manajemen nyeri postoperatif

29
MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF Pendahuluan Nyeri, suatu ciri yang umumnya terdapat pada berbagai proses penyakit, biasanya berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau yang akan datang. Nyeri akut dalam pengaturan perioperatif didefinisikan sebagai nyeri yang terdapat pada pasien bedah karena penyakit, prosedur bedah atau kombinasinya. Merupakan komponen yang tidak menyenangkan dan tidak terelakkan dari pengalaman post bedah. Orang yang menjalani operasi mungkin menginginkan haknya untuk memperoleh pereda nyeri post operasi yang adekuat. Pasien, meskipun begitu, terus mengalami nyeri postoperasi karena kurangnya upaya dari ahli anastesi dan ahli bedah untuk mengurangi rasa sakitnya. Jika seseorang berpikir bahwa mengurangi nyeri secara adekuat adalah hak dasar pasien, kegagalan mengurangi nyeri adalah penyelewengan moral dan etika dari seorang dokter. "Pasien mengharapkan pengurangan nyeri poesoperasi yang tidak efektif dan perawat mereka menjamin bahwa mereka tidak akan dikecewakan" kata suatu ulasan dari Inggris di awal 1990. Adalah anggapan saya bahwa skenario di India juga sama, jika tidak lebih buruk! Ahli anastesi modern membanggakan dirinya sebagai dokter perioperatif. Adalah kewajibannya untuk meyakinkan kenyamanan pasien dalam menjalani periode preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif. Meskipun kebanyakan diantara kita memberikan dosis analgesik yang piten pada pasien dengan tujuan

Upload: yulita-rumlus

Post on 04-Jul-2015

454 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Pendahuluan

Nyeri, suatu ciri yang umumnya terdapat pada berbagai proses penyakit, biasanya

berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau yang akan datang. Nyeri akut dalam

pengaturan perioperatif didefinisikan sebagai nyeri yang terdapat pada pasien bedah karena

penyakit, prosedur bedah atau kombinasinya. Merupakan komponen yang tidak

menyenangkan dan tidak terelakkan dari pengalaman post bedah. Orang yang menjalani

operasi mungkin menginginkan haknya untuk memperoleh pereda nyeri post operasi yang

adekuat. Pasien, meskipun begitu, terus mengalami nyeri postoperasi karena kurangnya

upaya dari ahli anastesi dan ahli bedah untuk mengurangi rasa sakitnya. Jika seseorang

berpikir bahwa mengurangi nyeri secara adekuat adalah hak dasar pasien, kegagalan

mengurangi nyeri adalah penyelewengan moral dan etika dari seorang dokter.

"Pasien mengharapkan pengurangan nyeri poesoperasi yang tidak efektif dan perawat mereka

menjamin bahwa mereka tidak akan dikecewakan" kata suatu ulasan dari Inggris di awal

1990. Adalah anggapan saya bahwa skenario di India juga sama, jika tidak lebih buruk!

Ahli anastesi modern membanggakan dirinya sebagai dokter perioperatif. Adalah

kewajibannya untuk meyakinkan kenyamanan pasien dalam menjalani periode preoperatif,

intraoperatif, dan postoperatif. Meskipun kebanyakan diantara kita memberikan dosis

analgesik yang piten pada pasien dengan tujuan memberikan analgesia ontraoperatif yang

baik, kualitas perawatan yang sama tidak berlanjut pada periode postoperatif. Hasil akhirnya

adalah pasien tidak puas, tidak senang dan bingung.

Disamping derita yang berkaitan dengan nyeri, pasien postbedah sering tidak dapat bernapas

dengan adekuat, batuk dengan efektif, bergerak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

dan berpartisipasi dalam rehabilitasi mereka. Hal ini sering mebghasilkan perasaan tidak

tertolong, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk

dokter terlibat dalam perawatan postoperatif pasien bukan hanya memahami efek merugikan

dari nyeri, tapi juga memberikan rencana manajemen nyeri yang efektif pada pasien

postbedah mereka.

Efek merugikan dari nyeri perioperatif

nyeri menyebabkan respons fisiologis dan psikologis pada pasien, yang menentukan hasil

akhir postoperatif. Hal tersebut menjadi alasan pengurangan nyeri yang adekuat dapat

memberikan hasil akhir perioperatif yang lebih baik.

Page 2: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Respons fisiologis

nyeri akut yang berat menghasilkan peningkatan tonus simpatetik yang bermanifes pada

peningkatan denyut jantung, tekanan darah, kardiak output, resistensi vaskuler koroner dan

sistemik. Efek kardiovaskular yang merugikan ini dapat diperkecil dengan anastesi epidural

yang cukup tinggi untuk menghambat serat simpatetik jantung (T1 sampai T5). Analgesia

perioperatif yang efektif juga bermaksud untuk melindungi kardiovaskuler.

Nyeri yang berkaitan dengan bedah thoraks dan abdomen dapat menyebabkan disfungsi

pernapasan postoperatif yang signifikan. Nyeri menyebabkan peningkatan tonus otot di

sekitar lokasi cedera. "Bebatan otot" ini, bersamaan dengan penurunan volunter otot

pernapasan, menyebabkan penurunan volume paru (tidal volume, kapasitas vital dan

kapasitas residual fungsional), kempisnya paru setempat (atelektasis) dan penurunan ventilasi

alveolarm yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia. Perubahan pernapasan ini juga

menghasilkan penurunan kemampuan untuk batuk, retensi sekresi dan peningkatan resiko

infeksi di dada. Pengurangan nyeri perioperatif yang adekuat, diiringi latihan pernapasan,

dapat mencegah efek pernapasan yang merugikan ini.

Peningkatan aktivitas simpatetik yang berkaitan dengan nyeri juga menghasilkan penurunan

motilitas gastrointestinal (stasis lambung dan ileus paralitik), peningkatan sekresi intestinal

dan peningkatan tonus sfingter otot polos. Perlanjutan anastesi epidural dengan anastesi lokal

untuk beberapa hari dalam periode postoperatif membantu tidak hanya meningkatkan

motilitas gastrointestinal melalui efek langsung blokade epidural, tapi juga memperkecil

kebutuhan opioid (dan efek merugikan yang berkaitan dengan motilitas gastrointestinal).

Nyeri dapat menyebabkan peningkatan motilitas uretra dan kandung kemih dan

mengakibatkan kesulitan berkemih.

