mangrove - karakteristik, pemetaan, dan pengelolaannya
DESCRIPTION
Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.TRANSCRIPT
i
HALAMAN JUDUL
ii
Mangrove
Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya
2016
iii
Mangrove
Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya
Oleh:
Nurul Ihsan Fawzi
iv
Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya Oleh: Nurul Ihsan Fawzi
Diterbitkan oleh Penerbit Sibuku Media
Bantul, Yogyakarta, 55713
Cover Mangrove di Sundarban, Bangladesh. Gambar diperoleh dari situs NASA
Diterbitkan pertama kali Maret 2016
Copyright © 2016 Nurul Ihsan Fawzi
Hak Cipta dilindungi undang-undang. All rights reserved.
Dilarang mengutup atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin
penerbit atau penulis. Setiap publikasi atau referensi untuk penggunaan pribadi atau
pekerjaan harus secara eksplisit mengidentifikasi sumber aslinya. Hal ini untuk
menjamin hak cipta dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fawzi, Nurul Ihsan Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaanya / Nurul Ihsan Fawzi. -- Yogyakarta: Sibuku Media, 2016. viii, 100 p. : il. : ind ; 21 cm.
ISBN 978-602-6233-06-6
v
KATA PENGANTAR
Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan
dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula
yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan
perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat
beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas
secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan
jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.
Harapannya, dengan membaca buku ini yang sistematis dirancang bertahap
dimulai dari karakteristik mangrove, pemetaan, dan pengelolaannya; peneliti
dan pembaca akan terbantu dalam penelitiannya. Terlebih lagi kebutuhan
informasi tentang ekosistem mangrove menjadi semakin besar tatkala terdapat
rencana-rencana pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan
ekosistem.
Terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu, terutama dalam koreksi
dan penambahan materi agar lebih sesuai. Semoga buku ini dapat membantu
pelajar dan para peneliti yang membutuhkan referensi mengenai tema ini.
Selain itu, segala saran dan kritik penulis nantikan dengan hormat.
vi
Saran dan kritik
Jika ada saran dan atau kritik, termasuk koreksi terhadap buku ini, mohon
disampaikan pada alamat berikut.
Email : [email protected]
Hp : +62-811-1011-041
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI......................................................................................................... vii
BAB 1 KONSEPSI MANGROVE ....................................................................... 1
1.1 Definisi ............................................................................................. 1
1.2 Distribusi Mangrove ......................................................................... 1
1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini ....................................................... 1
1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove ......................................... 3
1.3 Taksonomi Mangrove ....................................................................... 7
1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan .................................. 7
1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove ........................................................ 19
1.4 Zonasi Mangrove ............................................................................ 21
1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove .......................................................... 21
1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove ........................... 22
1.5 Manfaat dan Ancaman .................................................................... 27
1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove ................................................. 27
1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove ................................. 27
BAB 2 PEMETAAN MANGROVE ................................................................... 29
2.1 Informasi yang Dipetakan .............................................................. 29
2.2 Metode Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ................................ 30
2.2.1 Dasar Penginderaan Jauh ........................................................... 33
2.2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh? ........... 38
2.2.3 Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ................... 38
2.2.4 Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh yang
Digunakan ................................................................................................ 41
2.2.5 Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh ...... 43
2.2.6 Metode Pemetaan yang Digunakan untuk Memperoleh Informasi
Mangrove ................................................................................................. 47
viii
2.3 Review Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Penginderaan Jauh
51
2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah . 51
2.3.2 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Tinggi ....... 64
2.4 Keterbatasan Menggunakan Penginderaan Jauh ............................ 68
2.4.1 Metode interpretasi yang “usang,” kurangnya aplikasi dari
integrasi sumber data ............................................................................... 68
2.4.2 Eror dalam melakukan monitoring dan rendahnya akurasi ....... 68
2.4.3 Sulit membedakan jenis mangrove dalam komunitas ................ 68
2.4.4 Kurangnya Perbandingan antar Metode Pemetaan .................... 69
BAB 3 PENGELOLAAN MANGROVE ............................................................ 71
3.1 Kerangka Analisis dalam Pengelolaan Mangrove ......................... 71
3.1.1 Apa yang Dapat Dilakukan Terhadap Mangrove? .................... 71
3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan ........................................... 74
3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan ...................................................... 79
3.2 Pengelolaan Hutan Mangrove pada Wilayah Perkotaan ................ 79
3.3 Pengelolaan Hutan Mangrove yang Terkonversi Menjadi Tambak80
3.4 Kehutanan – Silvikultur ................................................................. 88
3.5 Kesimpulan dan Rekomendasi ....................................................... 90
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 91
Indeks .................................................................................................................... 97
1
1 BAB 1
KONSEPSI MANGROVE
Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar pengenalan mangrove.
Termasuk dalam hal definisi, taksonomi, distribusi spasial, manfaat, dan
ancamannya. Ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi mengenai
“mangrove” yang dibahas pada bab ini.
1.1 DEFINISI
Terdapat perbedaan definisi mengenai mangrove, atau lebih tepatnya banyak
pendekatan-pendekatan untuk mendefinisikan ekosistem mangrove (Kuenzer, et
al., 2011). Definisi pertama, mangrove didefinisikan atas lokasi hidupnya.
Mangrove merupakan belukar atau pohon yang tumbuh di kawasan pesisir
diantara 25 – 30o lintang selatan hingga 25-30o lintang utara (ini berbeda untuk
tiap ahli) dan mampu bertahan terhadap air payau, air laut, dan lokasi di mana
terjadi penguapan yang membuat air asin dua kali salinitas air laut (Kuenzer, et
al., 2011).
Definisi lainnya, mangrove diterjemahkan sebagai semua spesies atau
komunitas spesies yang mampu hidup di air asin (Tomlinson, 1995). Terdapat
110 spesies mangrove, sekitar 54 spesies dalam 20 genus dari 16 family (tabel
1.1 dan 1.2) yang merupakan jenis mangrove yang dapat tumbuh di habitat
mangrove itu sendiri. Secara umum mangrove dapat didefinisikan sebagai
ekosistem yang berada di zona pasang surut yang mampu beradaptasi di
lingkungan pesisir, yang beradaptasi dengan sistem perakaran yang menonjol
(akar nafas/pneumatofor), sebagai suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah
yang miskin oksigen atau anaerob (Tomlinson, 1995).
1.2 DISTRIBUSI MANGROVE
1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini
Secara global, tanaman mangrove dapat ditemukan disekitar garis tropis
(gambar 1.2). Sekitar 124 negara yang berlokasi diantara 25o – 30o lintang
selatan hingga 25o -30o lintang utara menjadi lokasi habitat ekosistem mangrove
(Kuenzer, et al., 2011). Ekosistem ini tumbuh dan menutup sekitar 75% garis
2
pantai di daerah tropis dan subtropis. Pada mangrove yang tumbuh disekitar
garis ekuator, memiliki kandungan biomassa yang maksimal jika dibandingkan
dengan lokasi lain. Penyebabnya semakin menurunnya level suhu yang
mengakibatkan total biomassa akan turun semakin meningkatnya lokasi lintang.
Total area mangrove saat ini berkisar antara 167.000 km2 hingga 181.000 km2
(Kuenzer, et al., 2011). FAO (2007) mengestimasi tutupan mangrove untuk
tahun 2005 adalah 152.000 km2, turun dari 188.000 km2 pada tahun 1980.
Sedangkan Giri, et al. (2011) mendapatkan luas mangrove secara global
menggunakan citra penginderaan jauh tahun 2000, didapatkan luasan mangrove
sebesar 137.760 km2 yang tersebar di 118 negara. Hasil luas mangrove global
yang dihasilkan oleh Giri, et al. (2011) memiliki luas lebih kecil disebabkan oleh
penggunaan resolusi citra penginderaan jauh yang digunakan yang lebih detail
(30 meter) dibandingkan dengan yang digunakan oleh FAO (2007) dalam
memetakan mangrove. Jumlah luas mangrove paling besar terdapat di kawasan
Asia Tenggara (Indonesia), di mana lokasi yang baik untuk tumbuh dan
memiliki diversitas spesies yang tinggi.
Tabel 1.1. Negara dengan jumlah mangrove terbesar.
No Negara Luas (ha) Persentase
global (%)
Persentasi
kumulatif (%)
1. Indonesia 3.112.989 22,6 22,6
2. Australia 977.975 7,1 29,7
3. Brazil 962.683 7,0 36,7
4. Meksiko 741.917 5,4 42,1
5. Nigeria 653.669 4,7 46,8
6. Malaysia 505.386 3,7 50,5
7. Myanmar 494.584 3,6 54,1
8. Papua Nugini 480.121 3,5 57,6
9. Bangladesh 436.570 3,2 60,8
10. Kuba 421.538 3,1 63,9
11. India 368.276 2,7 66,6
12. Guinea Bissau 338.652 2,5 69,1
13. Mozambik 318.851 2,3 71,4
14. Madagaskar 278.078 2,0 73,4
15. Filipina 263.137 1,9 75,3
Sumber: Giri, et al. (2011)
3
Secara floristik terdapat dua perbedaan jenis mangrove dalam distribusi ini
(gambar 1.1), yakni zona timur yang terdiri atas pantai timur Afrika, Asia
Tenggara, kepulauan di Pasifik, dan Australia; dan zona barat yang terdiri atas
pantai barat Afrika, pantai di Amerika, dan kepulauan Karibia (FAO, 1994).
Secara intensif mangrove berkembang cukup pesat di muara sungai besar,
seperti muara sungai Gangga di Banglades, muara sungai Mahakam di
Kalimantan Timur, muara sungai Fly di Papua Nugini, dan muara sungai
Mekong di Vietnam. Sedangkan muara sungai Amazon dan sungai Kongo, salah
satu sungai terbesar di dunia ini, tidak memiliki hutan mangrove yang tumbuh
secara intensif karena besarnya debit sungai yang memasok air tawar.
Gambar 1.1. Distribusi mangrove diseluruh dunia, direpresentasikan dengan garis tebal. Garis putus-putus secara vertikal menujukkan batas bio-geografi, dan garis putus-putus horizontal menunjukkan batas hidup mangrove yang berada pada daerah tropis. Sumber: Hogarth (2007).
1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove di seluruh
dunia. Faktor utama penyebab batasan tersebut adalah kondisi fisiologi yang
mendukung atau tidak untuk spesies mangrove dapat hidup atau tidak.
Selebihnya, terdapat campur tangan manusia yang mempengaruhi distribusi
mangrove yang ada saat ini dan yang akan datang.
4
1.2.2.1 Campur Tangan Manusia
Beberapa habitat mangrove berada pada lokasi – lokasi yang berada dekat
dengan perkotaan. Konversi habitat mangrove untuk pembangunan perluasan
perkotaan seringkali tidak dapat dihindarkan. Akibatnya eksistensi mangrove
pada daerah tersebut berubah, atau bahkan menghilang jika tidak dilakukan
upaya perlindungan. Secara lebih luas, jika konversi mangrove tersebut
dilakukan pada skala besar untuk aktivitas tertentu, maka peta distribusi
mangrove yang ada saat ini perlu untuk direvisi.
Perubahan-perubahan eksistensi mangrove akibat pengaruh manusia beragam
untuk berbagai aktivitas yang berhubungan dengan faktor ekonomi tentunya.
Horning, et al. (2010) menyatakan penelitian saat telah menginventarisasi
kehilangan mangrove secara global mencapai 12% dari tahun 1975-2005.
Penyebab utama deforestasi hutan mangrove secara global tersebut adalah untuk
pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Akan
tetapi, penyebab utama deforestasi hutan mangrove untuk setiap Negara adalah
berbeda. Contohnya di Thailand, penyebab deforestasi mengrove terbesar
adalah untuk pertanian (50%) dan pembangunan tambak (41%). Sedangkan di
Filipina, konversi hutan mangrove menjadi menjadi tambak adalah penyebab
kerusakan mangrove paling besar, hingga tahun 1981 konversi mangrove
menjadi tambak telah dilarang (Janssen & Padilla, 1999). Hal ini tidak bisa
dihindarkan, mengingat kebutuhan manusia untuk makanan terus meningkat,
dan produksi tambak di areal mangrove menyumbang separuh dari konsumsi
global untuk makanan laut (produksi mendekati 50 juta metrik ton) (FAO,
2013).
Untuk di Indonesia, Ilham, et al. (2016) menemukan bahwa konversi mangrove
menjadi tambak adalah penyebab utama deforestasi mangrove. Lebih dari
600.000 ha mangrove telah terkonversi menjadi tambak. Fawzi (2016)
menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam yang
menyebabkan 53,8% wilayah delta berubah menjadi tambak. Ini tentu akan
mempengaruhi distribusi mangrove yang ada saat ini. Pada sisi lain, pengaruh
distribusi mangrove tidak hanya diakibatkan oleh deforestasi yang terjadi.
Upaya penanaman mangrove seringkali dilakukan pada lokasi yang sebelumnya
tidak terdapat mangrove. Sehingga dapat dikatakan pada lokasi yang baru
tersebut mangrove dapat tumbuh.
Faktor-faktor lain yang jarang terjadi adalah kerusakan mangrove akibat
terjadinya perang. Van, et al. (2015) menemukan kerusakan mangrove seluas
104.939 ha atau 36% dari mangrove yang terdapat di Vietnam. Penyebab
kerusakan tersebut selain karena bahan peledak, pihak Amerika Serikat juga
5
menggunakan bahan kimia beracun yang menyebabkan banyak mangrove mati
dan merusak ekosistem.
1.2.2.2 Salinitas
Salinitas juga menjadi penentu dalam distribusi mangrove yang lebih kepada
lokasi in situ. Hal ini karena spesies mangrove hanya dapat tumbuh pada
rentang kondisi salinitas tertentu. Terkait dengan hal ini, Smith (1992)
menjelaskan tentang syarat hidup jenis -jenis mangrove yang berhubungan
dengan salinitas. Untuk spesies Avicennia spp., beberapa penelitian menberi
nilai adaptasi spesies yang berbeda terhadap salinitas. Clarke & Hannon (1970)
dalam Smith (1992) menemukan bahwa spesies Avicennia marina dapat hidup
pada rentang salinitas 0 – 35 o/oo, dengan salinitas tumbuh maksimal adalah 7 –
14 o/oo. Smith (1992) juga menjelaskan bagaimana penelitian yang dilakukan
oleh Downton (1982) melaporkan bahwa Avicennia marina mampu hidup pada
salinitas 3 – 20 o/oo. Untuk spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai tumbuh
optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika berada pada
salinitas diatas 18 o/oo. Untuk nilai salinitas maksimal untuk tumbuh bisa
mencapai 35 o/oo, yakni nilai salinitas air laut. Bahkan Smith (1992) dalam
kompilasi penelitiannya, menunjukkan bahwa spesies Avicennia spp. mampu
hidup pada nilai salinitas >60 o/oo. Akan tetapi, untuk tumbuh secara optimal,
rentang salinitas 7 – 14 o/oo adalah yang paling sesuai.
Adaptasi yang dikembangkan oleh mangrove adalah akar nafas untuk
beradaptasi pada kondisi pasang surut. Jadi, ketika terkena pasang, akar-akar
nafas tersebut masih bisa memperoleh oksigen untuk pertumbuhannya. Dan
karakteristik ini berbeda tiap spesies. Selain itu bentuk adaptasi lainnya adalah
mengolah air dengan salinitas tinggi untuk dapat hidup. Mengrove memiliki
beberapa metode untuk mendapatkan air tawar dari air laut, dengan menyerap
air air asin dari akar, dan membuang kelebihan garam di daun dengan
menggunakan kelenjar ekskresi garam (terutama pada genus Avicennia,
Aegiceras and Aegialitis). Pada spesies lain menggunakan transpirasi pada daun,
atau mengakumulasi garam pada daun dan kemudian menggugurkannya.
1.2.2.3 Letak Lintang dan Iklim
Secara esensial mangrove merupakan tumbuhan tropis, yang dapat hidup
dengan batasan terjauh di lintang selatan adalah Florida Selatan, Afrika Selatan,
dan Victoria, Australia; dan betasan di lintang utara terjauh adalah Jepang
bagian selatan. Berdasarkan letak lintang, mangrove dapat hidup pada lokasi
paling selatan di titik terjauh yakni 38o59' lintang selatan, atau berada di
Australia, dan untuk batas lintang utara dapat hidup hingga 31o22' lintang utara
yang berada di Jepang (Giri, et al., 2011). Secara rinci, batasan letak lintang di
mana mangrove ditemukan disajikan pada tabel (1.2).
6
Tabel 1.2. batasan letak lintang untuk distribusi mangrove.
Benua
Letak lintang di mana mangrove ditemukan
dapat tumbuh
Lintang utara Lintang selatan
Amerika bagian timur 32o 20’ 28o 56’
Amerika bagian barat 30o 15’ 5o 30’
Afrika bagian barat 19o 50’ 12o 20’
Afrika bagian timur/Laut Merah 28o 24’ 32o 59’
Australia bagian barat - 33o 16’
Australia bagian timur - 38o 45’
Asia 31o 21’ -
Sumber: Saenger (2002)
Dalam hubungannya dengan iklim, persebaran mangrove secara langsung
dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Mangrove merupakan tumbuhan yang
tidak mampu beradaptasi pada suhu yang rendah. Mangrove dapat hidup dengan
suhu permukaan laut minimal yakni 24oC. Lebih rendah dari suhu tersebut,
maka spesies mangrove akan sulit sekali beradaptasi dan tidak dapat tumbuh.
Untuk wilayah tropis, suhu tidak berpengaruh pada mangrove karena
permukaan laut selalu hangat dan terkena sinar matahari sepanjang tahun. Akan
tetapi, pada wilayah subtropis, dan semakin mendekati kutub suhu permukaan
laut semakin dingin, dan ini menjadi salah satu faktor pengaruh yang membatasi
distribusi mangrove; berasosiasi dengan letak lintang.
1.2.2.4 Pasang Surut Air Laut
Pasang dan surut air laut mempengaruhi penggenangan air laut terhadap habitat
mangrove. Jika semakin tinggi pasang dan area yang tergenang oleh air laut,
maka distribusi mangrove pada habitat tersebut akan semakin luas. Jika pada
area-area pantai yang terjal dan tidak tergenang oleh air laut, maka tidak terdapat
mangrove. Selain itu, pada daerah muara sungai, pasang dan surut air laut akan
mempengaruhi perubahan salinitas air di mana salinitas akan meningkat pada
saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
1.2.2.5 Sedimen dan Ombak
Tanaman mangrove tidak dapat hidup pada wilayah pantai yang memiliki
ombak yang cukup besar. Dengan kata lain, mangrove hanya dapat hidup pada
area pantai atau habitat yang memiliki ombak relatif tenang. Ombak yang relatif
tenang akan membantu persebaran bibit mangrove dan akumulasi sedimen yang
berguna untuk nutrisi mangrove itu sendiri.
7
1.3 TAKSONOMI MANGROVE
Saenger (2002) membagi mangrove secara umum dengan 26 family dan 39
genus. Berbeda dengan Tomlinson (1995) yang membagi mangrove dalam tiga
kategori, yakni: mangrove utama, mangrove peralihan, dan asosiasi mangrove.
Jadi pada definisi mangrove sebelumnya disebutkan terdapat 20 genus dari 16
family, pembagian tersebut pada mangrove utama dan mangrov peralihan. Pada
pembahasan ini, kita akan mengacu pada Tomlinson (1995) untuk
mempermudah dalam pembelajaran.
1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan
Melihat definisi mangrove yang merupakan tumbuhan halofit, terdapat dua
pembedaan yang dapat dilakukan, yakni yang mampu beradaptasi penuh dengan
air asin dan beradaptasi dengan air tawar. Berdasar hal tersebut, Tomlinson
(1995) membagi taksonomi mangrove atas dua bagian utama, yakni ‘true’
mangrove atau mangrove utama (major mangrove) dan mangrove peralihan
(minor mangrove). Perbedaan keduanya adalah dari jenis adaptasi terhadap air
tawar. Sebagaimana Avicennia yang mampu hidup optimal pada nilai salinitas
7 – 14 o/oo. Berbeda halnya dengan Heriteria littoralis yang hanya mampu
beradaptasi pada air payau saja ketika berada pada pasang tertinggi, selebihnya
mampu beradaptasi pada air tawar. Jika Heriteria littoralis ‘diletakkan’ pada
wilayah yang sepenuhnya air asin, maka tidak dapat beradaptasi.
Pada mangrove utama, spesies mangrove yang termasuk didalamnya
sepenuhnya beradaptasi dengan kondisi salinitas yang tinggi yang dikontrol oleh
pasang surut. Bentuk adaptasi tersebut dapat berupa akar nafas atau
pnematofora, bibit yang vivipary, mekanisme adaptasi sekresi garam, dan
adaptasi fisiologis terhadap kondisi salinitas tinggi. Sedangkan pada mangrove
peralihan, telah mampu beradaptasi dengan salinitas rendah dan atau air tawar,
dan bahkan tidak mampu beradaptasi dengan salinitas yang tinggi (air laut).
Mangrove peralihan ini berhabitat pada area pantai kearah darat.
Secara detail mengenai taksonomi mangrove dapat dijelaskan pada tabel 1.3 dan
tabel 1.4. Penjelasan mengenai taksonomi mangrove secara detil pada tiap
family dijabarkan pada subbab berikutnya.
8
Tabel 1.3. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove utama
Family Genus Jumlah
spesies
Akar
gantung Vivipary?
Avicenniaceae Avicennia 8 ++ +
Combretaceae Laguncularia
Lumnitzera
1
2
+
+
-
-
Palmae Nypa 1 - +
Rhizoporaceae Bruguiera
Ceriops
Kandelia
Rhizophora
6
2
1
8
++
++
-
++
++
++
++
++
Sonneratiaceae Sonneratia 5 ++ -
Total 9 34
Sumber: Tomlinson (1995)
Tabel 1.4. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove peralihan
Family Genus Jumlah
spesies
Akar
gantung Vivipary?
Bombacaceae Camprostemon 2 + -
Euphorbiaceae Exoecaria 1 (-2) - -
Lythraceae Pemphis 2 - -
Meliaceae Xylocarpus 2 ++ -
Myrsinaceae Aegiceras 2 - +
Myrtaceae Osbornia 1 - -
Pellicieraceae Pelliciera 1 - +
Plumbaginaceae Aegialitis 2 - +
Pteridaceae Acrostichum 3 - -
Rubiaceae Scypiphora 1 - -
Sterculiaceae Heriteria 3 - -
Total 11 20
Sumber: Tomlinson (1995)
9
Keterangan tabel 1.2 dan 1.3:
+ = memiliki akar gantung dan/atau vivipary,
++ = memiliki dan terbentuk cukup baik
- .. = tidak memiliki
Vivipary = merupakan benih yang terbentuk, apakah mangrove memiliki “buah”
yang menjadi benih untuk regenerasinya. yakni biji atau benihnya telah
berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Vivipary ini lebih sering
dikatakan sebagai propagul.
1.3.1.1 Avicenniaceae
Nama Avicennia didedikasikan dari nama Ibnu Sina (980-1037). Hal ini
dikarenakan di Eropa ketika itu, Ibnu Sina terkenal sebagai Avicenna, salah
seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia. Family
Avicenniaceae hanya memiliki satu genus, yakni genus Avicennia L. 1753
(Tomlinson, 1995). Genus ini memiliki 8 spesies, yang mampu beradaptasi
dengan tingkat salinitas yang tinggi. Tumbuh sebagai zonasi paling depan yang
berhadapan dengan laut, dan mampu tumbuh hingga mencapai 30 meter. Untuk
wilayah Indo-Pasifik dan Afrika Timur, spesies Avicennia yang ada yakni:
Avicennia officinalis, A. alba atau A. marina, A. lanata, A. eucalyptifolia, dan A.
balanophora. Untuk daerah pantai barat Afrika dan Amerika, spesies Avicennia
yang ada yakni: Avicennia germinan, A. bicolor, A. schaueriana, dan A.
africana. Cara membedakan spesies Avicennia dapat dilakukan berdasarkan
bunga yang dihasilkan. Pada Avicennia germinan: berwarna putih dan memiliki
panjang 10 – 13 mm, pada A. officinalis: berwarna kuning dengan panjang 6 –
8 mm, dan pada A. marina: berwarna kuning atau jingga dengan panjang 4 – 8
mm.
Avicennia merupakan spesies yang memiliki toleransi terhadap salinitas yang
tinggi. Sehingga dalam lokasi hidupnya berada pada daerah yang berhadapan
langsung dengan laut. Adaptasi terhadap penggenangan air laut ketika pasang
adalah dengan memiliki akar nafas (pneumatafor) yang muncul 10 – 30 cm dari
tanah, dengan diameter 0,5 – 1 cm. Untuk adaptasi terhadap salinitas yang
tinggi, Avicennia mengeluarkan kelebihan garam pada daunnya melalui saluran
khusus di daunnya, yang pada akhirnya garam tersebut akan luruh oleh angin
atau hujan.
