makna khalifah dalam al- qur’an relevansinya...
TRANSCRIPT
i
MAKNA KHALIFAH DALAM AL- QUR’AN
RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM ( Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35 )
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Anik Risalati NIM : 3103247
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2008
ii
ABSTRAK
Anik Risalati (NIM: 3103247). Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35). Skripsi. Semarang: Program Strata I Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo. 2008 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35; 2) relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam. Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan Metode Riset Kepustakaan (library research), dengan Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Data penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Maudhu’i dan Interpretasi. Dalam penelitian ini penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa makna khalifah tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat 30-35, khalifah berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh. Khalifah adalah manusia kritis, kreatif serta dinamis yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-Nya.
Secara operasional tugas kekhalifahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan kultur Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik manusia perlu diberikan pendidikan. Melalui proses pendidikan, manusia akan dapat mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya yang selanjutnya akan menjadi bekal bagi dirinya untuk dapat menjalankan tugasnya. Karena pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Dengan tercapainya kepribadian manusia yang seimbang, manusia akan dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Namun sebaliknya, tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal.
iii
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan bagi khazanah ilmu pengetahuan dan bahan informasi serta masukan bagi para praktisi pendidikan pada umumnya dan civitas akademika di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
iv
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
sebagai bahan rujukan.
Semarang, 15 Januari 2008
Deklarator
Anik Risalati
NIM: 3103247
v
Musthofa Rahman, M.Ag Ikrom, M.Ag
Jl. Karonsih Selatan IX/863 Tugurejo RT.02/I No 38
Ngalian Semarang Tugu Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
a.n. Sdri. Anik Risalati
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama
ini saya kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Anik Risalati
NIM : 3103247
Judul : Makna Khalifah Dalam Al-Qur’an Relevansinya Dengan
Tujuan Pendidikan Islam ( Analisis QS. Al-Baqarah Ayat 30-
35)
Dengan ini, saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I, Pembimbing II,
Musthofa Rahman, M. Ag Ikrom, M. Ag NIP. 150 276 925 NIP. 150 268 786
vi
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Telp./fax ( 024) 7601295, 7615387
PENGESAHAN
Nama : Anik Risalati
NIM : 3103247
Jurusan : PAI
Judul Skripsi : Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan
Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :
24 Januari 2008
dan dapat diterima sebagi kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan
Studi Program sarjana Strata 1 ( S1) guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu
Tarbiyah.
Semarang, 30 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd Siti Tarwiyah, S. S. M. Hum NIP. 150 170 474 NIP. 150 290 932
Penguji I Penguji II
Dra. Siti Mariam, M.Pd Dra. Muntholi’ah, M.Pd NIP. 150 257 372 NIP. 150 263 166
Pembimbing I Pembimbing II
Musthofa Rahman, M.Ag Drs. Ikhrom, M.Ag NIP. 150 276 925 NIP. 150 268 786
vii
MOTTO
øŒÎ)uρ tΑ$ s% š •/u‘ Ïπ s3Í× ¯≈n= yϑù= Ï9 ’ÎoΤ Î) ×≅ Ïã%y` ’Îû ÇÚö‘ F{$# Zπ x‹ Î= yz ( (#þθä9$ s% ã≅ yèøg rB r& $pκ Ïù ⎯tΒ ß‰Å¡ ø ãƒ
$ pκÏù à7Ï ó¡ o„ uρ u™!$ tΒÏe$! $# ß⎯øt wΥuρ ßxÎm7 |¡ çΡ x8 ωôϑ pt ¿2 ⨠Ïd‰s) çΡ uρ y7 s9 ( tΑ$s% þ’ÎoΤÎ) ãΝ n= ôãr& $ tΒ Ÿω tβθ ßϑ n= ÷ès? ∩⊂⊃∪
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “. Mereka berkata : “ mengapa Engkau hendak menjadikan ( khalifah ) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. al-Baqarah: 30 )
viii
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
1. Ayah dan ibu tercinta
2. Suamiku tercinta
3. Saudara-saudaraku terkasih
4. Teman-teman seperjuangan
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat taufiq, hidayah dan inayah-Nya. Sehingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi besar
Muhammad SAW, keluarga, sahabat-sahabatnya serta orang-orang mukmin yang
senantiasa setia jadi pengikutnya.
Dengan pertolongan Allah SWT jualah penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Namun penulis yakin bahwa disepanjang pembahasan skripsi ini
terdapat berbagai kelemahan, baik yang menyangkut metodologis maupun
analisisnya. Hal ini dikarenakan akibat dari kemampuan dari penulis yang sangat
terbatas.
Selanjutnya dengan segenap kerendahan hati dan penuh kesadaran, penulis
sampaikan bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas jasa beliau
semua yang telah memberikan secara ikhlas baik berupa tenaga, pikiran,
bimbingan dan saran-saran sebagai sesuatu yang sangat berguna bagi penulis
dalam mencari kesempurnaan dari penulisan skripsi ini. Dan beliau yang penulis
maksud antara lain :
1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Musthofa Rahman, M.Ag selaku pembimbing I dan Drs. Ikhrom, M.Ag selaku
pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu
dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan pengarahan langsung
kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
x
3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan
kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ayah, Bunda serta saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa memberikan
motivasi baik secara moral maupun material kepada penulis yang semua itu
telah terbukti menunjang keberhasilan studi penulis sejak awal hingga saat
diselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Suamiku tercinta yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat karibku semua yang ikut berperan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Atas jasa-jasa beliau semua ini, penulis tidak mampu untuk membalasnya,
kecuali dengan berdo’a semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.
Penulis berharap kehadiran skripsi ini dihadapan para pembaca budiman
akan memberikan manfaat terutama kepada diri penulis dan para pembaca pada
umumnya. Amin ya Robal ‘alamin.
Semarang, 15 Januari 2008
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................. ii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ ix
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Penegasan Istilah........................................................................ 5
C. Perumusan Masalah ................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
F. Kajian Pustaka ........................................................................... 8
G. KerangkaTeori........................................................................... 9
H. Metodologi Penelitian................................................................ 11
BAB II MAKNA KHALIFAH DALAM QS. AL-BAQARAH AYAT 30-
35
A. Pengertian Khalifah.................................................................... 13
B. Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30-35........................................ 18
C. Khalifah Sebagai Manusia Terdidik.......................... ................ 28
BAB III KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
xii
A. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam .................................... 33
B. Ruang Lingkup Tujuan Pendidikan Islam ................................. 35
C. Tujuan Pendidikan Islam........................................................... 39
BAB IV RELEVANSI MAKNA KHALIFAH DENGAN TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Hubungan Makna Khalifah dengan Tujuan Pendidikan
Islam........................................................................................... 46
B. Urgensi Makna Khalifah dalam Tujuan Pendidikan
Islam........................................................................................... 49
C. Tujuan Pendidikan Islam Berdasarkan Makna Khalifah ........... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 57
B. Saran-Saran .............................................................................. 58
C. Penutup ..................................................................................... 58
LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh
ciptaan lainnya tunduk kepadanya. Menurut al-Qur’an (2: 30-31), setelah
menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-
nama segala benda.13
Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT menciptakan segalanya dari tiada
menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan
memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena itu setiap objek dalam ciptaan
menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memberitahukan kepada
Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar akan esensi ciptaan. Dengan
kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan
ciptaan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran intelektual yang terpisah dari
kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran spiritual yang mengontrol, membimbing,
dan mempertajam intelek, dengan menanamkan dalam diri nabi Adam perasaan
ta’dhim dan hormat kepada Tuhan dan membuatnya mampu menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan umat manusia.14
Akan tetapi banyak sekali diantara umat Islam yang memaknai khalifah
sebagai khilafah. Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang
dilontarkan oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya
khilafah Islamiyah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah
berakhir sejalan dengan kencangnya tuntutan kemerdekaan di berbagai Negara
kolonial yang berpenduduk mayoritas seperti Negara yang ada di kawasan Asia
Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain.
Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasaan Turki Usmani yang kuat yang
1 Soenarjo, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), hlm.13-14 2 Ali Asraf, Horison Baru Pendidikan Islam, pen. Sori Siregar, (Jakarta: Puataka Firdaus, 1996),
hlm.1-2.
2
menguasai Timur Tengah dan Negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan
khalifah yang amat tinggi. Khusus kekuatan Sekularisme didukung oleh kekuatan
intern di Turki waktu itu, mengurangi kekuasaan khalifah dari ranah kekuasaan
politik.15
Sejak merosotnya umat Islam menjelang serbuan tantara Tar-tar nampak
sekali bahwa umat Islam telah gagal merespon kehendak Tuhan karena telah lalai
mengkaji isi al-Qur’an maupun hadist Rasul secara total dan komprehensif. Umat
Islam sampai hari ini pun masih terjebak dalam sekat-sekat penjara parsial dan
hanya mengambil sepenggal-sepenggal untuk kepentingan diri sendiri saja
sehingga gambaran besar yang ada dalam al-Qur’an tentang cara-cara hidup di
bumi yang selaras dengan tuntunan Allah diabaikan. Akibatnya pengetahuan
Tuhan pun seolah lenyap dari umat Islam dan muncul kembali di Eropa untuk
membuka zaman baru disana sebagai Era Renaissance yang mengubah banyak
hal. Meskipun era tersebut mengawali lahirnya sekularisme, namun Tuhan Maha
Adil, sehinnga Dia pun menepati janji bahwa siapapun yang selaras dengan
kehendak-Nya, harmonis dengan diri-Nya sebagai Rabbul Alamin akan menerima
manfaat yang diperoleh dari seluruh pengetahuan yang telah disampaikan Nabi
Adam.
Karena kenyataan demikian, kekhalifahan itu harus dikembalikan kepada
makna dasar yang lebih elementer karena menyangkut kemampuan individual
sebagai manusia berpengetahuan atau khalifah yang unggul, yang bisa menjadi
pembimbing bagi manusia lainnya atau bagi kaumnya. Jadi, secara individual
semua umat Islam harus mempunyai akhlak dan pengetahuan yang benar dahulu
dalam koridor Islam sebagai adab hamba di hadapan pencipta-Nya, yang akhirnya
dari keberadabannya itu akan memberikan rahmat sebelum membangun sistem
kekhalifahan sebagai suatu identitas global.16
3 M. Abdurrahman Assegaf, “Konsep Khilafah Islamiyah”, http//www.persis.co.id/15112007/, hlm.1 4 Suryaningsih,”Umat Islam dan Tantangan Untuk Menciptakan Transformasi Besar”,
http//suryaningsih.wordpress.com/26122007/, hlm.2-3
3
Manusia diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik diantara
makhluk lain. Ia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih, dan tidak ternoda.
Pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang akan menentukan seseorang
dalam mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, sebagaimana Nabi Muhammad
bersabda :
لووم ا مند عن ايب هر ير ة أنه كا ن يقو ل قال ر سول اهللا صلي اهللا عليه و سلم م 17 )رواه مسلم ( دانه وينصرانه ويمجسا نه طرة فأبواه يهواال يولد على الف
“Dari Abu Hurairah katanya : Bersabda Rasulullah Saw. Tiap-tiap anak dilahirkan dengan keadaan putih bersih maka dua ibu bapaknya yang me-Yahudikan atau me-Nasranikan atau me-Majusikan”. (HR. Muslim).
Allah memberikan anugrah berupa potensi kepada manusia yang harus
dikembangkan dan harus diaktualisasikan agar dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah ia haruslah memiliki kekuatan untuk
mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya.
Sebagai ‘abd ia harus melaksanakan seluruh usaha dan aktifitasnya dalam rangka
ibadah kepada Allah SWT. Dengan pandangan yang terpadu ini maka sebagai
khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau
bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Berdasarkan pengakuan Islam terhadap fitrah dan potensi manusia maka
dalam pendidikan Islam, manusia perlu dididik sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma ajaran Islam. Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul Islam
sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan
pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang berusaha memelihara dan
megembangkan fitrah serta sumber daya insani yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam”.6
5 Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV,(Beirut : Darul al-Kutub,
tt).hlm.2047. 6 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,1992),hlm.20.
4
Karena besarnya peranan manusia di muka bumi dengan segala aspek
kehidupannya, pendidikan Islam sangat perlu dan penting sekali.
Dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna maka
diharapkan mampu untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi. Atas dasar ini Quraish Shihab berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu
melaksanakan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya guna membangun
dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.7
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk melahirkan masyarakat yang
berkebudayaan serta melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, dan
pendidikan akan mengarahkan kepada sumber daya manusia yang berkualitas.8
Selain itu dalam Islam, pendidikan bertujuan menumbuhkan keseimbangan pada
kepribadian manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan
dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan
jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spiritual, intelektual,
imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara
kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencari kebaikan dan kesempurnaan.
Pada gilirannya tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak
kepada Allah SWT pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada
umumnya.9
Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, manusia
perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi dan
sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan konsep khalifah dalam al-Qur’an erat
kaitannya dengan pendidikan.
7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,2007),hlm.173. 8 Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam Rusman
Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),hlm.16.
9 Ali Asraf, op. cit.,hlm.2.
5
B. Penegasan Istilah
Untuk mengurangi kekaburan dan untuk nenghindari kesalahan pengertian
atau penafsiran bagi para pembaca, maka penulis perlu memberikan penegasan
istilah terhadap masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
a. Makna Khalifah dalam QS. Al-Baqarah Ayat 30 -35
Makna dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti arti atau maksud
pembicara atau penulis. Jadi makna adalah arti atau maksud dari suatu obyek
yang dikaji.10 Khalifah adalah kata yang berelemen huruf kha’, lam dan fa’
bermakna mengganti, mewakili, generasi dan belakang.11 Sedangkan dalam tafsir
Alqur’anul Majid An Nur disebutkan bahwa pengangkatan manusia sebagai
khalifah meliputi pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain
dengan diberi kekuatan akal.12
Al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad
SAW dan diterima oleh umat Islam secara mutawattir dan membacanya
merupakan ibadah.”13 Dengan definisi ini, kalamullah yang diturunkan kepada
nabi-nabi selain nabi Muhammad, tidak dinamakan al-Qur’an seperti Taurat yang
diturunkan kepada nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada nabi Isa.
Sedangkan yang diteliti disini adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30-35
b. Relevansi Tujuan Pendidikan Islam.
Relevansi berasal dari bahasa Inggris relevance yang berarti bersangkut
paut atau bisa disebut juga hubungan.14 Dalam kamus popular dijelaskan bahwa
makna relevansi adalah hubungan, keterkaitan atau pertalian.15 Sedangkan dalam
penelitian ini diartikan dengan hubungan yaitu adanya hubungan antara satu hal
10 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka,1995),hlm.619. 11 A.Mustain Syafi’i, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Koran,(Surabaya: Harian Bangsa,2004),hlm.163. 12 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nur,(Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra,2000),hlm.71. 13 M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,(Bandung: Mizan,2005),hlm.43. 14 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1993),hlm.475. 15 M.D.J. Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2000),hlm.261.
6
dengan hal lain yang dapat berguna secara langsung untuk menambah atau
melengkapi satu sama lain.
Tujuan menurut Zakiyah Daradjat adalah sesuatu yang diharapkan
tercapainya setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Selain itu tujuan adalah
sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang
melaksanakan suatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam yaitu sasaran
yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan
pendidikan Islam.16
Menurut Achmadi tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi tiga tahapan
yaitu:17
a. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sebagai ciptaan Allah yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa,
mampu menjadi khalifah di bumi dan memperoleh kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat.
b. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat
diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian peserta
didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang utuh.
c. Tujuan khusus : tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan
perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih
tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi.
Dari penegasan istilah diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud judul
skripsi Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan
Islam (Analisis QS. al-Baqarah Ayat 30-35) adalah hubungan makna khalifah
yang tersurat dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam,
artinya unsur kesamaan yang ada antara keduanya dapat dikaji dalam rangka
merealisasikan pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang
disampaikan Rasulullah SAW dalam rangka beribadah kepada Allah.
16 Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2001),hlm.68.
17 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),hlm.28-29.
7
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di muka, maka ada
beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini, permasalahan tersebut antara
lain:
1. Bagaimana makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35 ?
2. Bagaimana relevansi makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35
dengan tujuan pendidikan Islam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi
1. Tujuan penelitian skripsi
Berpijak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35.
b. Untuk mengetahui relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat
30-35 dengan tujuan pendidikan Islam.
2. Manfaat penelitian skripsi
a. Dengan meneliti dan mengkaji makna khalifah yang terkandung dalam
QS.al-Baqarah ayat 30-35, maka diharapkan akan dapat meningkatkan
wawasan serta pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna
khalifah dari berbagai sudut pandang para mufassir.
b. Dari hasil kajian dan pemahaman ayat di atas, diharapkan dapat membantu
usaha penghayatan sekaligus pengamalan terhadap isi, kandungan dan
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an baik yang tersirat maupun
tersurat dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35.
c. Kajian ini dilakukan sebagai salah satu acuan dalam mengarahkan peserta
didik untuk dapat mengoptimalkan potensi diri agar dapat berperan
sebagai khalifah dalam kehidupan bermasyarakat.
8
d. Dengan melakukan kajian ini diharapkan dapat merumuskan tujuan
pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat
membantu peserta didik menjalankan fungsinya sebagai khalifah.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang manusia dan tujuan pendidikan Islam kaintannya dengan
al-Qur’an telah banyak dilakukan, bahkan terdapat beberapa karya ilmiah dan
buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dikaji telah memberikan
kontribusi yang lebih signifikan dalam rangka mengkaji dan memahami
permasalahan yang dikaji, sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif. Diantara karya ilmiah yang mendukung kajian ini adalah sebagai
berikut:
Pertama, Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia
Menurut al-Qur’an (kajian filosifis) yang diteliti oleh Nur Imamah.18 Skripsi ini
berisi tentang tujuan pendidikan yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup
manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, kemudian dikaitkan dengan
fungsi manusia menurut al-Qur’an yakni sebagai khalifah dan ‘abdullah yang
pada akhirnya menuju terbentuknya insan kamil.
Kedua, Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Islam yang dikaji oleh Syamsu.19 Penelitian ini berisikan
tentang manusia secara eksistensial adalah makhluk Allah yang diberi tugas
sebagai khalifah di muka bumi, makhluk pribadi yang terdiri dari dwi matra yaitu
jiwa dan raga. Pengenalan tentang manusia merupakan langkah pertama yang
harus diperhatikan para pakar atau pelaksana pendidikan, karena manusia dalam
pendidikan dipandang sebagai subyek dan obyek pendidikan.
18 Nur Imamah, 3100224, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi
: “Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia Menurut al-Qur’an (kajian filosifis)”, ( Semarang : 2005), td.
19 Syamsu, 3100056, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”,( semarang: 2005), td.
9
Ketiga, Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam yang dikaji oleh Ali Usman.20
Skripsi ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dan makna ibadah
mempunyai hubungan atau keterkaitan dalam ramgka mewujudkan tujuan hidup
manusia yaitu sebgai ‘abd dan khalifatullah yang diwujudkan melalui pendidikan.
Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, maka penelitian ini
memfokuskan untuk mengetahui makna khalifah yang terkandung dalam surat al-
Baqarah ayat 30-35 kaitannya dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan harapan
agar makna khalifah tersebut dapat menjadi dasar untuk merumuskan tujuan
pendidikan Islam.
F. Kerangka teori
Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik
dari aspek jasmaniah maupun ruhaniahnya. Karena kesempurnaannya itulah maka
untuk dapat memahami, mengenali secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian
yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melalui studi yang
panjang dan hati-hati tentang manusia melalui al-Qur’an dan sudah tentu di
bawah bimbingan dan petunjuk Allah serta berparadigma kepada proses
pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi,
Rasul dan khususnya nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarah penciptaan manusia, dijelaskan bahwa sebelum
diciptakannya manusia, Tuhan telah menyampaikan rencana penciptaan ini
kepada para malaikat, agar makhluk ini (manusia) menjadi khalifah (kuasa atau
wakil) Tuhan di bumi (QS 2: 30). Dari sini jelas pula bahwa hakikat wujud
manusia dalam kehidupan ini adalah melaksanakan tugas kekhalifahan:
membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Berangkat
dari misi al-Qur’an sebagai petunjuk dari Allah dan sebagai pedoman hidup
20 Ali Usman, 3100150, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi :
“Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56 Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”, (Semarang : 2004), td.
10
seluruh manusia, maka tugas umat adalah mengkaji dan memahaminya. Tidak
sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara tentang manusia. Bahkan manusia adalah
makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian wahyu Tuhan yang
pertama (QS. 96 : 1- 5 ).21
Allah juga telah menyuruh seluruh manusia untuk menyadari dirinya
sendiri, merenungkan dan memikirkan hakikat hidupnya, dari mana asalnya dan
hendak kemana dia serta bagaimana ia hidup di dunia ini. Sebagaimana firman
Allah dalam surat adz-Dzariyat: 21 “Dan (juga) pada dirimu sendiri, apakah
kamu tidak memperhatikan”.22
Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut dengan baik, manusia perlu
diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan, pengalaman serta sarana
pendukung lainnya. Hal ini menunjukkkan bahwa konsepsi manusia dalam al-
Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan, khususnya pendidikan Islam.karenanya
pembicaraan apapun yang berkenaan dengan pendidikan, pastilah mengupas
tentang manusia terlebih dahulu. Sebab manusia merupakan subyek sekaligus
obyek pendidikan. Dalam artian bahwa aktivitas pendidikan berkaiatan dengan
proses “humanizing of human being“ proses “memanusiakan manusia“ atau
upaya membantu subyek (individual atau satuan sosial) berkembang normatif
lebih baik. Ini tentunya dimulai dengan merumuskan hakekat subyek didik
(manusia). Dari sini disusunlah sistematika tentang bagaimana seharusnya proses
dilaksanakan.23
Persoalan manusia merupakan tema sentral dan titik tolak dalam
memaknai pendidikan Islam, termasuk di dalamnya adalah untuk merumuskan
tujuan pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam pada dasaranya ingin
mengantarkan manusia menuju ke kemanusiaan sejati. Dalam pendidikan Islam,
21 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung : Mizan , 2007), hlm. 233 22 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahnya, ( Bandung : Gema Risalah
Press , 1992 ), hlm. 13-14 23 A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam : Suatu Telaah Reflektif Qur’any, dalam
Habib Thoha (eds), Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, ( Yogya : Pustaka Pelajar, 1996 ) , hlm. 283
11
pemikiran tentang manusia berdasarkan pada sumber–sumber ajaran Islam
diharapkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
G. Metodologi penelitian
1. Metode pengumpulan data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu
penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan kepustakaan atau literature
baik berupa buku laporan ataupun catatan hasil penelitian terdahulu.24
Secara garis besar, sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber informasi yang lansung dari subyek penelitian
dengan menggunakan alat pengambilan data lansung pada subyek sebagai
informasi yang dicari.25 Dalam skripsi ini, sumber primernya adalah al-Qur’an
serta tafsir-tafsirnya, terutama tafsir al-Misbah, tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-
Qur’anul Majid An-Nur dan tafsir al-Maraghi.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah sumber informasi secara tidak langsung mempunyai
wewenang dan tanggung jawab atau yang berkaitan dengan tema tersebut.26
Dalam hal ini adalah buku-buku yang relevan dengan pembahasan dalam
penelitian ini, diantaranta adalah buku Membumikan al-Qur’an dan buku-
buku tentang Filsafat Pendidikan Islam.
2. Metode analisis data
a. Metode Maudhu’i
Metode yang digunakan adalah metode tafsir maudhu’i. Tafsir maudhu’i
ini mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu
24 M. Iqbal Ihsan, Pokok-pokok Materi MetodologiPenelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11
25 Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian , ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 ) hlm, 90 26 Ibid, hlm..90
12
surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat
umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-
sama membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian
rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan
secara maudhu’i.27 Kedua bentuk metode tafsir maudhu’i tersebut digunakan
dalam penelitian ini adalah agar mendapat penjelasan makna khalifah dalam al-
Qur’an terutama dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 secara komprehensif.
b. Metode Interpretatif
Metode ini berperan untuk mencari makna yang merupakan upaya untuk
menangkap dibalik yang tersurat, selain itu juga mencari makna yang tersirat serta
mengaitkan dengan hal-hal yang terkait yang sifatnya logik teoritis dan
transendental.28 Metode digunakan dalam rangka mencari kandungan surat al-
Baqarah ayat 30-35 tentang khalifah relevansinya dengan tujuan pendidikan
Islam.