Perubahan neuroendokrin dan metabolik yang mencetuskan respons sres terhadap operasu

menghasilkan peningkatan tingkat katabolik yang menyebabkan penurunan berat dan

keseimbangan nitrogen negatif. Pemeliharaan anastesi epidural dengan anastesi lokal selama

48 hingga 72 jam dalam periode postoperatif memiliki efek terhadap efek metabolik ini. Efek

yang bermanfaat dalam operasi mencakup abdomen bagian bawah dan anggota gerak bawah

(sebagai perbandingan dengan abdomen bagian atas dan thoraks akbibat kesulitan dalam

menghambat impuls nosiseptif di kasus yang tadi).

Page 3: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Respons psikologis

nyeri postoperatif akut menyebabkan ketakutan dan kecemasan dalam pasien rawat inap. Jika

tidak ditemani, ia dapat berkembang menjadi kemarahan, kebencian dan permusuhan kepada

personik medis yang bertanggung jawab terhadap pengurangan nyeri. Gangguan tidur dapat

meningkatkan perasaan ini, pasien dapat jatuh ke dalam depresi dan perasaan tidak tertolong,

perhatian yang adekuat terhadap pereda nyeri dapat membantu memberikan perasaan sehat

yang merupakan pengaruh positif pada hasil akhir postoperatif.

Penilaian klinis dari nyeri akut

Nyeri tidak hanya proses biologis dari persepsi sensoris. Ia merupakan "pengalaman" karena

sensasi "psikologis" dari nyeri tidak terpisahkan dengan komponen "emosional". Orang harus

bisa membedakan antara "ambang nyeri" dan "toleransi nyeri". Ambang nyeri ialah istilah

yang digunakan dalam laboratorium dan menggambarkan tingkat dimana 50% dari stimuli

dianggap menyakitkan. Ia mendefinisikan isstilah stimulus dan bukan rasa sakit, sehingga

membatasi aplikasi klinisnya. Toleransi nyeri merupakan pengalaman subjektif dari individu

dan merupakan alat klinis yang lebih baik. Meskipun begitu, fakta bahwa sebagian individu

"lebih toleran" terhadap nyeri menjadi permasalahan sehingga skor nyeri yang dilaporkan

tidak dapat digunakan untuk perbandingan antar pasien.

Beberapa sistem skor nyeri yang tersedia termasuk skala taksiran kategorikal (CRS) dimana

nyeri nyeri dinilai sebagai tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat, skala

analog visual (VAS) dimana individu menilai nyeri pada garis 10 cm dimana titik sebelah kiri

diberi nama "tidak nyeri" dan titik sebelah kanan diberi nama "paling nyeri" atau skala

penilaian numerikal verbal (VNRS) dimana pasien memperkirakan nyeri sebagai angka

antara 0 yang mengindikasikan "tidak nyeri" dan 10 yang mengindikasikan "paling nyeri".

Apapun sistem skor yang digunakan, seseorang harus mencatat nyeri postoperatif baik pada

beristirahat dan pada pergerakan yangdiarahkan (fisioterapi dada untuk torakotomi,

pergerakan lutut pasif pada operasi lutut, dsb). Hal tersebut harus dicatat tiap 5 menit selama

fase inisial saat injeksi bolus opioid intravena atau opioid epidural / anastesi lokal diberikan.

Saat analgesia basal telah ditegakkan, prekuensi penilaian diturunkan tiap 2 jam selama 24

hingga 48 jam pertama, dan setelah itu tiap 4 jam.

Sebagai tambahan, skor nyeri harus dilakukan bersamaan dengan skor sedasi dan pencatatan

bangsal tradisional seperti suhu, nadi, tekanan darah, dan pernapasan. Enam observasi ini

merupakan data minimum yang dicatat di grafik postoperatif (dengan skor nyeri dan skor

sedasi menjadi tanda vital yang ke5 dan ke6). Mencatat nyeri postoperatif adalah salah satu

Page 4: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

cara mamusatkan perhatian semua pemberi pelayanan terhadap nyeri postoperatif akut dan

kebutuhan untuk manajemennya.

Manajemen nyeri postoperatif akut

Strategi manajemen untuk nyeri postoperatif ditujukan pada menurunkan nyeri pasien ke

tingkatan yang dapat ditoleransi. Penghapusan komplit nyeri bukanlah tujuan dan memang

kurang diinginkan. Meski pendekatan tradisional telah memulai terapi nyeri saat operasi

selesai, konsep "analgesia awal" menjadi sangat populer dimana perawatan antinosiseptif

dimulai sebelum onset nyeri. Pengobatan seperti itu mencegah pembentukan proses sentral

yang terganggu yang normalnya meningkatkan nyeri postoperatif dengan merangsang sistem

saraf sentral ke input sensoris.

Ketika "teknik anatesi seimbang" digunakan untuk memperoleh kebutuhan anastesi

intraoperatif pasien dengan menggunakan beberapa agen, "analgesia seimbang"

menggunakan beberapa modalitas manajemen nyeri untuk memberikan keadaan bebas nyeri

dan stres, yang memberikan hasil akhir operasi yang baik, teknik multimodak dari

manajemen nyeri melibatkan administrasi dua atau lebih obat yang bekerja dengan

mekanisme berbeda melalui rute tunggal (seperti opioid epidural + anastesi lokal +/-

klonidin) untuk memberikan keampuhan analgesik yang lebih unggul dengan efek merugikan

yang setara atau berkurang. Sebagaimana direkomendasikan oleh American Society of

Anaesthesiologists (ASA), kapanpun mungkin, ahli anastesi harus melakukan terapi

manajemen nyeri multimodal.

Opioid sistemik

Opioid sistemik telah menjadi arus utama manajemen nyeri di masa lampau dan masih

berlanjut menjadi teknik yang populer saat strategi lainnya masih dibangun. Semua opioid

yang diberikan dalam dosis ekuianalgesik menghasilkan efek analgesik yang sama. Opioid

biasanya diberikan dengan rute intramuskular (IM), intravena (IV), subkutan (SC) atau

transdermal.

Idealnya, administrasi opioid dimulai dengan peresepan terindividualisasi sesuai kebutuhan

pasien. Resep harus mencantumkan agen, dosis, frekuensi, dan rute administrasi. Umur

dibandingkan berat merupakan prediktor kebutuhan opioid yang lebih baik dalam 24 jam

pertama setelah operasi. Kebutuhan morfin 24 jam rata-rata (dalam mg) menggunakan teknik

analgesia terkontrol mengikuti operasi mayor pada pasien berusia antara 20 dan 70 tahun

dibarikan formula 100 - usia dalam tahun. Dengan demikian, orang 4( tahun akan

Page 5: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

memerlukan 60 mg morfin dalam 24 jam. Formula sederhana ini dapat digunakan untuk

mencetuskan terapi opioid sistemik dalam periode postoperatif.