10
Gambar 1.2. Pohon Avicennia yang dicirikan dengan akar nafas yang muncul ke permukaan. Daun, bunga, buah, dan pohon dari Avicennia marina. Sumber: Noor, et al. (2006)
1.3.1.2 Bombacaceae
Pada family ini hanya memiliki satu genus, yaitu Camprostemon Masters 1872.
Genus Camprostemon memiliki dua spesies, yakni C. schultzii Masters 1872 di
utara Australia dan Papua Nugini, dan C. philippinense (Vidal) Becc. 1898 yang
menyebar dari Filipina hingga Kalimantan.
1.3.1.3 Combretaceae
Combretaceae memiliki hampir 50 genus dan 1.000 spesies yang menyebar
diseluruh benua kecuali di Eropa. Untuk jenis mangrove yang diketahui berada
pada family ini adalah genus Laguncularia Gaertn.f. 1805 yang hanya terdiri
atas spesies Laguncularia racemose (L.) Faertn.f.; genus Lumnitzera Willd.
1803 yang terdiri atas spesies Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. 1845,
11
Lumnitzera racemose Willd. 1803, dan Lumnitzera rosea (Gaud.) Presl. 1834;
genus Terminalia L. 1767 yang memiliki satu spesies Terminalia catappa L.
1767; dan genus Conocarpus L. 1753 dengan satu spesies Conocarpus erectus
L. 1953. Genus Terminalia dan Conocarpus termasuk dalam asosiasi mangrove.
1.3.1.4 Euphorbiaceae
Euphorbiaceae adalah tanaman dengan jumlah spesies lebih dari 7000 spesies
(Saenger (2002) menyebut hingga 8000 spesies). Euphorbiaceae memiliki dua
genus mangrove, yaitu Exoecaria L. 1759, Hippomane L. 1753, dan Glochidion
J. R. & G. Forst 1776. Exoecaria menyebar dari Afrika dan Asia hingga ke
Pasifik.
1.3.1.5 Lythraceae
Lythraceae termasuk dalam family yang cukup besar, karena memiliki hampir
25 genus dan 500 lebih spesies. Yang termasuk mangrove dalam Lythraceae
hanya genus Pemphis Frost. 1776, dengan spesies Pemphis madagascariensis
(Baker) Koehne 1903. Spesies P. madagascariensis merupakan spesies endemic
pada area savanna semi-arid di Madagaskar.
1.3.1.6 Meliaceae
Meliaceae memiliki hampir 50 genus dengan jumla spesies sekitar 1.200
spesies. Meliaceae yang termasuk mangrove hanya pada genus Xylocarpus
Kőnig 1784, dengan dua spesies yakni: Xylocarpus granatum Kőnig 1784 dan
Xylocarpus mekongensis Pierre 1897. Xylocarpus terdistribusi di timur Afrika
dan daerah tropis Indo-malaya.
1.3.1.7 Myrsinaceae
Myrsinaceae memiliki 18 genus dan 300 spesies (Saenger (2002) menyebut 35
genus dan 1.000 spesies). Distribusi utama Myrsinaceae berada di Afrika
Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Yang termasuk dalam mangrove dalam
Myrsinaceae hanya satu genus, Aegiceras Gaertner 1788. Genus Aegiceras
memiliki dua spesies, yakni Aegiceras comiculatum (L.) Blanco 1837 dan
Aegiceras floridum Roemer & Schultes 1819.
1.3.1.8 Myrtaceae
Myrtaceae hanya memiliki satu genus Osbornia F. Mueller 1862 dan satu
spesies Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Myrtaceae sebenarnya family
yang cukup besar dengan genus lebih dari 155 dan 3.000 spesies. Osbornia
octodonta sendiri menyebar di utara Australia hingga Filipina.
12
1.3.1.9 Palmae
Family Palmae merupakan family dari kelapa, dengan hampir 200 genus dan
2600 spesies. Akan tetapi, yang termasuk dalam kategori mangrove hanya
terdapat 3 spesies, yakni Nypa fruticans, Calamus erinaceus, dan Oncosperma
tigillarium. Nypa fruticans merupakan mangrove utama, sedangkan Calamus
erinaceus dan Oncosperma tigillarium merupakan asosiasi mangrove.
Nypa Fruticans atau Nypa merupakan tanaman mangrove yang hidup pada
muara sungai atau estuari. Habitat terbesar Nypa di Indoneisa berada di Delta
Mahakam, Kalimantan Timur. Secara umum, distribusi Nypa berada dari Sri
Langka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Tiongkok, dan Australia. Selain itu,
Nypa juga telah ditanam menjadi spesies baru di wilayah Barat Afrika dan
Amerika Tengah.
Gambar 1.3. Nypa fruticans yang berada di Delta Mahakam.
Secara habitat alami, Nypa dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,
mencapai variasi nilai salinitas 5o/oo – 25o/oo. Fawzi (2016) menemukan bahwa
nilai salinitas tersebut yang bervariasi antara 5o/oo – 25o/oo merupakan variasi
dari kondisi pasang dan surut air laut dan juga dipengaruhi oleh besarnya debit
sungai Mahakam terkait musim kemarau atau hujan. Nypa fruticans mampu
beradaptasi dalam kondisi salinitas ini. Zona transisi Nypa berada saat kondisi
pasang dengan nilai salinitas air 6o/oo. Sebenarnya Nypa dapat beradaptasi pada
rentang 0 – 25 o/oo, karena pada saat surut, pada lokasi yang sama bernilai
salinitas 0o/oo yang artinya air tawar. Akan tetapi karena kondisi payau saat air
pasang, maka Nypa dapat tumbuh. Formasi Nypa mulai tergantikan dengan
13
spesies asosiasi mangrove pada nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang.
Terkait dengan persebaran formasi Nypa fruticans, Tomlinson (1995)
mendeskripsikan bahwa Nypa dapat hidup di estuari di mana terdapat masukan
air tawar. Dengan kata lain, Nypa dapat hidup pada air payau dan tidak dapat
hidup pada kodisi air tawar atau asin.
1.3.1.10 Pellicieraceae
Pellicieraceae memiliki satu genus Pelliciera Planchon & Triana 1862 dengan
satu spesies Pelliciera rhizophoreae Triana & Planchon 1862. Pelliciera adalah
pohon kecil, dengan ketinggian 5 – 10 meter. Untuk saat ini Pelliciera hanya
ditemukan melimpah di Teluk Buenaventura, Kolombia, hingga ke Kosta Rika;
dan pantai yang terletak di Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Karibia.
1.3.1.11 Plumbaginaceae
Plumbaginaceae adalah family kecil yang termasuk jenis semak-semak, dengan
distribusi hampir di wilayah pesisir di seluruh dunia. Terdapat satu genus
Aegialitis R. Brown 1810, dengan dua spesies, yakni Aegialitis annulata R.
Brown 1810 dan Aegialitis rotundifolia Roxburgh 1824. Aegialitis adalah
semak dengan bunga sempurna, tinggi mencapai 3 meter, dan habitat biasanya
pada daerah berpasir atau berbatu di wilayah pantai.
1.3.1.12 Pteridaceae
Pteridaceae adalah tumbuhan jenis pakis-pakisan dengan 35 genus dan lebih dari
1.000 spesies. Untuk genus yang mampu beradaptasi pada daerah asin adalah
Acrostichum L. 1753. Acrostichum terdistribusi pada asosiasi dengan
Rhizophora mangle dan pada wilayah estuari. Jumlah spesies yang termasuk
dalam genus ini adalah 3 spesies, yakni: Acrostichum aureum Linneaeus 1753,
Acrostichum danaeifolium Langsdorff & Fischer 1810, dan Acrostichum
speciosum Willdenow 1810.
1.3.1.13 Rhizophoraceae
Rhizophoraceae memiliki 16 genus dan 120 spesies yang terdiri atas jenis pohon
dan semak-semak. Untuk jenis mangrove sendiri, terdiri atas 4 genus dan 16
spesies. Seringkali disebut dengan “mangrove Rhizophoraceae,” dengan 4
genus tersebut adalah Bruguiera Lamarck 1793-7, Ceriops Arnold 1838,
Kandelia Wight & Arnold 1834, dan Rhizophora L. 1753. Faktor persamaan
yang menempatkan 4 genus tersebut dalam satu family mangrove adalah bentuk
bunga dan buah yang bersifat vivipary.
14
Spesies-spesies mangrove yang terdapat dalam family ini adalah:
Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. 1797-8, Bruguiera sexangula (Lour.)
Poir. 1816, Bruguiera exaristata Ding Hou 1957, Bruguiera parviflora
Wight & Arnold ex Griffith 1936, Bruguiera cylindrica (L.) Blume 1827,
dan Bruguiera hainesii C.G. Rogers 1919;
Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1958 dan Ceriops tagal (Perr.) C.B.
Robinson 1908;
Kandelia candel (L.) Druce 1914; dan
Rhizophora apiculata BL. 1827, Rhizophora mangle L. 1753,
Rhizophora samoensis (Hochr.) Salvoza 1936, Rhizophora x harrisonii
Leechman 1918, Rhizophora mucronata Lamk. 1804, Rhizophora
racemosa Meyer 1818, Rhizophora stylosa Griff. 1854, Rhizophora x
lamarckii Montr. 1860, dan Rhizophora x selala (Salvoza) Tomlinson
1978.
Rhizophora
Genus ini hampir berada diseluruh habitat mangrove di dunia. Dengan pohon
yang mampu tumbuh mencapai 30 – 40 meter, dengan kecepatan tumbuh
mencapai <1 meter/tahun (Duke, 2006). Dalam hal ini, Rhizophora menjadi
genus yang penting dalam hubungannya dengan mangrove. Seringkali
Rhizophora menjadi rujukan dari kata mangrove itu sendiri. Dan terlebih lagi
Rhizophora sering digunakan sebagai bibit untuk penanaman kembali
mangrove pada areal yang telah rusak.
Untuk membedakan spesies dalam genus Rhizophora adalah tidak mudah.
Beberapa spesies dapat dibedakan hanya dengan bunga dan buah. Namun
demikian, terdapat pola distribusi Rhizopora pada wilayah Indo-Pasifik yang
berdasar pada karakteristik adaptasinya (gambar 1.4). Namun, Duke (2006)
memberikan beberapa karakteristik pembeda untuk spesies Rhizophora,
yakni:
R. mucronata dapat berada pada wilayah yang berasosiasi dengan
aliran air tawar seperti sungai/muara sungai.
R. stylosa seringkali berada di daerah pantai, lebih mengarah pada
wilayah pantai yang berhubungan langsung dengan laut (bukan pada
muara sungai atau berdekatan).
R. apiculata dapat ditemukan pada lokasi yang hampir sama dengan R.
mucronata, akan tetapi lebih sering tumbuh pada muara sungai atau
estuari yang lebih besar.
Hybrid R. x lamarckii dapat ditemukan pada wilayah pantai dengan
julat pasang surut yang relatif tinggi.
15
Gambar 1.4. Distribusi Rhizophora yang berada di Indonesia dan sekitarnya. Terlihat batas persebaran spesies R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa. pada kenyataannya, terjadi overlap dari ketiga distribusi spesies tersebut di wilayah Indonesia. Sumber: Duke (2006).
Untuk beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi, Rhizophora juga memiliki
akar nafas pnematafor yang berbeda bentuk dari Avicennia. Sedangkan
untuk mendapatkan pasokan air tawar, Rhizophora melakukan transpirasi
pada daunnya dan terdapat membran khusus untuk menyaring garam. Daun
pada Rhizophora juga mampu meminimalkan kehilangan air berlebih,
meminimalkan pemanasan berlebih, dan mampu memaksimalkan proses
fotosintesis melalui optimasi sudut dan ukuran daun. Untuk berkembang
biak, buah mangrove yang telah berkecambah akan jatuh dan langsung
menancap ke tanah. Hal ini dapat terjadi karena bentuk adaptasinya yang
memungkinkan hal tersebut terjadi (gambar 1.5).
16
Gambar 1.5. Kiri: Bunga Rhizophora yang telah dewasa (kiri ke kanan) Rhizopora apiculata, R. x lamarckii, R. stylosa, dan R. mucronata. Kanan: propagul pada R. stylosa. Sumber: Duke (2006)
Gambar 1.6. Perbedaan bunga pada A. R. apiculata, B. R. x lamarckii, C. R. mucronata, D. R. stylosa, E. R. apiculata, D. R. x lamarckii, G. R. mucronata, H. R. stylosa. Sumber: Setyawan & Ulumuddin (2012).
17
Bruguiera
Bruguiera merupakan genus yang termasuk dalam family Rhizophoraceace,
memiliki 6 spesies yang terbagi atas dua jenis utama. Jenis pertama adalah
yang memiliki bunga relatif besar: Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B.
exaristata; dan jenis kedua adalah yang memiliki bunga relatif kecil: B.
parviflora, B. cylindrica, dan B. hainesii (Tomlinson, 1995). Penamaan
Bruguiera berasal dari penghormatan terhadap penjelajah dan ahli biologi
dari Prancis, Jean Guillaume Bruguière (1750–1798). Genus Bruguiera
tersebat dari pantai timur Afrika dan Madagaskar, India, Sri Lanka, Asia
Tenggara, Australia dan kepulauan Polinesia di Samudra Pasifik.
Pohon Bruguiera mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 40 meter,
selalu hijau sepanjang tahun dan juga selalu tumbuh, memiliki akar nafas
yang pendek. Bunga pada Bruguiera dibedakan atas bunga yang relatif besar
(panjang 2 – 4 cm) dan bunga yang relatif kecil (panjang 1 – 1,5 cm), dengan
jumlah helai 13 pada bunga relatif besar dan 8 helai pada bunga relatif kecil.
1.3.1.14 Rubiaceae
Rubiaceae adalah salah satu family terbesar dengan lebih dari 500 genus dan
6.000 spesies. Untuk genus yang berada pada jenis mangrove hanya genus
Scyphiphora Gaertn.f. 1805. Scyphiphora hanya memiliki satu spesies
mangrove peralihan, yakni Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn.f. 1805.
Scyphiphora terdistribusi dari selatan India, Indocina, melewati kepulauan di
Malaya dan Filipina, hingga ke Australia melalu kepulauan Palau.
1.3.1.15 Sonneratiaceae
Soneratiaceae memiliki satu genus Sonneratia L.f. 1781 dan 5 spesies. Spesies-
spesies tersebut adalah Sonneratia caseolaris (L.) Engler 1897, Sonneratia alba
J. Smith 1819, Sonneratia apetala Buch.-Ham. 1800, Sonneratia griffithii Kurz
1871, dan Sonneratia ovata Backer 1929. Persebaran Sonneratia meliputi timur
Afrika, Indo-Malaya hingga ke Australia, dan kepulauan Mikronesia dan
Melanisia.
18
Gambar 1.7. Perbedaan buah dari spesies Bruguiera yang berbeda: 1: B. hainesii. 2: B. sexangula. 3: B. gymnorhiza. 4: B. cylindrica. 5: B. parviflora. CL: calyx lobe, CT: calyx tube, FB: flower bud, Fr: bunga, Ft: fruit (buah), H: hypocotyl, VS: bibit vivipary. A. batang dan buah dari Bruguiera, dan B. adalah tahapan perkembangan buah hingga siap untuk tumbuh menjadi bibit. Sumber: Sheue, et al. (2005)
19
1.3.1.16 Sterculiaceae
Sterculiaceae memiliki 65 genus dan sekitar 1.100 spesies yang tersebar pada
daerah tropis dan sub-tropis. Genus yang termasuk dalam Sterculiaceae adalah
Heritiera Aiton. 1789, dengan tiga spesies mangrove, yakni: Heritiera littoralis
Dryand. in Aiton 1789, Heritiera fomes Buch-Ham. 1800, dan Heritiera globose
Kostermans 1959. Heritiera globose hanya ditemukan di Kalimantan. Heritiera
littoralis secara luas terdistribusi pada daerah tropis timur Afrika, Asia
Tenggara, Australia, dan kawasan Samudra Pasifik. Sedangkan Heritiera fomes
ditemukan dari India dan Banglades hingga Myanmar.
1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove
Pada dasarnya, klasifikasi pada tabel (1.3) dan (1.4) merupakan pengkelasan
mangrove yang dilakukan oleh Tomlinson (1995) untuk mempermudah analisis.
Pengkelasan tersebut dengan tidak memasukkan tanaman jenis semak-semak
dalam mangrove. Hal ini mengingat mangrove lebih mengarah kepada ‘pohon’
dibandingkan dengan semak-semak walaupun sama-sama mampu beradaptasi
dengan kondisi asin. Pada tabel (1.5) secara rinci adalah jenis-jenis spesies yang
berasosiasi dengan mangrove yang terdiri atas 60 spesies.
20
Tabel 1.5. Spesies yang berasosiasi dengan mangrove
Family Genus Spesies
Pantai
Spesies
Darat
Acanthaceae Acantus 3 30
Anarcardiaceae Gluta 1 20
Apocynaceae Cerbera
Rhabdadenia
3
1
3
3
Batidaceae Batis 1 (-2) -
Baignoniaceae Amphitecna
Anemopaegma
Dolicandrone
1
1
1
1
30
9
Celastraceae Cassine 1 80
Combretaceae Conocarpus
Terminalia
1
1
1
200
Compositae Tuberostylis 2 -
Ebenaceae Diospyros 1 400
Euphorbiaceae Glochidion
Hippomane
1
1
300
-
Flacourtiaceae Scolopia 1 37
Goodeniaceae Scaevola 2 90
Guttiferae Calophyllum 1 250
lecythidaceae Barringtonia 2 40
Leguminosae
(Caesalpinoideae)
(Papilionoideae)
Cynimetra
Caesalpinia
Aganope
Dalbergia
Derris
Inocarpus
Intsia
Mora
pongamia
2
2
1
2
1
1
1
1
1
70
40
6
300
50
3
8
10
2
Malvaceae Hibiscus
Pavonia
Thespesia
1
1
2
200
200
15
Melastomataceae Octhocharis 1 5
Meliaceae Amoora 1 20
Myristicaceae Myristica 1 120
21
Lanjutan tabel 1.4.
Family Genus Spesies
Pantai
Spesies
Darat
Myrsinaceae Ardisia
Myrsine
1
1
250
10
Palmae Calamus
Oncosperma
Phonix
Raphia
1
1
1
1
400
4
12
10
Pandanaceae Pandanus 2 300
Rubiaceae Rustia 1 12
Rutaceae Merope 1 -
Sapindaceae Allophyllus 1 190
Sapotaceae Pouteria 1 50
Tiliaceae Brownlowia 2 30
Total 46 60
Sumber: Tomlinson (1995)
1.4 ZONASI MANGROVE
1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove
Tempat hidup mangrove sangat terkait dengan geomoforlogi tertentu, atau dapat
dikatakan berada pada habitat yang telah “ditentukan.” Zonasi ekologis
mangrove atau zonasi mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove
yang mencirikan spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang
berbeda dari arah laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992). Terkait zonasi
mangrove itu sendiri, terdapat beberapa keadaan yang membuat zonasi
mangrove berbeda. Dengan beberapa hal yang berpengaruh terhadap distribusi
mangrove tersebut, pada dasarnya adalah menyangkut dengan kondisi habitat
mangrove itu sendiri.
Pola yang terbentuk dari zonasi mangrove ini, dapat dibedakan dari arah laut ke
darat atau sebaliknya. Dan pola-pola yang terbentuk akan berbeda di tiap-tiap
habitat mangrove. Secara umum (pada gambar 1.9), pada wilayah yang
berdekatan dengan laut, zonasi yang terbentuk adalah komunitas Avicennia dan
Sonneratia. Keduanya mampu beradaptasi dengan terpaan ombak dan genangan
air laut yang lebih intens dan salinitas tinggi. Berikutnya akan diikuti oleh
komunitas Rhizophora, biasanya ditemukan berasosiasi dengan komunitas
Bruguiera dan Ceriops. Dan pada zona ke arah darat ditandai dengan
22
kemampuan adaptasi terhadap air asin yang semakin minim. Seringkali pada
zona ke arah darat ini ditumbuhi oleh mangrove peralihan (mangrove minor).
Untuk lebar zonasi mangrove sendiri, relatif terhadap gradient/topografi pantai
yang menjadi habitat. Semakin landai maka semakin lebar hutan mangrove yang
ada. Namun, lebar hutan mangrove/zonasi mangrove jarang melebihi 4 km
(Noor, et al., 2006). Untuk pantai yang terjal, lebar zona mangrove jarang
melebihi 50 meter.
1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove
1.4.2.1 Penggenangan oleh Air Laut
Mangrove mampu beradaptasi dengan genangan oleh air laut yang memiliki
kadar salinitas tinggi. Penggenangan terjadi ketika pasang, dan mangrove akan
sedikit tergenang atau tidak tergenang oleh air laut ketika surut. Periode
penggenangan oleh air laut berbeda-beda di setiap lokasi habitat mangrove,
tergantung pada topografi pantai yang berasosiasi dengan karakteristik pasang
surut, debit sungai, hujan, air tanah, dan evapotranspirasi. Genangan air laut
yang terjadi mengakibatkan kadar oksigen pada tanah menurun. mangrove
beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut dengan sistem akar yang lebih
menghujam tanah lebih dalam. Hasilnya, ditemukan hampir biomassa akar
mangrove ditemukan pada kedalaman 70 cm di bawah tanah.
Perbedaan lamanya waktu penggenangan dan lokasinya, mempengaruhi zonasi
mangrove yang terbentuk. Hal ini pertama kali dipublikasikan oleh Watson
(1928) dalam penelitiannya di semenanjung malaya. Secara umum, Watson
(1928) telah membagi pola zonasi mangrove yang terjadi dengan beberapa
klasifikasi yang sesuai. Pola-pola yang terbentuk dapat dijelaskan dengan
klasifikasi berikut (secara rinci pada tabel 1.6).
1. Kelas 1: tergenang pada saat terjadi pasang. Dengan kata lain, spesies
pada kelas ini mampu beradaptasi dengan tingkat penggenangan yang
tinggi tatkala terjadi pasang air laut. Spesies mangrove yang mampu
hidup adalah Rhizophora mucronata, R. stylosa dan R. apiculata. Untuk
R. mucronata lebih banyak tumbuh pada areal yang lebih banyak
pasokan air tawar; dan R. stylosa dan R. apiculata dapat tumbuh dengan
baik pada kondisi salinitas yang tinggi. Untuk beberapa wilayah seperti
di Teluk Bintuni, Papua, zona ini didominasi oleh Avicennia. Terutama
untuk wilayah-wilayah yang terbentuk daratan baru (akresi), akan
melimpah spesies Avicennia (terutama Avicennia marina).
2. Kelas 2: mangrove tergenang pada saat pasang dengan ketinggian
medium/sedang. Spesies yang dominan pada zona ini adalah Avicennia
alba, A. marina, Sonneratia alba, dan R. mucronata.
23
3. Kelas 3: mangrove tergenang pada saat pasang normal. Pada zona ini,
banyak spesies yang mampu tumbuh, terutama mangrove
minor/peralihan. Spesies yang dapat tumbuh pada zona ini antara lain
dominasi oleh spesies Rhizopora, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum,
Lumnitzera littorea dan Excoecaria agallocha.
4. Kelas 4: mangrove tergenang hanya saat pasang tertinggi saja. Spesies
mangrove peralihan banyak tumbuh dan mampu beradaptasi. Spesies
yang tumbuh umumnya adalah Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera
littorea, dan Excoecaria agallocha. Untuk Rhizopora jarang ditemui
pada zona ini, mengingat terbatasnya penggenangan air laut yang terjadi.
5. Kelas 5: mangrove tergenang saat terjadi pasang yang sangat tinggi,
seringkali dikategorikan sebagai zona abnormal. Pada zona ini
didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza, Intsia bijuga, Nypa
fruticans, Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha.
Tabel 1.6. Kelas penggenang air laut yang disampaikan oleh Watson (1928)
Kelas Genangan terjadi
ketika:
Ketingian dari muka air
laut dalam satuan kaki,
(dengan dalam kurung
bersatuan meter)
Frekuensi
penggenangan
(kali/bulan)
1 Saat pasang 0 – 8 (2,44) 56 - 62
2 Pasang menengah 8 – 11 (3,35) 45 – 59
3 Pasang normal 11 – 13 (3,96) 20 – 45
4 Pasang tertinggi 13 – 15 (4,57) 2 – 20
5 Pasang abnormal 15 2
Sumber: Tomlinson (1995)
1.4.2.2 Gradien Zonasi Biofisik
Analisis yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang ekologi mangrove
adalah tentang adaptasi mangrove terhadap komponen lingkungan yang
spesifik. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap pertumbuhan tiap-tiap
spesies mangrove. Hal ini dikarenakan tiap-tiap spesies memiliki prasyarat
kondisi optimal untuk tumbuh dengan baik. Sehingga pada kondisi lingkungan
tertentu, spesies yang paling beradaptasi adalah yang mampu tumbuh dengan
baik; dan muncullah zonasi mangrove tersendiri.
