maret 2015 reformasi subsidi bahan bakar fosil dan … sebuah pertanyaan tentang konsekuensi...

17
Reformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia: Dampak dan ekspektasi Oleh Liesbeth Casier dan Christopher Beaton Ikhtisar ini mendiskusikan dampak dan konsekuensi dari reformasi subsidi bahan bakar fosil di indonesia, khususnya setelah perubahan kebijakan baru-baru ini. Pertama, isu brief ini membahas sejumlah dampak yang telah tampak hingga saat ini menyusul perubahan kebijakan pada November 2014 dan Januari 2015. Kedua, dalam tulisan ini dibahas pula mengenai kerangka kerja umum untuk memahami dampak reformasi dan meringkas penelitian kunci tentang dampak-dampak tersebut di Indonesia. Pada bagian terakhir akan dibahas mengenai sejumlah intervensi kebijakan kunci yang dapat digunakan untuk memaksimalkan manfaat reformasi. Maret 2015 iisd.org/gsi Ikhtisar

Upload: truongquynh

Post on 07-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

www.iisd.org/gsi © 2012 The International Institute for Sustainable Development

Reformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia: Dampak dan ekspektasi

Oleh Liesbeth Casier dan Christopher Beaton

Ikhtisar ini mendiskusikan dampak dan konsekuensi dari reformasi subsidi bahan bakar fosil di indonesia, khususnya setelah perubahan kebijakan baru-baru ini. Pertama, isu brief ini membahas sejumlah dampak yang telah tampak hingga saat ini menyusul perubahan kebijakan pada November 2014 dan Januari 2015. Kedua, dalam tulisan ini dibahas pula mengenai kerangka kerja umum untuk memahami dampak reformasi dan meringkas penelitian kunci tentang dampak-dampak tersebut di Indonesia. Pada bagian terakhir akan dibahas mengenai sejumlah intervensi kebijakan kunci yang dapat digunakan untuk memaksimalkan manfaat reformasi.

Maret 2015

iisd.org/gsi Ikhtisar

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi iiii

Table of Contents

1.0 Pendahuluan .........................................................................................................................................................1

2.0 Dampak Reformasi 2014-2015 Hingga Saat Ini ........................................................................................1

3.0 Potensi Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar .........................................................................................5

4.0 Implikasi Kebijakan ............................................................................................................................................9

4.1 Upaya untuk Membantu Rumah Tangga Rentan Menghadapi Kenaikan Biaya Hidup .......9

4.2 Komunikasi ................................................................................................................................................10

5.0 Isu-isu Kunci di Masa Mendatang .............................................................................................................. 11

References ................................................................................................................................................................... 12

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 1

1.0 Pendahuluan Pada akhir 2014 dan awal 2015, pemerintahan Indonesia yang baru memulai sejumlah reformasi terkait subsidi bensin dan solar.1 Perubahan kebijakan subsidi bahan bakar biasanya ditentang keras karena akan menyebabkan kenaikan harga energi bagi konsumen. Namun harga minyak internasional menurun drastis pada akhir 2014, sehingga dampaknya langsung terlihat pada dua kali penurunan harga bahan bakar pada bulan Januari. Situasi tersebut telah mendesak sebuah pertanyaan tentang konsekuensi lanjutan dari reformasi subsidi BBM, khususnya dalam rangka mempersiapkan diri atas apa yang akan terjadi di masa mendatang ketika harga minyak dunia meningkat lagi, atau dengan kata lain meningkatnya harga eceran dalam negeri untuk bahan bakar otomotif. Dampak-dampak apa saja yang harus diantisipasi ketika hal ini terjadi? Kebijakan seperti apa yang diperlukan untuk mengatasi dampak-dampak tersebut? Apa yang perlu dilakukan pemerintah sekarang untuk mengurangi tekanan untuk kembali bergantung pada sistem subsidi BBM yang berbiaya tinggi?

Ikhtisar ini merangkum sejumlah dampak yang telah diamati hingga saat ini sejak berlangsungnya reformasi subsidi pada bulan Januari lalu. Selain itu, akan dijabarkan pula kerangka konseptual untuk mengkategorikan dampak-dampak yang mungkin akan terjadi pada saat kenaikan harga bahan bakar otomotif, serta risalah analisis-analisis kunci tentang perkembangan terkini; dan juga membahas sejumlah langkah intervensi yang diperlukan unuk memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari reformasi tersebut.

