manajemen syok hemoragik

18
Manajemen Syok Hemoragik Pendahuluan Syok adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sistem kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan, keadaan ini menyebabkan hipoksia, gangguan metabolisme seluler, kerusakan jaringan, gagal organ dan kematian. Patofisiologi syok perdarahan adalah terjadi kekurangan volume intravaskuler menyebabkan penurunan venous return sehingga terjadi penurunan pengisian ventrikel, menyebabkan penurunan stroke volume dan cardiac output, sehingga menyebabkan gangguan perfusi jaringan . Resusitasi pada syok perdarahan akan mengurangi angka kematian. Pengelolaan syok perdarahan ditujukan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreks hemodinamik, kontrol perdarahan, stabilisasi volume sirkulasi, optimalisasi transpor oksigen dan bila perlu pemberian vasokonstriktor bila tekanan darah tetap rendah setelah pemberian loading cairan. Pemberian cairan merupakan hal penting pada pengelolaan syok perdarahan dimulai dengan pemberian kristaloid/koloid dilanjutkan dengan transfusi darah komponen. Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif masih merupakan masalah klinis yang penting. Strategis terapi termasuk mempertahankan perfusi jaringan, koreksi hipotermi dan anemia, dan penggunaan produk hemostatik

Upload: bagirdm10

Post on 13-Dec-2014

77 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Manajemen Syok Hemoragik

Manajemen Syok Hemoragik

 

Pendahuluan

Syok adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sistem kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi

jaringan, keadaan ini menyebabkan hipoksia, gangguan metabolisme seluler, kerusakan jaringan, gagal organ dan

kematian.

Patofisiologi syok perdarahan adalah terjadi kekurangan volume intravaskuler menyebabkan penurunan venous

return sehingga terjadi penurunan pengisian ventrikel, menyebabkan  penurunan stroke volume dan cardiac

output, sehingga  menyebabkan gangguan perfusi jaringan .

Resusitasi pada syok perdarahan  akan mengurangi angka kematian. Pengelolaan syok perdarahan ditujukan

untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreks hemodinamik, kontrol perdarahan,

stabilisasi volume sirkulasi, optimalisasi transpor oksigen  dan bila perlu pemberian vasokonstriktor bila tekanan

darah tetap rendah setelah pemberian loading cairan. Pemberian cairan merupakan hal penting pada pengelolaan

syok perdarahan dimulai dengan pemberian kristaloid/koloid dilanjutkan dengan transfusi darah komponen.

Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif masih merupakan masalah klinis yang penting. Strategis

terapi termasuk mempertahankan perfusi jaringan, koreksi hipotermi dan anemia, dan penggunaan produk

hemostatik untuk mengoreksi microvascular bleeding.

STADIUM-STADIUM SYOK

Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversible sebagaimana

dilukiskan dalam gambar berikut:

Stadium 1 ANTICIPATION STAGE

Page 2: Manajemen Syok Hemoragik

Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas normal. Biasanya masih cukup

waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.

Stadium 2. PRE-SHOCK SLIDE

Gangguan sudah bersifat sistemik.

Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau batas bawah kisaran  normal.

Page 3: Manajemen Syok Hemoragik

 

Sadium 3 COMPENSATED SHOCK

Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu kondisi yang disebut

"normotensive, cryptic shock"  Banyak klinisi gagal mengenali bagian dini dari stadium syok ini. Compensated

shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill

2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.

Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE

Page 4: Manajemen Syok Hemoragik

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena dan/atau vasopresor

 

Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK

Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.

 

Page 5: Manajemen Syok Hemoragik

Klasifikasi Syok Hemoragik

Derajat syok hemoragik bisa secara kasar ditaksir menurut beberapa parameter klinis, namun banyak ditentukan

oleh respon terhadap resusitasi cairan 1.