Parameter yang paling banyak digunakan adalah nilai salinitas. Ada beberapa
mangrove yang tidak dapat hidup sepenuhnya jika terkena air asin, dan ada
24
mangrove yang tidak dapat hidup jika nilai salinitas yang rendah karena
pengaruh air tawar. Seperti pada spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai
tumbuh optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika
berada pada salinitas diatas 18 o/oo. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh
Fawzi (2016), ditemukan transisi formasi Avicennia dan Nypa berada pada
kondisi dengan nilai salinitas 7o/oo yang ukur pada saat surut. Sedangkan pada
kondisi pasang, zona transisi tersebut berada pada salinitas 20o/oo. Dapat
dikatakan nilai Salinitas 7o/oo ini merupakan nilai adaptasi nilai salinitas
minimum yang dibutuhkan oleh spesies Avicennia untuk dapat tumbuh. Jika
kurang dari nilai tersebut, maka secara progresif digantikan oleh spesies Nypa
yang mampu beradaptasi dengan nilai salinitas yang lebih rendah.
Gambar 1.8. zonasi mangrove yang terbentuk oleh gradien salinitas di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Sumber: Fawzi (2016).
1.4.2.3 Geomorfologi
Geomorfologi disini dapat dikatakan sebagai lokasi hidup mangrove. Perbedaan
lokasi hidup mangrove memberikan pembedaan terhadap zonasi mangrove yang
ada. Hal ini dikarenakan mangrove akan merespon perubahan geomorfologi
yang terjadi dalam suatu habitat. Faktor geomorfologi yang mempengaruhi
adalah suplai sedimen, jenis tanah, akresi, erosi, dan faktor iklim seperti curah
hujan. Dari sini kita dapat membagi dua bagian utama pembeda zonasi
mangrove, yakni zonasi mangrove pada daerah pantai dan zonasi mangrove
pada muara sungai.
Pada zonasi daerah pantai adalah zonasi yang umum terjadi pada mangrove.
Yakni pada bagian berbatasan dengan laut didominasi oleh Avicennia, kemudian
Rhizophora dan Bruigueira. Setelah itu diikuti dengan mangrove peralihan.
Sebagai contoh pada gambar 1.9.
25
Gambar 1.9. Zonasi mangrove di Pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Sumber: Noor, et al. (2006)
Untuk zonasi mangrove yang berada pada muara sungai, cukup berbeda dengan
di daerah pantai. Hal ini mengingat suplai air tawar dan air laut yang berbeda,
akumulasi sedimen yang lebih besar, dan gradien pantai yang lebih landai.
Beberapa lokasi hutan mangrove yang cukup besar berada di muara sungai. Hal
ini dipengaruhi oleh pasokan sedimen yang cukup besar; mengandung banyak
nutrisi untuk hidup kembang mangrove dan subtrat yang sesuai. Pada zona ini
biasanya terbentuk delta seabgai habitat mangrove. Sebut saja muara sungai
Gangga dan Brahmaputra di India, muara sungai Mahakam yang membentuk
Delta Mahakam, muara sungai Mekong di Veitnam. Zonasi yang tebentuk
seperti pada gambar 1.9, di mana terdapat gradien salinitas yang mempengaruhi
spesies mangrove yang mampu beradaptasi. Pada zonasi ini, jenis mangrove
lebih didominasi oleh mangrove peralihan.
1.4.2.4 Persebaran Propagul
Terdapat hipotesis bahwa zonasi mangrove di Panama dikontrol oleh aktivitas
pasang surut yang berpengaruh terhadap propagul. Aktvitas pasang surut yang
terjadi telah menyortir propagul mangrove berdasarkan ukuran propagul
tersebut. Penyebaran propagul Avicennia germinans dan L. recemosa terbatas
pada lokasi pasang tertinggi, karena ukuran propagule yang kecil dan pasang
tertinggi mampu membawanya jauh ke arah darat. Sedangkan ukuran propagul
yang lebih besar, seperti yang dimiliki Rhizophora mangle dan P. rhizophorea,
26
tidak terbawa jauh oleh aktivitas pasang surut yang terjadi. “Sortir” yang terjadi
tersebut, membentuk zonasi mangrove yang berbeda.
Gambar 1.10. Zonasi yang berbeda, di mana Avicennia berada pada lokasi ke arah daratan. hipotesis persebaran propagul inilah yang mampu menjelaskan. Sumber: Smith (1992)
1.4.2.5 Kompetisi Spesies
Bagaimana jika dua spesies mangrove mampu beradaptasi dalam kondisi
biofisik yang sama? Apakah kedua spesies tersebut dapat tumbuh bersama atau
hanya satu spesies yang dapat hidup. Jika sortir propagul yang terjadi
membawanya ke “zona pertumbuhan yang salah,” maka apakah propagul
tersebut mampu hidup berkompetisi dengan spesies yang telah ada di zona
tersebut. Dalam penjelasan oleh Smith (1992), Ball (1980) melakukan penelitian
tentang kolonisasi Rhizophora mangle dan Laguncularia racemose di Florida
Selatan. Berdasar pada foto udara yang ada menunjukkan pada koloni mangrove
di wilayah tersebut, Laguncularia telah digantikan oleh Rhizophora. Dutrieux,
et al. (2014) yang melakukan penelitian di Delta Mahakam, mendapatkan bahwa
suksesi yang terjadi di delta akibat konversi menjadi tambak, telah merubah
zonasi yang ada. Maksudnya, spesies yang tumbuh akan berbeda dari spesies
awalnya. Atau dengan contoh, pada banyak tempat di Delta Mahakam, Nypa
telah digantikan oleh Avicennia atau spesies lain.
1.4.2.6 Predasi Propagul
Watson (1928) mengatakan bahwa “musuh utama mangrove adalah kepiting.”
Hal ini bukan tidak mendasar, karena kepiting adalah konsumen yang memakan
propagul atau bibit mangrove. Akibatnya tentu saja persebaran mangrove akan
terganggu. Jika propagule telah dimakan oleh kepiting, maka potensi untuk
hidup akan kecil. Terdapat hubungan antara spesies dominan terhadap jumlah
propagule yang dimakan oleh kepiting. Smith (1992) menjelaskan tentang
eksperimen yang dilakukan di pantai timur laut Queensland, Australia. Pada
pantai tersebut, zonasi yang ada menunjukkan tidak adanya A. marina.
Eksperimen yang dilakukan adalah dengan memagari bibit Avicennia marina
yang ditanam. Hasilnya spesies A. marina mampu hidup dan tumbuh. Dengan
27
kata lain, tidak adanya A. marina pada hutan mangrove di pantai tersebut adalah
karena predasi propagul yang dilakukan oleh kepiting.
1.5 MANFAAT DAN ANCAMAN
1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove
Ekosistem mangrove tidak serta merta hanya hidup dan sebagai habitat makhluk
hidup lainnya. Terdapat banyak peran dari kehadiran ekosistem mangrove,
terutama sebagai penghalang dari dinamika laut yang seringkali terdapat erosi
pantai. Kemampuan melindungi garis pantai ini secara luas juga melindungi dari
bencana alam, seperti badai, tornado, dan tsunami. Secara umum, berikut adalah
peran ekosistem mangrove bagi kelangsungan hidup manusia dan ekologi.
Melindungi pantai dari erosi dan abrasi pantai.
Melindungi pemukiman penduduk dari terpaan badai dan angin dari
laut.
Mencegah intrusi air laut.
Tempat hidup dan berkembang biak berbagai satwa liar seperti ikan,
udang, kepiting, burung, monyet, dsb.
Menghasilkan bahan-bahan alami yang bernilai ekonomis seperti kayu
untuk bahan bangunan, bahan perahu dan kayu bakar.
Memiliki potensi edukasi dan wisata.
Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dari udara, dan lain-
lain.
Dari peran itu semua, terdapat peran ekonomi yang sering dilupakan.
perhitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah sebesar US $9.900/ha
(Constanza, et al., 1997). Untuk total keseluruhan nilai ekonomi ekosistem di
Bumi, nilai estimasi (sebagian besar tidak terdapat di pasar) berkisar antara US
$ 16-54 triliun (1012) per tahun.
1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove
Telah disebutkan bawah konversi hutan mangrove adalah berubah untuk
pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Itulah
persentasi konversi mangrove secara global. Untuk wilayah Indonesia ancaman
terbesar terhadap ekosistem mangrove adalah konversi menjadi tambak. Pada
intinya budidaya tambak sangat tepat dilakukan pada wilayah dengan kondisi
air payau. Lokasi-lokasi tersebut umumnya berada di muara sungai atau
didekatnya, yang menjadi habitat mangrove. Permintaan komoditas tambak
seperti udang dan ikan bandeng, membuat usaha konversi menjadi tambak
meningkat pesar. Sebagai contoh konversi hutan mangrove manjadi tambak di
Delta Mahakam (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al., 2014; Samad, et al., 2013;
28
Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak tahun 1990, yang
menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam terkonversi menjadi
tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun 2000, hutan
mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai 47%, dan
meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006; Rahman, et
al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove
di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang tahun 2000 hingga
2010. Fawzi (2016) yang melakukan pemetaan dengan sumber data tahun 2015,
menemukan konversi di delta tersebut telah merubah 53,8% mangrove menjadi
tambak.
Konversi hutan mangrove menjadi tambak ini juga menurunkan kualitas tanah
dan perlindungan pesisir terhadap pengaruh gelombang laut (Bosma, et al.,
2012). Akibatnya, selain kerusakan ekosistem mangrove, terjadi penurunan
produksi udang yang hanya memproduksi 45 kg/ha per tahun (Bosma, et al.,
2012). Angka produksi tersebut hanya 10% dari pengelolaan tambak secara
ekstensif dengan integrasi hutan mangrove sebagai bagian dari produksi udang
(Janssen & Padilla, 1999). Konversi tersebut juga mempengaruhi parameter-
parameter yang mempengaruhi perkembangan adaptasi mangrove. Terjadinya
konversi menjadi tambak tentu mempengaruhi perkembangan mangove dan
dapat mengubah zonasi mangrove.
Selain itu, beberapa kegiatan lain juga dapat merusak ekosistem mangrove
secara keseluruhan. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, penebangan liar,
konversi menjadi tambak, hingga bencana alam adalah banyak hal yang dapat
merusak ekosistem mangrove. Terlebih dari manfaat yang cukup besar,
pengelolaan mangrove yang tidak berkelanjutan adalah dasar dari ancaman
kerusakan mangrove yang terjadi saat ini.
29
2 BAB 2
PEMETAAN MANGROVE
Artikata pemetaan dalam buku ini adalah tentang perolehan informasi spasial
mengenai kondisi mangrove suatu wilayah tertentu. Hal ini mengingat ketika
kita mengalisis suatu wilayah dimuka Bumi, hal tersebut selalu berkaitan dengan
informasi spasial dan perlu untuk dipetakan. Pemetaan ini untuk mempermudah
analisis dan deduksi informasi untuk penentukan keputusan akhir.
2.1 INFORMASI YANG DIPETAKAN
Informasi yang dimuat dalam pemetaan mangrove adalah sangat beragam. Hal
mendasar dalam informasi tersebut adalah skala peta yang digunakan. Semakin
besar skala yang digunakan, maka informasi yang dapat dimuat akan semakin
banyak dan semakin detil, berlaku sebaliknya. Pada skala kecil, informasi yang
dipetakan hanya informasi mangrove dan non-mangrove saja. Pada skala yang
lebih detil, informasi yang dapat dipetakan dapat berupa kerapatan mangrove,
zonasi mangrove, jenis spesies, tingkat kerusakan, dan lain-lain. Penggunaan
skala yang berbeda ini dipengaruhi oleh tujuan pemetaan itu sendiri. Jika
mengacu pada level perencanaan, untuk perencanaan operasional tentu
membutuhkan data yang lebih detil dibandingkan dengan perencanaan tata guna
lahan.
Pada intinya tujuan pemetaan adalah prasyarat untuk mendapatkan informasi
yang akan dipetakan. Jika tidak terdapat tujuan yang spesifik, mungkin kita
hanya memperoleh informasi tentang informasi mangrove dan non-mangrove
saja. Akan tetapi, jika dikembangkan tujuan seperti untuk mengetahui
produktivitas mangrove, tentu kita memerlukan informasi yang terkait dengan
tujuan tersebut. Informasi tersebut seperti kerapatan mangrove, produktivitas
primer, biomassa, sebaran spesies, dan informasi lainnya yang terkait.
Secara singkat, penginderaan jauh untuk ekosistem mangrove dapat digunakan
untuk memperoleh informasi berikut (Kuenzer, et al., 2011).
Invetarisasi habitat (menentukan luas area, jenis spesies, hingga
kondisi kesehatan mangrove);
30
Perubahan dan monitoringnya, terutama akibat dinamika perubahan
penggunaan lahan. Hal ini seringkali sebagai dasar upaya konservasi
dan restorasi ekosistem mangrove.
Mendukung evaluasi ekosistem;
Estimasi biomassa (produktivitas);
Estimasi kapasitas regenerasi mangrove;
Perencanaan survei lapangan;
Penilaian kualitas air;
Menyediakan informasi untuk manajemen bencana;
Menyediakan informasi untuk dapat mengerti mengenai proses ekologi
dan biologi yang terjadi pada ekosistem tersebut.
Mumby & Edwards (2000) menemukan beberapa informasi yang dibutuhkan
untuk mangrove. Informasi tersebut yang paling utama adalah tentang batas-
batas mangrove yang terdapat dipesisir terhadap jenis tata guna lahan lainnya.
Berikutnya adalah tentang informasi mangrove yang telah rusak, informasi
tinggi dan kerapatan mangrove, komposisi spesies dalam suatu habitat
mangrove dan biomassanya. Informasi-informasi tersebut adalah bersifat spasial
dan dan dapat dipetakan. Melana, et al. (2000) memberikan pembedaan jenis
informasi yang harus dipenuhi untuk pengelolaan mangrove. Informasi tersebut
adalah mengenai mangrove itu sendiri, seperti jenis mangrove dan
kerapatannya, dan informasi pendukung pengelolaan, seperti penggunaan
sumberdaya dan permasalahan yang terjadi pada kawasan tersebut (tabel 2.1).
Akan tetapi, informasi yang paling dibutuhkan saat ini adalah pemetaan
mangrove yang bersifat multitemporal (time-series), mengingat ini bagian dari
upaya monitoring mangrove untuk mencegah degradasi mangrove yang lebih
intens.
2.2 METODE PEMETAAN DENGAN PENGINDERAAN JAUH
Terdapat dua metode utama dalam perolehan informasi mangrove yang
berkaitan dengan pemetaannya, yakni survei lapangan dan penginderaan jauh.
Survei lapangan adalah metode awal yang digunakan untuk pemetaan
mangrove. Dapat dikatakan, metode pemetaan yang paling sesuai adalah dengan
metode survei lapangan. Karena secara detil informasi diperoleh dan mampu
dipetakan dengan baik. Watson (1928) berhasil memetakan mangrove di
semenanjung Malaya dengan malakukan survei lapangan (gambar 2.1).
Mempertimbangkan teknologi yang ada pada tahun tersebut, dapat dikatakan
bahwa peta yang dihasilkan adalah cukup baik. Pemetaan yang dilakukan
tersebut adalah proyek besar yang dilakukan oleh koloni Inggris dengan dibantu
oleh penduduk pribumi. Jika dihubungkan dengan efisiensi saat ini, hal tersebut
akan sulit dilakukan lagi mengingat telah banyak teknologi pemetaan yang
berkembang.
31
Tabel 2.1. Jenis-jenis peta yang dapat digunakan dalam pengelolaan mangrove
Jenis Peta Informasi
Zonasi mangrove atau
jenis pohon
Mengidentifikasi jenis-jenis spesies mangrove dalam
suatu zonasi
Kerapatan dan tinggi
pohon mangrove
Menentukan kerapatan pohon dan tinggi pohon dengan
satuan pohon per hectare dalam suatu zonasi mangrove
Penggunaan sumberdaya
pesisir
Menentukan jenis-jenis penggunaan lahan di pesisir
mangrove, seperti tambak, permukiman, budidaya
perikanan, penggunaan kayu mangrove, dan lain-lain.
Permasalahan, isu-isu
terbarukan, dan konflik
yang terjadi
Menentukan permasalahan yang terjadi pada wilayah
habitat mangrove. Permasalahan, isu-isu, dan konflik
dapat dipetakan dengan mengaitkan informasi tersebut
dengan lokasi spasialnya. Sebagai contoh tambak illegal,
pemukiman illegal, lokasi-lokasi habitat mangrove yang
menjadi sengketa kepemilikan, dan lain-lain.
Jenis informasi lainnya Informasi ini seperti informasi aliran sungai, tambak
yang masih aktif dan tidak, pasang surut, dan lain-lain.
Sumber: Melana, et al. (2000)
Untuk saat ini, metode survei lapangan adalah alat bantu pemetaan untuk
memperoleh data model atau uji akurasi hasil peta yang telah dibuat. Metode
yang berkembang pesat adalah metode pemetaan dengan penginderaan jauh.
Dalam hal pemetaan menggunakan penginderaan jauh, hal utama yang harus
diperhatikan adalah mengenai sumber data. Perubahan mangrove yang terjadi
tersebut membutuhkan upaya monitoring, evaluasi, dan pengelolaan yang
sesuai. Salah satu upaya yang relevan adalah dengan mengetahui perubahan
yang terjadi menggunakan teknik penginderaan jauh (Green, et al., 1998;
Kuenzer, et al., 2011). Karena dengan pengukuran in situ tidak mampu
menjelaskan perubahan secara multitemporal dan membutuhkan banyak waktu
dan biaya. Keuntungan menggunakan data penginderaan jauh adalah
tersedianya data dengan resolusi yang cukup tinggi, konsisten, pengulangan
perekaman, dan kemampuan dalam mengukur/merekam kondisi permukaan
bumi dengan baik (Owen, et al., 1998). Sumber data yang sering digunakan
untuk analisis ekosistem mangrove berasal dari satelit sumberdaya dengan
resolusi menengah, seperti seri satelit Landsat, SPOT, SAR, CBERS-1, dan
sensor MODIS. Di mana seri satelit Landsat (TM/ETM) dan SPOT adalah yang
paling banyak digunakan (Fei, et al., 2011).
32
Gambar 2.1. Representasi grafis dari zonasi mangrove di Malaysia oleh Watson (1928). Sumber: Smith (1928).
33
2.2.1 Dasar Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan teknik untuk mendapatkan informasi mengenai
objek di permukaan bumi tanpa kontak fisik dengan objek tersebut. Teknik ini
menggunakan perekaman atas area di permukaan bumi yang direpresentasikan
dalam sebuah citra atau gambar. Berbagai citra yang dihasilkan ini selanjutnya
diproses untuk beragam aplikasi di bidang pertanian, kebumian, dan bidang-
bidang lainnya. Lo (1996) menjelaskan, bahwa tujuan utama penginderaan jauh
adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi
tersebut disampaikan melalui gelombang elektromagnetik. Inti dari
penginderaan jauh adalah interpretasi permukaan bumi dari sebuah citra atau
perekaman fotografik. Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang mendekati
kenyataan, maka perlu mengetahui karakteristik sistem penginderaan jauh itu
sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data penginderaan jauh pada
dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu
diterjemahkan dalam bentuk informasi tematik.
Gambar 2.2. Sensor satelit penginderaan jauh yang merekam enegi dari objek dipermukaan bumi, baik energi yang dipantulkan maupun yang dipancarkan oleh objek, termasuk energi yang dipancarkan oleh sensor dan diterima kembali (sistem RADAR).
Memancarkan
radiasi termal
Atmosfer
Vegetasi Tubuh air Rumput Tanah Jalan Lahan Terbangun
Memantulkan radiasi
dari matahari
Matahari
Radar
34
Dalam penginderaan jauh, terdapat empat komponen dasar dalam sistem yang
bekerja: target (objek di permukaan bumi), energi, transmisi, dan sensor
(gambar 2.2). Keempat komponen tersebut menjadi sistem tak terpisah untuk
mendapatkan informasi mengenai target tanpa menyentuh objek (gambar 2.3).
Sumber energi menyinari target sebagai bagian dari penginderaan jauh pasif,
pada penginderaan jauh termal, objek di permukaan bumi yang memancarkan
energi. Energi yang ditransmisikan tersebut mengenai sensor untuk direkam
dengan merubah nilai radian menjadi di proses menjadi sinyal elektrik untuk
diterjemahkan menjadi sebuah citra. Dalam transmisi energi ini, terdapat
interaksi dengan atmosfer yang melemahkan sinyal energi.
Gambar 2.3. Komponen dalam penginderaan jauh, merupakan suatu siklus analisis untuk menghasilkan pemetaan yang lebih baik. Sumber: Liang, et al. (2012)
Energi dari objek yang ditransmisikan ke sensor merupakan radiasi
elektromagnetik. Radiasi, dalam fisika, merupakan proses transmisi energi
melalui ruang. Transmisi energi tersebut dapat terjadi walaupun tidak ada
medium, dengan kecepatan 300.000 km/detik. Energi elektromagnetik
dipancarkan atau dilepaskan oleh semua massa di alam semesta pada level yang
berbeda-beda. Semakin tinggi level energi dalam suatu sumber energi, semakin
rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan dan semakin tinggi
frekuensinya.
Untuk sistem penginderaan jauh, sumber radiasi elektromagnetik yang paling
utama adalah matahari yang memiliki suhu permukaan sekitar 6.000 K. Radiasi
yang dipancarkan oleh matahari memancarkan energi yang meliputi panjang
gelombang pada daerah ultraviolet, tampak, dan inframerah. Panjang
gelombang yang mampu diindera oleh mata manusia adalah pada gelombang
35
tampak dengan panjang gelombang dominan terjadi pada 0,5 μm. Mata manusia
tidak dapat mendeteksi panjang gelombang lainnya karena mata hanya sensitif
pada gelombang tampak dengan panjang gelombang dari 0,4 μm hingga 0,7 μm.
Berbeda dengan hal tersebut, suhu pemukaan bumi jauh lebih rendah yaitu 300
K. Menurut hukum pergeseran Wien, panjang gelombang yang dominan
berubah pada panjang gelombang yang lebih panjang yaitu 9,7 μm. Inilah
mengapa dalam sistem penginderaan jauh sistem termal, panjang gelombang
yang digunakan berkisar pada panjang gelombang puncak yang dipancarkan
oleh permukaan Bumi. Terlebih semua benda di alam yang memiliki suhu di
atas suhu nol mutlak (0 derajat Kelvin atau minus 273oC), memancarkan radiasi
gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang yang luas yang
bergantung pada suhu objek itu sendiri. Dengan demikian semua jenis benda di
permukaan bumi memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik dengan
energi yang dipancarkan berbeda-beda.
Salah satu hal yang berhubungan antara panjang gelombang elektromagnetik
dan penginderaan jauh, yakni apa yang disebut dengan jendela atmosfer.
Maksudnya adalah terdapat interaksi gelombang elektromagnetik terhadap
atmosfer yang menyebabkan hanya panjang gelombang tertentu yang dapat
menembus atmosfer dengan baik. Salah satu penyebabnya, adalah hamburan
yang telah dijelaskan sebelumnya, dan juga terjadi penyerapan gelombang
elektromagnetik oleh gas-gas di atmosfer yang menyebabkan tidak dapat
menembus atmosfer dengan baik. Dapat dikatakan bahwa pada panjang
gelombang tersebut tidak dapat digunakan dalam sistem penginderaan jauh
karena energi foton yang ditransmisikan telah diserap. Partikel atmosfer yang
menyerap energi tersebut antara lain adalah uap air, gas karbondioksida, gas
oksigen dan ozon, telah menahan radiasi dari matahari. Dengan demikian, pada
panjang gelombang yang digunakan berada pada panjang gelombang yang tidak
terjadi penyerapan di atmosfer sehingga energi foton akan dapat sampai ke
sensor untuk direkam.
36
Gambar 2.4. Spektrum gelombang elektromagnetik: panjang gelombang, frekuensi, dan suhu objek pada panjang gelombang tertentu. Sumber: NASA (2007); gambar ini merupakan domain publik dengan lisensi Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0.
Gambar 2.5 menunjukkan persentase dari energi radiasi yang ditransmisikan
dari beberapa panjang gelombang dari gelombang ultraviolet hingga inframerah
jauh. Terlihat bahwa transmitansi tertinggi pada jendela atmosfer berada pada
panjang gelombang 0,5 μm, 2,5 μm, dan 3,5 μm, akan tetapi pada panjang
gelombang 2,0 μm, 3,0 μm dan 7,0 μm terdapat penyerapan energi yang besar
oleh atmosfer. Pada inframerah termal, jendela atmosfer yang paling baik untuk
inframerah termal terletak pada panjang gelombang 8 – 14 μm, karena memiliki
energi radian puncak sebesar 300 K; ini merupakan suhu lingkungan di bumi.
