manifestasi nilai teologi dalam gerakan ekologi · berlangsung di kedua pesantren ini...

136
MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor) HUSNUL KHITAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: truongkhanh

Post on 10-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI

(Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor)

HUSNUL KHITAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Manifestasi Nilai Teologi dalam

Gerakan Ekologi: Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren

Daarul Ulum Lido Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Husnul Khitam

I353070081

Abstract

HUSNUL KHITAM. Ecological Movement as the Manifestation of Theological

Value (Case Study in the Pesantren Al Amin, Sukabumi, and Pesantren Daarul

Ulum Lido, Bogor). Adviser SOERYO ADIWIBOWO and SAID RUSLI.

Pesantren is an indigenous Islamic based education institution in Indonesia.

Currently, some of the Pesantren in Indonesia began to address ecological issues

in their curricula as well as in their daily life. This research attempts to portray

and explore the dynamic of ecological movement in the Pesantren with Kyai

(Guru), Santri (student) and Quran (holy book) as the prime focus of analysis. In

this study, the ecological movement in Pesantren is perceived as a manifestation

of their meaning process toward the construction of ecological theology.

The study was carried out in two Pesantren i.e. the Al-Amin of Sukabumi and the

Darul Ulum Lido of Bogor. Al-Amin is a traditional type of boarding school

where informal relations and traditional leadership coloring the daily life of

Pesantren. Meanwhile, Daarul Ulum Lido is a portrait of modern Pesantren that

merge or combine formal-based public education and religious-based education

with formal relations and rational-legal type of leadership becomes the identity.

The results show that the ecological movement in both Pesantren was manifested

differently due to two important factors. First, the interpretation, meaning and

construction of Islamic theological ecology in each Pesantren are solely based

upon the knowledge and spiritual reflection of the Kyai. Second, the conservation

knowledge developed in each Pesantren is also a result of relations and knowledge

exchange between Pesantren and external actors. Different meaning of

conservation that adopted by external actors could differentiate the manifestation

of ecological movement in Pesantren.

In Pesantren Al Amin, their interpretation and meaning to ecological theology are

manifested in tree planting. Meanwhile, at Pesantren Darul Ulum Lido, it is

manifested in the form of harim zone (no take zone). This Darul Ulum type of

conservation is a result of their close relations and interaction with an

international conservation NGO. Though seems preliminary and need more

evidences, the ecological movement in Pesantren shows a positive direction

towards the deep ecology movement.

Keywords: Kyai, Pesantren, ecological theology, deep ecology, ecological

movement

Abstrak

HUSNUL KHITAM. Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi

kasus di Pesantren Al Amin, Sukabumi, dan Pesantren Daarul Ulum Lido,

Bogor). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan SAID RUSLI.

Pesantren merupakan institusi pendidikan khas Indonesia. Saat ini, beberapa

pesantren di Indonesia mulai terlibat dalam isu-isu ekologi, baik pada kurikulum

mereka maupun pada kehidupan sehari-hari mereka. Studi ini berusaha untuk

memotret dan mengeksplorasi dinamika gerakan ekologi di Pesantren dengan

Kyai (Guru), Santri (murid) dan Al Quran (kitab suci) sebagai fokus utama dalam

analisis. Dalam studi ini, gerakan ekologi di pesantren terlihat sebagai proses

pemaknaan menuju suatu konstruksi teologi ekologi.

Studi ini dilakukan di dua pesantren. Pesantren Al-Amin Sukabumi dan pesantren

Daarul Ulum Lido Bogor. Pesantren Al-Amin merupakan tipe pesantren

tradisional, dimana relasi informal serta pola kepemimpinan tradisional mewarnai

kehidupan keseharian pesantren. Sementara itu, pesantren Daarul Ulum Lido

merupakan potret dari pesantren modern yang mengkombinasikan sistem

pendidikan formal dan sistem pendidikan keagamaan dengan corak hubungan

formal dan tipe kepemimpinan rasional-legal yang mencerminkan identitas

mereka.

Studi ini memperlihatkan perbedaan manifestasi gerakan ekologi di kedua

pesantren tersebut dengan dilandasi dua faktor penting. Pertama, interpretasi,

pemaknaan dan konstruksi teologi ekologi Islam pada masing-masing Pesantren

terbangun berdasarkan pengetahuan dan refleksi spiritual Kyai. Kedua,

pengetahuan mengenai konservasi yang berkembang pada masing-masing

pesantren juga merupakan hasil dari relasi dan pertukaran pengetahuan antara

Pesantren dan aktor luar. Perbedaan pemaknaan atas konservasi yang dipahami

oleh aktor luar dapat membedakan pola manifestasi gerakan ekologi di Pesantren.

Pada Pesantren Al-Amin, interpretasi dan pemaknaan teologi ekologi mereka

termanifestasikan dalam bentuk penanaman pohon. Sementara itu, Pesantren

Daarul Ulum Lido termanifestasikan dalam bentuk zona harim (harim zone). Tipe

konservasi seperti yang terjadi di Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan

hasil dari intimitas relasi dan interaksi dengan sebuah LSM konservasi

internasional. Meskipun masih pada tahap awal dan diperlukan bukti-bukti lebih

lanjut, gerakan ekologi di Pesantren menunjukkan arah positif menuju gerakan

ekologi dalam.

Kata kunci: Kyai, Pesantren, teologi ekologi, ekologi dalam, gerakan ekologi

RINGKASAN

HUSNUL KHITAM. Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi Kasus di

Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor). Dibimbing oleh

Soeryo Adiwibowo dan Said Rusli.

Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi

model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi

salah satu nilai sosial yang terus dipertahankan dan menjadi identitas masyarakat

tertentu khususnya umat Islam di Indonesia. Islam sebagai suatu agama tidak

hanya terbatas pada wilayah teologis saja, tetapi lebih luas menjadi cara hidup

(way of life) yang menjadi petunjuk seluruh umat pemeluknya mulai dari sisi

teologis hingga hal-hal praktis, dari ruang yang sifatnya privat dan individual

hingga ruang yang sifatnya lebih publik.

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi pesantren dengan dua setting

geografis yang berbeda yaitu di Pondok Pesantren Al Amin, Cidahu, Sukabumi

dan Pesantren Daarul Ulum Lido, Bogor. Kedua pesantren ini dipilih secara

sengaja (purposive) karena kedua pesantren ini merupakan pesantren yang terlibat

dalam aktivitas konservasi lingkungan dengan bentuk kegiatan yang berbeda.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode wawancara

mendalam, pengamatan berperan serta dan penelusuran dokumen yang dilakukan

secara triangulatif. Data yang diperoleh tersebut kemudian secara kontinu

dilakukan analisis secara kualitatif dengan (a) reduksi data; (b) mendisplay data;

dan (c) melukiskan kesimpulan.

Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa hal yang saling terkait satu

sama lain. Dalam hal lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan ekologi di

pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Al Quran.

Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan dicoba di

kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren maupun

masyarakat pada umumnya. Aktor dalam kedua pesantren ini merujuk pada ayat

Al Quran yang melarang manusia melakukan perusakan atas ciptaan Allah SWT.

Pesantren Al Amin, memiliki kerangka dasar teologi yang terbangun yaitu untuk

menjalankan tiga hubungan transenden (Allah-Manusia-Alam). Landasan teologi

lain adalah konsepsi tentang kutubul awliaa serta konsepsi sedekah yang menjadi

ciri utama pesantren ini (ekologi keseimbangan). Sementara itu, Pesantren Daarul

Ulum Lido membangun kerangka teologi gerakannya pada konsepsi Fiqh Al-

Bī’ah serta filosofi manusia sebagai khalifah yang bertugas menjaga

kesinambungan hidup baik manusia maupun alam. Pesantren juga mendorong

tumbuhnya kecintaan terhadap makhluk selain manusia sebagai bukti

tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas bumi. Landasan teologi lain adalah

upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam dengan tujuan menjaga

kesinambungan hidup generasi manusia dimasa mendatang (ekologi lingkungan).

Pesantren Al Amin memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi

pesantren yang lebih keluar yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam

pesantren, khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan

penanaman pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar

maupun dengan murid kyai. Kyai melalui gerakan ini juga memanfaatkan dua hal

yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan sosial kyai yang berciri

tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya hubungan antara kyai dan murid

maupun anggota kelompok tani seperti hubungan pertalian darah memiliki peran

strategis sehingga konstruksi ide yang dibangun relatif mudah di implementasikan

karena faktor ketaatan tersebut.

Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido yang memperlihatkan corak

manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi aktor dari luar

Pesantren. Bentuk gerakan ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam

(internal). Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone,

atau zona haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang

tidak boleh dimanfaatkan untuk pembangunan. Adanya ruang ini memunculkan

peluang bagi santri untuk membentuk kelompok pecinta alam yang memiliki

tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut terlibat dalam gerakan mencintai

lingkungan sekitar, terutama alam. Keberadaan Harim zone ini merupakan induksi

pengetahuan dan hasil dialektika dengan aktor dan organisasi luar seperti

Conservation International Indonesia (CI) yang secara khusus memang

mendorong upaya konservasi alam. Dalam konteks tindakan sosial, gerakan yang

berlangsung di kedua pesantren ini memperlihatkan corak tindakan sosial aktor

sebagai tindakan rasional nilai yang bertumpu pada pemahaman nilai masing-

masing aktor tersebut.

Pada wilayah kontinum gerakan, praktik gerakan yang dilakukan oleh

pesantren Al Amin memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada level

(aktor) kyai sedangkan pada level murid maupun masyarakat belum

memperlihatkan kondisi demikian. Sementara itu, di pesantren Daarul Ulum Lido

memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada setiap aktor yang terlibat

dalam gerakan ekologi. Meskipun demikian, gerakan ini memiliki tantangan

tersendiri. Tantang tersebut terletak pada keberlanjutan gerakan tersebut baik pada

sisi pewarisan interpretasi ataupun pemaknaan pada setiap aktor, utamanya pada

kyai serta upaya mobilisasi gerakan tersebut. Kedalam gerakan yang terjadi di

kedua pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari seberapa dalam interpretasi aktor

atas teks teologi yang terdapat dalam Islam serta perumusan dan implementasi

teks praksisnya. Tetapi, yang penting untuk digarisbawahi adalah, kekuatan utama

dalam gerakan ini yaitu karena meletakkan agama Islam sebagai fundamen dari

gerakan tersebut sehingga dapat di serap oleh aktor pesantren, dimaknai, dan

dimanifestasikan dalam potret gerakan masing-masing.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI

(Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor)

HUSNUL KHITAM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Titik Sumarti, MS

Judul Tesis : Manifestasi Nilai Teologi dalam Gerakan Ekologi (Studi Kasus

di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum

Lido Bogor)

Nama : Husnul Khitam

NRP : I353070081

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua

Ir. Said Rusli, MA

Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor

Sosiologi Pedesaan

Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr

Dr. Ir. Dahrul Syah MSc.Agr

Tanggal Ujian : 13 Juli 2011 Tanggal Lulus:

Untuk Ibunda (Almh) Hj. Supriyatin

yang selalu menjadi teladan penulis

meskipun beliau telah berada di Surga-Nya

semoga Allah selalu melimpahkan

rahmat dan maghfiroh-Nya

Amin

No peace among the nations without peace among the religions.

No peace among the religions without dialogue between the religions.

No dialogue between the religions without global ethical standards.

No survival of our globe without a global ethic, a world ethic, supported by both

the religious and the non-religious.

│Hans Kung – Islam, Past, Present and Future

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Ilahi, Tuhan semesta alam, atas karunia dan limpahan

rahmat-Nya. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Manifestasi Nilai Teologi dalam

Gerakan Ekologi (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren

Daarul Ulum Lido Bogor).

Karya ini bermula dari keyakinan penulis, bahwa ditengah menyeruaknya

berbagai problematika lingkungan, asa dan harapan untuk berusaha

menyelamatkan lingkungan dan membangun kesadaran manusia tidak pernah

hilang. Secara spesifik, sebagai komunitas beragama, umat Islam, utamanya

pesantren dapat memiliki peran yang sangat besar, terutama dalam

menterjemahkan Islam sebagai nilai dan institusi dalam mendorong penyelamatan

lingkungan tersebut. Keyakinan tersebut kemudian mewujud dalam bentuk karya

yang penulis yakin, masih sangat terbatas, tetapi menjadi langkah awal penulis

menunjukkan bahwa agama (Islam) tidaklah harus berhenti pada persoalan akhirat

semata, tetapi mampu menjawab berbagai persoalan kekinian.

Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan banyak terima

kasih serta penghargaan yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo

Adiwibowo, MS dan Bapak Ir. Said Rusli, MA sebagai pembimbing atas segala

bimbingan, arahan dan masukannya. Keduanya selalu memberikan penulis

pencerahan serta motivasi guna terus berupaya menyelesaikan karya ini. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS sebagai

penguji luar komisi atas berbagai saran dan kritiknya yang banyak membantu

penulis mengembangkan karya ilmiah ini.

Dalam perjalanan studi penulis di Institut Pertanian Bogor, penulis ingin

mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,

MSc.Agr selaku Koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan atas segala saran dan

kritiknya serta Pimpinan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan banyak ilmu serta

mengajarkan banyak hal kepada penulis sehingga dapat memahami secuplik

gambaran tentang bagaimana memahami dinamika perdesaan, utamanya dalam

konteks ekologi manusia.

Dalam perjalanan panjang menuju karya ini, beberapa kolega juga

mewarnai pergulatan penulis. Oleh karenanya, penulis menyampaikan banyak

terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan di Mayor Sosiologi Pedesaan yang

banyak memperkaya khazanah berfikir penulis. rekan-rekan di konsultan yang

juga memberikan warna lain yang olehnya, penulis sangat bersyukur. Penulis juga

menyampaikan rasa terima kasih, khususnya kepada sahabat Ahmad Ubaidillah

(Fadil) yang membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini serta kawan-

kawan aktivis pertanian lainnya yang sesekali menjadi sahabat diskusi penulis.

Penulis juga dengan rasa rendah hati mengucapkan banyak terima kasih

kepada Ajengan Abdul Basith dan Ust. Yani serta keluarga besar Pesantren Al

Amin dan Pesantren Daarul Ulum Lido yang sering di sibukkan untuk menjawab

berbagai pertanyaan penulis dan secara langsung maupun tidak, sering terganggu

oleh kepentingan pribadi penulis dalam penyusunan karya ini. Meskipun

demikian, yang mereka lakukan sejatinya banyak memberikan pandangan dan

perspektif baru bagi penulis serta memperkuat keyakinan penulis bahwa sebagai

individu, mengambil peran dan bertanggungjawab atas lingkungan merupakan

suatu langkah untuk menyelamatkan semesta di masa mendatang.

Karya ini juga tidak dapat lahir tanpa dukungan keluarga. Penulis ingin

mengungkapkan rasa syukur, takzim dan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Nurhasan Salim dan Ibunda (Almh)

Hj. Supriyatin yang tidak henti-hentinya mendoakan, mendorong dan menjadi

teladan penulis. Begitu juga Ayahanda H. Amarullah Hamim dan Ibunda Hj.

Nuryati Murtadho yang selalu mendoakan dan mengingatkan penulis untuk

menyelesaikan karya ini. Ibu Shanti, Ka Lukman, Ka Ana dan Neyra, Kasyfi dan

Hasnah, Puji, Najma, Bang Farhan, Ami, Sopi dan Fadhil yang juga mewarnai

perjalanan hidup penulis selama ini.

Akhirnya, karya ini penulis persembahkan sebagai wujud rasa cinta dan

ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Istri tercinta, Dian Nurlaily

Amarullah yang selalu sabar dan mendukung penulis dalam segala hal,

mengingatkan penulis disaat rasa malas dan enggan mendera yang tanpanya

penulis merasa sulit untuk dapat menyelesaikan karya ini.

Mudah-mudahan, karya ini dapat memperkaya khazanah intelektualitas

penulis, bermanfaat bagi pribadi dan masyarakat serta makhluk Tuhan lainnya.

Dalam Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mengatakan “Seorang

terpelajar harus sudah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam

perbuatan”. Mudah-mudahan keadilan ekologis selalu hadir dan menjadi

tanggungjawab kita semua. Walllahu a’lam.

i

DAFTAR ISI

Hal

Daftar Isi ……………………………………………………………….… i

Daftar Tabel ……………………………………………………………… iii

Daftar Gambar …………………………………………………………… iv

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1

1.2. Rumusan Masalah ..…………………………………………..... 6

1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 6

1.4. Kegunaan Penelitian ..………………………………………….. 6

II. Tinjauan Pustaka

2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam ……….………….. 8

2.2. Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial ……………………… 10

2.3. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat ……………………... 13

2.4. Pesantren dan Gerakan Ekologi ………………………………... 17

2.5. Kerangka Pemikiran ……………………………………………. 21

III. Metode Penelitian

3.1. Wilayah Analisis ……………………………………………….. 25

3.2. Hipotesis Pengarah …………………………………………….. 25

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian …….…………………………….. 25

3.4. Pendekatan dan Tahapan Penelitian ……………………………. 26

3.5. Metode Pengumpulan Data …………………………………….. 27

3.6. Metode Analisis Data ……...…………………………………… 29

3.7. Definisi Operasional …………………………………………… 30

IV. Potret Umum, Tradisi dan Dinamika Pesantren

4.1. Potret Umum Pesantren Al Amin ……………………………… 32

4.2. Potret Umum Pesantren Daarul Ulum Lido ……………………. 35

4.3. Pola Hubungan Sosial dalam Pesantren ……………………….. 39

4.4. Pola Kepemimpinan di Pesantren ……………………………… 42

4.5. Dinamika Kehidupan di Pesantren …………………………….. 46

V. Basis Teologi dalam Gerakan Ekologi Pesantren

5.1. Basis Teologi Ekologi dalam Islam ……………………………. 49

5.2. Makna Ekologi di Pesantren: Refleksi Para Aktor …………….. 54

VI. Manifestasi Gerakan Ekologi Di Pesantren: Refleksi Individual

atau Induksi Aktor Luar?

ii

6.1. Forma Gerakan Ekologi di Pesantren ………………………….. 68

6.2. Kyai dan Gerakan Ekologi …………………………………….. 90

VII. Kontinum Gerakan Ekologi Di Pesantren

7.1. Gerakan Ekologi di Pesantren: Ekologi Dalam atau Ekologi

Dangkal? ………………………………………………………..

95

7.2. Potensi Masa Depan Gerakan Ekologi di Pesantren …………… 105

VIII. Kesimpulan Dan Saran

8.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 109

8.2. Saran …………………………………………………………… 111

Daftar Pustaka ……………………………………………………………. 113

iii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1. Jumlah Informan Yang di Wawancarai ……………………….. 27

Tabel 3.2. Data dan teknik dalam pengumpulan data …………………….. 28

Tabel 4.1. Penjenjangan Pengajian dan Kitab Yang Digunakan di

Pesantren ………………………………………………………. 33

Tabel 4.2. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Al Amin .. 35

Tabel 4.3. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Salsabilla.. 38

Tabel 4.4. Pola Hubungan Sosial di Lingkungan Pesantren ………………. 40

Tabel 4.5. Pola Kepemimpinan dan Regenerasi di Pesantren …………….. 44

Tabel 6.1. Distribusi Bantuan CI dan Peserta Program …………………… 80

Tabel 6.2. Pengembangan Pokok Bahasan Yang Bertemakan Lingkungan.. 87

Tabel 6.3. Pola Manifestasi Gerakan Ekologi di Pesantren ………………. 89

iv

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran ………….……………………………. 24

Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologis …………………….. 57

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi

model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi

salah satu nilai sosial yang terus dipertahankan dan menjadi identitas masyarakat

tertentu khususnya umat Islam di Indonesia. Kondisi ini menjadi mungkin

dikarenakan Indonesia yang memiliki jumlah pemeluk agama Islam mayoritas

lebih menjadikan pesantren sebagai salah satu penggerak dalam upaya melakukan

gerakan yang terkait dengan permasalahan lingkungan sekitar dimana pesantren

tersebut berdomisili.

Pilihan pesantren tentu berdasarkan alasan-alasan yang sangat relevan

mengingat jumlah pemeluk serta ikatan sosial yang terbangun antara pesantren

dengan masyarakat sekitarnya. Posisi pesantren setidaknya dapat dilihat dari dua

sisi, yaitu sisi pendidikan yang menjadi ranah utama terutama pendidikan

keagamaan. Sisi lainnya yaitu sisi pengembangan kemasyarakatan. Pemberdayaan

masyarakat ini dapat dilihat dari peran pesantren dalam upaya mendorong

masyarakat melakukan aktivitas pemberdayaan masyarakat seperti gerakan

konservasi lingkungan dan lainnya.

Kedua sisi ini sesuai dengan ungkapan Houben (2003) yang menjelaskan

bahwa sesungguhnya Islam sebagai suatu agama tidak hanya terbatas pada

wilayah teologis saja, tetapi lebih luas menjadi cara hidup (way of life) yang

menjadi petunjuk seluruh umat pemeluknya mulai dari sisi teologis hingga hal-hal

praktis, dari ruang yang sifatnya privat dan individual hingga ruang yang sifatnya

lebih publik. Kondisi ini menjadi dasar kenapa pesantren kemudian melakukan

terobosan dengan mencoba keluar dari pemahaman umum yang hanya berkutat

pada domain pendidikan keagamaan yang kemudian mencoba meluas pada

pendidikan sosial1

1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren

untuk lebih memahami kondisi sosial masyarakat disekitar pesantren. Dalam sejarahnya, model

pendidikan pesantren ini mewujud dalam bentuk aktivitas sosial santri seperti yang banyak

dipraktekkan di beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan, Pesantren An Nuqayah, Pesantren

Tebuireng, Pesantren Maslakul Huda, Pesantren Cipasung, Pesantren Darunnajah dan lainnya.

2

Secara geografis, mayoritas pesantren berada pada wilayah pedesaan yang

sebagian masyarakatnya berpenghidupan secara agraris meskipun terdapat juga

sejumlah pesantren yang berada di perkotaan. Kondisi geografis seperti ini

menyebabkan begitu banyaknya pesantren yang berhubungan langsung dengan

masyarakat baik secara teologis maupun sosial dan secara jelas berimplikasi pada

pengembangan masyarakat disekitarnya. Hal ini karena secara sosiologis banyak

pemimpin pesantren tersebut juga melakukan aktivitas atau memiliki sumber

penghidupan yang sama dengan masyarakat sekitarnya yaitu agraris.

Hermansyah (2003) menyebutkan bahwa peran agama yang secara

kelembagaan seperti pesantren dapat mendorong terwujudnya tindakan sosial

yang penuh dengan nilai dan makna religius. Tindakan sosial ini dapat muncul

apabila ada keterlibatan berbagai macam instrumen masyarakat seperti elit agama,

elit ekonomi dan masyarakat biasa sehingga mendorong terbentuknya kohesivitas

sosial.

Bentuk implementasi nilai teologi yang dilakukan oleh pesantren dapat

dilihat dari pemaparan Abd A’la (2006) yang menjelaskan bahwa pesantren

menyadari bahwa da’wah bi al-aqwal yang telah dilaksanakan perlu

dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam da’wah bi al-hal. Dalam ungkapan

lain, nilai keagamaan tentang keadilan, kesejahteraan, dan sejenisnya yang

diperkenalkan melalui lembaga lokal perlu didorong kearah kerja-kerja yang

konkret. Lebih lanjut A’la menjelaskan bahwa upaya tersebut dapat menimbulkan

kesadaran yang kemudian dibingkai secara teologis yang substansial dan

nondikotomis sehingga dapat mengantarkan pesantren mengembangkan pola

pendekatan baru dalam menyebarkan keberagamaan dalam bentuk kegiatan yang

lebih kontekstual dan lebih bernilai transformatif.

Salah satu bentuk yang diupayakan oleh pesantren adalah upaya

pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat menurut Sairin

(2002) dikategorikan menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan mobilisasi yang

menjadikan perencana pembangunan menjadi subjek dan masyarakat sebagai

objek. Pendekatan kedua yaitu pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh

komponen yang terkait dalam pembangunan guna merancang dan memikirkan

pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat. Pendekatan yang ketiga adalah

3

pendekatan akulturatif yaitu pendekatan yang dapat mempertahankan identitas

masyarakat itu sendiri serta mendorong peran lebih besar dari masyarakat itu

sendiri.

Eksistensi pesantren sendiri dalam sejarahnya bukan tanpa perdebatan

sengit. Setidaknya, apa yang ditunjukkan oleh M Dawam Rahardjo dalam

pengantar buku Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah

menyebutkan bagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan Sultan Takdir Alisyahbana

saling kritik. Takdir menyebutkan Ki Hadjar dan beberapa intelektual lain yang

menyerukan penguatan pendidikan khas seperti pesantren, akan tetapi Takdir

justru beranggapan bahwa seruan itu lebih mendorong pada anti intelektualisme,

individualisme, egoisme dan materialisme (Rahardjo, 1985). Premis ini berangkat

dari budaya pesantren yang menurutnya sangat kolot dan terpaku pada wilayah

keagamaan saja serta kedudukan kyai yang sangat tinggi sehingga tidak

menimbulkan semangat modernisasi yang diagungkan oleh Takdir.

Perdebatan tersebut terus bergulir dan menjadi kritik terhadap pesantren itu

sendiri. Dalam perjalanannya, pesantren berusaha untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai perkembangan zaman dan tidak lagi hanya berkutat pada domain

keagamaan. Kondisi ini mendorong gugurnya dikotomi antara keduniaan dengan

keakhiratan yang selama ini lekat sekali dengan pesantren sehingga mendorong

transformasi besar dalam tubuh pesantren. Meskipun demikian, tidak semua

pesantren yang ada di Indonesia melakukannya. Akan tetapi setidaknya, terdapat

beberapa pesantren yang mencoba melakukan transformasi tersebut dengan

berusaha menempatkan dirinya menjawab berbagai permasalahan yang muncul di

masyarakat sekitarnya seperti permasalahan ekonomi, sosial, budaya, ekologi dan

sebagainya (Yacub, 1983; Rahardjo, 1985; Effendy, 1990; Ghazali, 2003) .

Bentuk pengembangan pesantren yang lebih memasyarakat ini sebenarnya

merupakan jawaban terhadap perdebatan yang selama ini muncul. Dapat dipahami

bahwa meskipun dalam sejarahnya para Kyai sebagai pimpinan pesantren

memiliki kontribusi besar terhadap negara seperti apa yang dilakukan oleh Kyai

Hasyim Asy’ari, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Agus Salim dan lainnya, tetapi secara

lokal perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang peran pesantren tersebut

4

dalam usaha menjawab permasalahan kekinian terutama terkait dengan masalah-

masalah ekologi.

Salah satu bentuk kegiatan yang lebih kontekstual dan transformatif tersebut

dapat terlihat dari munculnya gerakan ekologis yang didorong oleh pesantren

sehingga mampu mendorong masyarakat melakukan upaya perbaikan dan

konservasi lingkungan. Bentuk konservasi lingkungan yang dilakukan beberapa

pesantren di Indonesia setidaknya terlihat pada apa yang dilakukan oleh Pondok

Pesantren Pabelan, Pondok Pesantren An Nuqayah, Pondok Pesantren Maslakul

Huda, Pondok Pesantren Cipasung, Pondok Pesantren Darunnajah dan beberapa

pesantren lainnya pada era 80-an. Beberapa pesantren yang disebutkan didepan

pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah berupa penghargaan Kalpataru

sebagai apresiasi atas kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Capaian yang mereka peroleh bermula pada akhir tahun 70-an, pesantren-

pesantren tersebut pernah mengikuti Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat

(LTPM) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang juga melibatkan beberapa

pesantren serta alumni dan mahasiswa IAIN. Beberapa peserta pelatihan ini

sekembalinya mereka ke pesantren masing-masing, melakukan upaya menjawab

persoalan masyarakat terutama yang terkait dengan ekologi seperti yang dilakukan

oleh pesantren Pabelan, Cipasung, dan lainnya. Begitu juga Pesantren An-

Nuqayah pasca pelatihan tersebut banyak melakukan inisiasi yang mendorong

pemberdayaan masyarakat setidaknya sebagai salah satu upaya mencari solusi atas

permasalahan masyarakat disekitarnya.

Pesantren juga berupaya memformulasi pemecahan kelangkaan air yang

menimpa masyarakat. Sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap karya

besar pesantren tersebut, pemerintah Indonesia kemudian juga menghadiahkan

penghargaan Kalpataru kepada Pesantren An Nuqayah sebagai bentuk

kepeduliannya kepada lingkungan. Sebagai contoh lain, atas inisiasi dan

kepedulian terhadap lingkungan, pesantren lain yaitu pesantren Pabelan juga

mendapatkan penghargaan Aga Khan Award sebagai pengakuan internasional atas

sumbangsihnya terhadap lingkungan.

5

Pada tahun 2008, kegiatan konservasi lingkungan semakin meluas dan

mempengaruhi pesantren untuk kemudian terjun dan berperan aktif. Serupa

dengan apa yang dilakukan oleh pesantren semacam Pabelan dan An Nuqayah, di

Sukabumi juga terdapat beberapa pesantren yang melalukan inisiasi konservasi.

Pondok Pesantren Al Amin di Cidahu Sukabumi sebagai contoh menginisiasi

suatu kegiatan yang mengarah pada terminologi pesantren konservasi. Selain itu

juga terdapat pesantren lain yang menempatkan dalam kurikulum pembelajaran

mereka materi yang menyangkut konsevasi dan lingkungan.

Pesantren lain seperti yang telah di teliti oleh tim peneliti dari LIPI, terdapat

beberapa pesantren di daerah Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bandung, Garut

dan Ciamis yang melakukan aktivitas serupa dengan pesantren diatas (Budiman

dan Arief, 2007; Yamin, 2007). Tentu ini merupakan upaya positif yang terus

terbangun dan saling bersambutan sebagai bentuk tanggungjawab pesantren

terhadap problem sosial di masyarakat. Namun, pertanyaan besar yang kemudian

muncul adalah, hingga sejauh mana aktivitas tersebut mengakar dalam pesantren

maupun masyarakat disekitar pesantren tersebut. Kontradiksi ini menjadi terlihat

ketika muncul beberapa kegiatan dalam pesantren yang justru lebih bernuansa

politis ketimbang memikirkan upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu

pada upaya membangun kesadaran dalam intern pesantren maupun masyarakat.

Upaya berbagai Pesantren tersebut dalam menjawab permasalahan

lingkungan tersebut harus diapresiasi sebagai upaya mencari solusi baik bagi

dirinya sendiri maupun bagi masyarakat disekitarnya. Munculnya peran besar

lembaga keagamaan ini mempunyai peran tersendiri sehingga pada akhirnya

mewujud pada tindakan sosial yang penuh dengan nilai dan makna religius.

Religiusitas yang muncul akhirnya juga mendorong peran lembaga keagamaan

seperti pesantren menjadi motor penggerak utama masyarakat baik dari sisi

keagamaan maupun sosial ekonomi dan ekologi.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana inisiasi tersebut dapat muncul

pada pesantren-pesantren tersebut dengan latar waktu yang berbeda. Kondisi ini

tentu dilatari oleh kondisi sosio-historis yang berbeda serta pola yang terbangun

pada pesantren itu sendiri. Selain itu, menjadi lebih menarik untuk menyelami

latar teologis yang mendasari masing-masing gerakan tersebut. Hal ini juga terkait

6

dengan upaya pesantren menjembatani dikotomi keagamaan dengan keduniaan

yang dahulu seakan terpisah dan pesantren hanya berkutat pada hal-hal yang

bersifat akhirat.

Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk mengetahui

sejauh mana peran pesantren dalam pengembangan masyarakat pedesaan terutama

kaitannya secara sosiologis maupun teologis dalam memunculkan gerakan ekologi

sebagai upaya mempertahankan lingkungan disekitarnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pesantren memaknai masalah lingkungan dari perspektif eko-

teologi?

2. Bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan ekologi

yang dilakukan oleh pesantren?

3. Bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Merujuk pada beberapa pertanyaan yang diajukan diatas, secara umum

tujuan penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pesantren memanifestasikan

nilai teologi yang mereka yakini sebagai landasan dalam melakukan gerakan

ekologi. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengkaji bagaimana Pesantren melakukan pemaknaan atas masalah

lingkungan dengan menggunakan perspektif eko-teologi.

2. Mengkaji bagaimana nilai teologis tersebut termanifestasikan dalam gerakan

ekologi yang dilakukan oleh pesantren.

3. Mengkaji bagaimana arah gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren

tersebut.

1.4. Kegunaan penelitian

Beberapa kegunaan penelitian yang penulis harapkan dapat dicapai pada

penelitian ini antara lain terbagi pada beberapa aras. Pada aras akademik,

7

penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan khazanah intelektual terutama

yang menghubungkan nilai teologi atau keagamaan yang termanifestasikan dalam

pesantren dan mewujud pada gerakan ekologi sehingga dapat dilihat hubungan

dan peranan agama dengan konstruk sosial yang terbangun di masyarakat.

Kegunaan penelitian lain yang diharapkan adalah pada aras praksis. Pada

aras ini penelitian ini nantinya diharapkan mewujud pada pemahaman bahwa

upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi

masyarakat lokal yang dalam hal ini pesantren serta nilai-nilai keagamaan yang

mereka pahami. Kondisi ini kemudian mengharuskan para pengambil kebijakan

melihat lebih kedalam dan membumi bahwa bagaimanapun peran masyarakat

lokal seperti pesantren tidak dapat dinafikan dalam mempertahankan lingkungan

disekitarnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam

Teologi merupakan istilah yang lekat kaitannya dengan agama dan

ketuhanan. Dalam Kamus Filsafat Istilah teologi berasal dari kata theos yang

berarti Allah dan logos yang berarti wacana atau ilmu. Dalam pengertian lebih

luas teologi berarti ilmu tentang hubungan dunia ilahi atau ideal atau kekal tak

berubah dengan dunia fisik (Bagus, 1996). Teologi tersebut sangat erat kaitannya

dengan dasar-dasar agama sehingga dapat memberikan pemahaman dan

keyakinan mendasar tentang agama yang dianut.

Dalam Islam istilah teologi lebih dikenal dengan Usul ad Din dengan ajaran

dasar berupa aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi ini dalam islam

juga dikenal dengan sebutan ‘ilm al-tauhid (Nasution, 1986). Dimensi teologi

yang selama ini dikenal kemudian semakin meluas seiring dengan semakin

kompleksnya pertautan antara Islam dengan hal lain sehingga teologi tidak lagi

hanya membincangkan tentang ketuhanan akan tetapi semua hal yang berkaitan

dengan-Nya (Fakhry dalam Hermansyah, 2003).

Dalam kaitan dengan lingkungan, teologi ini kemudian diturunkan pada

wilayah yang lebih praksis yaitu melihat bagaimana kaitan antara lingkungan

dengan sang pencipta. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sekedar

lingkungan yang bersifat biofisik tetapi termasuk juga manusia dan makhluk

hidup lainnya. Upaya penggalian nilai spiritual ekologi Islami ini merupakan

pengayaan khazanah ekologi profetis Islam untuk menawarkan konsep ekologi

alternatif atau ekologi transformatif. Teologi lingkungan secara definisi adalah

teologi yang obyek material kajiannya bidang lingkungan dan perumusannya

didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam. Sehingga teologi lingkungan

merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar Islam mengenai lingkungan

(Abdillah, 2001). Ini merupakan jawaban atas semakin berkembangnya peradaban

umat manusia serta jawaban atas semakin kompleksnya permasalah yang dihadapi

dan salah satunya adalah munculnya berbagai masalah lingkungan.

Islam secara transenden mengakui keberadaan seluruh makhluk dimuka

bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan sang khalik sehingga kerusakan yang

9

diakibatkan oleh salah satu makhluk merupakan pengingkaran terhadap ciptaan

Allah (Izzi Deen, 1990; Qardhawi, 2001). Lebih lanjut, Islam sendiri memiliki

prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan

sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut adalah Tauhid, Amanah, Khalifah,

Halal, Haram, Adil, Tawasshur (Kesederhanaan), Ishlah (Pemeliharaan), dan

Tawazun (keseimbangan dan harmoni) (Sardar 2006; Chirzin, 2003).

Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip ideal yang coba ditawarkan oleh

Islam sebagai upaya menjawab persoalan lingkungan tersebut. Inti permasalahan

lingkungan hidup menurut Soemarwoto adalah hubungan mahluk hidup,

khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Dalam pandangannya

Soemarwoto menyebutkan hubungan timbal balik tersebut adalah ekologi. Lebih

lanjut Soemarwoto menjelaskan bahwa konsep sentral dalam ekologi ialah

ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik

antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam memandang ekosistem, maka

harus di lihat unsur-unsur dalam lingkungan hidup kita tidak secara tersendiri,

melainkan terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem.

Pendekatan ini dalam Soemarwoto disebut dengan pendekatan ekosistem atau

pendekatan holistik (Soemarwoto, 2004).

Dalam konsep ekologi manusia, terdapat berbagai macam pandangan dalam

memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Varian teori tersebut

antara lain adalah (a) teori determinisme lingkungan (Jabariyah) yang

menempatkan aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh

lingkungan. (b) posibilisme lingkungan (Tahammuliyyah) dimana lingkungan

memiliki peran penting dalam menjelaskan hubungan antara budaya tertentu

dengan lingkungan tertentu. (c) teori ekologi budaya (bi’ah al-hudriy) yang

menjelaskan bahwa budaya dan lingkungan adalah suatu kesatuan dengan suatu

budaya yang menjadi intinya. (d) teori sistem yang merupakan teori ekosistem

yang melihat hubungan antara manusia dengan lingkungan biotik dan abiotik

dilihat secara sistem meskipun pada tingkatan yang lebih kecil yaitu ekosistem

lokal. Selain itu peran ritual juga dimasukkan dalam inti budaya dan memiliki

peran besar dalam pola adaptasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat teori

tersebut kemudian mendapat tanggapan dengan munculnya teori alternatif yaitu

10

(e) teori dialektika ekologis Islam yang merupakan proses dialektis antara nilai-

nilai spiritual religius Islam dengan nilai-nilai ekologis. Proses dialektika yang

terjadi dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap internalisasi, tahap obyektivikasi,

dan tahap eksternalisasi (Rambo, 1983; Abdillah, 2001).

Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa Islam sebagai suatu sistem

kepercayaan memiliki dasar teologi lingkungan yang mengakar. Akan tetapi,

konteks yang dicoba dikedepankan pada penelitian ini tidak pada domain teologis

murni atau hanya mencari nilai-nilai ekologi dalam diktum keagamaan melainkan

mencoba melihat pada aras yang lebih praksis. Meminjam konsepsi Hermansyah

(2003) dalam melihat proses arus balik dari semangat mencari kebenaran dalam

tauhid (tawhid) melalui berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah

(a) faktor biologis dan faktor psikologis karena dalam setiap individu terdapat

keterkaitan biologis seperti keturunan, perkawinan, kekerabatan dan lainnya. (b)

faktor ekonomi karena sesungguhnya faktor ini terkadang menjadi dominan dari

pada faktor sosial. (c) faktor sosiologis-antropologis yang terkait dengan sosio-

budaya, struktur dan hubungan sosial yang terbangun dan terakhir (e) faktor

teologis yang merupakan dasar aktivitas yang transenden dalam diri manusia itu

sendiri.

2.2. Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial

Salah satu teoritikus yang banyak menitikberatkan penelitiannya pada etos

kerja adalah Max Weber. Damsar (2002) menjelaskan bahwa Weber dalam

bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa

ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis barat yang

didorong oleh perkembangan etika protestan yang muncul pada abad keenambelas

dan digerakkan oleh dokrin Calvinisme yaitu doktrin tentang takdir.

Senada dengan Damsar, Mintarti (2001) juga menjelaskan bahwa

pandangan Weber diatas berawal dari keganjilan, penyimpangan yang jelas

terlihat dan identifikasinya serta penjelasnya merupakan orisinalitas sebenarnya

dari The Protestan Ethic. Biasanya, mereka yang hidupnya terpaut dengan

kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh terhadap

agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama karena kegiatan mereka tertuju

11

kepada dunia materil. Akan tetapi agama Protestan bukannya mengendurkan

pengawasan gereja atas kegiatan sehari-hari, malahan menuntut penganutnya

disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik.

Tulisan Weber tersebut menurut Sobary (2007) menyebutkan peran yang

dimainkan oleh agama, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan

tertentu terutama dalam perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya,

kontribusi penting Weber adalah memahami sepenuhnya asal usul kapitalisme

modern. Weber mencoba menjelaskan hakikat dan kemunculan suatu mentalitas

baru, yang disebutnya semangat kapitalisme yang menggantikan tradisionalisme

dalam kehidupan ekonomi. Selain itu, semangat kapitalisme dalam pandangan

weber merupakan aspek sentral dari kapitalisme modern.

Weber membedakan empat aliran utama agama Protestan ascetic:

Calvinisme, Metodisme, Peitisme, dan sekte Baptis. Akan tetapi analisisnya

tentang etika Protestan terpusat pada salah satu dari keempat aliran tersebut, yaitu

Calvinisme. Di dalam Calvinisme terdapat tiga kepercayaan pokok yaitu (1)

semesta diciptakan untuk menunjukkan keagungan Tuhan yang Mahabesar dan

bahwa semua itu harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan,

(2) maksud dan kehendak Tuhan tidak selalu bisa dipahami oleh manusia, dan (3)

kepercayaan kepada takdir, yakni hanya sejumlah kecil manusia akan terpilih

untuk diangkat ke surga (Giddens, 1986).

Tesis utama Weber seperti yang disebutkan oleh Morrison (1995) terletak

pada dua hal yaitu bahwa banyak pusat-pusat komersial di Eropa ketika itu telah

menunjukkan aktivitas komersial yang sangat intens bersamaan dengan

berkembangnya ajaran Protestanisme. Tesis kedua dari Weber adalah bahwa

kapitalisme barat di motivasi atas dua hal yang menurutnya sangat kontradiksi.

Disatu sisi bahwa perilaku menimbun kekayaan sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan individu, akan tetapi disisi lain justru masyarakat eropa menghindari

penggunaan kekayaan mereka untuk tujuan berfoya-foya dan bersenang-senang.

Weber kemudian menyimpulkan bahwa yang mendasari perilaku tersebut adalah

etika agama yang dalam hal ini etika protestan.

Johnson (1986) juga menjelaskan bahwa akar motivasi individu jauh lebih

dalam daripada keputusan rasional yang disengaja mengenai alat dan tujuan atau

12

konformitas terhadap tuntutan dari mereka yang berotoritas. Analisa Weber

mengenai etika Protestan serta pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan

kapitalisme menurutnya menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya

kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk pola motivasional individu serta

tindakan ekonominya. Pengaruh agama terhadap pola perilaku individu serta

bentuk-bentuk organisasi sosial juga dapat dilihat dalam analisa perbandingannya

mengenai agama-agama dunia yang besar.

Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara

ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur yaitu (1) bahwa

tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan

makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).

Weber juga menjelaskan bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri

dari inidivud-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Weber

melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi

individu dan tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber harus

didasari oleh raisonalitas sehingga rasionalitas ini menjadi kunci bagi suatu

analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar

perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986).

Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu

kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat

dinilai secara obyektif. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan

Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok

yang diberikan adalah antara tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan

yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan sedangkan tindakan

irasional adalah sebaliknya (Johnson, 1986).

Dalam Johnson (1986) dijelaskan bahwa Weber membagi tindakan menjadi

empat tipe. Tipe pertama adalah tindakan rasional instrumental. Tipe ini

merupakan tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan

pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang

dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-

macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium

menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini.

13

Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai

tujuan yang dipilih tadi. Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat

impersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Tipe

tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem

pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia

Barat modern.

Tipe kedua adalah rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasionalitas

yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan

obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Tujuannya sudah ada dalam

hubungannya dengan nilai individu yang bersifat absolute atau merupakan nilai

akhir baginya. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang

berorientasi nilai ini.

Tipe ketiga adalah tindakan tradisional. Tindakan ini merupakan tipe

tindakan sosial yang bersifat non-rasional. Tindakan ini lebih dikarenakan

kebiasaan kemudian diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang

sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa

persoalan. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini telah hilang lenyap karena

meningkatnya rasionalitas instrumental.

Tipe keempat adalah tindakan afektif. Tipe tindakan ini ditandai oleh

dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang

sadar. Tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya

pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya.

2.3. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat

Pesantren merupakan model pendidikan khas yang dimiliki oleh Indonesia.

Selain itu, pesantren juga tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Kondisi ini

dikarenakan pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat

dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terutama dalam

melakukan proses transformasi, sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren

merupakan sistem pendidikan khas yang sarat dengan nilai transformatif yang

sebelumnya berada pada wilayah keagamaan kemudian meluas dalam bentuk

pengabdian sosial (A’la, 2006).

14

Secara terminologis pesantren yang biasa disebut sebagai pondok atau surau

(Azra, 1985) merupakan suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang

menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal

santri yang bersifat permanen (Qomar, 2005). Meskipun demikian, dalam

khazanah pendidikan Islam sendiri pesantren bukanlah satu-satunya model

pendidikan yang lekat dengan Islam. Terdapat berbagai varian model seperti

madrasah, pengajian dan lainnya. Yang menjadi kekhasan pesantren adalah

adanya pondok atau asrama yang menjadi tempat tinggal para santri dalam batas

teritorial tertentu serta pemimpin yang disebut dengan Kyai.

Terdapat berbagai macam kategorisasi pesantren. Kategorisasi ini bisa

berdasarkan keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yaitu

pesantren salafi dan khalafi. Ada juga yang melakukan kategorisasi berdasarkan

kelengkapan komponennya yaitu (a) hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; (b)

masjid, rumah kyai dan asrama; (c) masjid, rumah kyai, asrama dan pendidikan

formal; (d) masjid, rumah kyai, asrama, pendidikan formal dan pendidikan

keterampilan; (e) masjid, rumah kyai, asrama, madrasah dan bangunan fisik

lainnya (Qomar, 2005).

Pesantren setidaknya memiliki elemen-elemen dasar seperti pondok atau

asrama, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai (Dhofier dalam

Hadimulyo, 1985). Kesemuanya menjadi satu entitas yang saling melengkapi dan

terintegrasi dalam suatu teritori. Meskipun demikian, elemen dasar tersebut

memiliki keterbatasan seiring dengan semakin berkembangnya model pesantren

kekinian. Ini disebabkan banyaknya pesantren-pesantren yang bermunculan

dengan tidak lagi menempatkan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai tujuan

utamanya. Selain itu sistem pengajaran yang bersifat sorogan1, bandongan

2 tidak

lagi dianut oleh seluruh pesantren. Beberapa pesantren tidak lagi menggunakan

sistem tersebut tetapi lebih menggunakan sistem yang lebih modern seperti

1 Sorogan merupakan sistem pengajaran konvensional yang dimiliki oleh pesantren. Sistem

sorogan merupakan sistem pengajaran satu arah yang menempatkan kyai sebagai guru yang

menjelaskan maksud dari kitab tersebut. Santri dalam hal ini diharuskan mengajukan kitab apa

yang akan dipelajari kemudian secara mendalam dan dihafal. 2 Bandongan atau juga disebut wetonan merupakan sistem pengajaran yang lain yang dimiliki oleh

pesantren. Sistem ini juga tergolong konvensional dimana Kyai menjelaskan isi kita secara

sistematis perkata yang kemudian menjelaskan arti dan maksud dari kitab tersebut sementara santri

dituntut untut memperhatikan secara seksama.

15

pendidikan fomal. Oleh karena itu kategori lain yang muncul adalah kategori

pesantren tradisional dan pesantren modern.

Secara lebih terperinci akan dicoba dijelaskan elemen-elemen dasar yang

terdapat di pesantren yaitu:

1. Pondok atau asrama. Pondok atau asrama ini merupakan tempat tinggal

santri dimana seluruh aktivitas keseharian santri berada disini. Interaksi sosial

antar santri juga terjalin secara apik di pondok. Tujuan dari adanya asrama ini

adalah selain menjadi tempat tinggal juga dapat memudahkan kyai dalam

mendidik dan mengajarkan segala jenis ilmu pengetahuan sesuai dengan

kurikulum yang ditetapkan. Selain itu juga difungsikan untuk mengulang

kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz (Fadhillah,

2005; Qomar, 2005).

2. Masjid. Masjid ini merupakan pusat aktivitas utama santri yaitu ibadah.

Fungsi lain yang dimiliki adalah juga fungsi pendidikan dimana masjid

terkadang digunakan sebagai tempat pengajian baik formal maupun informal.

Secara umum seluruh aktivitas santri ditandai oleh masjid terutama waktu

shalat.

3. Kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik merupakan salah satu identitas

pesantren terutama pesantren tradisional dimana dikenal dengan kitab kuning.

Kitab ini merupakan karya klasik pemikir Islam pada abad pertengahan.

Secara akademis kitab tersebut memiliki bobot yang cukup serta

komprehensif akan tetapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat

sederhana (Mas’udi, 1985). Pada pesantren yang tergolong modern, kitab-

kitab klasik juga digunakan dan disandingkan dengan sistem pendidikan yang

lebih modern serta literatur dari negara dan kontemporer lainnya.

4. Santri. Santri merupakan individu atau murid yang belajar dan tinggal dalam

lingkungan pesantren. Kata-kata santri ini juga menjadi salah satu varian

yang digunakan oleh Geertz dalam bukunya Religion of Java sebagai orang

yang selalu mengaitkan hidupnya dengan aktivitas beragama dan

perdagangan. Geertz kemudian menempatkan santri pada posisi struktur

ditengah diatas abangan dan dibawah priyayi. Santri sendiri merupakan

individu yang memusatkan perhatiannya pada doktrin agama Islam,

16

khususnya penafsiran moral dan sosialnya (Effendy, 1985). Selain itu, nilai

pokok yang dianut oleh santri adalah bahwa seluruh kehidupan dipandang

sebagai ibadah. Konsep ini merupakan perluasan Bachtiar Effendy dari apa

yang dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid bahwa santri merupakan individu

yang memiliki ciri dan watak tersendiri yang disebut “subkultural“. Santri

juga dibedakan menjadi santri mukim yang bertempat tinggal di pondok atau

asrama serta santri kalong yang tidak tinggal didalam asrama dan biasanya

merupakan masyarakat sekitar pesantren (Ghazali, 2003).

Dalam hubungan dengan kyai, santri juga memiliki variasi yang sangat terkait

dengan tipe pesantren dimana dia bermukim. Fadhillah (2005) menyebutkan

bahwa terdapat hubungan patrimonial antara kyai dengan santri dan

hubungan formal. Kedua hubungan ini sangat terkait dengan sistem pesantren

serta kedudukan kyai menurut pandangan santri tersebut.

5. Kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren dan menjadi figur sentral dari

pesantren. Kehadiran kyai sangat menentukan arah gerak kemajuan

pesantren. Istilah kyai ini lebih banyak dikenal di wilayah Jawa. Di Sumatera

misalnya lebih dikenal dengan sebutan Buya dan di Sulawesi lebih dikenal

dengan sebutan Gurutta. Dalam kondisi yang lebih maju kedudukan seorang

kyai dalam pondok pesantren tetap sebagai tokoh primer dimana kyai tetap

sebagai pemimpin, pemilik dan guru utama (Ghazali, 2003). Dalam beberapa

hal juga kekuasaan kyai dan mitos wali disakralkan dan memiliki kekuasan

yang mutlak sehingga terkadang menimbulkan status quo (Romas, 2003).

Selain itu Geertz juga menempatkan kyai sebagai cultural broker atau

makelar budaya (Geertz, 1960) yang berfungsi menjadi intermediasi baik

dalam pesantren maupun luar pesantren. Pendapat ini kemudian mendapat

tanggapan dan koreksi dari Hiroko Horikoshi yang mencoba menempatkan

Kyai bukan hanya sebagai broker tetapi lebih sebagai transformator yang

dapat mendorong perubahan signifikan baik diinternal pesantren maupun

masyarakat sekitar (Horikoshi, 1986).

Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika dalam masyarakat serta

tuntutan perubahan yang selalu menyeruak, pesantren dihadapkan pada keharusan

17

melakukan transformasi kearah yang lebih luas. Transformasi ini mengejawantah

dalam bentuk pengabdian sosial sebagai perluasan dari sistem yang selama ini

dianut oleh pesantren kebanyakan.

Usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh pesantren secara garis besar dapat

dibedakan atas pelayanan kepada para santri dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan usaha memajukan desa dimana

pesantren tersebut berdomisili. Pola ini digunakan sebagai ajang para santri dan

komponen pesantren lainnya memperoleh pengalaman berharga bagi

kehidupannya kelak. Usaha ini bukan berarti menghilangkan corak keagamaan

yang selama ini melekat pada pesantren, tetapi lebih pada upaya membawa

persoalan nyata yang selama ini berada di masyarakat kedalam pesantren,

mencoba memahami persoalan tersebut untuk memudian bersama mencari

pemecahan dan jawaban dari berbagai persoalan tersebut (Suyata, 1985).

Berbagai jawaban yang secara empirik dilakukan adalah seperti yang

dilakukan oleh beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan yang

mentransformasi menjadi learning society (Hidayat, 1985; Arifin dan Hasanah,

2003). Pesantren An-Nuqayah dengan mendirikan BPM sebagai solusi dan

intermediasi antara masyarakat dengan pesantren (Basyuni, 1985; Effendy, 1990;

Ghazali, 2003) dan Pesantren Hidayatullah di Kalimantan (Yacub, 1984) serta

banyak lagi pesantren lainnya yang baik secara langsung bersentuhan dengan

masyarakat maupun yang tidak secara langsung.

2.4. Pesantren dan Gerakan Ekologi

Sebagai salah satu respon terhadap berbagai permasalahan yang muncul

terutama permasalahan lingkungan adalah dengan munculnya gerakan ekologi

(environmental movement). Pengertian gerakan ekologi ini lebih banyak

didominasi oleh gerakan lingkungan seperti lembaga swadaya masyarakat atau

lembaga intermediasi lintas negara serta partai politik. Aras gerakan ini juga

berada pada semua level baik lokal, nasional maupun internasional. Gerakan

lingkungan dalam pengertiannya adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring

yang luas antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri

dalam aksi bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar

18

keuntungan-keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Aksi bersama ini

tentunya sangat dipengaruhi oleh kesamaan ide antar aktor didalamnya. Dalam

konteks Pesantren, nilai teologi yang melekat atau dalam istilah Max Weber

verstehen dapat menjadi dasar bergerak yang nantinya dapat dimanifestasikan

melalui struktur yang terdapat dipesantren tersebut.

Gerakan ekologi dapat dibedakan menjadi tiga variasi yaitu pertama,

gerakan ekologi yang sebagai produk dari faktor-faktor budaya dan struktural

yang muncul secara independen sebagai jawaban atas kondisi lingkungan sekitar.

Kedua, gerakan ekologi yang menempatkan pola dan pengaruh mediasi dalam

lobi-lobi lingkungan, peranan media serta ilmuwan. Ketiga, gerakan ekologi yang

muncul sebagai respon dan meletakkan fokusnya pada semakin memburuknya

kondisi lingkungan dan menjadikannya sebagai fokus utama gerakannya (Garner,

1996).

Selain itu, dalam mengidentifikasi gerakan ekologi tersebut perlu dilihat

dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah melihat dari sisi

perhatian (interests) dan sebab (causes) yang melatar belakangi gerakan tersebut.

Lowe dan Goyder dalam Garner (1996) membuat tipologi menjadi dua yaitu

gerakan yang bersifat menekan (emphasis) dan gerakan yang bersifat promosional

(promotional). Gerakan menekan merupakan gerakan yang telah mendapatkan

kesuksesan atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan selama ini telah

berbuahkan hasil sedangkan gerakan yang bersifat promosi adalah gerakan yang

secara signifikan melakukan upaya promosi dan menyuarakan perubahan. Selain

itu, identifikasi juga bisa dilakukan dengan menempatkan apakah fokus gerakan

tersebut menempatkan gerakannya sebagai gerakan utama (primary) atau hanya

gerakan kedua (secondary). Identifikasi juga bisa dilakukan berdasarkan pengaruh

geografis yang dilakukan apakah bersifat lokal, nasional atau internasional.

Identifikasi terakhir adalah identifikasi pada isu-isu yang diperjuangkan. Varian

isu tersebut dapat berupa isu konservasi (conservation), rekreasi (recreation),

kenyamanan (amenity) dan sumberdaya (resources).

Selain paparan diatas, dalam konsepsi etika lingkungan juga dikenal istilah

Deep Ecology yang merupakan pandangan filosofis yang mendasarkan pada

hubungan yang suci antara bumi dengan makluk lainnya. Deep ecology atau

19

ekologi dalam merupakan gerakan internasional yang mendorong agar

kelangsungan masa depan dapat terjaga dan juga ekologi dalam menjadi penuntun

atau penunjuk arah bagi aktivitas keseharian manusia dan alam sekitarnya sebagai

satu kesatuan ekosistem.

Ekologi dalam mendorong terus dilakukannya penyelidikan dan penelitian

tentang peran manusia di bumi ini dan juga mendorong untuk menganalisa praktik

pembangunan yang tidak berkelanjutan, mendorong untuk menurunkan tingkat

konsumsi manusia, upaya konservasi dan pemulihan ekosistem. Istilah deep

ecology ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970an yang merupakan reaksi

atas terbatasnya konsepsi operasional dan politik yang dipaksakan oleh ideologi

liberal dan institusi konservatif ketika melakukan reformasi lingkungan.

Paradigma baru ini memandang dunia secara holistik yaitu mengatakan

bahwa dunia secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan dan bukan merupakan

satuan-satuan yang terpisah. Aliran filosofis ini didirikan oleh filsuf Norwegia

Arne Naess di awal tahun tujuh puluhan bersama pembedaan yang ia lakukan

antara ekologi yang dangkal (shallow environment) dengan yang dalam (deep

ecology). Sekarang perbedaan ini diterima secara luas sebagai istilah yang sangat

berguna untuk merujuk pada pembagian utama dalam pemikiran kontemporer atas

lingkungan.

Devall dan Sessions dalam Luke (2002) mencoba mengadaptasi dua norma

yang diusulkan oleh Naess yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan

biocentric equality (persamaan atau kesetaraan biosentris). Devall dan Sessions

menempatkan self-realization sebagai visi dari kerja yang sesungguhnya atau

berkerja keras untuk menjadi individu yang penuh daripada menjadi individu yang

terisolasi oleh ego materialistik semata. Bentuk praktis ini mendorong munculnya

etika baru yaitu menjadi atau melakukan dan bukan lagi mencoba atau memiliki.

Norma yang kedua adalah norma biosentrime yang menjelaskan bahwa segala

sesuatu memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang dan mencapai

bentuk individual mereka.

Keraf (2002) menyebutkan beberapa prinsip gerakan lingkungan yaitu

biospheric egalitarianism-in principle yaitu pengakuan bahwa semua organisme

dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan

20

yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Prinsip kedua adalah nin-

antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau

terpisah dari alam. Ketiga yaitu realisasi diri (self-realization). Maksudnya adalah

bahwa manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi diri.

Keempat adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan

kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis dan kelima adalah

perlunya perubahan dalam politik menuju eco-politics.

Platform Deep Ecology tahun 1984 memberi kekhasan pada Deep Ecology

sebagai gerakan politis-sosial-ekofilosofis internasional kontemporer. Platform itu

secara esensial merupakan suatu pernyataan ekosentrisme normatif dan filosofis

bersama dengan suatu seruan bagi aktivis lingkungan (Keraf, 2002). Pernyataan

flatform Deep Ecology yang dimaksud adalah sebagai berikut;

1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia diatas

bumi mempunyai nilai dalam diri mereka sendiri, atau dengan kata lain

mempunyai nilai intrinsik (inheren). Nilai-nilai ini terlepas dari kegunaan

dunia non-manusia bagi tujuan-tujuan manusia.

2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan memberikan kesadaran

akan nilai-nilai ini dan juga merupakan nilai-nilai dalam kehidupan mereka

sendiri.

3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman itu

kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok.

4. Perkembangan hidup dan kebudayaan manusia sesuai dengan pengurangan

subtansial dari populasi manusia. Perkembangan kehidupan non-manusia

menuntut pengurangan seperti itu.

5. Campur tangan manusia sekarang terhadap dunia non-manusia bersifat

berlebihan dan situasinya menjadi memburuk dengan cepat.

6. Kebijakan-kebijakan harus diubah. Kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi

tata susunan ekonomi, teknologi dan idiologi dasar.

7. Perubahan idiologis terutama adalah perubahan mengenai penghargaan

terhadap kualitas hidup yang berada didalam situasi-situasi yang inheren dari

pada mempertahankan standar hidup (materilistis) yang semakin tinggi.

21

Dalam kaitan pesantren dengan gerakan ekologi, seperti yang telah

dipaparkan sebelumnya terdapat gerakan-gerakan ekologi yang berasal dari

komunitas pesantren sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul kekinian.

Gerakan yang muncul dipesantren tersebut tidak terlepas dari narasi yang

berkembang baik pada aras lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga

fokus isu yang berkembang memiliki hubungan dengan fenomena yang terjadi di

dalam tubuh pesantren itu sendiri dan juga nilai teologi keislaman yang lama

mengakar didalamnya.

2.5. Kerangka Pemikiran

Pesantren merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya karena

maju maupun tidaknya pesantren sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu peran kyai

sebagai figur sentral di pesantren serta perannya dalam menjembatani perubahan

baik internal pesantren maupun eksternal pesantren. Hal lain adalah

perkembangan masyarakat sekitarnya, termasuk bagaimana pesantren mampu

menjawab berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Transformasi pesantren

yang sebelumnya hanya berkutat pada diktum keagamaan dan menekankan hanya

pada dakwah bil aqwal melalui metode-metode tradisional seperti mengajar,

pidato dan lainnya dan berkutat hanya pada isu keagamaan, kemudian meluas

menjadi dakwah bil hal yang lebih menekankan pada mencari langkah kongkrit

menjawab permasalahan kontemporer.

Transformasi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari semakin meluasnya

cakupan teologi yang termanifestasi oleh komponen pesantren tersebut. Ini

dikarenakan pesantren yang selama ini dikenal sebagai institusi religius tidak

pernah bisa dilepaskan dari narasi keagamaan dan menjadi sebuah lompatan besar

bagi pesantren apabila dapat menjembatani dikotomi yang selama ini terpatri dan

mengakar. Tentu perluasan ini selaras dengan akar sejarah pesantren itu sendiri.

Pesantren yang selama ini dikenal juga berangkat dan tumbuh dari tuntutan dan

kebutuhan masyarakat disekitarnya.

Transformasi teologi tersebut juga kemudian meluas menjadi teologi

lingkungan dan berkembang dikalangan pesantren. Kyai sebagai pemimpin

spiritual maupun struktural dalam pesantren tentu memiliki peran yang sangat

22

signifikan dalam proses perubahan tersebut. Kondisi ini memungkinkan karena

kedudukan kyai di mata santri maupun masyarakat begitu amat agung dan

kharismatik sehingga apabila secara teologis sang kyai mengalami transformasi

dan meluaskan cakupan teologinya menjadi teologi lingkungan kemudian di

transformasikan kepada santri dan masyarakat yang kemudian menjadi dorongan

untuk melakukan berbagai gerakan pada level praktisnya. Kondisi ini dilatari oleh

semangat ibadah dan integritas terhadap kyai sebagai representasi Nabi dan sang

Khalik.

Struktur sosial yang telah terbangun di pesantren juga menjadi salah satu

faktor bagaimana proses transformasi tersebut dapat berjalan serta bagaimana

penerimaan santri dan masyarakat terhadap pembaruan pemikiran teologis

tersebut. Akan tetapi, kondisi geografis tentunya dapat mempengaruhi proses

transformasi tersebut terutama perbedaan yang cukup mendasar antara pesantren

yang berada di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Budaya yang relatif

homogen di pedesaan dapat menjadi stimulus perubahan tersebut sedangkan

budaya yang relatif heterogen justru dapat menghambat proses perubahan yang

sedang diupayakan oleh pesantren tersebut.

Proses perubahan dalam Pesantren dalam memandang problematika

lingkungan menjadi suatu hal yang unik. Meskipun demikian, dalam literatur

ekologi terdapat istilah yang membedakan mereka yang memiliki perhatian

terhadap lingkungan hanya untuk kepentingan manusia saja yang disebut sebagai

ekologi dangkal, serta mereka yang secara kongkrit merubah cara pandang dengan

menempatkan semua makhluk dalam kesetaraan seperti ekologi dalam. Islam

sendiri memiliki berbagai macam prinsip yang dapat menjadi dasar seluruh

aktivitas keseharian pemeluknya, tidak terkecuali kesadaran dalam menginisiasi

konservasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pesantren tersebut. Tahapan

ini yang disebut sebagai tahapan internalisasi.

Kesadaran ini tentunya melalui proses sublimasi nilai-nilai keagamaan

menjadi suatu landasan eco-spiritualitas dalam gerakan lingkungan. Nilai-nilai

eco-spritualitas maupun eco-teologi tersebut kemudian bergerak

tertransformasikan secara individual melalui proses pemaknaan dalam diri

masing-masing individu. Ini merupakan langkah awal dan sejatinya merupakan

23

langkah terpenting karena proses pengendapan nilai dalam diri yang melibatkan

interaksi, baik dalam pribadi individu tersebut maupun keterlibatan aktor luar

dalam memaknai prinsip-prinsip tersebut. Santri maupun masyarakat yang

memiliki keterlibatan baik secara personal maupun masif, dalam proses memaknai

nilai keIslaman tersebut dapat melalui edukasi dari Kyai sehingga bukan tidak

mungkin, kesalahan pemahaman oleh Kyai dapat menyebabkan kesalahan mereka

dalam memahami fenomena sosial yang menyeruak di masyarakat. Proses yang

terbentuk dalam tahapan ini selaras dengan proses obyektifikasi.

Langkah akhir yang kemudian terbangun adalah bentuk aplikasi pragmatis

dari pemahaman mereka terhadap nilai dan transendensi nilai dalam bentuk

gerakan ekologi. Munculnya gerakan ekologi ini dapat disebabkan adanya

pengetahuan dari aktor luar (eksternal) maupun aktor dalam (internal) yang

bermain dalam ruang kontestasi ekologi yang sebagai perwujudan tahapan

eksternalisasi menjadi sebuah gerakan ekologi. Gerakan ini yang nantinya

diidentifikasi menjadi gerakan ekologi dalam yang mengedepankan etika dan

perubahan cara pandang dalam melihat alam dan manusia, atau justru menjadi

gerakan ekologi dangkal yang meskipun aktivitas ekologi atau lingkungan

dilakukan oleh pesantren, tetapi terbatas hanya pada upaya pencegahan yang

didasari oleh kepentingan pragmatis saja. Individu juga tidak mengalami

perubahan cara pandang dan masih menempatkan manusia menjadi khalifah yang

menguasai seluruh sumberdaya di muka bumi.

Meskipun demikian, ketiga proses diatas dapat berjalan secara evolutif

maupun parsial. Gerakan lingkungan seperti konservasi di Pesantren dan

sekitarnya dapat diidentifikasi dalam area dua kontinum gerakan tersebut.

Permasalahan yang muncul adalah, apakah ketiga tahapan tersebut merupakan

proses yang utuh, yang dilalui oleh pesantren sehingga sejatinya gerakan tersebut

memiliki landasan spiritual dan gerakan tersebut merupakan buah dari proses

evolusi individual dalam memaknai prinsip, kemudian mengendap dalam diri dan

termanifestasikan dalam aktivitas.

Gerakan lingkungan juga dapat bersifat parsial ketika individu melakukan

aktivitas yang terputus satu sama lain. Individu dapat mengetahui dan memahami

prinsip ekologi tersebut, tetapi tidak kemudian termanifestasi dalam bentuk

24

gerakan. Individu juga dalam terlibat dalam gerakan, tetapi sesungguhnya tidak

dilandasi oleh pemahaman atas prinsip ekologi tersebut. Kondisi ini yang

kemudian dapat menempatkan mereka dalam kontinum gerakan yang paling awal

yaitu kontinum gerakan ekologi dangkal. Selebihnya, ketika proses evolusi itu

dilalui dan berujung pada manifestasi gerakan, mereka sejatinya berada dalam

kontinum akhir yaitu gerakan ekologi dalam.

Proses sedemikian rupa yang digambarkan diatas, sejalan dengan

argumentasi yang diberikan oleh Engineer (2007) bahwa sejatinya manifestasi

merupakan bentuk lain dari hikmah (kebijaksanaan) yang merupakan ekstraksi

dan sublimasi dari ‘ilm (pengetahuan). Kedua hal tersebut bersumber pada ‘aql

(akal) dan fikr (pemikiran) yang terbentuk dari pembacaan terhadap fenomena

yang muncul disekitar yang dalam hal ini berbagai problema lingkungan dengan

pemahaman terhadap sumber teologi dalam Islam seperti Al-Quran dan Hadist.

Berdasarkan pemikiran diatas maka secara ringkas dan memperjelas

kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1):

Kerangka Dasar

dan Nilai-nilai

Ekologi Dalam

Islam

Konstruksi Gerakan

Terbentuk Karena

Refleksi Pribadi

Kontinum Gerakan

Ekologi

Konstruksi Gerakan

Terbentuk Karena

induksi Dari Aktor

Luar

Aktor-Aktor Internal

Yang Bermain

Aktor-Aktor Eksternal

Yang Bermain

Refleksi Nilai Dalam

Sistem Pesantren

(Formal dan Informal)

Tahap Internalisasi Tahap Obyektifikasi Tahap Eksternalisasi

Ekologi

Dangkal

Ekologi

Dalam

Kontinum Manifestasi - Aksi

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN

3.1. Wilayah Analisis

Penelitian ini dilakukan pada beberapa wilayah kajian analisis. Kajian utama

yang dilakukan adalah mencoba melihat bagaimana respon pesantren terhadap

berbagai persoalan yang mendera masyarakat saat ini terutama persoalan

lingkungan hidup. Persoalan utama ini bersumber pada bagaimana proses

penafsiran terhadap teks agama dilakukan guna menjawab berbagai persoalan

kekinian seperti problematika lingkungan hidup diatas.

Wilayah analisa dilakukan dengan beberapa batasan analisis yaitu, pertama,

masalah dan fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana Pesantren

memperlihatkan wujud pemaknaan para aktornya, terutama menginterpretasikan

hubungan Pencipta dan makhluknya baik manusia, dan lingkungan hidup sekitar

dalam kerangka sosiologis. Kemudian, secara empiris akan dilihat dalam

pesantren beberapa hal yaitu: (1) bagaimana aktor dalam Pesantren memaknai

lingkungan; (2) bagaimana proses manifestasi nilai teologi tersebut berlangsung;

dan (3) apakah manifestasi nilai tersebut mewujud menjadi gerakan. Pada batasan

ini kemudian dilakukan telaah terhadap bentuk gerakan ekologi, apakah

merupakan satu kesatuan dengan nilai dan merupakan transenden, atau merupakan

suatu hal yang terpisah.

3.2. Hipotesis Pengarah

Guna mengarahkan penelitian ini, maka dirumuskan suatu hipotesis

pengarah yaitu bahwa proses pemaknaan atas nilai teologi ekologi yang dilakukan

oleh aktor pesantren yang kemudian termanifestasikan dalam praktik-praktik

gerakan akan melahirkan suatu gerakan ekologi yang merupakan konvergensi

antara idealita relijiusitas dengan praktik gerakan ekologi.

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi pesantren dengan dua setting

geografis yang berbeda yaitu di Pondok Pesantren Al Amin, Sukabumi dan

Pondok Pesantren Daarul Ulum Lido, Bogor. Kedua pesantren ini dipilih secara

26

sengaja (purposive) karena kedua pesantren ini merupakan pesantren yang terlibat

dalam aktivitas konservasi lingkungan dengan bentuk kegiatan yang berbeda.

Selain itu tipe pesantren juga berbeda satu sama lain, Pesantren Al Amin

merupakan pesantren yang identik dengan sebutan pesantren tradisional,

sementara Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren modern. Secara

lebih jelas, tipe pesantren ini akan dibicarakan pada bab selanjutnya.

Waktu penelitian dan pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan

April hingga Mei 2009. Selain bulan tersebut, juga terdapat beberapa fase

diantaranya fase seperti penyusunan proposal, fase observasi dan pengumpulan

data awal, fase analisa data, fase penulisan, seminar dan sidang hasil penelitian.

3.4. Pendekatan dan Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Metodologi kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian seperti persepsi, perilaku, motivasi dan tindakan

secara holistik dan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,

1995) sehingga informasi yang akan diperoleh nantinya bersifat subyektif dan

historis.

Sementara itu, kegiatan penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan

yaitu pralapangan, kegiatan lapangan dan analisis intensif (Bogdan, 1972 dalam

Moeleong, 1995). Secara jelas, tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahapan pertama adalah tahap pralapangan yang terdiri dari perancangan

penelitian secara umum mulai dari proposal, pemilihan lokasi penelitian,

finalisasi administrasi penelitian, dan penjajakan awal berupa orientasi

lapangan. Orientasi lapangan ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan

pemahaman dan gambaran tentang pesantren yang akan diteliti. Selain itu juga

dilakukan kajian awal kerangka teologi lingkungan dalam Islam melalui

kajian literatur.

2. Tahapan kedua adalah tahapan pekerjaan lapangan yang terdiri dari beberapa

tahap yaitu melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa aktor kunci

dalam pesantren terutama Kyai. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk

27

mendapatkan gambaran bagaimana pemahaman Kyai tersebut terhadap

konteks penelitian serta latar historisnya. Selain itu dilakukan wawancara

terhadap santri dan ustadz (guru) guna melihat bagaimana proses transformasi

pengetahuan terjadi dan relasi yang terbangun di pesantren tersebut.

Kemudian dilakukan pengamatan guna melihat berbagai bentuk manifestasi

yang mungkin muncul sebagai implementasi pemahaman terhadap nilai

teologi tersebut.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data ini

merupakan hasil dari metode kualitatif yang berusaha menyediakan deskripsi

secara mendetail dan analisis atas kualitas terutama dalam hal substansi atau

pengalaman-pengalaman manusia (Marvasti, 2004). Data kualitatif yang

dimaksud juga merupakan deskripsi lisan dan tulisan dari manusia atau perilaku

manusia yang diamati (Taylor dan Bogdan, 1984 dalam Sitorus, 1998).

Data kualitatif ini diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (indepth

interview) guna mendapatkan penjelasan dan kedalaman tineliti dalam memaknai

teologi lingkungan serta bagaimana dorongan teologi tersebut mampu

dimanifestasikan dalam suatu gerakan. Wawancara tersebut difokuskan pada

informan kunci dan beberapa individu yang mewakili komponen pesantren seperti

kyai, guru atau ustadz, santri, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar pesantren

serta informan lain yang berkaitan dengan gerakan di kedua pesantren tersebut

(lihat Tabel 3.1). Proses wawancara dilakukan secara informal sehingga terbangun

suasana dialektik antara peneliti dengan tineliti.

Tabel 3.1. Jumlah Informan Yang di Wawancarai

Informan Jumlah (orang)

Kyai 2

Santri 16

Asatidz atau guru 8

Anggota Tani 6

LSM (Conservation International) 1

PT. Danone 3

Aparatur Pemerintah 2

28

Selain itu juga dilakukan pengamatan atau observasi terhadap aktivitas

keseharian dalam pesantren agar dapat memberikan gambaran yang utuh terutama

dalam hubungannya dengan penelitian ini. Pengamatan berfungsi untuk

mengoptimalkan kemampuan peneliti untuk melihat dunia sesuai dengan yang

dilihat oleh tineliti, menangkap arti fenomena, kehidpan budaya dari pandangan

tineliti serta merasakan dan menghayati apa yang dirasakan oleh tineliti sehingga

memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama (Moleong, 1995).