27 Abd. Al-Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1994 ), hlm. 35-36 28 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, ( Yogyakarta: Rake Surasin, 1996 ), hlm. 65.
13
BAB II
MAKNA KHALIFAH DALAM Q.S AL-BAQARAH AYAT 30-35
A. Pengertian Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Qur’an
yaitu dalam al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Sedangkan dalam bentuk plural
ada dua bentuk yang digunakan yaitu: (a) khalaif yang terulang sebanyak empat
kali terdapat dalam surah al-An’am ayat 165, Yunus ayat 14 dan 73 dan Fathir
ayat 39; (b) khulafa’ terulang sebanyak tiga kali pada surah al-A’raf ayat 69 dan
74 dan al-Naml ayat 62. Keseluruhan kata tersebut pada berakar dari kata khalafa
yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini kata khalifah sering kali
diartikan sebagai “pengganti”.1
Manusia di dunia ini memiliki kedudukan yang istimewa. Manusia adalah
khalifah Allah di muka bumi. Al-Qur’an menyatakan :
) ٣٠: البقرة......(رض خليفة ربك للمالئكة إني جاعل في األوإذ قال
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, bahwa sesungguh-Nya aku akan menjadikan di bumi seorang Khalifah …. (QS. al- Baqarah : 30 ) 2
Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas
dasar ini kata khalifah ada yang memahami dalam arti yang menggantikan Allah
dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya,
namun hal ini bukan berarti Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
1Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat,(Bandung: Mizan, 2007) hlm. 157 2 Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama Islam, 1971), hlm.13
14
berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia
dan memberinya penghormatan.3
Dalam Lisanul Arab disebutkan:
قال ابن االثري اخلليفة من يقوم مقام الذاهب ويسد مسده ومجعه اخللفأ
Ibnu Atsir berkata Al Khalifah ( الخليفة ) artinya adalah orang yang mengambil alih posisi orang lain yang “pergi” dan melanjutkan tugasnya. Dan jamaknya adalah khulafa’ 4 خلفأ
Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa yang menggantikan itu boleh jadi
menyangkut waktu ataupun tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara
sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti
kekhalifahan manusia yang diterimanya dari Allah. Namun asy-Sya’rawi tidak
memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam
menegakkan kehendak-Nya, akan tetapi ia memahami kakhalifahan tersebut
berkaitan dengan reaksi dan ketundukan bumi kepada manusia yang
dianugerahkan Allah kepada manusia.5
Al Maraghi berpendapat bahwa khalifah berarti jenis lain dari makhluk
sebelumnya, disamping itu bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk
melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia. Sebagian mufassir
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah sebagai
pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia.
Oleh sebab itu istilah yang mengatakan “manusia adalah khalifah Allah di bumi”,
sudah sangat popular.6
3 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan , Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 1 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hlm. 142
4 Ibnu Manzur Jamaluddin al-Anshary, Lisanul Arab, (Mesir: Darul Misriyah, tt.,), hlm. 437. 5 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Vol 4 ( Jakarta
: Lentera Hati, 2001 ) hlm. 363- 364 6 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Beirut: Darul Kutub,
tt.,) hlm. 134.
15
Sebagai dalilnya adalah firman Allah kepada nabi Daud :
) ٢٦ :ص (…يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi… (QS. Shad: 26) 7 Kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. berkaitan dengan
kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperoleh Daud berkat anugerah
ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.8
Pengangkatan khalifah ini menyangkut juga pengertian pengangkatan
sebagian manusia yang di beri wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya.
Kemudian juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri memiliki
kemampuan berpikir yang luar biasa.9
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa khalifah dalam surat al-
Baqarah ayat 30 berarti kaum yang silih berganti menghuni dan meliputi
kekuasaan dan pembangunan nya.10 Sebagaimana firman Allah dalam surah al-
An’am ayat 165:
)١٦٥:األنعام... (ف األرض وهو الذي جعلكم خالئ
Dialah Allah yang menjadikan kalian silih berganti menghuni dan menguasai bumi… (QS. al-An’am: 165)11
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa Tuhan
mengangkat manusia sebagai khalifah meliputi:12
a) Pengangkatan sebagian anggota masyarakat manusia dengan mewahyukan
syari’at-Nya kepada mereka untuk menjadi khalifah.
7 Soenarjo, op. cit., hlm. 736 8 Quraish Shihab, op. cit., hlm. 157 9 Ahmad Musthofa Al Maraghi, op. cit., hlm. 134 10 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Surabaya : PT.
Bina Ilmu, 1987), hlm. 80 11 Sunarjo, op. cit., hlm. 217 12 Tengku Muhammad Hasybi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, ( Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000 ), hlm 71
16
b) Pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain dengan diberi
kekuatan akal.
Sebagian tanda hikmah Allah yang sangat nyata adalah dijadikannya
manusia sebagai khalifah di bumi dengan memiliki kemampuan yang luar biasa
yang menampakkan keajaiban dan rahasia-rahasia yang terpendam dalam ciptaan
Allah.
Makna term khalifah memunculkan banyak pendapat. Perbedaan pendapat
juga muncul dalam pembicaraan mengenai siapa yang mengganti atau mengikuti
siapa, dalam hal ini terdapat tiga pendapat yang berbeda.13 Pendapat pertama
mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan spesies lain
yang lebih dahulu hidup di bumi. Menurut pendapat ini, yang mendahului
manusia hidup di bumi adalah jin. Dengan demikian manusia menurut pendapat
ini merupakan khalifah jin di atas bumi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tiada makhluk lain di bumi yang
digantikan manusia. Istilah khalifah bagi kelompok ini menunjuk kepada
sekelompok manusia yang mengganti kelompok lain. Salah satu ayat yang
digunakan sebagai penguat pendapat ini adalah :
...ر إذا دعاه ويكشف السوء ويجعلكم خلفاء الأرض أمن يجيب المضط ) ٦٢:النمل(
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi… (QS. al-Naml: 62)14
Sedangkan pendapat ketiga menjelaskan bahwa khalifah bukanlah sekedar
menunjuk pengertian seorang mengganti atau mengikuti orang lain, namun
13 Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory, A Quranic Outlook, terj. Mutammam, (
Bandung : CV. Diponegoro, 1991), hlm. 68-69 14 Soenarjo, op. cit. hlm. 601
17
khalifah disini adalah khalifah Allah. Mulanya Allah kemudian datang khalifah-
Nya yang berperilaku dan berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran-Nya. Ar-Razi, at-
Thabari, Thabathaba’i dan Qurthubi condong dengan penafsiran yang ketiga ini.
Dengan mengkaji ketiga penafsiran tersebut menunjukkan bahwa secara
umum ketiganya memiliki titik singgung, meskipun perbedaan yang
diekspresikan masing-masing tampak sekali. Makna term khalifah tercakup
dalam ketiga penafsiran tersebut. Dinamakan khalifah adalah karena
menggantikan yang lain apakah Allah, kelompok manusia lain atau makhluk
selain manusia seperti jin. Dalam hal ini dua penafsiran pertama terasa tidak tepat.
Keduanya tidak mengisyaratkan peran yang dimainkan oleh khalifah. Dengan
menyatakan bahwa pengertian sebenarnya adalah khalifah Allah, penafsiran
ketiga memberikan makna lebih dalam terhadap term khalifah. Penafsiran yang
ketiga ini nampak adanya hubungan antara manusia dengan Allah, bukan hanya
antara manusia dengan manusia atau manusia dengan makhluk lain.
Kata khulafa dalam surat al-A’raf menggambarkan manusia sebagai yang
melakukan interaksi dengan lingkungan fisiknya, mereka membangun gunung-
gunung dan dataran. Sedangkan dalam surat al-An’am menerangkan bahwa
khalaif diberi status demikian adalah untuk menguji mereka, sedangkan dalam
surah Fathir manusia diberi status khalifah agar mereka bertanggung jawab
terhadap perbuatan mereka yang salah. Makna yang sama juga dinyatakan dalam
ayat berikut 15:
)١٤:يونس(ظر كيف تعملون األرض من بعدهم لننثم جعلناكم خالئف في
Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami perhatikan bagaimana kalian berbuat. (QS. Yunus: 14) 16 Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa semua manusia
dipilih menjadi khalifah atau khulafa adalah dalam kondisi tertentu. Pemegang
15 Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit., hlm. 71 16 Soenarjo, op. cit., hlm. 307
18
jabatan khalifah ini tidak lepas dari pengawasan Allah dalam melaksanakan
fungsinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakah khalifah itu atau
apakah terdapat lebih dari satu khalifah di muka bumi? Dalam hal ini terdapat dua
pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa gelar khalifah
adalah khusus diberikan kepada Adam, tidak kepada yang lain.
Pendapat kedua tidak menolak gelar khalifah bagi Adam tetapi mereka
tidak membatasi gelar khalifah hanya untuk Adam yang diangkat sebagai khalifah
oleh Allah dihadapan para malaikat. Dengan demikian gelar khalifah tidak khusus
milik Adam namun berlaku untuk seluruh manusia. Penafsiran ini menjelaskan
dan membawa kepada pemahaman langsung ayat-ayat yang berbicara mengenai
khulafa atau khalaif atau Daud sebagai khalifah. Penafsiran ini memberikan
prestis tinggi kepada manusia tanpa mengurangi hak Adam.17
Pendapat kedua ini diperkuat oleh Abdullah Assegaf bahwa yang
dimaksud khalifah adalah khalifah Allah SWT yang secara hakiki mewakili dalam
penyampaian, penghantaran, dan perwujudan hukum-hukum Allah yaitu Zat
dimana kekhalifahan itu berasal. Dengan demikian, makna khalifah tidaklah
dinisbatkan kepada Adam saja melainkan seluruh manusia. Adapun ayat yang
menguatkan pernyataan bahwa makna khalifah itu umum, tersurat dalam al-
A’raf:69, Yunus:14, dan al-Naml:62. ini merupakan penegasan Allah SWT bahwa
khalifah yang diturunkan Allah adalah al-insan.18
B. Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30 -35
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها قدنو دكمبح حبسن نحناء ومالد فكسيونولمعا لا تم لمي أعقال إن لك س
)٣٠: البقر ة (
17 Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit. hlm. 72 18 Abdullah Assegaf , “ Khalifah “, http// www.12-imam.com/05102007/, hlm. 1
19
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “. Mereka berkata : “ mengapa Engkau hendak menjadikan ( khalifah ) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. al-Baqarah: 30 )19
Dalam ayat ini Allah menyampaikan keputusan-Nya kepada para malaikat
tentang rencana penciptaan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka
penting, karena malaikat akan di bebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada
yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas
memeliharanya, ada yang membimbingnya dan sebagainya. Penyampaian ini bisa
jadi setelah penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk di huni manusia pertama
(Adam) dengan nyaman.20
Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna
penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan
menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka
sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian atau
bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang ditugaskan menjadi khalifah
bukan malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu
bertasbih mensucikan Allah SWT. Mendengar pertanyaan mereka, Allah
menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan
ada diantara yang diciptakannya itu berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah
hanya menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”.21
Menurut Muhammad Abduh ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah
menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya, memberikan kekuatan-kekuatan
19 Soenarjo, op.cit,. hlm. 13 20 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,( Jakarta : Lentera
Hati, 2007 ), hlm. 141 21 Ibid. hlm. 142
20
rohani yang dikehendakinya yang menjadi penegak bumi, serta menjadikan
semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa berada padanya, Allah
pun menciptakan manusia dengan dilengkapi kekuatan yang mampu membuat
mereka dapat mengelola dan menata segala bentuk kekuatan serta
menundukkanya untuk kemakmuran bumi.22
Dengan kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan
penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan, tumbuh-
tumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah
wajah bumi yang tandus menjadi subur dan bukit yang terjal bisa menjadi dataran
atau lembah yang subur. Dengan kemampuan akalnya, manusia juga dapat
merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok, sehingga tumbuh pohon yang
sebelumnya belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah yang maha kuasa
untuk kepentingan umat manusia.23
Hal ini menunjukkan bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan
bakat-bakat dan keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia akan mampu
melaksanakan funfsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan segala
kemampuannya, manusia akan dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan
Allah.
وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ادقنيص متق.إن كن ليمالع تأن كا إننتلما عا إلا ملن لا علم كانحبالوا س
كيم٣٢–٣١:البقرة(الح( Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama ( benda-benda ) seluruhnya, kemudian mengemukakannya pada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
22 Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 73 23 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op. cit.,hlm. 134
21
ajarkan kepada Kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 31-32)24
Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi
untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Misalnya
fungsi api, angin, air dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk
berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan di mulai
denghan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama.
Sebagian ulama ada yang memahami pengajaran nama-nama kepada
Adam dalam arti mengajarkan kata-kata. Di antara mereka ada yang berpendapat
bahwa ketika dipaparkan nama-nama benda itu, pada saat yang sama beliau
mendengar suara yang menyebut nama benda itu pada saat dipaparkannya,
sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing
benda nama-nama yang membedakannya dari benda yang lain. Pendapat ini lebih
baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar
tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata
atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik
sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka
pengetahuan.
Dengan demikian salah satu keistimewaan manusia adalah
kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta
kemampuannya menagkap bahasa sehingga ini mengantarkannya untuk
“mengetahui”. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi
nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia
berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan. 25
Di samping itu nama-nama segala benda yang oleh para ahli tafsir
diartikan sifat segala sesuatu serta ciri-cirinya yang lebih dalam, segala sesuatu
disini termasuk juga perasaan. Ciri-ciri dan perasaan tertentu yang berada di luar
24 Soenarjo, op.cit,.hlm.14 25 M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.146-147
22
para malaikat oleh Tuhan diberikan pada sifat manusia. Dengan demikian
manusia mampu menggunakan cinta kasih dan memahami arti cinta kasih dan
dengan ini manusia membuat rencana serta berinisiatif, sesuai kedudukannya
sebagai khalifah.26
Setelah mengajari Adam tentang segala macam nama, Allah
mengemukakan hal itu kepada para malaikat dengan itu mereka mengetahui
bahwa Adam (manusia) mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang
tidak mereka ketahui dan manusia sanggup memegang kekhalifahan di bumi.
Karakternya sebagai penumpah darah seperti dikhawatirkan malaikat tidak
menghilangkan hikmah Allah menjadikan Adam (manusia) sebagai khalifah.
Ucapan malaikat “Maha Suci Engkau“ yang mereka kemukakan sebelum
menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak
bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia
sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai pertanda “penyesalan“ mereka atas
ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pertanyaan itu.27
م إني أعلم قال يا آدم أنبئهم بأسمائهم فلما أنبأهم بأسمائهم قال ألم أقل لكدبا تم لمأعض والأرات واومالس بون غيمكتت متا كنم٣٣ :البقرة(ون و(
Allah berfirman, “Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahu rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?. (QS. al-Baqarah: 33)28 Dalam ayat sebelumnya Allah telah mengajarkan nama-nama benda pada
Adam. Kemudian dalam ayat ini Allah membuktikan kemampuan khalifah
(Adam) kepada malaikat. Allah memerintahkan Adam untuk memberitahukan
nama-nama benda kepada malaikat.
26 Abdullah Yusuf Ali, Terjemah The Holy Qur’an,( Jakarta, Pustaka Firdaus: 1993 ), hlm. 24 27 M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.147 28 Soenarjo, loc. cit,.
23
Hikmah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam dan kemudian
mengajarkannya kepada para malaikat adalah untuk memuliakan Adam dan
mengutamakannya, sehingga malaikat tidak membanggakan diri dengan ilmu dan
makrifatnya. Selain itu juga untuk menunjukkan rahasia ilmu yang tersimpan
dalam perbendaharaan ilmu Allah yang Maha Luas dengan perantaraan lisan
seorang hamba yang dikehendaki-Nya.29
Meskipun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak
mengenal dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, karena yang bertugas
menyangkut sesuatu harus memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek
pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di
bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau
bahkan potensi yang dimilikinya. Hal ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi
Adam mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para malaikat sebelum ini dan
penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang
diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah
SWT, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah
menyangkut bumi ini. Dengan demikian pengetahuan atau potensi yang
dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk
mengolah bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi
berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal meskipun
seandainya dia tekun ruku’, sujud dan beribadah kepada Allah. Melalaui kisah ini,
Allah SWT bermaksud menegaskan bahwa bumi dikelola bukan semata-mata
hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi juga dengan amal ilmiah dan ilmu
amaliah.30
29 Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 76 30 M. Quraish Shihab, op.cit.,hlm. 150-151
24
ئكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس أبى واستكبر وكان من وإذ قلنا للملا٣٤:البقرة (الكافرين(
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. al-Baqarah: 34 )31
Setelah Allah membuktikan kemampuan Adam kepada para malaikat,
selanjutnya Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam
sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat
tugas mengelola bumi.
Ini adalah penghormatan dalam bentuk paling tinggi kepada makhluk yang
akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Akan tetapi manusia
diberi rahasia yang bisa mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada malaikat.
Mereka diberi rahasia makrifat sebagaimana mereka diberi rahasia iradah yang
merdeka untuk memilih jalan hidup. Berbagai macam tabiat dan kemampuannya
untuk mengendalikan iradahnya dalam menghadapi jalan yang sulit dan
keseriusannya mengemban amanah hidayah ke jalan Allah dengan usahanya yang
khusus. Semua ini adalah sebagian rahasia penghormatan kepada mereka.32
Sujud secara bahasa berarti tunduk. Ungkapan paling kongkrit dari sujud
ini adalah meletakkan kening di lantai (tanah). Ada dua makna sujud. Pertama,
sujud penyembahan (sujud ibadah), yakni sujud yang hanya dilakukan seorang
hamba kepada pencipta-Nya. Sujud ini hanya khusus kepada Allah saja. Kedua,
sujud penghormatan (sujud takrim), yaitu sebuah sikap penghargaan dari makhluk
kepada sesama makhluk yang mempunyai kelebihan. Sebagaimana sujud para
malaikat kepada Adam.33
31 Soenarjo, loc.cit,. 32 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin
dkk,( Jakarata : Gema Insani Press, 2000 ), hlm. 97 33 A. Mustain Syafi’i, Tafsir Qur’an Bahasa Koran,( Surabaya : Harian Bangsa, 2004 ) , hlm. 195
25
Mengenai sujud kepada Adam, ada beberapa pendapat:34
1. Sujud untuk memuliakan Adam, bukan menyembahnya.
2. Sujud tahiyyah kepada Adam, sebaigama dikatakan Ibnu Anbar bahwa sujud
malaikat kepada Adam merupakan sujud tahiyyah bukan sujud ibadah.
3. Sujud memuliakan Adam atas nama ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa firman ini bermakna sujudlah bagi Adam dengan perintah
Allah dan ketetapan-Nya.
Ayat ini dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang
yang berilmu pengetahuan, sebagaimana ayat 35 yang mempersilahkan Adam dan
isterinya bertempat tinggal di surga. Hal ini menjadi syarat atas kewajaran ilmuan
dan keluarganya mendapat fasilitas, yang tentu saja antara lain agar ia dapat lebih
dapat mengembangkan ilmunya.
وقلنا يا آدم اسكن أنت وزوجك الجنة وكلا منها رغدا حيث شئتما ولا تقربا الظالمني ا منكونة فترجذه الش٣٥ :البقرة (ه(
Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim. (QS. al-Baqarah: 35)35
Ayat ini berhubungan dengan kandungan ayat 30 sampai dengan ayat 34.
seluruh ayat ini menguraikan satu episode dari kisah Adam. Dalam ayat ini Allah
berfirman sebagai pemberitahuan mengenai perkara yang dengannya Adam
dimuliakan Allah. Allah membolehkannya untuk mendiami surga dimana saja
yang disukainya dan memakan yang diinginkannya dengan sepuas-puasnya yaitu
berupa makanan yang menyenangkan, banyak dan baik.36
34 Teuku M. Hasby As-Shidiqie, Tafsir al-Bayan I ( Semarang : Thoha Putra, 1977 ), hlm. 193 35 Soenarjo, loc.cit,. 36 M. Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin ( Jakarta : Gema Insani
Press, 2001 ) , hlm. 111
26
Ada dua statemen dalam ayat ini yang diperuntukkan buat Adam dan
pasangannya. Pertama, perintah bersakinah, mendiami secara damai dan
menikmati segala fasilitas surga. Kedua, larangan mendekati pohon khusus. Ini
adalah dasar semua aturan yang ada di dunia yakni perintah dan larangan.
Seorang hamba disebut sebagai taat dan berbakti jika telah melaksanakan perintah
dan menjauhi larangan.37
1. Perintah hidup sakinah, dalam perintah ini terdapat dua item : 38
a. “Uskun anta wa zaujuk”, yaitu hidup rukun bersama istri. Perintah ini
diawali dengan menunjuk dhamir khitab mufrad mudzakar, “anta” yang
artinya kaum lelaki, Adam, suami adalah isyarat bahwa menciptakan
rumah tangga yang sakinah itu diawali dari suami terlebih dahulu. Seorang
suami adalah pencipta dan pengendali rumah-rumah sakinah. Hal ini
menunjukkan bahwa tugas seorang khalifah diantaranya adalah membina
keluarga sakinah.
b. Puas makan “Wa kula minha raghadan haitsu syi’tuma”. Dalam ayat ini
terdapat korelasi yang positif antara perintah menciptakan kedamaian
dalam rumah tangga dengan makan yang lezat dan puas. Hal ini tersirat
dalm pesan Allah tentang rumah tangga Adam dan Hawa di surga, bahwa
kedamaian keluarga terkait dengan datangnya rizki yang cukup sehingga
dapat makan yang lezat dan nikmat. Kata “raghadan“ menunjuk nilai
makanan yang tinggi baik kualitas maupun kuantitas. Ini adalah lambang
kemapanan ekonomi dan banyaknya rejeki.
2. Jangan melanggar”Wala taqraba hadzih al-syajarah”. Sesungguhnya di dunia
ini tidak ada kebebasan mutlak. Jangankan di dunia, di surga sekalipun tetap
ada aturan termasuk aturan yang melarang Adam untuk mendekati pohon
terlarang. Tuhan menghendaki hidup berumah tangga iru ibarat menempati
surga, atau dengan kata lain menciptakan surga di rumah sendiri. Agar
37 A. Mustain Syafi’i, op.cit,. hlm. 203 38 Ibid, hlm. 203 -207
27
suasana surga tetap menghiasi rumah, maka anggota keluarga itu jangan
sampai ada yang melanggar aturan.39
Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman hidup di surga adalah arah yang
harus dituju dalam membangun dunia ini yang meliputi kecukupan sandang,
pangan dan papan, serta rasa aman sekaligus arah terakhir bagi kehidupan akhirat
kelak. Sedangkan godaan Iblis dengan akibat yang fatal itu adalah pengalaman
yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan
bagi manusia bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga
pun bila mengikuti rayuan Iblis akan terusir dari surga.40 Dengan demikian
manusia harus dapat mengambil hikmah dari pengalaman hidup Adam dan Hawa
di surga ini, agar dalam menjalankan hidupnya ia akan berhati-hati dengan godaan
Iblis yang dapat menggelincirkannya untuk tidak mematuhi perintah-perintah
Allah SWT.
Berdasarkan deskripsi surat al-Baqarah ayat 30-35, maka makna khalifah
tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Khalifah disini
berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini
adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia
adalah makhluk yang paling sempurna.
Isyarat yang paling jelas dalam kisah Adam ini ialah nilai terbesar yang
diberikan oleh tashawwur Islam mengenai manusia dan peranannya di muka
bumi, kedudukannya di dalam tatanan alam semesta dan nilai-nilai yang dijadikan
timbangan serta hakikat hubungannya dengan janji Allah SWT.
Berdasarkan pandangan terhadap manusia yang demikian, dapat diambil
pelajaran yang bernilai tinggi: pertama, manusia adalah khalifah, sayid (majikan)
di bumi, karena itu segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia.
Kedua, manusia memegang peranan utama di bumi, merekalah yang membuat
perubahan-perubahan dan memodifikasi bentuk dan tatanannya. Pandangan al-
39 Ibid, hlm. 209 40 M. Quraish Shihab, Wawasan al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
( Bandung : Mizan, 1994 ), hlm. 283
28
Qur’an menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi sebagai pihak yang aktif
dalam tatanan alam semesta ini. Ketiga, pandangan Islam yang luhur terhadap
hakikat manusia dan tugasnya melahirkan sikap menjunjung tinggi nilai
kesopanan, menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan dan nilai-nilai akhlak, nilai
iman, kesalehan di dalam kehidupannya. Inilah nilai-nilai yang menjadi tumpuan
pelaksanaan janji kekhalifahannya.