Namun pada beberapa sensor, panjang gelombang 3 – 5 μm digunakan untuk
mengindera suhu yang lebih tinggi seperti yang berasosiasi dengan kebakaran,
aliran lava, atau sumber panas lainnya. Panjang gelombang lain yang digunakan
walau masih dalam penelitian yakni terletak pada panjang gelombang 17 – 25
μm. Akan tetapi, baik penginderaan jauh pasif maupun aktif, tetap beroperasi
pada jendela atmosfer yang sesuai.
37
Gambar 2.5. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik, tipe absorbsi oleh gas dan air di atmosfer, dan jendela atmosfer untuk variasi panjang gelombang dalam sistem penginderaan jauh. Sumber: (Lillesand, et al., 2008).
Pada akhirnya, setelah energi ditransmisikan melalui atmosfer, energi yang
dipantulkan atau yang dipancarkan oleh objek tersebut akan direkam oleh sensor
penginderaan jauh. Energi atau unit radiasi elektromagnetik yang direkam
sensor adalah W/(m2.sr.μm). Artinya transfer energi radiasi (Watt, W) yang
direkam oleh sensor, per meter persegi di permukaan bumi, untuk satu steradian
(sudut 3 dimensi dari bumi ke sensor), per unit panjang gelombang yang diukur.
Sehingga ini seringkali disebut dengan nilai radian atau radian spektral.
Mengacu Reeves, et al. (1975), nilai radian spektral didefinisikan sebagai fluks
radian per unit pada sudut tertentu yang di radiasikan oleh suatu objek ke arah
tertentu. Nilai ini tidak sama dengan nilai reflektan. Nilai reflektan merupakan
rasio energi yang dipantulkan dengan total energi yang mengenai suatu
permukaan per unit area (Reeves, et al., 1975). Ekspresi lain yang mendekati
maksud ini agar mudah di mengerti adalah albedo. Nilai reflektan diperoleh
dengan melakukan konversi dari nilai radian menjadi nilai reflektan, dengan
parameter yang berbeda tiap sensor.
Nilai-nilai piksel objek permukaan Bumi yang berupa citra penginderaan jauh
tersebut agar dapat digunakan untuk analisis perlu dilakukan beberapa
pemrosesan data. Pemrosesan citra penginderaan jauh ini yang paling utama
adalah melakukan koreksi, baik koreksi radiometrik, koreksi geometrik, maupun
koreksi afmosferik. Setelah dilakukan koreksi tersebut, maka data berupa citra
tersebut dapat digunakan untuk beragam aplikasi. Aplikasi-aplikasi tematik
tersebut sebelum diserahkan kepada pengguna harus melalui proses validasi
untuk menentukan apakah informasi peta yang dihasilkan akan sesuai atau tidak.
Dari hasil validasi ini, informasi yang berguna dapat digunakan pula sebagai
bentuk perbaikan sistem sensor yang ada maupun yang akan diluncurkan.
38
Seringkali, sebelum peluncuran satelit, hubungan antara nilai radian dan nilai
piksel telah ditentukan. Ini dinamakan kalibrasi sensor.
2.2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh?
Data penginderaan jauh saat ini telah banyak tersedia, baik dapat diunduh secara
gratis ataupun berbayar. Citra dengan resolusi menengah seringkali telah dapat
diunduh secara gratis. Sedangkan citra dengan resolusi tinggi, hampir
seluruhnya harus dipesan dan berbayar. Jika ingin mendapatkan secara gratis
untuk penelitian, ada baiknya untuk menghubungi LAPAN dan mengikuti
prosedur untuk mendapatkannya. Akan tetapi, hal ini berbeda halnya dengan
perolehan citra melalui foto udara, harus melalui banyak persiapan dan biaya
yang tidak sedikit.
Beberapa direktori untuk memperoleh data penginderaan jauh disajikan pada
tabel 2.2.
2.2.3 Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh
Citra satelit penginderaan jauh secara luas telah digunakan untuk memetakan
mangrove dengan derajat kesuksesan yang berbeda (Li, et al., 2013; Simard, et
al., 2006; Myint, et al., 2008; Green, et al., 1998). Seri satelit Landsat dan SPOT
lebih banyak digunakan karena satelit ini telah lama mengorbit dan
menyediakan data dengan resolusi temporal yang lebih lama. Jika untuk
monitoring, maka koleksi waktu pengamatan menjadi penting. Akan tetapi,
penelitian yang dilakukan oleh Gao (1999) menunjukkan bahwa penggunaan
Landsat dengan resolusi 30 meter, menghasilkan peta mangrove yang lebih
akurat dibandingkan dengan penggunaan citra SPOT yang masing-masing
memiliki resolusi 20 dan 10 meter. Penggunaan satelit Landsat dikonfirmasi
dapat memetakan mangrove lebih akurat dibandingkan dengan citra satelit
SPOT yang memiliki resolusi 10 dan 20 meter (Gao, 1999).
Li, et al. (2013) menggunakan citra Landsat dari tahun 1977 – 2010 untuk
memetakan perubahan hutan mangrove yang terjadi di Zhanjiang, Tiongkok.
Citra penginderaan jauh tersebut diklasifikasi untuk mendapat luasan mangrove
dan perubahannya. Intinya, terjadi pengurangan luasan hutan mangrove akibat
konversi menjadi tambak udang. Sama halnya dengan Carney, et al. (2014) yang
melakukan pemetaan menggunakan citra Landsat dari tahun 1986 – 2010 di
ekosistem mangrove sebelah selatan Afrika. Ditemukan bahwa selama rentang
1986-2010, luasan hutan mangrove telah beralih fungsi hingga mencapai 35%
dari total keseluruhan pada awalnya. Berkurangnya luasan tersebut pada kasus
ini disebabkan oleh kebutuhan kayu untuk kawasan perkotaan.
39
Tabel 2.2. Penyedia produk penginderaan jauh dan direktori unduhan.
Nama Penyedia Keterangan
USGS earth explorer Earth Explorer menyediakan pencarian online untuk
data penginderaan jauh pada arsip USGS, yang
memungkinkan untuk mengunduh citra penginderaan
jauh, foto udara, data ketinggian, produk tutupan lahan,
dan peta digital.
url: http://earthexplorer.usgs.gov/
USGS Global
Visualization Viewer
(GloVis)
Glovis adalah situs pencari yang sama dimiliki oleh
USGS dengan tampilan yang lebih sederhana. Untuk
mengunduh citra pada glovis, kita perlu membuat akun
terlebih dahulu (yang dapat digunakan juga di earth
explorer).
Citra yang tersedia di glovis antara lain untuk citra
satelit/sensor: foto udara wilayah Amerika Serikat,
ASTER, EO-1 ALI dan Hyperion, seri satelit Landsat
(MSS, TM, ETM, dan OLI), dan MODIS
url: http://glovis.usgs.gov/
USGS Data Pool url: https://lpdaac.usgs.gov/data_access/data_pool
NASA Reverb Reverb adalah situs generasi terbaru yang disediakan
oleh NASA untuk mengunduh data yang dimiliki oleh
Earth Observation System (EOS) NASA. Beragam citra
satelit dan sensor, serta produk kebumian dapat diunduh.
url: http://reverb.echo.nasa.gov/reverb/
NASA Untuk mengunduh citra satelit AVIRIS, yakni
http://aviris.jpl.nasa.gov/alt_locator/
European Space
Agency
Beberapa satelit yang dikelola oleh European Space
Agency (ESA) dapat diunduh secara gratis setelah
melakukan registrasi.
url 1: https://earth.esa.int/web/guest/data-access/online-
archives
url 2: http://www.vito-
eodata.be/PDF/portal/Application.html#Home
National Institute for
Space Research/
Brazil Space Agency
China–Brazil Earth Resources Satellite program
(CBERS) adalah salah satu satelit yang tidak banyak
diketahui oleh khalayak. Satelit ini merupakan hasil
kerjasama antara agensi antariksa Brazil dan Cina, yang
memiliki resolusi spasial bervariasi dari 2,7 m
(pankromatik) hingga 20 m (multispektral).
url: http://www.dgi.inpe.br/CDSR/
40
Opa (2010) melakukan hal yang sama dengan menganalisis perubahan luasan
mangrove di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, menggunakan citra
Landsat TM. Perubahan tersebut diekstrak menggunakan klasifikasi maximum
likelihood dan NDVI. Parameter-parameter yang dikaji adalah konversi lahan
terutama untuk pemukiman dan tambak. Terdapat hubungan antara
berkurangnya areal hutan mangrove dan peningkatan kawasan pemukiman dan
tambak. Sedangkan Lee & Yeh (2009) menggunakan citra SPOT, Landsat, dan
Quickbird untuk monitoring distribusi spasial dari hutan mangrove. Pada
penelitian yang dilakukan di estuari sungai Danshui, Taipei, Taiwan, ditemukan
usaha konservasi ekosistem mangrove yang dilakukan menunjukkan tren yang
positif. Artinya, setelah adanya usaha restorasi hutan mangrove, terjadi
peningkatan luasan mangrove pada area tersebut.
Giri, et al. (2014) melakukan klasifikasi zonasi ekologi hutan mangrove di India
menggunakan metode klasifikasi maximum likelihood. Hasilnya, Giri, et al.
(2014) dengan data citra Landsat tahun 1999 dan 2010, mampu memetakan
enam kelas spesies mangrove, yakni Avicennia sp., Excoecaria sp., Phoenix sp.,
Bruguiera sp., Ceriops sp., dan kelas campuran. Akurasi pemetaan masing-
masing tahun 1999 dan 2010 adalah 80% dan 85,71%. Sedangkan Sulong, et al.
(2002) menggunakan Landsat TM untuk memetakan mangrove di Malaysia.
Kelas zonasi ekologi spesies mangrove yang dihasilkan mencapai 7 kelas
klasifikasi dengan akurasi 87,8%.
Penggunaan satelit SPOT untuk analisis perubahan mangrove dilakukan juga
oleh Conchedda, et al. (2008). Menggunakan klasifikasi berbasis objek,
menggunakan citra satelit SPOT XS tahun 1986 – 2006 untuk daerah Sinegal.
Klasifikasi yang dihasilkan memberikan akurasi hingga 86%, dan terjadi
peningkatan luasan mangrove di area Low Casamance, Sinegal, yang
diakibatkan musim hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di sini
pengaruh kegiatan manusia sangat terbatas.
Untuk resolusi yang rendah, Rahman, et al. (2013) menggunakan citra MODIS
dengan resolusi 250 meter untuk memetakan mangrove di Delta Mahakam dari
tahun 2000 – 2010. Hasilnya didapatkan luasan sebesar 21.000 ± 152 hektare
mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang selama 11 tahun
pengamatan tersebut. Di sini, faktor perubahan ekosistem mangrove
dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi menyebabkan deforestasi hutan
mangrove yang mencapai 75% dari luas awal.
Citra satelit resolusi tinggi juga secara luas digunakan untuk memetakan kondisi
mangrove yang lebih detil. Citra satelit yang digunakan secara luas untuk
memetakan mangrove adalah IKONOS dan Quickbird (Wang, et al., 2004).
Wang, et al. (2004) juga memberikan kesimpulan bahwa penggunaan citra
41
resolusi spasial tinggi menghasilkan klasifikasi mangrove hingga tingkat spesies
yang cukup baik. Selain itu, kombinasi satelit multispektral dan penggunaan
radar juga menjadi salah satu metode dalam pemetaan ekosistem mangrove.
Penggunaan citra Synthetic Aperture Radar (SAR) dari satelit JERS-1 SAR and
ALOS PALSAR memberikan citra yang bebas dari awan (Nascimento, et al.,
2013). Integrasi memberikan hasil akurasi hingga 96%, dan tren mangrove tidak
berkurang, tapi meningkat di muara sungai Amazon dari 6.705 km2 menjadi
7.423.60 km2. Nascimento, et al. (2013) merekomendasikan penggunaan data
radar tersebut untuk pemetaan distribusi mangrove, mengingat akurasi yang
dihasilkan cukup tinggi.
Dari itu semua, terdapat peluang aplikasi dengan diluncurkannya satelit dan
sensor-sensor penginderaan jauh yang baru. Terutama untuk aplikasi
menggunakan sumber data citra resolusi tinggi maupun citra hiperspektral.
2.2.4 Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh
yang Digunakan
Jika berbicara tentang data penginderaan jauh, terdapat satu hal yang melekat,
yakni hubungan antara resolusi spasial dan skala yang dihasilkan. Resolusi
spasial pada citra penginderaan jauh menentukan skala pemetaan yang
dihasilkan, atau sebaliknya. Jika kita menginginkan skala tertentu, maka
membutuhkan resolusi spasial yang sesuai juga. Untuk citra penginderaan jauh
resolusi tinggi tentu akan menghasilkan informasi tentang mangrove yang lebih
detail, dan ini yang dibutuhkan. Akan tetapi, terkait masalah pembiayaan citra
tersebut yang relatif mahal, menjadi keterbatasan dalam penelitiannya. Pada
akhirnya pemetaan yang akurat, seberapapun skalanya; adalah hal esensial yang
harus diperhatikan dalam perolehan informasi mangrove dan untuk pengelolaan
yang tepat. FAO (1994) menjabarkan bahwa pada skala 1:25.000, mampu
memisahkan spesies Avicennia dan Rhizophora dengan baik. Akan tetapi, pada
komonitas mangrove yang tercampur atau lebih satu spesies lebih susah untuk
dikenali pada citra.
Pada tabel 2.3 telah dijabarkan mengenai skala pemetaan, sumber data
penginginderaan jauh, resolusi spasial, dan informasi yang dibutuhkan dalam
pemetaan.
42
Tabel 2.3. Kedetilan informasi klasifikasi mangrove dan sumber data penginderaan jauh yang relevan.
Skala Sumber data PJ Resolusi
spasial
Klasifikasi
> 1:250.000 Sensor MODIS 100 m – 1 km Mangrove
Non-mangrove
1:50.000 –1:250.000
Sensor penginderaan jauh dengan resolusi
menengah, seperti:
seri satelit Landsat, SPOT, ASTER,
ALOS, dan lain-lain.
10 m – 100 m - Non mangrove
Klasifikasi mangrove berdasarkan
kerapatannya, seperti:
- Mangrove lebat (70-100%) - Mangrove sedang (50-69%)
- Mangrove Jarang (<50%)
Pada area mangrove yang lebih luas, pada resolusi ini mampu
memetakan sampai ketingkat
komunitas mangrove/zonasi mangrove
> 1:10.000 Sensor penginderaan
jauh resolusi tinggi,
seperti citra satelit
Quickbird, GeoEye,
IKONOS, hingga citra foto udara.
>10 m Klasifikasi lebih detil, selain
kerapatan, juga mengklasifikasi
tipologi mangrove, zonasi
mangrove, hingga spesies
dominan.
Sumber: Modifikasi SNI survei dan pemetaan mangrove.
Pada citra penginderaan jauh resolusi rendah atau dengan skala 1:250.000, tidak
memungkinkan klasifikasi mangrove yang detil. Seringkali hanya untuk
membedakan mana yang mangrove dan non-mangrove. Dalam hal ini yang patut
menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan akurasi pemetaan, karena
pada satu piksel bisa jadi memuat informasi campuran antara mangrove dan
bukan yang dapat membuat kesalahan informasi. Sama halnya jika skala yang
semakin besar, kedetilan informasi mengharuskan pula validasi yang lebih detail
untuk memastikan informasi yang diekstrak melalui penginderaan jauh adalah
sesuai dengan kondisi permukaan Bumi.
FAO (1994) memberikan alternatif lain dalam pemilihan skala pemetaan, yakni
membagi dalam level perencanaan yang berbeda. Level perencanaan tersebut
terbagi atas level nasional, level rencana pengelolaan, dan level rencana
operasional. Secara khusus dapat disajikan pada tabel 2.4.
43
Tabel 2.4. Jenis informasi yang diperlukan pada level skala aplikasi yang berbeda.
Level Aplikasi Informasi yang dipetakan Skala
Level nasional Distribusi mangrove
Tipe tutupan lahan secara
umum
1:50:000 – 1:250.000
Level rencana
pengelolaan
Lokasi-lokasi mangrove
Zonasi (komonitas)
mangrove
Tipe penggunaan lahan
secara umum
1:25.000 – 1:50.000
Level rencana
operasional
Jenis/spesies mangrove dan
tegakannya
Sumberdaya mangrove
secara umum
>1:25.000
Sumber: FAO (1994)
2.2.5 Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh
Untuk mengetahui karakteristik mangrove di citra penginderaan jauh, maka
harus diketahui karakteristik objek mangrove itu sendiri. Mangrove yang hidup
di kawasan pesisir, komposisi objek yang terekam yakni vegetasi, tanah, dan air
(Kuenzer, et al., 2011). Seringkali objek yang terekam oleh sensor adalah objek
campuran akibat pengaruh dari pasang surut dan musim. Akan tetapi, walaupun
terdapat campuran antara mangrove dan vegetasi lainnya, teknik penginderaan
jauh mampu membedakan mangrove dan vegetasi lainnya tersebut (Lee & Yeh,
2009). Sehingga mengetahui karakteristik dasar tersebut, akan sangat membantu
dalam identifikasi mangrove dari penginderaan jauh.
Salah satu komponen lain yang harus diketahui adalah tentang spesies mangrove
itu sendiri, mengingat tiap spesies memiliki perbedaan karakteristik. Dengan
keanekaragaman spesies tertinggi di kawasan Asia Tenggara, akan membuat
kesulitan dalam pembedaan masing-masing spesies tersebut. Untuk spesies
mangrove yang dominan di Indonesia secara umum dan di area Asia Pasifik,
terdiri atas spesies pada genus Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan
Laguncularia.
44
2.2.5.1 Karakteristik Spektral Mangrove pada Penginderaan Jauh
Optik
Pada penginderaan jauh optik, sistem yang digunakan adalah sistem pasif. Yakni
menggunakan pantulan sinar matahari yang kemudian di rekam oleh sensor.
Dengan demikian, faktor spektral yang berpengaruh pada mangrove adalah
kanopi dan daun, karena objek tersebut yang nampak di permukaan. Secara
rinci, spektral yang terekam oleh sensor dipengaruhi oleh kanopi yang homogen
atau heterogen (campuran terdiri banyak jenis kanopi dan spesies). Hal tersebut
tergantung pada komposisi spesies, pola distribusinya, pola pembentukan dan
pertumbuhannya, kerapatan, dan tinggi pohon. Beberapa peneliti juga
menyebutkan walaupun kanopi berpengaruh terhadap pola spektral yang
terekam, tetapi kondisi bawah permukaan mangrove memiliki hubungan juga
terhadap karakteristik spektral, seperti Leaf Area Index (LAI), pantulan dari
permukaan bawah kanopi (tanah tempat hidup mangrove), dan inklinasi daun
(Diaz & Balckburn, 2003).
Untuk karakteristik spektral pada spesies tunggal, ditentukan oleh umur
tanaman, kemampuan beradaptasi pada kondisi pasang maupun surut, dan
karakteristik fisik dan fenologi. Hal yang menentukan karakteristik tersebut
adalah periode iklim yang dapat mengubah dan mempengaruhi respon terhadap
penuaan dan pengguguran daun. Jadi dapat dikatakan, tiap musim, ketika daun
terbentuk, daun menua dan gugur, akan mempengaruhi respon spektral yang
diberikan.
Karakteristik spektral mangrove adalah karakteristik spektral vegetasi secara
umum. Seperti pantulan spektral meningkat pada gelombang hijau karena
adanya klorofil a dan b, dan meningkat drastis di gelombang inframerah dekat.
Telah di sebutkan bahwa perbedaan spesies juga berpengaruh terhadap respon
spektral yang diterima sensor. Gambar 2.6 menunjukkan perbedaan spektral
pada spesies Avicennia marina and Rhizophora conjugata (Bruguira
gymnorhiza) yang diukur menggunakan spektrometer. Mengenai perbedaan ini,
terdapat hipotesis yang mengemukakan bahwa perbedaan tersebut karena
adanya komponen daun yang berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik
lebih mendominasi di gelombang inframerah. Komponen daun tersebut antara
lain garam, gula, air, protein, minyak, lignin, dan selulosa, termasuk struktur
daun itu sendiri. Selain itu, karakteristik spektral secara tidak langsung
dipengaruhi oleh pasang surut. Karena pasang surut mempengaruhi interaksi
gelombang elektromagnetik (Li, et al., 2013).
45
Gambar 2.6. Karakteristik spektral dan parameter yang mempengaruhinya pada spesies mangrove Avicennia marina dan Rhizophora conjugata (Bruguira gymnorhiza) yang diukur menggunakan spectrometer. Sumber: (Kuenzer, et al., 2011).
Pada perkembangannya, dalam pandangan spektral sangat tidak dimungkinkan
mengenali tiap spesies mangrove dengan penginderaan jauh. Mengingat
pantulan spektral tersebut dipengaruhi oleh banyak hal seperti tanah dan efek
pasang surut. Akan tetapi, dengan koreksi yang benar dan pemilihan band yang
sesuai, memungkinkan untuk memilah spesies mangrove berdasar data
penginderaan jauh. Pada gambar 2.7 adalah berbedaan pantulan spektral yang
diukur dengan radiometer pada masing-masing spesies mangrove: Brugueira,
Rhizphora, dan Avicennia. Walaupun dapat dipisahkan secara spektral, pada
kenyataannya habitat aslinya, mangrove berbentuk komunitas yang seringkali
batas antar spesies tidak mudah dipisahkan.
46
Gambar 2.7. Respon spektral dari Bruguiera, Rhizophora, Avicennia, dan respon spektral tanah. Terlihat bahwa masing-masing spesies dapat dibedakan secara spektral dengan cukup baik. Sumber: Blasco, et al. (1998).
2.2.5.2 Karakteristik Spektral Mangrove pada Data Radar
Pada intinya, data radar sangat jarang digunakan untuk analisis ekosistem
mangrove. Hal ini mengingat data radar, terutama SAR (Syntethic Aperture
Radar), lebih sulit diinterpretasi dibandingkan dengan citra sumberdaya pada
umumnya yang berupa perekaman optik. Karena objek yang terekam bukanlah
objek yang terlihat, karena yang direkam adalah pantulan energi yang
dipancarkan oleh sensor.
Disini intensitas sinyal diukur berdasarkan koefisien hamburan balik (σo) dalam
desibel (dB). Karena gelombang mikro dapat ditansmisikan dalam banyak
konfigurasi, baik perbedaan panjang gelombang, polarisasi, sudut pemancaran
dan penerima, mengakibatkan permukaan yang sama dapat menghasilkan
hamburan balik yang berbeda. Interaksi antara radiasi elektromagnetik yang
dipancarkan dengan struktur internal daun (seperti kelembaban daun, dan lain-
lain) dan komponen luar (seperti ukuran, geometri, arah orientasi daun,
percabangan, batang, akar) juga menghasilkan hamburan balik yang berbeda
(gambar 2.8).
47
Gambar 2.8. Karakteristik hamburan balik pada radar pada tiap-tiap fase pertumbuhan vegetasi dan panjang gelombang mikro yang digunakan. Sumber: Kuenzer, et al. (2011).
2.2.6 Metode Pemetaan yang Digunakan untuk Memperoleh
Informasi Mangrove
Untuk menentukan klasifikasi mangrove menggunakan penginderaan jauh, hal
mendasar yang perlu diperhatikan adalah mengenai metode klasifikasi yang
digunakan. Berikut adalah metode klasifikasi yang digunakan oleh beberapa
peneliti.
2.2.6.1 Klasifikasi Manual/Interpretasi Visual
Klasifikasi mangrove berdasarkan metode ini menggunakan pengalaman
interpreter untuk menghasilkan klasifikasi yang baik. Unsur-unsur interpretasi
digunakan secara utuh jika menggunakan metode ini. unsur-unsur interpretasi
citra di antaranya: lokasi, ukuran, bentuk, bayangan, rona/warna, tekstur, pola,
dan situs/asosiasi. Semakin berpengalaman interpreter dalam mengklasifikasi,
maka semakin baik dan akurasi yang tinggi atas peta yang dihasilkan. Walaupun
demikian, metode interpretasi visual digunakan bersama dengan klasifikasi
multispektral untuk meningkatkan akurasi. Permasalahan yang muncul dengan
metode ini adalah waktu pemetaan yang dapat lebih lama jika dibandingkan
dengan klasifikasi otomatis/multispektral yang dilakukan oleh komputer. Akan
tetapi, hasil pemetaan lebih komplek dan dapat berisi banyak informasi sesuai
dengan keahlian interpreter itu sendiri.