Opioid spesifik

Kodein ialah opioid spesifik. Molekulnya tidak memiliki aktivitas analgesik. Kodein-6-

glukoronida dan morfin yang dibentuk sebagai hasil metabolisme (2-10%) dicatat untuk

aktivitas analgesiknya. Kodein biasanya dikombinasikan dengan parasetamol yang membantu

menambah pengurangan nyeri.

Dekstropropoksifen juga merupakan opioid lemah yang juga dikombinasikan dengan

parasetamol untuk mengurangi nyeri. Meskipun begitu insidens terjadinya pusing sangat

tinggi. Nordektropropoksifen, yang merupakan suatu metabolit, dapat menghasilkan depresi

sistem saraf sentral (CNS), pernapasan atau kariovaskuler.

Metadon sering digunakan untuk terapi pemeliharaan pasien yang ketergantungan opioid

karena bioavailabilitas oral yang baik (60-95%). Potensinya yang tinggi, durasi kerjanya yang

panjang, harga murah, aktivitas antagonistik NMDA dan aktivitas penghambat reuptake

serotonin berguna dalam mengobati nyeri kronik. Penggunaannya dalam mengobati nyeri

akut dibatasi oleh durasi kerja yang panjang dan tidak terprediksi dan resiko akumulasi

metabolit.

Fentanil merupakan opioid kuat yang sering digunakan untuk mengobati nyeri akut karena

kurangnya metabolit aktif dan onset kerja yang cepat.

Morfin adalah opioid yang sering digunakan secara luas dalam manajemen nyeri akut. Ia

dimetabolisme menjadi morfin-6-glukoronida dan morfin-3-glukoronida di hati. Morfin-6-

glukoronida adalah u-agonis dan lebih poten daripada morfin ketika morfin-3-glukoronida

memiliki afinitas yang rendah pada reseptor opioid dan tidak memiliki aktifitas analgesik. Ia

terkadang berkaitan dengan efek samping neurotoksik seperti alodinia, hiperalgesia, dan

mioklonus. Metabolit terakumulasi dalam keadaan disfungsi renal, dosis yang lebih tinggi,

kelompok usia yang lebih tua, dan dengan pemberian oral.

Petidin ialah opioid sintetik yang masih digunakan secara luas meskipun dengan berbagai

kerugiannya. Studi menunjukkan bahwa ia tidak lebih baik dari morfin dalam pengobatan

kolik renal dan bilier. Petidin menginduksi lebih banyak mual dan muntah dibandingkan

morfin saat digunakan parenteral. Akumulasi norpetidin berkaitan dengan efek samping

neuroeksitatori. Melihat fakta ini, penggunaan petidin diganti dengan opioid yang lain.

Tramadol adalah analgesik kerja sentral atipikal karena efek kombinasinya sebagai agonis

opioid (umumnya metabolitnya, O-desmetil-tramadol) dan penghambat reuptake serotonin

Page 6: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

dan noradrenalin. Ia dicatat sebagai opioid lemah oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Resiko

depresi pernapasan lebih rendah pada dosis ekuianalgesik dan tidak ,emekan respons ventilasi

hipoksik. Ia memiliki efek terbatas pada fungsi pergerakan gastrointestinal. Mual dan muntah

merupakan efek samping paling sering dan tramadol tidak meningkatkan insidens kejang saat

dibandingkan dengan agen analgesik lainnya.

Rute intravena memiliki keuntungan menghasilkan tingkat darah yang cepat dan dapat

diprediksi. Rute ini memungkinkan titrasi yang sesuai dari keperluan analgesik ke kebutuhan

pasien. Saat analgesia yang adekuat telah diperoleh dengan bolus IV, pemeliharaan dapat

diperoleh dengan infus IV atau SC, atau injeksi IM.

Rute intravena digunakan dalam unit perawatan intensif postoperatif atau unit kebutuhan

yang lebih tinggi untuk memperoleh kontrol nyeri yang cepat. Ia juga rute yang diminati pada

pasien yang hipotensi atau hipovolemik saat ia menghasilkan tingkat darah terapeutik yang

instan dan dapat diprediksi. Ketika infus berulang memberikan tingkat darah yang tetap,

harus diingat bahwa ia memerlukan 5 kali waktu paruh obat (20 jam dalam kasus morfin)

untuk memperoleh 95% konsentrasi keadaan tetap yang akhir. Kemudian, analgesia yang

tidak adekuat pada pasien yang memperoleh infus IV lebih baik dihadapi dengan bolus IV

dibandingkan dengan meningkatkan rasio infus obat.

Opioid juga dapat diberikan dengan rute SC sebagai injeksi intermitten atau sebagai infus

terus menerus melalui kanula kecil atau jarum kupu-kupu yang ditempatkan di jaringan

subkutan lengan atas. Seperti rute IM, rute SC juga menghasilkan tingkatan darah yang tidak

dapat diprediksi jika perfusi perifer jelek (seperti yang terjadi di hipovolemia dan

hipotermia). Absorpsi lambat dari depot obat dapat terjadi saat perfusi dikembalikan

menghasilkan tingkatan plasma yang sangat tinggi dari obat. Meskipun begitu, dengan

adanya perfusi jaringan normal, rute SC memiliki keuntungan menghasilkan tingkatan

plasma yang stabil.

Pemberian obat transdermal memungkinkan pemberian obat parenteral terus-menerus tanpa

memerlukan peralatan jarum atau suntuk. Obat larut lemak seperti fentanil adalah sesuai.

Tempelan fentanil transdermal tersedia dengan tingkat pemberian yang berbeda yang berkisar

dari 25 hingga 100 mikrogram/jam. Tempelan yang tersedia saat ini memiliki onset lambat

dan offset kerja dan absorpsi berlanju hingga 72 jam saat tempelan ditempatkan.

Efek merugikan dari opioid

Efek opioid merugikan yang umum adalah sedasi, pruritus, mual, muntah, melambatnya

fungsi gastrointestinal dan retensi urin. Efek merugikan yang berarti secara klinis berkaitan

Page 7: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

dengan dosis. Saat dosis ambang dicapai, setiap kenaikan 3-4 mg dosis ekuivalen morfin per

hari berkaitan dengan tambahan satu peristiwa merugikan atau satu hari rawat pasien di

rumah sakit.