2.0 Dampak Reformasi 2014-2015 Hingga Saat IniPada 2014 dan awal 2015 Pemerintah Indonesia telah menjalankan sejumlah perubahan dalam kebijakan penentuan harga bensin dan solar. Harga keduanya dinaikkan pada bulan November 2014, lalu, seiring dengan jatuhnya harga minyak dunia, harga diturunkan kembali sebanyak dua kali pada Januari 2015 (lihat Tabel 1). Pada saat yang sama, sejak awal Januari 2015, suatu mekanisme yang lebih berbasis harga pasar juga diperkenalkan. Subsidi untuk bahan bakar diesel ditetapkan sebesar Rp1.000 (US$0,08) per liter, sementara subsidi untuk bensin merk Premium dihapuskan seluruhnya, dengan pengecualian untuk biaya distribusi ke sejumlah daerah di Indonesia. Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, pada November 2014, presiden memperkenalkan suatu skema bantuan sosial baru, yang selain menjalankan fungsi utamanya, juga dapat digunakan untuk memberikan kompensasi terhadap dampak harga energi yang lebih tinggi, yaitu Program Keluarga Produktif, yang mencakup bantuan keuangan, pendidikan, dan kesehatan, yang dilaksanakan melalui sejumlah kartu pintar (Harian Nasional, 2014).

TABEL 1. PERUBAHAN HARGA BAHAN BAKAR INDONESIA, 2014–2015

PRA-REFORMASI 18 NOVEMBER 2014 1 JANUARI 2015 19 JANUARI 2015

Bensin Premium 6,500 8,500 7,600 6,600

Solar 5,500 7,500 7,250 6,400

Sumber: IISD (2015).

Secara umum, upaya untuk memprediksi dampak reformasi subsidi bahan bakar fosil mengantisipasi dua faktor: “efek harga”, yaitu harga bahan bakar bersubsidi setelah dinaikkan, yang mempengaruhi para pihak yang terlibat di dalam perekonomian; dan “efek realokasi anggaran”, pada saat hasil dari penghematan subsidi diinvestasikan untuk tujuan-tujuan lain, yang juga berpotensi untuk mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat di dalam perekonomian, yang idealnya meredam dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh kenaikan harga. Efek-efek ini seringkali agak sulit terlihat pada situasi normal, mengingat realokasi belanja yang signifikan biasanya tidak mungkin dilakukan sebelum terjadinya reformasi kebijakan subsidi (lihat Gambar 1). Ketika harga bensin dan solar dinaikkan pada bulan November 2014, reformasi tersebut mengikuti pola berikut: efek harga yang lebih tinggi segera dirasakan, dan penghematan hanya dapat direalokasikan pada 2015 setelah proses perubahan APBN. 1 Melalui kebijakan yang berbeda, harga LPG tabung 12 kg dan berbagai kelas listrik juga ikut diubah. Untuk ringkasan seluruh perubahan

kebijakan terbaru di Indonesia, lihat International Institute for Sustainable Development (IISD) (2015).

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 2

GAMBAR 1. REFORMASI PADA SAAT HARGA MINYAK DUNIA TINGGISumber: Diagram penulis.

Sejak bulan Januari, di Indonesia – dan di berbagai negara lain yang mengambil peluang situasi harga minyak yang sedang menurun untuk mereformasi harga bahan bakar- efek-efek ini berjalan dengan urutan terbalik (lihat Gambar 2). Rendahnya harga minyak dunia secara langsung dapat memperlihatkan dampak penghematan dari penghapusan subsidi, namun perekonomian secara umum masih belum mengalami konsekuensi harga energi yang lebih tinggi sebagai akibat kebijakan tersebut.

GAMBAR 2. REFORMASI PADA SAAT HARGA MINYAK DUNIA RENDAH Sumber: Diagram penulis.

Efek HargaKenaikan harga bensin dan solar pada bulan November 2014 telah mengakibatkan meningkatnya inflasi sebesar 7,9 persen menurut Bank Indonesia. Bank Indonesia memperkirakan bahwa manuver tersebut akan berkontribusi terhadap peningkatan inflasi tahunan dari 2,6 persen menjadi 3 persen (Liputan6, 2014). Terlepas dari hal tersebut, pertumbuhan ekonomi pada kuartal terakhir 2014 tampak tidak terpengaruh signifikan oleh reformasi harga: pertumbuhan PDB pada kuartal keempat mencapai 5,01 persen, sementara pada kuartal ketiga hanya 3,92 persen. Walaupun sulit untuk memperkirakan tingkat pertumbuhan tanpa reformasi, kinerja yang kuat ini menunjukkan bahwa efek kejut kebijakan tersebut terhadap produksi domestik tidak signifikan. Kinerja ekonomi pada kuartal