48
Gambar 2.9. Citra komposit hutan mangrove Matang, Malaysia, yang direkam dengan Landsat 7 tanggal 27 Desember 1999. Hutan mangrove berasosiasi dengan lokasi berbatasan dengan laut, dan memiliki rona warna yang berbeda dengan hutan tropis atau vegetasi tanaman pertanian. Sumber: (NASA Earth Observatory, 2006).
49
Dalam praktek klasifikasi menggunakan interpretasi visual ini, hal yang dapat
membantu dalam pembedaan objek adalah penggunaan komposit citra yang
tepat. Fawzi (2016) dalam interpretasi mangrove menggunakan komposit 542,
yang dinilai lebih meningkatkan pembedaan antar komunitas mangrove. Hal ini
berbeda pada klasifikasi habitat mangrove lainnya, terutama terkait musim dan
citra penginderaan jauh yang digunakan. Pada sisi lain, penggunaan interpretasi
visual dalam pemetaan mangrove memungkinkan klasifikasi yang tepat pada
objek-objek yang berbeda namun memiliki rona/warna yang sama.
2.2.6.2 Klasifikasi Supervised dan Unsupervised
Secara umum, jenis klasifikasi ini, supervised maupun unsupervised adalah
menggunakan fungsi statistik untuk mengelompokkan piksel yang homogen.
Asumsi yang digunakan piksel-piksel yang homogen tersebut
merepresentasikan objek yang sama. Fungsi dari klasifikasi ini adalah pola
pengenalan pengelompokan piksel dan mengklasifikasikannya berdasar piksel-
piksel yang homogen.
Li, et al, (2013) menggunakan klasifikasi supervised untuk menghasilkan
informasi mangrove dan bukan mangrove. Klasifikasi supervised yang paling
umum digunakan adalah klasifikasi maximum likelihood (Lee & Yeh, 2009;
Giri, et al., 2014). Sedangkan klasifikasi unsupervised juga telah memberikan
hasil yang cukup baik untuk identifikasi mangrove, terutama dengan
menggunakan analisis kluster.
Jika ditanya, metode klasifikasi apa yang sesuai? Maka jawabannya semuanya
sesuai untuk digunakan dalam klasifikasi mangrove. Akan tetapi, memberikan
hasil akurasi yang berbeda. Sebagai contoh, metode klasifikasi yang sama, jika
digunakan pada dua citra berbeda perekaman, atau berbeda wilayah,
memberikan hasil (akurasi) yang berbeda pula. Sehingga, untuk klasifikasi ini
tentu membutuhkan validasi.
2.2.6.3 Artificial Neural Network dan Berbasis Objek
Metode pemetaan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) merupakan
klasifikasi dengan pendekatan kecerdasan buatan, di mana digunakan banyak
parameter dan algoritma untuk mengolah citra agar berpikir layaknya “manusia”
berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan. Jadi dalam klasifikasi
multispektral yang dilakukan, tidak hanya menggunakan data spektral dari citra
saja. Melalui algoritma tertentu, data non-spektral seperti ketinggian, salinitas,
dan pH dapat digunakan sebagai data tambahan pemetaan mangrove untuk
meningkatkan akurasi.
Sedangkan klasifikasi berbasis objek tidak menggunakan satuan piksel sebagai
input klasifikasi, akan tetapi piksel sebagai suatu objek berdasarkan konteks
50
spasial dan hubungannya antar objek. Terutama klasifikasi berbasi objek ini
mampu menrespon pola perubahan dan fragmentasi yang terjadi dalam area
yang dipetakan.
2.2.6.4 Metode kombinasi band
Metode ini adalah metode yang lebih banyak digunakan. Ini didasarkan atas
kondisi fisik dari mangrove dan karakteristiknya. Kombinasi band termasuk
didalamnya adalah rasio band, operasi aljabar pada citra untuk menonjolkan
karakteristik tertentu dari suatu objek pada citra, dalam hal ini adalah mangrove.
Kombinasi band yang secara luas digunakan adalah (Normalized Difference
Vegetation Index) NDVI (Lee & Yeh, 2009). NDVI secara konseptual dan
terbukti memberikan kenampakan yang menonjolkan mangrove.
Aplikasi dari penggunaan kombinasi band biasanya untuk mengkelaskan
kerapatan mangrove berdasarkan nilai NDVI yang dihasilkan. NDVI mampu
menunjukkan tingkat “kehijauan” tumbuhan dengan baik, dan menilai
perubahannya secara temporal (gambar 2.10). Alatorre, et al. (2016) mampu
memetakan mangrove di Teluk California, Meksiko, dengan menggunakan
transformasi NDVI. Hasilnya mampu menilai perubahan mangrove yang terjadi
akibat konversi mangrove menjadi tambak pada rentang tahun 1990 – 2010.
Gambar 2.10. Distribusi spasial perubahan NDVI pada tahun 1990 – 2010. Dengan NDVI, mampu menilai distribusi kerusakan mangrove yang terjadi dengan baik. Sumber: Alatorre, et al. (2016).
51
2.3 REVIEW PEMETAAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA
PENGINDERAAN JAUH
2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi
Menengah
Citra penginderaan jauh resolusi menengah merupakan citra penginderaan jauh
yang paling banyak digunakan dalam pemetaan mangrove. Ini mengingat
ketersediaan data lebih dari 4 dekade dan mencakup skala regional, terlebih lagi
mudah didapat dan gratis. Berbeda dengan ketika menggunakan citra
penginderaan jauh resolusi tinggi yang membutuhkan biaya untuk membeli citra
dan terbatasnya data untuk analisis multitemporal. Hal tersebut karena citra
resolusi tinggi baru tersedia secara luas mulai awal tahun 2000an.
Beragam sensor digunakan dalam pemetaan mangrove menggunakan
penginderaan jauh (Green, et al., 1998; Kuenzer, et al., 2011). Citra satelit
resolusi menengah seperti seri satelit Landsat dan SPOT adalah yang paling
sering digunakan. penggunaan sensor ASTER juga telah banyak digunakan.
aplikasi yang secara luas dihasilkan adalah untuk analisis multitemporal yang
melibatkan dua atau lebih waktu perekaman citra. Hal ini mendukung upaya
monitoring ekosistem mangrove secara kontinu.
Permasalahan yang muncul adalah dengan informasi yang dapat diperoleh
dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi menengah ini. Informasi
mangrove tersebut dapat berupa informasi mangrove dan non-mangrove,
kerapatannya, hingga pada habitat tertentu dapat memperoleh informasi tentang
zonasi ekologisnya. Kuenzer, et al., (2011) menyatakan untuk metode pemetaan
yang digunakan, paling banyak menggunakan pemetaan otomatis berbasis
piksel, baik klasifikasi supervised maupun unsupervised. Kemudian pemetaan
menggunakan interpretasi visual, indeks vegetasi seperti NDVI, dan klasifikasi
berbasis ANN.
2.3.1.1 Pemetaan Mangrove Secara Umum Menggunakan Citra
Resolusi Menengah
Tantangan dalam pemetaan mangrove menggunakan citra resolusi menengah
adalah informasi mangrove yang dihasilkan. Semakin meningkatnya teknologi
pemetaan, informasi yang diperoleh tidak lagi informasi mangrove dan non-
mangrove. Akan tetapi, dengan upaya pembedaan spektral yang lebih baik,
informasi pemetaan semakin meningkat hingga ke zonasi ekologis
mangrove/komonitas mangrove. Zonasi ekologis mangrove atau zonasi
mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove yang mencirikan
spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang berbeda dari arah
laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992).
52
Terkait masalah pemetaan, Myint, et al. (2008) menerangkan tentang hubungan
yang cukup baik antara penggunaan citra Landsat TM dengan zonasi mangrove.
Dengan klasifikasi berbasis piksel menghasilkan akurasi sebesar 62,8%, lebih
rendah jika menggunakan klasifikasi berbasi objek yang menhasilkan akurasi
sebesar 94,2%. Dari Myint, et al. (2008), kita juga dapat mengetahui
kemampuan citra Landsat untuk pemetaan zonasi mangrove. Hal yang sama
dilakukan oleh Giri, et al. (2014) yang juga menggunakan citra Landsat TM dan
ETM+ untuk memetakan zonasi mangrove di kawasan lindung mangrove
Sundarban, India. Data citra satelit yang digunakan dari tahun 1999 – 2010. Giri,
et al. (2014) mendapatkan lima kelas utama dalam zonasi mangrove, yaitu
Avicennia sp., Excoecaria spp., Phoenix spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., dan
kelas campuran. Untuk akurasi, pada tahun 1999 memiliki akurasi 80% dan
untuk tahun 2010 memiliki akurasi 85,71%. Pemetaan zonasi mangrove
menggunakan citra Landsat, dapat menghasilkan akurasi >90%. Seperti yang
dilakukan oleh Jia, et al. (2013) yang memetakan mengrove di pesisir Tiongkok,
yang menghasilkan akurasi pemetaan mencapai 92,6%.
Penggunaan citra Landsat TM dan foto udara dalam pemetaan mangrove,
dilakukan oleh Sulong, et al. (2002). Sulong, et al. (2002) melakukan penelitian
mangrove di Trengganu, Malaysia. Dengan menggunakan foto udara,
didapatkan kelas klasifikasi zonasi mangrove mencapai 14 kelas dengan akurasi
91,2%. Sedangkan dengan citra Landsat TM mempu menghasilkan 7 kelas
dengan akurasi 87,8%. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut,
dapat dikatakan bahwa pemetaan zonasi mangrove menggunakan citra Landsat
dapat dilakukan dengan akurat dari segi nilai akurasi yang dihasilkan.
Keberhasilan pemetaan mangrove hingga informasi zonasi mangrove – selain
informasi tentang kerapatan, telah dijelaskan oleh Green, et al., (1998). Berbagai
macam metode yang digunakan, mulai interpretasi visual, indeks vegetasi, dan
klasifikasi multispektral, telah menghasilkan dua hingga tujuh kelas klasifikasi
mangrove. Walaupun demikian, masih terdapat faktor pembatas di sini, adalah
dilakukan atau tidak upaya validasi melalui survei lapangan. Secara lebih detail,
Kuenzer, et al., (2011) menginventarisasi informasi pemetaan yang dihasilkan
pada level regional menggunakan citra resolusi menengah:
mangrove dan non-mangrove,
kerapatan mangrove,
status kerusakan mangrove, dan
komunitas spesies mangrove yang dominan dalam suatu habitat
mangrove.
Lebih lanjut, seperti yang dikatakan oleh Dutrieux, et al. (2014), penginderaan
jauh adalah opsi terbaik, namun masih tetap membutuhkan validasi yang
53
merupakan sebuah tantangan keilmuan yang harus diselesaikan (Myint, et al.,
2008; Giri, et al., 2014; Jia, et al., 2013). Tantangan dimaksud terkait dengan
akurasi pemetaan yang dihasilkan dan metode yang tepat. Bagaimanapun,
aplikasi pemetaan menggunakan citra Landsat juga memiliki kondisi yang kritis.
Apalagi dengan resolusi 30 meter dan habitat mengrove di daerah pesisir
seringkali memiliki lebar <50 meter. Sehingga Kuenzer, et al. (2011)
menyatakan agar dapat dilakukan, luasan mangrove di lokasi penelitian harus
dua kali lebih besar dari resolusi satelit Landsat itu sendiri.
Sebagai contoh, untuk mangrove di kawasan pantai utara pulau Jawa seringkali
hanya hidup di garis pantai dengan lebar <100 meter. Sehingga perlu
penyesuaian penggunaan resolusi citra yang sesuai dan informasi mangrove
yang dihasilkan jika dilakukan pemetaan. Berbeda hal jika pemetaan dilakukan
pada habitat mangrove yang luas, seperti di Delta Mahakam. Ekosistem
mangrove yang ada cukup luas untuk dapat dideteksi dengan satelit Landsat.
Karena ekosistem mangrove yang luas ini, perbedaan spektral komonitas
mangrove atas setiap zonasi mangrove dapat dikenali melali rona/warna. Hal
tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam deliniasi zonasi mangrove yang
ada di delta. Terlebih lagi, komunitas mangrove yang membentuk suatu zonasi
mangrove di Delta Mahakam hampir sepenuhnya homogen. Sehingga hasil
deliniasi interpretasi visual memiliki nilai akurasi yang cukup tinggi.
2.3.1.2 Monitoring Konversi Mangrove menjadi Tambak
Fawzi (2016) melakukan pemetaan untuk monitoring hutan mangrove secara
multitemporal di Delta Mahakam. Delta Mahakam berada di pantai timur
Provinsi Kalimantan Timur, atau berlokasi antara koordinat 019'39" hingga
053'42" lintang selatan dan 11717'13" to 11737'47" bujur timur. Delta
Mahakam terbentuk di muara Sungai Mahakam, yang berbatasan langsung
dengan selat Makassar. Delta Mahakam memiliki luas sekitar 1.500 km2, yang
tertutup vegetasi mangrove pada awal tahun 1990an (Dutrieux, 1991).
Monitoring yang dilakukan, terutama akibat konversi hutan mangrove menjadi
tambak. Terutama untuk hutan mangrove pada daerah tropis, secara intensif
telah dikonversi menjadi tambak untuk budidaya udang (Lee, 1999). Secara luas
konversi mangrove menjadi tambak hampir terjadi pada kawasan-kawasan delta
atau kawasan yang sesuai untuk pembudidayaan menggunakan tambak. Sebagai
contoh di kawasan Delta Mahakam. Konversi hutan mangrove untuk
pengembangan tambak udang terjadi di Delta Mahakam dan menjadi penyebab
utama deforestasi pada kawasan delta (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al.,
2014; Samad, et al., 2013; Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak
tahun 1990, yang menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam
terkonversi menjadi tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun
54
2000, hutan mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai
47%, dan meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006;
Rahman, et al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi
hutan mangrove di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang
tahun 2000 hingga 2010.
Di sini, terdapat hubungan yang signifikan terhadap pembangunan tambak
untuk budidaya udang dengan fragmentasi hutan mangrove. Seto & Fragkias
(2007) meneliti pembangunan tambak di hutan lindung Xuan Thuy dan Tien Hai
Vietnam, kawasan mangrove yang telah dilindungi secara hukum (atau secara
global disebut dengan Ramsar). Data yang digunakan adalah citra Landsat TM
untuk mendapatkan data mangrove secara spasial dan multitemporal. Hasilnya
terjadi fragmentasi akibat pembangunan tambak, walaupun kawasan mangrove
tersebut telah dilindungi. Li, et al. (2013) juga melakukan hal serupa di pantai
Tiongkok. Dengan data citra Landsat dari tahun 1997-2010, dihasilkan
perubahan tutupan mangrove akibat pembangunan tambak yang mengakibatkan
fragmentasi mangrove. Akan tetapi, Li, et al. (2013) menjelaskan karena
terdapat upaya untuk memperbaiki ekosistem, tutupan mangrove kembali
bertambah di tahun 2010. Li, et al. (2013) juga menambahkan, perlu upaya yang
serius untuk mengkonservasi tutupan mangrove, terkait perencanaan dan
pengelolaannya.
Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra satelit Landsat
multitemporal. Path/row citra yang digunakan berada pada path/row 116/60 dan
116/61. Data tersebut diinterpretasi secara visual untuk mendapatkan zonasi
mangrove di Delta Mahakam. Data tersebut tidak merepresentasikan urutan
tahun secara aritmetik atau bulan yang sama. Hal ini mengingat terbatasnya citra
yang bebas awan. Data satelit Landsat yang digunakan diunduh pada situs resmi
USGS (Badan Survei Geologi Amerika Serikat). Resolusi spasial untuk citra
Landsat TM maupun Landsat OLI yang digunakan adalah 30 meter. Semua data
penginderaan jauh telah terkoreksi geometrik level 1T dengan proyeksi
Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 M dengan datum WGS 1984.
Di sini, karena wilayah penelitian mencakup dua citra satelit yang berbeda
path/row, maka sebelum dilakukan pengolahan data terlebih dahulu dilakukan
penggabungan citra atau mozaik citra.
55
Tabel 2.5. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian.
Satelit Tenggal
Perekaman
Tahun
Perekaman
Keterangan
(terkait pemilihan tahun
pengamatan)
Landsat TM
17 Januari 1989
Tahun acuan untuk representasi hutan
mangrove yang masih utuh di Delta
Mahakam.
3 Agustus 1997
Terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia dan menjadi titik acuan
peningkatan pembangunan tambak.
31 Maret 2004
Era titik puncak pembangunan dan
peningkatan produksi tambak (Bosma,
et al., 2012).
17 Juni 2009 20 tahun setelah tahuan acuan
pengamatan.
Landsat OLI 1 Mei 2015
Kondisi Delta Mahakam saat ini dan
untuk mengetahui perubahan yang
terjadi.
Interpretasi dilakukan pada citra Landsat TM tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan
citra Landsat 8 tahun 2015 untuk menghasilkan zonasi mangrove tiap-tiap tahun
tersebut. Dasar interpretasi adalah perbedaan rona/warna pada citra dan
perbedaan tekstur. Interpretasi visual yang dilakukan menghasilkan 8 kelas
klasifikasi zonasi, yakni dengan membedakan tubuh air dan daratan, formasi
Avicennia spp. (Avicennia L. 1753) yang dalam hal ini berasosiasi dengan
formasi Rhizophora spp. (Rhizophora L. 1753) dan Acrostichum aureum
Linnaeus 1753, formasi Nypa fruticans (Thunb.) Wurb. 1781, gabungan spesies
Heriteira littoralis Dryan. in Aiton 1789 dan Oncosperma tigillarium (jack)
Ridl. 1900 sebagai zona transisi hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan
kawasan tambak dan lahan terbuka.
Tiap-tiap spesies mangrove membentuk suatu formasi mangrove yang
dipengaruhi oleh kondisi salinitas. Kondisi salinitas ini yang mempengaruhi
formasi mangrove yang terbentuk pada zonasi mangrove yang dihasilkan. Pada
zonasi Avicennia spp. merupakan formasi mangrove yang berbatasan dengan
laut secara langsung. Nilai salinitas bervariasi antara 20 o/oo – 35o/oo. Pada zonasi
Avicennia spp. ini didominasi oleh genus Avicennia yang terdiri atas Avicennia
officinalis, A. alba, A. lanata, dan A. marina. Karena didominasi oleh Avicennia,
maka terdapat spesies lain yang berada di zonasi ini dan mampu beradaptasi
dengan kondisi salinitas tinggi. Spesies tersebut termasuk dalam genus
Sonneratia (zona pedada) dan Rhizophora (zona bakau). Untuk genus
56
Sonneratia terdiri atas 3 spesies, yakni: Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba
dan Sonneratia ovata. Sedangkan untuk genus Rhizophora terdiri atas 2 spesies,
yakni Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata. Zonasi berikutnya
adalah formasi mangrove yang dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,
dengan variasi nilai salinitas yang mencapai 5o/oo – 25o/oo. Zonasi ini didominasi
oleh formasi Nypa fruticans. Berikutnya formasi Nypa mulai tergantikan pada
nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang. Zonasi berikutnya adalah zona
transisi antara tumbuhan mangrove dan tumbuhan air tawar. Zona transisi ini
berada pada salinitas dengan kondisi asin saat pasang saja (0 – 10 o/oo). Zona
transisi ini didominasi oleh tumbuhan Heriteira littoralis dan pohon kelapa
Oncosperma tigillarium yang biasa disebut dengan pohon nibung. Kemudian
pada zonasi berikutnya adalah zona hutan hujan tropis yang berasosiasi dengan
kondisi air yang tawar. Pada analisis distribusi ini, sebenarnya terdapat
pemukiman, lebih tepatnya perkampungan di Delta Mahakam.
Tabel 2.6. Perubahan luas zonasi mangrove di Delta Mahakam.
Zonasi Mangrove Tahun dan luas perubahan mangrove (ha)
1989 1997 2004 2009 2015
Avicennia spp. 20.296,94 14.921,23 6.022,98 5.960,57 8.082,84
Nypa fruticans 77.368,09 66.492,03 27.713,51 28.859,13 33.276,21
Heriteira littoralis dan
Oncosperma tigillarium 8.603,33 9.791,00 9.776,23 9.776,51 8.462,52
Hutan hujan tropis 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14
Tambak 1.848,44 13.988,37 58.848,47 61.575,74 53.861,57
Lahan terbuka 323,44 3.225,83 5.680,97 1.745,57 4.136,58
Total 109.956,38 109.934,60 109.558,30 109.433,67 109.335,85
57
Gambar 2.11. Peta zonasi mangrove di Delta Mahakam untuk tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan 2015. Ditampilkan pula legenda peta.
58
Gambar 2.12. Grafik perubahan luas mangrove yang terjadi di Delta Mahakam dalam satuan hektare. Terlihat terjadi peningkatan luas tambak pada rentang tahun 1997 – 2004, disertai turunnya luasan hutan mangrove, terutama Nypa fruticans.
Dari hasil perhitungan, didapatkan luas Delta Mahakam mencapai 110.000
hektare atau 1.100 km2. Terjadi variasi perubahan hutan mangrove menjadi
tambak pada rentang tahun 1989 hingga tahun 2015. Pada rentang tahun 1989 –
1997, telah terjadi perubahan hutan mangrove menjadi tambak dan lahan
terbuka seluas 15.042,3 ha atau 15,65%. Selama 8 tahun pengamatan tersebut,
pembuatan tambak dilakukan secara perlahan dan berada pada bagian formasi
Avicennia dan sedikit pada Nypa.
Perubahan mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi setelah krisis
ekonomi tahun 1997/1998. Selain akibat permintaan pasar yang besar terhadap
komoditas udang yang meningkat dan mudahnya pembukaan lahan,
melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor
penyebab utama. Di mana keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh jika
dilakukan ekspor udang keluar negeri. Selama rentang pengamatan tahun 1997
– 2004, telah terjadi perubahan lahan mangrove menjadi tambak atau
peningkatan total luas tambak mencapai 44.860,10 ha atau sekitar 40% dari area
delta terkonversi hampir hanya selama 7 tahun. Akibatnya sekitar 64.529,4 ha
atau 58,89% area delta telah terkonversi menjadi tambak pada tahun 2004.
Perubahan menjadi tambak tersebut sebagian besar terjadi di formasi Nypa.
Pengaruh salinitas yang sesuai untuk budidaya udang pada formasi Nypa,
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
Avecennia
spp.
Nypa
fruticans
Heriteira
littoralis dan
Oncosperma
tigillarium
Hutan hujan
tropis
Tambak Lahan
terbuka
Grafik perubahan luas mangrove
1989 1997 2004 2009 2015
59
menjadi faktor penentu konversi menjadi tambak. Sehingga tidak ditemui
konversi menjadi tambak pada zona transisi hutan mangrove, karena kondisi
hidrologi didominasi oleh air tawar. Selain itu, pembukaan tambak pada formasi
Nypa lebih kepada efisiensi, yakni mudah untuk ditebang sehingga lebih murah
untuk membuat tambak (Bosma, et al., 2012).
Tren pembukaan tambak sedikit meningkat hingga tahun 2009, bahkan terkesan
relatif tidak berubah. Selama rentang tahun 2004 - 2009, pembukaan hutan
mangrove menjadi tambak hanya 2.727,27 ha. Jumlah ini adalah lahan terbuka
yang dipersiapkan untuk menjadi tambak. Tren berikutnya terjadi penurunan
luasan tambak di Delta Mahakam akibat turunnya produktivitas tambak ataupun
tidak efisien lagi melakukan budidaya tambak di delta. Akibatnya terjadi
penurunan jumlah tambak yang mencapai 7.714,17 ha atau 7% selama rentang
tahun 2009 - 2015.
Penurunan luas tambak ini berimplikasi pada peningkatan jumlah mangrove
yang ada di Delta Mahakam. Penambahan jumlah mangrove ini akibat
penanaman yang dilakukan, maupun akibat suksesi sekunder yang terjadi. Hal
lain yang menjadi perhatian bahwa akibat perubahan faktor biofisik delta akibat
pembangunan tambak, mangrove yang tumbuh kembali dapat berbeda dengan
kondisi awalnya. Terutama karena penanaman mangrove ataupun ketersediaan
bibit yang ada dalam proses suksesi yang terjadi. Selama rentang tahun 2009 –
2015 yang terjadi penurunan luasan tambak dan peningkatan lahan terbuka,
terjadi pula peningkatan luasan mangrove. Pada formasi Nypa, terjadi
penambahan seluas 4.417,08 ha, dan pada formasi Avicennia, terjadi
penambahan luas sebesar 2.122,27 ha.
Evaluasi mangrove menjadi penting mengingat tekanan kebutuhan manusia dari
segi ekonomi. Pada sisi lain dalam pemetaannya, kendala resolusi yang cukup
kasar pada citra yang digunakan dapat diselesaikan dengan validasi lapangan
dan uji akurasi. Dalam pemetaan ini, melalui uji akurasi menggunakan metode
confussion matrix, didapatkan nilai akurasi pemetaan zonasi mangrove untuk
tahun 2015 adalah sebesar 94,1%. Nilai ini menandakan bahwa 94,1% informasi
pada peta adalah benar dan diatas dianggap baik karena berada pada nilai diatas
85% (Anderson, et al., 1976).