Depresi pernapasan adalah efek samping yang peling ditakuti yang biasanya dihindari dengan

titrasi hati-hati dari dosis terhadap efek. Mayoritas studi yang mempelajari hipoksia yang

berkaitan dengan opioid di periode postoperatif menemukan bahwa pengukuran rasio

pernapasan sebagai indikator depresi pernapasan memiliki nilai yang kecil saat episode

hipoksemik sering terjadi pada tidak adanya rasio respirasi yang rendah. Sedasi adalah

indikator klinis awal yang paling baik dari akumulasi obat.

Pemberian oksigen 48 jam diikuti operasi mayor adalah menguntungkan, khususnya pada

lansia dan pasien resiko tinggi, karen kaitan antara hipoksemia postoperatif, takikardia dan

iskemi miokard.

Mual dan muntal postoperatif (PONV) merupakan efek merugikan dari opioid yang paling

sering. Gejala dan tandanya dikurangi oleh droperidol, deksametason, dan ondansetron yang

semuanya efektif. Penghilangan nitrous oksida dan propofol dalam sekuens anastesi kurang

efektif dalam menurunkan insidens PONV.

Pruritus yang diinduksi opioid biasanya diobati dengan nalokson, naltrekson, droperidol,

ondansetron atau infus propofol dosis rendah. Dosis efektif yang minimum dari obat-obat ini

masih belum diketahui.

Analgesia yang dikontrol pasien

Analgesia yang dikontrol pasien (PCA) adalah teknik dimana pasien memberikan sendiri

sejumlah kecil opioid (biasanya dengan rute IV atau SC) ketika mereka merasakan nyeri.

Teknik ini tidak hanya memberikan pasien kendali dari nyeri mereka, tapi juga

menanggulangi permasalahan yang berkaitan dengan variabilitas farmakodinamik dan

farmakokinetik diantara individu pasien.

Kebanyakan alat PCA intravena (IV-PCA) terdiri dari pompa yang dikontrol mikroprosesor

yang dipicu dengan menekan tombol. Saat ditekan, jumlah yang telah diatur sebelumnya

(dosis tambahan) dari obat diberikan secara intravena. Timer di pompa mencegah pemberian

bolus hingga periode tertentu (interval penguncian) berlalu. Dengan demikian, pasien

individu dapat mentitrasi opioid sesuai kebutuhan mereka dalam batasan keselamatan yang

diambil oleh ahli anastesi. Dosis tambahan dan periode penguncian untuk beberapa opioid

yang sering digunakan untuk analgesia yang dikontrol pasien diberikan di tabel 2.

Page 8: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Analgesia yang adekuat dapat didiirikan dengan mentitrasi dosis loading intravena untuk

memulai administrasi opioid yang dikontrol pasien. Lansia atau pasien terkompromisasi

memerlukan dosis opioid yang lebih kecil.

Kebanyakan pompa PCA memberikan pilihan infus latar belakang yang berlanjut pada mode

dasar yang dikontrol pasien. Teknik ini memiliki keuntuungan memberikan tingkatan darah

yang lebih terkontrol dan peningkatan analgesia (khususnya saat tidur) dengan pengaturan

kebutuhan opioid yang dilakukan sendiri oleh pasien. Kerugiannya mencakup kesulitan

dalam menentukan tingkat infus latar belakang yang optimal (memungkinkan overdosis pada

beberapa individu) dan kehilangan salah satu dari fitur keselamatan dari teknik PCA karena

pasien yang tertidur dapat berlanjut pada menetima medikasi diluar kebutuhan mereka. Infus

latar belakang sekarang tidak dirkomendasikan pada orang dewasa untuk penggunaan rutin;

meskipun begitu, hal ini dapat berguna pada pasien yang toleran-opioid.

Saat akses IV sulit diperoleh, PCA dapat diberikan melalui rute SC. Pompa PCA standar

direkatkan pada alat administrasi dapat digunakan untuk memberi obat dalam taraf SC

melalui kanula atau jarum kupu-kupu. Konsentrasi obat biasanya ditingkatkan 5 kali lipat

untuk mencegah administrasi volume cairan jumlah besar ke dalam bidang subkutan.

Analgesia epidural yang dikontrol pasien (PCEA) adalah rute kedua yang paling sering

digunakan untuk pemberian PCA untuk manajemen nyeri akut. Keuntungannya mencakup

analgesia yang lebih superior, peningkatan kepuasan pasien dan penurunan efek samping.

Variabel PCEA yang optimal belum ditentukan dengan jelas. Untuk analgesia postoperatif, 2

sampai 4 ml dari 0.0625% hingga 0.25% bupivakain dengan interval penguncian 10 sampai

20 menit dan infus kontinu 3 hingga 10 ml/hari umumnya digunakan. Infus kontinu telah

direkomendasikan dengan PCEA untuk mengoptimalisasi keuntungan fisiologis potensial

dari analgesia epidural dan mempertahankan blokade neural secara kontinu. Menggabungkan

opioid larut lemak memberikan analgesia yang lebih kuat.

Rute lain dari pemberian PCA mencakup oral PCA, intranasal PCA (PCINA), transdermal

PCA dan regional PCA (PCRA).

Analgesia neuraksial

Opioid intratekal

Opioid intratekal sekarang ini digunakan sendiri secara luas atau sebagai tambahan dalam

pengobatan nyeri akut. Dalam spinal cord, mereka berikatan dengan reseptor spesifik di

tanduk dorsal. Menggabungkan opioid dosis rendah dengan agen anastesi untuk pemberian

intratekal tampak meningkatkan kecepatan onset, densitas blok dan durasi analgesia.

Page 9: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Opioid larut lemak tinggi seperti fentanil dan sufentanil tercatat untuk penyebaran rostral

yang minimal, ikatan analgesia dermatomal yang relatif kecil dan aksi yang memiliki durasi

yang terbatas tidak seperti opioid hidrofilik seperti morfin yang mempunyai derajat

penyebaran rostral yang lebih besar, depresi pernapasan yang tertunda,dan

analgesiadermatomal tambahan. Studi saat ini menunjukkan pemberian intratekal dari opioid

lipofilik juga dapat menghasilkan depresi pernapasan yang terjadi 20-30 menit setelah injeksi.