 

Tatalaksana syok hemoragik

Terapi awal pada perdarahan akut harus melibatkan tatalaksana jalan napas, mengusahakan ventilasi dan

oksigenasi adekuat, mengendalikan perdarahan eksternal (jika ada), dan melindungi medula spinalis (jika

berpotensi cedera). Resusitasi Cairan harus memenuhi objektif: (1) memulihkan volume intravaskular yang cukup

untuk mengatasi hipoperfusi sistemik dan membatasi hipoperfusi regional; (2) mempertahankan kapasitas

pengangkut oksigen yang adekuat sehingga penyampaian oksigen ke jaringan memenuhi kebutuhan oksigen yang

kritis; dan (3) membatasi kehilangan eritrosit sirkulasi. Sayang, tidak ada parameter tepat yang tersedia dan

memungkinkan klinisi mencapai tiga sasaran ini ditengah-tengah perubahan fisiologis yang dinamis pada

Page 6: Manajemen Syok Hemoragik

perdarahan akut dan resusitasi. Namun demikian, pasien mungkin sekali memperoleh manfaat dari upaya klinis

untuk mempertahankan imbang ini sebelum perdarahan yang berlangsung bisa dikendalikan dengan operasi.

 

Resusitasi Cairan

Penggantian volume intravaskular untuk mengatasi perdarahan merupakan dogma yang telah diterima selama

puluhan tahun. Pemulihan volume intravaskular dan tekanan arteri normal umumnya selalu diterima. Yang

menjadi silang pendapat adalah cairan resusitasi yang optimal itu apa. Namun, dalam beberapa puluh tahun

terakhir, praktek resusitasi pasien ke tekanan darah normal telah dipertanyakan. Kajian-kajian dini

penggantian volume agresif yang dilakukan pada model perdarahan pada hewan. Pada keadaan ini,

normovolemia yang cepat dicapai akan menghasilkan prognosis yang baik tanpa efek samping nyata.

model laboratorium tidak mencerminkan situasi klinis dengan tepat. Kebanyakan pasien syok hemoragik belum

terkontrol perdarahannya sebelum resusitasi cairan dimulai. Fakta ini menimbulkan kekhawatiran apakah tekanan

darah normal justru bisa merugikan dengan memperhebat perdarahan yang sedang berlangsung dan akhirnya

memperburuk prognosis. Pembentukan bekuan pada daerah daerah kerusakan pembuluh darah difasilitasi dengan

tekanan darah yang lebih rendah selama perdarahan. Tekanan darah yang bertambah bisa melepas sumbatan yang

baru terbentuk dan rapuh. Karena larutan kristaloid tidak memiliki kapasitas membawa oksigen, setiap

eksaserbasi perdarahan yang diakibatkan dari pemberian kristaloid akan mengurangi kapasitas darah sirkulasi

dalam membawa oksigen. Model laboratorium dari cedera vaskular akut dengan perdarahan tak terkendali

menjelaskan bahwa peningkatan tekanan darah arteri ke kisaran normal meningkatkan laju perdarahan yang

sedang berlangsung. Berangkat dari ini muncullah konsep volume terbatas ini atau resusitasi “hipotensif”.

Tujuan dari pendekatan terbatas ini adalah menyediakan resusitasi cairan yang cukup untuk memelihara perfusi

organ vital dan menghindari kolaps kardiovaskular sementara menjaga tekanan darah arteri relatif rendah (misal,

mean arterial pressure  60 mm Hg) dengan harapan membatasi kehilangan sel darah merah lebih lanjut sebelum

pengendalian perdarahan dengan operasi dicapai. Efek buruk yang mungkin terjadi dari pendekatan ini adalah ada

daerah yang dikorbankan dengan hipoperfusi regional. Efek ini bergantung pada keparahan dan lama hipoperfusi.

Sirkulasi splanchnic yag paling dikhawatirkan karena ini merupakan kontributor utama dari perkembangan

disfungsi organ ganda.2  Sayangnya, penilaian klinis yang akurat terhadap hipoperfusi regional belum ada saat ini.