2.3.1.3 Monitoring Hutan Mangrove Produksi
Variasi perubahan hutan mangrove tidak hanya terkonversi menjadi tambak dan
lahan pertanian, tapi terdapat pula hutan mangrove yang dikhususkan untuk
produksi kayu. Salah satu habitat mangrove untuk produksi kayu yang telah
lama dikembangkan adalah Hutan Mangrove Matang. Hutang Mangrove
Matang berada pada semenanjung Malaya bagian barat, dengan koordinat 4,1o
60
lintang utara hingga 5o lintang utara dan 110,2o bujur timur hingga 100,45o bujur
timur. Secara administrasi berada pada distrik Larut Matang dan Krian, Negara
Bagian Perak. Hutan mangrove Matang adalah cagar alam dengan manajemen
yang sistematis sejak awal 1904 dan, telah diakui sebagai hutan mangrove
dikelola terbaik di Malaysia dan juga di antara dunia. Hal ini dibagi menjadi
empat sub-bidang dari utara ke selatan, yang terdiri dari utara Kuala Sepetang,
selatan Kuala Sepetang, Kuala Trong dan Kuala Kerang.
Gambar 2.13. Peta lokasi penelitian di hutan mangrove Matang, Malaysia.
Ibrahim, et al. (2015) menggunakan data penginderaan jauh yang digunakan
yakni citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM tahun 1999, dan citra
RapidEye tahun 2011. Dari data tersebut, metode klasifikasi mangrove yang
digunakan yakni menggunakan klasifikasi unsupervised dengan metode
ISODATA. Hasil klasifikasi tersebut digunakan sebagai dasar uji lapangan
untuk validasi dan data uji akurasi. Dari data lapangan tersebut, peta akhir
kemudian diklasifikasi kembali dengan metode klasifikasi supervised dengan
informasi dari hasil survei. Hasilnya kemudian dilakukan uji akurasi. Untuk
61
membantu dalam klasifikasi, dilakukan pula transformasi band menggunakan
NDVI. Untuk perubahan, digunakan metode subtraksi antar tahun pengamatan.
Klasifikasi supervised dari citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM+ tahun
1999 dan RapidEye tahun 2011 menghasilkan 12 kelas penggunaan dan tutupan
lahan. Kelas penggunaan dan tutupan lahan terbagi atas dua jenis, yakni 5 kelas
penggunaan lahan dan 7 kelas tutupan lahan. Untuk kelas penggunaan lahan
terdiri dari perkebunan kelapa sawit, pertanian, tambak, sawah, dan perkotaan.
Sedangkan untuk kelas tutupan lahan terdiri dari tubuh air, hutan hujan tropis,
dan spesies mangrove: Rhizopora apiculata (RA), Rhizophora mucronata
(RM), Avicennia – Sonneratia (AS), Bruguiera parviflora (BP), dan Bruguiera
cylincrica (BC). Untuk akurasi pemetaan, masing-masing tahun 1993, 1999, dan
2011 adalah 85,7%, 90%, dan 88,9%.
Tabel 2.7. Statistik hasil pemetaan hutan mangrove tahun 1993, 1999, dan 2011
Kelas Mangrove 1993 1999 2011
% ha % ha % ha
R. apiculata 16.613,5 56,7 20.587 57,3 18.903 60,8
R. mucronata 7.479,2 25,5 8.339,9 23,2 6.963,1 22,4
Avicennia – Sonneratia 3.974,1 13,6 3.642,5 10,1 3.499,7 11,3
B. parviflora 745,4 2,5 644,2 1,8 879,7 2,8
B. cylindrica 473,3 1,7 2.722,9 7,6 822,2 2,6
Total 29.285,5 100 35.936.5 100 31.067.7 100
Analisis pada tahun 1993, menghasilkan estimasi luas hutan mangrove sebesar
19.285,5 ha, dimana luas R. apiculata dan R. mucronata masing-masing adalah
16,613,5 ha dan 7.479,2 ha; atau seluas 82,2% dari total mangrove. Dan untuk
luas B. parviflora dan B. cylindrica masing-masing adalah 145,4 ha dan 473,3
ha. Sedangkan pada tahun 1999, terjadi peningkatan luas mangrove, dengan
total luas hutan mangrove mencapai 35.936,5 ha. Luas tersebut terdiri dari R.
Apiculata, R. mucronata, Avicennia – Sonneratia, dan B. Cylincrica masing-
masing adalah 10,587 ha, 8.339,9 ha, 3.642,5 ha dan 2.722,9 ha. Pada tahun
2011, analisis menggunakan citra RapidEye dengan resolusi spasial yang lebih
tinggi, menghasilkan luas total sebesar 31,067,7 ha. Luas mangrove terbesar
adalah R. apiculata seluas 18.903 ha.
62
Gam
bar
2.1
4.
Dis
trib
usi
sp
esie
s m
angr
ove
di
hu
tan
man
gro
ve M
atan
g u
ntu
k ta
hu
n 1
99
3,
19
99
, d
an 2
01
1.
terd
apat
5 k
elas
man
gro
ve,
yakn
i: R
hiz
op
ho
ra a
pic
ula
ta,
R.
mu
cro
na
ta,
Avi
cen
nia
- S
on
ner
ati
a,
Bru
gu
eira
pa
rvif
lora
, d
an B
. cy
lind
rica
. Su
mb
er:
Ibra
him
, et
al. (
20
15
)
63
Dari hasil pemetaan tersebut, kita dapat mengamati zonasi mangrove yang
terbentuk. Avicennia dan Sonneratia menempati habitat yang berbatasan dengan
laut. Semakin kearah darat, mulai tergantikan oleh spesies Bruguiera dan
Rhizophora. Menjadi garis bawah disini, zonasi Avicennia dan Sonneratia tidak
berubah selama 18 tahun pengamatan. Berbeda halnya dengan zonasi Brugueira
dan Rhizophora, mengalami perubahan yang dinamis, mengingat fungsi hutan
mangrove Matang adalah sebagai hutan produksi penghasil kayu.
Pada penelitian ini, Ibrahim, et al. (2015) telah mampu memetakan mangrove
hingga informasi spesies dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi
menengah. Akurasi pemetaannya pun cukup baik, semua berada >85%. Untuk
perubahan mangrove yang terjadi, selama 18 tahun pengamatan, mangrove telah
berubah seluas 8.017,3 ha, dimana 2.998 ha mangrove adalah hasil penanaman
kembali. Selain itu, perubahan terjadi akibat erosi menjadi tubuh air seluas
2.490,6 ha (31,1%), menjadi hutan hujan tropis seluas 2.456,6 ha (30,6%),
perkebunan kelapa sawit seluas 1.518,6 ha (18,9%), menjadi tambak seluas 890,
7 ha (11,1%), menjadi sawah seluas 391,1 (4,9%), perkebunan seluas 245,6 ha
(3,1%), dan menjadi area perkotaan seluas 24,1 ha (0,3%). Dari sini telah
terbukti pula bahwa pemetaan menggunakan penginderaan jauh telah mampu
memberi informasi monitoring perubahan mangrove secara akurat.
Terkait dengan metode pemetaan, menjadi pertanyaan bagaimana bisa terjadi
akurasi citra Landsat dengan resolusi 30 meter lebih tinggi dari akurasi citra
RapidEye yang memiliki resolusi 5 meter. Sebenarnya, dalam pemetaan yang
dilakukan ini adalah pemetaan komunitas mangrove yang membentuk suatu
formasi. Tiap-tiap spesies memiliki pantulan spektral yang berbeda. Pada skala
yang lebih kasar, dalam hal ini adalah Landsat, terjadi homogenitas piksel yang
mempu membedakan antar spesies dengan cukup baik. Seperti pada gambar
(2.15), diskriminasi warna antar komunitas spesie mangrove terjadi cukup baik.
Sehingga klasifikasi akhir memiliki akurasi yang cukup baik, walaupun
penggunaan citra Landsat dan pemetaan mangrove sampai pada informasi
spesies. Ini berkaitan pula seperti pada penelitian Fawzi (2016), yang
menentukan adalah luas wilayah pemetaan. Pada lokasi habitat mangrove yang
luas lebih kecil, hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh citra Landsat, dan
memungkinkan dilakukan pemetaan lebih baik menggunakan citra RapidEye
dengan resolusi spasial yang lebih besar.
64
Gambar 2.15. citra yang digunakan untuk pemetaan mangrove. Terlihat bahwa diskriminasi komunitas spesies mangrove dapat dibedakan pada citra yang membentuk homogenitas tertentu. Sumber citra: NASA Earth Observatory (2006).
2.3.2 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Tinggi
Peluncuran satelit IKONOS tahun 1999 dan satelit QuickBird tahun 2001
mengawali era penggunaan citra satelit resolusi tinggi. Pada awalnya informasi
penginderaan jauh resolusi tinggi hanya dapat diperoleh melalui foto udara.
Dengan adanya satelit yang merekam dengan resolusi tinggi, dan berkembang
hingga cukup banyak satelit resolusi tinggi yang mengorbit saat ini – membuka
peluang dalam pemetaan mangrove yang lebih baik. Arti kata lebih baik di sini
adalah informasi pemetaan yang semakin baik dan semakin detail.
Kuenzer, et al. (2011) merangkum pemetaan mangrove menggunakan citra
resolusi tinggi dalam aplikasi berikut.
Kondisi mangrove terbaru dan distribusi spasial;
diskriminasi spesies mangrove;
estimasi biomassa;
indeks vegetasi dan LAI;
perubahan mangrove (analisis multitemporal); dan
analisis peran mangrove dalam perlindungan pesisir.
65
Untuk metode pemetaan yang digunakan, metode yang paling banyak
digunakan adalah klasifikasi multispektral, klasifikasi berbasis objek, klasifikasi
berbasis ANN, indeks vegetasi, hingga interpretasi visual. Setiap metode
tersebut menghasilkan derajat akurasi yang berbeda-beda, tergantung pada
lokasi pemetaan dan tingkat resolusi spasial yang digunakan.
Meningkatkan keakuratan pemetaan dapat diartikan pula dengan penggunaan
citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih tinggi (resolusi
spasial <5 meter). Akan tetapi, penggunaan resolusi spasial yang tinggi bukan
berarti meningkatkan akurasi pemetaan. Wang, et al. (2004) melakukan
komparasi pemetaan mangrove pada tingkat spesies: Avicennia germinans,
Laguncularia racemose, dan Rhizophora mangle; dengan menggunakan dua
citra yang berbeda, citra IKONOS dan QuickBird. IKONOS memiliki resolusi
spasial 1 meter pada band pankromatik dan 4 meter pada band multispektralnya,
sedangkan QuickBird memiliki resolusi spasial 0,7 meter pada band
pankromatiknya dan 2,8 meter pada band multispektralnya. Hasilnya bahwa
klasifikasi menggunakan citra IKONOS memiliki akurasi sebesar 75,3%, lebih
tinggi dari akurasi menggunakan citra QuickBird yang sebesar 72,2%. Hal ini
dikarenakan semakin tinggi resolusi spasial bukan berarti semakin mudah dalam
pembedaan spektral mangrove. Wang, et al. (2004) menambahkan secara visual
tidak dapat membedakan perbedaan tekstural mangrove, walaupun citra
QuickBird secara resolusi spasial lebih baik dari IKONOS.
2.3.2.1 Integrasi Data IKONOS dan LiDAR untuk Pemetaan Mangrove
Pada dasarnya, integrasi data penginderaan jauh dilakukan untuk meningkatkan
akurasi pemetaan atau untuk menghasilkan peta yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan dengan menggunakan dua data atau lebih, informasi yang diperoleh
dalam pemetaan akan meningkat dan mampu menghasilkan peta yang lebih
baik. Terlebih dalam penjelasan sebelumnya, bahwa peta yang akurat
dibutuhkan untuk monitoring perubahan ekosistem mangrove. Hal berbeda
apabila kita melakukan integrasi antara dua data penginderaan jauh.
Chadwick (2011) berusaha dijelaskan bagaimana meningkatkan klasifikasi
pemetaan melalui pengenalan parameter biofisik yang diperoleh dari data
LiDAR. Pada akhirnya, akan diperbandingkan antara akurasi pemetaan hanya
dengan menggunakan citra IKONOS dan pemetaan yang mengintegrasikan
IKONOS dan data LiDAR. Chadwick (2011) melakukan penelitian di Pulau
Long Key, 100 km dari Miami, Florida. Pulau Long Key memiliki luas 500 ha,
dan telah ditetapkan sebagai Taman Nasional. Hampir 75% dari area pulau ini
dilindungi untuk konservasi mangrove. Data penginderaan jauh yang digunakan
adalah citra IKONOS yang direkam tanggal 14 Mei 2006. Citra IKONOS sendiri
memiliki panjang gelombang yang berbeda untuk masing-masing band, yakni:
66
band biru (0.45–0.52µm), band hijau (0.51–0.60µm), band merah (0.63–
0.70µm) dan band inframerah dekat (0.76–0.85µm). Sedangkan untuk data
Lidar direkam pada tanggal 8 April 2006 dengan menggunakan sensor Optech
ALTM-2015 pada ketinggian 915 meter. Panjang gelombang yang digunakan
adalah 1.064µm.
Untuk menghasilkan peta mangrove digunakan klasifikasi supervised dengan
metode maximum likelihood. Data LiDAR digunakan untuk membuat citra
DSM (digital surface model) dan DTM (digital terrain model). Dengan
mengkonversi masing-masing citra menjadi 8-bit, data DSM dan DTM
diintegrasikan dengan citra IKONOS. Dan sebelum dilakukan klasifikasi,
dilakukan masking citra terlebih dahulu untuk memisahkan air. Untuk menilai
akurasi pemetaan, survei lapangan dilakukan dengan 98 titik sampel. Dalam
pengambilan sampel menggunakan area ≥10 m x 10 m untuk mendapatkan
informasi spesies dan ketinggiannya.
Hasil klasifikasi mangrove menggunakan citra IKONOS (pada gambar 2.16c)
memiliki akurasi total sebesar 83,3%. Dengan akurasi Rhizophora mangle
sebesar 82,0% dan akurasi Avicennia germinans sebesar 77,6%. Sedangkan
klasifikasi yang menggunakan citra hasil integrasi data DTM dan IKONOS
dengan menggunakan training area yang sama, menghasilkan akurasi sebesar
90,4%, atau akurasi lebih baik 7,1% dibandingkan hanya menggunakan citra
IKONOS. Dengan akurasi Rhizophora mangle sebesar 91,0% dan akurasi
Avicennia germinans sebesar 81,9%.
2.3.2.2 Diskusi
Mengembangkan metode pemetaan untuk meningkatkan akurasi adalah
dibutuhkan untuk monitoring ekosistem mangrove. Ini terkait dengan informasi
yang terkandung pada peta dan kebijakan akhir yang dapat disimpulkan. Pada
sisi lain, pemetaan mangrove pada tingkat spesies dengan citra resolusi tinggi
juga sulit untuk dilakukan. Integrasi dengan data LiDAR adalah salah satu cara
cara meningkatkan akurasi pemetaan dengan mempertimbangkan faktor biofisik
pada habitat mangrove. Sama halnya yang dilakukan oleh Vaiphasa (2006) yang
menggunakan pH tanah untuk meningkatkan akurasi pemetaan dari 76%
menjadi 88,2%, atau meningkat sebesar 12%. Hal ini karena pH tanah dapat
menjadi penentu spesies-spesies mangrove tertentu yang mampu beradaptasi.
67
Gambar 2.16. (a) citra IKONOS, (b) citra DTM dari data LiDAR, (c) klasifikasi menggunakan citra IKONOS, dan (d) klasifikasi menggunakan data integrasi DTM dan IKONOS. Koreksi yang terjadi adalah pada daerah dengan elevasi yang tinggi adalah bukan mangrove.
68
2.4 KETERBATASAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH
Semua metode pemetaan memiliki keterbatasan, termasuk penggunaan
penginderaan jauh. Berikut adalah beberapa keterbatasan penggunaan
penginderaan jauh untuk pemetaan mangrove (Fei, et al., 2011).
2.4.1 Metode interpretasi yang “usang,” kurangnya aplikasi dari
integrasi sumber data
Untuk kebanyakan aplikasi interpretasi mangrove menggunakan penginderaan
jauh adalah menggunakan interpretasi visual. Walaupun metode ini cukup
mudah dilakukan dan menghasilkan akurasi yang cukup baik, ini memerlukan
sumberdaya manusia yang cukup handal untuk mengerjakannya dan
membutuhkan waktu intensif yang cukup lama. Selain itu, hasil akhir peta
klasifikasi dipengaruhi oleh pengalaman dan local-knowledge interpreter.
Hal ini terkait juga dengan perlunya standarisasi skema klasifikasi pada
mangrove. Kuenzer, et al. (2011) menjelaskan bahwa ini untuk mencegah
inkonsistensi klasifikasi yang bersifat multitemporal. Terlebih lagi dalam
klasifikasi seringkali tergantung pada pertimbangan individu yang melakukan
klasifikasi, tanpa mempertimbangkan pengguna peta yang seringkali berbeda
keilmuan. Dan hal menantang lainnya, bahwa dengan banyaknya sensor
penginderaan jauh saat ini, perlu integrasi sumber data untuk pemetaan
mangrove yang lebih baik. Aplikasi intergrasi sumber data ini juga untuk
mengatasi permasalahan perbedaan resolusi spasial dalam kaitan analisis
multitemporal.
2.4.2 Eror dalam melakukan monitoring dan rendahnya akurasi
Telah disebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi identifikasi
mangrove menggunakan penginderaan jauh, seperti pengaruh pasang surut,
musim, dan jenis spesiesnya (Li, et al., 2013). Sehingga diperlukan beberapa
pengembangan metode dan sistem validasi yang membuat hasil pemetaan
memiliki akurasi yang tinggi. Apalagi jika citra yang tersedia cukup terbatas
terkait resolusi spasial dan spektral.
2.4.3 Sulit membedakan jenis mangrove dalam komunitas
Hal ini disebabkan oleh kebanyakan satelit sumberdaya yang tersedia memiliki
resolusi spasial yang rendah, dan mengakibatkan banyak kemiripan respon
spektral antar spesies. Sehingga hasil pemetaan yang dilakukan hanya berkisar
pada jenis kerapatan jenis mangrove, sedikit sekali yang mengkaji jenis
spesiesnya dengan akurasi yang cukup tinggi atau lebih dari 90%.
69
2.4.4 Kurangnya Perbandingan antar Metode Pemetaan
Di sini terdapat kurangnya perbandingan antar metode pemetaan mangrove
menggunakan penginderaan jauh. Terutama dalam analisis multi-sumber dan
multi-resolusi. Selain itu, beberapa metode yang dikembangkan tidak dilakukan
validasi dan ujia akurasi, sehingga tidak diketahui kualitas peta yang dihasilkan.
70
71
3 BAB 3
PENGELOLAAN MANGROVE
Dalam pengelolaan mangrove, kita harus mengetahui kondisi mangrove saat ini
dan kondisi mangrove yang ingin dicapai. Jika tidak mengetahui kondisi saat ini
dan kondisi yang ingin dicapai, maka tentu saja pengelolaan mangrove tidak
mungkin akan berjalan. Berdasar kondisi hutan mangrove yang telah ada dan
terpetakan dengan baik, maka kita akan dapat menentukan pengelolaa n yang
tepat. Walaupun jika suatu hutan mangrove dalam kondisi yang bagus, tentu ada
kondisi yang ingin dicapai dalam pengelolaan, yakni menjaga kualitas
ekosistem mangrove tersebut. Dalam hal ini, beberapa bentuk pengelolaan
berbeda tiap permasalahan yang muncul.
3.1 KERANGKA ANALISIS DALAM PENGELOLAAN MANGROVE
3.1.1 Apa yang Dapat Dilakukan Terhadap Mangrove?
Dalam pengelolaan mangrove, kerangka dasar yang harus dipenuhi adalah
penggunaan ekosistem secara bersama-sama dan berkelanjutan (Bengen, 2001).
Secara umum, pengelolaan hutan mangrove melibatkan banyak pihak karena
pada dasarnya kawasan hutan mangrove mmiliki potensi untuk budidaya
tambak, ekonomi, dan konservasi hutan mangrove. Tujuan pengelolaan tidak
hanya untuk konservasi yang mempertahankan komponen biotik pada
ekosistem, akan tetapi juga bersama meningkatkan kapasistas sosial-ekonomi
penduduk. Sehingga sifat yang dihasilkan diakhir sebagai tujuan utama adalah
sebuah kehidupan yang berkelanjutan, baik untuk ekosistem mangrove maupun
kehidupan sosial.
Ada kalanya pengelolaan tersebut diharuskan secara terpadu. Terpadu di sini
mengingat penggunaan ekosistem secara bersama-sama tersebut melibatkan
banyak pihak, seperti: penduduk, pemerintah, dan pengusaha. Perbedaan
kepentingan yang ada diarahkan dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu
untuk mengakomodir kepentingan semua pihak tanpa merusak ekosistem
mangrove. Keterpaduan di sini juga diartikan dengan keterpaduan wilayah
ekologis, keterpaduan sektor, keterpaduan disiplin ilmu, dan keterpaduan
stakeholder (Bengen, 2001). Walaupun ekosistem mangrove dapat memperbaiki
72
dirinya sendiri, tapi hal tersebut butuh waktu yang sangat lama. Butuh peran
serta menjaga dan memberdayakan masyarakat terkait dengan rehabilitasi
ekosistem yang telah berubah atau rusak. Untuk itu, beberapa tujuan utama
pengelolaan mangrove ini secara garis besar disajikan pada tabel 3.1.
Pada dasarnya pengelolaan pesisir merupakan suatu sistem perencanaan untuk
mencapai suatu hasil. Tujuan akhir dari pengelolaan mangrove adalah
mengelola mangrove dengan prinsip berkelanjutan, yang dapat berupa
konservasi hutan mangrove yang masih ada maupun rehabilitasi mangrove yang
telah rusak. Terutama pada wilayah habitat hutan mangrove yang telah rusak,
maka tujuan akhir restorasi ekosistem mangrove melaui rehabilitasi hutan
mangrove yang telah rusak adalah hal yang harus dicapai. Seringkali upaya
rehabilitasi hanya dikaitkan dengan penanaman mangrove, yang menyebabkan
program-program yang dilakukan “sekali jadi” dengan menanam mangrove.
Padahal upaya rehabilitasi lebih dari sekadar menanam mangrove. Harus
terdapat upaya upaya perbaikan secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Jika ketika
parameter tersebut tidak diperhatikan dalam suatu pengelolaan, maka hasilnya
tetap degradasi lingkungan pada akhirnya (Biswas, et al., 2009). Pada akhirnya,
ini adalah proses pengelolaan dan proses konservasi mangrove yang harus
sejalan untuk mendapatkan habitat mangrove yang berfungsi sebagai salah satu
ekosistem pesisir.
Biswas, et al. (2009) juga menyampaikan konsep dari restorasi ekosistem
mangrove yang ditentukan oleh 3 faktor, ekologis mangrove, sosial, dan
ekonomi. Secara rinci dapat dijelaskan pada gambar 3.1.
73
Tabel 3.1. Pengelolaan mangrove dan tujuan akhir bersama dengan beberapa aktivitas yang dibutuhkan.
No. Tujuan Aktivitas yang dibutuhkan
Tujuan akhir pengelolaan:
1. Konservasi
Untuk mempertahankan
biodiversitas mangrove,
dan mencegah
pengrusakan ekosistem
yang terjadi.
- Melindungi mangrove dari degradasi dan
kerusakan akibat pembangunan oleh manusia
- Mempromosikan dan meningkatkan kapasitas
pengelolaan yang berbasis kearifan lokal
- Rehabilitasi ekosistem mangrove yang telah
rusak
- Mendukung pengelolaan yang berbasis
komonitas lokal
Tujuan Jangka Menengah
2. Peraturan
Peraturan dan strategi
implementasinya yang
tepat untuk konservasi
mangrove dan
pengelolaannya
- Reformasi secara struktural di pemerintahan
terkait pengelolaan mangrove
- Mempromosikan insentif ekonomi bagi
pelestarian mangrove
- Sosialisasi yang luas kepada pihak berwenang
dan khalayak yang berhubungan dengan
mangrove
- Memberikan wewenang kepada komunitas
lokal sebagai bagian dari partisipasi masyarakat
untuk mengelola mangrove
- Mendukung penelitian tentang ekosistem
mangrove, terutama spesies dan genetiknya
3. Penduduk
Meningkatkan
ketersediaan kebutuhan
dasar penduduk, mata
pencaharian dan
kesejahteraannya yang
berbasis pada ekosistem
mangrove
- Membuat lapangan pekerjaan baru
- Menyelesaikan kepemilikan lahan di areal
mangrove
- Mempromosikan mata pencaharian yang
berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan
- Menyediakan pendidikan keterampilan untuk
meningkatkan pendapatan
- Memberikan pendidikan tentang kesadaran
terhadap lingkungan
4. Produktivitas (Ekonomi)
Konservasi mangrove,
produktivitas sumberdaya
di areal mangrove juga
harus ditingkatkan, seperti
kayu, ikan, udang, dan
berdasar pada
keberlanjutan ekosistem
- Meningkatkan pengelolaan pada tingkat praktek
yang lebih sesuai tanpa merusak mangrove lebih
lanjut.
