kenyataannya terkadang hukum

    bisa diperjualbelikan. Kehidupan sosial dan politik masih belum terlalu baik. Kehidupan yang

    terjadi pada masyarakat Antiokhia terkadang juga terlihat dalam konteks Indonesia. Oleh

    karena itu semua masyarakat Indonesia harus bekerja sama untuk menciptakan Indonesia

    yang lebih baik dengan menerapkan keadilan dan kebenaran, serta menjalin kehidupan yang

    toleransi dengan orang yang berbeda. Hal ini merupakan sumber kebahagiaan bagi

    masyarakat yang ideal.

    5.2. Saran

    Berdasarkan hasil tafsir dan relevansinya, gereja didorong untuk mengubah

    pandangannya tentang kebahagiaan. Gereja tidak boleh hanya mengurus urusan adimistrasi

    gereja tetapi juga harus melihat dan menyikapi isu-isu sosial-politik dalam masyarakat.

    Gereja harus mampu menegakan keadilan dan kebenaran serta merangkul semua orang,

    termasuk orang yang didiskriminasi oleh masyarakat. Gereja perlu memberikan ruang bagi

    orang-orang yang berduka untuk menikmati setiap hal yang terjadi. Jemaat perlu diajarkan

    untuk mempunyai hati yang tulus serta mampu menegakkan keadilan dan kebenaran. Gereja

    harus mampu hidup toleransi dengan sesama masyarakat yang berbeda agama. Gereja harus

    menjadi pendamai, sehingga, tugas profetis gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di

    tengah dunia dapat terealisasikan. Ajaran Yesus tentang Ucapan Bahagia sangat baik untuk

    diterapkan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Barclay William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 1-10. Jakarta: BPK

    Gunung Mulia, 2008.

    Bergant, Dianne dan Karris, Robert. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Terjemahan A.S

    Hadiwiyata dan Lembaga Biblika Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

    Bosch, David J. Transformasi misi Kristen sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah.

    Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

    Budiman, William. Finding Sustainable Happines. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2018.

    Carter, Warren. Mateo Y Los Márgenes Una Lectura Sociopolítica y Religiosa. New York:

    Maryknoll Orbis Books: 2007.

    Carter, Warren. Matthew Ancc Empire Initial Explorations. United State of America: Library

    of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2001.

    Coote, Robert & Mary Coote. Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab. Translated by

    Minda Perangin-angin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

    Danes Christoper dan Simon. Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman

    Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

    Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta:

    Balai Pustaka, 2005.

    Dewi Fitria Susi, Sosiologi Politik. Yogyakarta: Gre Publishing, 2017.

    Drane, Jhone. Memahami Perjanjian Baru;Pengantar Historis-Teologis, judul asli

    Introducing the New Testament. Terjemahan P.G. Katoppo. Jakarta: BPK Gunung

    Mulia 2016.

    Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia; 1988.

    Guthrie, Donald, dkk. Tafsir Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu. Terjemahan Soedarmo dkk.

    Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih; 1982.

  • 27

    Hakh, B. Samuel. Pemberitaan Tentang Yesus Menurut Injil-Injil Sinoptik. Bandung: Jurnal

    Info Media; 2007.

    Hayes, John H. dan Carl R. Holladay. Pedoman penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 1996.

    Heer De J. Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.

    Ismail, Andar. Selamat Berbakti:33 renungan tentang beribada. Jakarta: Gunung Mulia,

    2008.

    Jones, Llyod D. Martyn Studies In The Sermon On The Mount, Volume one. Amerika:

    Eerdmnas, 1959.

    J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi

    Bina Kasih/OMF, 2003.

    J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi

    Bina Kasih/OMF, 2005.

    Kingsbury, Jack Dean. Injil Matius Sebagai Cerita. Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2004.

    Leks, Stefan. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta: PT Kanisius; 2003.

    Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius,

    2009.

    Marxen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Kritis Masalah-Masalahnya. Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 1996.

    Muhammad Hasibuan, Syadat Umar. Resolusi Kaum Politik Muda. Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia, 2018.

    Newman M Barclay. Kamus Yunani-Indonesia Untuk Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 2014.

    OFM, C Groenen. Pengantar ke dalam perjanjian baru. Sleman: Kanisius,1984.

    Riyadi Eko. Matius “sungguh,Ia ini adalah Anak Allah!”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

  • 28

    Santoso, Iman David. Theologi Matius Intisari dan Aplikasinya. Malang: Literatur Saat,

    2009.

    Stambaugh, John dan Balch, David. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK

    Gunung Mulia; 1997.

    Setyawan, Yusak B. Pengantar Hermeneutik Untuk Studi Hermeneutik Perjanjian Baru.

    Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana; 2015.

    Singgih, Gerrit Emmanuel. Mengantisipasi Masa Depan berteologi dalam konteks di awal

    millennium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

    The Greek New Testament, Cet.3. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1988.

    Yewangoe, A.A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

    Zetterholm Magnus. The Formation Of Christianity In Antioch A social-scientific approach

    to the separation between Judaism and Christianity. USA and Canada: Routledge,

    2003.

    Skripsi

    Dangga J. Paulina, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu

    Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap Injil Matius 6:9-13. Skripsi S.Si. Teol, Fakultas

    Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014.

    Berita

    Siti Khotimah, “Terungkap, Ini Negara Paling Bahagia di Dunia Tahun 2019”, Liputan 6, 19

    Juni 2019, di akses 11 Agustus 2019,

    https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-

    di-dunia-tahun-

    2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2F

    www.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-

    bahagia-di-dunia-tahun-2019 .

    https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019