Jadi endpoint resusitasi yang optimal tidak jelas dan cenderung bervariasi dari satu pasien ke pasien lain. Suatu

Page 7: Manajemen Syok Hemoragik

uji klinis acak yang bertujuan mengevaluasi resusitasi hipotensif sampai tekanan darah sistolik 70 mm Hg tidak

memperlihatkan manfaat pendekatan ini dalam menurunkan mortalitas.4 Tekanan sasaran sebesar 70 mm Hg

susah dipertahankan, dengan TD sistolik pada kelompok hipotensif mencapai rata-rata 100 mm Hg. Ini

menunjukkan kesulitan dalam mencapai tekanan darah hipotensif yang spesifik dalam setting resusitasi syok

hemoragik yang bersifat dinamis. Dewasa ini, resusitasi volume-kecil masih sebagai konsep dan belum jelas

diperlihatkan memperbaiki  survival. Namun demikian, logis juga untuk mengingat konsep ini dan menghindari

resusitasi cairan berlebihan.

 

 

Transfusi Darah

Tidak ada patokan jelas kapan mengganti resusitasi kristaloid dengan darah, Tetapi umumnya diterima jika pasien

menunjukkan perbaikan hemodinamik minimal atau sedang setelah infus cepat 2 sampai 3 L kristaloid, maka

pasien tersebut membutuhkan transfusi darah. Namun demikian, bisa diterima untuk memberi darah segera jika

Page 8: Manajemen Syok Hemoragik

jelas pasien telah mengalami kehilangan banyak darah dan mendekati kolaps sirkulasi. Sebagian pasien mungkin

memberikan respon hemodinamik yang adekuat terhadap terapi awal dengan kristaloid yang bersifat sementara.

Pada kasus-kasus demikian, infus kristaloid dilanjutkan dari 2 sampai 3 L pertama bisa digunakan untuk

mendukung hemodinamik, selama perhatian ditujukan terhadap hemodilusi progresif dan efeknya terhadap

hantaran oksigen.2  Hemodilusi ini juga merendahkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit yang

dibutuhkan untuk hemostasis intrinsik di titik perdarahan. Penilaian serial terhadap kadar hemoglobin berguna

pada situasi demikian. An American Society of Anesthesiologists task force review mendapatkan bahwa kadar

hemoglobin daeah >10 g/dL (hematokrit >30 %) jarang memerlukan transfusi darah, sedangkan kadar <6 g/dL

(hematokrit <18 %) hampir selalu memerlukan transfusi darah. Ini menyisakan kisaran hemoglobin yang cukup

lebar—antara 6 dan 10 g/dL—ketika keputusan untuk memberikan darah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,

misal keberadaan proses penyakit dasar yang peka terhadap penurunan hantaran oksigen dan laju kehilangan

darah yang terus berlanjut. Bisa dipahami, saat kadar hemoglobin menurun, apalagi menjadi 8 g/dL atau kurang,

kecenderungan membutuhkan darah meningkat secara mencolok.

Bila mungkin, lebih disukai darah dari golongan sama yang telah diuji-silang. Namun pada setting akut dimana

tidak ada waktu untuk uji silang lengkap, darah golongan sama adalah opsi terbaik kedua disusul oleh darah

golongan O. Darah bisa diberikan sebagai whole blood atau packed RBC. Di AS, tidak ada persediaan whole

blood dan hanya ada  packed RBC. Pada perdarahan masif dengan resusitasi kristaloid dan darah yang cukup

banyak, transfusi fresh-frozen plasma dan trombosit mungkin diperlukan untuk memulihkan koagulopati

dilusional.

Transfusi eritrosit jelas memulihkan hemoglobin yang hilang, namun komponen darah yang disimpan bisa saja

tidak berfungsi penuh dan memiliki efek samping, yang tampaknya lebih besar jika disimpan lebih lama. Dengan

pengawet yang digunakan dewasa ini, eritrosit bisa disimpan sampai 42 hari dan telah dilaporkan bahwa usia

rata-rata unit darah yang diberikan di AS kira-kira berusia 21 hari. Eritrosit yang disimpan bisa kehilangan

deformabilitas. Ini membatasi kemampuannya melewati jaringan kapiler atau bisa menyumbat kapiler. Kurve

disosiasi oksigen berubah karena hilangnya 2,3-difosfogliserat dalam eritrosit, yang mempengaruhi pelepasan

oksigen ke jaringan. Beberapa uji klinis melaporkan perburukan iskemia splansnik dan meingkatnya kekerapan

disfungsi organ ganda yang berhubungan dengan transfusi eritrosit yang disimpan lebih dari 2 minggu. Oleh

karena itu, transfusi eritrosit walaupun sangat penting dalam syok hemoragik berat, memiliki keterbatasan-

Page 9: Manajemen Syok Hemoragik

keterbatasan dan efek samping potensial yang harus selalu diingat.