Data juga dihimpun melalui pengumpulan dokumen. Moleong (1995)

menjelaskan bahwa dokumen merupakan bahan tertulis atau film yang tidak

dipersiapkan karena permintaan seorang. Dokumen tersebut dapat berupa

dokumen pribadi, maupun dokumen resmi. Dalam penelitian ini, penelusuran

dokumen dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur maupun catatan

sejarah pesantren, autobiografi pimpinan pesantren dan pelaku gerakan ekologi,

dokumen resmi seperti risalah rapat, pengumuman tertulis, majalah internal

pesantren maupun eksternal pesantren, buletin, pernyataan dan berita baik

dimedia masa lokal maupun nasional. Selain itu, juga dilakukan pelacakan melalui

media wawancara dengan ahli serta data penunjang lainnya. Secara ringkas, data

yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 3.2):

Tabel 3.2. Data dan teknik dalam pengumpulan data

Teknik

Pengambilan

Data

Macam Data

Pengamatan

atau

Observasi

Aktivitas kehidupan/keseharian didalam dan luar Pesantren

Aktivitas koservasi/ekologi di Pesantren

Dinamika Kehidupan Pesantren

Aktivitas pendidikan didalam Pesantren

Pola interaksi antara aktor didalam dan luar Pesantren

Aktivitas kehidupan masyarakat disekitar Pesantren

Aktivitas tokoh Pesantren baik didalam Pesantren maupun

diluar Pesantren.

Wawancara

Mendalam Pemahaman aktor dalam pesantren terhadap nilai keagamaan

Pemahaman nilai ekologi dalam Islam pada setiap aktor

didalam Pesantren.

Alasan keterlibatan/partisipasi dalam aktivitas ekologi

Sejarah keterlibatan/partisipasi dalam aktivitas ekologi

Sumber atau nilai ekologi yang mendasari aktivitas ekologi

Struktur kehidupan didalam Pesantren

Alur kegiatan ekologi yang dikembangkan

29

Sikap dan pandangan terhadap problematika lingkungan

disekitar

Respon masyarakat terhadap aktivitas ekologi

Pemaknaan aktor terhadap variasi pengembangan aktivitas

Pemaknaan aktor terhadap induksi pengetahuan dari aktor

diluar pesantren

Studi

Dokumen Sejarah Pesantren

Sejarah aktor utama dalam Pesantren (Kyai)

Sejarah aktivitas/gerakan ekologi dalam Pesantren

Sejarah dan perkembangan wacana dan aktivitas gerakan

ekologi baik lokal, regional dan nasional

Rekam jejak proses adaptasi maupun konflik yang muncul

akibat gerakan ekologi

Dialektika wacana gerakan ekologi didalam Pesantren

3.6. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dengan

mendasarkan pada data-data yang diperoleh dilapang. Metode analisis data

kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting

dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada

orang lain (Bogdan dan Biklen, 1982 dalam Moleong, 1995). Beberapa langkah

yang akan dilakukan dalam menganalisa secara kualitatif (Huberman dan Miles,

1994 dalam Marvasti, 2004) adalah dengan (a) reduksi data yang merupakan

teknik agar data dapat lebih termanage dengan baik sehingga dapat diperoleh

fokus data yang lebih universal; (b) mendisplay data yaitu suatu representasi

tekstual dari data dengan tujuan melakukan seleksi yang tersegmentasi yang dapat

mengilustrasikan konsepsi-konsepsi yang dikedepankan. Bentuk display data yang

dimaksud adalah dengan melakukan pembacaan terhadap transkripsi data secara

hati-hati, membuat catatan pada sisi-sisi data serta menyoroti bagian-bagian

terpenting yang merepresentasikan konsep-konsep yang diajukan; (c) melukiskan

kesimpulan yaitu mencakup bagaimana membuat pernyataan yang berarti

sehingga data tersebut mengilustrasikan penelitian yang dimaksud. Teknik ini

juga bermaksud untuk melukiskan arti dari proses display data diatas.

30

3.7. Definisi Operasional

Secara operasional, penelitian ini akan ditopang dengan beberapa variabel

yang dalam memahaminya diperlukan suatu definisi operasional. Oleh karena itu,

berikut akan dijelaskan beberapa definisi operasional tersebut:

1. Nilai teologi yaitu nilai yang berkaitan dengan hubungan dasar-dasar agama

atau keyakinan yang memberikan pemahaman dan keyakinan mendasar

terhadap agama yang dianut. Teologi yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah teologi lingkungan yang menekankan pada kaitan antara lingkungan

dengan sang pencipta yang secara definisi, teologi ini adalah teologi yang

obyek material kajiannya merupakan bidang lingkungan dan perumusannya

didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam.

2. Pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan

pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri

yang permanen. Pesantren memiliki lima elemen dasar yaitu Kyai, Santri,

asrama masjid dan pengajaran kitab-kitab klasik.

3. Kyai adalah individu yang menjadi pemimpin pesantren dan menjadi figur

sentral. Dalam fungsinya, kyai merupakan agen transformator yang menjadi

pendorong signifikan bagi kehidupan pesantren dan sekitarnya (Horikoshi,

1986).

4. Gerakan Ekologi adalah gerakan yang mengandung jejaring yang luas antar

individu dan oganisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi

bersama untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan-keuntungan bagi

lingkungan yang dipengaruhi oleh kesamaan ide atau nilai.

5. Deep Ecology atau Ekologi Dalam adalah suatu etika yang menekankan

upaya melihat problematika lingkungan dalam perspektif yang lebih luas dan

holistik yang menekankan pada upaya melakukan perubahan secara

fundamental dan radikal, menyangkut transformasi cara pandang dan nilai

(Keraf, 2002).

6. Shallow Ecology atau Ekologi Dangkal adalah suatu etika yang melihat

bahwa solusi atas berbagai problematika kerusakan sumberdaya alam dan

lingkungan adalah dengan pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan

(Keraf, 2002).

IV. POTRET UMUM, TRADISI DAN DINAMIKA PESANTREN

Pondok Pesantren seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya

memiliki sejarah panjang serta memiliki akar sejarah yang dalam pula pada

masyarakat Indonesia. Dalam konteks penelitian ini, pondok pesantren yang

dipilih menjadi lokasi penelitian dan akan digambarkan dibawah ini merupakan

pesantren yang memiliki kontribusi dan program yang berhubungan dengan isu

lingkungan. Kedua pesantren ini, baik Pesantren Al-Amin dan Pesantren Daarul

Ulum Lido memiliki kontribusi dan program yang berbeda-beda yang akan dikaji

lebih dalam pada bab selanjutnya.

4.1. Potret Umum Pesantren Al Amin

Pondok Pesantren Al-Amin merupakan satu dari empat pesantren yang ada

di Desa Nangerang. Pesantren ini terletak di desa Nagerang yang berbatasan

dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di sisi Timur, desa Benda dan

desa Tenjoayo di sisi Utaranya, desa Wangunjaya, kecamatan Ciambar dan desa

Purwasari di sisi Selatannya dan desa Cicurug di sisi Baratnya. Secara geografis,

pesantren ini berada tidak jauh dari jalan utama Sukabumi yaitu persis sebelum

memasuki pasar Cicurug, disisi sebelah kiri, jalan yang tidak begitu besar menjadi

pintu masuk menuju Pesantren Al-Amin tersebut.

Dalam sejarahnya, Pesantren Sukabumi merupakan pesantren yang cukup

berumur. Meskipun demikian, Al-Amin bukanlah pesantren yang mahsyur,

terutama di daerah Sukabumi. Tidak ada data tertulis tentang sejarah pendirian

pesantren ini, tetapi berdasarkan penuturan dari beberapa informan, Pesantren ini

awalnya didirikan pada tahun 1920an dengan nama Ma’hadul Furqon oleh KH.

Kurdi Usmawijaya. KH Kurdi atau dipanggil Mamah Kurdi memiliki satu orang

anak yang bernama KH. Ismatullah yang meneruskan perjuangannya dalam

mengelola pesantren hingga wafat pada tahun 1980. Tampuk kepemimpinan

pesantren kemudian berpindah kepada KH. Hidayatullah atau biasa disebut

sebagai Ajengan Aeh yang merupakan menantu hingga tahun 2005. Ma’hadul

Furqon berubah menjadi Pesantren Al Amin pada tahun 1975.

32

Pesantren Al-Amin saat ini dipimpin oleh seorang Kyai – dalam tradisi

Jawa Barat dikenal dengan sebutan Ajengan – Abdul Basith yang merupakan

putera tertua dari Ajengan Aeh. Ia memimpin pesantren sejak meninggalnya

Ajengan Aeh tersebut. Ajengan Basith juga merupakan mantan ketua PCNU

Kabupaten Sukabumi dan pesantren Al-Amin merupakan salah satu pesantren

yang masuk dalam komunitas NU. Pengelolaan pesantren secara umum

sebenarnya dilakukan melalui Yayasan Al-Amin, tetapi seluruh komponen yang

bernaung di dalam yayasan tersebut masing-masing berdiri sendiri dan otonom.

Ajengan Basith merupakan pemimpin pesantren, tetapi bukanlah merupakan

pemimpin sekolah yang juga dimiliki oleh Yayasan Al-Amin. Ini dikarenakan

pengelolaan masing-masing lembaga didalam yayasan harus berdiri sendiri dan

tidak saling mempengaruhi. Pilihan untuk menerapkan konsepsi semacam ini

dikarenakan alasan untuk menjaga kemurnian pesantren agar tidak

terkontaminasi oleh sistem pendidikan klasikal atau sistem pendidikan formal.

Pesantren Al-Amin merupakan salah satu dari sedikit pesantren yang masih

mempertahankan budaya pendidikan salafi di Indonesia meskipun sedikit

banyaknya telah mengadaptasi sistem pendidikan klasikal. Bentuk pesantren yang

ambivalen ini seperti penggambaran salah satu informan berikut:

“…Kalau disini disebut modern tidak, di sebut salaf juga tidak. Biasanya

yang disebut salaf itukan yang tidak ada sekolah. Seperti ada bantuan dari

Depag itu, yaitu BOS untuk santri, itu kalau yang ada sekolah tidak

diberikan dan kalau tidak ada sekolah, diberikan. Nah itulah yang disebut

sebagai salafi. Tapi kalau disini disebutnya apa? Soalnya disini itu ada

pesantren dan juga ada sekolah. Modern? Tapi perlu diingat, disini bisa

disebut salafi karena ngajinya agak full [padat]. Contoh, setelah subuh

mengaji sampai menjelang sekolah, kemudian setelah dzuhur sampai jam

dua atau jam tiga. Kemudian juga setelah magrib. Kalau malam jumat

biasanya setelah Magrib ada pembacaan Barjanzi, tetapi kalau di hari

biasa, pengajian berlanjut jam delapan…”

Dalam konteks ini, model pendidikan yang dilakukan di pesantren Al-Amin

tidaklah lagi dapat disebut sebagai salafi murni yang hanya menerapkan

pendidikan agama melalui metode wetonan dan bandongan atau sorogan dan

hanya mengajarkan pelajaran agama saja, tetapi, pesantren juga menyediakan

sarana pendidikan pendukung seperti Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah

33

bagi mereka yang berniat belajar di pesantren beriringan dengan pemenuhan

formalnya. Meskipun, secara tegas terdapat pemisahan antara aktivitas bersekolah

dengan aktivitas di pesantren. Adaptasi pesantren terhadap sistem pendidikan

klasikal salah satunya terlihat pada pola penjenjangan (kelas) dalam proses

pembelajaran agama di pesantren ini. Penjenjangan dalam kelas ini berkaitan

dengan materi maupun kitab yang dipelajari oleh santri disetiap jenjang tersebut.

Secara detail, materi yang dipelajari dalam pengajian di pesantren dapat dilihat

pada tabel 4.1,

Tabel 4.1. Penjenjangan Pengajian dan Kitab Yang Digunakan di Pesantren

Waktu Kelas Kitab

Ba’da Subuh Ibtida Awal Akhlakul Banin

Do’a-do’a

Ibtida Tsani Matan Bina

Mutawasit dan Muntaha Yakulu

Imriti

Kaelani

Alpiah

I’anatutthalibin

Pagi Muntaha Yakulu

Jurumiah

Dzuhur Ibtida Awal Talaran Tauhid

Ibtida Tsani Sapinatunnaja

Mutawasit dan Muntaha Nasoihul Ibad

Ashar Ibtida Awal Tajwid

Ibtida Tsani Jurumiah

Mutawasit dan Muntaha Tasri Jalalain

Ba’da Magrib Ibtida Awal

Ibtida Tsani

Shalat Sunat dan Hafalan

Mutawasit dan Muntaha Bajuri

Ba’da Isya Ibtida Awal

Ibtida Tsani

Mutawasit

Ta’lim Muta’alim

Sulammu Taufik

Ukudulujaen

Muntaha Tafsir Jalalain

Sulammu Taufik

I’anatuttalibin

Kipayatul Akhyar

Alpiyah

Mutamimah

Jaohan Maknum

Hihayatujjaen Sumber: Data lapangan

34

Di pesantren Al-Amin, secara umum sebenarnya terdapat tiga penjenjangan

dalam pengajian yang diikuti oleh santri. Penjenjangan awal adalah ibtida awal

dan ibtida tsani1, penjenjangan yang kedua adalah mutawasit

2 dan penjenjangan

yang terakhir adalah muntaha3

. Selain pengajian yang diikuti oleh santri,

pesantren Al-Amin juga mengadakan pengajian bagi masyarakat awam yang

setiap minggu diadakan pada malam rabu, pengajian bagi kaum ibu yang diadakan

pada setiap Selasa pagi serta pengajian khusus bagi para asatidz maupun murid-

murid Ajengan Basith yang berada diluar pesantren pada setiap Senin malam.

Pesantren Al Amin adalah pesantren yang saat ini banyak dikenal dengan

pesantren salafi dengan ciri khas sebagai pesantren hikmah. Meskipun demikian,

dalam pesantren tetap diajarkan pondasi utama dalam pelajaran agama seperti

ilmu alat, fikih dan tauhid. Selain itu, Kyai merupakan sosok utama yang

memiliki keahlian dalam ilmu hikmah dengan konsep dasar sedekah yang telah

dipraktikan lama dengan konsepsi khomtsah asnaf4 atau lima asnaf. Aktivitas

kyai, selain menjadi pemimpin utama dalam pesantren dan mengajar (meskipun

dalam prakteknya hanya jenjang tertentu yang diajarkan oleh kyai), juga menjadi

semacam konsultan yang mendorong siapapun yang datang berkonsultasi untuk

bersedekah terhadap lima golongan tersebut dengan besaran dan hitungan tertentu.

Ajengan Basith, selain menjadi pemimpin pesantren, juga menjadi

pemimpin Yayasan Al-Amin. Didalamnya bernaung lembaga pesantren serta

sekolah yang terpisah secara manajerial satu sama lainnya. Yayasan Al-Amin

memiliki fasilitas pendidikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar dan Madrasah

Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Ketiga jenjang sekolah

ini dikelola oleh adik Ajengan Aeh yang merupakan paman dari Ajengan Basith.

1 Ibtida awal dan ibtida tsani merupakan bahasa arab. Ibtida berarti memulai atau permulaan yang

merupakan titik awal pembelajaran/pengajian di pesantren ini. Pada jenjang ini terbagi menjadi

dua yaitu ibtida awal yang merupakan jenjang bagi mereka yang sama sekali minim pengetahuan

agamanya sehingga diharuskan memulai dari dasar, sementara ibtida tsani merupakan jenjang bagi

mereka yang telah memiliki pengetahuan agama meskipun terbilang minim. 2 Mutawasit berarti ditengah. Pada jenjang ini, telah dipelajari beberapa kitab yang dianggap

sebagai dasar utama dalam mempelajari agama seperti Imriti, Alpiah, dll. 3 Muntaha berarti selesai atau penghabisan. Jenjang ini merupakan jenjang akhir yang dengannya

seorang santri dapat mempelajari beberapa kitab yang dianggap cukup tinggi seperti Alpiah,

Kipayatul Akhyar, dll. 4 Khomtsah asnaf berarti lima golongan. Golongan-golongan ini adalah mereka yang berhak

mendapatkan sedekah bagi siapapun yang datang berkunjung kepada Ajengan. Golongan tersebut

adalah fakir-miskin, musafir, yatim, orangtua dan guru.

35

Tabel 4.2. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Al-Amin

Jenjang Sekolah Jumlah Siswa/Murid

Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah 147

Madrasah Tsanawiyah 319

Madrasah Aliyah 167 Sumber: Data lapangan

Dalam konteks problematika ekologi, pesantren Al Amin sebenarnya tidak

mengalami secara langsung karena setting pesantren yang relatif berjarak dengan

TNGHS yang menjadi lokasi utama gerakannya. Meskipun demikian,

keprihatinan yang diungkapkan oleh kyai yang menggambarkan posisi petani

yang selalu tidak diuntungkan dan berada pada posisi terdesak menjadi potret

problematika yang menjadi keprihatinan pesantren secara umum. Selain itu,

kondisi gunung yang gundul disekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak

yang pada masa sebelumnya merupakan wilayah hutan produksi milik Perhutani

dan kemudian masuk dalam areal taman nasional juga menjadi salah satu

keprihatinan anggota kelompok tani, sehingga areal ini yang kemudian menjadi

perhatian utama gerakan ekologi pesantren Al Amin ini. Berangkat dari

keprihatinan terhadap wilayah ini, pada masa selanjutnya, pesantren Al Amin

dengan beberapa kelompok tani serta kerjasama dengan PT. Danone dan TNGHS

kemudian berusaha untuk menghijaukan kembali dengan pola penanaman Sengon

maupun tanaman lainnya yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

4.2. Potret Umum Pesantren Daarul Ulum Lido

Pesantren Daarul Ulum Lido berlokasi di daerah Muara Cibury,

Cigombong, Kabupaten Bogor. Pesantren ini berada pada wilayah yang relatif

masuk meskipun tidak terlampau jauh dari jalan raya Sukabumi. Pesantren ini

merupakan pesantren yang relatif muda yaitu berdiri pada tanggal 24 Juni pada

tahun 1996 oleh Drs. KH. Ahmad Dimyati. Pesantren ini dinamakan demikian

karena dua hal yaitu karena lokasi pesantren yang bertempat didaerah yang

bernama Lido serta merupakan hasil munajat Kyai Dimyati pada saat di

Multazam (Ka’bah), Mekkah. Ketika itu, beliau memiliki cita-cita untuk

mendirikan sebuah pesantren dan sekembalinya ke tanah air, beliau dengan

mudah mendapatkan tanah untuk didirikan pesantren dan merasa cocok dengan

36

lokasi tersebut. Kyai Dimyati merasa bahwa ini adalah suatu “Limpahan Doa“

yang kemudian dalam sejarahnya disertakan menjadi nama pesantren yang di

dirikannya, yaitu Pondok Pesantren Modern Daarul Ulum Lido. Pesantren Daarul

Ulum Lido ini merupakan pesantren yang memiliki kaitan historis dengan

Pesantren Daarul Ulum, Bogor.

Pendiri pesantren – KH. Ahmad Dimyati - ini merupakan menantu dari

pemimpin pesantren Daarul Ulum yang kemudian memisahkan diri dan berusaha

mendirikan pesantrennya. Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan pesantren

yang menerapkan model pendidikan campuran dan mengadopsi sistem pendidikan

nasional. Artinya, sistem pendidikan yang diajarkan di pesantren ini tidak melulu

merupakan pengajaran agama seperti pesantren salafi, tetapi juga mengajarkan

pelajaran umum yang dilakukan dalam aktivitas bersekolah seperti siswa pada

umumnya. Dibawah naungan Yayasan Salsabila, Pesantren Daarul Ulum Lido

menerapkan model pengembangan pendidikan yang disebut Tarbiyah al-

Mu‟allimin al-Islamiah (TMI). Visi pesantren ini adalah menjadi lembaga iqomah

al-dien yang berupaya mewujudkan generasi mutafaqqih fii-aldien ahli dzikir dan

ahli fikir serta memiliki kompetensi dasar penguasaan ilmu-ilmu agama (al-

'Uluum al-tanziliyah) dan ilmu-ilmu alam (al-'Uluum al-kauniyah). Tujuan

pesantren secara umum tergambar seperti paparan Ust. Drs. Ahmad Yani berikut:

“…Saat ini, sistem pendidikan yang kita miliki adalah Tarbiyatul

Mu‟allimin al Islamiyah (TMI), pendidikan guru-guru Islam. Dari nama itu

kemudian, secara bahasa yang ingin dihasilkan adalah guru-guru Islam,

tetapi sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Yang kita harapkan adalah

bahwa dari Pesantren ini lahir generasi yang mempunyai sifat, karakter

dan watak sebagai seorang guru, tak peduli apapun itu profesinya…”

Saat ini, Pesantren Daarul Ulum Lido dipimpin oleh seorang Kyai yang

bernama Ust. Drs. Ahmad Yani yang disebut Mudir al-Ma„had atau pimpinan

pesantren yang ditunjuk oleh Yayasan Salsabila sebagai lembaga yang menaungi

pesantren. Ust. Drs. Ahmad Yani merupakan seorang alumnus Pondok Pesantren

Al-Amin, Parenduan Madura yang juga merupakan salah satu pesantren modern

37

yang memiliki hubungan historis dengan Pondok Modern Darussalam, Gontor,

Ponorogo.

Dalam aktivitas keseharian santri di pesantren ini, hari-hari mereka diisi

dengan bauran aktivitas yang saling melengkapi antara pengetahuan umum dan

pengetahuan agama serta terlihat terus menerus terimplementasikan dengan baik.

Dengan kata lain, pesantren Daarul Ulum Lido ini dikenal dengan pesantren

khalafi atau pesantren modern. Meskipun demikian, pada bagian tertentu dari

aktivitas keseharian santri, juga diajarkan kitab-kitab kuning yang menjadi ciri

khas pesantren salafi meskipun tidak seintensif pesantren salafi. Ini tampaknya

merupakan perpaduan antara warisan kultural yang dimiliki oleh pendiri pesantren

(Alm) KH. Ahmad Dimyati yang memiliki hubungan historis dengan Pesantren

Daarul Ulum yang merupakan salah satu pesantren dari kalangan NU dengan

model pesantren yang menerapkan sistem pendidikan kelas/modern seperti Al-

Amin maupun Gontor.

Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini merupakan perpaduan antara

kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, melalui penyelenggaraan SMP

(Sekolah Menengah Pertama), kurikulum Departemen Agama, melalui

penyelenggaraan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), MTs (Madrasah

Tsanawiyah) & MA (Madrasah Aliyah), dan kurikulum Pesantren Modern,

melalui penyelenggaraan pola pendidikan mu‟allimin yang bernama TMI

(Tarbiyah al-Mu‟allimiin al-Islaamiyyah). Secara umum terdapat dua model

kurikulum yang diterapkan yaitu kurikulum al-„ulûm al-tanzîliyyah yang

mencakup Qur‟an wa „ulumuhu, Hadits wa Mushthalahuhu, Fiqh wa Qawaiduhu

wa ushuluhu, Tarbiyah, Mantiq, Qawaid (Nahw & Sharf), Balaghah, Mahfuzhat,

Faraid, Tauhid, Tarikh Islam, Muthala‟ah, Insya‟ wa al-Ta‟bir, al-Lughah al-

„Arabiyah. Kurikulum al-„ulûm al-kauniyyah mencakup Fisika, Kimia, Biologi,

Sejarah, Ekonomi, Geografi, Matematika, Kewarganegaraan, Guidance &

Counseling, Psikologi, Sosiologi & Antropologi, Bahasa Inggris & Grammar,

Bahasa dan Sastra Indonesia. Keseluruhan kurikulum tersebut dipadukan di dalam

sebuah sistem pengajaran langsung (direct method / al-thariqah al-mubasyirah)

secara integral dan komprehensif selama 24 jam.

38

Tabel 4.3. Jumlah Siswa di Setiap Jenjang Sekolah di Yayasan Salsabila

No Nama/Jenis Jumlah Murid

Total Jumlah Guru / Ust L P

Lembaga Pendidikan Formal

1 TPA 25 37 62 7

2 MI /SD - - - -

3 MTs 251 213 464 34

4 SMP 127 119 246 19

5 MA 199 167 366 32

6 Paket – A - - - -

7 Paket – B - - - -

Jumlah 602 536 1.138 92

Lembaga Pendidikan Non-Formal

1 Tahfizh al-Qur’an 47 36 83 3

2 Pengajian Ibu - 58 58 2

3 TMI (Mu‟allimin) 577 499 1.132 85

4 Ma’had Aly 12 9 21 8

Jumah 636 602 1.294 98

Jumlah Total 1.238 1.138 2.432 190 Sumber: Data lapangan

Pesantren Daarul Ulum Lido selain menyelenggarakan pendidikan formal

juga memiliki berbagai macam kegiatan ekstra kurikuler yang diikuti oleh

sebagian maupun seluruh santri yang bermukim. Kegiatan ekstra kurikuler

tersebut antara lain adalah muhadlarah5

, pendidikan kepramukaan,

keorganisasian, musik, Paskibra, dan lainnya. Selain itu, juga dilakukan pengajian

kitab kuning yang diantaranya mengkaji kitab Ta‟liim al-Muta‟allim, Al-Akhlaaq

li al-Baniin, Ilmu-ilmu alat (Imrithi, Ajrumiyah, Kawakib, dan Alfiah), Nashaaih

al-„Ibad, Fath al-Mu‟in, Fath al-Majiid, Kifaayah al-Atqiyaa‟, Irsyad al-Ibaad,

Tafsir Jalalain, Tafsir Ibn Katsiir, Jawhar Maknun, dan Safinatun Najah.

Dalam perjalanan sejarahnya hingga saat ini, pesantren Daarul Ulum Lido

telah mengalami berbagai macam perkembangan baik dari segi santri maupun

fasilitas. Saat ini jumlah santri yang bermukim di pesantren ini berjumlah 1.138

5 Muhadlarah merupakan suatu kegiatan latihan berpidato yang menggunakan tiga bahasa, yaitu

bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan

yang dapat ditemukan di Pesantren Modern seperti Pesantren Gontor, Pesantren Al-Amin,

Pesantren Darunnajah dan lainnya. Dalam kegiatan ini, setiap santri memiliki kesempatan, bahkan

terkadang diwajibkan untuk berpidato dengan menggunakan salah satu bahasa tersebut dihadapan

santri lain. Pada suatu waktu tertentu, terkadang dilakukan perlombaan pidato maupun debat

dengan tema tertentu sebagai ajang melatih dan menumbuhkan daya kompetisi dikalangan santri.

39

orang. Santri tersebut berasal dari berbagai daerah seperti Bogor, Bekasi,

Tangerang, Jakarta, Sukabumi, Bandung, Banten, Sumatera, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi dan bahkan ada yang berasal dari Maluku.

Secara umum kedua pesantren ini mengamini konsepsi dasar pesantren yang

terbentuk atas lima komponen utama yaitu kyai, santri, asrama, kitab dan masjid

(Dhofier, 1985). Meskipun pada implementasinya menjadi berbeda karena

tekanan pada kitab yang digunakan berbeda dan sistem pendidikan yang

digunakan juga berbeda. Perbedaan utama adalah sistem pendidikan pesantren

terpisah antara pendidikan formal dan sistem pendidikan pesantren yang terlihat di

pesantren Al Amin, sementara di pesantren Daarul Ulum Lido, sistem pendidikan

terintegrasi dan tidak ada pemisahan antara pendidikan formal dengan pendidikan

pesantren. Dengan kata lain, di pesantren Daarul Ulum Lido, kurikulum pesantren

dimasukkan menjadi satu bagian terintegrasi dengan kurikulum formal.

Selain potret diatas, potret ekologi juga menjadi penting karena menjadi

salah satu fundamen kemunculan gerakan ekologi di pesantren ini. Perhatian

utama pesantren saat ini sebenarnya terletak pada kondisi internal pesantren yang

kurang memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Besarnya porsi biaya yang

dikeluarkan untuk mengelola sampah di pesantren ini juga menjadi salah satu

keprihatinan yang dirasakan oleh pesantren. Meskipun demikian, setting gerakan

yang kemudian muncul justru melihat konteks geografis wilayah pesantren yang

kemudian dimanfaatkan untuk mengimplementasikan salah satu konsepsi

konservasi dalam Islam. Konsepsi inilah yang kemudian diwujudkan dalam

pesantren dan kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan internal

pesantren. Secara mendetail, perjalanan gerakan ini akan dipotret pada bab

selanjutnya.

4.3. Pola Hubungan Sosial Dalam Pesantren

Komponen aktor utama yang terdapat didalam pesantren secara umum

sebenarnya berbeda-beda mengikuti bentuk dan kekhasan pesantren tersebut.

Akan tetapi, dua aktor utama yang terdapat di dalam pesantren adalah Kyai atau

Ustadz/Asatidz dan santri. Baik pesantren salafi, pesantren modern/khalafi

40

maupun pesantren yang menerapkan kedua-duanya memiliki setidaknya dua aktor

ini dalam pesantrennya.

Tradisi hubungan santri dan kyai khususnya pada pesantren tradisional

dijelaskan oleh Sukamto (1999) sebagai hubungan patron-client, suatu hubungan

dimana santri mengakui dan menerima sumber-sumber yang dimiliki oleh kyainya

yaitu berupa tata nilai, struktur organisasi dan kekuasaan kyai.

Pola hubungan santri dengan kyai di pesantren Al-Amin dan pesantren

Daarul Ulum Lido memiliki corak hubungan yang berbeda. Pola hubungan santri

di pesantren Al-Amin mengarah pada pola hubungan informal/bapak anak atau

pola hubungan bapak anak sedangkan pola hubungan santri di pesantren Daarul

Ulum Lido mengarah pada hubungan semi formal/guru murid.

Tabel 4.4. Pola Hubungan Sosial di Lingkungan Pesantren

Pesantren Hubungan Sosial

Pesantren Daarul Ulum Lido Hubungan Semi Formal/Guru Murid

Pesantren Al- Amin Hubungan Informal/Bapak Anak Sumber: Data lapangan

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa hubungan kyai dengan santri di pesantren

memiliki dua pola yaitu pola hubungan informal bapak anak serta hubungan semi

formal guru murid. Pola hubungan informal bapak anak merupakan hubungan

yang terjalin antara kyai dan santri layaknya hubungan bapak anak. Hubungan

yang terbangun diantara keduanya secara umum memperlihatkan bagaimana

seorang santri merasa bahwa pandangan kyai serta tindak tanduknya layak

dipatuhi seperti perintah orang tua mereka dan juga kyai terkadang berperilaku

layaknya orang tua mereka. Pola hubungan seperti ini setidaknya muncul karena

ada dorongan kharismatik yang muncul dari sosok kyai yang menempatkan

dirinya menjadi contoh teladan bagi santri. Pandangan ini sebagaimana terlihat

dalam petikan pernyataan salah satu informan berikut ini:

“…Kepribadian beliau bagus dan mengagumkan, ilmunya jelas. Terlebih

karisma dari Abuya sudah terlihat sekali. Kebanyakan santri berusaha

mencontoh abuya. Terkadang Abuya memberikan uang kepada santri,

padahal seharusnya kan santri yang memberikan shadaqah kepada guru

karena lebih bagus, tetapi Abuya memberikan contoh dahulu. Segala

sesuatu sudah dicontohkan oleh beliau, …makanya kharismanya beda.

Coba kalau tidak dicontohkan, [santri] nurutnya juga beda. Tetapi

41

sekarang ini sedang sibuk Abuyanya, jadi kurang konsentrasi ke santri.

Kalau dahulu sewaktu terjun ke santri [mengajar] banyak santrinya. Tidak

tau beda apanya, tapi memang dari kharismanya sudah beda. Tapi kalau

dewan guru memang masih banyak. Ada yang halus ke santrinya, ada yang

biasa, tapi yang diseganin ya memang Abuya juga…”

Rasa hormat santri kepada kyai ini muncul karena didorong oleh kharisma

yang dimiliki oleh kyai dan rasa ikhlas serta media pembelajaran dan penempaan

dirinya ketika nanti bergelut di masyarakat dengan bermodalkan restu dan ilmu

yang telah diberikan oleh kyai tersebut. di Pesantren Al-Amin, penggambaran

hubungan seperti ini juga terlihat pada sikap para asatidz yang tidak menerima

gaji dari pesantren dari aktivitas mengajarnya dan hanya mengharapkan berkah

dan pengalaman serta pengabdian kepada kyai. Fenomena ini tergambar dari

pernyataan informan sebagai berikut:

“…Guru-guru dan santri senior disini tidak digaji. Digaji tidak, dibayar

juga tidak. Cuma mungkin kalau pesantren ini biasanya salah satunya

hanya dijadikan media pembelajaran. Jadi ketika mereka sudah terbiasa

dengan mengajar di pesantren, ketika mereka pulang ke rumah sudah

terbiasa mengajar dan oleh pihak pesantrenpun tidak digaji, dan dari guru-

gurupun disini tidak ada yang menggaji. Jadi berbeda dengan status

sekolah. Seperti di sini [Al-Amin], sekolah ka nada, pesantren juga ada.

Perbedaannya kalau sekolah, siapapun yang mengajar disana dibayar,

apakah itu dari dalam (pesantren) maupun dari luar. Tapi yang namanya di

pesantren, siapapun yang mengajar, baik lama maupun sebentar, tidak

ada…”

Pada level tertentu, hubungan yang terbangun antara kyai dengan santri

bahkan dapat mempengaruhi pilihan politik santri. Apa yang menjadi pilihan

politik kyai juga secara otomatis menjadi pilihan politik santri dan guru/asatidz

seperti tergambar dari pernyataan informan sebagai berikut:

“…kalau saya ikuti. Karena kebetulan ketika Abuya menaikkan H. Asep

[Salah satu tokoh yang didorong untuk ikut kompetisi Pilkada Kabupaten

Sukabumi], saya sendiri walaupun tidak sebanyak tahu seperti Abuya, saya

sendiri tahu siapa dia. Maka dari itu, ketika Abuya mendorong, saya juga

ikut dan saya condong kesana. Jadi memang saya selalu akan ikut

Abuya…”

42

Kondisi yang sedikit berbeda terlihat pada pola hubungan antara kyai

dengan santri yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido. Pola hubungan antara

kyai dengan santri mengarah pada pola hubungan yang terlihat semi formal

seperti layaknya hubungan guru murid. Pola hubungan seperti ini tidak terlepas

dari sistem dan pola pendidikan yang terbangun di pesantren ini. Tidak seperti di

pesantren Al-Amin, pesantren Daarul Ulum Lido mewajibkan setiap santrinya

memberikan kontribusi dalam bentuk iuran bulanan yang salah satu fungsinya

adalah untuk memenuhi gaji guru/asatidz yang mengajar di pesantren tersebut.

Pola hubungan yang terbentuk juga hanya terjadi pada lingkungan pesantren

dan ketika aktor baik santri maupun kyai berada pada lingkungan pesantren.

Ketika santri berada diluar pesantren atau selesai dan lulus dari pesantren, kondisi

patronase tidak pernah tercipta dan suasana pengabdian tanpa pamrih juga tidak

terwujud seperti halnya yang terjadi di pesantren Al-Amin.

Selain itu, kyai juga memang tidak menempatkan dirinya sebagai penguasa

tunggal dan pemegang otoritas utama dalam mencetak santri ataupun murid

dengan mentransimisikan ilmunya melalui sistem pengajian, tetapi kyai lebih

berfungsi sebagai pelaksana teknis dari pimpinan kolektif yang disebut Majlis Ar-

riaasah dan kyai hanya menangani bidang pendidikan dan pengajaran.

4.4. Pola Kepemimpinan di Pesantren

Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

berhasil atau gagalnya suatu organisasi. Kondisi ini menyebabkan munculnya

pemimpin karena seorang pemimpin tergambar memiliki kepribadian khas, dan

mempunyai kecakapan tertentu yang jarang didapat orang lain (Sukamto, 1999).

Dalam hal kepemimpinan, dalam ilmu sosial, kepemimpinan tidak dapat

diterangkan terlepas dari kolektivitas sosial dimana pemimpin bertindak

(Kartodirjo, 1984). Max Weber menjelaskan kepemimpinan dalam konteks

otoritas dan dominasi. Weber menjelaskan tiga tipe legitimasi yaitu (i) dominasi

kharismatik; (2) dominasi tradisional yang mencakup bentuk patriarki maupun

patrimonial; dan (3) dominasi rasional-legal (Morrison, 1995).

Pola kepemimpinan di dua pesantren ini memiliki perbedaan sesuai dengan

konteks sosial yang terjadi di pesantren tersebut. Terdapat dua pola

43

kepemimpinan di pesantren, yaitu pola kepemimpinan tradisional yang terdapat di

pesantren salafi dan pola kepemimpinan rasional-legal yang terdapat di pesantren

modern. Pesantren Al-Amin, seperti umumnya pesantren salafi merupakan

pesantren yang memiliki pola kepemimpinan tradisional. Meskipun demikian,

pada beberapa kasus, terdapat pola kepemimpinan kharismatik yang terlihat pada

sosok-sosok kyai zaman dahulu seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di

Jawa Timur atau Ajengan Sanusi di Sukabumi.

Pola kepemimpinan yang tergambar di pesantren Al-Amin lebih mencirikan

pola kepemimpinan tradisional dikarenakan aturan dan otoritas yang diciptakan

bermuara pada sosok kyai atau ajengan sebagai pemimpin yayasan sekaligus

pemimpin pesantren. Kepemimpinan yang terbangun merupakan hasil dari

loyalitas yang terbangun dari guru atau asatidz dan santri. Kondisi ini

menggambarkan bagaimana otoritas tradisional semacam ini memang berangkat

dari tradisi atau adat istiadat serta sebangun dengan pelaksanaan kewajiban secara

sukarela dan loyalitas personal mereka yang berada dalam kekuasaannya

(Morrison, 1995). Selain itu, unsur kharisma tetap tidak bisa dipungkiri memiliki

peran yang cukup signifikan dalam kepemimpinan di pesantren Al-Amin.

