manajemen jalan napas rutin

14
MANAJEMEN JALAN NAPAS Manajemen jalan napas rutin yang berhubungan dengan anestesi umum terdiri atas : Penilaian jalan napas Persiapan dan kelengkapan alat Posisi pasien Preoksigenasi Bag and mask ventilation (BMV) Intubasi (bila terdapat indikasi) Konfirmasi penempatan endotracheal tube Manajemen intraoperatif Ekstubasi Penilaian Jalan Napas Penilaian jalan napas merupakan langkah awal dalam manajemen jalan napas. Beberapa manuver baik secara anatomis maupun fungsional dapat dilakukan untuk memperkirakan kesulitan dalam intubasi endotrakeal. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa ventilasi yang baik (dengan atau tanpa intubasi) perlu dicapai untuk menghindari mortalitas dan morbiditas. Penilaian jalan napas terdiri atas : 1. Pembukaan mulut : jarak antar incisor ±3cm atau lebih pada orang dewasa 2. Upper lip bite test : gigi bagian bawah dimajukan sehingga berada dimuka gigi bagian atas. Sejauh mana tes ini dapat dilakukan menggambarkan rentang gerakan sendi temporomandibular.

Upload: egimaru

Post on 24-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

jalan napas

TRANSCRIPT

MANAJEMEN JALAN NAPASManajemen jalan napas rutin yang berhubungan dengan anestesi umum terdiri atas : Penilaian jalan napas Persiapan dan kelengkapan alat Posisi pasien Preoksigenasi Bag and mask ventilation (BMV) Intubasi (bila terdapat indikasi) Konfirmasi penempatan endotracheal tube Manajemen intraoperatif Ekstubasi

Penilaian Jalan NapasPenilaian jalan napas merupakan langkah awal dalam manajemen jalan napas. Beberapa manuver baik secara anatomis maupun fungsional dapat dilakukan untuk memperkirakan kesulitan dalam intubasi endotrakeal. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa ventilasi yang baik (dengan atau tanpa intubasi) perlu dicapai untuk menghindari mortalitas dan morbiditas. Penilaian jalan napas terdiri atas :1. Pembukaan mulut : jarak antar incisor 3cm atau lebih pada orang dewasa2. Upper lip bite test : gigi bagian bawah dimajukan sehingga berada dimuka gigi bagian atas. Sejauh mana tes ini dapat dilakukan menggambarkan rentang gerakan sendi temporomandibular. 3. Skor Mallampati : tes yang sering dilakukan untuk mengukur besarnya lidah dibandingkan dengan kavitas oral. Semakin berat obstruksi lidah yang menghalangi gambaran struktur faring, maka semakin sulit dilakukan intubasi. 4. Jarak thyromental : jarak antara mentum dengan takik thyroid superior. Jarak normal adalah sekitar 3 jari. 5. Lingkar leher : lingkar leher yang melebihi 27 dapat menyulitkan visualisasi pembukaan glottis.

Persiapan Peralatan Persiapan peralatan sangatlah penting dalam manajemen jalan napas. Berikut daftar peralatan yang secara rutin dibutuhkan dalam manajemen jalan napas : Sumber Oksigen Kapabilitas BMV Laringoskop Beberapa endotracheal tube dengan beberapa ukuran Alat jalan napas selain endotracheal tube (jalan napas oral, nasal, dsb) Suction Alat deteksi Oksimetri dan CO2 Stetoskop Plester Alat monitor tekanan darah dan elektrokardiografi Akses intravena

Jalan Napas Oral dan NasalHilangnya tonus otot pernapasan atas (seperti pada kelemahan otot otot genioglossus) pada pasien dengan anestesi dapat menyebabkan lidah dan epiglottis jatuh ke belakang dinding posterior faring. Reposisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang sering dilakukan untuk membuka jalan napas. Untuk mempertahankan pembukaan jalan napas tersebut, jalan napas buatan dapat dimasukan dalam mulut atau hidung untuk mempertahankan aliran udara antara lidah dan dinding faring posterior. Pasien yang bangun atau yang menjalani anestesi ringan dengan refleks laring yang intak dapat batuk atau bahkan mengalami spasme laringospasme selama pemasukan jalan napas buatan tersebut. Penempatan jalan napas oral biasanya disertai dengan penekanan refleks jalan napas, dan kadang sebagai tambahan dapat mendepresikan lidah dengan tongue blade. Jalan napas oral orang dewasa biasanya terdiri atas ukuran kecil (80 mm), sedang (90 mm), dan besar (100 mm). Panjang jalan napas nasal dapat diperkirakan dengan jarak antara nares dengan meatus telinga 2-4 cm lebih panjang dari jalan napas oral. Karena adanya risiko terjadinya epistaksis, jalan napas nasal biasanya kurang disukai pada pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan antikoagulasi. Selain itu, jalan napas nasal (dan nasogastric tube) sebaiknya digunakan secara hati hati pada pasien dengan fraktur basis tengkorak. Semua selang yang dimasukan melalui hidung (seperti jalan napas nasal, kateter nasogatrik, selang nasotrakeal) sebaiknya diberikan pelumas sebelum dimasukan dalam lubang hidung.