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 3

keempat dikatakan ditopang oleh kuatnya permintaan domestik, khususnya karena investasi kontsruksi dan konsumsi pemerintah (Bank Indonesia, 2015). Indikator makroekonomi lainnya juga bereaksi positif terhadap kenaikan harga tersebut. Nilai tukar rupiah menguat terhadap Dollar, Poundsterling, Euro, Yen dan Yuan, sementara Bursa Efek Jakarta tumbuh pesat pada hari-hari setelah pengumuman, yang dipandang sebagai cerminan dari meningkatnya kepercayaan investor (Bank Indonesia, 2014; IISD, 2015).

Untuk APBN Perubahan 2015, Kementerian Keuangan telah menyesuaikan asumsi makroekonominya sebagai berikut: pertumbuhan tahunan PDB untuk 2015 dikurangi dari 5,8 persen menjadi 5,7 persen dan prediksi inflasi dinaikkan dari 4,4 persen menjadi 5,0 persen. Hal ini mencerminkan eskpektasi dari dampak reformasi subsidi bahan bakar November, dan juga faktor-faktor lain, khususnya melambatnya perekonomian Cina yang merupakan salah satu sumber permintaan utama ekspor Indonesia, rendahnya harga minyak dunia, serta reformasi harga bahan bakar pada Januari 2015 yang menurunkan harga bensin dan solar, serta tren menurunnya harga minyak dunia (Kementerian Keuangan, 2015b). Perkembangan yang terakhir ini secara umum positif, dan dapat memoderasi sejumlah dampak jangka pendek dari reformasi harga November: nilai tukar masih relatif stagnan walaupun terdapat tekanan lain, dan bursa efek masih bereaksi secara positif, dengan peningkatan indeks sebesar 0,07 persen (Jakarta Post, 2015a); hal itu juga dipandang berdampak meredam sejumlah inflasi tambahan yang diprediksi terjadi setelah kenaikan harga pada November 2014 (Jakarta Post, 2015e; Jakarta Post, 2015d). Namun demikian, harga barang dan jasa lain bereaksi lebih lambat untuk turun mengimbangi penurunan harga bahan bakar (lihat Kotak 1).

Sektor transportasi dan otomotif sebagai industri padat energi menjadi beberapa sektor utama yang terpengaruh kenaikan harga bulan November. Industri manufaktur otomotif di Indonesia dilaporkan terpukul cukup serius, hingga penjualan mobil diperkirakan tidak akan tumbuh tahun depan (Reuters, 2014a). Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (ORGANDA) menyerukan unjuk rasa dan mogok bersama selama satu hari pasca reformasi November 2014 sebagai akibat dilarangnya operator angkutan umum untuk membebankan harga BBM yang lebih tinggi kepada konsumen. Pemerintah mengendalikan tarif angkutan umum dan menetapkan batas 10 persen untuk kenaikan tarif maksimal (IISD, 2015).

KOTAK 1. KELEKATAN HARGA (PRICE STICKINESS)Sebagai akibat rendahnya harga minyak dunia, reformasi pada Januari 2015 sebenarnya mengakibatkan penurunan harga dua jenis energi di Indonesia. Namun demikian, harga barang dan jasa yang menggunakan energi tidak ikut menurun secara proporsional sebagaimana yang diperkirakan. Fenomena “kelekatan harga” ini menyebabkan sejumlah lembaga perlindungan konsumen melakukan agitasi dan menyerukan bahwa pemerintah tidak mengantisipasi secara matang dampak penghapusan kendali harga. Pemerintah menyatakan telah mendorong pemasok unuk menyesuaikan harga mereka sesuai dengan penurunan harga energi. Para pemasok diduga enggan untuk melakukan penyesuaian harga tersebut karena mereka memperkirakan bahwa harga energi secara global akan naik kembali, sehingga berakibat biaya yang harus ditanggung juga akan meningkat (IISD, 2015).