Kharisma ini yang secara personal membedakan Ajengan Basith dengan kyai lain

yang terdapat di pesantren Al-Amin meskipun secara genealogis merupakan

saudara kandung, tetapi posisinya sebagai pimpinan pesantren dan pewaris

tampuk kepemimpinan pesantren semakin menguatkannya.

Meskipun demikian, tidak berarti kepemimpinan tradisional semacam ini

merupakan kepemimpinan yang kolot dan terbelakang. Dalam beberapa hal,

khususnya usaha ajengan untuk mempertahankan tradisi pesantren

memperlihatkan pilihannya menerapkan pola kepemimpinan tradisional sebagai

usaha untuk mempertahankan kemurnian pesantren serta menjaga agar tidak

terjadi pembauran dengan sistem sekolah. Artinya, pesantren secara sengaja

dipisahkan baik dari pengelolaan maupun sistem yang dilakukan agar terjaga

kemurniannya meskipun santri yang bermukim juga bersekolah.

44

Tabel 4.5. Pola Kepemimpinan dan Regenerasi di Pesantren

Pesantren Pola Kepemimpinan Pola Regenerasi

Pesantren Daarul Ulum Lido Rasional-Legal Ditunjuk

Pesantren Al- Amin Tradisional Turun

Temurun/Ascribed Sumber: Data lapangan

Dalam hal regenerasi kepemimpinan pesantren, pesantren Al-Amin

memperlihatkan pola regenerasi dengan sistem turun temurun atau sistem warisan

(ascribed) yang bersumber dari hubungan genealogis atau hubungan

kekeluargaan. Ajengan Basith saat ini merupakan generasi keempat sejak awal

didirikannya pesantren Al-Amin ini. Sejak dipimpin oleh KH. Kurdi,

kepemimpinan pesantren ini terus terwariskan kepada anaknya KH. Ismatullah

dan seturut kemudian kepada menantunya Ajengan Aeh dan saat ini kepada putera

tertuanya yaitu Ajengan Basith. Sistem regenerasi semacam ini seperti gambaran

pernyataan informan berikut ini:

“…Yang mendirikan adalah Kyai Kurdi. Turun ke H. Ismatulloh. Dari H.

ismatulloh, mestinya turun ke Pak Baden. Tetapi turunnya ke menantu,

ayahnya Buya Basith, KH. Hidayatullah ( Ajengan Aeh)…”

Hingga saat ini, pola kepemimpinan dan regenerasi kepemimpinan terlihat

terus diupayakan berlangsung. Abuya terlihat mempersiapkan putera maupun

keponakannya untuk menjadi calon pemimpin pesantren dimasa mendatang.

Selain itu, pesantren ini terlihat melakukan pewarisan keahlian spesifik yang

menjadi ciri khas pesantren yaitu keahlian berhikmah atau “berasnaf”. Tradisi

berhikmah ini diwariskan oleh Ajengan Aeh kepada beberapa anaknya yang saat

ini melakukan praktek-praktek tersebut.

Berbeda dengan pesantren Al-Amin, pesantren Daarul Ulum Lido

memperlihatkan pola kepemimpinan yang cenderung rasional-legal. Artinya,

kepemimpinan dalam pesantren ditetapkan melalui berbagai ketentuan yang telah

disepakati dan ditetapkan. Ketentuan tersebut terbangun melalui suatu sistem yang

diharapkan dapat membentuk dan menghasilkan suatu figure kyai yang tidak

hanya muncul karena kharisma personal maupun posisi turun temurun, tetapi

karena proses yang telah ditetapkan oleh pesantren. Gambaran pola

kepemimpinan seperti ini terlihat dari pernyataan informan berikut:

45

“…Membangun figure, tapi diharapkan dari sistem itu lahirlah seorang

figure pada waktunya. Jadi Daarul Ulum ini sedang pada masa transisi ini

ceritanya. Jadi ketika Pak Kyai tidak ada, maka kita tidak punya “orang

sepuh”. Makanya sistem itu dibangun. Salah satu tujuan dari sistem itu

adalah bagaimana suatu saat lahir seorang Kyai. Kemudian dari sistem ini

juga diharapkan bagaimana pesantren ini berjalan tidak berdasar kepada

figure, tapi berdasar kepada sistem itu. Jadi berjalan atau tidaknya bukan

karena figure tetapi karena sistem tersebut. Maka sekarang walaupun tidak

ada kyainya, tetap berjalan…”

Pimpinan pesantren atau Mudir al-ma‟had merupakan seorang yang

ditunjuk oleh Majlis Ar-riaasah dan kyai tersebut hanya menangani bidang

pendidikan dan pengajaran saja. Meskipun demikian, sejak meninggalnya KH.

Ahmad Dimyati yang merupakan pendiri pesantren ini, tampuk kepemimpinan

saat ini merupakan pemimpin yang ditunjuk oleh majelis diatas dan

bertanggungjawab kepada Yayasan sebagai lembaga tertinggi dan menaungi

pesantren. Gambaran posisi kyai serta kualifikasi yang ditentukan terlihat seperti

gambaran informan berikut ini:

“…Mudir al ma‟had itu sebenarnya adalah kyainya itu sendiri. Jadi

pimpinan pesantren itu, kalau di Daarul Ulum disebut sebagai Mudir al

ma‟had bukan disebut Direktur. Jadi disini dibakukan dengan sebutan

demikian. Jadi salah satu wujud dari sistem tadi kemudian melahirkan

seorang Kyai. Kenapa? karena kyai itu adalah suatu gelar cultural yang

tidak bisa dilahirkan begitu saja, tetapi dengan sistem itu kita berupaya.

Maka kemudian bisa jadi lewat sistem itu seseorang dibentuk sedemikian

rupa, tetapi akhirnya tidak jadi. Jadi kondisi demikian dimungkinkan

terjadi. Karena suatu hal. Tetapi paling tidak kita sudah punya alur dan

sistem itu melahirkan seorang Mudir al ma‟had. Ketika seseorang dijadikan

Mudir al ma‟had maka dia itu sudah harus belajar bahwa dirinya itu

memang oleh lingkungannya itu akan dijadikan seorang Kyai Sepuh.

Mestinya harus mulai menyiapkan diri. Cuma kan seperti itu tadi, jadi Kyai

kan tidak bisa serta merta [ada proses didalamnya]… Seorang Kyai itu,

kalau dikalangan kita (Daarul Ulum Lido) secara intern dicirikan oleh tiga

hal (1) keilmuan; (2) usia; (3) konsistensi dalam ibadah. Karena seorang

Kyai itu tidak bisa lepas dari masalah ibadah. Selain itu unsur senioritas

juga berpengaruh. Makanya, dahulu ketika pak Kyai masih hidup,

umumnya disini memanggil beliau dengan sebutan Kyai. Jadi, meskipun

seseorang ilmunya sudah setinggi apapun, tapi karena umurnya masih

muda, tetap tidak nyaman memanggilnya dengan sebutan Kyai… Jadi Kyai

itu bagi kami disini (Daarul Ulum Lido) harus dilihat dari sisi keilmuannya,

usianya dan ubudiahnya…”

Predikat pimpinan pesantren adalah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan

kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan fungsi dan visi yang ditetapkan oleh

46

pesantren. Penetapan ini tidak terlepas dari kompetensi personal baik dari sisi

intelektualitas maupun dari sisi rohaniah atau ubudiyahnya. Pernyataan diatas

menggambarkan bahwa dalam pesantren Daarul Ulum Lido setidaknya

diharuskan memiliki tiga kriteria yang saling melengkapi yaitu baik pada sisi

keilmuannya, senioritasnya (usia) serta ubudiahnya.

Perbedaan kedua pola kepemimpinan pesantren antara pesantren Al-Amin

dan pesantren Daarul Ulum Lido juga tidak terlepas dari kultur dan tipe

pesantrennya. Pesantren Al-Amin yang merupakan pesantren salafi menerapkan

pola kepemimpinan tradisional dengan regenerasi kepemimpinan sistem waris

(ascribed) dan pesantren Daarul Ulum Lido yang merupakan pesantren modern

lebih menekankan pada pola kepemimpinan rasional-legal dengan pola regenerasi

yang ditunjuk.

4.5. Dinamika Kehidupan di Pesantren

Dinamika kehidupan di pesantren tidak dapat dilepaskan dari peran kultural

yang terbentuk didalamnya. Pesantren seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman

Wahid merupakan suatu sub kultur. Sebuah subkultur yang terlihat di pesantren

memperlihatkan keunikan dari beberapa aspek pesantren bila dibandingkan

dengan kehidupan diluarnya. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah cara hidup

yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti serta hirarki kekuasaan

intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya (Wahid, 1995;2001).

Cara hidup yang dianut oleh kedua pesantren ini memperlihatkan

keterkaitan erat dengan waktu sholat. Di pesantren Al-Amin seluruh aktivitas

pengajian terkait dengan jadwal waktu sholat dari semenjak waktu Subuh hingga

Isya. Seluruh aktivitas pengajian dilaksanakan setelah waktu sholat tersebut.

Demikian pula dengan pesantren Daarul Ulum Lido yang juga menerapkan

seluruh aktivitas pesantrennya mengikuti waktu sholat. Sejak sebelum fajar

Subuh, seluruh santri memulai aktivitasnya seperti melaksanakan shalat Tahajud

dan mengaji, setelah shalat Subuh melaksanakan pengajian kitab kuning dan

berlanjut kepada kegiatan sekolah formal. Kegiatan sekolah formal ini juga

kemudian berhenti ketika mendekati waktu sholat zuhur dan seluruh aktivitas

pesantren juga berhenti seketika dan mereka menuju ke Masjid untuk menunaikan

47

ibadah shalat tersebut. begitupun aktivitas setelahnya hingga malam hari, selalu

merujuk pada waktu shalat tersebut. Kondisi ini menggambarkan situasi yang

berbeda dengan kehidupan diluar pesantren yang aktivitas masyarakatnya tidak

terkait dengan waktu shalat.

Selain tata cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang melandasi

kehidupan pesantren juga memperlihatkan posisi pesantren sebagai subkultur.

Pandangan hidup seorang kyai selalu menjadi rujukan dasar seorang santri dan

seluruh tingkah lakunya juga dilandasi oleh figur kyai tersebut. Tata nilai yang

melandasi kehidupan pesantren juga selalu direferensikan kepada nilai Islami

yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist. Meskipun demikian, ada sedikit

perbedaan pada pandangan hidup dan tata nilai yang terbangun antara pesantren

Al-Amin dengan Daarul Ulum Lido. Perbedaan ini terletak pada perbedaan tipe

pesantren diatas. Pesantren Daarul Ulum Lido misalkan memperlihatkan sistem

pendidikan modern yang menitikberatkan pada penciptaan santri yang memiliki

karakter, sifat dan watak seorang guru. Sementara itu di Al-Amin mendorong

lahirnya atau minimal embrio santri yang memiliki kemampuan dasar dengan

pemahaman ilmu alat (nahwu dan sharaf) serta ilmu tauhid dan fikih. Pandangan

dan tata nilai di pesantren Daarul Ulum Lido diatas tergambar dari pernyataan

informan sebagai berikut:

“…Saat ini, sistem pendidikan yang kita miliki adalah Tarbiyatul

Mu‟allimin al Islamiyah (TMI), pendidikan guru-guru Islam. Dari nama itu

kemudian, secara bahasa yang ingin dihasilkan adalah guru-guru Islam,

tetapi sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Yang kita harapkan adalah

bahwa dari Pesantren ini lahir generasi yang mempunyai sifat, karakter

dan watak sebagai seorang guru, tak peduli apapun itu profesinya. Jadi

apakah mutlak harus menjadi Kyai? Tidak. Disini pernah ada santri yang

menjadi Mojang Bogor, namanya Fitri, orang Bantar Kemang. Bahkan dia

mewakili Bogor untuk ke tingkat Jawa Barat. Yang hafal Al Qur‟an ada,

yang jadi Polisi, Tentara, Dokter dan lain sebagainya juga ada.

Jadi mau jadi profesi apapun terserah, tetapi profesi apapun yang dia

tekuni, dia harus memiliki sifat, watak dan karakter sebagai seorang

muallim, seorang guru. Itu penekanannya kita. Tentu, idealnya kita itu

sesuai dengan visi pesantren ini yang tertera di brosur itu adalah

melahirkan Ahli Dzikr dan Ahli Fikr, dan mempunyai potensi dasar,

penguasaan Al Ulum Al Tandziliyah dan Al Ulum Al Kauliyah. Jadi,

kompetensinya baru kompetensi dasar…”

Dalam hal dinamika pesantren, terutama relasi dengan aktor diluar

pesantren, kondisi yang berseberangan terkadang terlihat dari sikap pesantren

48

dengan pemerintah. Dalam beberapa hal, pesantren terkadang berada pada posisi

yang berseberangan dengan pemerintah, bahkan terkadang berjarak dang bersikap

oposan. Untuk beberapa kasus tertentu, terkadang pesantren melakukan

demonstrasi guna menyuarakan aspirasinya. Demonstrasi semacam ini

memperlihatkan dinamika yang terjadi di dalam pesantren terutama dalam

menanggapi berbagai isu yang relevan dengan aktivitas syiar dan dakwah.

Penggambaran dinamika tersebut terlihat pada pernyataan informan berikut ini:

“…Kalau di Sukabumi, saya sedikit jadi provokator dulu. Provokator

dengan pemerintah. Maksudnya kalau mau Ramadhan, kita undang Kyai di

pendopo. Kita bayar, maksudnya bayar sewa sound system, kita bawa snack

dan tidak meminta dari pemerintah. Kita undang Bupati, Dandim seluruh

Muspida. Ceramah, meminta menutup diskotik pada bulan Ramadhan dan

macam-macam lainnya. Juga masalah minuman keras (miras). Biasa,

ngotot-ngototlah begitu. Saat itu, banyak orang yang bilang, “mo jadi apa

sih?”… Saya bilang, saya tidak mau jadi apa-apa. Kenapa begitu? Di

Sukabumi ini, mungkin di Al-Amin agak tegang. Kenapa saya berani

dengan pemerintah? Sebab saya belum pernah makan uang dari

pemerintah. Soalnya saya marah dulu, pernah ada seorang yang bilang.

“Ah, Kyai dikasih uang juga diam”. Saya tersinggung, makanya saya cari

sensasi aja lalu saya press [maksudnya menekan] pemerintah. Saya bawa

pasukan [santri dan murid-murid] untuk demonstrasi…”

Dinamika yang paling mutakhir yang terjadi di pesantren saat ini adalah

perluasan isu yang terdapat di pesantren, yaitu masuknya isu lingkungan hidup

sebagai salah satu perhatian khusus di pesantren. Ini menunjukkan bahwa

kehidupan pesantren berlangsung secara dinamis dan hidup dan pesantren tidaklah

stagnan dan statis serta apatis terhadap isu diluar isu keagamaan. Secara khusus

dan mendalam, penelitian ini akan menggali dinamika di pesantren, terutama

dalam merespon berbagai isu lingkungan hidup yang terjadi di masyarakat yang

akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya.

V. BASIS TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI PESANTREN

5.1. Basis Teologi Ekologi Dalam Islam

Teologi dalam Islam selama ini dipahami terlalu sempit hanya pada urusan

ketuhanan atau hanya berkutat pada relasi manusia dengan Tuhannya. Namun

demikian, sesungguhnya, konstruksi teologis tidaklah hanya berkutat pada

wilayah tersebut. Teologi dapat diperluas hingga mencakup wilayah lain seperti

isu lingkungan yang akan dibahas selanjutnya pada bab ini dan pada bab

berikutnya.

Islam merupakan agama yang didalamnya mencakup berbagai macam hal,

Bennett (2005) menyatakan bahwa Islam secara inheren didalamnya memiliki

seluruh pengetahuan. Jadi, dalam segi apapun baik yang dibicarakan itu masalah

etika atau masalah proteksi dan perlindungan lingkungan, ataupun ilmu

pengetahuan, jawabannya akan ditemukan dalam Islam.

Seperti banyak dipahami bahwa sesungguhnya Islam merupakan salah satu

agama yang sangat komprehensif yang didalamnya mengatur kehidupan seluruh

makhluk dimuka bumi ini dan kehadiran Islam melalui Nabi Muhammad SAW

merupakan rahmat bagi semesta alam seperti disebutkan dalam Al-Quran:

Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Al-Qur‟an) ini, benar-benar

menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah

(Allah) ۞ dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk

(menjadi) rahmat bagi seluruh alam ۞ (Q.S. Al Anbiya: 106-107).

Ayat diatas menjelaskan bahwa, manusia yang direpresentasikan oleh

Muhammad SAW serta para pengikutnya memiliki kewajiban yang sebenarnya

sangat agung, yaitu kewajiban untuk menjaga alam karena kedudukannya yang

merupakan rahmat bagi seluruh makhluk. Kewajiban ini memiliki relevasi dengan

kedudukan manusia sebagai khalifah atau sebagai pemimpin di muka bumi yang

pada kondisi tertentu sering disalahartikan sebagai penguasa diatas muka bumi

atau bahkan menjadi pemiliknya. Padahal, meskipun manusia memiliki

kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya, sebenarnya disisi lain terdapat

kewajiban untuk menjaganya.

Secara umum, berbagai problematika lingkungan yang muncul harusnya

dilihat dan dikaji akar persoalannya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Lynn

50

White yang menjelaskan bahwa akar problematika ekologi berakar pada agama –

yang dalam kajiannya adalah agama Kristen. White menjelaskan bahwa karakter

agama Kristen yang menjadi fokus kajiannya adalah merupakan agama yang

antroposentrik (White, 1974). Dalam Islam, kajian White ini sejalan dengan

ungkapan Kaveh L Afrasiabi (2003) sebagai berikut:

“…the criticism begins from the argument that Islam, much like other

monotheistic religions, is anthropocentric, and concludes that the pursuit of

an ecologically minded theology must necessarily transcend these religion

in search of alternative traditions and belief systems…”

Islam dalam konteks ini dikritisi karena mendorong nilai-nilai humanitas

serta pentingnya nilai tersebut sebagai titik awal. Manusia diberikan otoritas untuk

menguasai alam serta makhluk lain karena kedudukannya sebagai khalifah.

Padahal, seharusnya kedudukan sebagai seorang khalifah tersebut menuntut

manusia untuk menjadi pemimpin dan bertanggungjawab atas makhluk hidup

lainnya baik dari sisi kontinuitas maupun pemanfaatannya. Dalam Al-Quran,

kedudukan manusia disebutkan sebagai berikut:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:

"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami

senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"

Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui. (Q.S. Al Baqarah: 30)

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut

mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-

baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas

kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan (Q.S. Al Isra : 70)

Posisi manusia tersebut kemudian secara kosmis mengharuskannya

mendapatkan tugas untuk menjalankan kepercayaan (amanat) sekaligus juga

tanggungjawab. Amanat untuk mengelola alam dengan segenap potensi dan

ketersediaan bahan yang diperlukan bagi kehidupan serta tanggungjawab terhadap

kehidupan nabati dan hewan. Selain itu alam adalah titipan tuhan yang harus

dijaga serta penciptaannya juga tidak sia-sia dan memiliki tujuan (Muhammad,

2007).

51

Oleh karena itu, hak yang diberikan kepada manusia untuk bertindak dan

memanfaatkan alam diatur dalam kerangka etis. Kebebasan yang diberikan Tuhan

kepada manusia untuk mengelola alam dibatasi dan terikat dengan aturan-aturan

moral dan etika kemanusiaan seperti keadilan, kemaslahatan, martabat manusia,

kesejahteraan dan kerahmatan semesta. Ini yang kemudian mengharuskan

manusia menjaga alam, dengan kata lain apabila manusia melakukan tindakan

merusak alam, berarti juga merusak bahkan membunuh manusia karena alam

tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk manusia di masa mendatang (Muhammad,

2007).

Dalam kaitan dengan peranan manusia tersebut, Qardhawi (2002)

menjelaskan tiga tujuan dari peran manusia terhadap lingkungan. Peran pertama

adalah mengabdi kepada Allah SWT, peran kedua adalah menjadi wakil atau

khalifah di atas bumi dan ketiga adalah membangun peradaban di muka bumi.

Ketiga tujuan ini erat kaitannya dengan peranan manusia dalam perspektif

teologis atau ushuluddin.

Pemahamanan dan penjagaan lingkungan serta tanggungjawab dan amanah

menjadi potret dan refleksi iman individual seseorang. Ketika perilaku seseorang

adalah bertindak merusak, memanfaatkan alam secara berlebihan dan bertindak

semena-mena, hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks teologi dan keimanan

yang dimiliki individu tersebut menjadi sangat rapuh. Selain itu, tindakan

semacam itu menunjukkan bahwa sosok manusia tersebut menjadi tidak amanah

dan berpotensi merusak kehidupan speciesnya dimasa yang akan datang.

Mahmudunnasir (1991) mendeskripsikan kewajiban manusia terhadap alam

dengan menjelaskan bahwa Allah telah mengaruniai manusia dengan kekuasaan

atas makhluk-makhluk-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Dia telah diberi

kekuasaan segala sesuatu. Dia telah diberi kekuatan untuk menundukkan mereka

dan membuat mereka melayani tujuan-tujuannya. Manusia menikmati hak untuk

menggunakan makhluk-makhluk itu sesuka mereka. Akan tetapi, Allah tidak

memberikan hak itu tanpa batas. Dikatakan bahwa semua makhluk mempunyai

hak tertentu atas manusia. Manusia tidak boleh memubazirkan mereka ataupun

menyakiti atau membahayakan mereka tanpa guna. Apabila mereka menggunakan

makhluk-makhluk itu harus sesedikit mungkin. Manusia harus menggunakan

52

cara-cara yang terbaik dan paling sedikit akibat buruknya dalam memanfaatkan

mereka.

Selain pandangan tentang kedudukan dan tanggungjawab manusia secara

kosmis diatas, konstruksi ekologi teologi Islam juga memperlihatkan bagaimana

setiap ciptaan Tuhan memiliki nilai yang sejatinya merupakan bukti dari

kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, seluruh ritual Islam berkaitan dengan

fenomena alam dan secara umum umat Islam memandang alam dunia sebagai

wahyu Tuhan yang pertama sebelum kitab suci diturunkan (Nasr, 2003).

Selain itu, kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan erat

kaitannya dengan pandangan mendudukkan Islam tidak hanya sebagai agama an

sich, tetapi menjadi panduan hidup (way of life). Agama ini mewujud tidak hanya

dalam bentuk kelembagaan, tetapi juga mewujud dalam bentuk nilai. Dien (2003)

merangkum lima hal yang menjadi dasar kewajiban manusia yaitu, pertama,

lingkungan juga merupakan ciptaan Tuhan sehingga memiliki kedudukan yang

sama dengan manusia. Kedua, proses penciptaan bumi serta sumberdaya alam

lainnya merupakan tanda dari kebesaran-Nya, sehingga menuntut kesadaran

manusia dan pemahamannya tentang Pencipta. Ketiga, lingkungan karena

posisinya sebagai ciptaan Tuhan, patut mendapatkan perlindungan (hurma).

Keempat, Islam sebagai jalan hidup atau panduan hidup. Dalam konteks ini,

kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan menunjukkan suatu

konsepsi kebaikan. Kelima, seluruh relasi manusia dalam Islam harus berdasarkan

pada konsepsi keadilan („adl) dan kebaikan (ihsan) serta tidaklah berdasarkan

pada landasan materil dan ekonomi.

Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan merupakan bagian

dari eksistensi sosial yang merupakan suatu wujud eksistensi bahwa apapun yang

berada diatas muka bumi ini memiliki kewajiban untuk menyembah kepada

Tuhan. Penyembahan ini tidak semata-mata hanya ritus yang bersifat simbolik,

tetapi lebih pada manifestasi manusia dalam ketundukannya kepada Sang

Pencipta.

Selain menyangkut tentang nilai dan kedudukan, baik manusia maupun

alam. Konstruksi lain yang menarik adalah menyangkut tentang perdamaian

53

(peace). Nasr (1990) menjelaskan bahwa perdamaian pada umat manusia tidak

akan pernah terwujud tanpa adanya perdamaian dengan alam.

“…Peace in human society and the preservation of human values are

impossible without peace with the natural and spiritual orders and respect

for the immutable supra-human realities which are the source of all that is

called „human values‟…” (Nasr, 1990)

Perdamaian semacam ini juga menyangkut penghargaan terhadap perbedaan

serta keragaman (pluralitas) baik terhadap manusia dengan manusia maupun

manusia dengan makhluk lainnya. Penghargaan ini merupakan bentuk

pemahaman bahwa sesungguhnya, terdapat nilai esoteris pada masing-masing

makhluk dan perbedaan tersebut menjadi rahmat bagi semesta alam. Perbedaan ini

kemudian tidak saling menegasikan dan meniadakan, tetapi saling mengisi dan

memahami satu sama lain serta berupaya untuk selalu memperbanyak kebajikan.

Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa

kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang

diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan

kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara

kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah

menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah

hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka

berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali

kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu

perselisihkan itu. (Q.S. Al Maidah:48)

Selain konstruksi diatas, kritik yang dialamatkan kepada agama, yang

dianggap menjadi salah satu sumber etis dan praksis manusia dalam

mengeksploitasi sumber daya dan lingkungan juga mendapatkan batasan yang

tegas dan jelas. Larangan pola hidup yang berlebihan dan cenderung melakukan

kapitalisasi bagi kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengorbankan

makhluk lain menjadi salah satu bukti teologi praksis yang menjadi dasar bagi

umat Muslim. Oleh karena itu, sikap askestis yang mempraktikan kesederhanaan

menjadi prinsip dasar dalam kehidupan umat Muslim. Ini dijelaskan dalam Al

Quran

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)

Masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

54

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

(Q.S. Al Araf: 31)

Pada ayat lain, Al Quran juga menjelaskan penolakan Islam pada sifat dan

perilaku berlebih-lebihan di satu sisi, juga perilaku kikir di sisi yang lainnya. Ini

berarti bahwa Islam sebenarnya memberikan penggambaran praktis bahwa

manusia harus terus mencari titik keseimbangan dalam hidup serta bersikap

proporsional dengan tidak berlebihan serta tidak pula bersikap kikir.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak

berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-

tengah antara yang demikian. (Q.S. Al Furqan: 67)

5.2. Makna Tindakan Ekologi di Pesantren: Refleksi Para Aktor

Secara umum, gerakan ekologi di kedua pesantren tersebut dalam

sejarahnya belum berlangsung begitu lama. Di satu sisi, pesantren Al Amin

menginisiasi dan menerapkan gerakan ekologi sejak lima tahun belakangan.

Sementara itu, gerakan ekologi di pesantren Daarul Ulum Lido telah berlangsung

pada kurun periode yang tidak berbeda jauh.

Aktor yang dimaksud dalam gerakan ekologi di pesantren ini secara umum

merujuk pada Dhofier (1985) dan Sukamto (1999). Keduanya merujuk aktor

utama pesantren antara lain adalah Kyai dan Santri serta Khadam. Meskipun

demikian, dalam konteks penelitian ini, tidak berarti aktor yang disebutkan diatas

terlibat dalam kegiatan ekologi. Oleh karena itu, aktor-aktor yang terlibat dalam

gerakan ekologi ini kemudian diperluas dan tidak hanya berhenti pada kyai dan

santri, tetapi juga masyarakat yang terlibat dalam model gerakan yang diusung

oleh pesantren maupun aktor lain selain kyai dan santri yang terdapat di dalam

pesantren seperti Asatidz atau guru.

Meskipun demikian, lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan

ekologi di pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu

Al Quran. Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan

dicoba di kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren

maupun masyarakat pada umumnya.

Basis teologi yang melandasi gerakan secara khusus merujuk pada kekhasan

dan ciri utama dari pesantren yang bersangkutan terutama bagaimana sosok Kyai

55

merefleksikan fenomena sekitar dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan

pesantren secara umum serta memadukannya dengan kekhasan yang dimiliki oleh

pesantren. Meskipun rujukan utama antara kedua pesantren ini sama yaitu Al

Quran, tetapi sudut pandang dan cara mengartikannya jauh berbeda. Kondisi ini

jelas terefleksikan atau bahkan termanifestasikan dalam bentuk gerakan yang

mereka lakukan.

Kedua pesantren ini merujuk pada ayat Al Quran yang mengatakan bahwa

sesungguhnya, manusia dilarang melakukan perusakan setelah Allah SWT

menciptakannya. Selain itu, jargon umum yang banyak diterapkan di pesantren

seperti kebersihan itu menjadi bagian dari Iman juga berlaku di dua pesantren ini.

Pesantren Al Amin, seperti terefleksikan dari Kyai Basith yang menjelaskan

bahwa sesungguhnya kerangka dasar teologi yang terbangun di pesantren Al

Amin adalah upaya untuk menjalankan tiga hubungan transenden. Hubungan yang

pertama adalah hubungan dengan pencipta, hablu mina Allah. Hubungan yang

kedua adalah hubungan dengan manusia, hablu mina an naas. Dan hubungan

yang ketiga adalah hubungan dengan alam, hablu mina al alam. Hubungan ketiga

inilah yang menjadi kunci dari implementasi gerakan ekologi yang dilakukan oleh

pesantren. Ketiga hubungan ini merupakan terobosan pandangan kyai dari

pandangan konvensional selama ini yang hanya mendudukkan relasi manusia

hanya pada dua hal yaitu hubungan dengan Allah serta hubungan dengan sesama

manusia. Pandangan seperti ini tergambar dalam pernyataan Kyai sebagai berikut:

“…Kadang-kadang kita ini suka lupa, didalam hubungan yang disebut

Hablu mina Allah, Hablu mina An-nas. Orang berhubungan dengan Allah,

itu sering. Mungkin dalam satu hari itu lima kali, dengan ditambah

malamnya mungkin, sering sekali. Kedua, Hablu mina An-Nas, manusia

hubungan dengan manusia, dengan kemasyarakatan, cara jual beli, itu

hablu mina an-nas. Cuma agak dilalaikan selama ini itu Hablu mina al-

alam. Padahal kita ini sepertinya dari alam ini tidak ada apa-apanya,

justru kita ini hidup dari alam…”

Ajengan juga menyadari bahwa sesungguhnya problem lingkungan yang

muncul belakangan merupakan akibat dari sifat dan tangan manusia yang tidak

bisa menjaga amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu,

dorongan untuk merubah diri dengan tindakan konkrit dengan cara menanam

56

menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Pandangan ini terlihat dari pernyataan

Kyai berikut:

“…Didalam Al-Quran diterangkan, dzoharo al fasaad fi al barri wa al

bahri bima kasabat aidi an naas. Kerusakan lautan dan daratan itu

sebetulnya dengan ulah-ulah manusia. Halaman atau gunung yang gundul,

itulah manusia. Mungkin yang akan menjadi kerusakan-kerusakan yang ada

di lautan. Cuma, kalau di darat sudah rusak, lalu (laut) ikut-ikutan.

Buktinya, kekurangan oksigen saja, kutub bisa mencair. Makanya, hablu

mina al alam ini harus di tonjolkan. Insya Allah kalau kita sudah

melakukan dengan cara menyuruh nanam, kita harus menanam dahulu.

Insya Allah masyarakat akan ikut.

Kami menghimbau kepada pemuda, ikut dengan hablu mina al alam

tersebut dengan cara menanam. Yuk, kita sama-sama bershadaqah oksigen

untuk siapa? Untuk kita. Kita ini kalau hanya ingin rajin saja, menanam.

Dulu kalau tidak salah, setiap orang yang nikah itu diwajibkan menanam

dua (pohon) didepan rumahnya itu. Kelapa kek, atau apa saja. Sekarang,

saya kira sudah tidak ada seperti itu. Nah, itu akan lebih bagus. Kenapa

maksudnya? Hablu mina al alam ini justru kita harus dihimbau terhadap

masyarakat sekarang.

Allah SWT didalam Al-Qur‟an mengatakan, wama min daabbatin fi al ard

illa „ala Allahi rizquha. Sebetulnya, Allah itu sudah menanggungjawab

terhadap rizqi semua hambanya. Apa yang disebut rizqi itu? Sesuatu yang

masuk ke dalam perut. Itu rizqi namanya. Yang dicari ini bukan rizqi

sebetulnya, lebihnya, yang disebut apa? Milik. Kita jangan merasa diri

kekuatan kita diri. Kita banyak uang, kita punya tenaga yang baik, itu tetap

kita harus berhadapan dengan Allah SWT yang diharuskan orang itu harus

memohon kepada Allah SWT setiap malam (tahajjud – HK), sesuai Al-

Quran mengatakan “ud‟uuni astadjib lakum”. Berdoalah kamu, Aku yang

akan mengabulkan. Diantaranya rohaniahnya, rohaninya kita meminta

kepada Allah SWT, jadi kita harus bekerja keras, mau tidak mau. Didalam

Al-Quran disebutkan “inna ma‟a al usri yusro”. Orang tidak akan senang

kalau sebelum apa dulu? Repot dulu, bekerja dulu. Orang tidak akan

langsung memakan apa, nasi kalau tidak menanam dahulu. Tetap semua

juga harus ada proses…”

Konstruksi teologis yang terbangun di pesantren Al Amin ini

memperlihatkan pergeseran dalam mendudukkan alam seperti tergambar dalam

tafsir Kyai atas hubungan diatas. Dalam perspektif Islam, etika atas lingkungan

seperti yang digambarkan oleh Abedi-Sarvestani dan Shahvali (2008) sebenarnya

mencoba merekonstruksi dua hubungan antara manusia dengan alam yaitu mode

pemeliharaan (nurturing mode) dan mode intervensi (interventionist mode). Abedi

dan Shahvali kemudian menjelaskan bahwa Islam dalam hal relasi antara Tuhan,

57

manusia dan alam memahami bahwa sesungguhnya hubungan tersebut meliputi

kepada tuhan sehingga seluruhnya menjadi terintegrasi.

Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologi Ekologi

Basis teologi yang diperlihatkan oleh kyai diatas memperlihatkan

pergeseran pemaknaan kyai atas alam dari yang sebelumnya hanya dilihat sebagai

makhluk sekunder, dan hanya mengedepankan hubungan manusia dengan

manusia serta manusia dengan Tuhan, kemudian bergeser dan menjadikan alam

sebagai entitas yang sama dengan manusia dan memiliki implikasi teologis

dengan penafsiran hubungan triangulatif antara Tuhan, manusia dan alam.

Landasan teologi lain yang mengemuka adalah konsepsi tentang kutubul

awliaa yang menjadi kerangka dasar untuk menjaga keseimbangan alam. Ketika

kondisi kutub tidak seimbang, maka dipercaya akan muncul berbagai bencana.

Landasan teologi semacam ini merupakan refleksi dari corak pesantren tradisional

semacam Al-Amin. Pendekatan tasawuf menjadi pewarna dari tafsir yang

dilakukan oleh pesantren atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar

pesantren, terutama fenomena kerusakan lingkungan. Ini terlihat dari pernyataan

kyai berikut:

“…Dua tahun belakang, Tahun 2008 atau tahun 2007, saya lihat TV

bahwa kutub sudah mencair, wah kata saya ini bahaya, kalau dalam bahasa

kan kutub itu, kan kutub es itu, padahal itu kutubul aulia, bahasa na kutub

teh naon? pancer, itu kata ahli tata bahasa kalau ulama meninggal dunia

paku dunianya hilang, apalagi kutub, apalagi kutub itu bukan paku lagi.

Kutubul aulia di atas ulama aulia itu, makanya kalau kutubul aulia sudah

tidak ada nah sekarang masih ada Nabi Hidir. Kalau pancernya sudah

tidak ada, otomatis kegoyangan dunia ini akan terjadi seperti kalau kutub

itu, ALLAH menciptakan kutub ini untuk mengikat dunia ini kalau mencair

yah begitulah sudah banjir dimana-mana sekarang udah ketahuan. Pada

saat itu saya mendengar apa sih akibatnya dikarenaka kekurangan oksigen

padahal Indonesia, brazil itu paru-paru dunia. Adanya oksigen itu dari

mana yaitu pohon. Saya harus menanam pohon. Saya lihat di beberapa

kitab, apa sih manfaatnya pohon itu…”

Allah

Alam Manusia

Allah

Alam Manusia

58

Konsepsi lain adalah konsepsi sedekah yang menjadi ciri utama pesantren

ini. Konsepsi sedekah yang digulirkan adalah seperti sedekah oksigen maupun

sedekah kepada makhluk lainnya dengan kepercayaan bahwa seluruh pepohonan

yang ditanam selalu bertasbih kepada Allah SWT. Konsepsi sedekah seperti yang

dijelaskan pada bab sebelumnya, terutama seperti yang menyangkut khomtsah

atsnaf tampaknya menjadi basis dari upaya reflektif yang dilakukan oleh kyai.

Oleh karena itu, konsepsi yang muncul, yang menjadi basis gerakan ekologi

adalah sedekah (shodaqoh) yang mencakup sedekah kepada hewan melalui daun

yang ditanam sehingga menjadi salah satu sumber pangan mereka, juga menjadi

sumber hidup. Selain itu, kyai juga memaknai bahwa tanaman bukanlah benda

mati yang tidak memiliki tugas dan fungsi apapun di bumi ini. Salah satu tugas,

yang juga merupakan tugas dan kewajiban manusia adalah selalu mengingat dan

berzikir kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kyai memaknai bahwa salah satu

manfaat utama dari menanam adalah memperbanyak kesempatan untuk berzikir

dan bertasbih dengan adanya tanaman tersebut. Hal ini terlihat dalam pernyataan

kyai berikut ini:

“…Malah kadang-kadang saya menjelaskan di luar dari pada orang di

dalam Al-Quran itu ada hablumminallah ada hablumminannas, saya

tambahkan habluminal alam (sambil tertawa) kan ga ada yah kurang. Itu

manfaatnya banyak. Itu shodaqoh yang tidak sengaja, apa

diantaranya:Pertama, daunnya saja kita sedang bershodaqoh kepada

hewan ternak, kambing domba. Kedua, kita lihat lagi kita itu sedang

bershodaqoh terhadap burung, satu tempat untuk burung yang kedua

adalah untuk makanan burung karena pada pepohonan itu hidup ulat, biji.