Keempat, pandangan Islam menjunjung tinggi iradah manusia yang
merupakan tempat bergantungnya perjanjian dengan Allah, tempat bergantungnya
penugasan dan pembalasan. Ia mengangkat derajat manusia, mengendalikan
kehendaknya, dan mengalahkan gangguan yang menggodanya. Selanjutnya
peristiwa peperangan yang digambarkan oleh kisah ini yaitu antara manusia dan
setan terdapat peringatan. Peperangan ini merupakan peperangan antara
pelaksanaan perjanijian Allah dan penyelewengan setan.41
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah
manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh serta
manusia kreatif yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-
Nya.
C. Khalifah Sebagai Manusia Terdidik
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, ia diciptakan demikian
agar dapat berperan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia sebagai khalifah
merupakan cita ideal. Manusia ideal memiliki tiga aspek, yaitu: kebenaran,
kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia mempunyai pengetahuan, etika dan
seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas.
Dalam kerangka ini kekhalifahan manusia di bumi nampaknya relatif
berhasil. Misalnya Tuhan telah menciptakan matahari guna menerangi rumah
41 Sayyid Quthb, op. cit.,hlm.102-103
29
manusia. Dengan kreatifitasnya manusia telah mampu membawa sinar surya itu
ke dalam rumah melalui PLTS ( Pembangkit Listrik Tenaga Surya )42 .
Sebagai khalifah, manusia bertugas mengatur dunia ini. Dalam
melaksanakan tugas ini sesungguhnya ia akan diuji apakah akan melaksanakan
tugasnya dengan baik atau sebaliknya. Mengurus dengan baik adalah mengurus
dunia ini sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang ditentukan-Nya
agar kemanfaatan alam semesta dan segala isinya dapat dinikmati oleh manusia
dan makhluk lainnya. Kalau sebaliknya, pengurusan itu tidak baik, artinya tidak
sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi khalifah Allah, manusia
diberi akal pikiran dan kalbu yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Dengan
akal pikirannya, manusia mampu mengamati alam semesta. Menghasilkan dan
mengembangkan ilmu yang benihnya telah “disemaikan“ Allah sewaktu
mengajarkan nama-nama (benda) kepada manusia asal, waktu Allah menjadikan
manusia (Adam) menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini dahulu.
Dengan akal dan pikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah
Allah. Dengan mengabdi kepada Allah dan mengemban amanah sebagai
khalifahnya di bumi, manusia diharapkan akan dapat mencapai tujuan hidupnya
memperoleh keridha’an ilahi di dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridha’an
Allah di akhirat nanti.
Manusia sebagai khalifah di bumi bertugas untuk memakmurkan bumi.
Tugas memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini.
Untuk itu manusia wajib bekerja, beramal shaleh yaitu berbuat baik yang
bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya, serta menjaga
42 Widodo Supriyono, Filsafat Manusia Dalam Islam,dalam Reformulasi Pendidikan Islam. Peny.
Chabib Thoha, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ).hlm.183
30
keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntunan yang
diberikan Allah melalui agama.43
Sebagai khalifah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas
tugasnya dalam menjalankan mandat Allah. Adapun mandat yang dimaksud
adalah:44
1. Patuh dan tunduk sepenuhnya pada titah Allah serta menjauhi laranganNya.
2. Bertanggung jawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai
pengemban amanah Allah.
3. Berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama dan kitab
suci.
4. Menerjemahkan segala sifat-sifat Allah SWT pada perilaku kehidupan sehari-
hari dalam batas-batas kemanusiaannya (kemampuan manusia) atau
melaksanakan sunah-sunah yang diridhai-Nya terhadap alam semesta.
5. Membentuk masyarakat Islam yang ideal yang disebut dengan
“ummah“, yaitu suatu masyarakat yang sejumlah perseorangannya
mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama.
6. Mengembangkan fitrahnya sebagai khalifatullah yang mempunyai kehendak,
komitmen dengan tiga dimensi yaitu: kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas.
Ketiga kehendak ditopang oleh ciri idealnya, yaitu: kebenaran, kebajikan dan
keindahan.
7. Menjadi penguasa untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan
mengelola negara untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang
dijanjikan kepada seluruh masyarakat yang beriman bukan kepada seseorang
atau suatu kelas tertentu.
8. Mengambil bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan
masyarakat dalam semua aspek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi
kepada Allah.
43 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1997 ), hlm15-16 44 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya, ( Jakarta : Trigenda Karya, 1993 ), hlm. 61
31
9. Membentuk suasana aman, tentram, dan damai di bawah naungan ridha Allah
SWT, sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an, yaitu negara Saba’
sebagai negara yang memiliki predikat “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun
Ghafur”.
Manusia sebagai khalifah, bertanggung jawab atas segala perbuatannya
yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggung jawab ini bersifat pribadi, tidak
dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan. Apabila amanah dan
tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, jadilah manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah yang mulia dan sempurna.
Sebagai pemegang amanah yang bertanggung jawab, manusia sebagai
khalifah memang mempunyai kemerdekaan untuk memilih apa yang diyakini atau
yang tidak diyakininya, merdeka untuk berkehendak, berbuat, berpikir,
berpendapat atau mengembangkan krearifitasnya. Namun kemerdekaan itu harus
dipertanggung jawabkan kelak, karena kemerdekaan yang diberikan oleh Allah itu
tidak boleh melampaui batas-batas amanah dan tanggung jawab yanag telah
ditentukan-Nya baik yang terdapat dalam alam semesta maupun yang terkandung
dalam firman-firman-Nya dalam al-Qur’an.45
Dengan demikian hakekat makna khalifah adalah bahwa:
1. Manusia sebagai khalifah harus sadar, bahwa dia sebagai pemegang mandat
dari Allah yang wajib mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pemberi
mandat (Allah) dan tidak boleh mengabaikannya.
2. Manusia sebagai khalifah, harus berusaha menghiasi diri dengan ilmu karena
tidak mungkin ia dapat melaksanakan amanah tanpa ilmu. Allah mengajarkan
atau memberikan kemampuan pada manusia untuk memformulasikan apa
yang ada di muka bumi atau alam semesta ini.
3. Menjadi khalifah bukan sekedar pekerjaan rutin tetapi harus siap menghadapi
problematika kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan karena tidak
45 Muhammad Daud Ali, op.cit,.hlm.17
32
selamanya kehidupan manusia selalu mulus. Karena di balik kesenangan juga
tersimpan kesedihan dan di balik kesuksesan terkandung juga sebuah
kegagalan.
4. Manusia sebagai khalifah harus mengetahui bahwa kekhalifahan itu amanah
yang harus dipertahankan.
Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap
manusia. Dengan memperoleh pendidikan manusia akan memiliki berbagai
macam pengetahuan yang akan dapat menjadi bekal bagi dirinya untuk
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Karena hanya manusia terdidiklah yang
dapat mengemban anamat dari Allah, apabila sebaliknya yaitu tanpa pendidikan,
tugas kekhalifahan yang diemban manusia itu akan gagal.
33
BAB III
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha
atau kegiatan selesai. Apabila pendidikan kita anggap sebagai suatu proses,
maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir dari
pendidikan. Karena pendidikan merupakan sebuah usaha dan kegiatan yang
berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya
juga bertahap dan bertingkat.
Pencapaian tujuan pendidikan Islam tidak mungkin dilakukan
sekaligus secara serentak. Pencapaian tujuan harus dilakukan secara bertahap
dan berjenjang. Meskipun demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki
hubungan dan keterkaitan sesamanya karena adanya landasan yang sama serta
tujuan yang tunggal.
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany membagi tujuan pendidikan
Islam menjadi tiga tahap, yaitu:1
1. Tujuan tertinggi atau terakhir adalah tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan
lain. Tujuan tertinggi tidak terbatas pelaksanaannya pada institusi-institusi
tertentu melainkan wajib dilaksanakan oleh semua institusi-institusi
masyarakat.
2. Tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang
diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dapat
dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu.
3. Tujuan khas yaitu perubahan-perubahan yang diingini yang bersifat
cabang atau bagian yang termasuk di bawah tujuan umum pendidikan atau
dengan kata lain gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah
laku, sikap yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau tujuan umum.
1 Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung,
( Jakarta: Bulan Bintang, 1979 ), hlm. 405
34
Ahmadi menambahkan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi
tiga tahapan yaitu: 2
1. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia
dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu menjadi hamba Allah yang
bertakwa, mengantarkan subyek didik menjadi khalifatullah di bumi dan
memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya
dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan
kepribadian peserta didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai
pribadi yang utuh.
3. Tujuan khusus: tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk
diadakan perubahan dimana perlu disesuaikan dengan tuntutan dan
kebutuhan, selama masih berpijak pada kerangka tujuan tertinggi, terakhir
dan umum.
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tertinggi atau terakhir
diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir, sedangkan tujuan umum sebagai
proses realisasi diri juga terus berlangsung selama hayat masih dikandung
badan dari sinilah dalam Islam dikenal konsep pendidikan sepanjang hayat.
Sedangkan Zakiyah Daradjat membagi tujuan pendidikan Islam
menjadi empat tahap, yaitu:3
a. Tujuan umum, yakni tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar
pada pribadi seseorang yang sudah dididik.
b. Tujuan akhir, tujuan akhir pendidikan Islam dapat dipahami sebagai upaya
untuk kembali kepada Allah dalam keadaan takwa dan berserah diri
kepada-Nya. Insan kamil yang mati dalam keadaan takwa kepada
Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.
2 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam,Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm.95-101 3 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), hlm.30-32
35
c. Tujuan sementara, adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
d. Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan
dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan
mencapai tujuan tertentu yang disebut tujuan operasional.
Sedangkan di lembaga sekolah formal dikembangkan istilah tujuan
institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional, tujuan semester, tujuan
catur wulan, tujuan kelas dan sebagainya. Namun semua itu dapat
dikualifikasikan sebagai tujuan perantara bila diukur dari tujuan pendidikan
Islam yang identik dengan tujuan hidup manusia.4
Pentahapan tujuan pendidikan ini hanya merupakan cara untuk dapat
mencapai tujuan akhir atau tertinggi pendidikan Islam. Tujuan akhir
pendidikan Islam tidak dapat tercapai secara instan melainkan melaui proses.
Sepanjang hidupnya manusia akan terus berusaha mencapai tujuan hidupnya,
selama inilah proses pendidikan akan terus berlangsung.
B. Ruang LingkupTujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam mengacu pada tujuan yang dapat dilihat
dalam berbagai dimensi. Dari sudut pandang yang demikian, maka tujuan
pendidikan Islam memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut
pandang tertentu. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam dapat dilihat
dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada tujuan pokok yang
khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka tujuan pendidikan Islam
mencakup ruang lingkup yang luas. Adapun dimensi tersebut adalah :5
1. Dimensi hakikat penciptaan manusia.
Berdasarkan dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada
pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh 4 Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 29
5 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hlm. 91 -98
36
Allah SWT. Dari sudut pandang ini, maka pendidikan Islam bertujuan
untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar
menjadi pengabdi kepada Allah yang setia. Mengacu kepada tujuan
tersebut pendidikan Islam dipandang sebgai upaya untuk menempatkan
manusia pada statusnya sebagi makhluk yang diciptakan oleh Allah.
2. Dimensi tauhid
Mengacu pada dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada
upaya pembentukan sikap takwa. Kepatuhan kepada Allah dalam dimensi
tauhid ini dinyatakan sebagi kepatuhan yang mutlak dengan menempatkan
Allah sebagai dzat yang tunggal. Prinsip tersebut menjadi kerangka acuan
dalam bertindak dan bertingkah laku baik secara lahir maupun batin.
3. Dimensi moral
Dalam dimensi ini manusia dipandang sebagai sosok individu yang
memiliki potensi fitriyah. Maksudnya bahwa sejak dilahirkan pada diri
manusia sudah ada sejumlah potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah.
Manusia pada dasarnya cenderung untuk senang dengan yang benar, yang
baik dan yang indah. Dalam hubungan dengan dimensi moral ini, maka
pelaksanaan pendidikan ditujukan kepada upaya pembentukan manusia
sebagai pribadi yang bermoral.