- Meningkatkan produktivitas melalui
pendampingan dan inovasi melalui rehabilitasi
mangrove yang berdampak pada peningkatan
produksi
- Alternatif bentuk pencaharian ekonomi di
ekosistem mangrove.
Sumber: Macintosh & Ashton (2003)
74
Gambar 3.1. Hipotesis dari restorasi suatu ekosistem yang mempertimbangkan faktor ekologis, masyarakat, dan ekonomi. (i) restorasi akan berhasil jika ketiga faktor diperhatikan (B-D), (ii) Jika hanya melibatkan ekologis mangrove dan masyarakat (B-D”) akan menunjukkan kesusksesan program, tapi bersifat sementara karena tidak ada keuntungan ekonomi dan masyarakat akan kembali merusak mangrove, (iii) jika hanya berbasis ekologis mangrove, kesusksesan hanya sementara sebelum terjadi kerusakan lagi. Sumber: Biswas, et al. (2009)
3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan
Restorasi mangrove merupakan upaya pengelolaan yang bertahap dan dalam hal
ini, merencanakan suatu pengelolaan adalah hal terpenting, dengan beberapa
tahapan perencanaan yang harus dicapai adalah sebagai berikut (diadopsi dan
modifikasi dari Macintosh & Ashton, 2003; FAO, 1994; dan Biswas, et al.,
2009). Alur pengelolaan ini sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup, yang meliputi: a.) perencanaan; b.)
pemanfaatan; c.) pengendalian; d.) pemeliharaan; e.) pengawasan; dan f.)
penegakan hukum.
75
1. Menentukan permasalahan
Dalam suatu pengelolaan mangrove, hal utama yang harus ditentukan adalah
kondisi habitat mangrove saat ini. Artinya, terlebih dahulu mendefinisikan
permasalahan yang ada. Jika tidak terdapat masalah pada habitat mangrove,
tentu tidak diperlukan suatu pengelolaan mangrove. Yang diperlukan hanya
perlindungan habitat; sedangkan perlindungan habitat adalah salah satu
bentuk adaptasi penyelesaian suatu masalah. Jadi, menentukan kondisi
mangrove dan faktor-faktor berpengaruh terhadapnya adalah hal pertama
yang harus dilakukan dalam suatu pengelolaan. Mengacu pada UNESCO
(1997), permasalahan yang dapat didefinisikan berada dalam 3 kategori
utama, administrasi, sosial-ekonomi, dan faktor alami.
2. Mendefinisikan sasaran dan tujuan
Tahap ini adalah tahap terpenting dalam suatu perencanaan rehabilitasi
dalam rangka pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Maksudnya, sasaran
pengelolaan mangrove haruslah tepat. Apakah suatu ekosistem mangrove
perlu direhabilitasi, dilakukan restorasi, atau hanya dilakukan perlindungan
sebagai upaya pencegahan kerusakan. Sasaran dan tujuan ini pada akhirnya
harus dievaluasi untuk mendapatkan perencanaan yang adaptif.
3. Pembuatan model ekologis
Maksud di sini adalah menentukan parameter-parameter ekologis yang
berpengaruh terhadap kondisi mangrove. Misalnya parameter ekologis pada
suatu lahan mangrove yang terdegradasi. Variabel-variabel tersebut harus
ditentukan sebagai bagian dari perencanaan, seperti: perubahan salinitas, pH,
substrat, dan parameter lain yang relevan. Variabel ekologis ini sebenarnya
berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove. Jika kita malakukan suatu
perencanaan pengelolaan tanpa mempertimbangkan faktor ekologis, bisa
saja pada akhirnya tidak mempertimbangkan polusi yang terjadi telah
merubah kondisi biofisik habitat; yang akhirnya mangrove mengalami
kerusakan.
4. Memiliki rencana kontijensi
Banyak resiko yang timbul dalam suatu program rehabilitasi. Resiko tersebut
merupakan ketidakpastian/perubahan yang harus diantisipasi, seperti: jika
terjadi badai, terbatas pendanaan, potensi kegagalan, dan lain-lain. Maka
suatu program rehabilitasi harus memiliki rencana kontijensi dalam rangka
antisipasi kegagalan yang dapat terjadi. Kegagalan tidak hanya berasal dari
manusia, bisa jadi dalam pelaksanaan pengelolaan terjadi tsunami yang
merusak habitat mangrove.
76
5. Desain, analisis keberhasilan program, dan eksperimen
Desain rehabilitasi dalam rangka restorasi ekosistem dapat dibuat dalam
suatu model desain yang baru maupun perbaikan dari program yang telah
dilakukan sebelumnya. Kebanyakan kegagalan program penanaman sebagai
bagian dari pengelolaan mangrove yang dilakukan adalah karena tidaknya
desain yang matang, terutama yang dilakukan oleh pemerintah.
6. Implementasi, monitoring, dan pengelolaan yang adaptif
Ini adalah tahap akhir dalam suatu program pengelolaan mangrove.
Bagaimana melakukan suatu rencana yang telah disusun. Hal terpenting
setelah implementasi program adalah upaya monitoring. Kegagalan atau
lebih tepat dikatakan sebagai kurang efektifnya suatu program dikarenakan
tidak adanya monitoring. Monitoring ini dimaksudkan agar pengelolaan
tersebut dapat dievaluasi dan dilakukan pengelolaan yang adaptif, atau
penyesuaian suatu program pengelolaan agar lebih baik.
Dalam tahapan perencanaan ini, hal yang tidak boleh dilupakan adalah
menentukan area perencanaan. Maksudnya adalah batas-batas area mangrove
yang akan dikelola, terutama dalam penentuan batas administrasif. Ini
berpengaruh pada “kewenangan politik” yang akan mempengaruhi jalannya
program pengelolaan dimasa yang akan datang. Selain itu, durasi rencana
pengelolaan haruslah didefinisikan juga. Dalam kaitannya dengan konservasi,
durasi pengelolaannya mungkin tidak terbatas. Akan tetapi perlu pencapaian-
pencapaian yang harus dihasilkan terutama dalam perencanaan pengelolaan
yang adaftif. Beda halnya dengan rencana pengelolaan mangrove untuk
direhabilitasi, ini apakah program dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Sedangkan untuk pengelolaan mangrove yang memproduksi kayu dalam bidang
kehutanan, perencanaan pengelolaan haruslah dalam satu rotasi tebang-tanam.
Ini sekitar 20 – 30 tahun.
Untuk penjelasan grafis mengenai tahapan dalam pengelolaan mangrove, dapat
dilihat pada gambar 3.2.
77
Gambar 3.2. Bagan sistematis yang menunjukkan tahapan dalam rencana pengelolaan mangrove. Hal yang menjadi garis bawah adalah inventori kondisi mangrove saat ini dan kondisi mangrove yang ingin dicapai.
Dalam pelaksanaannya, tidak sepenuhnya sistematika perencanaan pengelolaan
mangrove harus sesuai dengan hal yang telah dijelaskan. Dalam prakteknya
harus menyesuaikan dengan tujuan dan sasaran. Karena setiap desain program
pengelolaan untuk permasalahan mangrove yang berbeda memiliki desain yang
berbeda pula. Seperti yang dilakukan oleh Fawzi (2016) pada gambar (3.3),
secara garis besar adalah langkah yang sama, tapi dengan desain yang berbeda.
78
Gambar 3.3. Langkah strategis dalam upaya rehabilitasi mangrove yang dapat dilakukan di Delta Mahakam. Sumber: Fawzi (2016).
Mendefinisikan Masalah
1. Degradasi mangrove akibat konversi menjadi
tambak
2. Rendahnya peran kelembagaan
3. Rendahnya kesejahteraan masyarakat 4. Rendahnya produktivitas tambak
5. Perlunya upaya rehabilitasi
Mendefinisikan Sasaran
dan Tujuan
Sasaran: Restorasi ekosistem mangrove di Delta
Mahakam.
Tujuan:
1. Rehabilitasi mangrove yang terdegradasi akibat
pembangunan tambak. 2. Meningkatkan produksi tambak dengan integrasi
hutan mangrove (silvofisheries)
3. Meningkatkan peran masyarakat dalam upaya
rehabilitasi
Menentukan parameter
keberhasilan
Kondisi mangrove saat ini 53,03% telah
terkonversi menjadi tambak. Hanya 5% area yang
tumbuh kembali menjadi tambak secara alami maupun hasil penanaman.
Kondisi Mangrove yang ingin dicapai? Dengan
sistem silvofisheries hanya menghasilkan tutupan
80% hutan mangrove di kawasan delta.
Analisis SWOT
Setiap tujuan mempunyai program aksi untuk
mencapai sasaran akhir. Program aksi ini lebih
spesifik yang sesuai untuk pengelolaan mangrove di
Delta Mahakam.
Program aksi
Implementasi dan Monitoring
Analisis ini membahas variabel-variabel dalam
perencanaan. Termasuk membahas analisis perbandingan dari program-program lainnya yang
telah dijalankan.
Kendala-kendala yang ada saat ini dan yang mungkin
terjadi, dan upaya penyelesaiannya
Langkah akhir untuk mengevaluasi program-
program yang dilakukan. Ini untuk perbaikan pada
program selanjutnya. Dalam implementasinya, monitoring menjadi
bagian dari pengelolaan yang dinamis, mengingat
banyak faktor dapat terjadi di lapangan.
79
3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan
3.1.3.1 Data Sumberdaya Pesisir Mangrove
Data ini adalah data dasar yang digunakan dalam suatu perencanaan pengelolaan
dan bahkan dalam pengelolaan itu sendiri. Karena ini menjadi penentu
karakteristik lingkungan mangrove secara keseluruhan. Data-data tersebut
antara lain:
Jenis tutupan/penggunaan lahan, dengan informasi persebaran mangrove
pada wilayah perencanaan
Persebaran kegiatan perikanan dan perkebunan
Finansial/pembiayaan program
Sumberdaya manusia
Data-data ini termasuk data untuk pelaksanaan operasional pelaksanaan
program, seperti penyiapan lokasi untuk rehabilitasi, bibit mangrove dan matial
pendukung jika akan melakukan penanaman, transportasi, dan hal-hal terkait
lainnya.
3.1.3.2 Data Sosial-Ekonomi
Mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi adalah hal penentu dalam suatu
pengelolaan pesisir. Jika tidak terdapat pertimbangan dengan faktor ini, maka
dapat dikatakan rencana pengelolaan yang akan dilakukan tidak akan berhasil
dengan baik. Terutama dalam penggunaan wilayah pesisir secara bersama dan
berkelanjutan, data-data tentang sosial-ekonomi masyarakat sekitar wilayah
perencanaan mutlak dibutuhkan.
3.1.3.3 Data Institusional
Faktor institusi merupakan faktor politik dalam pengelolaan dan menjadi dasar
hukum dalam suatu rencana pengelolaan itu sendiri. Harus diperhatikan
mengenai aturan kebijakan pemerintah yang ada, dasar hukum, analisis
mengenai dampak lingkungan, dan hal-hal terkait lainnya. Termasuk hubungan
antar lembaga perencana agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam program.
3.2 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE PADA WILAYAH
PERKOTAAN
Telah disebutkan bahwa kerusakan mangrove akibat campur tangan manusia
terhadap ekosistem mangrove adalah hal harus diperhatikan. Terutama pada
ekosistem mangrove yang dekat dengan pemukiman penduduk atau wilayah
perkotaan. Ancaman terhadap habitat mangrove tidak hanya secara langsung
terjadinya deforestasi mangrove untuk perluasan area perkotaan, seperti
reklamasi pantai untuk perumahan dan pembangunan jalan tol. Akan tetapi,
80
terdapat ancaman tidak langsung yang menyertai, seperti pencemaran tanah dan
air.
Dari sini dapat dikatakan bahwa deforestasi hutan mangrove untuk wilayah
perkotaan bukan sebagai satu-satunya konsekuensi atas urbanisasi yang terjadi.
Pada sisi lain, meningkatnya lahan terbangun meningkatkan pula
aliran/limpasan permukaan. Hasilnya aliran tersebut langsung dapat terbawa ke
habitat mangrove, dan dapat mengganggu kesetimbangan faktor pertumbuhan
mangrove jika terjadi dalam jangka panjang. Jika pada musim kemarau,
pencemaran yang terjadi dapat terakumulasi pada ekosistem mangrove.
Walaupun secara kasat mata mangrove masih dapat terjada, namun bisa jadi
sistem nutrient dapat terganggu. Ikan-ikan kecil yang hidup disekitar mangrove
yang pada akhirnya akan dimakan oleh manusia, membawa kadar pencemaran
yang meningkat jika dikonsumsi secara berkala.
Pada hutan mangrove yang berada di wilayah perkotaan, bentuk pengelolaan
yang sesuai adalah dengan menjadikan objek wisata. Hal ini mengingat
kebutuhan kota atas ruang terbuka hijau. Objek wisata yang dimaksud disini
adalah berbasis eco-tourism. Selain itu, dapat dikembangkan pusat penelitian
ekosistem mangrove yang terintegrasi dengan badan pengelola mangrove itu
sendiri. Pusat penelitian tersebut harus berkerja sama dengan universitas-
universitas untuk pengembangan penelitian mangrove.
3.3 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE YANG TERKONVERSI
MENJADI TAMBAK
Konversi hutan mangrove menjadi tambak adalah permasalahan utama dalam
kerusakan ekosistem mangrove hampir di seluruh dunia. Untuk pengelolaan
hutan mangrove yang telah menjadi tambak, maka bentuk pengelolaan yang
tepat adalah dengan mengintegrasikan mangrove pada tambak. Pembangunan
tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove atau sebaliknya, telah menjadi
program rehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi hampir di seluruh dunia.
Hal ini selain mengakomodir tujuan konservasi untuk mempertahahankan
ekosistem alami, juga untuk penggunaan bersama terkait sosial-ekonomi.
Implementasi program rehabilitasi untuk kawasan tambak sebenarnya tidak
mungkin menjadikan kawasan tambak tersebut sebagai hutan mangrove secara
keseluruhan. Salah satu bentuk upaya rehabilitasi dalam bentuk penanaman
mangrove yang dilakukan pada tambak adalah dengan silvofisheries atau
wanamina (FitzGerald, 2002). Secara umum, silvofisheries bukanlah produk
rehabilitasi yang utama, tetapi beragam bentuk implementasi yang telah
dilakukan diseluruh dunia. Dikembangkan di Myanmar lebihd ari 50 tahun yang
lalu, dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1987. Berikut pada tabel 3.2
dan 3.3 adalah program-program integrasi mangrove – tambak sebagai upaya
81
rehabilitasi maupun penggunaan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan
yang telah dilakukan.
Tabel 3.2. Sistem integrasi mangrove – tambak yang telah dilakukan di Asia.
Negara Nama
sistem
integrasi
Mangrove Tambak Permasalahan
yang muncul
Hongkong Gei-wai Mangrove yang
terbentuk alami:
Avicennia
Larva pasang-
surut, makanan
alami
Pencemaran oleh
industri, penurunan
produksi udang
Indonesia Tambak Mangrove yang
terbentuk alami
maupun penanaman:
Avicennia atau
Rhizophora
Larva pasang-
surut, makanan
alami
Intensifikasi tambak
Silvofisheries Mengrove hasil
penanaman:
Rhizophora
Larva alami,
makanan alami
atau buatan
Pengelolaannya
yang sulit, terjadi
ketidaksesuaian
spesies mangrove
yang ditanam
Vietnam Tambak-
Mangrove
Mengrove hasil
penanaman:
Rhizophora
Udang alami
pasang-surut,
makanan alami
Penurunan produksi
udang, konversi
mangrove secara
illegal
Pilipina Aqua-
silviculture
Mangrove yang
terbentuk alami:
Avicennia,
Rhizophora
Larva/udang/
kepiting alami,
makanan alami
atau buatan
Kematian mangrove,
kejenuhan makanan
pada tambak
Sumber: Primavera (2015)
Rehabilitasi mangrove di Indonesia di kenal dengan sistem silvofhiseries, sama
halnya dengan yang dilakukan di Hongkong, Vietnam dan Pilipina, hanya
berbeda nama. Silvofisheries ini merupakan pendekatan yang digunakan untuk
rehabilitasi mangrove yang terbaik hingga saat ini. Silvofisheries sendiri
merupakan perlindungan hutan mangrove dengan membuat tambak berbentuk
saluran, sehingga terdapat keuntungan ekonomis dan ekologis tetap terjaga
(FitzGerald, 2002). Di sini berarti sistem silvofisheries dibuat dari hutan
mangrove menjadi tambak, dan dalam pendekatan silvofisheries dalam
rehabilitasi ini, tambak yang telah ada dikembalikan fungsi ekologisnya dengan
penanaman mangrove yang berbasis pada sistem silvofisheries.
82
Tabel 3.3. Teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove yang telah dilakukan di wilayah Asia.
Negara
Teknologi,
dan tahun di
mulai
Ukuran,
perbandingan
mangrove dan
tambak
Tujuan Area
Hongkong Tradisional Gei
wai,
1940
~10 ha tambak
30:70
Produksi ikan atau
udang, konservasi
mangrove
~250 ha,
Situs ramsar
Indonesia
Tradisional
tambak,
1400an
1 – 4 ha tambak,
mangrove hanya
berada di tanggul
tambak
Produksi makanan,
stabilisasi tanah,
makanan ternak,
Luas
Silvofisheries,
1976
0,1 – 1 ha tambak
60:85, 40:45
Menyelesaikan
konflik, rehabilitasi
mangrove
Luas, misal
6.600 ha di
Cikiong, Jawa
Barat
Vietnam Sistem
campuran
antara tambak
dan mangrove,
Pertengahan
1980
750 – 3.200 m2
tambak, 70:20:10
(untuk rumah)
Mengurangi konflik
lahan, rehabilitasi
mangrove
Tersebar luas
Pilipina Aqua-
silviculture
1987
<2 ha tambak
80:20
Konservasi mangrove,
peningkatan produksi
ikan
eksperimen
Sumber: Primavera (2015)
Sistem integrasi yang digunakan dalam sistem silvofisheries adalah penggunaan
mangrove pada tambak yang dibangun. Integrasi tersebut dicirikan dengan
persentase antara mangrove dan kolam yang digunakan, persentase mangrove
adalah yang paling besar. Pada dasarnya terdapat dua sistem sistem
silvofisheries (gambar 3.4). Model pertama adalah mangrove yang berada dalam
tambak, dengan persentase rasio mangrove 60 – 80% dan rasio kolam air tambak
sebesar 20 – 40%. Model kedua adalah model sistem integrasi mangrove –
tambak yang terpisah antara mangrove dan kolam air pada tambak, namun
memiliki rasio yang sama dengan model pertama. Model kedua ini lebih
menguntungkan dalam pengelolaan, produksi tambak yang lebih tinggi, dan
biaya pembuatan yang lebih rendah, dan menghindari potensial keracunan dari
daun pohon mangrove yang jatuh.
83
Gambar 3.4. Model silvofisheries. (a) standar model empang parit dengan mangrove di tengah tambak, (b) modifikasi dengan menambah kanal/saluran, (c) dan (d) merupakan silvofisheries yang memisahkan antara kolam tambak dan mangrove. Sumber: FitzGerald (2002)
Pola yang telah digunakan dalam pendekatan ini yakni pola empang parit atau
tumpangsari. Karena tidak adanya lokasi lain yang dapat dijadikan sebagia
mangrove terpisah, mengingat telah terbentuk tambak. Pola ini berbeda dengan
sistem gei wai di Hongkong, di mana pola berbentuk tidak beraturan. Pada
sistem empang parit, mangrove yang telah ditanam berada ditengah tambak
dengan pola persegi, dan memberi celah antara mangrove dan tanggul (model 1
pada gambar 3.4). Sistem empang parit sendiri sebenarnya dibangun dengan
membuat saluran air tempat membudidayakan ikan, yang berada antara hutan
mangrove dan tanggul yang dibentuk. Atas dasar ini, maka metode ini dapat
diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan
memanfaatkan area tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, dengan
menyisakan area kolam tambak yang tidak ditanami sejalur atau sejajar dengan
tanggul. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan
direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Dalam penerapan
sistem silvofisheries tersebut, kendala yang dihadapai adalah kurangnya bibit
dan dana untuk program penanaman dalam rangka rehabilitasi.
84
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.5. Sistem integrasi mangrove – tambak atau silvofisheries, (a) sistem gei wai di hongkong, (b) model silvofisheries di Thailand (rasio 7:3), dan (c) di Vietnam. Sumber: FitzGerald (2002).
85
Gambar 3.6. Sistem silvofisheries yang dapat digunakan untuk rehabilitasi mangrove pada area-area tambak. Sumber: Takashima (2000).
86
Gambar 3.7. Model silvofisheries yang disempurnakan. Sumber: FitzGerald (2002).
Terdapat perbedaan model-model integrasi mangrove – tambak seperti pada
tabel 3.2 yang divisualkan pada gambar 3.3. Pada intinya model-model tersebut
adalah modifikasi dari sistem silvofisheries. Sistem silvofisheries yang
digunakan untuk rehabilitasi mangrove (area tambak yang ditanami mangrove
untuk meningkatkan produktivitas) adalah seperti gambar 3.6. Model tersebut
adalah model yang paling sesuai dan telah terbukti untuk dapat dilakukan pada
area tambak di Indonesia. Hal ini terutama berkaitan dengan harapan hidup
mangrove yang telah ditanam. Penanaman mangrove terebut dilakukan pada
tengah tambak dengan menyisakan 20% kolam air di tambak yang tersisa.
Perkembangannya, model tersebut dapat disempurnakan pada gambar 3.7
dengan membentuk tanggul pada tempat mangrove ditanam.
Sebenarnya pembukaan tambak di delta adalah secara ekstensif, lebih murah
dibandingkan dengan budidaya secara intensif. Jika total penjualan tersebut
digunakan untuk investasi perbaikan tambak yang terintegrasi mangrove, maka
akan menghasilkan produksi yang lebih banyak lagi. Menurut literatur yang
didapat, terjadi peningkatan produktivitas dari tambak yang dengan mangrove.
Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi dari masing-masing tutupan
mangrove yang ada. Untuk produksi tambak sendiri, van Zwieten, et al. (2006)
menyatakan untuk produksi awal di tambak adalah 125,4 kg/ha. Untuk 2 hingga
3 kali panen setahun, maka udang yang diproduksi pertahun adalah 250,8 –
376,2 kg/ha. Produksi ini menurun setelah tahun kelima menjadi hanya 66
kg/ha, sehingga untuk produksi pertahun adalah 130 – 190 kg/ha/tahun.
87
Tabel 3.4. Produktivitas tambak tanpa mangrove dan telah terintegrasi mangrove pada lokasi di Karawang, Jawa Barat, dan perbandingan produksi tambak di Delta Mekong, Vietnam.
Karawang, Jawa Barat
Tanpa
Mangrove
Tutupan mangrove
40-60% 70-80% >80%
Produktivitas
(kg/ha/tahun) 171 181 355 414
Produktivitas tambak di Delta Mekong, Vietnam
Integrasi mangrove
– tambak
Sistem
ekstensif
Sistem
intensif
Produktivitas
(kg/ha/tahun)
- 228-365 242-475 2.400-6.000
Sumber: Takashima (2000); Joffre, et al. (2015)
Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi udang pada tutupan mangrove
>80%, dengan produksi mencapai dua kali lipat dari produksi tambak tanpa
mangrove. Pada lokasi yang berbeda, di Vietnam, produksi tambak secara
ekstensif (tanpa mangrove) hampir sama dengan tambak yang telah terintegrasi
mangrove. Akan tetapi, yang disampaikan oleh Joffre, et al. (2015) untuk
tambak di Vietnam adalah umur tambak dan besarnya tutupan mangrove. Secara
umum, dengan integrasi mangrove pada tambak akan meningkatkan
produktivitas dan kontinuitas produksi tambak. Hal lainnya adalah tetap
menekankan aspek konservasi mangrove.