Ketiga, menahan arus banjir, banjir bandang. Keempat, Kita bershodaqoh

air karena di bawah pepohonan itu kan ada air karena dalam pepohonan

itu berfungsi menyimpan air, apabila waktu hujan dia simpan apabila

waktu kemarau dia itu buka sendiri. Kelima itu bertasbih, pohon itu

membaca tasbih (membaca surah atau hadist) tiada mahluk yang ada di

muka bumi ini semua itu bertasbih, kodok itu bertasbih dengan suaranya

kokokok, kambing. Saya tersentuh pada waktu itu, karena kita ini malas

bertasbih maka kita menyuruh pohon untuk bertasbih dengan menanam

pohon tersebut. Yang paling celaka itu bertasbih malas nanamnya juga

engga nah itu celaka. Keenam, yaitu oksigen kita ini bershodaqoh oksigen.

Kata ilmu peneliti kalau ada pohon 80 cm itu akan menyimpan oksigen

kalau di rumah sakit 2 tabung, berapa tuh harganya sebab kita kan ada

CO2 dari mulut termasuk racun, terus dari mobil, knalpot mobil, motor,

pabrik. itu kan CO2 akan diserap oleh pohon diolah oleh pohon nanti

59

keluarnya oksigen, kita tidak sadar, kita punya racun juga kan racunnya

hawa keluar racun kita akan menghisap oksigen

Kalau seandainya CO2nya terlalu banyak untuk menyangkutkan O2 nya

tidak ada nah itu akan timbal balik CO2 nya keluar dan tidak ada tempat

yang mengolah maka akan balik dihisap oleh kita makanya pada saat ini

penyakit kebanyakan itu adalah penyakit pernafasan. Terus kalau diisap

lagi oleh kita mungkin karena penyakit, iya kan? terus naik ke atas yang

akan merusak atmosfer yang merusak bintik bintik hujan. Mungkin suatu

saat nanti kalau ada batu jatuh dari planet yang besarnya sebesar rumah

maka akan jatuh sebesar itu lagi.

Sekarang kan masih dibakar dulu oleh atmosfer, dibakar dulu makanya di

jawa itu ada ponari yang mendapat batu kecil itu kan dari angkasa

sebetulnya dari sana pecahan-pecahan dari planet.Ceuk urang mah gelap

kang, kan aya tah batu gelap kang disananya mah itu besar tetapi sudah

dibakar oleh atmosfir bolong nah kalau tidak ada atmosfher mungkin kalau

itu akan datang dari sana itu akan rusak.

Itu diantara oksigen, dengan kurangnya oksigen nah itu kutub kan

akibatnya menjadi mencair akibat global panas. saya lebih ngeri lagi

kemaren kemaren kan ada gunung es belah sekarang menuju Australia,

makanya lamunan saya waktu saya di Mekkah rame rame ada kiamat di

Indonesia katanya 2012, isu kan? itu bukan kiamat sebenernya tapi dengan

mencairnya gunung es, permukaan laut akan naik 6-7 meter maka Jakarta

akan lebih dulu makanya kalau rumah di Jakarta harus pindah yah harus

punya rumah di desa.

Sekarang kan permukaan laut, sudah tidak hujan tidak apa, udah 2 meter,

sumatera termasuk jawa, nelayan nelayan sudah bingung mencari ikan

dikarenakan arusnya besar. Itu akibat kekurangan oksigen…”

Selain konstruksi teologis yang telah dipaparkan diatas, baik menyangkut

hubungan dengan alam, fungsi sedekah serta kedudukan tanaman yang juga

bertasbih, kyai juga mengkonstruksikan permasalahan fundamental yang

menghinggapi masyarakat disekitarnya. Salah satu problem terbesar dari

masyarakat adalah problematika ekonomi yaitu karena terbatasnya akses terhadap

sumberdaya sehingga tidak terbuka ruang mereka untuk berdaya. Oleh karena itu,

meskipun basis teologis melingkupi gerakan ekologi di pesantren Al Amin, tetapi

kyai juga mengintrodusir pendekatan ekonomi kepada masyarakat guna menarik

simpati masyarakat sehingga tergerak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kyai

juga mengkonseptualisasikan manfaat ekonomi tersebut untuk jangka pendek,

jangka menengah serta jangka panjang. Solusi semacam ini tergambar dari

pemaparan kyai berikut ini:

60

“… Manfaat terakhir adalah ekonomi, kenapa disebut ekonomi, pohon itu,

sebab sekarang itu orang bisanya nebang tapi nanamnya tidak. Ada. Yang

nanam sepuluh orang yang nebang seratus orang. Nah sekarang sengon itu,

kenapa saya ikut sengon padahal ada jenis pepohonan yang lain banyak.

Tetapi kita melihatnya kehidupan itu ada tiga versi, yakni ada jangka

pendek ada jangka menengah ada jangka panjang.

Jangka pendek itu nanamnya tumpang sari, jagung, pepaya, ubi, sayur

mayur. Jangka menengah itu termasuk kita nanam sengon, jabon, suren, itu

diantaranya. Kalau jangka panjangnya itu mahoni, jati, terus rasamala dan

lain lain, itu dua puluh tahun ke atas.

Kenapa saya memilih sengon sebab kalau saya memilih jati, masyarakat

tidak akan ikut karena 20 tahun keburu mati, akhirnya kesanakan, ah

keburu mati. kalau sengon itu 5 tahun dan kita bisa produksi kayu dan

waktunya sedikit lah. Pada waktu itu saya menanam 30 ribu pohon sewa 12

hektar sekarang sudah 2 tahun lumayan juga sudah besar. Apa sebab

sengon itu kalau 5 tahun jeleknya 1 pohon seratus ribu kalau punya 30 ribu

3 milyar, itu jeleknya. Malam ada tukang kayu dari bogor kalau sengon

gelondongan ukuran 3 meter 750 ribu. Sebab kalau 5 tahun itu satu

kubiknya itu paling 5 pohon kalau dijual per gelondongan itu 700ribu.

Belum dahannya, dahannya bisa dijual untuk bahan bakar ke pabrik

pabrik250 sampai 300 perak per kilo. Terus daunnya itu manfaat buat

pakan kambing dan akan menjadi pupuk. Dan istimewanya lagi kalau sudah

ditebang bawahnya tunas akan timbul lagi ini yang akan lebih cepat lagi

pertumbuhannya, makanya kalau ingin kaya maka menanamlah tapi lima

tahun…”

Pilihan untuk mengintrodusir manfaat ekonomi ini bukan tanpa alasan.

Menurutnya, meskipun problematika mendasar terletak pada kesadaran untuk

memahami pentingnya membangun hubungan alam, tetapi, apabila persoalan

ekonomi tidak terselesaikan, kondisi ini menjadi penghambat dan dapat menjadi

salah satu masalah dalam menjaga kelangsungan gerakan tersebut.

Selain kyai, gerakan yang dilakukan oleh pesantren Al Amin juga

melibatkan aktor lain. Meskipun demikian, aktor yang dimaksud bukanlah santri

maupun khadam. Aktor utama lain yang terlibat dalam gerakan adalah masyarakat

yang terlibat dalam gerakan dan sebagian tergabung dalam kelompok Hejo Daun.

Kelompok ini.

Makna ekologi yang terefleksikan pada masyarakat dapat dilihat dari

individu maupun kelompok tani. Petani secara umum memahami kompleksitas

masalah ekologi yang terjadi di daerah tersebut setelah menyaksikan kondisi

gundulnya gunung disekitar lokasi tinggalnya. Kondisi yang terjadi seperti yang

digambarkan oleh salah satu informan sebagai berikut:

61

“…Kalau disini biasanya yang ada itu kuli tani. Kalau petani asli itu ya

punya lahan dan punya modal. Pas musim kemarau kemarin, yang

namanya petani itu sangat membutuhkan air, apalagi untuk mengairi

sawah. Sayur mayur juga tetap tidak bisa jalan kalau tidak ada air. Nah,

baru aja satu sampai dua bulan kemarau air sumur kita sudah pada kering.

Mulai dari situlah terbuka. Akhirnya kita pergi ke gunung. Ternyata

gunung-gunung di Cidahu ini, mungkin bisa dibilang sekitar 40 persen

gundul. Setahu saya gundulnya itu karena tidak ada penanaman kembali

setelah ditanam. Maksudnya, kalau hutan itu kan ada hutan lindung dan

hutan produksi. Nah, hutan produksi itu dahulu dikelola oleh Perum

Perhutani. Setelah penebangan, bukan tidak ditanam (lagi), tetapi tidak

diurus. Makanya berlomba dengan rumput. Akhirnya karena kalah dengan

rumput, ya tanamannya mati. Ada sedikit yang tumbuh, tetapi justru kena

penebangan liar…”

Melalui interaksi antara kyai dengan masyarakat, proses transfer pemaknaan

atas problematika lingkungan serta konstruksi teologis yang dimiliki oleh kyai

kemudian di diseminasikan melalui forum pengajian yang dilakukan oleh

masyarakat pada umumnya. Disinilah makna teologi ekologi ditransfer kepada

masyarakat sesuai dengan pemaknaan yang dilakukan oleh kyai. Proses ini

sebagaimana digambarkan oleh pernyataan informan berikut ini:

“…Pertama kita dalam pengajian, kan kalau ini diperlukannya segera, jadi

kalau anak-anak santri majelis taklim, nanti kita tahap kedua. Untuk tahap

pertama itu pengajian bapak-bapak malam mingguan. Itu saya masukin, ya

seperti itu tadi, program penyampaian Abuya kita sampaikan juga, dari

mulai hablu mina Allah, hablu mina an naas, ternyata dibutuhkan juga

hablu mina al alam. Ya seperti itu tadi, untuk ekonomi dibuat paling ujung.

Selain itu karena memang kondisi alam sudah seperti ini…”

Potret yang serupa atas makna ekologi yang terbangun dalam gerakan yang

di lakukan pesantren Al Amin juga tergambar dari pernyatan informan berikut ini:

“…Kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan niat kita ibadah, ada

nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon menghasilkan oksigen itu hingga

dewasa menghasilkan oksigen hingga dua orang. Dengan alam lain,

dengan burung menghasilkan makanan, tempat berlindung, dengan tanah

bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu diterangkan, masyarakat mau

dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan ekonomi, nah kebutuhan mereka itu

tidak hanya dengan ibadah saja, apalagi diterima dengan kondisi keimanan

seperti tadi mereka tidak begitu saja menerima, dengan jarak satu hingga

lima tahun…”

Kondisi ini memperlihatkan, sebenarnya, potret pemaknaan ekologi yang

dilakukan oleh aktor di pesantren Al Amin bergantung pada proses pemaknaan

yang terjadi pada diri kyai. Artinya, refleksi individual kyai atas makna ekologi

62

akan menjadi landasan dan pijakan teologis mereka yang berada dibawahnya,

baik murid maupun masyarakat yang terlibat dalam gerakan tersebut.

Lain halnya dengan pesantren Daarul Ulum Lido yang membangun

kerangka teologi gerakannya pada konsepsi Fiqh Al-Bī‟ah di dunia pesantren.

Konsepsi ini merupakan turunan dari filosofi dasar pesantren yang menjelaskan

bahwa pesantren berupaya “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi

baru yang lebih baik” serta filosofi “ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang

tingkah laku, dan pekerjaan yang paling utama adalah menjaga tingkah laku”.

Filosofi ini mendorong adanya pertanggungjawaban manusia sebagai

khalifah yang bertugas menjaga kesinambungan hidup baik manusia maupun alam

tempatnya tinggal. Selain itu, pesantren juga mendorong tumbuhnya kecintaan

terhadap makhluk ciptaan yang lain selain manusia, juga sebagai bukti

tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas bumi. Landasan teologi lain adalah

upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam dengan tujuan menjaga

kesinambungan hidup generasi manusia dimasa mendatang.

Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa konstruksi teologis yang

muncul dan mendasari gerakan lingkungan ini berangkat dari sumber utama dan

rujukan kehidupan di pesantren yaitu Al Quran. Kyai di pesantren ini, yaitu Ust.

Yani melakukan konstruksi individual atas makna ekologi dengan paparan yang

sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang di paparkan oleh Kya Basith.

Kyai di pesantren ini juga mendorong perluasan hubungan transenden yang tidak

lagi hanya antara manusia dengan manusia serta manusia dengan Sang Pencipta,

tetapi kemudian meluas menjadi hubungan dengan alam. Ini tergambar dari

pernyataan kyai sebagai berikut:

“…Pertama, memang konsep Islam itu kita memiliki hubungan vertikal

dengan Allah SWT, hubungan horizontal dengan manusia dan ada

hubungan diagonal dengan alam. Secara normatif, ayat-ayat yang

memerintahkan kita untuk memelihara alam banyak, mulai dari dzoharo al

fasaadu fi al barri, walaa tufsidu fi al ardi dan macam-macam lainnya. Itu

secara normatif...”

Tidak hanya masalah perluasan hubungan yang menjadi perhatian utama

kyai, tetapi tanggungjawab manusia sebagai khalifah menjadi salah satu perhatian

utamanya. Manusia memiliki tanggungjawab untuk selalu menjaga lingkungan

63

serta mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk tidak membuat kerusakan

diatas muka bumi. Selain itu, hubungan mutualistik serta interdependensi juga

tergambar antara manusia dengan alam sehingga peran masing-masing menjadi

sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup keduanya.

Makna ekologi lainnya, dan menjadi sangat fundamental adalah ungkapan

bahwa kondisi lingkungan menggambarkan kondisi keimanan seseorang. Pada

titik inilah kemudian, praktik-praktik pemeliharaan lingkungan mencerminkan

kondisi teologi seseorang. Kondisi ini dimaknai kyai sebagai kondisi refleksi

keimanan yang merupakan potret dari seberapa dalam seorang manusia memaknai

titah Pencipta serta Rasulnya, khususnya dalam menjaga lingkungan. Dalam

konteks ini pula, tujuan utama kyai adalah berupaya melakukan penanaman ide

kepada santri untuk memahami esensi dari gerakan ekologi yang dibangun di

pesantren ini. Beberapa alasan pokok yang mendasari kyai tersebut tergambar

dalam pernyataan berikut ini:

“…Alasan pokok, bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari lingkungan

bahkan ada ungkapan yang saya sangat setuju sekali bahwa

“alam/lingkungan bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa

hidup tanpa alam/lingkungan”. Kedua, alasan yang paling penting adalah

menjaga lingkungan itu adalah cermin dari kemampuan seorang muslim

dalam menjaga hati. Karena kepedulian kepada lingkungan itu bukan

berhubungan dengan otak, tetapi hati. Walaupun otaknya bagus, tetapi

hatinya belum menerima ya tidak bisa. Nah, ketika berbicara hati,

sebetulnya kita sedang berbicara dengan iman masing-masing orang. itulah

sebabnya ketika kita mendorong orang untuk memperbaiki lingkunan pada

dasarnya kita sedang mendorong dia untuk memperbaiki hati dan imannya.

Itulah sebabnya kemudian Rasul mengatakan “annadzofatu min al iman”,

kebersihan sebagian dari iman. Karena memang kaitannya dengan hati.

Jadi orang yang peduli dengan yang tidak peduli itu tidak ada kaitannya

dengan cerdas atau tidak cerdas. Itu alasan yang paling mendasar bagi

saya kenapa santri di dorong untuk peduli lingkungan walaupun pada

praktiknya, menjadikan mereka terlibat itu tidak mudah. Butuh dorongan,

butuh pengertian dsb. Tetapi yang paling penting adalah sudah terdapat

untuk melakukan itu, yang penting itu.

Jadi kedepan itu bagaimana pesantren itu rindang, hijau, nyaman. Nah,

setelah itu, setelah tertanam konsep-konsep lingkungan pada diri mereka,

maka harapan terkahir pesantren ini pada diri mereka-mereka itu adalah

bagaimana kemudian mereka itu memiliki kepedulian yang sama nantinya

ketika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing. Sebab,

kepedulian itu tidak tumbuh sekonyong-konyong, tetapi harus

ditanamkan…”

64

Makna lain yang dikemukakan oleh kyai adalah sifat kasih sayang. Sifat ini

merupakan sifat yang penting untuk selalu memperlakukan alam sebagai bagian

dari dirinya. Kedua cerita yang diungkapkan oleh kyai dibawah ini menjadi potret

bagaimana nilai kasih sayang yang coba ditanamkan oleh kyai serta implikasinya,

terutama di hari akhir kelak. Selain itu, kyai juga melakukan revolusi penafsiran

atas konsepsi haji dalam konteks lingkungan. Haji yang selama ini hanya

dipahami sebagai ritus tahunan ummat Islam dengan berbagai tahapan

didalamnya, seringkali tidak dimaknai secara mendalam dan hanya bertumpu pada

beberapa ritual seperti tawaf, wukuf dan lainnya. Titik perhatian kyai yang melihat

bahwa konsepsi larangan mencederai, melukai ataupun membunuh dalam suatu

tahapan ritus haji menjadi penggambaran yang sangat imajinatif dan penuh

dengan makna yang dalam dalam upaya menjaga lingkungan. Menurutnya,

apabila nilai tersebut dipertahankan, dan diaplikasikan dalam keseharian manusia

– setelah kembali ke tanah air – maka, suatu keniscayaan bahwa alam akan selalu

diperlakukan dengan sangat baik dan adil. Ini tergambar secara jelas dalam

pernyataan kyai berikut ini:

“…Sifat kasih sayang itu adalah sifat yang harus ditularkan kepada

makhluk tuhan, bukan hanya sebatas pada manusia. Kita mengajarkan

kepada anak bahwa salah satu yang sering kita ungkap ada dua kisah yg

beredar di Pesantren.

Kisah pertama, yang sering di gembar gemborkan adalah kisah tentang

Pelacur yang masuk surga hanya karena menolong Anjing.

Kisah yang lain, adalah bagaimana seorang ulama meninggal dunia.

Kemudian temannya bermimpi bahwa dia masuk surga bukan karena rajin

ibadah/shalat dsb, tetapi karena ketika dia berjalan dalam suatu gang, dia

melihat ada seorang anak muda yang sedang mempermainkan burung

hingga akan mati kemudian dia beli dan diterbangkannya (dilepaskan).

Yang kedua yang sering kita tanamkan, dalam salah satu rukun Islam yaitu

berhaji, dalam proses berhaji itu ada pelajaran yang sangat berharga,

yaitu saat berihram, dimana manusia semuanya sama dan pada posisi yang

hina. Salah satu larangan dalam berihram itu merusak tanaman, kita

memetik pohon saja kita kena dam (sangsi), apalagi membunuh merpati

disekitar Masjid Al Haram. Islam itu begitu mengagungkan tentang

bagaimana mestinya manusia itu memelihara alam, Cuma memang

seringkali beberapa orang analisa Fiqihnya hanya sampai Bab Tharah

(bersuci). Padahal kalau kita kaji seluruh kitab Fiqih dalam Islam itu

dimulai dari Kitab Thaharah. Bab pertama yang dibaca tentang air.

Sebenarnya kalau kita bicara air itu bukan hanya tentang berwudhu, tetapi

harusnya dari A sampai Z. Mestinya seperti itu Islam itu. Jadi ulama dulu

itu sudah menjadikan air sebagai bahasan pertama dalam Fiqih karena

65

fiqih itu ilmu tentang perilaku, baik perilaku kepada Tuhan, manusia

maupun alam. Karena dalam fiqih itu ada bab tentang jual beli dan

lainnya. Itu sebenarnya sudah cukup kalau kita betul-betul. Jadi kalau

konsepsi Islam menjadikan air sebagai bab paling awal menjadi sangat

fundamental dan sangat signifikan dijadikan sebagai alasan kenapa

manusia harus memperhatikan lingkungan dan alam sekitar. Cuma

masalahnya, terkadang sebagian ulama misalnya menetapkan wudhu

menggunakan air sebanyak dua kullah, ini menjadi pertanyaan, kenapa

tidak satu? Sehingga perlu ditopang oleh kajian ilmu modern. Tetapi yang

jelas konsep dasar seperti itu dan tinggal pengembangannya…”

Dalam paparan diatas juga, kyai memperlihatkan bagaimana seharusnya

dilakukan pemaknaan lebih mendalam atas fikih sehingga tidak hanya menjadi

pengetahuan yang bersifat ritualistik, tetapi lebih pada makna transenden yang

lebih bersifat universal. Perhatian kepada bab awal kitab-kitab fikih yang coba

dikontekstualisasikan pada hal lain sererti lingkungan, dan tidak sebatas urusan

berwudlu memperlihatkan kondisi demikian. Dari sudut pandang perluasan

hukum juga dimaknai oleh salah satu aktor di pesantren sebagaimana terlihat

dalam penyataan berikut;

“…Konsep ekologi dalam Islam itu harusnya menjadi wajib. Bukan hanya

Tauhid yang wajib kita imani atau shalat lima waktu yang wajib kita

lakukan, tetapi menjaga lingkungan juga hukumnya wajib. Sebenarnya

lingkungan juga termasuk amanah yang harus kita jaga kelestariannya.

Jadi saya katakan itu wajib...”

Kondisi semacam diatas memperlihatkan bagaimana ekologi telah coba

ditafsirkan dan dikontekstualisasikan melalui teropong teologi. Berbagai

problematika yang terjadi belakangan maupun sudut pandang dalam melihat

problematika tersebut selalu dikaitkan dengan fundamen teologis yang dipercayai

oleh kyai maupun aktor lain dalam pesantren tersebut.

Namun demikian, penting untuk dilihat bagaimana pandangan aktor lain

yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini. Santri yang merupakan salah

satu aktor kunci dalam pesantren dan gerakan ekologi khususnya menjadi penting

untuk digali, terutama bagaimana mereka memaknai ekologi dalam kerangka pikir

mereka sendiri.

Ekologi secara sederhana dimaknai oleh santri sebatas lingkungan tempat

tinggal mereka saja. Lingkungan yang mereka pahami inipun dimaknai berbeda

66

dalam konteks kultural dan teritorial. Santri berpandangan bahwa lingkungan

pesantren merupakan suatu teritori yang memiliki kekhasan karena terjaga dari

lingkungan diluar pesantren. Seperti pernyataan informan berikut ini:

“…Lingkungan di pesantren lebih terjaga karena tidak ada kendaraan lalu

lalang di dalam pesantren sehingga udara menjadi lebih sehat dan tidak

ada polusi. Lingkungan di pesantren itu berbeda dengan lingkungan diluar,

lingkungan di pesantren itu lebih mudah menjaga karena santri atau siswa

yang ada di pesantren itu bisa mempunyai disiplin. Berbeda dengan anak

diluar. Kalau anak diluar itu asal main corat coret, terus terkadang

menyebabkan pohon rusak. Untuk membuang sampah, bisa dilihat

perbedaannya dalam hal kebersihan antara di pesantren dengan diluar.

Yang membedakan yaitu rasa kesadaran siswa itu, yaitu rasa kesadaran

yang didorong karena awalnya dipaksa, kemudian menjadi bisa dan

kemudian menjadi biasa…”

Dalam konteks kepedulian lingkungan, santri juga memiliki pandangan

yang mendalam tentang makna Islam itu sendiri. Islam yang dimaknai sebagai

potret dan landasan hidup yang mengajarkan untuk tidak merusak dan

melestarikan alam sehingga kondisi ini menjadi pijakan santri untuk memahami

bahwa kewajiban mereka untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan

dimuka bumi seperti pernyataan informan berikut ini:

“…Konsepsi lingkungan sebenarnya banyak, sebagai contoh “walaa

tufsidu fi al ardh”, janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi. Ayat itu

sudah menjadi dasar dan pondasi yang mengatakan bahwa Islam itu bukan

perusak alam, islam itu orang yang suka dengan alam dan mencintai alam.

Jadi itu sudah dikenal dalam Al-Quran. Masih banyak juga ayat-ayat lain

yang membahas tentang bagaimana sebagai muslim melestarikan alam dan

jangan merusak alam…”

Selain konsepsi diatas, konsepsi keimanan seperti yang dikemukakan oleh

kyai di muka, tergambarkan juga oleh salah seorang santri. Santri juga mencirikan

keimanan seorang berkorelasi dengan sikapnya terhadap lingkungan yang dalah

konteks ini adalah pada urusan kebersihan dan kesehatan.

“…sebenarnya untuk lingkungan itu lebih identik dengan kebersihan dan

kesehatan. Disana juga terdapat “annadzofatu min al-iman”. Cerminan

dari iman itu bisa dilihat dari kebersihannya dan bagaimana dia menjaga

dan memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya dan lingkungannya.

Jadi, biasanya orang yang sadar akan lingkungan, orang yang sadar akan

kebersihan memiliki iman yang tinggi…”

67

Pemaknaan lainnya juga diperlihatkan oleh salah seorang Ustadz (guru)

yang juga senada dengan pandangan diatas.

“…klo saya banyak bergerak bukan atas dasar latar belakang saya sebagai

aktivis dibidang lingkungan, tapi sebagai dorongan hati, sekaligus kita

punya tanggung jawab moral dipesantren itu, harus berdiri paling depan

berbicara masalah lingkungan, mungkin saya punya dasarnya disitu aja.

Tentu lingkungan ini cukup besar juga cakupannya. Terutama tentang

kebersihan, kesehatan saya fikir menjadi satu pokok di pesantren ini,

sehingga pesantren mempunyai slogan “annazofatul minal iman”.

Itu barangkali sudah familiar ditelinga siapapun, tetapi kenapa bgitu sulit

untuk mengimplementasikan, mengaplikasikannya sulitlah. Berangkat dari

situ saya pribadi ini hanya sebagai dorongan moral, mungkin saya banyak

bergerak sekaligus juga menanamkan kepada anak-anak (santri) bahwa

hidup bersih itu bukan sekedar slogan-slogan belaka, tapi bagaimana kita

harus terapkan, mungkin pesantren adalah satu caranya untuk

menjawab…”

Paparan diatas memperlihatkan bagaimana para aktor baik di dalam

pesantren maupun di luar pesantren yang terlibat dalam gerakan ekologi

melakukan pemaknaan berdasarkan beberapa faktor. Faktor kultural menjadi salah

satu faktor yang utama karena kultur yang terbangun di pesantren tersebut

menjadi sangat berpengaruh terhadap proses pemaknaan yang dilakukan oleh

aktor-aktor tersebut.

Selain itu, faktor kepemimpinan dan pola pendidikan di pesantren menjadi

faktor lainnya. Tafsir yang dilakukan oleh kyai di maknai menjadi tafsir tunggal

dan menjadi pemahaman umum bagi mereka yang terlibat dalam gerakan

pesantren, seperti yang terjadi di pesantren Al Amin. Oleh karena itu, kyai

kemudian merumuskan solusi yang tidak hanya bersifat idealistik yang bertumpu

pada pemahaman teologis saja, tetapi memperluas pada solusi praktis seperti

pemanfaatan dari sisi ekonomi. Interpretasi yang dilakukan oleh kedua pesantren

tersebut juga mencirikan dua konstruksi teologi ekologi yang berbeda. Pesantren

Al Amin memperlihatkan upaya membangun interpretasi ekologi keseimbangan

dan pesantren Daarul Ulum Lido memperlihatkan upaya membangun interpretasi

ekologi lingkungan.

VI. MANIFESTASI GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN: REFLEKSI

INDIVIDUAL ATAU INDUKSI AKTOR LUAR?

6.1. Forma Gerakan Ekologi di Pesantren

Gerakan ekologi adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring yang luas

antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi

bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan-

keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Dalam konteks ini, forma gerakan

ekologi yang berlangsung di kedua pesantren ini merupakan bentuk suatu gerakan

sosial yang juga merupakan gerakan aksi bersama yang bertujuan mendapatkan

keuntungan baik dari sisi ekologi atau lingkungan maupun dari sisi ekonomi

dengan kerangka bangun yang mendasari adalah teologi Islam seperti yang

dipaparkan pada bab sebelumnya.

Selain itu, kerangka gerakan yang dilakukan kedua pesantren ini juga

merujuk pada pandangan Bell (2004) yang meletakkan pemecahan masalah

ekologi pada dialog ekologis yang melibatkan dua komponen yaitu komponen

material dan komponen ideal. Berangkat dari dua komponen tersebut, kemudian

dapat dilihat bagaimana upaya praktis yang dapat dilakukan sebagai upaya

memahami hubungan manusia secara individu dan kelompok dengan lingkungan.

6.1.1. Kelompok Tani Hejo Daun: Suatu Upaya Pemberdayaan Masyarakat

Gerakan lingkungan yang berbasis pada institusi yang bercorak agama

semacam pesantren memang belum terlalu banyak terpublikasikan secara luas.

Kesimpulan ini yang kemudian mengemuka disampaikan oleh Bank Dunia

melalui Country Environmental Analysis yang diterbitkan pada tahun 2009.

Dalam laporan tersebut disebutkan sebagai berikut:

"...religious institutions are not traditionally known to play a role in

representing public aspirations or forming public opinion in the

environment1...“

Padahal, sejatinya gerakan tersebut telah berlangsung dalam kurun waktu

yang cukup lama. Beberapa pesantren pada tahun 1980an telah melakukan

1 Dalam laporan ini, World Bank mengakui bahwa tidak banyak penelitian atapun survei yang

dilakukan untuk mendalami munculnya gerakan ini. World Bank memotret gerakan ekologi yang

dilakukan oleh institusi agama melalui metode literatur dan wawancara kepada beberapa informan.

69

berbagai macam gerakan, meskipun tidak secara spesifik dalam mengatasi

problematika lingkungan, tetapi upaya pemberdayaan masyarakat terus dilakukan.

Sebagai contoh, pesantren An Nuqayah di Guluk-guluk Madura, pesantren

Pabelan di Magelang, dan sebagainya.

Seiring dengan semakin menyeruaknya berbagai problematika lingkungan,

Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia kemudian

pada tahun 2007 membentuk suatu gerakan yang bernama Gerakan Nasional

Kehutanan dan Lingkungan (GNKL). Gerakan ini kemudian meluas secara

bertahap dari mulai Jawa Tengah, Jawa Timur kemudian Jawa Barat. Hingga saat

ini, gerakan ini telah menjadi gerakan nasional dan terus menyebar ke seluruh

Indonesia.2

Salah satu mitra dari gerakan tersebut adalah pesantren Al Amin. Saat itu,

posisi KH. Abdul Basith yang juga merupakan ketua PCNU Kabupaten Sukabumi

ikut berperan dalam mendorong pelaksanaan program GNKL tersebut. Beberapa

bantuan berupa bibit pohon, didistribusikan kepada beberapa pondok pesantren di

sekitar Sukabumi. Salah satu kegiatan yang kemudian bersanding berbarengan

antara pesantren Al Amin dengan GNKL adalah forum bahsul matsaail atau

semacam forum diskusi yang membahas berbagai permasalahan seperti masalah

lingkungan. Berikut pernyataan salah satu informan tentang kegiatan tersebut:

“…Sebenarnya diawali dengan program kita, pesantren konservasi itu.

GNKL PBNU punya satu misi yaitu mengenai lingkungan dan salah

satunya itu konservasi. Kebetulan ketemu dengan kita, kita juga satu misi.

Jadi di pertemuan tersebut, beberapa item kita bahas…”

Potret gerakan di pesantren Al Amin yang sebenarnya sudah berlangsung

sebelum persinggungan dengan GNKL terebut sebenarnya terlihat dari

karakteristik kyai yang memang memiliki pandangan yang merakyat dan berusaha

membangun program-program yang memiliki manfaat untuk masyarakat. Salah

satu potret kegiatan diluar kegiatan lingkungan yang dilakukan oleh Kyai Abdul

Basith antara lain:

2 Untuk lebih jelasnya, potret kegiatan GNKL-PBNU ini selalu terekam di www.nu.or.id

70

PCNU Sukabumi Adakan Program Bagi-Bagi Takjil Gratis

Sukabumi - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten

Sukabumi mengadakan program bagi-bagi takjil (menu berbuka puasa)

secara gratis di empat kecamatan di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.

Program yang secara khusus diadakan pada bulan suci Ramadhan ini

dimaksudkan selain sebagai bukti kepedulian PCNU terhadap masyarakat

sekitar dan para musyafir (orang yang dalam perjalanan), program ini juga

punya arti penting, yaitu sebagai bentuk pendekatan kepada Nahdliyin

(sebutan warga NU).

"Program ini terselenggara murni dari PCNU (Sukabumi) sebagai bukti

kepedulian NU terhadap warga sekitar and para musyafir juga sebagai

pendekatan kepada para Nahdliyin," kata Ketua PCNU Kab. Sukabumi, KH

Abdul Basith belum lama ini.

Selain memberikan paket takjil, PCNU juga membagikan buku saku

"Ahlussunnah wal Jama'ah, Sejarah & Perkembangannya serta Sebab

Timbulnya Firqoh-Firqoh Lainnya."

Menurut Koordinator Wilayah Cicurug, Mumuh Muhtar, setidaknya setiap

harinya tidak kurang dari 200 paket dibagikan kepada masyarakat dengan

lokasi yang berpindah-pindah. (wil/dar).3

Forma gerakan ekologi yang dilakukan di Pesantren Al Amin sebenarnya

memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi pesantren yang lebih keluar

(eksternal) yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam pesantren,

khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan penanaman

pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar maupun dengan

murid kyai. Kegiatan ekologi ini tidak terkait langsung dengan pesantren secara

sistem. Artinya, tidak ada keterlibatan pesantren Al Amin secara langsung dengan

gerakan ekologi baik atas nama pesantren maupun santri pada umumnya.

Mereka yang terlibat dalam gerakan ini hanyalah sebagian kecil yang

dikomandoi oleh Ajengan Basith. Ini memperlihatkan konsistensi pesantren yang

sedari awal memang memisahkan dengan tegas aktivitas pengajaran agama

didalam pesantren dengan aktivitas diluar pesantren, bahkan kegiatan belajar

mengajar formal baik SMP maupun SMA terpisah dari kegiatan agama, meskipun

dilangsungkan dalam satu kompleks pesantren.

Pesantren Al Amin merupakan salah satu pesantren di Kabupaten Sukabumi

yang dalam setiap tahunnya selalu memiliki aktivitas utama yaitu mengelola

3

Sumber: http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/10125/Warta/PCNU_Sukabumi_Adakan_

Program_Bagi_Bagi_Takjil_Gratis.html, tanggal 30/09/2007

71

pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Pengeolaan ibadah ini tampaknya telah

dilakukan secara turun temurun sehingga terkadang peserta dan jamaah yang

bergabung dalam KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh) Al Amin

ini dapat berjumlah ratusan yang berasal tidak hanya dari Sukabumi, tetapi daerah

lain seperti Bogor, Jakarta, Bekasi, dan lainnya. Kyai Abdul Basith, yang

merupakan pimpinan pesantren Al Amin menjadi salah satu daya tarik kenapa

begitu tingginya animo jamaah untuk ikut bergabung melaksanakan ibadah.

Proses refleksi yang fundamental, yang dialami oleh kyai, berproses dalam

proses ibadah ketika itu, ia melihat bagaimana kerawanan iklim mempengaruhi

keseimbangan alam hingga mencairnya es di kutub. Kejadian ini mendorong

Ajengan melakukan refleksi yang mendalam hingga memunculkan konsepsi

kutubul awliaa. Konsepsi ini menjelaskan bagaimana dunia ini perlu

keseimbangan sehingga perlu dijaga keberadaan masing-masing kutub tersebut.

Salah satu aspek yang penting adalah keseimbangan alam dengan upaya menanam

pohon .

Pola penanaman pohon sengon ini yang pada awalnya diinisiasi oleh

Ajengan Basith setelah kembali dari haji pada tahun 2008. Meskipun demikian,

pola penanaman pohon tidak dilakukan sendiri oleh Ajengan Basith. Ia kemudian

mengajak masyarakat disekitar yang sebagian adalah muridnya untuk ikut serta

dalam kegiatan ini. Dari sinilah, kegiatan yang kemudian belakangan di sebut

sebagai Model Pesantren Konservasi ini mulai menarik perhatian masyarakat.

Model Pesantren Koservasi (MPK) yang dinisbahkan kepada gerakan yang

dilakukan oleh pesantren Al Amin ini tampaknya merupakan model adopsi

dengan apa yang telah diciptakan sebelumnya, seperti Model Desa Konservasi

(MDK) yang dikembangkan oleh Balai Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango

(TNGGP) atau Model Kampung Konservasi (MKK) oleh Balai Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Model pesantren seperti ini merupakan

penamaan yang dilakukan oleh pihak luar pesantren untuk menyebut gerakan

yang dilakukan oleh pesantren ini sejalan dengan konsepsi konservasi. Kombinasi

gerakan yang dilakukan, dilatari oleh pandangan keseimbangan diatas antara

aspek ekonomi dengan aspek ekologi sebagaimana pernyataan berikut ini:

“…model pesantren konservasi ini akan memberi manfaat positif baik dari

sisi ekonomi maupun ekologi bag ipesanren maupun petani dan warga

72

sekitarnya. Model pesantren konservasi merupakan konsep yang unik,

karena menggabungkan tugas mulia menjaga keseimbangan alam dengan

pemberdayaan masyarakat pesantren dan masyarakat desa…”

Pilihan untuk mencari solusi atas berbagai problematika ekologi yang

terjadi di sekitar pesantren Al Amin dilakukan kyai dengan mendasari pada

konsepsi yang ia telaah dari berbagai sumber dan literatur klasik yang terdapat di

pesantren. Hasil pergumulan tersebut kemudian mengarah pada kesimpulan untuk

melakukan tindakan penghijauan yang harus memberikan manfaat berimbang baik

pada alam maupun pada manusia. Kemanfaatan yang dikonseptualisasikan oleh

kyai antara lain adalah (a) menyimpan air dan menahan erosi; (b) menjadi tempat

bernaungnya burung-burung; (c) mengeluarkan oksigen dan menjadi sedekah bagi

individu yang menanam; (d) dedaunan bermanfaat sebagai humus dan makanan

ternak; (e) pepohonan tersebut bertasbih; dan (f) dari segi ekonomi, dapat

membantu meningkatkan ekonomi masyarakat (petani).