4. Dimensi perbedaan individu.
Secara umum manusia memiliki sejumlah persamaan, namun di balik itu
sebagai individu manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara
individu yang satu dengan yang lainnya. Sehubungan dengan kondisi itu,
maka tujuan pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dengan tidak
mengabaikan adanya faktor perbedaan individu serta menyesuaikan
perkembangannya dengan kadar kemampuan dari potensi yang dimiliki
masing-masing.
37
5. Dimensi sosial
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan
untuk hidup berkelompok secara bersama-sama. Oleh karena itu dimensi
sosial mengacu kepada kepentingan sebagai makhluk sosial yang
didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat. Sejalan
dengan hal itu, maka tujuan pendidikan diarahkan kepada pembentukan
manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung
jawab sosial serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antar sesama
manusia dapat berjalan dengan harmonis.
6. Dimensi profesional.
Setiap manusia memiliki kadar kemampuan yang berbeda. Berdasarkan
perkembangan kemampuan yang dimiliki itu manusia diharapkan dapat
menguasai keterampilan profesional. Adanya perbedaan dalam bidang
kemampuan tersebut menyebabkan profesi manusia jadi beragam. Dalam
hubungan dengan dimensi profesional tujuan pendidikan Islam diarahkan
kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta
didik sesuai dengan bakatnya masing-masing. Dengan demikian
diharapkan mereka dapat memiliki keterampilan yang serasi dengan bakat
yang dimiliki hingga keterampilan itu dapat digunakannya untuk mencari
nafkah sebagai penopang hidupnya.
7. Dimensi ruang dan waktu
Dimensi ini sejalan dengan tataran pendidikan Islam yang prosesnya
terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian secra garis besarnya tujuan yang harus dicapai pendidikan Islam
harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang ruang dan
waktu tersebut. Sejalan dengan petunjuk al-Qur’an bahwa dalam kaitan
dengan dimensi ruang dan waktu ini, pendidikan Islam diarahkan pada dua
tujuan utama, yaitu upaya untuk memperoleh keselamatan hidup di dunia
dan kesejahteraan hidup di akhirat.
38
Dengan demikian ruang lingkup pendidikan Islam meliputi segenap
aspek kehidupan manusia dalam rangka mengembangkan segenap potensi
manusia untuk menjadi insan kamil yang bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yaitu harus berorientasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspek yang diantaranya adalah:6
1. Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia, ia hidup dengan
membawa tujuan dan tugas tertentu. Yaitu sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifah Allah di muka bumi.
2. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia.
Yaitu konsep tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah
di bumi dan untuk beribadah kepada-Nya dibekali dengan berbagai macam
fitrah yang berkecenderungan pada al-Hanif (rindu akan kebenaran dari
Tuhan) berupa agama Islam.
3. Tuntutan masyarakat.
Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupaun pemenuhan
terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan dunia modern.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan sehingga manusia
dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi
yang dimiliki. Dimensi ini dapat memadukan antara kepentingan
kehidupan duniawi dan ukhrowi.
6 Muhaimin dan Abdul Mujib,Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Jakarta: Trigenda Karya, 1993), hlm. 153-154
39
Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam memiliki berbagai macam ciri-
ciri sebagai berikut:7
a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan
sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan
mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahanya di
muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga
tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga ia tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia
memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan
guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
Manusia yang dapat memiliki ciri-ciri tersebut di atas secara umum
adalah manusia yang baik. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa para ahli
pendidikan Islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum pendidikan
Islam ialah terbentuknya manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah
kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi.
C. Tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai
makhluk pedagogis, manusia dilahirkan dengan membawa potensi untuk
dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Untuk
mencapai hal itu, maka diperlukan adanya pendidikan, baik pendidikan
keluarga, pendidikan formal maupun pendidikan masyarakat.
Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya
adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi
7 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm. 53-54
40
manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai
pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriyahnya.
Pendidikan juga diarahkan pada perubahan tingkah laku seseorang
dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana hal ini di kemukakan oleh MC.
Donald, bahwa pendidikan adalah: “A process or an activity which is directed
at producing desirable changes in the behaviour of human beings”.8 Bahwa
pendidikan adalah suatu proses atau aktivitas yang mengarahkan pada
perubahan tingkah laku seseorang.
Dalam menetapkan tujuan pendidikan, Islam mempertimbangkan
posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik (at-Tin: 4) dan
sebagai khalifah fil ardl (Yunus: 14). Begitu pula tentang Islam yang
rahmatan lil ‘alamin atau universal, mengandung ajaran-ajaran yang kongkrit
dan dapat disesuaikan dengan situasi setempat serta kebutuhan zaman.
Para pakar pendidikan Islam telah merumuskan beberapa tujuan
pendidikan Islam antara lain: Mohammad Athiyah Al-Abrasy mengemukakan
bahwa, “The first and highest goal of Islamic education is moral refinement
and spiritual training, and all the teacher must be connected by the moral”.9
Bahwa tujuan utama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah mendidik
kehalusan budi pekerti (moral) serta latihan jiwa dan guru harus
menghubungkan pendidikan itu dengan moral.
Secara praktis Mohammad Athiyah Al-Abrasy, menyimpulkan bahwa
tujuan pendidikan Islam terdiri atas lima sasaran, yaitu:10 Pertama,
Membentuk akhlak mulia, pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan
Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan pendidikan
Islam. Kedua, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, pendidikan Islam
tidak hanya memberikan perhatian pada segi keagamaan saja atau hanya segi
keduniaan saja, melainkan kedua-duanya harus berjalan secara proporsional.
8 F.J. MC. Donald, Educational Psychology, ( California : Wadsworth Publishing Company, 1959 ),
hlm. 4 9 Mohammad Athiyah Al-Abrasy, Education In Islam, ( Cairo : tp. 1963 ), hlm. 11 10 Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, op. cit,. hlm. 416-417
41
Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi
kemanfaatannya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat agama atau akhlak
atau spiritual semata tetapi juga memberikan perhatian pada segi pemanfaatan
pada tujuan-tujuan kurikulum dan aktivitasnya. Keempat, menumbuhkan
semangat ilmiah di kalangan peserta didik, pendidikan Islam juga
memperhatikan sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya. Kelima,
mempersiapkan tenaga profesional yang terampil, pendidikan Islam tidaklah
lupa mempersiapkan peserta didik untuk mencari rejeki demi memenuhi
kebutuhan hidupnya yang berguna demi kelangsungan hidupnya.
Ahmad Marimba berpendapat, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim, tujuan terakhir pendidikan
Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah SWT, pada tingkat
individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.11
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam
menurut al-Qur’an meliputi: (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai
manusia di antara makhluk Allah yang lain dengan tanggung jawab dalam
kehidupan ini (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan
tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat (3) menjelaskan
hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta (4) menjelaskan
hubungannya dengan khaliq sebagai pencipta alam semesta.12
Selanjutnya menurut Hasan Langgulung, bila berbicara tentang tujuan
pendidikan, tidak bisa dipisahkan dengan tujuan hidup. Sebab pendidikan
bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan hidup ini menurutnya
tercermin dalam ayat 162 surat al-An’am yang artinya “Katakanlah:
Sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, seluruh hidup dan matiku,
semuanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”.13
11 Achmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, ( Bandung : Al-Ma’arif, 1989 ), hlm.46 12 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, ( Jakarta :
Ciputat Press, 2002 ), hlm. 36 13 Abuddin Nata, op. cit,. hlm. 49
42
Quraish Shihab berpendapat, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai
dengan konsep yang ditetapkan Allah.14
Sejalan dengan pendapat di atas, M. Nastir mengatakan bahwa
penghambaan kepada Allah yang menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan
pendidikan, bukanlah suatu penghambaan yang memberi keuntungan kepada
yang disembah, melainkan penghambaan yang mendatangakan kebahagiaan
kepada yang menyembah, penghambaan yang memberi kekuatan kepada yang
menghambakan dirinya. Orang yang menghambakan dirinya, segenap rohani
dan jasmaninya kepada Allah untuk kemenangan dirinya dengan arti seluas-
luasnya, itulah tujuan manusia di dunia.15
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan kepada: pertama,
membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada
Allah SWT; kedua, membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.16
Ibnu Khaldun merumuskan bahwa tujuan Islam terbagi menjadi dua
macam, pertama tujuan yang berorientasi ukhrowi yaitu membentuk seorang
hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang
berorientasi duniawi yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi
segala kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.17
Sedangkan A. Fatih Syuhud menyatakan, bahawa tujuan dari
pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang
menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur
14 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
( Bandung : Mizan, 2007 ), hlm. 15 Abuddin Nata, op.cit,. hlm.50
16 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm.22
17 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit,. hlm.160-161
43
pribadinya sesuai dengan syari’at Islam serta melaksanakan segenap aktivitas
kesehariaannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.18
Dari berbagai pendapat para pakar tentang tujuan pendidikan Islam di
atas sebenarnya tidak ada pertentangan satu sama lain. Jika terlihat ada
perbedaan, maka perbedaan terserbut hanyalah segi penekananya saja. Ada
yang mengemukakan tujuan pendidikan Islam secara global, dan ada yang
mengemukakan secara spesifik. Akan tetapi para pakar pendidikan Islam
dalam konferensi pendidikan Islam pada tahun 1977 telah merumuskan tujuan
pendidikan Islam antara lain sebagai berikut :19
1. Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah,
sebagaimana firman Allah :
نوتملا تقاته وت قح قوا اللهوا اتنآم ا الذينها أيون يلمسم متأنإلا و )١٠٢: ن أل عمرا(
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102)
2. Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah :
ون ودبعإلا لي سالإنو الجن لقتا خ٥٦:ألداريات( م ( Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adz-Dzariyat: 56)
3. Membina dan memupuk akhlak karimah, sebagaimana sabda nabi
Muhammad SAW yang artinya:
Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. al-Bukhari).
18 A. Fatih Syuhud, “ Tantangan Pendidikan Islam di era Globalisasi”, ( http// Sidogiri. Online, 13 Juli
2004 ) 19 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ), hlm. 101-
103
44
4. Menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang selalu amar ma’ruf nahi
munkar. Sebagiaman firman Allah:
)٣٠:البقرة......(لمالئكة إني جاعل في األرض خليفة وإذ قال ربك ل
Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. al-Baqarah: 30)
5. Menumbuhkan kesadaran ilmiah melalui kegiatan penelitian, baik terhadap
kehidupan manusia, alam maupun kehidupan makhluk Allah diseluruh
semesta alam. Sebagaiaman dalam firman Allah :
لباب آيات لأولي الأإن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لم ويتفكرون في خلق الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبه
السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار)١٩١ -١٩٢ : أل عمران (
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron: 190-191)
Sedangkan rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilakan dari
seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad sebagaimana
ditulis dalam buku Pemikiran Pendidikan Islam adalah :20
“Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily sense. Education should, therefor, catter for the growth of man in all aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection.The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission
20 Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit,. hlm. 163
45
to Allah on the level of individual the community and humanity at large”. Bahwa pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Oleh karena itu pendidikan seharusnya memberikan pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistik. Baik secara individu maupaun secara kolektif, di samping memotifasi semua aspek tersebut ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT secara total baik dalam level individu, komunitas dan manusia secara luas. Kalau dicermati, bahwa tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah
mencari ridha Allah SWT. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir
individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat
kepada dirinya, keluarga, masyarakat, negara dan umat manusia secara
keseluruhan.
Setelah mengkombinasikan beberapa pandangan para para pakar
pendidikan Islam tentang tujuan pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa
pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam terfokus pada tiga hal berikut yaitu:
terbentuknya manusia sempurna (insan kamil) yang memiliki wujud qur’ani,
terciptanya manusia utuh yang memiliki dimensi-dimensi religius, dimensi
budaya, dan dimensi ilmiah, penyadaran fungsi dan peran manusia sebagai
hamba dan khalifah Allah serta sebagai pewaris nabi dan memberikan bekal
yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
Dengan demikian pendidikan Islam bertugas di samping
menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islam, juga
mengembangkan peserta didik agar mampu mengamalkan ilmu-ilmu itu secara
dinamis dan fleksibel. Hal ini berarti pendidikan Islam secara maksimal harus
bisa mendidik peserta didik agar memiliki kecerdasan atau kematangan dalam
beriman, bertakwa dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperolehnya,
sehingga menjadi pemikir sekaligus pengamal ajaran Islam yang dialogis
terhadap perkembangan zaman.