Dalam teori ekonomi fenomena ini disebut sebagai “rockets and feathers” (“roket dan bulu”) atau “asymmetric pricing” (“penetapan harga tak simetris”). Harga output atau eceran tidak bereaksi secara simetris terhadap harga input. Pasar bensin seringkali digunakan dalam contoh kasus fenomena ini. Ketika harga minyak internasional naik, harga eceran juga melonjak seperti “roket.” Akan tetapi, ketika harga jatuh, harga eceran turun seperti “bulu” yang jatuh, dengan kata lain, penurunannya jauh lebih lambat daripada kenaikannya (Tappata, 2009). Walaupun fenomena ini telah terdokumentasi dengan baik, alasan kemunculannya masih kurang jelas (Kojima, 2013; Tappata, 2009). Salah satu penjelasannya adalah di sejumlah pasar akan terjadi kolusi. Dalam kasus seperti ini, pemerintah dapat mengintervensi dengan menerapkan plafon harga dan dengan meningkatkan transparansi dalam kebijakan penetapan harga (Kojima, 2013). Akan tetapi Tappata (2009) menyatakan bahwa ini bukan satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Sesungguhnya, penetapan harga asimetris juga terlihat dalam pasar-pasar non-kooperatif di mana perilaku kolusif tidak terjadi. Penjelasan lainnya adalah konsumen bereaksi secara berbeda terhadap kenaikan harga dibandingkan terhadap penurunannya: ketika harga naik, mereka cenderung akan mencari harga yang lebih baik di tempat lain dibandingkan ketika harga turun (Tappata, 2009).

Di banyak negara, lembaga pengatur (regulator) dan organisasi pemantau (watchdog) konsumen memantau perilaku pasar untuk memastikan sektor bisnis memberikan harga produk yang adil. Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bertindak sebagai badan yang melindungi hak konsumen dan memperjuangkan peningkatan transparansi. Di Kenya, watchdog konsumen telah mendesak diturunkannya harga eceran bahan bakar agar mencerminkan harga minyak internasional (The Global Post, 2015). Di Australia, lembaga-lembaga sejenis telah berhasil menarik perhatian pemerintah terhadap masalah korupsi di pasar bensin serta membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan tingkat nasional (The Guardian, 2014). Di Indonesia, lembaga pemantau korupsi telah menerbitkan hasil penyelidikan besar-besaran yang mereka lakukan pada 2015 di sektor industri energi dan mendorong peningkatan transparansi dan mendukung pemerintahan Jokowi untuk membersihkan “mafia migas” (Reuters, 2014b).

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 4

Efek Realokasi APBNMeskipun efek harga pada reformasi Januari 2015 kemungkinan akan sedikit tertunda hingga setidaknya tahun berikutnya, realokasi APBN sebagai hasil dari perubahan harga BBM November 2014 dan Januari 2015 telah dilakukan. DPR baru-baru ini telah mengesahkan APBN-P 2015, setelah pihak oposisi mengumumkan dukungannya terhadap realokasi anggaran tersebut (Jakarta post, 2015c; Kementerian Keuangan, 2015b; The Jakarta Globe, 2015a). Dampak dari realokasi anggaran ini akan menjadi sangat penting untuk menunjukkan bahwa penghematan subsidi dapat digunakan untuk mendorong kinerja ekonomi yang lebih baik dalam jangka menengah dan jangka panjang (Bank Dunia, 2014a).

APBN telah direstrukturisasi untuk mengurangi anggaran untuk subsidi bahan bakar dari Rp276 triliun (US$22,8 miliar) menjadi Rp81 triliun (US$6,48 miliar). Usulan anggaran untuk infrastruktur meningkat dari Rp190 triliun (US$15,2 miliar) menjadi Rp290 triliun (US$23,2 miliar) (Jakarta Post, 2015c). Pemerintah telah mengumumkan akan meningkatkan kontribusi kepada sejumlah BUMN yang aktif di sektor angkutan dan konstruksi (IISD, 2015). Selain peningkatan investasi modal, defisit anggaran juga telah berkurang secara signifikan, yang telah dinyatakan sebesar Rp222,5 triliun (US$17,8 miliar) atau 1,9 persen dari PDB, yang berkurang dari anggaran awal sebesar Rp245,9 triliun (US$19,67 miliar) atau 2,21 persen PDB (Kementerian Keuangan, 2015a).