Selain menghasilkan rumusan teologis, refleksi yang dilakukan oleh kyai ini

yang juga merupakan pergumulan dari pemahamannya terhadap kondisi

masyarakat sekitar yang membuatnya kemudian merumuskan manfaat dari sisi

ekonomi sebagai pintu masuk memperkenalkan program yang ia usung kepada

masyarakat. Ada dua hal yang mendasari hal ini. Hal pertama adalah tafsir dan

pemahaman kyai atas keprihatinannya terhadap kondisi petani yang selalu

berhadapan dengan tengkulak dan terus di eksploitasi serta selalu dalam posisi

yang dirugikan. Selain itu, dari sisi historis, kyai merasa bahwa dahulu dunia

pertanian dengan kyai tidak bisa dipisahkan. Geertz (1960) bahkan menyebutkan

bahwa posisi status sosial serta ekonomi kyai dimasa itu begitu tinggi karena

memiliki superioritas ekonomi.

“…Itu gini yah, saya ini lagi mengangkat sedikit petani, Sebetulnya saya ini

engga ada akses petani engga ada keturunan lagi. Cuma pertama itu saya

melihat kepada awal kyai itu dulu tani kalau engga tani perikanan itu kyai

yang dari dulu seperti itu dilihat sekarang sudah tidak ada lagi.

Yang kedua, dulu itu yang kaya bukan orang kota tapi orang desa. Haji

hektaran sawahnya kebun, Nah sekarang itu sudah tidak ada, satu kyai

sudah tidak tani lagi apa sebab yang wakafnya sudah tidak ada. Yang

kedua yang tadi itu bahwa apa namanya petani sekarang ini sudah tidak

mau tani itu dikarenakan sudah pada dijual tanahnya yang akhirnya dia

juga garap tanahnya yang punya tanah tersebut. Dia jual tanahnya tapi dia

73

garap lagi tanah itu. Model kan itu. Padahal tanah itu diibaratkan sebagai

modal. Itu alasan saya yah kenapa saya masuk ke petani…”

Upaya pemecahan problem ekologi selain melalui aspek ideal seperti

dipaparkan diatas, juga membutuhkan aspek material serta upaya praktis yang

dilakukan. Aspek material dapat terlihat dari keberadaan kelompok tani Hejo

Daun Al-Amin. Kelompok tani ini merupakan implementasi dari ajaran fikih

lingkungan (fiqh al bi‟ah) yang bertujuan melaksanakan kegiatan konservasi dan

penghijauan dengan model pesantren konservasi. Melalui kegiatan seperti ini,

komunitas pesantren secara umum terlibat secara langsung dalam kegiatan

pelestarian alam, antara lain melalui bebeapa kegiatan semacam gerakan santri

menanam, rumah bibit pesantren, pelatihan membuat pupuk kompos dan organik

serta kampanye peduli lingkungan. Selain itu, sebenarnya aspek material yang

terlihat adalah pilihan untuk menanam pohon seperti dijelaskan diatas melalui

wadah kelompok tani ini.

“…Kita langsung menanam, salah satunya adalah diwilayah ini yang

pertama yaitu Pakopen, dengan tersendiri dan tidak mempunyai nama Hejo

Daun. Kita kumpulkan beberapa kelompok tani, dan penanaman kedua di

Cicurug yaitu di Tenjolaya, kita juga kumpulkan. Ketika itu kita terpikir

bahwa, kita ini ingin menghijaukan, dan ketika itu langsung tersirat ada

satu kata yaitu Hejo Daun. Kita laporkan langsung ke Ajengan (Abuya).

“Buya bagaimana kalau penanaman kita ini, kita namakan Kelompok Tani

Hejo Daun…Ada beberapa kecamatan, hanya kecamatan Cicurug,

Kecamatan Cidahu, kecamatan Ciambar, kecamatan Parung Kuda, dan

mungkin ini termasuk kecamatan Caringin. Dan dari 6 (enam) kecamatan

ini, kita menyebar, kita alokasikan khusus di kecamatan yang ada di

wilayah Kabupaten Sukabumi. Dan seluruhnya Kabupaten Sukabumi ini

terdiri dari 47 kecamatan dalam Kabupaten dan Kota Sukabumi. Pada

waktu itu kita kasih (berikan) pada setiap kecamatan yang didalamnya kita

salurkan ke Pesantren. Dengan nama, atas nama Pesantren. Karena kita,

selain kita mengadakan penghijauan ini, dan kita mempunyai jalur-jalur

pesantren.…”

Rumusan praktis kemudian dibutuhkan untuk kesinambungan ide dan

materi yang mewujud pada dialog ekologis. Rumusan praktis yang dimaksud

adalah sistem pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Pola yang

diperkenalkan oleh kyai Abdul Basith dengan kelompok tani Hejo Daun adalah

melakukan penanaman pohon dengan menggunakan sistem tumpang sari sehingga

74

petani yang membudidayakan sengon ini bisa juga menikmati hasil lain diluar

pohon sengon yang akan dipanen nanti.

“…Ya kalau ingin panjang umur, kalau ngomong lama pengen pendek

umur yah? Ga terlalu lama dong lima tahun itu, saya menjawabnya seperti

itu saja. Justeru kalau ada sesuatu itu kita mengharapkan pada Allah

supaya panjang umur, makanya dalam hadist diterangkan bahwa nanam itu

kalaupun besok akan kiamat disunahkan menanam pohon hari ini padahal

besok hari kiamat.

Terus yang kedua saya pakai sistem, menanamnya, kalau orang lain itu

nanamnya begini. Seseorang punya tanah 1 hektar. Kemudian dia tanam

2.500 pohon. sesudah tanam, setelah itu dibiarkan, paling disuruh yang

punya kebun ke petani, “hey petani tolong jaga yang penting saya minta

jaga sengonnya kalau mau tumpang sari mah silahkan saja”. Itu justru

merugikan masyarakat.

Saya yang disana yang sewa kalau sewa kan 100 persen oleh kita, kita buat

perjanjian dengan petani bahwa petani yang pertama akan diberi 10 persen

dari panen akhir. Disana itu ada 9 orang petani dari 30.000 pohon, yang

5.000 ada yang 2.000 pohon diurus per orang. Kalau dia ngurus 5.000 saja,

hasil semuanya jadi semuanya dia dapat 500 pohon (10 persen). Itu kita

pakai perjanjian. Apa sebab? jangan sampai kita panen “manehna

ngalamot curuk”, kasian kan. Yang kedua, itu tumpang sari itu hadiah aja,

Tumpang sari 2 juta per hektar, mau nanam apa terserah mereka. Sebab

dalam penanaman sengon itu jaraknya 2 x 2 meter dan diantaranya untuk

tumpang sari. Kita kasih modal dan hasilnya untuk dia, sepertinya rugi

yah? padahal tidak. Kalau kita memberi tumpang sari otomatis di

tengahnya akan dia bersihkan. Contoh, untuk menanam jagung, dia tidak

akan minta ke kita, dia bersihkan, dia pupuk terus nanam jagung, sebulan,

2 bulan, 3 bulan. Kita sudah untung tuh pertama. Apa? Kalo dia mupuk

jagung, maka pupuknya ke sengon yang dipinggirnya, yang kedua kita tidak

perlu membersihkan. Coba kalau satu hektar kita bersihkan, kan kalo per 3

bulan harus dibersihkan kebunnya, itu berapa duit kalau dikali sepuluh

orang sudah berapa coba? Panen jagung. otomatis dia bersihkan lagi terus

modalnya ditanamin lagi untuk kedua kali, dipupuk lagi dibersihkan lagi.

Saya yang paling pokoknya 1 tahun saja 3 kali panen kalo sudah tiga kali

panen kan sudah ke atas pokoknya pohon itu yang rawan itu masih balita

itu kalau sudah setahun udah enak engga diurus juga ga masalah. Jadi 2

juta itu untuk membersihkan hakikatnya apa? Lahan selama 1 tahun

padahal dia ga terasa padahal hakikatnya seperti itulah, oh dia senang

gembira.

Yang kedua, saya gaji per pohon itu 100 rupiah tapi yang hidup bukan

yang mati, misalnya dalam 1 hektar saja ada 2.500 pohon itu kali seratus

250 ribu cuman ngasihnya pertiga bulan sekali, bukan satu bulan sekali.

Pas tiga bulan dia akan dating ke kita bukan kita yang datang ke mereka.

Laporan, cuma ada syarat jangan bohong yah, itu aja sebelum seminggu

kesini hitung dulu dong, akan saya bayar per pohon 100, otomatis ada yang

mati dong misalnya yang hidup Cuma 2.300 contoh kita bayar 230 ribu kali

tiga bulan. Itu sampai berapa lama sampai lima tahun? Kalau dalam

75

pikiran kita itu rugi yah, ko belum apa-apa sudah mengeluarkan uang,

justru kita ngangkat petani yah, dari tumpang sarinya mereka ada

keuntungan pas dari panen sengonnya mereka mendapatkan 10 persen dari

hasil.

Meskipun demikian, sistem seperti ini bukan berarti sistem yang beku dan

tidak bisa dimodifikasi dalam pelaksanaan lapangannya. Kondisi sosio

masyarakat sekitar tentu berbeda sehingga masing-masing kelompok dapat

memformulasikan sistem mereka sendiri dengan tetap berprinsip pada aturan dan

rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Kalau di masyarakat masalah tidak ada. Tapi ketika ditawarkan untuk

menanam, mereka tidak mau. Alasannya, pertama karena jarak tanam

hingga masa panen itu sekitar lima tahun. Mereka kan kebutuhannya

mungkin tiap hari kalau begitu yang bisa dihasilkan tiga bulanan atau

seperti singkong sekitar enam bulan. Ya memang untuk pertama tanam

awal bisa dengan tumpang sari. Saya pertama tanam, tumpang sari dengan

ketimun, kemudian diganti dengan jagung. Tetapi setelah satu tahun tidak

bisa karena sudah tinggi. Kalau bisa, kalau masih kuat bisa dengan cabe

rawit atau papaya. Tapi kalau untuk saya biasanya menanam bunga. Nah,

masyarakat komplainnya disisi itu. Kalau komplain masalah lingkungan

tidak ada, tetapi justru bersyukur karena bisa menyerap tenaga kerja. Tidak

ingin menanam itu karena memang jarak tanam yang relatif lama.

Saya disini pertama setiap penggarap kebagian satu pohon itu Rp50. Jadi

misalkan, dari seratus persen, jadi 45 untuk pihak Al Amin dan Aqua

sebagai penanam modal, kemudian 45 untuk penggarap dan untuk yang

punya lahan. Nah yang 45 ini awalnya itu 15 untuk yang penggarap, 30

untuk yang punya lahan. Kemudian penggarap tidak mau kalau seperti itu.

Kenapa 30 karena, 10nya lagi sebenarnya untuk majelis, untuk lingkungan.

Akhirnya, disamakan dengan yang punya lahan dengan konsep fifty-fifty,

karena memang yang cape itu yang menggarap. Tetapi, saya minta untuk

yang Rp50 itu untuk saya, untuk kesana-kemari. Itu yang saya gunakan

disini. Jadi berbeda dengan yang lain. Bagaimana kalau seperti itu? Ok,

mereka setuju. Jadi mereka mengambil dari bagian tersebut. karena saya

jujur tidak mengambil keuntungan, dari sana sekian ya sekian. Kalau dari

sana A, ya kebawah terus A. Cuma saya ambil yang Rp50 perbulan, itu

saya mohon ridhonya karena posisi anda sudah saya rubah dari 15 menjadi

misalkan 50. Ngambilnya dari yang punya tanah, hasil dari kesepakatan.

Ya memang, menurut mereka untuk awal itu hanya Rp50. Tapi kalau kita itu

kan tiga tahun. Ya wajarlah kalau menurut saya karena mereka tidak tahu

apa-apa, tahu terima jadi. Sementara kalau ada complain itu selalu ke

saya. Minimalkan setiap bulan saya keliling kebun mereka untuk control.

76

Pola pemberdayaan semacam ini, yang bertujuan untuk memperbaiki

kehidupan masyarakat (petani) seperti cita-cita kyai sedikit banyaknya telah

memperlihatkan hasil seperti pernyataan berikut:

“…Alhamdulillah saya merawat dari mulai awal. Pertama saya merawat,

tahun 2008 bulan 5 (lima atau Mei – red), sampai sekarang tahun 2009,

bulan 11 (November). Alhamdulillah, sudah menikmati. Secara saya

didukung oleh Abuya, istilahnya dengan petani, dengan rekan-rekan saya

ada 9 (Sembilan) orang disini. Tumbuhnya, Alhamdulillah, hampir 90

persen kalau diwilayah ini karena cocok dengan lahan. Kalau lahan

istilahnya, dari selain semacam wilayah ini, memang saya lihat, kuranglah

istilahnya, kurang bagus. Kalau yang sudah kita laksanakan disini, hampir

70 persen, sampai kita hampir berhasillah istilahnya sekarang…”

Kemudian dalam perjalanannya, kelompok tani Hejo Daun ini memperluas

cakupan gerakannya hingga ke masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS). Taman nasional ini berasal dari kawasan Cagar Alam

Gunung Halimun yang awalnya seluas 40.000 ha. Sejak tahun 1953 kawasan ini

pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional, sesuai dengan SK

Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992. Kemudian,

dalam perjalanannya, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003,

yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan

lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan

kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan

penambahan luas kawasan menjadi 113.357 ha4.

Perluasan kawasan taman nasional ini memiliki dampak yang cukup

signifikan bagi masyarakat disekitarnya. Terutama menyangkut akses untuk

mengelola lahan yang dahulu masih dapat digunakan, kemudian menjadi tertutup

karena penetapan tersebut.

Pesantren Al Amin kemudian mencoba memperluas ide pemberdayaan

masyarakat yang dilakukannya dengan berupaya mendorong terbukanya akses

masyarakat untuk mengelola sebagian wilayah yang termasuk dalam cakupan

wilayah taman nasional. Pesantren Al Amin kemudian bekerjasama dengan PT.

Danone (Aqua Golden Misissipi) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS) untuk menggunakan sebagian areal taman nasional untuk digunakan

4 www.tnhalimun.go.id

77

sebagai areal budidaya bagi masyarakat sekitar tanam nasional yang tergabung

dalam kelompok tani Hejo Daun tersebut. Potret program yang dilakukan seperti

pernyataan salah satu informan dari Aqua sebagai berikut:

“…Kalau ini harus dilihat dalam konteks program jangka panjang.

Program ini adalah program gunung salak lestari, jadi ini dibawah payung

Aqua Lestari, yang tujuannya adalah melestarikan lingkungan dan

memberdayakan masyarakat. Jadi acara ini, dalam konteks program ini

adalah penanaman kedua pada tahun ini (2009). Penanaman pertama

bulan Februari, menanam 37.000 pohon, dan acara ini, kita dalam minggu

yang lalu (kemaren) dan minggu depan, kita akan menanam 70.000 pohon.

40.000 pohon sengon diwilayah hutan produksi yang diluar kawasan

Taman Nasional, terus 30.000 pohon puspa di lokasi ini, areal Al-Amin

bersama mitra-mitranya. Jadi kita punya target bersama-sama setiap

tahunnya menanam 100.000 pohon. Jadi mitranya gabungan antara Taman

Nasional, Pesantren Al-Amin, Aqua dan kelompok-kelompok masyarakat,

termasuk semua karyawan Aqua yang bersemangat menanam-nanam…”

Pada tataran praksis program tersebut, berbagai problematika kemudian

muncul. Perbedaan pandangan, terutama menyangkut insentif kemudian menjadi

problem yang mewarnai dinamika gerakan ini. Para petani yang berada di sekitar

taman nasional dan terlibat dalam gerakan terkadang mengeluhkan persoalan

insentif ini sehingga implementasi menjadi banyak terhambat. Kondisi seperti ini

memunculkan pertanyaan, terutama menyangkut keberlanjutan upaya

pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pesantren Al Amin. Sebagai misal

pernyataan salah satu informan yang terlibat dalam kegiatan tersebut sebagai

berikut:

“…Saya pernah juga ke Taman Nasional. Coba dong, tolong kerjasamanya.

Saya bilang, apakah memang kalau Aqua kemudian menanam, tanaman

tersebut dapat tumbuh begitu saja tanpa di urus? Tanpa dipelihara?

Cobalah ikut andil dalam pemeliharaannya meskipun disitu ada

masyarakat yang juga tumpang sari. Kan terbatas masyarakat yang mau

ikut ke gunung. Karena menyangkut biaya. Dari bawah itu ke gunung,

setiap hari sekitar Rp10.000. Kalau jalan kaki, cape dulu sebelum kerja.

Jadi bukan kita meminta gaji setiap bulan, tapi semacam kompensasilah.

Sampai sekarang belum ada tanggapan [Aqua]. Jadi kalau masyarakat

yang tumpang sari, kan itu yang datar/landai saja. Tapi yang kami tanami

itu kan yang miring-miring atau di gunung. Itu kan dibiarkan. Makanya,

rumput dengan kayu, lebih cepat rumput [tumbuhnya]. Saya juga sudah

laporkan ke Al-Amin supaya diajukan ke Aqua. Tapi sampai sekarang

belum ada realisasinya. Anggaran untuk yang program kedua saja seperti

ini, tersendat-sendat… Bahkan sebenarnya ini sudah saya ajukan. Ini

jangan hanya sebatas menanam. Ini kan pernah ditanam untuk yang 260

78

Ha, cuma karena tidak pernah dipelihara, ya habis. Jadi dari Desember,

Januari, Februari dan Maret belum ada realisasi. Padahal ini sudah empat

bulan dan harus dibersihkan kembali...”

Berdasarkan paparan diatas, kyai/ajengan melalui gerakan ini terlihat

memanfaatkan dua hal yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan

sosial kyai yang berciri tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya

hubungan antara kyai dan murid maupun anggota kelompok tani seperti hubungan

pertalian darah memiliki peran strategis sehingga konstruksi ide dan pemaknaan

yang dibangun oleh kyai relatif mudah di implementasikan karena faktor ketaatan

tersebut. Salah satu contohnya adalah tafsir yang dikembangkan oleh kyai,

bergerak searah dalam hal interpretasi oleh murid maupun petani lain yang terlibat

dalam gerakan. Selain itu, proporsi bagi hasil yang disepakati baik oleh pemilik

lahan, pesantren yang direpresentasikan oleh kyai, penggarap lahan, serta

kewajiban untuk mengeluarkan sedekah merupakan inisiasi dari kyai dan secara

utuh dijalankan oleh kelompok tani maupun beberapa individu yang terlibat di

pesantren meskipun pada beberapa kasus mengalami modifikasi dalam hal

proporsi, tetapi sistem dan aturan main tetap menggunakan konstruksi yang

diusulkan oleh kyai.

6.1.2. Harim Zone dan Gerakan Santri Pecinta Alam

Harim merupakan salah satu konsepsi konservasi alam yang dikenal dalam

sejarah Islam. Al-Harim merupakan zona terlarang, jadi merupakan ketetapan

Islam dalam membatasi melarang pembangunan atau membatasi bangunan

rekayasa manusia yang menggangu sumber-sumber alam. Menurut hukum Islam,

hari merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan

sumber-sumber air seperti halnya sumur, danau, sumber mata air, sungai, aliran

air. Zona harim juga berlaku untuk kemaslahatan yang lain, misalnya jalan,

perempatan, dan fasilitas publik yang lain yang diperuntukkan guna mencegah

kerusakan terhadap fasilitas tersebut dan melindungi kawasan tersebut dari

bahaya. Islam menetapkan zonasi dalam harim antara lain (a) kawasan terlarang

untuk sebuah sungai adalah meliputi ukuran setengah dari lebar sungai pada

kedua tepinya; (b) kawasan terlarang untuk sebatang pohon meliputi jarak dua

79

setengah hingga tiga meter di sekeliling pohon tersebut; (c) untuk sumur

ditetapkan kawasan zona larangan sekurang-kurangnya sejauh 20 meter keliling;

(d) kawasan terlarang untuk mata air didasarkan pada keadaan air dengan

memberikan pertimbangan yang memadai tentang saluran, ukuran kolam yang

akan dibuat, tempat yang dibutuhkan bagi orang dan binatang untuk bergerak di

sekitarnya dan tipe tanah di mana air itu mengalir (Mangunjaya dan Abbas, 2009).

Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren yang menerapkan

konsep Harim Zone dan merupakan yang pertama kalinya di Indonesia. Pondok

Pesantren Modern Daarul Ulum Lido menjadi pilot project pertama, hasil

kerjasama antara Pesantren dengan Conservation International Indonesia,

Yayasan Owa Jawa dan Rutford. Lahan seluas 1,5 hektar sepanjang bantaran kali

Cilengsir dijadikan kawasan Harim Zone dan telah ditanami berbagai jenis pohon

seperti Mangga, Durian, Jambu dan Rambutan. Para santri memanfaatkan

kawasan Harim Zone sebagai laboratorium alam sehingga mereka bisa belajar

secara langsung di alam terbuka. Para santri juga diajak untuk terlibat secara aktif

untuk menjaga alam dan lingkungan, diantaranya dengan membersihkan sampah

di sungai dan menanam pohon. Pesantren Daarul Ulum Lido merupakan pesantren

yang memiliki topografi yang berbukit-bukit dan cukup rindang dengan berbagai

pepohonan. Pondok Pesantren ini diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Gede

Pangrango dan Gunung Salak.

Gerakan ekologi yang berlangsung di Pesantren Daarul Ulum Lido

memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi

aktor dari luar Pesantren yang memperkenalkan gerakan ekologi. Bentuk gerakan

ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam (internal). Pesantren yang

memiliki luas sekitar 8 hektar ini memanfaatkan sebagian lahannya untuk

didiamkan dan menjadikan lahan tersebut sebagai lahan pembelajaran santri.

Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone, atau zona

haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang tidak

boleh dimanfaatkan untuk pembangunan, tetapi menjadi tempat hidup vegetasi

dan menjadi paru-paru pesantren. Lahan atau zona ini juga menjadi areal

pembelajaran santri dan miniatur alam dalam lingkungan pesantren. Zona ini

80

berada dalam kompleks pesantren dan menjadi satu-satunya wilayah yang tidak

boleh digunakan kecuali untuk aktivitas pendidikan yang berkaitan dengan alam.

Harim zone ini mendapat dorongan dan pengembangan dari aktor dan

organisasi lain seperti Conservation International Indonesia (CI) yang secara

khusus memang mendorong upaya konservasi alam serta beberapa jejaring

pesantren modern lainnya.

Persinggungan pesantren Daarul Ulum Lido dengan kegiatan konservasi

sebenarnya telah terjadi pada tahun 2005. Saat itu, pesantren ini menjadi salah

satu mitra kegiatan Conservation International Indonesia dalam suatu proyek the

World Bank – Faith and Environment Initiative Agreement No 7133121.

Kerjasama ini memberikan fondasi gerakan awal dan perkenalan pesantren

dengan konstruksi gerakan lingkungan seperti konservasi. Proyek ini memberikan

bantuan kepada pesantren untuk melakukan aktivitas lapangan yang berkaitan

dengan hutan serta konservasi keanekaragaman hayati. Saat itu, pesantren Daarul

Ulum Lido, bersama dengan lima pesantren lainnya yang tersebar dari Bogor,

Sukabumi dan Cianjur yaitu pesanten Al Furqaniyah, pesantren Riyadhutholibin,

pesantren Al Basyariah, pesantren Attanwiriyah dan Pesantren Gelar memperoleh

bantuan berupa pohon yang ditanam disekitar wilayah pesantren.

Tabel 6.1. Distribusi Bantuan CI dan Peserta Program

Pesantren Peserta Program Jumlah Bantuan Pohon

PP. Daarul Ulum Lido 754 orang 400 pohon

PP. Al Furqaniyah 150 orang 425 pohon

PP. Riyadhutholibin 100 orang 550 pohon

PP. Al Basyariah 572 orang 500 pohon

PP. Attanwiriyah 650 orang 500 pohon

PP. Gelar 350 orang 450 pohon

Sumber: Final Report Islamic Boarding Schools and Conservation, 2005

Keterlibatan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga diluar pesantren

membuka jalan untuk mengimplementasikan ide konservasi yang selama ini

mengendap. Kondisi ini diuntungkan oleh geografi serta akses yang berdekatan

81

dengan salah satu home base lembaga tersebut. Ini seperti yang diungkapkan oleh

informan sebagai berikut:

“…Jadi kalau di flash back, Almarhum KH. Ahmad Dimyati, setelah

melihat beberapa tempat, beliau memilih daerah disini. Kenapa, karena

alasan pertama adalah yang paling beliau perhatikan adalah air.

Ketemulah di daerah disni. Jadi beginilah kontur pesantren kita yang naik

turun. Selain itu, kita juga memang dekat dengan PPK (Pusat Pendidikan

Alam Konservasi) Bodogol. Terus kita juga sering kerjasama dengan

Conservation International , pak Fachruddin khususnya. Jadi kalau ada

pelatihan-pelatihan di Bodogol, kita ikut kesana. Vice presidentnya mereka

juga pernah kesini. Pak Jatna Supriatna juga pernah kesini. Jadi, beliau

tertarik.

Sebelum adanya konferensi internasional eco-pesantren itu, gerakan kita

sudah lebih awal. Kenapa, karena memang kerjasama kita erat dengan CI

walaupun tidak dalam bentuk MoU ataupun kerjasama paten, kita

jugadekat dengan pelesetarian lingkungan. Akhrinya, sebenarnya ada

beberapa pesantren yang dipertimbangkan untuk kegiatan harim zone,

tetapi karena kita lebh memiliki lahan yang memang pasdan memiliki

daerah yang cocok untuk harim zone, maka dipilihlah daerah tersebut.

Karena memang dibawah, pembangunan tidak terlalu cepat dan dipilihlah

tempat yang memang tidak terpakai untuk lahan konservasi. Untuk 10 tahun

kedepan masih memungkinkan program tersebut.

Pada tahun 2005 kita mendapatkan sumbangan sebanyak 1000 pohon,

waktu itu saya masih santri. Pohonnya itu pohon produksi buah, kayu dan

lain sebagainya, kita tanam disekitar pondok peantren kita untuk

penghijauan. Juga untuk penghijauan atau reforestasi di sekitar taman

nasional gede pangrango juga. Untuk sekitaran ini, jati yang kita tanam,

kita konsentrasikan di satu tempat. Sebenarnya untuk proyek harim zone ini

disemua (area pesantren), tetapi yang dibawah itu seperti show room…”

Meskipun gerakan awal yang dilakukan masih sebatas program, tetapi

pengembangan model gerakan tersebut terus dilakukan hingga saat ini, pesantren

tersebut telah memiliki dan mengimplementasikan konsepsi harim zone. Konsepsi

yang digali dari khazanah sejarah Islam tentang konservasi ini (Mangunjaya dan

Abbas, 2009) dilakukan melalui pelaksanaan workshop pada Mei, 2009.

Workshop tersebut dilakukan untuk mengintroduksi dan mengindusir pengetahuan

serta memperdalam pemahaman tentang koservasi, sekaligus

mengimplementasikan harim zone di pesantren Daarul Ulum Lido tersebut.

Meskipun demikian, sebenarnya, selain konsepsi harim zone diatas, terdapat juga

82

konsepsi hima yang belum dapat diimplementasikan dilapangan karena berbagai

faktor5.

Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa proses kesadaran yang terbangun dalam

gerakan ekologi di pesantren ini sebenarnya merupakan suatu induksi

pengetahuan, khususnya tentang konservasi yang berasal dari pengetahuan yang

dimiliki oleh aktor diluar pesantren yaitu Conservation International Indonesia

sebagai lembaga maupun Fachruddin M Mangunjaya sebagai personal. Proses

induksi pengetahuan ini seperti dipahami aktor didalam pesantren sebagai

konstruksi realitas di pesantren yang dikawinkan dengan ide dan konsepsi yang

dimiliki aktor diluar pesantren.

“…Kalau saya melihat, harim zone ini kan memang konsep modifikasi dari

kenyataan yang ada di pesantren dengan keinginan orang-orang

lingkungan hidup. Jadi di sisi lain pesantren punya lokasi, kemudian punya

visi kedepan mengenai lingkungan hidup. Tiba-tiba ada aktivis lingkungan

masuk dan melihat lokasi tersebut. Oleh karenanya, digodoklah, maka

dijadikanlah ini sebuah percontohan untuk Indonesia,yang pertama...”

Secara tegas, proses induksi pengetahuan yang dilakukan oleh aktor luar

pesantren juga dirasakan dan memiliki implikasi yang besar seperti tergambar

oleh pernyataan informan berikut ini:

“…Dorongan untuk terlibat di isu lingkungan itu, pertama pada tahun

2005, saya ikut pendidikan dasar interpretasi alam dan konservasi alam di

PPKA Bodogol yang di fasilitasi oleh CI. Disitu saya kenal dengan Pak

Fachruddin. Kemudian saya juga secara berkala, tiap bulan saya mendapat

tropika (majalah yang terbitkan oleh CI), lalu ada juga kawan dari LSM

dan saya juga mendirikan kelompok pencinta alam lainnya diluar. Selain

itu background saya yang banyak terlibat di pramuka…”

Harim zone yang dilakukan dan dikembangkan, juga dinilai sebagai salah

satu tanda kebangkitan model konservasi syariah yang dirasa dapat menjadi solusi

mutakhir dari problematika yang dihadapi oleh dunia belakangan ini. Ini juga

menjawab kritik yang digulirkan oleh White dan pemikir lainnya, yang merasa

bahwa konstruksi teologi agama banyak memberikan andil pada kerusakan

5

Informasi secara komprehensif tertuang dalam Final Report the Rufford Small Grants

Foundation yang merupakan proyek yang dikerjakan oleh Fachruddin M Mangunjaya dengan

judul kegiatan Introducing the Islamic Hima and Harim System for New Approach to Nature

Conservation in Indonesia. Proyek ini dilaksanakan sejak Juni 2008 hingga Juni 2009.

83

lingkungan. Padahal, agama jika dilihat secara positif justru memberikan

argumentasi konsepsional untuk menyelamatkan lingkungan.

Indonesian Islamic School Revives Shariah Conservation Model

An Islamic Boarding school near Bogor, Java is pioneering the

establishment of the harim model of river conservation in Indonesia. The

chairman of the Pondok pesantren Modern Daarul Ulum, Ustadz Dr. H.

Ahmad Yani explains, “This pilot program is a practical arena for studnets

to get close to nature and start caring about the environment.” Enabling

students to respect and safeguard water resources in accordance with

Islamic teachings is an innovative and practical way of raising

environmental awareness in Indonesia.

In today‟s climate of uncontrolled extraction and destruction of the Earth‟s

resources, preserving the environment is a priority that requires creative

solutions, including the revival of traditional way of conserving our natural

surroundings. In order to preserve its surrounddings, the Daarul Ulum is

utilising the wisdom of Islamic traditions which provide a method for

environmental management. This particular project addresses the stresses

put on rivers and water systems by human habitations and uses the harim

systems that lays down a code of behavior for those living in or near

threatened habitats. For example, creating a harim zone in a river system

requires that hal of the width of the river on each side of the river bank is

designated as a pristine area where all human activity is prohibited. This

untouched zone of natural habitat acts as a buffer, thus preventing the soil

eroding into the river...“ (Eco Islam/www.ifees.org.uk)

Meskipun demikian, keberadaan harim zone ini tidak terlepas dari kritik,

terutama dari internal pesantren tersebut. Kritik terbesar pada terletak pada

konsistensi dan kontinuitas pelaksanaan program yang dinilai hanya pada wilayah

seremonial belaka. Tampaknya, ketergantungan yang cukup tinggi terhadap

organisasi diluar pesantren ini menjadi salah satu batu sandungan pemahaman

yang komprehensif. Selain itu, konstruksi dasar pesantren yang tidak memiliki

kyai sebagai simbol dan pemimpin pesantren menjadi proses regeneratif ide

kepada aktor lain menjadi tersendat dan bahkan terkadang berseberangan. Ini

tergambar dari pernyataan salah satu aktor berikut ini:

“…Sebenarnya konsep yang diajukan CI sudah cukup matang buat kita,

cuma terkadang CI melakukan supervisi yang terkadang kendor, tidak tahu

kenapa. Kita juga merasa bahwa diserahkan kita terima, di tanam secara

simbolis. Jadi hanya berjalan seperti itu yang sudah-sudah. Kalaupun ada

konsep-konsep penghijauan hanya berjalan secara seremonial dan tidak

implementatif dan tidak kontinu. Tapi Ahlamdulillah sudah banyak. Sebab

saya juga tidak mengerti, pelestarian alam dari sisi yang mana karena kita

tidak ada penyuluhan dari orang-orang yang expert di bidang itu. Kita

84

hanya mengenal bahwa pelestarian alam dan sebagainya berjalan sepert

iyang kita pahami saja, tidak secara konseptual, menyeluruh kita pahami.

Kalau yang kita gerakkan sehari-hari adalah menuju Darul Ulum bersih

dan sehat, itupun tidak maksimal karena kita secara jujur butuh orang-

orang yang punya kepedulian kepada lingkungan. Tidak hanya reforestasi,

reboisasi dan sebagainya atau hanya sekedar tanam pohon. Kita ingin lebih

detail, lebih fokus bahwa orang-orang ini bisa fokus bagaimana melakukan

penyuluhan kepada santri untuk sadar akan kebersihan dan kesehatan

lingkungan. Sanitasi intinya. Dan ini yang minim…”.

Selain konsepsi dan implementasi harim zone sebagai manifestasi nilai

teologi di pesantren ini, santri yang juga merupakan aktor utama berusaha

mengaktualisasikan ide dan gagasannya melalui organisasi tersendiri. Organisasi

ini juga mengalami persentuhan ide dengan CI-Indonesia dengan berbagai

keterlibatan dalam kegiatan yang dilakukan oleh CI tersebut.

Adanya ruang ini memunculkan peluang bagi santri untuk membentuk

kelompok pecinta alam yang dinamakan IKAPALA – Ikatan Santri Pencinta

Alam Salsabilla – yang memiliki tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut

terlibat dalam gerakan mencintai lingkungan sekitar, terutama alam. Yang

menarik adalah, kelompok ini tidaklah merupakan inisiasi top-down. Organisasi

ini pada awalnya merupakan organisasi yang tidak diperbolehkan oleh pesantren,

tetapi karena memiliki implikasi positif, maka pesantren kemudian membolehkan

aktivitas organisasi ini. Organisasi ini yang kemudian menjadi motor gerakan

yang melibatkan beberapa santri yang peduli terhadap isu konservasi dan

lingkungan.

“…Terutama pendorong utamanya adalah IKAPALA (Ikatan Pecinta Alam

Salsabila), mereka itu yang punya interest tinggi untuk lingkungan. Dahulu

peresmiannya adalah Direktur CI untuk Indonesia dan Filipina…”

Potret keterlibatan CI dalam proses pembentukan, penyadaran dan

menggerakkan santri dalam Ikapala ini secara simbolik terlihat dalam berita

berikut ini:

Menanam Pohon dan Mencintai Alam

PP daarul Ulum mewajibkan siswa tingkat akhir menanam pohon

Vice President (VP) Conservation International untuk Indonesia dan

Phillipines, Dr. David Hess didampingi oleh Regional VP CI Indonesia, Dr.

Jatna Supriatna dan Kepala Litbang Kehutanan Ir. Wahjudi Wardojo, Msc

serta Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Dr. Noviar Andayani

85

berkesempatan mengunjungi Pondok Modern Darul Ulum (DU) Lido, Sabtu

(18/11). Dalam kunjungan tersebut, Dr. Hess diberikan penghormatan

untuk memberikan sambutan dan penanam pohon di lokasi halaman

pesantren dan melantik Ikatan Pencinta Alam Salsabila (IKAPALA) klub

pencinta alam santri Darul Ulum. “Kami dari Conservation International

sangat senang melihat kegiatan lingkungan yang ada di pesantren. Terlebih

karena anda adalah generasi penerus yang harus mulai sadar akan

lingkungan dan mencintai alam Indonesia,” kata Hess.

Pesantren Darul Ulum Lido merupakan salah satu mitra CI Indonesia

dalam kegiatan konservasi dan pondok pesantren yang dibiayai oleh The

World Bank. Beberapa waktu yang lalu pesantren yang mempunyai jumlah

santri 920 orang ini telah terlibat aktif dalam membantu proyek

agroforestri dengan mendapatkan hibah 500 pohon tanaman buah-buahan,

pupuk dan pohon tanaman keras terkait dengan upaya memperkaya

keanekaragaman hayati di sekitar kawasan TN Gunung Gede Pangrango.

Selanjutnya, pihak pesantren memulai membuat program „wajib menanam

pohon‟ untuk para siswa kelas tiga (di tingkat akhir) dan mendorong para

siswa supaya memiliki dan memelihara satu pohon selama berada dalam

pembelajaran di Darul Ulum. “Kami sangat berterima kasih dengan

adanya dorongan dari CI dalam memberikan semangat kepada para siswa

untuk mencintai alam sebagai ciptaan Allah dan memelihara kebersihan

lingkungan,” kata Ust Drs. Ahmad Yani, Direktur PM. Darul Ulum.

Dalam sambutannya Ir. Wahjudi Wardojo, Msc juga memberikan appalus

gembira atas inisiatif PM Darul Ulum, dan mengatakan bahwa upaya PM

Darul Ulum adalah sejalan dengan pemerintah khususnya Departemen

Kehutanan yang telah mencanangkan program Indonesia Menanam dengan

slogan: Kecil Menanam Dewasa Memanen”. /fm (Tropika Vol. 10 – 2006)

Santri yang terlibat dalam organisasi ini memiliki motivasi yang berbeda-

beda dari mulai hanya ingin terlibat dalam kegiatan alam saja hingga dorongan

dan kesadaran yang inheren yang dirasakan oleh mereka. Tetapi sebenarnya,

kesamaan pandangan dan saling mengikat diri dalam suatu aksi bersama secara

rutin kemudian menyadarkan mereka untuk berusaha mengejar keuntungan secara

paralel, baik keuntungan individual maupun keuntungan bagi lingkungan.