46
BAB IV
RELEVANSI MAKNA KHALIFAH
DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Hubungan Makna Khalifah Dengan Tujuan Pendidikan Islam
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan Islam adalah
aspek tujuan, semua aktifitas dari gerak manusia menjadi terarah dan bermakna.
Tanpa tujuan, semua aktifitas manusia akan kabur dan terombang-ambing.
H. M Arifin menjelaskan bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah idealitas
(cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses
kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam.1
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan,
hal ini disebabkan oleh fungsi-fungsi yang dipikulnya: Pertama, tujuan
pendidikan mengakhiri usaha pendidikan; kedua, tujuan pendidikan mengarahkan
perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan
pembahasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses
pendidikan akan berjalan tidak efektif dan efisien. Ketiga, suatu tujuan dapat pula
merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Baik merupakan
tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Keempat,
tujuan pendidikan memberi semangat dan dorongan untuk melaksanakan
pendidikan.2
Menurut Oemar Muhammad al Taumy al Syaebani bahwa tujuan
pendidikan ialah perubahan yang diingini, yang diusahakan dalam proses
pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkat individu
dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar
dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses
1 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, suatu Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000 ) hlm. 224 2 Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan.( Bandung : Al-Ma’arif, 1989 ), hlm.45-46
47
pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan berbagai proporsi di antara profesi
asasi dalam masyarakat.3
Ketika membicarakan masalah tujuan pendidikan Islam, tidak akan
terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena realisasi
nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar-dasar tujuan pendidikan
Islam.
Dengan kata lain pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada
nilai-nilai Islam yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku
khalifah di muka bumi, yakni sebagai berikut : (a) menanamkan sikap hubungan
yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya, (b) membentuk sikap hubungan
yang harmonis, selaras dan seimbang dengan masyarakatnya, (c) mengembangkan
kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memenfaatkan kekayaan alam
bagi kepentingan kesejahteraan hidunya dan hidup sesamanya serta bagi
kepentingan ubudiahnya kepada Allah dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis pula.4
Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an, telah mengisyaratkan tentang
kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain dalam fiman Allah:
ثم رددناه أسفل سافلني نسان في أحسن تقومي نا الإلقد خلق )٦ –٤ : ا التني (هم أجر غير ممنون إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات فل
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Kemudian kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (QS. at Tiin: 4-6)5
3 Oemar Muhammad Al-Taumy Asy-Syaibany,Filsafat Pendidikan Islam. Terj Hasan Langgulung,
( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) hlm. 399 4Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm.121 5 Soenarjo,Al-Qur’an dan Terjemahnya, , ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1971 ), hlm.1076
48
Kesempurnaan demikian membuat manusia menempati kedudukan
tertinggi diantara makhluk, yakni menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi,
seperti diisyaratkan oleh surat al-Baqarah ayat 30.
Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari
kesempurnaan citra ilahi, tetapi kemudian ketika ia terjatuh dari prototip
ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-
satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali kepada Tuhan dengan iman
dan amal saleh.6 Dengan demikian makna khalifah secara lebih dalam adalah
berpuncak pada insan kamil.
Insan kamil membawa misi moral dan intelektual. Dengan dilengkapi
akal dan kemampuan mengkonseptualisasikan, manusia diberi petunjuk melalui
wahyu Tuhan dalam terma-terma keutamaan moral. Kehidupannya di alam raya
ini baginya adalah wahana ujian baginya. Oleh karena itu, manusia memegang
tanggung jawab kekhalifahan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah SWT.7
Kedudukan manusia dalam sistem penciptaanya adalah sebagai hamba
Allah sekaligus sebagai khalifah di bumi ini. Kedudukan itu berhubungan dengan
peranan yang ideal. Yaitu pola perilaku yang di dalamnya terkandung hak,
kewajiban, dan tugas manusia yang terkait dengan kedudukannya di hadapan
Allah sebagai pencipta. Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar
untuk hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya
pertanggung jawaban kepada pencipta-Nya, melainkan manusia diciptakan oleh
Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Fakta moral yang tertanam dalam inilah yang merupakan tantangan abadi
manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang tidak
berkesudahan. Dalam perjuangan ini, Allah berpihak kepada pada manusia
asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Manusia harus melakukan 6 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi,(Jakarta: Paramadina, 1997),hlm.2-3 7 Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil, Paket Pelatihan Seni Menata Diri, (Semarang: CV. Bima Sejati, 2006), hlm.70
49
usaha-usaha ini karena diantara ciptaan-ciptaan Tuhan, ia memiliki posisi yang
unik. Yaitu diberikannya kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan
misinya sebgai khalifah Allah di atas muka bumi. Misi ini merupakan perjuangan
untuk menciptakan tata sosial yang bermoral di atas dunia.8
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi memberikan arti penting
yaitu membangun dan memakmurkan bumi, maka Allah membekali manusia
dengan potensi yang menopang terwujudnya jabatan khalifah tersebut.9 Agar
potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara optimal maka manusia perlu
diberikan pendidikan.
Setelah melalui proses pendidikan, manusia akan memiliki pengetahuan
yang cukup dan keterampilan yang memadai untuk dapat mengolah dan
memakmurkan bumi sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir pendidikan Islam yaitu mengantarkan
manusia menjadi khalifah Allah di bumi yang bertaqwa kepada Allah SWT serta
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam
dan makna khalifah mempunyai hubungan atau keterkaitan dalam rangka
mewujudkan tujuan hidup manusia, yaitu sebagai ‘abd dan khalifatullah fil ardl,
yang dapat diwujudkan melalui pendidikan dengan mengembangkan potensi-
potensi yang ada dalam diri manusia sehingga terbentuk insan kamil.
B. Urgensi Makna Khalifah Dalam Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki peran utama. Yaitu sebagai
khalifatullah dan ‘abd. Kedua peran ini sejalan dengan dua tahapan kehidupan,
yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sesuai dengan doktrin tauhid, Allah
adalah pencipta dan pemilik alam semesta ini. Allah juga menentukan perjalanan
8 Fazlur Rahman, Major Time of The Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, ( Bandung : Pustaka, 1983),
hlm. 27 9 Mansur Isna,Diskursus Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), hlm.155
50
manusia, yang tidak hanya berakhir pada kehidupan dunia semata, melainkan
berlanjut pada kehidupan akhirat.
Sementara itu, manusia sendiri telah diberi peran sebagai khalifatullah fil
ardl, yakni peran yang terbatas di dunia. Agar peran tadi dapat memiliki
keterkaitan dengan kelangsungan hidupnya di akhirat, manusia dituntut untuk
bersikap pasrah secara mutlak kepada Allah, yang disebut ibadah, sesuai
firmanNya.
) ٥٦ :الذريات(وما خلقت الجن والأنس إال ليعبدون
Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku. (QS. Ad-Dzariyat: 56)10
Manusia tidak akan dapat menanggung beban tugasnya sebagai khalifah
jika dalam dirinya tidak terbentuk perasaan tunduk (ibadah) yang total kepada
Allah.11
Berkaitan dengan tugas hidup manusia tersebut, Widodo Soepriyono
mengemukakan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah: Pertama, manusia
sebagai khalifah (khalifatullah fil ardl) yang merupakan ciri ideal; kedua.
manusia diberi beban beribadah (‘abid) kepada-Nya; ketiga, berperan sebagai
Warosatul Anbiya.12
Sedang menurut Ahmadi, bahwa tujuan diciptakanya manusia oleh Allah
terdiri dari: pertama, tujuan utama penciptaanya ialah agar manusia beribadah
kepada-Nya. Kedua, manusia diciptakan untuk berperan sebagai wakil Tuhan di
muka bumi (khalifatullah fil ardl). Ketiga, manusia diciptakan untuk membentuk
masyarakat, manusia yang saling mengenal hormat-menghormati dan tolong
10 Soenarjo, op.cit ., hlm.862 11 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya ( Jakarta, Logos wacana Ilmu, 1999),
hlm. 36 12 Widodo Soepriyono, Filsafat Manusia Dalam Reformulasi Pendidikan Islam (peny) M. Chabib
Thoha ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ) hlm. 183
51
menolong antar yang satu dengan yang lain dalam rangka menunaikan tugas
kekhalifahannya.13
Secara operasional tugas kekhalifahan tersebut dapat dijabarkan melalui
bentuk; pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri : (1) Menuntut ilmu
pengetahuan, karena manusia itu adalah makhluk yang dididik dan mendidik.(2)
Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan.(3) Menghiasi diri dengan akhlak mulia .
Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas
membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah
warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap
amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang
lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan
terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan
mengislamkan kultur.14
Beranjak dari pemahaman makna yang termuat di dalamnya, barangkali
akan jelas bagaimana peran yang harus dilaksanakan manusia menurut statusnya
selaku khalifah Allah, setidaknya peran yang harus dilaksanakan manusia terdiri
dari dua jalur, yaitu jalur horisontal dan jalur vertikal.
Peran menurut jalur yang pertama, mengacu kepada bagaimana dapat
mengatur hubungan baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Hubungan
yang dibina adalah hubungan yang sejajar dan sama antar sesama makhluk Allah
serta hubungan yang ramah dan saling menguntungkan, bukan malah sebaliknya.
Adapun hubungan yang vertikal menggambarkan bagaimana manusia
berperan sebagai mandataris Allah, dalam peran ini manusia penting menyadari
13 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ),
hlm. 41 14 Muhaimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pandidikan Agama
Islam di Sekolah, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya , 2002 ) hlm. 23 -24
52
bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia
adalah karena penugasan dari penciptaan-Nya, dengan demikian tugas itu
mencakup cara bagaimana manusia dapat berperan sebagai pengemban amanat
tersebut dengan sebaik mungkin. Dari peran itu diharapkan manusia dapat
menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis di muka bumi.
Tugas hidup berikutnya adalah manusia sebagai ‘abdullah. Ini dapat
dipahami bahwa segala aktivitas dan perilakunya ditujukan hanya untuk Allah,
manusia sebagai ‘abdullah merupakan realisasi dari pemberian amanah dalam arti
memelihara tugas-tugas dari Allah yang harus di patuhi.
Jika pengertian ibadah ini dihubungkan dengan pengertian khalifah
sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa
esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreatifitas sedangkan seorang ‘abd
adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian kedudukan manusia di alam raya ini, di samping sebagai
khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengelola alam dengan menggunakan
segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sebagai ‘abd, yaitu seluruh
usaha dan aktivitasnya harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah.
Dengan pandangan terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan
melakukan sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau pertentangan dengan
kehendak Tuhan.
Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, manusia
perlu diberikan pendidikan, pengajaran, ketrampilan, pengalaman, teknologi dan
sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan
ibadah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia dapat
melaksanakan fungsi-fungsinya yang demikian itulah yang diharapkan muncul
dari kegiatan usaha pendidikan.15
Untuk teraktualisasinya potensi yang dimiliki manusia, sesuai dengan
nilai–nilai ilahiyah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media yang
15 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm. 40 - 41
53
menstimuli bagi pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia ke arah
penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd dan khalifah fil ardl.16
Untuk tujuan tersebut, pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses
pentransferan ilmu kebudayaan atau kebudayaan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Akan tetapi lebih dari itu, pendidikan Islam merupakan satu bentuk
proses pengaktualisasian sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya yang
meliputi pengembangan jasmani, rasioanlitas, intelektual, emosi dan akhlak yang
berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi
kemaslahatan seluruh umat manusia.
C. Tujuan Pendidikan Islam Berdasarkan Makna Khalifah
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar
dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya
memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-
institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-
institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab.
Karena, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia
yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai
kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya
yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri
bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk
melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan
materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan negara.
Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah
investasi upaya meraih gelar yang dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera
dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai
16 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam ( Jakarta : Media Pratama,
2001 ) hlm. 137
54
keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak
didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak
akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab.