FitzGerald (2002) pun menunjukkan keberhasilan metode silvofisheries dalam
upaya restorasi hutan mangrove. Patut ditekankan di sini, program-program
yang berhasil tersebut adalah diinisiasi oleh pemerintah. Jumlah biaya
rehabilitasi yang diperlukan dan dana yang diterima dinas terkait tidak lah cukup
untuk rehabilitasi secara parsial, apalagi keseluruhan. Belum lagi luas wilayah
kabupaten yang harus diurus. Untuk itu salah satu solusinya adalah dengan
membawa masyarakat agar terlibat aktif dengan membuat percontohan metode
tambak silvofisheries yang telah berhasil.
Permasalahan lain dalam pengelolaan mangrove yang terkonversi untuk tambak
adalah kondisi tanah yang asam dengan pH <3,5. Ini tentu mengganggu
mangrove untuk tumbuh dan beradaptasi. Berkaitan dengan rehabilitasi tambak
untuk memulihkan ekosistem mangrove, sudah jadi penanaman mangrove
kembali dengan mengembangkan sistem silvofisheries adalah pilihan utama.
Rehabilitasi dimaksudkan sebagai penguatan ekosistem mangrove agar
88
membentuk suatu hutan yang lebih luas dan berperan ekologis. Perlahan, baru
kemudian lokasi-lokasi tambak aktif dilakukan perbaikan dan revitalisasi
melalui produksi tambak yang ramah lingkungan dengan terintegrasi dengan
mangrove.
Dalam hal ini, hal yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan pengelolaan
adalah masalah biaya pengelolaan itu sendiri. Contoh kasus adalah jika akan
melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang ada di Delta Mahakam yang rusak
akibat konversi menjadi tambak. Untuk rehabilitasi perlu dilakukan penanaman
mangrove kembali. Penanaman mangrove untuk rehabilitasi idealnya dapat
dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove. Untuk
kepraktisan dan keberlanjutan tambak, jarak tanam yang disarankan adalah 2 x
2 meter. Jarak ini untuk mencegah air yang beracun akibat pembusukan daun
dan kurangnya sinar matahari. Dengan jarak tanam 2 x 2 meter tersebut,
memperhitungkan 80% area yang ditanam, maka untuk setiap hektare tambak
membutuhkan ± 1.600 bibit mangrove. Dengan jumlah tambak hasil interpretasi
yang dilakukan oleh Fawzi (2016) untuk mencapai tutupan mangrove sebesar
80% adalah seluas ± 57.997 ha, maka jumlah bibit yang ditanam dapat mencapai
92.795.200 bibit mangrove. Jika biaya yang dibutuhkan setiap bibit mangrove
adalah sebesar Rp 2.025,00 (Akram, 2015), maka biaya total untuk
merehabilitasi mangrove di Delta Mahakam adalah sebesar ± Rp
187.910.280.000,00 atau dibulatkan sebesar ± 188 milyar rupiah. Ini adalah
biaya yang harus dipenuhi secara bertahap, dan belum mempertimbangkan
faktor lain yang berkaitan yang membuat biaya rehabilitasi semakin membesar.
3.4 KEHUTANAN – SILVIKULTUR
Salah satu kegunaan hutan mangrove adalah sumberdaya kayunya. Seringkali
sumberdaya ini diperoleh dengan secara liar dan tanpa dikelola. Sehingga terjadi
deforestasi hutan dan kerusakan ekosistem mangrove. Dalam hal ini,
sumberdaya kayu dari hutan mangrove telah manjadi komoditas, tidak hanya
kayu pada hutan hujan tropis. Sehingga banyak upaya pengelolaan pemanfaatan
hasil kayu hutan mangrove untuk produksi berkelanjutan.
Ini adalah salah satu fungsi sosial-ekonomi dari mangrove. Agar dapat
dimanfaatkan dalam waktu yang lama atau berkelanjutan, maka perlu suatu
pengelolaan sesuai yang tetap menjaga ekosistem mangrove itu sendiri. Salah
satu tujuan dalam pengelolaan mangrove yang dimanfaatkan untuk produksi
kayu adalah sebagai berikut.
Menjaga keberlanjutan tersedianya produk kayu;
Menjamin regenerasi mangrove yang menjadi sumber produksi kayu
melalui metode yang sesuai;
89
Mengkonservasi dan melindungi fungsi dari hutan mangrove, terutama
pada tanggul sungai, esturari, dan lahan marjinal lainnya.
Untuk itu, informasi yang harus diperoleh adalah informasi tentang komposisi
mangrove dan lokasinya, volume mangrove, laju pertumbuhan, dan status
regenarisasi (FAO, 1994). Dalam perolehan informasi ini, hal yang harus
ditentukan terlebih dahulu adalah hutan mangrove produksi dan yang bukan.
Dengan kata lain, pengelolaan mangrove ditekankan pada hutan mangrove
produksi, sedangkan hutan mangrove bukan produksi adalah untuk dilindungi.
Bagaimana dengan informasi mangrove yang dapat diperoleh dari penginderaan
jauh dalam bidang kehutanan ini? Beberapa informasi yang terkait dengan
kehutanan untuk produksi kayu, terlebih dalam hal ini adalah mangrove;
beberapa informasi dapat diperoleh dari penginderaan jauh. Tentunya dengan
kombinasi validasi dari survei lapangan yang harus dilakukan. Informasi-
informasi tersebut dapat berupa ketinggian pohon mangrove, kepadatan pohon,
dan estimasi volume. Kepadatan mangrove mencirikan berapa banyak
mangrove yang terdapat dalam satu area. Dengan menghitung banyaknya
jumlah pohon dalam satu area tertentu, maka kita dapat menentukan kepadatan
mangrove. Informasi ini mampu menentukan besaran volume mangrove yang
tersedia. Tentunya untuk mendapatkan informasi ini diperlukan citra
penginderaan jauh dengan resolusi yang sangat tinggi. Untuk estimasi volume,
yang dimaksud adalah volume dengan mempertimbangkan diameter pohon,
tinggi pohon, dan kepadatannya. Seringkali volume mangrove dikaitkan dengan
biomassa dan stok karbon.
Untuk jenis pengelolaan pada hutan produksi adalah dengan menggunakan
sistem silvikultur. Secara artikata, silvikultur merupakan sebuah proses untuk
membangun, mengembangkan, reproduksi, dan konservasi dari hutan.
Silvikultur berfokus pada perawatan keberadaan mangrove pada hutan untuk
menjamin produktivitas. Dengan kata lain, untuk menjaga produktivitas
tersebut, perlu dilakukan rotasi penanaman dan penebangan. Antara penanaman
kembali dan penebangan membutuhkan perhitungan yang sesuai. Pada hutan
mangrove Matang, sistem rotasi yang diberlakukan adalah selama 30 tahun.
Menurut permen kehutanan nomor 309/Kpts-II/1999, terdapat 4 jenis metode
silvikultur yang dapat dilakukan. Metode tersebut adalah:
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur meliputi
cara penebangan dengan batas diameter dan kegiatan permudaan hutan.
2. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem
silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan.
3. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah sistem
silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam.
90
4. Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang
meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm diikuti
permudaan buatan dalam jalur.
Untuk jangka waktu rotasi antara penebangan dan penanaman atau siklus dalam
tebangan pohon dalam pengelolaan mangrove adalah 20 tahun untuk tujuan
menghasilkan bahan baku serpih, dan 30 tahun untuk tujuan menghasilkan kayu
arang, untuk pemanenan kayu diameter 10 cm keatas.
3.5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam pengelolaan mangrove, baik dalam rencana maupun pelaksanaannya, hal
utama yang menjadi penentu keberhasilan program adalah kebijakan pemerintah
tentang tata ruang yang mengatur tata guna lahan. Sebagus apapun bentuk
pengelolaan maupun rencananya, jika tidak didukung tata ruang yang tepat
maka tidak akan berjalan dengan baik. Ini juga penentu dukungan pengelolaan
secara politik dan finasial.
Dalam hal rekomendasi, hal yang patut diperhatikan disini adalah keberlanjutan
atau tidak? Ini adalah permasalahan utama dalam pengelolaan suatu habitat
mangrove. Seringkali pengelolaan yang dilakukan hanya difokuskan pada
restorasi ekosistem saja. Restorasi ekosistem ini hanya ditandai hanya dengan
penanaman mangrove. Padahal tujuan utama dari pengelolaan mangrove adalah
untuk mempromosian konservasi dan rehabilitasi mangrove, serta pemanfatan
ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Pada dasarnya, jika tanpa dikelola,
hutan mangrove yang telah rusak akan dapat kembali lagi melalui proses suksesi
sekunder. Akan tetapi hal tersebut membutuhkan waktu yang lama dan telah
menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem terlebih dahulu. Keberlanjutan ini
dengan kata lain adalah keberadaan ekosistem mangrove pada habitatnya tetap
terjaga secara kontinu.
91
DAFTAR PUSTAKA
Akram, W. (2015). MADIMAP. Tenggarong: Planete Urgence.
Alatorre, L., Sanchez-Carrillo, S., Miramontes-Beltran, S., Medina, R., Torres-
Olave, M., Bravo, L., . . . Uc, M. (2016). Temporal changes of NDVI for
qualitative environmental assessment of mangroves: Shrimp farming impact
on the health decline of the arid mangroves in the Gulf of California (1990-
2010). Journal of Arid Environments, 125, 98-109.
Baten, M. A. (2009). Proverty right in mangrove: A case strudy of the Mahakam
Delta, East Kalimantan, Indonesia. Stockholm: Master Thesis. University of
Stockholm.
Bengen, D. G. (2001). Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut serta pengelolaan
secara terpadu dan berkelanjutan. In D. Bengen (Ed.), Prosiding Pelatihan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (pp. 28-55). Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Biswas, S., Mallik, A., Choudhury, J., & Nishat, A. (2009). A unified framework for
the restoration of Southeast Asian mangrove - bridging ecology, society and
economics. Wetland Ecol Manage, 17, 365-383. doi:10.1007/s11273-008-
9113-7
Blasco, F., Gauquelin, T., Rasolofoharinoro, M., Denis, J., Aizpuru, M., &
Caldairou, V. (1998). Recent advances in mangrove studies using remote
sensing data. Marine Freswater Resouces, 49, 287-296. Diunduh pada
http://academic.uprm.edu/~jchinea/cursos/gis/lectesc/magrve_rs.pdf
Bosma, R., Sidik, A., van Zwieten, P., Aditya, A., & Visser, L. (2012). Challenges
of transition to a sustainably managed shrimp culture agro-ecosystem in the
Mahakam delta, East Kalimantan, Indonesia. Wetlands Ecol Manage, 20, 89-
99.
Chadwick, J. (2011). Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for
mapping mangrove distribution and physical properties. International
Journal of Remote Sensing, 32(21), 6765-6781.
Conchedda, G., Duieux, L., & Mayauz, P. (2008). An object-based method for
mapping and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, 63(5), 578–589.
Constanza, R., d'Arge, R., de Groot, R., Farber, S., Grasso, M., Hannon, B., . . . Belt,
M. (1997). The value of the world’s ecosystem services and natural capital.
Nature, 387, 253-260.
92
Diaz, B., & Balckburn, G. (2003). Remote sensing of mangrove biophysical
properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of
background variation on spectral vegetation indices. International Journal of
Remote Sensing, 24, 53-73.
Duke, N. C. (2006). Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. × annamalai,
R. × lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangroves), ver. 2.1. In C. R.
Elevitch (Ed.), Species Profiles for Pacific Island Agroforestry (pp. 1- 20).
Hōlualoa, Hawai ‘i: Permanent Agriculture Resources (PAR).
Dutrieux, E. (2001). The Mahakam Delta environment from the 80’s up to now: A
synthesis of a 15-years investigation. Proceeding of The International
Workshop: Optimizing development and environmental Issues at Coastal
Area, Problem and solution for sustainable at Mahakam Delta. April 2000.
pp 63-68.
Dutrieux, E., Creocean, Proisy, C., Fromard, F., & Walcker, R. (2014). Mangrove
restoration in the vicinity of oil and gas facilities: Lessons learned from a
large scale project. Long Beach, United States of America: SPE International
COnference on Health, Safety, and Environment. 17 March 2014 - 19 March
2014.
FAO. (1994). Mangrove forest management guidelines. Rome: Forest Resources
Development Branch, Forest Resources Division, FAO Forestry
Departement.
FAO. (2007). The world's mangrove 1980-2005: A thematic study prepared in th
eframework in the Global Forest Resources Asessment 2005. Rome: Food
and Agriculture Organization of the United Nations.
FAO. (2007). The world's mangrove 1980-2005: A thematic study prepared in the
framework in the Global Forest Resources Asessment 2005. Rome: Food and
Agriculture Organization of the United Nations.
FAO. (2013). FAO Statistical Yearbook 2013 - World food and agriculture. Rome:
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Fawzi, N. I. (2016). Evaluasi Perubahan dan Fragmentasi Hutan Mangrove di Delta
Mahakam, Kalimantan Timur untuk Pengelolaan Kawasan Pesisir.
Yogyakarta: Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Fei, S., Shan, C., & Hua, G. (2011). Remote Sensing of Mangrove Wetlands
Identification. Procedia Environmental Sciences, 10, 2287-2293.
FitzGerald, W. (2002). Silvofisheries: Integrated mangrove forest aquaculture
system. In Barru A. Costa-Pierce (Ed.), Ecological Aquaculture: The
Evolution of the Blue Revolution (pp. 161-262). Blackwell Publishing Ltd.
Flynn, L., Harris, A., & Wright, R. (2001). Improved identification of volcanic
features using Landsat 7 ETM+. Remote Sensing of Environment, 78, 180-
193.
93
Gao, J. (1999). A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite
data in mapping mangrove forest. International Journal of Remote Sensing,
20(14), 2823-2833.
Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., . . . Duke, N.
(2011). Status and distribution of mangrove forest of the world using earth
observation satellite data. Global Ecology and Biogepgraphy, 20, 154 - 159.
Giri, S., Mukhopadayay, A., Hazra, S., Mukherjee, S., Roy, d., Ghosh, S., . . . Mitra,
D. (2014). A study on abundance and distribution of mangrove species in
Indian Sundarban using remote sensing technique. Journal of Coastal
Conservation, 18(4), 359-367. doi:10.1007/s11852-014-0322-3
Green, E., Clark, C., Mumby, P., Edward, A., & Ellis, A. (1998). Remote sensing
techniques for mangrove mapping. Int. Journal of Remote Sensing, 19, 935-
956.
Hogarth, P. (2007). The biology of mangrove and seagrass. New York: Oxford
University Press Inc.
Horning, N., Robinson, J., Sterling, E., Turner, W., & Spector, S. (2010). Remote
Sensing for Ecology and Conservation. New York: Oxford University Press.
Horning, N., Robinson, J., Sterling, E., Turner, W., & Spector, S. (2010). Remote
Sensing for Ecology and Conservation (1st ed.). New York: Oxford
University Press.
Ibrahim, N., Mustapha, M., Lihan, T., & Mazlan, A. (2015). Mapping mangrove
changes in the Matang Mangrove Forest using multi temporal satellite
imageries. Ocean & Coastal Management, 114, 64-76.
Ilham, M., Dargusch, P., Dart, P., & Onrizal. (2016). A historical analysis of the
drivers of loss and degradation of Indonesia's mangroves. Land Use Policy,
54, 448-459.
Janssen, R., & Padilla, J. (1999). Preservation or conservation? Valuation and
evaluation of a mangrove forest in the Philippines. Environmental and
Resource Economics, 14, 297-331.
Jia, M., Wang, Z., Li, L., Song, K., Ren, C., Liu, B., & Mao, D. (2013). Mapping
China's mangroves based on an object-oriented classification of Landsat
imagery. Wetlands, 34(2), 277-283.
Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T., & Dech, S. (2011). Remote
Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review. Remote Sensing, 3, 878-928.
Lee, S. Y. (1999). Tropical mangrove ecology: Physical and biotic factors
influencing ecosystem structure and furnction. Australian Journal of
Ecology, 24, 355-366.
Lee, T.-M., & Yeh, H.-C. (2009). Applying remote sensing techniques to monitor
shifting wetland vegetation: A case study of Danshui River estuary mangrove
communities, Taiwan. Ecological Engineering, 35(4), 487-496.
94
Lenna, P., Lebrun, F., & Mignard, F. (2010). Observational Astrophysics
(Astronomy and Astrophysics Library) (Second Edition ed.). Berlin: Spriger.
Li, M., Mao, L., Shen, W., Liu, S., & Wei, A. (2013). CHange and Fragmentation
Trends of Zhanjiang Mangrove Forest in Southern China using Multi-
temporal Landsat Imagery (1977-2010). Estuarine, Coastal and Shelf
Science, 130, 111-120.
Li, M., Mao, L., Shen, W., Liu, S., & Wei, A. (2013). Change and fragmenttion
trends of Zhanjiang mangrove forest in southern China using multi-temporal
Landsat imageri (1977-2010). Estuarine, COastal and Shelf Science, 130,
111-120.
Liang, S., Li, X., & Wang, J. (2012). Advanced remote sensing: Terestrial
information extraction and applications. Oxford, UK: Elsevier.
Lillesand, T., Kiefer, R., & Chipman, H. (2008). Remote Sensing and Image
Interpretation (Sixth ed.). New York: Jhon Willey & Son.
Macintosh, D., & Ashton, E. (2003). A draft code of conduct for the sustainable
management of mangrove ecosystem. World Bank, ISME, Centre for
Tropical Ecosystem Research (cenTER Aarhus).
Melana, D., Atchue III, J., Yao, C., Edwards, R., Melana, E., & Gonzales, H. (2000).
Mangrove Management Handbook. Cebu City, Philippines: Department of
Environment and Natural Resources, Manila, Philippines through the
Coastal Resource Management Project.
Mumby, P., & Edwards, A. (2000). Remote sensing objectives of coastal managers.
In A. J. Edwards (Ed.), Remote sensing handbook for tropical coastal
management (pp. 31-40). Paris: UNESCO Publiser.
Myint, S., Giri, C., Wang, L., Zhu, Z., & Gillette, S. (2008). Identifying mangrove
species and their surronding land use and land cover classes using an object
oriented approach with a lacunarity spatial measure. GIScience & Remote
Sensing, 45(2), 188-208. doi:10.2747/1548-1603.45.2.188
NASA. (2007). Millenium Coral Reef Landsat Archive. Retrieved Februari6 2015,
from http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/landsat.pl
NASA Earth Observatory. (2005). Worsening Drought in Australia. Retrieved
Desember 30, 2014, from
http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=5580&eocn=related_t
o&eoci=related_image
NASA Earth Observatory. (2006). Matang Mangrove Forest, Malaysia. Retrieved
Maret 8, 2016, from
http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=7131
Nascimento, W., Souza-Filho, P., Proisy, C., Lucas, R., & Rosenqvist, A. (2013).
Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using
95
object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuarine,
Coastal and Shelf Science, 117, 83–93.
Noor, Y., Khazali, M., & Suryadiputra, I. (2006). Panduan pengenalan mangrove di
Indonesia. Bogor: Ditjen PHKA/Wetlan International - Indonesia
Programme.
Owen, T., Carlson, T., & Gillies, R. (1998). Remotely sensed surface parameters
governing urban climate change. Internal Journal of Remote Sensing, 19,
1663-1681.
Rahman, A., Dragoni, D., Didan, K., Bareto-Munoz, A., & Hutabarat, J. (2013).
Detecting large scale conversion of mangroves to aquaculture with change
point and mixed-pixel analyses of high-fidelity MODIS data. Remote
Sensing of Environment, 130, 96–107.
Reeves, R., Anson, A., & Landen, D. (1975). Manual of Remote Sensing (First
Edition ed.). Virginia: American Society of Photogrammetry.
Saenger, P. (2002). Mangrove ecology, silviculture and conservation. Dordrecht:
Springer Science+Business Media.
Samad, A., Bambang, A., & Afiati, N. (2013). Coastal people activity on mangrove
forest rehabilitation in Mahakam estuary. International Journal of Waste
Resources, 3(1), 34-39.
Seto, K., & Fragkias, M. (2007). Mangrove Conversion and Aquaculture
Development in Vietnam: A Remote Sensing - Based Approach for
Evaluating the Ramsar Convention on Wetland. GLobal Environmental
Change, 17, 486-500.
Setyawan, A., & Ulumuddin, Y. (2012). Species diversity of Rhizophora in
Tambelan Islands, Natuna Sea, Indonesia. Biodiversitas, 13(4), 172-177.
Sheue, C.-R., Yong, J., & Yang, Y.-P. (2005). The Bruguiera (Rhizophoraceae)
species in the mangrove of Singapore, especially on the new record and the
rediscovery. Taiwania, 50(4), 251-250.
Smith, T. (1992). Forest Structure. In A. Robertson, & D. Alongi (Eds.), Tropical
Mangrove Ecosystem (pp. 101-136). Washington DC: American
Geophysical Union.
Stevenson, N., Lewis, R., & Burbridge, P. (1999). Disused shrimp ponds and
mangrove rehabilitation. In W. Streever (Ed.), An International Perspective
on Wetland Rehabilitation (pp. 277-296). Kluwer Academic Publishers.
Sulong, I., Mohd-Lokman, H., Mohd-Tarmizi, K., & Ismail, A. (2002). Mangrove
mapping using Landsat imagery and aerial photographs: Kemaman district,
Terengganu, Malaysia. Environment, Development and Sustainability, 4,
135-152.
Tomlinson, P. B. (1995). The Botany of Mangroves. New York: Cambridge
University Press.
96
Uddin, S., Hoque, A., & Abdullah, S. (2014). The changing landscape of mangroves
in Bangladesh compared to four other countries in tropical regions. Journal
of Forestry Research, 25(3), 605-611.
UNESCO. (1997). Methological guide to integrated coastal zone management.
France: Intergovernmental Oceanographic Commision, UNESCO.
Vaiphasa, C. (2006). Remote sensing techniques for mangrove mapping. Enschede,
Belanda: Disertasi. International Institute for Geo-Information Science &
Earth Observation.
van Zwieten, P., Sidik, A., Noryadi, Suyatna, I., & Abdunnur. (2006). Aquatic food
production in the coastal zone: Data-based perceptions on the trade-off
between mariculture and fisheries production of the Mahakam Delta and
estuary, East Kalimantan, Indonesia. In C. Hoanh, T. Tuong, J. Gowing, &
B. Hardy (Eds.), Environment and livelihoods in tropical coastal zones:
Managing agriculture - fishery - aquaculture conflict (pp. 219-236).
Wallingford, UK: CAB Internationa.
Van, T., Wilson, N., Thanh-Tung, H., Quishoudt, K., Quang-Minh, V., Xuan-Tuan,
L., . . . Koedam, N. (2015). Change in mangrove vegetation area and
character in a war and land use change affected region of Vetnam (Mui Ca
Mau) over six decades. Acta Oecologica, 63, 71-81.
Wang, L., Sousa, W., Gong, P., & Biging, G. (2004). Comparison of IKONOS and
QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of
Panama. Remote Sensing of Environment, 91(3-4), 432-440.
Watson, J. (1928). Mangrove forest of the Malay peninsula: Malayan forest record
No. 6. Malaysi: Federates Malay States.
Woodroffe, C. (1992). Mangrove Sediments and Geomorpholog. In M. Bowman, R.
Barber, C. Mooers, & J. Raven (Eds.), Tropical Mangrove Ecosystems (pp.
7-42). Washington, DC: American Geophysical Union.
97
INDEKS
A
Avicennia, 7, 8 Avicennia marina, 4, 10 Avicenniaceae, 8
B
Bruguiera, 13
D
Delta Mahakam, 78 Langkah strategis pengelolaan, 67
Distribusi Mangrove, 1
J
Jendela atmosfer, 30
K
Karakteristik spektral, 36 optik, 37 Radar, 39
N
Nypa fruticans, 15
P
Pengelolaan mangrove, 62
tahapan pengelolaan, 60, 66 Penginderaan jauh, 27
R
Radiasi, 28 Rhizophora, 11
S
Silvikultur, 79 Silvofisheries, 70, 71, 72, 73, 74, 75,
76, 77, 78 survei lapangan, 25
T
Taksonomi mangrove, 6 tambak, 42 Tambak, 69 Transmisi energi, 31
V
Vivipary, 8
Z
Zonasi mangrove, 16
98
Tentang Penulis
Nurul Ihsan Fawzi, lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, pada tanggal 19
Maret 1991. Memiliki hobi membaca dan bertualang, serta menonton anime.
Pendidikan S1 di tempuh pada program studi Kartografi Penginderaan Jauh,
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Skripsi yang diselesaikan dengan
tema penginderaan jauh sistem termal untuk kajian perubahan tutupan lahan.
Sewaktu menyelesaikan S1, mendapatkan beasiswa unggulan program Fastrack
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada
Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai,
Universitas Gadjah Mada. Selain pendidikan formal, telah banyak seminar
nasional dan internasional yang telah diikuti. Aktif juga dalam mengirim paper
dan tulisan untuk dipresentasikan dalam forum nasional maupun internasional.
99
“Bila ada sebuah buku yang ingin kau baca tapi buku itu belum lagi ditulis, maka
engkaulah yang mesti menulis.”
100