Design dan teknik MaskerPenggunaan masker dapat membantu antara oksigen atau gas anestesi dari sistem pernapasan kepada pasien dengan membentuk area udara yang tertutup rapat pada wajah pasien. Pinggiran masker dibentuk sesuai dengan bentuk wajah yang bervariasi. Orifice 22 mm masker terhubung dengan sirkuit pernapasan mesin anestesi melalui right angle connector. Beberapa design masker telah tersedia. Masker transparan dapat mempermudah observasi gas yang dihirup dan lebih mudah mendeteksi adanya muntah.

PositioningSaat memanipulasi jalan napas, dibutuhkan posisi pasien yang benar. Kesejajaran relative aksis oral dan faring dapat tercapai dengan memposisikan pasien dalam posisi sniffing. Bila dicurigai terdapat patologi tulang belakang, kepala harus berada dalam posisi netral selama menjalani semua manipulasi jalan napas. Stabilisasi in-line leher harus dipertahankan selama manajemen jalan napas pada pasien pasien tersebut, kecuali foto radiologis yang sesuai telah diperiksa oleh dokter ahli bersangkutan.

PreoksigenasiBila memungkinkan, preoksigenasi dengan masker oksigen sebaiknya dilakukan sebelum intervensi jalan napas. Oksigen dihirup dalam masker selama beberapa menit sebelum induksi anestesi. Dengan demikian, kapasitas residual fungsional (FRC), cadangan oksigen pasien bersih dari nitrogen. Sekitar 90% FRC 2L dalam preoksigenasi dipenuhi dengan O2. Dengan mempertimbangkan kebutuhan oksigen normal sebesar 200-250 mL/m, pasien yang menjalani preoksigenasi dapat memiliki 5-8 menit cadangan oksigen. Peningkatan durasi apnea tanpa desaturasi mempengaruhi keselamatan, jika ventilasi dalam induksi anestesi tertunda. Kondisi kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen (sepsis, kehamilan) dan penurunan FRC ( obesitas morbid, kehamilan) mengurangi periode apnea sebelum terjadinya deasturasi.

Bag and Mask Ventilation (BMV)BMV merupakan langkah pertama dalam manajemen jalan napas di berbagai situasi, dengan pengecualian pada pasien yang menjalani serangkaian intubasi yang cepat. Induksi rangkaian cepat menghindari BMV untuk menghindari inflasi perut dan untuk mengurangi potensi terjadinya spirasi isi lambung pada pasien yang tidak puasa dan pasien dengan pengosongan lambung yang terlambat. Pada situasi darurat, BMV mengawali tindakan intubasi sebagai cara untuk mengoksigenasi pasien, dengan pemahaman bahwa terdapat risiko aspirasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam melakukan tindakan, tangan kiri digunakan untuk memegang masker pada wajah pasien. Wajah diangkat ke masker dengan menggunakan jari ketiga, keempat dan kelima tangan kiri. Jari jari tersebut ditempatkan di mandibula, dan rahang didorong kedepan, untuk menjauhkan dasar lidah dari faring posterior untuk membuka jalan napas. Ibu jari dan jari telunjuk berada di atas masker. Bila jalan napas paten, menekan bag akan menyebabkan pengangkatan dada pasien. Bila ventilasi tidak efektif (tidak ada pengangkatan dada, tidak ada end-tidal CO2 yang terdeteksi, tidak ada embun pada masker), jalan napas oral atau nasal dapat digunakan untuk memperbaiki obstruksi jalan napas sekunder akibat jaringan faring yang membesar. Ventilasi masker yang sulit biasanya ditemukan pada pasien dengan obesitas, berjanggut, dan adanya deformitas kraniofasial. Dahulu, anestesi biasanya diberikan melalui masker. Beberapa tahun terkahir, sejumlah alat supraglotis yang bervariasi dapat digunakan baik untuk membantu jalan napas (bila BMV tidak memungkinkan) maupun manjemen jalan napas pada anestesi rutin (bila intubasi tidak terlalu dibutuhkan).