Konsepsi semacam ini senada dengan konstruksi gerakan ekologi oleh Rootes.

“Sejak kelas 2 (MTs), saya sudah masuk kegiatan IKAPALA. Kita sering

menanam pohon karena kita punya lahan dibawah (harim zone)...

sebenarnya, kita banyak punya planning kedepan. Kita ingin IKAPALA itu

memiliki lahan sendiri dan menanam pohon buah-buahan misalkan,

sehingga kita bisa mengirimkan ke dapur. Jadi kita tidak selamanya beli di

pasar karena sebenarnya bisa dihasilkan sendiri. Dari tahun ke tahun kita

lakukan meskipun hasilnya belum bisa dinikmati, jadi hanya dinikmati

sendiri saja...”

86

Organisasi semacam ini merupakan instrumen yang mampu mengikat

karena didasari oleh kesamaan ide dan pandangan, meskipun tetap diperlukan

kesadaran individual untuk terus menggerakkan ide tersebut.

“IKAPALA sebenarnya hanya pengikat, hanya ikatan untuk seorang

kelompok pemuda yang cinta akan kebersihan dan lingkungan. Tetapi

semua itu harus disadari oleh kita sendiri. Tanpa IKAPALA sebenarnya

bersih itu harus datang dari kita. Jadi sebenarnya IKAPALA hanya sekedar

ikatan bagi mereka yang cinta kebersihan dan lingkungan. Dan kita akan

mencontohkan kepada adik-adik kelas kita bahwa ini loh IKAPALA. Selain

itu kita akan merekrut terus anggota baru hingga bisa menularkan ide

mencintai lingkungan...“

Penuturan informan lain tentang IKAPALA,

“...IKAPALA itu adalah sebuah contoh untuk gerakan yang lain. Alam itu

punya kita, semua manusia yang punya alam. Kita yang akan

menggerakkan hal tersebut karena alam itu ingin hidup dan sama seperti

manusia juga ingin hidup [maka harus dijaga]...“

Selain kedua gerakan diatas, pesantren juga berupaya menerapkan materi-

materi yang berkaitan dengan lingkungan (bi‟ah) dan beberapa aspek di dalamnya

serta bagaimana berperilaku yang benar dengan alam pada semua materi

pelajaran, baik negeri (al-mawâd al-hukûmiyah) maupun pesantren (al-mawâd al-

ahliyah). Upaya memasukkan tema lingkungan dalam proses belajar mengajar

merupakan pilihan yang menjadi perdebatan didalam pesantren karena sebagian

masih mempertanyakan urgensinya. Meskipun demikian, pada beberapa hal, tema

lingkungan telah menjadi mata pelajaran wajib. Pesantren kemudian hanya

mencari justifikasi teologis guna mendukung materi pelajaran tersebut sehingga

berwarna keagamaan.

“…Kalau pelajaran lingkungan, di SMP sudah wajib, karena sudah ada

pelajaran PLH. Kalau untuk yang lain seperti Tafsir misalnya, kita mencari

ayat-ayat yang bercerita tentang lingkungan, dipelajari ke anak-anak.

Ketepatan kita sudah punya itu, dan ketepatan pemerintah mewajibkan. Ya

sudah di masukkan sekalian. Kita jadikan pelajaran untuk anak-anak. Dan

sekarang itu jadi Mulok (Muatan Lokal) untuk Jawa Barat dan sebelum-

sebelumnya tidak ada karena sebelumnya, muatan lokal hanya Bahasa

Sunda. Oleh karena itu sekarang ada PLH…”

87

Secara lebih jelas, beberapa mata pelajaran yang diformulasikan untuk

diberikan perluasan materi dan mencakup substansi lingkungan seperti terlihat

pada tabel 6.2,

Tabel 6.2. Pengembangan Pokok Bahasan Yang Bertemakan Lingkungan

NO BIDANG

STUDI

POKOK

BAHASAN/TEMA

SUMBER

RUJUKAN UTAMA

1 Tafsir - Tauhid (Aqidah)

- Sains (ilmu modern)

- Akhlaq

- Lingkungan alam (bi’ah)

Kitab-kitab Tafsir:

- Ibn Katsir

- Shafwah al-Tafasir

- Tafsir Ayat Ahkam

2 Hadits - Muamalah

- Thaharah

- Jinayat

- Lingkungan (hima &

harim)

- Sains

Kitab-kitab Hadits:

- Bulughul Maram

- Al-Lu’lu’ wa Al-

Marjan

- Shahih Bukhari &

Muslim

- Al-Muwaththa’

3 Insya’

(Composition) - Perkenalan

- Urgensi Bahasa Arab

- Indahnya Pemandangan

Alam (al-manazhir)

- Pemakaian لـ, على, من ,

- Al-Qira’ah al-Rasyidah

- An-Nushush al-

Adabiyah

- Buku modul intern

4 Biologi - Biotik dan a-Biotik

- Konservasi & Reboisasi

- Lingkaran Kehidupan

- Fungsi Hutan Lindung

- Buku-buku standar

sesuai KTSP yang

ditetapkan oleh

Depdiknas & Depag

5 Geografi - Alam Indonesia

- Perpindahan (Migrasi)

- Hutan dan Laut

- Buku-buku standar

sesuai KTSP yang

ditetapkan oleh

Depdiknas & Depag

Selain itu, beberapa program juga dilakukan oleh pesantren seperti

mewajibkan kepada santri kelas akhir (kelas enam) untuk menanam pohon dan

menjadi dasar penilaian pada akhir semester nantinya. Pada tahun 2009 dan 2010,

dalam setiap perayaan kelulusan murid (haflatul ikhtitam), setiap santri kelas

akhir yang telah menyelesaikan proses pembelajaran di pesantren, kemudian

diwajibkan menanam pohon sebagai sumbangsih mereka untuk masa depan.

Pergumulan pesantren dengan isu ekologi hingga saat ini terus berlanjut dan

mengalami perkembangan yang signifikan. Baru-baru ini Conservation

88

International juga mengadakan program dengan pesantren. Ini semakin

memperteguh bahwa, induksi pengetahuan dari aktor luar pesantren, setidaknya

memberikan implikasi positif dengan semakin meningkatnya kesadaran aktor

pesantren terhadap problematika ekologi. Berikut ungkapan Fachruddin

Mangunjaya:

"...Saya tidak sekali ke pesantren ini, tapi telah beberapa kali, dan PP

Daarul Ulum, karena sudah tercatat menjadi mitra organisasi kami

Conservation International, dalam upaya menyadarkan lingkungan melalui

agama (Islam) sejak tahun 2003. Perlahan, saya melihat perubahan

penataan kampus dan visi pimpinannya yang demikian maju tentang

lingkungan, setelah mereka bergaul dengan banyak partner yang terkait

lingkungan. Di kawasan pesantren ini, sekarang telah ada harim zone, yang

merupakan contoh integrasi perawatan bantaran sungai dan upaya

melestarikan keanekaragaman hayati6...“

Kesemua program yang dibangun, baik oleh santri maupun pesantren secara

umum merupakan gerakan ekologi yang berciri kedalam. Artinya, gerakan yang

dilakukan secara umum merupakan gerakan yang diciptakan untuk menumbuhkan

kesadaran ekologis di dalam lingkungan pesantren baik itu oleh kyai, ustadz

maupun guru serta santri. Gerakan yang dilakukan juga merupakan gerakan yang

senada dengan idealita dan visi utama dari aktor luar yang banyak mengintrodusir

pemahaman ekologi kepada pesantren ini.

Oleh karena itu, terbangunnya gerakan harim zone dan gerakan lainnya

yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini dapat dilihat karena beberapa

faktor. Pertama, faktor geografis yang merupakan faktor pra-kondisi, yang

banyak memberikan keuntungan dan kelebihan dalam mengimplementasikan

konsepsi program yang telah direncanakan. Kedua, faktor organisasi dan

kelembagaan pesantren yang terlihat juga berpengaruh karena keleluasaan sistem

pesantren yang tidak terpaku pada otoritas tunggal pimpinannya (kyai) dan

memiliki sistem yang relatif lebih terbuka. Ketiga, faktor pemimpin pesantren

(kyai) yang mampu menggulirkan ide yang terbangun dari hasil dialektika dengan

aktor diluar pesantren kepada struktur sosial yang ada di pesantren.

6 Fachruddin Mangunjaya menjadi aktor utama yang berperan dalam memperkenalkan ide ekologi

dan Islam serta banyak memngintrodusir pengetahuan tentang lingkungan hidup di pesantren

Daarul Ulum Lido. Beberapa potret kegiatannya dapat dilihat di website http://nature-of-

indonesia.blogspot.com atau http://agamadanekologi.blogspot.com

89

Berangkat dari potret teologi ekologi yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya serta karakteristik pesantren. Hal itu semua kemudian

termanifestasikan dengan dua pola. Pola manifestasi yang pertama adalah pola

manifestasi yang terbangun karena adanya refleksi individual kyai sementara yang

kedua adalah karena adanya induksi pengetahuan aktor luar pesantren.

Tabel 6.3. Pola Manifestasi Gerakan Ekologi di Pesantren

Pesantren Tipe Pesantren Bentuk Gerakan Pola Manifestasi

Al Amin Salafi Penanaman Pohon

(Pemberdayaan

Masyarakat)

Refleksi Individual

Kyai

Daarul Ulum

Lido

Modern Harim Zone dan

Santri Pencinta Alam

Induksi

Pengetahuan Aktor

Luar Sumber: Sintesa Data lapangan

Manifestasi gerakan ekologi di kedua pesantren ini memperlihatkan suatu

potret tindakan sosial yang oleh Weber digolongkan pada empat tipe yaitu

tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan rasional nilai dan tindakan rasional

instrumental. Potret gerakan yang terjadi di kedua pesantren ini secara umum

memperlihatkan gejala suatu tindakan rasional nilai. Tindakan ini merupakan

penjabaran dari orientasi tindakan rasional yang secara langsung menempatkan

orientasinya pada suatu tata nilai. Aktor kemudian menempatkan tindakan mereka

sebagai suatu tugas, kehormatan, tugas keagamaan atau yang lainnya (Morrison,

1995).

Tindakan aktor dalam pesantren baik dalam konteks penanaman pohon

maupun implementasi harim zone merupakan bentuk tindakan rasional nilai.

Aktor yang terlibat dalam kedua gerakan ini mendasarkan motif keterlibatan

mereka pada konstruksi nilai Islam yang melatari ide dan praksis gerakan mereka.

Munculnya ide penanaman pohon yang lahir dari refleksi Ajengan Basith serta

pergumulan dan dialektika antara CI dengan Ust. Yani secara umum dilatari oleh

pemahaman dan penafsiran mereka atas teks-teks keagamaan seperti kedudukan

manusia sebagai Khalifah serta fungsi dan tanggungjawabnya dalam menjaga

alam memperlihatkan bahwa tindakan tersebut memiliki orientasi pada nilai

keIslaman. Oleh karena itu, secara individual, tindakan tersebut dimaknai sebagai

90

suatu tanggungjawab etis dan bagian dari cara mereka mewujudkan interpretasi

atas teks teologis mereka menjadi teks praksis. Meskipun demikian, perlu

dipahami bahwa tindakan yang mewujud ini memiliki ketergantung pada seberapa

jauh penafsiran aktor atas nilai yang menjadi landasan gerakan mereka. Pada

beberapa aktor lain diluar kyai, misalnya, meskipun memperlihatkan perhatian

dan keterlibatan dalam gerakan ekologi di kedua pesantren ini, tetapi tetap tidak

mencirikan karakter tindakan kyai mereka. Para anggota kelompok tani Hejo

Daun, secara umum tetap menempatkan isu ekonomi sebagai basis tindakan

mereka meskipun warna nilai keagamaan yang diperkenalkan oleh kyai juga

mengemuka, tetapi tidak sedominan yang terjadi pada kyai. Begitu juga para

santri yang terlibat dalam kelompok santri pecinta alam, memperlihatkan corak

tindakan rasional nilai yang berbeda dengan Ust. Yani dengan konstruksi nilai dan

pemahaman serta kedalaman yang berbeda pula.

Kondisi ini memberikan suatu pandangan bahwa dari beberapa tipe tindakan

sosial, secara umum tipe tindakan yang terlihat dalam kedua gerakan ekologi ini

merupakan tindakan rasional nilai dengan variasi nilai yang berbeda antar aktor.

Variasi nilai semacam ini yang kemudian mempengaruhi kedalaman dan

penghayatan mereka atas gerakan ekologi tersebut. Artinya, ketika konstruksi

teologi yang menjadi landasan nilai tersebut sangat dalam seperti terlihat pada

sosok kyai, secara umum tindakan yang mewujud juga memiliki kekukuhan nilai

yang ajeg. Sementara, ketika sandaran nilai tersebut masih di permukaan seperti

terlihat pada sikap para anggota kelompok tani dan santri, maka wujud tindakan

juga belum menyerupai apa yang terjadi pada kyai.

6.2. Kyai dan Gerakan Ekologi

Berangkat dari teori yang di kedepankan oleh Weber yang mengatakan

bahwa kyai merupakan salah satu bentuk kepemimpinan kharismatik yang

mempunyai kekuasan secara tradisional. Potret ini menggambarkan bagaimana

peran kyai yang mempunyai kekuasaan secara informal terhadap masyarakat

karena kemampuan individualnya terutama dalam bidang keagamaan juga dengan

varian lembaga yang dimiliki oleh kyai seperti pesantren, majlis taklim, dan

kelompok pengajian lainnya.

91

Di masyarakat Cicurug, Kabupaten Sukabumi, terutama mereka yang

mayoritas merupakan petani, kepemimpinan kyai justru menjadi salah satu media

transformasi masyarakat dari masyarakat – buruh tani – yang tidak pernah

memiliki peluang untuk berpindah dari posisi paling dasar dari struktur

masyarakat menuju posisi yang lebih baik atau setidaknya berusaha menjauh dari

jurang subsisten yang dalam hal ini, pada taraf minimal memiliki akses untuk

melakukan pengolahan lahan di kawasan taman nasional. Lantas bagaimana cara

kyai memposisikan dirinya guna menjawab permasalahan masyarakat ini?

Perubahan peran kyai tersebut dapat dilakukan setelah regenerasi pesantren Al

Amin berpindah kepada Kyai Abdul Basith. Kyai Abdul Basith berperan

meletakkan pondasi dasar pembangunan pesantren sebagai pusat aktivitas

pesantren yang beriringan dengan masyarakat. Upaya yang dilakukan beliau

seperti yang telah diperlihatkan diatas, merupakan bukti empirik bagaimana

sebenarnya telah terjadi pergeseran makna kyai dan pesantren yang tidak hanya

berkutat pada urusan transformasi keagamaan, menjaga kemurnian akidah dan

sebagainya menjadi transformasi sosial seperti yang diungkapkan oleh Abd A’la

(2006). Di satu sisi, kyai berusaha untuk tetap mempertahankan nilai dan pola

kehidupan masyarakat relijius di dalam pesantren dengan tetap bertahan pada

tradisi salafi, tetapi disisi lain kyai juga berperan dalam mendorong transformasi

sosial sehingga merubah pandangan masyarakat menjadi masyarakat yang agamis

disatu sisi, juga mampu berdikari dengan pencarian sumber nafkah alternatif

melalui program Sengon tersebut.

Saat ini, dengan meningkatnya kompleksitas masyarakat Cicurug kondisi ini

mendorong perlunya kyai mentransformasi perannya yang dahulu hanya bertahan

pada wilayah keagamaan, saat ini kyai yang memiliki kedudukan kultural yang

relatif lebih tinggi dan kuat ketimbang unsur-unsur lain dalam masyarakat. Posisi

kyai sebagai pemimpin akhirnya mengharuskan ia bergelut dengan persoalan

masyarakat pada umumnya yang mayoritas merupakan buruh tani. Tampilnya

kyai maupun pesantren dalam pesoalan masyarakat mampu membuat perubahan

meskipun masih terbilang panjang. Meskipun demikian, kondisi ini sedikit

banyaknya menguntungkan masyarakat pada struktur terbawah karena kyai tidak

mempunyai batasan dan dapat menembus sekat struktural tersebut sehingga

92

program yang dijalankan pun relatif borderless dan dapat menyentuh mereka yang

memang membutuhkan.

Menangani problem masyarakat terutama yang berkaitan dengan ekonomi

sebenarnya bukan wilayah kerja kyai. Akan tetapi melihat dominasi yang terjadi

di masyarakat serta tidak bergeraknya ekonomi rakyat pada lapisan terbawah

menjadi satu hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Transformasi yang dilakukan

mendorong kyai berhadapan dengan tradisi yang dianggap mapan seperti pola

peminjaman oleh pemodal ataupun tengkulak. Namun demikian, kyai Abdul

Basith ini mempunyai modal dasar yang sangat dibutuhkan yaitu kedudukan

kultural kyai dalam masyarakat dan sejumlah infrastruktur seperti lembaga

pengajian yang dapat dipergunakan sebagai sarana penyaluran ide dan gagasan

baik pengajian rutin mingguan di pesantren maupun pengajian lain di masyarakat

sekitar.

Kedudukan kultural tersebut dapat secara optimal dimanfaatkan oleh kyai

dengan berperan dalam memberikan stimulan program penanaman tersebut

kepada petani yang terlibat dalan kelompok tani Hejo Daun sehingga mampu

menjauh dari problem ekonomi yang melanda mereka. Kekuatan kharismatik kyai

yang menjadi simbol kultural pesantren maupun masyarakat mampu mendorong

terjaganya sistem penanaman yang digulirkan oleh kyai. Selain itu, terlihat bahwa

anggota kelompok tani tersebut enggan untuk berperilaku negatif yang

menyebabkan terganggunya implementasi program tersebut.

Sebenarnya, pesantren Al Amin juga memiliki program pembibitan yang

kemudian hasil dari pembibitan yang mereka lakukan itu sebagian dimanfaatkan

untuk penghijauan yang melibatkan pesantren lainnya. Akan tetapi, ketika

penelitian ini dilaksanakan, program pembibitan tersebut tidak lagi dilaksanakan.

Meskipun demikian, dampak dari program penanaman sengon ini, masyarakat

disekitar pesantren semakin menyadari akan pentingnya pelestarian alam dan

lingkungan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Potret gerakan serupa dengan

karakteristik pesantren tradisional-salafi ini sebenarnya juga terlihat dalam

gerakan yang dilakukan oleh Pesantren An Nuqayah, Guluk-guluk Madura yang

melalui Kyai Abdul Basit juga mampu menyelesaikan problem ekologis serta

sosial yang terdapat pada masyarakat sekitar (Effendy, 1990). Contoh kyai

93

tradisional lain yang juga mencoba mendobrak problem sosial di masyarakat,

seperti yang dilakukan oleh Kyai Sahal Mahfudz yang merupakan pimpinan

pondok pesantren Maslakul Huda. Kyai Sahal melakukan reformulasi fiqih

dengan menggeser dari yang awalnya fiqih tekstual menjadi fiqih kontekstual

yang disebut dengan fiqih sosial. Bentuk kontekstualisasi yang dilakukan seperti

dalam pelestarian lingkungan hidup. Kyai Sahal mendorong fungsi ganda

pesantren yaitu sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan

pengetahuan, penalaran, keterampilan, kepribadian dan merupakan sumber

referensi tata nilai Islami bagi masyarakat sekitar serta sebagai lembaga sosial di

pedesaan yang menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat untuk perbaikan

lingkungan (Zubaedi, 2007).

Pesantren Daarul Ulum Lido, sejak mengalami kekosongan figur kyai,

berupaya melakukan reformulasi konsep kepemimpinan di pesantren. Pendekatan

sistem yang digunakan untuk menjaga stabilitas pesantren menjadi pilihan terbaik

sehingga pesantren berupaya mencari figur yang dapat memimpin pesantren

layaknya kyai di pesantren lain. Meskipun demikian, patut di apresiasi bahwa

pendekatan sistem ini meskipun kemudian tidak memunculkan figur kyai yang

kharismatik, tetapi justru memunculkan figur yang terlihat egaliter dan relatif

tidak berjarak dengan aktor lain disekitar pesantren.

Ust. Ahmad Yani, (sebagaimana biasa disebut) menjadi bukti bahwa

meskipun posisinya sebagai pimpinan pesantren, mudir al ma‟had, tetapi justru

nuansa yang terbangun memperlihatkan dirinya seperti layaknya guru ataupun

asatidz yang lain. Kondisi ini yang menyebabkan, transfer pengetahuan yang

dilakukan tidak berjalan berundak dan birokratik. Meskipun, sebagian ada yang

merindukan kehadiran sosok kyai sebagaimana lazimnya pesantren lain, tetapi

keinginan tersebut hanya dorongan emosional-individual dan tidak pernah

terangkat ke permukaan. Seluruh civitas pesantren justru mendukung pelaksanaan

sistem yang telah terbangun tersebut.

Dalam konteks gerakan ekologi, peran kyai menjadi sangat sentral

meskipun tidak memiliki peranan yang relatif absolut dibanding pesantren Al

Amin. Peranan kyai disini justru karena mampu menyerap ide yang diperkenalkan

oleh aktor luar pesantren dan di kontekstualisasikan pada khazanah dan

94

lingkungan pesantren. Peranan seperti ini tidaklah mudah karena tentu mengalami

pergulatan dan pergumulan di kalangan internal pesantren, terutama bagi mereka

yang menganggap sinis pelaksanaan program tersebut.

Ide kultural yang dibangun dengan mengimplementasikan berbagai program

seperti harim zone pada dasarnya adalah untuk membumikan idealita teologi

Islam tentang ekologi yang telah dikenal dalam khazanah keilmuan dan sejarah

Islam, tetapi tidak pernah terbuka dan dibuka, serta menjadi konsumsi

masyarakat, khususnya pesantren. Tentu, ketika awal di dirikannya pesantren ini,

tidak ada mimpi untuk memiliki beberapa program diatas, tetapi dalam

perjalanannya, proses kontekstualisasi pesantren dengan ide yang datang dari

lembaga lain dan pergumulan yang berlangsung baik di luar maupun didalam

semakin mematangkan pilihan pesantren untuk bergerak secara konsisten pada

isu-isu ekologi.

Kedua kyai yang disebutkan diatas ini jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya

tidak lagi hanya menjadi broker budaya seperti yang di sintesakan oleh Geertz

(1960), seorang yang memiliki peran penyambung antara tradisi besar (great

traditions) dengan tradisi kecil (little traditions) dan menjadi broker karena

menyaring berbagai informasi maupun budaya bagi komunitasnya, tetapi berperan

sebagai mediator atau perantara digagas oleh Horikoshi (1987) ataupun agen

perubahan (agent of change) (Iskandar, 2001) yang dalam bahasa Abdurrahman

Wahid (1987) kyai berperanan kreatif dalam perubahan sosial, bukan karena sang

kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justeru karena

memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan

penyaringan informasi, tetapi menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya

sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya atau disekitarnya.

VII. KONTINUM GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN

7.1. Gerakan Ekologi di Pesantren: Ekologi Dalam atau Ekologi Dangkal?

Barnhill dan Gottlieb (2001) menjelaskan konsepsi ekologi dalam dengan

agama. Konsepsi ekologi dalam menjelaskan pertanyaan yang mendalam tentang

etika lingkungan dan penyebab mendasar dari problematika lingkungan.

Kemudian, ekologi dalam menunjukkan fundamen yang menjadi basis nilai yang

tentu beragam dan menjadi nilai yang dibagi kepada sesama pegiat lingkungan.

Konsepsi ekologi dalam berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ecosophies

meskipun konsepsi ini selalu berkaitan dengan kekhasan dan dibedakan sesuai

dengan konteks dan tradisi agama masing-masing. Barnhill dan Gottlieb

kemudian menyebutkan kualitas yang menunjukkan karakteristik dari ekologi

dalam sebagai berikut:

“… (a) an emphasis on the intrinsic value of nature (biocentrism or

ecocentrism); (b) a tendency to value all things in nature equally (biocentric

egalitarianism); (c) a focus on wholes, e.g., ecosystems, species, or the

earth itself, rather than simply individual organisms (holism); (d) an

affirmation that humans are not separate from nature (there is no

“ontological gap” between humans and the natural world); (e) an emphasis

on interrelationships; (f) an identification of the self with the natural world;

(g) an intuitive and sensuous communion with the earth; (h) a spiritual

orientation that sees nature as sacred; (i) a tendency to look to other

cultures (especially asian and indigenous) as source of insight; (j) a

humility toward nature, in regards to our place in the natural world, our

knowledge of it, and our ability to manipulate nature in a responsible way

(“nature knows best”); (k) A stance of “letting nature be,” and a

celebration of wilderness and hunter-gatherer societies…”

Dari beberapa karakteristik ekologi dalam ini, beberapa hal kemudian

mendapatkan kritik yang dianggap tidak relevan dengan kondisi Islam. Dalam

diskursus etika lingkungan Islam, kedudukan Sang Pencipta adalah absolut,

sebagai pemilik tunggal dari seluruh makluk hidup di jagat semesta. Sementara

itu, kedudukan makhluk adalah sama yang bertugas untuk menyembah Allah

SWT dan menjadi tanda keagungannya. Oleh karena itu, dalam konsepsi Islam,

Manusia di dudukkan sebagai khalifah yang bertugas menjaga amanat Tuhan

sebagai wakilnya dibumi. Wakil yang tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi

sumberdaya yang ada untuk kepentingan dirinya, tetapi mempergunakannya untuk

96

kemaslahatan manusia dan makhluk lainnya. Ammar (2001) menjelaskan secara

rinci pandangannya sebagai berikut:

“… Islam has in common with deep ecology its respect for nature and

earth. Both Islam and deep ecology view humans as part of this creation

and not superior to it. Beyond this commonality the Islamic vision of linking

humans to nature, nature and humans to God, and the protection of nature

become complex and at many points difficult to compare with deep ecology.

Islam, for example does not view creation as sacred in itself. Rather, it

respected as a reflection of sacredness, because it I the creation of God… in

contrast to some deep ecologist who view action in nature as undesired

intervention and corruption, I argue that in Islam action is the only course

that fulfills the charge humans were given by God, namely to keep the

equilibrium of use and protection of earth…”

Menjadi pertanyaan besar adalah sejauhmana gerakan yang muncul dari

pesantren ini, seperti yang tergambar diatas memiliki pengaruh hingga mampu

merubah perilaku mereka yang terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan ini pada

akhirnya dapat dilihat apakah telah mewujud sebagai gerakan ekologi dalam

ataukah masih berada pada gerakan ekologi dangkal. Artinya, konstruksi teologis

seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya, yang kemudian dimanifestasikan

dalam bentuk gerakan, pada fase terakhir harusnya mampu merubah pandangan

aktor yang inheren dengan nilai teologi yang dipahaminya.

Inti ekologi dalam sebenarnya terletak pada platform yang diusungnya

(McLaughlin, 1995). Platform ini lah yang membedakan antara ekologi dalam

dengan ekologi dangkal. Ekologi dangkal yang cenderung antroposentrik yang

meneropong problem lingkungan hanya dari kacamata ilmu pengetahuan dan

teknologi dan cenderung mencari solusi teknis, sedangkan ekologi dalam

mendorong perubahan fundamental dan radikal yang menyangkut transformasi

cara pandang dan nilai, baik secara pribadi dan budaya, yang kemudian

mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik (Adiwibowo, 2008).

Jadi, terlepas dari persoalan dan kritik diatas, persoalan perubahan paradigmatik

dan nilai menjadi sesuatu yang wajib dalam konstruksi ekologi dalam.

Perwujudan gerakan ekologi di pesantren ini setidaknya dapat dilihat dari

dua aspek, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Devall dan Sessions dengan melihat

apakah pesantren secara umum telah mengadaptasi dua norma dalam ekologi

dalam yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan biocentric equality

97

(persamaan atau kesetaraan biosentris) yang bermuara pada perubahan

paradigmatik tersebut. Keraf (2002) juga menyebutkan beberapa prinsip dalam

ekologi dalam yaitu (a) biospheric egalitarianism; (b) non-antroposentrime; (c)

realisasi diri (self-realization); (d) pengakuan dan penghargaaan terhadap

keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis; dan

(e) eco-politics.

Meskipun demikian, sebagaimana digambarkan pada bab sebelumnya,

dalam melihat gerakan yang dilakukan di dua pesantren ini, penting untuk

memisahkan antara kyai dengan santri dan masyarakat, terutama dalam konteks

kesadarannya. Ini tidak terlepas dari peran mereka sebagai pemimpin baik secara

formal, kultural maupun keagamaan. Artinya, proses pergeseran dapat terjadi

secara parsial, yaitu hanya terjadi pada kyai, sementara pada masyarakat maupun

santri, proses pergeseran dan gerak perubahan pandangan tersebut dapat

membutuhkan waktu yang lebih lama.

Gerakan ekologi yang dilakukan di pesantren Al Amin secara umum

memperlihatkan bahwa gerakan ini berada pada dua wilayah yang berbeda. Pada

satu sisi, Kyai Basith memiliki kesadaran bahwa pada prinsipnya manusia

memiliki tanggungjawab untuk membangun hubungan yang baik dengan alam

(hablu mina al alam), akan tetapi dua norma diatas tampak kurang terlihat dalam

praktik gerakan mereka. Secara diametris, justru motif ekonomi yang menjadi

tekanan dalam upaya memperluas gerakan ekologi tersebut. Alasan ini sebenarnya

yang menjadi dasar utama kenapa sebagian murid Kyai mau terlibat dalam

gerakan tersebut.

Artinya, dalam konteks pergeseran pemahaman relasi yang awalnya hanya

memahami relasi Tuhan-Manusia dan Manusia-Manusia, kemudian memmperluas

cakupannya menjadi Tuhan-Manusia, Manusia-Manusia, Manusia-Alam, menjadi

potret awal bahwa sebenarnya ide kyai dalam gerakan ini telah memperlihatkan

adanya kesetaraan biosentris. Konstruksi semacam ini sebenarnya merupakan

perubahan fundamental dalam tafsir teologi yang dilakukan oleh seorang muslim,

karena dalam berbagai kesempatan, sulit ditemukan individu yang memahami

bahwa manusia juga harusnya memiliki hubungan yang bersifat teologis dan

98

egaliter terhadap alam, tetapi justru menjadi sumber perusak dan mendominasi

alam dengan konstruksi berpikir antroposentrik.

Kyai Basith sebenarnya telah mengalami pergeseran paradigmatik. Ia

memandang alam – dalam kasus gerakannya ini adalah penanaman pohon –

memiliki nilai intrinsik yang lebih penting, daripada hanya sekedar kepentingan

ekonomi. Nilai intrinsik yang diungkapkan semacam peran pohon dalam

ekosistem, fungsi teologisnya dengan bertasbih serta sedekah oksigen yang selalu

menjadi kepercayaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya pergeseran tersebut

telah terjadi. Kyai kemudian menempatkan aspek ekonomi pada urutan terakhir

dari konsepsi yang diusungnya. Kemudian, pada praktiknya, kyai meyakini,

bahwa sulit untuk memperkenalkan ide tersebut kepada masyarakat, karena

problem utama di masyarakat adalah sebenarnya pada aspek ekonomi. Setelah

masyarakat diperkenalkan dengan pendekatan ekonomi, secara perlahan, pintu

penyadaran akan nilai yang dimiliki oleh kyai di introdusir dan di diseminasikan

kepada anggota kelompok tani tersebut.

Pendekatan ekonomi yang dibangun kyai, bukanlah semata-mata karena

problem untung-rugi, tetapi tekanan pada aspek ekonomi ini memiliki alasan kuat

karena ini menyangkut kebutuhan dasariah masyarakat. Dalam pandangan kyai,

problematika ekologi yang terjadi belakangan ini merupakan hasil kulminasi

keserakahan manusia dan juga problem ekonomi yang menghimpit mereka

sehingga memunculkan beberapa kasus seperti penggundulan hutan dan

kekeringan. Tekanan ekonomi ini memperlihatkan perhatian kyai pada aspek

keadilan sosial (social justice) yang belakangan ini menjadi kabur dan tidak

mendapat perhatian dari banyak pemimpin negara. Kritik terbesar yang kyai

lakukan dalam suatu kasus dialamatkan kepada negara, yang dalam hal ini

pemerintah Kabupaten Sukabumi. Kyai selalu berada pada posisi oposisi dan

mengkritisi kebijakan pemerintah karena dua alasan. Alasan pertama adalah

alasan kultural, yang memang antara pemerintah dengan pesantren Al Amin

berbeda secara kultural. Alasan kedua adalah alasan kepemimpinan. Alasan ini

yang menjadi perhatian utama sehingga pada Pemilu lalu, kyai mendorong

muridnya yang juga teman diskusinya untuk maju, bertarung lewat jalur

independen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan terjadinya

99

kolaborasi antara pesantren Al Amin dengan pemerintah karena perbedaan prinsip

tersebut sehingga jalan satu-satunya adalah dengan memunculkan kandidat yang

secara kultural dan emosional sejalan dengan pesantren.

Contoh yang paling aktual adalah dalam pelaksanaan kerjasama antara

pesantren Al Amin dengan Aqua, tidak ada keterlibatan dan peranan pemerintah

disana. Pemerintah hanya didudukkan pada konteks seremonial. Bahkan, pada

beberapa kesempatan, aparatur desa justru merasa bahwa apa yang dilakukan oleh

pesantren Al Amin ini justru lebih dulu dibanding dengan apa yang dilakukan

pemerintah pusat dengan program one man one tree. Pengakuan aparatur desa

seperti terlihat pada pernyataan berikut ini:

“…Pada prinsipnya, pemerintah Desa menyambut baik. Jadi program kyai

(abuya) ini yang dipelopori dari desa, pesantren konservasi, model

pesantren konservasi ini baru kali ini terjadi di Kabupaten Bogor. Jadi

mudah-mudahan 45 (empat puluh lima) pesantren yang ada di Desa

Tangkil, mungkin ini akan menjadi contoh atau sebagai Pilot Project. Jadi

program pemerintah yang selama ini, yang disebut program one man one

tree, ternyata dari Hejo Daun ini sudah duluan (lebih dahulu), jadi

program pemerintah belum berjalan, malah sudah mendahului. Nah, satu

itu. Keduanya, faktor secara ekonomis, masyarakat kami merasa sangat

terbantu. Jadi untuk kedepannya, lahan masyarakat ini sejumlah 168

hektar, mudah-mudahan dengan gagasan buya ini, seperti awal tadi bilang,

pondok-pondok pesantren yang ada khususnya di wilayah Desa Tangkil,

minimal harus berguru kepada Al-Amin ini, ke Hejo Daun ini, untuk

meningkatkan, untuk ekspansi perluasan…”

Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Kyai selalu mendorong dan

mengajarkan murid-muridnya untuk bertindak secara seimbang baik pada sisi

konteks maupun teks. Sikap terhadap alam ataupun lingkungan seperti pohon juga

memiliki hak hidup sehingga harus dihargai layaknya hak azasi manusia serta

posisinya yang juga sebagai makhluk Allah SWT yang harus dijaga juga

mengemuka sebagai kerangka pikir Kyai. Manusia menurutnya harus bersikap

sama dengan ketika dia bersikap kepada sesama manusia. Pluralitas sikap

demikian penting karena memperlihatkan bagaimana kesejajaran antara makhluk

yang menjadi fundamen teologi dan menyadari bahwa kesemuanya merupakan

bukti kebesaran Allah SWT.

Kyai Basith memperlihatkan corak pandangan ekologi dalam baik dalam

konstruksi teologis yang dimilikinya, maupun alasan pemberdayaan masyarakat

100

yang dilakukannya. Meskipun demikian, corak pandangan ini dirasa masih pada

taraf awal karena meskipun perubahan pandangan secara individual telah terjadi,

tetapi pada taraf yang masih dini. Sebagian flatform lain yang menjadi indicator

kedalam belum terlihat seperti sikap kyai terhadap upaya pengurangan populasi

manusia masih belum terdeksi apakah menunjukkan pergeseran paradigmatik

menjadi ekologi dalam. Meskipun demikian, pada derajat yang minimal, dalam

upaya menyelamatkan lingkungan, kyai tidak lagi menempatkan solusinya pada

kerangka dasar ekologi dangkal yang mengandalkan upaya modernisasi dan

penggunaan teknologi, tetapi mendorong terbangunnya kesadaran dan pemaknaan

atas nilai esoteris makhluk selain manusia.

Kondisi yang berbeda justru terjadi pada level teknis anggota kelompok tani

Hejo Daun. Persoalan perubahan paradigmatik yang menjadi tekanan di level

kyai, ternyata belum terlihat optimal terjadi. Kondisi ini dilatari oleh fokus

mereka yang lebih pada upaya mencari solusi ekonomi, keluar dari himpitan dan

keterbatasan akses atas sumberdaya. Sebagian anggota kelompok merasa bahwa

apa yang dilakukan oleh kyai dengan penanaman Sengon ini memiliki manfaat

keekonomian yang bisa mendongkrak taraf hidup mereka. Meksipun demikian,

secara bertahap, mereka menyadari dan memahami nilai-nilai transenden yang

dimaksud oleh kyai, bahwa gerakan ini bukan hanya gerakan ekonomi an sich,

tetapi lebih dari itu merupakan gerakan moral dan gerakan sosial. Kondisi ini

tergambar dari pernyataan informan berikut:

“…Abuya menyampaikan, kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan

niat kita ibadah, ada nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon

menghasilkan oksigen itu hingga dewasa menghasilkan oksigen hingga dua

orang. Dengan alam lain, dengan burung menghasilkan makanan, tempat

berlindung, dengan tanah bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu

diterangkan, masyarakat mau dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan

ekonomi, nah kebutuhan mereka itu tidak hanya dengan ibadah saja,

apalagi diterima dengan kondisi keimanan seperti tadi mereka tidak begitu

saja menerima, dengan jarak satu hingga lima tahun…”

Lambatnya pergeseran ini, secara umum bisa dilihat dari tesis Abdurrahman

Wahid yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu sub kultur.