Ini akibat distribusi cepat obat dalam cairan serebrospinal. Meskipun begitu efek ini hanya

bertahab beberapa menit tidak seperti morfin yang memuncak kurang lebih 6 jam dan

terdapat selama 18-24 jam.

Secara internasional, opioid dan analgesik tambahan disediakan sebagai preparat yang

mencakup bahan pengawer. Benzil alkohol dan parabens dapat menyebabkan neurotoksisitas

setelah pemberian intratekal dan oleh karena itu dihindari. Khasiat farmakologis dari opioid

yang sering digunakan intratekal dirangkum di tabel 3. Dosis intratekal optimal untuk

indikasi spesifik dirangkum di tabel 4.

Efek samping opioid intratekal mencakup pruritus, mual, dan muntah, retansi urin dan

depresi pernapasan.

Analgesia epidural

Rute epidural lebih populer untuk manajemen nyeri postoperatif sabaga teknik yang dapat

digunakan sendiri atau kombinasi dengan anastesi umum. Teknik epidural memberikan

penurunan nyeri lebih baik daripada opioid sistemik dan juga mengurangi insidens

komplikasi postoperatif. Kateter epidural lumbar dapat disimpan untuk periode yang lama.

Kateter epidural ditempatkan di lokasi yang sama dengan insisi dermatom tampak

memberikan analgesia yang lebih kuat. Analgesia segmental untuk bedah abdominal bagian

atas dapat diperoleh dengan menempatkan kateter di tingkat T8 hingga T10. Morfin diberikan

di daerah lumbar dan dapat memberikan analgesia postoperatif yang baik untuk abdomen

bagian atas dan juga bedah thoraks. Sifat hidrofilik dari morfin menghasilkan penyebaran

rostralnya, memungkinkannya memperoleh pengurangan nyeri yang baik untuk prosedur

abdominal bagian atas dan thoraks mengikuti administrasi melalui kateter yang ditempatkan

di daerah lumbar. Fentanil, di sisi lain, adalah lipofilik dan oleh karenanya perlu diberikan

dekat dengan tingkat segmental dimana analgesia diperlukan. Morfin memiliki onset kerja

yang lebih lambat jika dibandingkan dengan fentanil. Sebagai tambahan, fentanil cenderung

menghasilkan blok segmental yang lebih terdefinisi dibandingkan morfin.

Page 10: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

Dosis bolus inisial morfin berkisar pada 1 hingga 6 mg, diikuti infus 0.1 hingga 1.0 mg/jam.

Dosis bolus menghasilkan analgesia dalam 30 menit dan efeknya bertahan 6 sampai 24 jam.

Fentanil dalam bolus 25 hingga 100 mikrogram menghasilkan analgesia dalam 5 menit,

efeknya bertahan 1.5 hingga 3 jam. Jumlah infus fentanil 25 hingga 100 mikrogram/jam.

Pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih rendah untuk menghasilkan analgesia yang

efektif. Dosis total yang efektif dari morfin epidural yang dibutuhkan dalam 24 jam dapat

diprediksi dengan rumus :

Dosis morfin epidural 24 jam yang efektif (mg) = 18 - (umur x 0.15)

Opioid dapat diberikan sendiri atau dengan bupivakain 0.0625 - 0.125 %. Saat opioid

diberikan dengan rute epidural atau sub arachnoid, harus dihindari penggunaan penggunaan

opioid atau sedatif sistemik lainnya. Pasien harus dipantau untuk efek opioid sistemik seperti

penurunan rasio pernapasan atau sedasi yang berlebihan. Saat dikombinasikan dengan

anastesi lokal, harus juga dipantau hemodinamik dan blokade motorik.

DepoDur ialah formulasi analgesik baru dari morfin untuk manajemen nyeri postoperatif

yang ditujukan untuk pemberian epidural. Ia terdiri dari morfin yang terbungkus dalam

liposom untuk memberikan pelepasan tambahan dari obat. DepoDur diberikan sebagai injeksi

epidural tunggal sebelum operase telah menunjukkan depat menghasilkan penurunan nyeri

hingga 48 jam.

Teknik analgesik nonopioid

Jumlah yang meningkat dari operasi yang kompleks dilakukan pada dasar pasien rawat jalan

yang mana penggunaan IV-PCA, analgesia spinal atau epidural bukanlah teknik manajemen

nyeri. Penggunaan lebih lanjut dari opioid perioperatif berkaitan dengan efek samping seperti

PONV, pruritus, retensi urin dan ileus paralitik, teknik analgesik nonopioid berfungsi sebagai

tambahan untuk manajemen nyeri perioperatif. Teknik ini digabungkan sebagai bagian dari

teknik analgesia multimodal atau seimbang.

Teknik anastesi lokal

Infiltrasi lokal dari insisi dengan anastesi lokal jangka panjang, blok pleksus/saraf perifer, dan

blok neuraksial kontinu dapat memberikan analgesia yang efektif dan aman dalam periode

postoperatif. Sebagai tambahan, penggunaan ini dapat menurunkan insidens PONV. Infiltrasi

bupivakain 0.25% pada insisi bedah memberikan analgesia yang efektif untuk beberapa jam.

Dalam sikap yang serupa, teknik regional yang dapat direkomendasikan termasuk blok

interscalene untuk operasi bahu, blok nervus skiatik dan femoralis untuk operasi anggota

Page 11: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

gerak bagian bawah, blok interkostal untuk prosedur thoraks dan abdomen bagian atas, dan

analgesia interpleural untuk operasi batu kandung kemih dan ginjal (unilateral). Kerugian

teknik anastesi lokal adalah mereka efektif hanya selama 6-8 jam. Kontrol nyeri dapat

ditingkatkan dengan penggunaan teknik yang berlanjut untuk infus anastesi lokal (LA).

Suspensi LA kerja panjang dan formulasi pelepasan tertunda yang mencakup liposom /

polimer mikrosfer dapat mengecilkan kebutuhan sistem pemberian kateter berkesinambungan

di masa yang akan datang.

Analgesik nonopioid

Meskipun opioid dengan berbagai cara telah menjadi arus utama dalam teknik manajemen

nyeri, mereka tidak memberikan solusi lengkap di pasien yang mengalami nyeri postoperatif

yang berat. Penambahan analgesik nonsedasi, nonopioid pada suatu opioid sekarang

merupakan bentuk multimodal yang populer dari terapi yang memberikan analgesia yang

lebih ampuh dibandingkan obat itu sendiri. Saat analgesik nonopioid berfungsi sebagai

tambahan terapeutik terhadap opioid pada 24 hingga 48 jam pertama, mereka dapat

digunakan sebagai analgesik satu-satunya setelah 48 jam.

Obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) seperti asetaminofen, ibuprofen, ketorolak,

diklofenak dan penghambat COX-2 adalah obat yang populer untuk tujuan ini. Obat-obat ini

diberikan melalui rute oral, rektal, atau intramuskular untuk menambah analgesia berbasis

opioid. Mereka sering diberikan bersamaan dengan premedikasi dalam teknik yang disebut

"analgesia awal". Saat NSAID tradisional seperti asetaminofen, ibuprofen, ketorolak, dan

diklofenak menghambat bentuk COX-1 dan COX-2 dari enzim siklo-oksigenase, NSAID

yang lebih baru menghambat bentuk yang dapat terinduksi dari enzim, enzim COX-2, yang

dilepaskan saat trauma bedah, sepsis, dan hipoksia.

Parasetamol (asetaminofen) digunakan dalam praktek klinik sebagai analgesik dan antipiretik

yang efektif, ia bekerja dengan menghambat siklo-oksigenase-2 (COX-2) pusat di sistem

saraf pusat. Ia juga menghambat pusat putatif 'COX-3, yang secara selektif rentan terhadap

parasetamol. Ia memodulasi penghambatan jalur serotonergik yang turun dan mencegah

produksi prostaglandin di tingkatan transkripsi seluler.

Asetaminofen yang diberikan sendiri efektif untuk nyeri yang ringan dan sedang. Ia

merupakan tambahan yang berguna untuk opioid dalam nyeri yang lebih parah. Ia digunakan

secara oral dalam dosis 10-15mg/kg setiap 4 hingga 6 jam dengan dosis maksimum tidak

melebihi 100 mg/kg/hari. Dosis oral asetaminofen pada dewasa ialah 650 hingga 975 mg

setiap 4 hingga 6 jam. Dosis oral tunggal yang melebihi 100 mg/kg dapat menyebabkan

Page 12: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

kerusakan hati yang parah dan nekrosis tubular akut. Obat ini juga dapat diberikan secara

rektal dengan dosis inisial 35-40 mg/kg, diikuti 20 mg/kg setiap 6 jam. Preparat parasetamol

intravena sama efektif dengan ketorolak dan setara dengan morfin setelah operasi.

Ibuprofen oral dalam dosis 6-10 mg/kg tiap 6 jam dapat menghasilkan penurunan 30% di

keperluan opioid.

Ketorolak intramuskular (dosis 10 dan 30 mg) sama efektifnya dengan morfin IM (12 mg)

untuk mengurangi nyeri pada hari 1 dan 2 postoperatif setelah operasi mayor. Studi pada

pasien yang menjalani kolesistektomi menunjukkan bahwa morfin (10mg IM) memberikan

analgesia yang lebih superior saat dibandingkan dengan ketorolak (30 mg IM). Regimen

dosis biasa untuk ketorolak ialah 30 mg IM pada awalnya, diikuti dengan 10 hingga 30 mg

IM tiap 4 hingga 6 jam. Perawatan yang diberikan tidak melebihi dosis 120 mg/hari untuk

lebih dari 5 hari. Diklofenak dapat diberikan dengan rute rektal atau IM sebagai tambahan

terhadap medikasi opioid dalam manajemen nyeri postoperatif. Saat supposituria rektal

tersedia dalam sediaan 12.5, 25, 50 dan 100 mg, sediaan intramuskular tersedia dalam ampul

75 mg/3ml. Penghambat COX-2 seperti rofecoxib dan valdecoxib tersedia untuk pemberian

oral. Obat-obatan ini diberikan per oral sebagai analgesik awal bersamaan dengan

premedikasi. Parecoxib, suatu obat awal dari valdecoxib, adalah satu-satunya penghambat

COX-2 injeksi yang tersedia. Ia diberikan pada dosis 40 mg IV dua kali sehari, dosis pertama

langsung diberikan setelah operasi. Tabel 5 menunjukkan penghambat COX-2 yang tersedia

dan dosisnya.

Berdasarkan bukti yang ada, NSAID tidak cukup efektif sebagai agen tunggal untuk

memberikan penurunan nyeri setelah operasi mayor meskipun mereka efektif pada operasi

minor dan sedang. Saat dikombinasikan dengan opioid, mereka menurunkan kebutuhan

opioid dan juga memperkecil efek yang merugikan yang berkaitan dengan opioid. Mereka

sering meningkatkan waktu perdarahan dan dapat mengakibatkan peningkatan kehilangan

darah. Tapi tinjauan sistematik saat ini dari literatur menunjukkan bahwa bukti menunjukkan

kecenderungan perdarahan masih belum jelas. Penghambat COX-2 memiliki pengaruh

negatif pada pertumbuhan tulang. Oleh karena itu, penghambat COX-2 tidak digunakan lebih

dari 3 hingga 5 hari setelah operasi.

Tambahan analgesik

Antagonis NMDA : Ketamin, dekstrometorfan, magnesium dan adenosin telah dicoba

sebagai penambah analgesik untuk manajemen nyeri postoperatif. Hal ini tampaknya

menghambat arus reseptor gerbang kalsium yang memperkeras pelepasan neuronal. Ketamin

Page 13: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

tampak sebagai tambahan yang berguna saat diberikan sebagai bolus IV, infus IV

berkesinambungan (0.5 mg/kg/jam hingga 20 mg/jam) atau infus epidural (0.25 mg/kg/jam)

tanpa peningkatan apapun dari efek SSP yang merugikan.

A2 agonis : klonidin dosis rendah terbukti menjadi analgesik tambahan yang berguna saat

diberikan secara neuroaksial (150 µg intratekal atau 2-3 µg/kg epidural), dan dalam

kombinasi dengan penghambat saraf perifer (0.5 µg/kg). Dosis yang lebih tinggi berkaitan

dengan efek yang merugikan seperi sedasi, bradikardi dan hipotensi dan harus dihindari.

Neostigmin : pemberian intratekal 25-100 µg neostigmin berhubungan dengan tingginya

insidens mual dan untah, bradikardi, hipotensi, berkeringat, agitasi dan distras. Dengan

demikian, ia tidak direkomendasikan untuk penggunaan intratekal. Neostigmin dilaporkan

sebagai tambahan analgesik untuk penggunaan intra-artikular dan epidural.