Transfusi PRC (packed red blood cell) dan produk darah lain bersifat esensial dalam tatalaksana syok hemoragik

5. Rekomendasi teranyar untuk pasien ICU yang stabil adalah target hemoglobin 7 sampai 9 g/dL; namun, tidak

ada uji acak prospektif yang membatasi regimen transfusi restriktif dan liberal pada pasien trauma dengan syok

hemoragik. Fresh frozen plasma (FFP) juga harus ditransfusi ke pasien dengan perdarahan masif atau perdarahan

dengan peningkatan waktu protrombin atau APTT 1.5 lebih besar dari kontrol. Data trauma memperlihatkan

keparahan koagulopati pada pasien yang baru masuk ICU memiliki nilai prediktif terhadap mortalitas. Ada data

yang memberi kesan perlunya transfusi liberal dari FFP pada pasen perdarahan, namun efektivitas klinis butuh

penelitian lanjut. Data baru yang dikumpulkan dari Rumah Sakit Angkatan Darat AS pada pasien yang mendapat

transfusi masif packed red blood cells (>10 unit dalam 24 jam) memberi kesan bahwa rasio tinggi dari plasma :

RBC  (1:1.4 units) diikuti dengan survival lebih baik. Trombosit harus ditransfusi pada pasien perdarahan untuk

mempertahankan kadar di atas 50 x 109/L. Ada indikasi potensial dari produk darah lain seperti konsentrat

fibrinogen, jika kadar menurun < 1 g/L. Obat-obat seperti recombinant activated coagulation factor 7, dan

antifibrinolitik  seperti  -aminocaproic acid, tranexamic acid , dan  aprotinin (protease inhibitor) semuanya

memiliki manfaat potensial pada perdarahan hebat namun membutuhkan penelitian lanjut.

Resusitasi dengan Koloid

Beberapa cairan koloid telah dipelajari secara eksperimen dan digunakan di klinis untuk tatalaksana syok

hemoragik. Koloid memiliki partikel dengan berat molekul besar dengan tekanan onkotik plasma serupa dengan

protein plasma. Oleh karena itu, koloid diharapkan bertahan di rongga intravaskular, menggantikan protein

plasma yang hilang sebagai akibat perdarahan, dan lebih efektif mengembalikan volume darah sirkulasi daripada

kristaloid. Dukungan terhadap kegunaan koloid adalah kekhawatiran akan  berpindahnya cairan kristaloid ke

interstisial, termasuk edema interstisial paru dengan gangguan difusi oksigen dan edema intra-abdomen dengan

berkurangnya perfusi usus. Akan tetapi, kondisi-kondisi patologis, seperti syok hemoragik dan sepsis,

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang bisa memungkinkan bocornya molekul koloid

ke ekstravaskular.

 

Page 10: Manajemen Syok Hemoragik

Kontroversi koloid vs kristaloid: Beberapa informasi tambahan

Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan praktisi

rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British Medical

Journal mempublikasi suatu meta-analisis pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji klinik acak

dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419 pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya albumin

meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD) Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran,

mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin, tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan

berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para penulis 6. Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline versus

Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru tentang isu ini. Dengan tersedianya berbagai koloid dengan

sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid vs koloid menjadi isu tambahan.