IntubasiIndikasiMemasukan selang ke dalam trachea telah menjadi bagian penting dalam anestesi umum. Intubasi bukanlah tindakan yang bebas resiko, dan tidak semua pasien dengan anestesi umum membutuhkannya. Sebuah tracheal tube (TT) biasanya digunakan untuk melindungi dan sebagai akses jalan napas. Intubasi diindikasikan pada semua pasien yang berisiko mengalami aspirasi dan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan melibatkan rongga tubuh atau kepala dan leher. Ventilasi dengan masker atau ventilasi dengan LMA biasanya cukup memuaskan untuk prosedur operasi yang pendek, seperti cystoscopy, pemeriksaan dalam narkose, perbaikan hernia inguinal, pembedahan pada ekstremitas, dan sebagainya.

Persiapan Laringoskopi DirekPersiapan untuk dilakukannya intubasi meliputi pemeriksaan kelengkapan peralatan dan posisi pasien yang benar. TT yang akan digunakan sebaiknya diperiksa ulang. Sistem inflasi manset TT dapat diuji dengan cara membuat inflasi manset menggunakan alat suntik 10mL. Pertahankan tekanan pada manset setelah alat suntik dilepas memastikan fungsi manset dan katup yang baik. Beberapa ahli memotong TT sesuai dengan panjang yang telah ditetapkan terlebih dahulu untuk mengurangi ruang dalam selang, risiko intubasi bronchial, dan mengurangi risiko oklusi akibat kekusutan selang. Konektor sebaiknya ditekan dengan lembut ke dalam selang untuk mengurangi kemungkinan terjadinya diskoneksi. Bila menggunakan stylet, sebaiknya dimasukan pada saat pasien mengalami kesulitan dalam ventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang keberatan menggunakan masker. Namun, kegagalan dalam preoksigenasi meningkatkan risiko desaturasi cepat yang menyertai apnea.

Oleh karena anestesi umum meniadakan refleks protektif kornea, perawatan yang harus dilakukan pada periode tersebut jangan sampai mencederai mata pasien dengan tanpa sengaja menyebabkan abrasi kornea. Maka, mata sebaiknya ditutup dengan kasa yang diplestes, biasanya setelah pemberian salep mata sebelum manipulasi jalan napas.

Intubasi OrotrakealLaringoskop dipegang menggunakan tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka, blade laringoskop dimasukan ke sisi kanan orofaring secara berhati hati menghindari gigi. Lidah dipinggirkan ke kiri atas sampai dasar faring menggunakan pinggiran blade. Pemindahan lidah ke sisi kiri akan memperjelas visualisasi untuk penempatan TT. Ujung berliku blade biasanya dimasukan ke dalam vallecula, dan ujung blade yang lurus menutupi epiglottis. Dengan salah satu dari blade, pegangan laringoskop diangkat ke atas dan menjauhi pasien dalam bidang tegak lurus terhadap mandibula pasien untuk melihat pita suara. Kemudian, TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dimasukan melalui pita suara. Manuver Backward, Upward, Rightward, Pressure (BURP) diaplikasikan secara eksternal untuk memindahkan glottis dengan posisi anterior untuk membantu visualisasi glottis. Manset TT sebaiknya diletakkan di bagian atas trachea, namun melewati laring. Laringoskop kemudian ditarik keluar secara berhati hati untuk menghindari kerusakan pada gigi. Manset TT diinflasikan dengan jumlah udara seminimal mungkin untuk membentuk segel selama ventilasi tekanan positif yang bertujuan untuk meminimalisasi tekanan yang diberikan pada mukosa trachea. Overinflasi melebihi 30 mmHg dapat menghalangi aliran darah kapiler, dan mencederai trachea. Menekan pilot balloon dengan jari bukanlah metode yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tekanan pada manset sudah cukup atau tidak. Setelah intubasi, dada dan epigastrium kemudian diauskultasi dan deteksi kapnografik (tes yang pasti) dimonitor untuk memastikan lokasi intratrakhea. Bila terdapat keraguan apakah selang berada dalam esophagus atau trachea, ulangi laringoskop untuk mengkonfirmasi posisinya. CO2 End-tidal tidak akan diproduksi bila tidak ada cardiac output. FOB melalui selang dan visualisasi cincin trachea dan karina dapat mengkonfirmasi posisi TT yang benar. Kemudian, selang diplester untuk fiksasi posisinya. Meskipun deteksi CO2 dengan menggunakan kapnografik merupakan metode konfirmasi posisi TT pada trachea, namun tidak mengeksklusi intubasi bronchial. Bukti awal terjadinya intubasi bronchial biasanya berupa peningkatan puncak tekanan inspirasi. Penempatan selang yang benar dapat dikonfirmasi ulang dengan cara palpasi manset pada celah sternum bersamaan dengan menekan pilot balloon dengan tangan lain. Manset sebaiknya tidak dapat dirasakan diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaring jangka panjang dapat menyebabkan suara serak, dan meningkatkan risiko ekstubasi. Posisi selang dapat pula didokumentasikan dengan radiografi dada. Deskripsi diatas diasumsikan pada pasien yang tidak sadar. Intubasi oral biasanya ditoleransi buruk oleh pasien yang sadar. Sedasi intravena, penggunaan spray anestesi lokal pada orofaring, blok saraf regional, dan konfirmasi ulang dapat memperbaiki penerimaan pasien. Intubasi yang gagal sebaiknya tidak diikuti dengan cara yang sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran selang, menggunakan stylet, memilih blade yang berbeda, menggunakan laringoskop indirek, menggunakan rute nasal, atau meminta bantuan ahli yang lain. Bila pasien juga mengalami kesulitan bernapas dengan masker, bentuk lain dari manajemen jalan napas (LMA, combitube, krikotomi, trakeostomi) sebaiknya dilakukan.