Nalokson, kortikosteroid dan gabapentin adalah obat-obatan lainnya yang masih dipelajari

untuk digunakan sebagai tambahan analgesik.

Teknik nonfarmakologis

Krioanalgesia

Pendinginan yang intensif dari nervus perifer pada suhu dibawah -5 hingga -20°C

menyebabkan disintegrasi akson dan menghancurkan selubung mielin tanpa mengganggu

perineurium dan epineurium. Hal ini menghasilkan gangguan konduksi saraf (dan

pengurangan nyeri) untuk beberapa minggu. Cryoprobe tipikal menggunakan sistem untuk

menghantarkan nitrous oksida terkompresi atau karbon dioksida melalui lubang kecil di

pinggirannya untuk menghasilkan pendinginan yang intensif. Krioanalgesia digunakan di

beberapa prosedug bedah tertentu. Ia dapat digunakan secara langsung untuk saraf interkostal

pada thorakotomi atau saraf ilioinguinal saat perbaikan hernia. Lesi juga dapat dibuat

perkutaneus melalui galian kecil.

Teknik elektroanalgesik

Hal ini mencakup stimulasi saraf elektrikal transkutaneus (TENS), TENS seperti akupunktur

(ALTENS), terapi neuromodulasi perkutaneus dan stimulasi elektrikal akupoin transkutaneus

(TAES). Teknik seperti itu mengurangi kebutuhan opioid postoperatif hingga 60%.

TENS adalah teknik sederhana, non invasif yang memberikan analgesia postoperatif.

Mekanisme bagaimana TENS mengurangi nyeri ialah melalui modulasi impuls nosiseptif di

sumsum tulang belakang sebagaimana diprediksi oleh teori pengandalian gerbang yang

dicetuskan oleh Melzack dan Wall. Segera setelah penutupan luka, elektroda adhesif yang

Page 14: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

steril digunakan pada kulit di sisi manapun pada insisi. Luka dirawat dam elektroda

disambung ke stimulator, stimulator diatur untuk menghantarkan gelombang asimetris,

bifasik dengan kekuatan arus 12-20 mA, frekuensi stimulus 10-100Hz dan lebar denyut 60-

150 mikrodetik. Hal ini menuntun pada sensasi getar, geli, sejuk tapi tidak nyeri. Pengaturan

pada stimulator kemudian diatur untuk menghasilkan manfaat maksimum.

Teknik nonfarmakologi lainnya mencakup stimulasi laser, ultrasound, dan hipnoterapi. Studi

yang terkontrol baik diperlukan mendirikan manfaat dari teknik ini.

Kelompok khusus dalam manajemen nyeri

Anak-anak

Anak-anak merupakan kategori khusus yang memerlukan perhatian spesifik untuk

manajemen nyeri postoperatif. Di masa lampau, nyeri sering tidak tertanggulangi pada anak-

anak akibat adanya kesalahpahaman konsep. Anak-anak juga merasakan nyeri seperti orang

dewasa, dan tidak benar adanya jika anak-anak tidak mengingat nyeri. Nyeri dirasakan oleh

anak-anak memberikan efek fisiologis dan psikologis yang serupa. Hal ini juga terdapat pada

neonati dan bayi preterm.

Penilaian nyeri dalam kelompok usia pediatri memperoleh kendala karena perbedaan

perkembangan, kognitif dan emosional. Anak-anak sering ketakutan dengan semua

pengalaman postbedah sehingga mereka merasakah nyeri untuk rasa takut dari sesuatu yang

buruk yang sedang menimpa mereka. Anak-anak takut dengan injeksi IM. Kemudian, rute

alternatif pemberian obat seperti rute sublingual, rektal, dan transdermal lebih populer.

Bersihan opioid lebih lama pada neonati dan bayi. Hal ini membuat populasi pediatri menjadi

lebih rentan terhadap efek depresi pernapasan akibat opioid.

Epidural kaudal adalah rute yang populer untuk menurunkan nyeri pada prosedur abdomen

bagian bawah, anggota gerak bawah dan perineal. Rumus Armitage diberikan untuk

menghitung dosis obat analgesia kaudal.

Teknik regional lainnya dapat juga digunakan untuk memberikan penurunan nyeri yang

bagus pada anak. Blok pada nervus dorsalis penis atau penggunaan jeli lignokain dapat

memberikan analgesia postoperatif saat sirkumsisi. Blok pada nervus iliohipogastrik dan

ilioinguinal memberikan penurunan nyeri yang bagus pada herniotomi dan orchidopeksi.

Blok nervus infraorbital menurunkan nyeri pada operasi bibir sumbing.

NSAID oral, rektal, atau parenteral berguna dalam memberikan analgesia awal pada anak.

Meskipun begitu, sama seperti pada orang dewasa, hal ini sebaiknya dianggap sebagai

Page 15: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

tambahan dibandingkan agen primer untuk manajemen nyeri. NSAID memiliki efek

merugikan yang serupa sebagaimana pada dewasa.

Asetaminofen oral digunakan pada dosis 10-20 mg/kg setiap 6 jam denga dosis keseharian

maksimum tidak melebihi 100mg/kg pada anak normal. Dosis oral maksimum asetaminofen

sehari tidak boleh melebihi 75 mg/kg pada neonati atau 40 mg/kg pada prematur yang kurang

dari 32 minggu. Asetamineofen rektal digunalan dengan dosis inisial 35-40 mg/kg diikuti 20

mg/kg setiap 6 jam.

Ibuprofen digunakan dengan dosis 10 mg/kg setiap 6 hingga 8 jam. Diklofenak oral

digunakan dengan dosis 0.5-1.0 mg/kg setiap 8 jam. Supposituria rektal diklofenak terdapat

dalam sediaan 12.5, 25, 50 dan 100 mg. Ketorolak intramuskular diberikan dalam dosis 0.25-

0.5 mg/kg setiap 6 jam.

Analgesia persalinan post-sesaria

Pengurangan nyeri postoperatif yang efektif pada wanita setelah seksio sesaria memberikan

berbagai manfaat seperti penurunan resiko penyakit tromboemboli, perawatan bayi yang

lebih baik pada periode peripartum dan fasilitasi menyusu yang efektif. Obat pilihan yang

digunakan harus berdasarkan pengetahuan dari pengaruh potensialnya pada menyusu dan

pada bayi yang ditransfer secara sekunder melalui susu manusia (tabel 7). Disarankan dosis

maternal sekecil mungkin dari analgesik yang akan digunakan. Menyusu sebaiknya dihindari

pada waktu konsentrasi obat puncak dalam susu dan bayi harus diawasi untuk efek obat yang

ditransfer melalui susu.