Kontruksi kultural yang terbangun di pesantren, yang berbeda dengan masyarakat

pada umumnya memperbesar peluang transfer pengetahuan kepada aktor-aktor

101

yang ada didalamnya. Akan tetapi, kondisi sub kultural ini tidak terjadi di

pesantren Al-Amin dalam konteks gerakan ekologi (penanaman sengon). Ini

dikarenakan, hampir seluruh anggota kelompok tani tidaklah secara intens dan

terpola hidup dalam kultur pesantren. Poros utama pesantren pada nilai

keagamaan tidaklah sama dengan kehidupan mereka di lingkungan masing-

masing sehingga, internalisasi nilai teologi menjadi hal yang kedua, setelah

pemenuhan hajat ekonomi.

Rasa syukur atas pencapaian ekonomi – hasil dari penanaman – seperti yang

dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan salah satu contoh yang paling nyata

bagaimana sebenarnya faktor ekonomi menjadi sangat dominan. Meskipun makna

syukur tersebut mencerminkan kesadaran teologisnya, tetapi ternyata tidak

memperlihatkan kesadaran ekologi teologi yang menjadi cita luhur kyai Abdul

Basith. Oleh karena itu, di pesantren Al Amin, meskipun pada level kyai, ekologi

dalam tercermin dalam pandangan kyai, tetapi pada level murid maupun

masyarakat, ekologi dalam belum tercermin.

Sementara itu, gerakan ekologi yang terbangun di pesantren Daarul Ulum

Lido memperlihatkan sikap terhadap lingkungan yang terefleksikan dari sikap

Kyai yang mendorong kecintaan terhadap alam sebagai bagian dari kecintaan

terhadap Allah SWT. Selain itu, sebagian santri juga memperlihatkan sikap dan

ungkapan kecintaan terhadap alam merupakan kesatuan sehingga upaya

merusaknya merupakan upaya merusak kehidupan.

Pandangan kyai yang menempatkan posisi manusia dengan alam setara dan

manusia juga memiliki ketergantungan terhadap alam memperlihakan bagaimana

sebenarnya cara pandang yang merefleksikan ekologi dalam. Hubungan dengan

alam bukanlah hubungan menguasai seperti konstruksi yang dibangun oleh

ekologi dangkal, melainkan hubungan kasih sayang, hubungan kecintaan.

“…Manfaat yang bisa diambil oleh mereka bahwa kita selama ini

menanamkan kepada anak-anak kita (santri) itu agar mereka mencintai

makhluk tuhan. Ketika kita bicara mengenai mencintai makhluk tuhan, tidak

hanya sebatas manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam

sekitarnya, karena kita meyakini bahwa alam bisa hidup tanpa kita, tetapi

kita tidak bisa hidup tanpa alam…”

102

Pola hubungan ini kemudian tidak di letakkan hanya pada tataran ideal dan

hanya sebagai konstruksi moralitas-etik, melainkan diletakkan pada aras praktik.

Pilihan untuk menetapkan salah satu wilayah dalam pesantren sebagai zona harim

memperlihatkan bagaimana kesadaran individual tersebut harus tertular secara

kultural dan melembaga dalam pesantren. Pada taraf minimal, simbolisasi

konservasi menurut konsepsi Islam ini memperteguh bahwa setiap santri harus

turut menjaga keberlangsungan alam. Dengan adanya harim zone kemudian,

santri bisa mempelajari banyak hal. Dengan harim zone pula, santri bisa

mengaplikasikan ilmu yang selama ini dipelajari di kelas secara praktis.

Kesadaran dan cara pandang yang senada juga diungkapkan oleh ustadz

yang menjadi staf pengajar di pesantren ini. Bahkan, sebelum adanya harim zone,

ia telah melakukan kegiatan penanaman yang menurutnya merupakan dorongan

moral sebagai seorang muslim. Contoh kasus lain adalah, adanya sikap seorang

santri senior yang ketika itu memiliki posisi strategis, memberikan hukuman

kepada santri lain yang mencabut tanaman secara sembarangan dengan sikap yang

sangat baik, yaitu dengan memerintahkan untuk membersihkan sampah sejumlah

tertentu. Pilihan hukuman semacam ini menurutnya adalah upaya untuk

mendorong kesadaran santri tersebut untuk mencintai dan menghargai

lingkungan. Sikap ini merefleksikan usaha untuk menumbuhkan pandangan

biospheric egalitarianism yang memandang kesetaraan seluruh makhluk sehingga

harus diperlakukan dan didudukkan pada martabat yang sama

Pola hidup yang berlangsung dalam kehidupan pesantren juga

memperlihatkan pola hidup yang egaliter, yang mengusung ide kesederhanaan.

Dalam pesantren terdapat nilai yang coba dibangun dengan sebutan Panca Jiwa.

Nilai ini merupakan nilai yang dibangun oleh KH. Imam Zarkasyi, Gontor yang

banyak ditularkan dan di implementasikan oleh pesantren, terutama pesantren

modern. Prinsip kesederhanaan ini terlihat dari larangan untuk menggunakan hal-

hal yang mencolok dan membedakan antar masing-masing santri, sikap yang tidak

berlebihan, asketis serta juga tidak kikir. Pada sisi fisik, pesantren juga memiliki

infrastruktur yang tidak membedakan satu santri dengan santri lainnya sehingga

harapan untuk tidak terjadi kesenjangan antara satu dengan lainnya terus

dilakukan oleh pesantren. Ini merupakan salah satu potret realisasi nilai aksetisme

103

yang diajarkan oleh Islam. Kondisi demikian diharapkan mampu memupuk rasa

tenggang rasa serta budaya jujur dan sederhana. Berikut potret pernyataan

tersebut:

“…Saya pikir, di pesantren Modern termasuk di Pesantren Daarul Ulum

Lido itu mempunyai ruh yang kita sebut dengan panca jiwa pesantren.

Semua pesantren modern itu sama. Panca jiwa pesantren ini dilahirkan

oleh (Alm) KH. Imam Zarkasyi, Gontor. Panca jiwa pesantren itu antara

lain Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah dan

Kebebasan. Saya pikir, kerakusan tadi itu adalah memang salah satu sifat

yang ada pada manusia, tetapi dengan adanya kesederhanaan itu kita

berusaha menanamkan kepada mereka untuk tidak rakus. Mereka

sederhana yang artinya memanfaatkan sesuatu itu sesuai dengan kebutuhan

dan fungsinya dan selama ini yang terjadi di daarul ulum lido sifat

kerakusan hingga merusak lingkungan belum pernah terjadi, bahkan kita

sebaliknya…”

Selain itu, harim zone menjadi arena simbolis dan praksis yang dapat

memupuk prinsip pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan

kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis karena disatu sisi, santri

dan komponen pesantren lainnya memiliki kesadaran dan kewajiban untuk

merawat zona tersebut, minimal pada setiap Jumat bagi seluruh santri dan Ikapala

setiap waktu sebagai penanggungjawab sehari-harinya. Sementara itu, harim zone

menjadi zona dan lahan pembelajaran mereka untuk memperkaya khazanah

ekologi serta pengetahuan biosferik mereka. Ini menunjukkan, bahwa pesantren

mengedepankan hak hidup tanaman dan makhluk lainnya, sementara manusia

juga bisa belajar dari tanaman tersebut. Ini terlihat dari pernyataan berikut ini:

“…Manfaatnya harim zone, ilmu-ilmu yang dahulu bisa diperlebih disini,

bisa lebih diperdalam. Terus juga, tidak cuma diperdalam saja, tapi juga

mengenal. Selain mengenal juga lebih mendekatkan diri kepada alam

bebas…”

Jika ditilik dengan norma diatas, prinsip dasar ekologi dalam terlihat

mengemuka di pesantren ini meskipun masih pada tahap embrio. Perubahan cara

pandang, dari kebanyakan pesantren lainnya serta perhatian besar terhadap isu

lingkungan, meskipun umur pesantren yang relatif muda menjadi salah satu faktor

tumbuhnya gerakan ekologi dalam tersebut. Selain itu, Conservation International

yang banyak memberikan penyadaran, juga bermain pada upaya memantik

kesadaran kalangan pesantren tersebut. Selain itu, Kyai melihat bahwa upaya

104

menyikapi dan melihat problem lingkungan serta upaya mencari solusi

pemecahannya bukan pada wilayah teologis semata, tetapi juga menyelesaikannya

dengan melihatnya sebagai problem kemanusiaan.

Selain itu, gerakan yang dilakukan di internal pesantren, yang menggunakan

media formal maupun informal di dalam pesantren, serta pesantren yang terlihat

seperti enclave, mampu menjaga putaran ide serta gerakan ekologi tersebut. Sub

kultur pesantren mampu mempertahankan gerakan tersebut secara baik karena

ritual dan aktivitas yang dilakukan dalam kompleks pesantren secara terus

menerus sehingga gagasan dan gerakan terus di reproduksi dan diwariskan dan

meluas meskipun tidak terlepas dari tantangan dan problematika yang

dihadapinya.

Meskipun demikian, sebenarnya gerakan harim zone ini juga tidaklah

menjawab persoalan mendasar yang terjadi di pesantren ini. Dalam beberapa

aspek, sebenarnya pesantren Daarul Ulum Lido dihadapkan pada beberapa

persoalan seperti belum mewabahnya kesadaran santri dalam menjaga kesehatan

dan kebersihan. Ini menunjukkan bahwa, gerakan yang dilakukan selain masih

bersifat simbolik, juga masih didominasi oleh segelintir aktor dalam pesantren.

Sifat gerakan yang masih eksklusif menjadi penghambat perluasan ide dan upaya

mendorong terbangunnya kesadaran yang lebih masif di kalangan pesantren. Pada

tataran tertentu, gerakan ekologi ini harus didorong pada upaya mewujudkan

gerakan ekologi yang inklusif, terbuka dan mampu membangun kesadaran seluruh

santri dalam pesantren, yang pada gilirannya meluas keluar lingkungan pesantren.

Artinya, jika dilihat dalam jenjang munculnya gerakan ekologi, tahapan yang

dilalui oleh pesantren ini juga tidak berlangsung secara tuntas. Jenjang saat ini

yang penulis rasakan di pesantren tersebut adalah upaya melakukan internalisasi

teologi ekologi, meskipun masih berlangsung pada pusaran aktor yang terlibat

saja dan belum meluas pada santri lainnya. Jenjang perluasan gerakan untuk

membangun kesadaran masyarakat diluar pesantren belum dilakukan dan perlu

mendapat perhatian sehingga gerakan yang berlangsung di pesantren tidak bersifat

eksklusif milik pesantren, tetapi menjadi milik bersama antara pesantren dengan

masyarakat sekitarnya.

105

7.2. Potensi Masa Depan Gerakan Ekologi di Pesantren

Gerakan ekologi di pesantren yang terjadi di dua pesantren diatas, baik yang

merupakan refleksi individual maupun hasil induksi pengetahuan aktor luar

pesantren perlu dilihat dalam kerangka yang lebih besar sehingga dapat

diproyeksikan kontinuitas gerakan tersebut. Bagi pesantren yang merupakan

komunitas supra-sosial (meminjam istilah Hermansah), konstruksi teologi ekologi

yang dibangun perlu dijaga kesinambungannya, proses pewarisannya maupun

kontinuitas idenya, sehingga keberlanjutan gerakannya menjadi terjamin dan

terarah.

Keberlanjutan ini perlu diteropong baik dari sisi konstruksi teologi ekologi,

proses manifestasi gerakannya maupun kontinum gerakan ekologi tersebut.

Kontinum merupakan suatu kondisi dimana proses perubahan dari satu kondisi

kepada kondisi yang lain berjalan secara gradual serta tanpa menumbulkan

perubahan mendadak1. Dalam filsafat, kontinum merupakan suatu konsep tentang

suatu realitas, atau suatu dimensi realitas yang tidak terpecah-pecah. Whitehead

memandang peristiwa-peristiwa dalam ruang-waktu sebagai terjadi dalam suatu

kontinum yang ekstensif (Bagus, 1996).

Dari sisi kontruksi ideologi, tafsir yang dilakukan oleh kyai yang terdapat di

pesantren tradisional menjadi rentan tergerus oleh waktu. Tafsir dan penafsir

tunggal semacam ini menjadi terkendala ketika pewaris kepemimpinan pesantren

tidak memiliki kemampuan sepadan atau bahkan lebih baik dari kyai Abdul

Basith. Artinya, faktor kapasitas dan kapabilitas dalam memaknai teologi ekologi

serta melakukan kontekstualisasi dengan problematika yang dihadapi dapat

menjadi ganjalan besar apabila pewarisan ide tersebut tidak berjalan. Disisi lain,

proses pewarisan ide yang terjadi di pesantren modern, yang memiliki sistem

pengkaderan dan regenerasi yang lebih baik memungkinkan kontinuitas program

tersebut tetap terjaga.

Selain itu, bagi pesantren tradisional semacam pesantren Al Amin, relasi

sosial yang terbangun memiliki peranan paling besar, karena kekuasaan besar,

terutama otoritas penafsir keagamaan yang dimiliki oleh kyai menjadi salah satu

kekuatan utamanya, yang mendorong tumbuhnya inovasi berbagai gerakan baik

1 http://en.wikipedia.org/wiki/Continuum

106

gerakan sosial maupun gerakan ekologi. Relasi yang terbangun, baik antara kyai

dengan murid maupun kyai dengan masyarakat disekitar, sedikit banyaknya

dipengaruhi oleh kharisma yang dimiliki oleh kyai tersebut. Sistem pewarisan

secara genealogis, menjadi ujian pertama karena bukan tidak mungkin kondisi ini

menyebabkan masalah. Kualifikasi yang dimiliki oleh kyai merupakan hasil

pengujian dalam kurun ruang dan waktu yang relatif panjang. Artinya, relasi yang

terbangun antar kyai dengan murid maupun masyarakat yang mengikutinya itu

telah terbangun selain karena warisan relasi secara genealogis, juga merupakan

pengakuan atas kapasitas yang dimilikinya. Pewaris tahta selanjutnya, haruslah

memiliki kemampuan yang sama dan kondisi ini secara bertahap dilakukan oleh

kyai saat ini. Proses pengkaderan sedang dilakukan, meskipun belum terlibat

dalam konteks gerakan, tetapi pengenalan terhadap sistem pesantren telah

dilakukan. Riset yang dilakukan di pesantren Luhur Al Wasilah (Yamin, 2007)

memperlihatkan pola gerakan yang sama seperti di pesantren Al Amin. Poros

gerakan bertumpu pada sosok kyai yang mampu menggerakkan sebagian

masyarakat Garut untuk ikut dalam kegiatan konservasi. Akan tetapi, pertanyaan

terbesarnya, bagaimana kondisi gerakan tersebut selanjutnya?

Dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia, praktik pemberdayaan

masyarakat dapat dilacak pada kurun 70 hingga 90an. Pondok Pesantren An-

Nuqayah, Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pondok Pesantren Pabelan banyak

melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat, mulai

dari pengembangan ekonomi pedesaan, perbaikan sanitasi, penghijaun dan lainnya

telah mereka lakukan. Hal yang menarik adalah, ketiga pesantren ini memiliki

lembaga tersendiri yang bertugas secara khusus mengorganisir dan mengelola

praktik pemberdayaan masyarakat (Effendy, 1980; Rahardjo, 1985). Potret ini

yang belum ditemukan dalam gerakan di pesantren Al Amin, sehingga potensi

tergerus menjadi terbuka ketika pola pewarisan kepemimpinan dan pemaknaan

akan gerakan tidak berjalan secara baik. Sementara itu, sejarah telah

membuktikan, praktik gerakan di pesantren diatas justru memperlihatkan

konsistensi dan kontinuitas yang relatif baik meskipun tetap dilakukan adaptasi

seiring dengan perubahan generasi dalam pesantren masing-masing.

107

Kemudian, manifestasi gerakan yang melibatkan masyarakat sebagai aktor

gerakan dengan stimulan ekonomi memperlihatkan symptom atau gejala yang juga

berpotensi menahan laju perkembangannya. Proses penanaman Sengon yang

dilakukan saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal karena baru memasuki

tahun-tahun pertengahan, sehingga ketika penanaman tersebut tidak memberikan

keuntungan bagi mereka, yang dimungkinkan hanyalah distrust dan erosi

kepercayaan terhadap kyai. Selain itu, tersendatnya kerjasama pesantren Al Amin

dengan Aqua seringkali menjadi pertanyaan bagi masyarakat akan nasib aktivitas

mereka. Kondisi ini dapat menyebabkan tidak bergeraknya posisi masyarakat

yang saat ini dirasa masih berada pada titik ekologi dangkal, kemudian mampu

menggeser paradigma berfikirnya menjadi ekologi dalam karena terpaku pada

aspek ekonomi saja. Padahal, praktik ekonomi tersebut hanya stimulan yang

dilakukan oleh kyai Basith. Praktik primer yang diperkenalkan sebenarnya jauh

lebih besar meskipun terkesan normatif seperti pengenalan nilai intrinsik pohon,

dan sebagainya.

Selain itu, transfer ide, yang harusnya dilakukan secara repetitif, dilakukan

berulang-ulang, hingga saat ini tidak dilakukan secara konsisten dan teratur.

Pengajian yang dilakukan oleh kyai, yang dapat dimaknai sebagai salah satu

sarana yang dimiliki oleh pesantren dan masyarakat perlu di revitalisasi dan di

kontekstualisasikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengajian tidak hanya berkutat

pada pembahasan keagamaan saja, tetapi diperluas menjadi pembahasan sosial

keummatan. Praktik ini telah dilakukan oleh pesantren An Nuqayah melalui bek-

rembek (Effendy, 1980).

Sementara itu, pada pesantren Daarul Ulum Lido, gerakan ekologi yang

dilakukan hingga saat ini dapat bertahan karena tafsir terhadap gerakan tersebut

tidak di monopoli oleh seorang kyai atau sekelompok orang. Proses pergumulan

ide yang dilakukan secara dialektik antara aktor di pesantren dengan diluar

pesantren setidaknya mampu menjaga kesegaran ide tersebut sehingga pesantren

dapat terus melakukan interpretasi atas teologi ekologi. Namun, tafsir yang

dilakukan tersebut bukan merupakan tafsir tunggal sehingga memungkinkan

disparitas struktur kognisi yang berbeda antara masing-masing individu. Hal ini

menyebabkan sulitnya menyatukan pandangan karena masing-masing memiliki

108

sudut pandang yang berbeda. Disitulah posisi sistem harusnya berperan. Sistem

harus mampu mensintesakan berbagai struktur kognisi tersebut sehingga

menghasilkan rumusan yang disepakati oleh seluruh pihak. Harim zone, meskipun

diapresiasi, tetapi tetap menimbulkan kritik dan riak di dalam internal pesantren

karena perbedaan struktur tersebut. Artinya, meskipun terdapat keleluasaan dalam

mengadopsi interpretasi luar, perlu ditetapkan aturan main sehingga ketika

jejaring tidak hanya pada satu simpul dan meluas, pesantren tidak mengalami

destruksi ide gerakan. Langkah pengembangan gerakan dengan meningkatkan

relasi dari sekedar bouding capital, tetapi menjadi bridging capital atau bahkan

linking capital (Woolcock dan Narayan, 2006) menjadi penting dilakukan

sehingga kontinuitas gerakan dapat terus dilakukan tanpa bergantung pada satu

aktor luar pesantren.

Selain pada level pesantren, pada level komunitas santri, mobilisasi ide

yang selama ini hanya berputar dalam struktur kognisi anggota-anggota

kelompok, perlu ditularkan dan didiseminasikan kepada kepada santri lainnya

sehingga, memperbanyak pengaruh dan pemahaman atas prinsip-prinsip ekologi

dalam seperti yang telah disebutkan diatas.

Pertarungan gagasan baik pada level santri maupun pada level pesantren,

meskipun terjadi, tetapi tidak sampai menihilkan tafsir yang dilakukan

sebelumnya. Bahkan, pada titik tertentu justru memperkaya khazanah gerakan

serta menjadi pandang kritis bagi keberlangsungan gerakan tersebut. Pertarungan

gagasan ini lah yang dirasa akan terus mendinamisir gerakan yang terjadi di

pesantren Daarul Ulum Lido.

Penting untuk digarisbawahi, bahwa meskipun praktik gerakan telah

dilakukan, baik pada pesantren Al Amin maupun pesantren Daarul Ulum Lido,

peran besar pengetahuan agama masing-masing aktor dalam menafsirkan teologi

ekologi harus terus diperhatikan sebagai instrumen dasar dalam mendorong

perubahan karena bagaimanapun konteks gerakan yang akan dilakukan, aktor

tersebut akan selalu menginterpretasikan sesuai kadar pengetahuan mereka.

Sementara, disisi lain, aktor di pesantren akan terus mengakutalisasikan

problematika yang berkembang dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka

pahami.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan

Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa hal yang saling terkait satu

sama lain. Dalam hal lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan ekologi di

pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Al Quran.

Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan dicoba di

kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren maupun

masyarakat pada umumnya. Basis teologi yang melandasi gerakan secara khusus

merujuk pada kekhasan dan ciri utama dari pesantren yang bersangkutan terutama

bagaimana sosok Kyai merefleksikan fenomena sekitar dan

mengaktualisasikannya dalam kehidupan pesantren secara umum serta

memadukannya dengan kekhasan yang dimiliki oleh pesantren tetapi berbeda

dalam sudut pandang dan cara mengartikannya.

Aktor dalam kedua pesantren ini merujuk pada ayat Al Quran yang

mengatakan bahwa sesungguhnya, manusia dilarang melakukan perusakan setelah

Allah SWT menciptakannya. Pesantren Al Amin, memiliki kerangka dasar teologi

yang terbangun yaitu untuk menjalankan tiga hubungan transenden (Allah-

Manusia-Alam). Landasan teologi lain yang mengemuka adalah konsepsi tentang

kutubul awliaa yang menjadi kerangka dasar untuk menjaga keseimbangan alam

serta konsepsi sedekah yang menjadi ciri utama pesantren ini. Sementara itu,

Pesantren Daarul Ulum Lido membangun kerangka teologi gerakannya pada

konsepsi Fiqh Al-Bī’ah serta filosofi yang menempatkan manusia sebagai khalifah

yang bertugas menjaga kesinambungan hidup baik manusia maupun alam.

Pesantren juga mendorong tumbuhnya kecintaan terhadap makhluk ciptaan yang

lain selain manusia, juga sebagai bukti tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas

bumi. Landasan teologi lain adalah upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam

dengan tujuan menjaga kesinambungan hidup generasi manusia dimasa

mendatang.

Pesantren Al Amin memperlihatkan corak manifestasi gerakan ekologi

pesantren yang lebih keluar yang merupakan hasil refleksi pribadi aktor dalam

pesantren, khususnya Kyai. Bentuk kegiatannya adalah dengan melakukan

110

penanaman pohon Sengon yang bekerjasama dengan masyarakat disekitar

maupun dengan murid kyai. Kyai melalui gerakan ini juga memanfaatkan dua hal

yaitu secara ekonomi maupun dakwah. Pola hubungan sosial kyai yang berciri

tradisional-partilineal yang menempatkan eratnya hubungan antara kyai dan murid

maupun anggota kelompok tani seperti hubungan pertalian darah memiliki peran

strategis sehingga konstruksi ide yang dibangun relatif mudah di implementasikan

karena faktor ketaatan tersebut.

Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido yang memperlihatkan corak

manifestasi gerakan ekologi yang merupakan hasil induksi aktor dari luar

Pesantren. Bentuk gerakan ekologi di pesantren juga menjadi lebih kedalam.

Pesantren memiliki zona khusus yang disebut sebagai Harim Zone, atau zona

haram yang merupakan suatu lahan yang berada di pinggir sungai yang tidak

boleh dimanfaatkan untuk pembangunan. Adanya ruang ini memunculkan

peluang bagi santri untuk membentuk kelompok pecinta alam yang memiliki

tujuan utama untuk menggerakkan santri, ikut terlibat dalam gerakan mencintai

lingkungan sekitar, terutama alam. Keberadaan Harim zone ini merupakan induksi

pengetahuan dan hasil dialektika dengan aktor dan organisasi luar seperti

Conservation International Indonesia (CI) yang secara khusus memang

mendorong upaya konservasi alam. Dalam konteks tindakan sosial, gerakan yang

berlangsung di kedua pesantren ini memperlihatkan corak tindakan sosial aktor

sebagai tindakan rasional nilai yang bertumpu pada pemahaman nilai masing-

masing aktor tersebut.

Pada wilayah kontinum gerakan, praktik gerakan yang dilakukan oleh

pesantren Al Amin memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada level

(aktor) kyai sedangkan pada level murid maupun masyarakat belum

memperlihatkan kondisi demikian. Sementara itu, di pesantren Daarul Ulum Lido

memperlihatkan gejala awal gerakan ekologi dalam pada setiap aktor yang terlibat

dalam gerakan ekologi. Meskipun demikian, gerakan ini memiliki tantangan

tersendiri. Tantang tersebut terletak pada keberlanjutan gerakan tersebut baik pada

sisi pewarisan interpretasi ataupun pemaknaan pada setiap aktor, utamanya pada

kyai serta upaya mobilisasi gerakan tersebut. Kedalam gerakan yang terjadi di

kedua pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari seberapa dalam interpretasi aktor

111

atas teks teologi yang terdapat dalam Islam serta perumusan dan implementasi

teks praksisnya. Tetapi, yang penting untuk digarisbawahi adalah, kekuatan utama

dalam gerakan ini yaitu karena meletakkan agama Islam sebagai fundamen dari

gerakan tersebut sehingga dapat di serap oleh aktor pesantren, dimaknai, dan

dimanifestasikan dalam potret gerakan masing-masing.

8.2. Saran

Konstruksi gerakan yang bersumber dari nilai ke-Islaman memperlihatkan

bahwa, agama tidaklah beku dan dapat dikontekstualisasikan dalam menjawab

problematika disekitar. Oleh karena itu, dalam kerangka mencari jalan keluar

permasalahan lingkungan, terutama yang bermuara pada pemahaman ekosentrik,

Islam dirasa kompatibel dan sejalan dengan pandangan tersebut meskipun tidak

terlepas dari berbagai kritik.

Berangkat dari hasil penelitian ini, dirasa perlu dirumuskan saran yang

konstruktif sebagai sumbangsih penulis terhadap upaya perumusan solusi krisis

ekologi yang tengah berlangsung.

Pertama, pada sisi makna teologi ekologi, perlu terus didorong interpretasi

yang lebih mendalam dan luas atas teks-teks keagamaan sehingga, landasan yang

dimiliki tidak hanya berbicara pada tataran relasi manusia dengan makhluk

lainnya, tetapi juga terefleksikan pada sikap inklusif relasi manusia dengan

manusia. Model interpretasi semacam ini dapat diperluas tidak hanya di pesantren,

tetapi dapat di implementasikan pada lembaga-lembaga keagamaan lainnya.

Kedua, pada sisi manifestasi gerakan, pesantren dapat terus didorong untuk

menjadi salah satu lembaga yang selain menciptakan kader agama, juga dapat

menciptakan kader ekologi. Gerakan yang dibangun di pesantren, tanpa harus

mendestruksi akar kulturalnya, dapat dijadikan agent of change untuk mendorong

perbaikan dan penyelamatan ekologi. Ini ditopang oleh semakin terbukanya

pesantren serta menuju kepada transformasi sosial sebagai wujud pengabdian

sosial.

Ketiga, gerak perubahan perlu terus diperhatikan baik oleh pesantren

maupun aktor lain diluar mereka sehingga, upaya untuk terus menggerakkan

perubahan cara pandang menjadi ekosentris dapat terus melembaga dalam

112

pesantren. Secara praksis, model gerakan ini dapat dijadikan model pesantren

ekologis dengan segala evolusi bentuk gerakannya dimasa mendatang.

Keempat, pada aras akademik, perlu dilakukan studi lanjut untuk melihat

gerak perubahan gerakan ekologi di pesantren dalam suatu kontinum waktu yang

lebih panjang sehingga diperoleh gambaran yang komprehensif dan implikasinya

bagi pesantren maupun masyarakat diluar pesantren.

113

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren. Pustaka Pesantren: Yogyakarta

Abdillah, Mujiyono. 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an.

Paramadina: Jakarta

Abedi-Sarvestani, Ahmad dan Mansoor Shahvali. 2008. Environmental Ethics:

Toward an IslamicPerspective. American-Eurasian J. Agric. & Environ.

Sci., 3 (4): 609-617

Adiwibowo, Soeryo. 2008. Paradigm, Perspektif dan Etika Ekologi dalam

Ekologi Manusia, editor Dr. Soeryo Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia-

IPB: Bogor.

Afrasiabi, Kaveh L. 2003. Toward an Islamic Ecotheology dalam Islam and

Ecology Editor Richard C Foltz, Frederick M Denny dan Azizan

Baharuddin. Center for the Study of World Religions, Harvard Divinity

School: Cambridge

Al-Qardhawi, Yusuf. 2001. Islam Agama Ramah Lingkungan. Pustaka Al-

Kautsar: Jakarta

Ammar, Nawal. 2001. Islam and Deep Ecology dalam Deep Ecology and World

Religions: New Essays on Sacred Ground, editor David Landis Barnhill dan

Roger S Gottlieb. State University of New York: Albany

Arifin, Zainal dan Ida Uswatun Hasanah. 2003. K.H. Hamam Dja’far; Pesantren

Sebagai Learning Society dalam Transformasi Otoritas Keagamaan. Editor

Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi. PT. Gramedia Pustaka Utama:

Jakarta

Azra, Azyumardi. 1985. Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif

Masyarakat dalam Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun Dari Bawah.

Editor M Dawam Rahardjo. P3M: Jakarta

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Barnhill, David Landis dan Roger S Gottlieb. 2001. Deep Ecology and World

Religions: New Essays on Sacred Ground. State University of New York:

Albany

114

Basyuni, Ison. 1985. Da’wah Bil Hal Gaya Pesantren dalam Pergulatan Dunia

Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:

Jakarta

Bell, Michael Mayerfeld. 1998. An Invitation to Environmental Sociology. Pine

Forge Press: California

Bennett, Clinton. 2005. Muslims and Modernity: an Introduction to the Issues and

Debates. Continuum: New York

Brand, Karl-Werner. 1997. Environmental Consciousness and Behaviour: the

Greening of Lifestyles dalam The International Handbook of Environmental

Sociology Editor Michael Redclift dan Graham Woodgate. Edward Elgar

Publishing Limited: Cheltenham

Budiman, Arie dan Ahmad Jauhar Arief. 2007. Konservasi Berbasis Keimanan;

Contoh Kasus di Tiga Pondok Pesantren di Jawa Barat dalam Menanam

Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain Heriyanto dan

Reza Gholami. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai. LP3ES: Jakarta

Dien, Mawil Izzi. 2003. Islam and the Environment: Theory and Practice dalam

Islam and Ecology Editor Richard C Foltz, Frederick M Denny dan Azizan

Baharuddin. Center for the Study of World Religions, Harvard Divinity

School: Cambridge

Effendy, Bachtiar. 1985. Nilai-nilai Kaum Santri dalam Pergulatan Dunia

Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:

Jakarta

Effendy, Bisri. 1990. An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura. P3M:

Jakarta

Engineer, Asghar Ali. 2007. Islam dan Pembebasan. LkiS: Yogyakarta.

Fadhilah, Amir. 2005. Budaya Politik Kyai di Pedesaan. Thesis tidak

dipublikasikan. IPB: Bogor

Garner, Robert. 1996. Environmental Politics. Prentice Hall: Maylands Avenue

115

Geertz, Clifford. 1960. The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural

Broker. Comparative Studies in Society and History, Vol. 2. Hal. 228-249.

Cambridge University Press

Ghazali, M Bahri. 2003. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Prasasti: Jakarta

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis

Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press).

Hadimulyo. 1985. Dua Pesantren, Dua Wajah Budaya dalam Pergulatan Dunia

Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:

Jakarta

Hermansyah, Tantan. 2003. Hubungan dan Refleksi Teologi Terhadap Kehidupan

Sosial Masyarakat Pesantren Pedesaan Kampung Garogol Garut. Thesis

tidak dipublikasikan. IPB: Bogor

Hidayat, Komaruddin. 1985. Pesantren dan Elit Desa dalam Pergulatan Dunia

Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo. P3M:

Jakarta

Horikoshi, Hiroko. 1986. Kyai dan Perubahan Sosial. Terj. Umar Basalim dan

Andi Mualy Sunrawa. P3M: Jakarta

Houben, Vincent J. 2003. Southeast Asia and Islam. The ANNALS of American

Academy of Political and Social Science

Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran

Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Mata Bangsa: Yogyakarta

Izzi Deen, Mawil Y. 1990. Islamic Environmental Ethics: Law and Society dalam

Ethic of Environment and Development. Engel and Engel (ed). The

University of Arizona Press: Tucson

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan

oleh Robert M Z Lawang. Jakarta: PT. Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. LP3ES;

Jakarta.

Keraf, A Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas: Jakarta

Luke, Timothy W. 2002. Deep Ecology: Living as if Nature Matered: Deval and

Sessions on Defending the Earth. Organization and Environment Journal.

116

Mahmudunnasir, Syed. 1991. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Penerbit PT.

Remaja Rosdakarya: Bandung

Mangunjaya, Fachruddin M dan Ahmad Sudirman Abbas. 2009. Khazanah Alam:

Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Mangunjaya, Fachruddin M, Hesain Heriyanto, dan Reza Gholami (ed). 2007.

Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan

Hidup. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology. Sage Publications:

London

McLaughlin, Andrew. 1995. The Hearth of Deep Ecology dalam Deep Ecology

for the 21st Century: Reading on the Pholosophy and Practice of the New

Environmentalism, editor George Sessions. Shambhala Publications:

Massachusetts

Mintarti. 2001. Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi di Kalangan NU dan

Muhammadiyah. Yogyakarta: Jurnal Sosiohumanika.

Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT. Remaja

Rosdakarya: Bandung.

Morrison, Ken. 1995. Marx, Durkheim, Weber; Formations of Modern Social

Thought. Sage Publications: London

Muhammad, Husein. 2007. Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam dalam

Menanam Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain

Heriyanto dan Reza Gholami. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Naess, Arne. 1995. The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movements:

A Summary dalam Deep Ecology for the 21st Century: Reading on the

Pholosophy and Practice of the New Environmentalism, editor George

Sessions. Shambhala Publications: Massachusetts

Naess, Arne. 1995. Deep Ecology for the Twenty-second Century dalam Deep

Ecology for the 21st Century: Reading on the Pholosophy and Practice of the

New Environmentalism, editor George Sessions. Shambhala Publications:

Massachusetts

Nasr, Seyyed Hossein. 1990. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern

Man. Unwim Paperbacks: London.

117

Nasr, Seyyed Hossein. 1996. Religion and the Order of Nature. Oxford University

Press: New York

Nasr, Seyyed Hossein. 2003. The Heart of Islam: Pesan-pesan Universial Islam

Untuk Kemanusiaan. Penerbit Mizan: Bandung

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa

Perbandingan. UI-Press: Jakarta

Ozdemir, Ibrahim. 2003. Toward an Understanding of Environmental Ethics from

a Qur’anic Perspective dalam Islam and Ecology Editor Richard C Foltz,

Frederick M Denny dan Azizan Baharuddin. Center for the Study of World

Religions, Harvard Divinity School: Cambridge

Rahardjo, M Dawam (ed). 1985. Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari

Bawah. P3M: Jakarta

Rambo, Terry A. 1981. Conceptual Approaches to Human Ecology: A

Sourcebook on Alternative Paradigms For The Study of Human Interactions

With The Environment. East-West Environment and Policy Institute: Hawaii

Romas, Chumaidi Syarief. 2003. Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Kreasi

Wacana: Yogyakarta

Rootes, Christopher. 2002. Environmental Movements Local, National and

Global. Frank Cass Publishers: London

Sairin, Safri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif

Antropologis. Pustaka Pelajar: Jogyakarta

Sardar, Ziauddin. 2006. How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam,

Science and Cultural Relations. Pluto Press: London.

Sitorus, Felix MT. 1998. Penelitian Kualitatif; Suatu Perkenalan. Kelompok

Dokumentasi Ilmu Sosial IPB: Bogor.

Sobary, Mohammad. 2007. Kesalehan Sosial. Yogyakarta: LKis.

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

Djambatan: Jakarta

Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. LP3ES; Jakarta

Suyata. 1985. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial yang Hidup dalam Pergulatan

Dunia Pesantren; Membangun Dari Bawah. Editor M Dawam Rahardjo.

P3M: Jakarta

118

Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi. Erlangga: Jakarta

Wahid, Abdurrahman. 1985. Pesantren Sebagai Subkultur dalam Pesantren dan

Pembaharuan ed. M Dawam Rahardjo. LP3ES: Jakarta

Wahid, Abdurrahman. 1987. Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial?

Sebuah Pengantar dalam Kyai dan Perubahan Sosial, Hiroko Horikoshi.

P3M: Jakarta

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. LKiS:

Yacub, M. 1984. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa.

Angkasa: Bandung

Yamin, Kafil. 2007. Nyala Kecil Revolusi Hijau di Tungku Al- Wasilah dalam

Menanam Sebelum Kiamat, editor Fachruddin W Mangunjaya, Husain

Heriyanto dan Reza Gholami. Obor: Jakarta

Zubaedi. 2007. Pemberdayaan Masyarakat BerbasisPesantren: Kontribusi Fiqh

Sosial Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-nilai Pesantren. Pustaka

Pelajar: Yogyakarta

Website

www.nu.or.id

www.tnhalimun.go.id

www.nature-of-indonesia.blogspot.com

www.agamadanekologi.blogspot.com