Berikut adalah ringkasan keunggulan dan kekurangan koloid maupun kristaloid

 

Koloid

 

Keunggulan Kekurangan

1. Ekspansi volume Plasma tanpa disertai

ekspansi volume interstisial

2. Ekspansi volume lebih besar dibandingkan

volume sama kristaloid

3. Masa kerja lebih panjang

4. Oksigenasi jaringan lebih baik

5. Gradien alveolar-arterial O2 lebih kecil

1. Anafilaksis

2. Mahal

3. Albumin bisa memperburuk depresi

miokard pada pasien syok, karena

berikatan dengan Ca++, yang pada

gilirannya menurunkan ion kalsium

4. Kemungkinan koagulopati dan

mengganggu uji silang golongan

darah

Page 11: Manajemen Syok Hemoragik

Kristaloid

Keunggulan Kekurangan

1. tersedia di mana-mana

2. komposisi menyerupai plasma (acetated

ringer, lactated ringer)

3. mudah disimpan pada suhu kamar

4. Bebas reaksi anafilaksis

5. ekonomis

1. efek volume lebih lemah dan singkat

dibandingkan koloid

2. oksigenasi jaringan tidak sebaik

koloid karena jarang antara

pembuluh darah dan jaringan lebih

besar

 

 

 

Walaupun edema interstisial merupakan komplikasi yang lebih potensial setelah resusitasi dengan kristaloid,

SAMPAI SEKARANG tidak ada bukti fisiologis, klinis dan radiologis bahwa koloid lebih baik daripada

kristaloid dalam penyulit edema paru.

Kajian SAFE

Dalam suatu meta-analisis baru-baru ini, terlihat peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi albumin.

Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan implementasi

SAFE study, yang disajikan oleh Simon Finfer,MD.7 Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000 pasien dari 16

ICU di Australia dan Selandia Baru selama kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin 4% atau

normal saline sejak saat masuk ICU sampai meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio albumin: saline

adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume (koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan

Page 12: Manajemen Syok Hemoragik

antara kedua kelompok dalam mortalitas 28 hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral, denyut jantung

dan insiden gagal organ baru juga serupa pada kedua kelompok.

Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian pada

pasien dengan sepsis berat yang menerima albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien yang

mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05 (P=.059). Hasil ini ber-lawanan pada pasien trauma. Angka

kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume (13,5% vs

10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian adalah

24,6% pada pasien yang mendapat albumin, dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95% confidence

interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan angka

kematian pada pasien-pasien trauma.

Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien sakit kritis

yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada pasien sepsis berat.  Akan tetapi, keamanan pemberian albumin

belum jelas pada pasien trauma, termasuk traumatic brain injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan mortalitas

pada trauma dan TBI pada analisis sub-kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini merupakan signal

kuat khususnya pada pasien TBI. Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk memeriksa perbedaan-

perbedaan ini.

Apa saja yang menjadi sasaran dari terapi cairan resusitasi (resuscitation endpoints)?

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan bisa dinilai dari parameter-

parameter berikut:

Capilary refill time < 2 detik

MAP 65-70 mmHg

O2 sat  >95%

Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak)

Shock index =  HR/SBP      (normal 0.5-0.7)

CVP 8 to12 mm Hg

Page 13: Manajemen Syok Hemoragik

ScvO2  > 70%

KESIMPULAN

Terapi cairan resusitasi pada pasien syok hemoragik perlu mendapat perhatian lebih serius untuk menurunkan

angka mortalitas dan morbiditas. Hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan:

Mengetahui stadium syok hipvolemik dan perubahan patofisiologi terkait

Deteksi dini compensated shock agar cairan bisa diberikan adekuat

Mengetahui berapa banyak cairan kristaloid/koloid diberikan

Indikasi transfusi darah

Bagaimana mengetahui keberhasilan resusitasi.

Referensi:

Demling RH, Wilson RF.: Decision Making in Surgical Critical Care.B.C. Decker Inc, 1988. p 64.

Tintinalli JE. Tintinalls’s Emergency Medicine: A comprehensive Study Guide, 6th e4dition

Stern SA: Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit

Care 7:422, 2001.

Dutton RP, Mackenzie CF, Scalea TM: Hypotensive resuscitation during active hemorrhage: Impact on in-

hospital mortality. J Trauma 52:1141, 2002.

Brunicardi, FC. Et al. Schwartz's Principles of Surgery, 9e

Liolios A. Volume Resuscitation: The Crystalloid vs Colloid Debate Revisited. Medscape 2004

SAFE Study Investigators: A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit.

N Engl J Med 2004, 350:2247-2256

 

Dr. Iyan Darmawan

Page 14: Manajemen Syok Hemoragik

Medical Director

[email protected]