Morfin yang diberikan secara IM / IV / infus epidural terbukti aman pada periode

postoperatif. Hanya 6% dari dosis yang diberikan ditransfer dari susu ibu. Saat

bioavailabilitas oral pada bayi sekitar 25%, hanya sejumlah kecil yang mencapai bayi. Hanya

3% fentanil yang disekresi di susu ibu dan aman untuk periode postopertif. Norpetidin, yang

merupakan metabolit dari petidin, terakumulasi di susu ibu dengan penggunaan berulang dari

petidin. Bayi dari ibu yang terpapar dengan petidin PCA-IV didapati kurang waspada dan

berorientasi pada hari ke 3 dan ke 4 setelah seksio sesaria. Dengan demikian, petidin tidak

dianjurkan untuk penggunaan berulang pada periode postoperatif seksio sesaria. Analgesia

neuraksial menjadi sangta populer dengan peningkatan penggunaan anastesi regional untuk

seksio sesaria. Dosis tunggal 0.075 hingga 0.5 mg morfin intratekal pada waktu persalinan

sesaria memberikan analgesia yang baik hingga 24 jam. Pruritus tampak menjadi efek

samping pada pasien ini. Opioid yang sering digunakan intratekal kainnya antara lain petidin,

burenorfin, fentanil, dan nalbufin. Opioid epidural sendiri atau dengan kombinasi dengan

Page 16: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

agen anastesi lokal sering digunakan untuk penurunan nyeri postoperatif dan menghasilkan

analgesia kualitas baik. Kateter epidural dapat ditinggalkan in situ selama periode

postoperatif untuj infus epidural berkelanjutan.

NSAID sendiri tidak cukup efektif mengobati nyeri post-seksio sedaria. Meskipun begitu,

inklusi pendekatan multimodal ini terhadap penurunan nyeri sangat sukses baik dalam

meningkatkan kualitas anastesi akibat opioidyang diberikan neuroaksial atau sistemik dan

menurunkan efek samping. Kerugian penggunaan NSAID berkaitan dengan efek samping

gastrointestinal dan disfungsi platelet. Dalam hal ini, penghambat COX-2 lebih baik.

Meskipun begitu penghambat COX-2 disekresi di susu dan terdapat sedikit pengalaman

dalam menggunakan obat ini di wanita yang menyusui.

Manajemen nyeri di usia lanjut

Kecanggihan dari teknik anastesi dan bedah berarti bahwa meningkatnya pasien usia lanjut

yang menjalani operasi mayor. Faktor yang dapat digabungkan untuk membuat kontrol yang

efektif dari nyeri akut pada orang lanjut usia lebih sulit termasuk insidens yang lebih tinggi

dari penyakit yang ada dan medikasi yang digunakan (yangmana meningkatkan resiko

interaksi obat-obat dan penyakit obat); perubahan berkaitan dengan usia dalam fisiologi,

farmakodinamik dan farmakokinetik; gangguan respons terhadap nyeri; dan kesulitan dengan

penilaian nyeri, termasuk permasalahan yang baerkaitan dengan kerusakan kognitif.

Kerusakan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat menyebabkan terjadinya

penurunan dalam dosis bolus dan infus opioid; dan kebutuhan titrasi dan pemantauan yang

berkesinambungan agar pasien tidak overdosis. Akibat degenerasi neuronal sensoris dan

perubahan neurokimia yang berkaitan dengan usia, pasien lanjut usia memiliki ambang nyeri

yang lebih tinggi. Tapi, kemampuan mereka untuk mentoleransi nyeri yang hebat terbatas dan

perubahan fisiologis seperti hipertensi dan takikardia dapat mengganggu. Delirium adalah

bentuk umum dari kerusakan kognitif pada orang tua di periode postoperatif. Mereka

memerlukan lebih banyak waktu untuk memahami dan merespon pertnayaan mengenai nyeri.

Skala deskriptif verbal (VDS) tampak lebih berguna dibandingkan VAS atau NRS (skala nilai

numerikal) pada orang lanjut usia.

Lebih aman untuk menggunakan kombinasi teknik farmakologi dan nonfarmakologi pada

pemulihan nyeri di orang tua.

NSAID dan Parasetamol : Orang lanjut usia lebih menderita efek samping renal dan lamung

akibat pemberian NSAID. Gagal ginjal adalah perhatian utama karena mereka tampaknya

memiliki kerusakan ginjal sebelumnya. Penghambat COX-2 selektif menurunkan insidens

Page 17: MANAJEMEN NYERI POSTOPERATIF

komplikasi gastrointestinal dan tidak mempunyai efek anti platelet. Meskipun begitu,

insidens efek samping renal serupa dengan NSAID nonselektif. Parasetamol terbukti aman

dan tidak memerlukan penurunan dosis pada orang tua.

Opioid : Pasien lanjut usia memerlukan opioid yang lebih sedikit daripada pasien yang muda.

Meskipun begitu, variabilitas yang besar masih ada dan dosis harus dititrasi ke efek pada

pasien. Kebutuhan morfin dan fentanil diturunkan dua hingga empat kali lipat. Eliminasi

waktu paruh opioid diperpanjang dan akumulasi cepat metabolisme seperti morfin-6-

glukoronida atau norpetidin dapat terjadu karena penurunan fungsi renal. Sedasi terjadi lebih

cepat dari depresi pernapasan. Dengan demikian, dosis harus dititrasi di bawah pengawasan

ketat. Insidens pruritus, mual dan muntah kurang pada pasien lansia. PCA merupakan metode

efektif dari analgesia postoperatif dengan toleransi pasien yang lebih baik, penurunan

kebingungan dan penurunan insidens komplikasi paru.

Anastesi lokal : Pasien tua lebih sensitif pada kerja agen anastesi lokal karena perlambatan

kecepatan konduksi neuron dan penurunan jumlah neuron. Durasi blok apidural dan

subarakhnoid diperpanjang. Saat anastesi lokal dan opioid digunakan di kombinasi untuk

teknik epidural yang berkesinambungan untuk perbaikan nyeri postoperatif, dosis berbasis

usia atau rasio infus seperti yag didiskusikan sebelumnya digunakan. Individu lanjut usia

rentan terhadap hipotensi selama analgesia neuraksial.