Intubasi NasotrakhealPrinsip intubasi nasal adalah sama dengan intubasi oral, kecuali bahwa TT dimasukan melalui hidung dan nasofaring kedalam orofaring sebelum laringoskopi. Lubang hidung dimana pasien paling mudah bernaps dipilih, dimasukan TT dan dipersiapkan. Tetes hidung Phenylephire (0,5% atau 0,25%) menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan memperkecil membrane mukosa. Bila pasien sadar, salep (untuk lubang hidung) atau spray (untuk orofaring) anestesi lokal dan blockade saraf dapat digunakan. TT yang diberikan pelumas berupa jeli larut air dimasukan ke dalam dasar hidung, di bawah turbinate, pada sudut yang tegak lurus dengan wajah. Untuk memastikan selang telah masuk ke dasar rongga hidung, ujung proksima TT dapat ditarik kearah kepala. Selang akan terus masuk hingga ujungnya dapat dilihat pada orofaring. Seringkali, ujung distal TT dapat ditekan masuk ke trachea tanpa kesulitan. Bila terdapat kesulitan, ujung selang dapat diarahkan ke pita suara dengan Magill forceps, secara hati hati agar tidak merusak manset. TT melalui nasal, kateter jalan napas atau nasogastrik memiliki risiko besar pada pasien dengan trauma wajah berat karena kemungkinan terjadinya displacement intrakranial.

EkstubasiBiasanya, ekstubasi dilakukan bila pasien dalam pengaruh anestesi yang kuat atau pasien yang sadar. Pada kondisi apa pun, penyembuhan terhadap agen blockade neuromuscular yang adekuat haru dicapai terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstubasi. Bila telah digunakan blockade neuromuskular, pasien paling tidak memiliki periode ventilasi mekanik terkontrol dan ventilator harus dihentikan sebelum dilakukan ekstubasi. Tindakan eksturbasi selama anestesi ringan (keadaan di antara anestesi dalam dan keadaan sadar) sebaiknya dihindari karena adanya peningkatan risiko spasme laring. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya tampak pada saat tindakan suction faring. Adanya reaksi terhadap tindakan suction (menahan napas, batuk) merupakan tanda anestesi ringan, dimana tidak adanya reaksi merupakan tanda anestesi yang dalam. Selain itu, membuka mata atau pergerakan yang sengaja menunjukan bahwa pasien telah cukup sadar untuk ekstubasi. Tindakan ekstubasi pada pasien sadar biasanya berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi tersebut dapat meningkatkan heart rate, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, tekanan intracranial, tekanan intraabdominal, dan tekanan intraokular. Dapat pula menyebabkan terbukanya luka dan meningkatkan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sada dapat memicu bronkospasme. Beberapa ahli berusaha menurunkan kemungkinan terjadinya hal tersebut dengan memasukan 1,5mg/kg lidocaine intravena 1-2 menit sebelum tindakan suction dan ekstubasi. Namun, ekstubasi selama keadaan anestesi dalamlebih baik dilakukan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping tersebutTanpa mempertimbangkan apakah selang sudah dicabut ketika pasien dalam keadaan anestesi dalam atau keadaan sadar, faring sebaiknya di-suction sebelum ekstubasi untuk menurunkan potensi aspirasi darah dan secret. Selain itu, pasien sebaiknya diberikan ventilasi oksigen 100% apabila pasien kesulitan bernapas setelah TT dicabut. Sebelum dilakukan ekstubasi, plester TT dicabut, dan mansetnya mengalami deflasi. Selang dicabut dengan gerakan halus, dan masker dipasang pada pasien untuk memberikan Oksigen. Pemberian oksigen menggunakan masker dipertahankan selama periode pemindahan pasien ke ruangan perawatan paska anestesi. ReferensiButterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and Mikhails clinical anesthesiology. Edisi 5. New York. McGraw-Hill. 2013. 312-41