Tujuan pendidikan Islam diharapkan lebih bersifat problematis, strategis,
antisipatif, serta menyentuh aspek aplikasi. Artinya, pendidikan Islam harus
berupaya membangun manusia dan masyarakat secara utuh dan menyeluruh
(insan kamil) dalam semua aspek kehidupan yang berbudaya dan berperadaban
yang tercermin dalam kehidupan manusia yang bertakwa dan beriman,
berpengetahuan, berakhlak mulia, berkemampuan kompetitif dan kooperatif
dalam era global dan berpikir lokal dalam rangka memperoleh kesejahteraan
hidup di dunia dan akhirat.17
Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan
diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin
yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan
manusia), baik secara linier atau secara algoritmik (berurutan secara logis) berada
dalam garis mukmin, muslim dan muhsin.18
Dalam rangka mewujudkan tujuan hidup manusia, maka diperlukan
pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Maka penting dirumuskan tujuan
pendidikan Islam yang berdasarkan makna khalifah. Penentuan tujuan dalam
proses pendidikan merupakan bagian sentral dan penting dalam rangka
menentukan arah, isi dan langkah pendidikan yang dikembangkan. Untuk melihat
dan mencermati tujuan pendidikan Islam, pada umumnya tercermin dalam makna
yang diberikan terhadap pendidikan Islam.
Menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam adalah suatu proses
pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh
Allah kepada nabi Muhammad SAW. Melalui proses pendidikan seperti itu
17 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani
Indonersia, ( Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003 ), hlm .157 18 Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995 ), hlm
.96
55
individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu
menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan berhasil mewujudkan
kebahagian di dunia dan akhirat.19
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam diarahkan dalam rangka
menjadikan manusia sebagai khalifatullah yang mampu menjalankan tugas-tugas
kehidupan di muka bumi ini, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu
berakhlak mulia dan mampu mengembangkan segenap potensi kehidupannya.
Karena manusia dalam perjalanan hidupnya pada dasarnya mengemban amanah
atau tugas-tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada
manusia agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Tugas manusia sebagai khalifah Alllah merupakan realisasi dari
pengemban amanah dalam arti memelihara, memanfaatkan atau mengoptimalkan
penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial (indera dan akal) atau
potensi-potensi dasar manusia guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan
kebahagiaan hidupnya.20
Pandangan dunia Islam bersifat humanis teosentris. Maka sifat humanis
teosentris sebagai pandangan dunia dalam Islam akan menjadi konsep dasar dari
pemikiran pendidikan Islam. Sifat ini terlihat pada watak dasarnya yang tidak
pernah terlepas dari konsep khalifah sebagai mabda’nya dan konsep abd’ sebagai
maqshad al-a’dham. Artinya konsep pendidikan Islam haruslah berpijak pada
konsep khalifah baik sebagai titik awal, proses maupun produk. Sebagi titik awal,
artinya dalam pendidikan subyek didik haruslah dipandang sebagai manusia yang
berfungsi sebagai khalifatullah yang mempunyai misi untuk memakmurkan bumi.
Sebagai proses, artinya agar subyek didik mampu mengemban amanah Allah
yang dibebankan kepadanya, yakni sebgai khalifatullah. Maka ia harus diproses
dalam dunia pendidikan dengan cara menanamkan niulai-nilai ke dalam dirinya.
19 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999 ), hlm. 6 20 Muhaimin, et.al, op. cit.,hlm. 23
56
Pengertian nilai-nilai di sini bukan hanya sebatas pada pentransferan ilmu
pengetahuan, budaya, moral, etika dan sopan santun. Namun nilai-nilai itu juga
mempunyai daya motivator yang tinggi bagi subyek didik untuk bersikap kreatif
dan pro aktif dalam memecahkan problematika hidup dan merubah tatanan sosial
yang dianggapnya tidak baik.
Sedangkan sebagai produk, artinya setelah subyek didik mengalami proses
pendidikan, ia diharapkan mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang
didapat dari proses pendidikan sehingga dalam produknya ia benar-benar menjadi
khalifatullah. Kemudian konsep ‘abd sebagai maqshad al-a’dham, artinya segala
prilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu harus bertujuan untuk
mengabdi pada Allah semata, bukan kepada selainnya. 21
Itulah terjemahan dari sifat humanis teosentris dalam konsep pendidikan.
Apabila pendidikan Islam benar-benar berpijak pada konsep khalifah sebagai
mabda’ dan konsep ‘abd sebagai maqshad al-a’dham, maka pendidikan Islam
akan mampu mencetak generasi muslim yang dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifah yaitu menjadi manusia yang berbudaya, berperadaban
berkualitas, kreatif yang dapat membangun dunia ini serta dapat menghadapi
tantangan era global serta mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa
menghiasi dirinya dengan iman dan takwa.
Dengan memahami konsep tersebut manusia akan mampu merealisasikan
tujuan hidupnya di muka bumi yaitu tugas untuk senantiasa melestarikan tatanan
kehidupan yang harmonis, sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
21 Ismail SM. (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 ) hlm.
301-302
57
BAB V
PENUTUP
Dari berbagai uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat penulis simpulkan
sebagai berikut :
1. Khalifah dapat dipahami sebagai pengganti atau makhluk yang menganti spesies
lain yang ada sebelumnya. Akan tetapi juga dapat berarti sebagai makhluk yang
mendapatkan mandat dari Allah untuk memelihara dan memakmurkan bumi.
Gelar khalifah, walaupun pada mulanya hanya untuk Adam semata. Tetapi pada
hakekatnya adalah untuk manusia secara umum.
Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat 30-35, khalifah disini berarti wakil
Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah
sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah
makhluk yang paling sempurna. Khalifah adalah manusia yang aktif dalam
tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh serta khalifah adalah manusia
kreatif yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-Nya.
Pada hakikatnya manusia sebagai khalifah harus sadar, bahwa dia sebagai
pemegang mandat dari Allah yang wajib mengikuti apa yang diinginkan oleh sang
pemberi mandat (Allah) dan tidak boleh mengabaikannya, karena amanat yang
dilimpahkan padanya akan dipertanggungjawabkan kelak. Sebagai khalifah yang
mendapatkan amanah pengelolaan bumi, manusia harus berusaha menghiasi diri
dengan ilmu karena tidak mungkin ia dapat melaksanakan amanah tanpa ilmu.
Secara operasional tugas kekhalifahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas
kekhalifahan terhadap diri sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan
akhlak mulia. Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas
membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah
warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas
58
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan
ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap
amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang
lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan
terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan
mengislamkan kultur.
2. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik manusia perlu
diberikan pendidikan. Melalui proses pendidikan, manusia akan dapat
mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya yang selanjutnya akan
menjadi bekal bagi dirinya untuk dapat menjalankan tugasnya. Karena pada
hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai pertumbuhan yang
seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual,
kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Dengan tercapainya kepribadian
manusia yang seimbang, manusia akan dapat melaksanakan fungsi
kekhalifahannya. Namun sebaliknya, tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi
berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal.
Pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses penstranferan ilmu pengetahuan,
namun pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualisasian
segenap potensi peserta didik. Sehingga mampu menciptakan individu muslim
yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemaslahatan seluruh manusia yang
sesuai dengan perannya sebagai khalifah di muka bumi.
B. Saran – saran
1. Pendidikan Islam menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslim, dengan
memperoleh pendidikan, segenap potensi yang ada dalam diri manusia akan dapt
berkembang dengan optimal sehingga akan terbentuk kepribadian yang mulia.
2. Pendidikan Islam seharusnya mengarahkan peserta didik untuk dapat
mengoptimalkan potensi diri agar dapat berperan sebagai khalifah dalam
kehidupan bermasyarakat.
59
C. Penutup
Dengan berakhirnya skripsi ini, penulis mengucapkan syukur kehadirat
Allah SWT, karena hanya dengan pertolonganNya lah penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Dengan kerendahan hati tentunya dalam skripsi ini terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis mengharapkan ridha Allah semoga skripsi ini dapt
menambah khasanah ilmiah umat Islam dan bermanfaat bagi penulis pada
khususnya serta bagi pembaca pada umunya.
60
MOTTO
øŒ Î) uρ tΑ$s% š•/ u‘ Ïπ s3 Í× ¯≈ n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤ Î) ×≅ Ïã% y` ’Îû ÇÚ ö‘ F{ $# Zπ x‹ Î=yz ( (# þθä9$s% ã≅ yèøg rB r& $pκ Ïù ⎯ tΒ ß‰Å¡ø ム$pκ Ïù
à7 Ï ó¡o„ uρ u™!$tΒÏe$! $# ß⎯ øt wΥuρ ßxÎm7 |¡çΡ x8 ωôϑ pt ¿2 ⨠Ïd‰s) çΡuρ y7 s9 ( tΑ$s% þ’ ÎoΤ Î) ãΝ n=ôã r& $tΒ Ÿω tβθßϑn=÷è s? ∩⊂⊃∪ Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang Khalifah”, mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah)dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkankan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”( QS. Al-Baqarah : 30 )1
1 Soenarjo. dkk, AlQur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1971) hlm. 13
61
MAKNA KHALIFAH DALAM AL-QUR’AN
RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
( Analisis QS. al-Baqarah Ayat 30-35 )
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Anik Risalati
NIM: 3103247.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
_______, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992.
Abdullah, Abadurrahman Saleh, Educational Theory, A Quranic Outlook, terj. Mutammam, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Al-Abrasy, M. Athiyah, Education in Islam, Cairo: tp.,1963.
Al-Anshary, Ibnu Manzur Jamaluddin, Lisanul Arab, Mesir: Darul Misriyah, tt.
Al-Bary, M.D.J, Kamus Ilmiah Populer, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Al-Farmawy, Abd al-Hay, Metode Tafsir Maudhu’i:Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi 1, terj. Bahrun Abu Bakar, Beirut:
Darul Kutub, tt. Ali, Abdullah Yusuf, terjemah the Holy Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Ali, M. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997.
Al-Taumy, Oemar M, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang , 1979.
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Perss,
2002. Arifin, Muzayyin, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Arrifai, M. Nashir, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001 Asshidiqie, Tafsir al Qur’anul Majid An Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.
_________, Tafsir al Bayan I, Semarang: Al Ma’arif, 1977.
Ashraf, Ali, Horizon Baru Pendidikan Islam, peny. Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Assegaf, M. Abdurrahman, “Konsep Khilafah Islamiyyah”, http//www.persis.co.id/15112007/
Azra, Azyumardy, Esei-Esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999. Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Djamal, A. Noerhadi, Epistimologi Pendidikan Islam: Suatu Telaah Reflektif Qur’any, dalam Chabib Thoha (eds), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 1996.
Donald, F.J.MC., Educational Psychology, California: Wadsworth Publishing Company,
1959. Echols, John M, dan hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,
1999. Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Ibnu Hajjaj, Imam abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz. IV, Beirut: Darul Kutub, tt.
Ihsan, Hamdani, dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001.
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Jakarta: Trigenda Karya, 1993.
Muhaimin et al, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2000.
________, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Media
Pratama, 2001.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,Di Bawah Lindungan al-Qur’an, terj. As’ad
Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Rahman, Fazlur, Major Time of The Quran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: tp. 1983.
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007. ________, Mu’jizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2005.
________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Siregar, Marasudin, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam
rusman Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam:Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
SM, Ismail (eds), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Soenarjo,dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1971.
Soepriyono, Widodo, Filsafat Manusia dalam Islam, dalam Reformulasi Pendidikan Islam,peny. Chabib Thoha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Suryaningsih, “Umat Islam dan Tantangan untuk Menciptakan Transformasi Besar”,
http//suryaningsih.word press.com/26122007/ Syafi’i, A Mustain, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Koran, Surabaya: Harian Bangsa, 2004.
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
Syuhud, A. Fatih, “Tantangn Pendidikan Islam di Era Globalisasi”, http//sidogiri.online/13122007/
Syukur, Amin, dan Fatimah Usman, Insan Kamil,Paket Pelatihan seni Menata Hati,
Semarang: CV. Bima Sejati, 2006. Thoha, M Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Anik Risalati
Tempat/Tgl Lahir : Demak, 04 Oktober 1983
Alamat Asal : Jln. TPI Lama RT. 02/ VIII Sabetan Barat Wedung Demak
Jenjang Pendidikan
1. SD Negeri Ngawen I lulus tahun 1995
2. MTs NU RAUM Wedung lulus tahun 1998
3. MANU RAUM Wedung lulus tahun 2001
4. IAIN Walisongo Semarang angkatan tahun 2003
Semarang, Januari 2008 Penulis