Realokasi APBN ke sektor-sektor ekonomi yang lebih produktif ini merupakan langkah maju yang signfikan bagi Indonesia, namun bukannya tanpa tantanganb. Misalnya, masih belum jelas apakah Kementerian-Kementerian terkait akan mampu menggunakan sumber daya tambahan tersebut secara efektif sebelum akhir tahun anggaran. Bank Dunia telah melaporkan adanya tren tidak tercapainya target belanja anggaran (under-spending) yang signifikan di bidang infrastruktur, walaupun anggaran tersebut sebenarnya tersedia. Pada 2014, hanya 38 persen anggaran yang dialokasikan untuk belanja modal yang terserap (Bank Dunia, 2014a). Isu-isu seperti akuisisi lahan juga harus diatasi oleh pemerintahan yang baru jika ingin mewujudkan rencana-rencananya yang ambisius, seperti mendirikan 5.000 kilometer rel kereta, 2.600 kilometer jalan, 1.000 kilometer jalan to, 49 bendungan dan infrastruktur energi tambahan untuk memproduksi 35.000 megawatt listrik di seluruh negeri (Jakarta Post, 2015b; Bank Dunia, 2014a). Pemerintah baru-baru ini telah mengeluarkan revisi peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditujukan untuk mempercepat proses akuisisi lahan, namun dampak revisi ini masih belum jelas (Jakarta Post, 2015b). Skeptisisme masyarakat terkait pengeluaran di bidang infrastruktur masih signifikan (The Jakarta Globe, 2015b).

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 5

3.0 Potensi Dampak Kenaikan Harga Bahan BakarKetika harga minyak dunia kembali naik, kemungkinan masyarakat Indonesia akan mengalami “efek harga” yang biasanya terjadi sebagai dampak yang pertama kali muncul dari reformasi subsidi. Besarnya kejutan ini akan bergantung pada seberapa besar ukuran perubahan harga bahan bakar, yang ditentukan oleh volatilitas dan penilaian struktural lainnya di pasar internasional. Saat ini masih belum jelas kapan perubahan tersebut dapat terjadi, namun sebagian besar pengamat memperkirakan harga akan kembali ke tingkat US$80-100 per barel (IEA, 2014), dan periode harga yang rendah saat ini akan berlangsung setidaknya satu tahun (IEA, 2015).

Potensi dampak kenaikan harga terhadap perekonomian dan konsumen Indonesia amat perlu diantisipasi agar setiap dampak negatif dapat diatasi dengan baik melalui intervensi kebijakan. Penelitian terbaru tentang dampak reformasi subsidi bahan bakar fosil di Indonesia yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) (ADB, 2015) menyarankan agar dampak potensial dibagi menjadi tiga kategori: kejutan jangka pendek, ekuilibrium baru; dan pengenalan volatilitas harga.

TIGA KATEGORI DAMPAK

Kejutan jangka pendek

Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan kenaikan harga produk energi bersubsidi secara langsung. Dalam jangka pendek, hal ini biasanya akan membawa efek negatif terhadap pertumbuhan PDB, dan menyebabkan kenaikan harga barang atau jasa yang menggunakan produk energi sebagai input, yang akhirnya mengakibatkan kenaikan inflasi. Hal ini dapat menurunkan daya beli rumah tangga. Indonesia telah menghindari kejutan jangka menengah dengan merubah subsidi bensin dan solar ketika harga minyak dunia sedang rendah. Namun kenaikan tajam di harga minyak dunia akan menyebabkan kejutan yang setara terhadap perekonomian, khususnya ketika rejim baru pemerintah juga mencakup mekanisme pengumuman harga baru setiap bulannya.

Keseimbangan jangka menengah dan jangka panjang

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, penelitian yang ada pada umumnya memprediksi bahwa reformasi subsidi bahan bakar fosil akan menghasilkan perubahan positif. PDB akan meningkat karena alokasi sumber daya yang lebih efisien, khususnya jika anggaran yang dihemat dapat didistribusikan kembali dengan cara yang mendorong pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Dampak inflasi akan mereda relatif cepat dan inflasi kembali ke tingkat wajar (business-as-usual). Biaya hidup kemungkinan akan meningkat, namun akan diimbangi dengan meningkatnya pemasukan karena pertumbuhan ekonomi dan realokasi anggaran subsidi yang dihemat ke program-program bantuan sosial.

Volatilitas harga Harga minyak internasional bersifat tidak stabil. Ketika subsidi dihapus, bergantung pada bagaimana pemerintah merancang mekanisme penetapan harga energi, volatilitas ini dapat secara parsial maupun menyeluruh mempengaruhi harga domestik. Untuk perekonomian seperti Indonesia, yang tidak pernah mengalami harga bahan bakar energi yang tidak stabil, hal ini dapat menyebabkan masalah bagi konsumen atau bisnis, yang belum membangun kapasitas untuk menghadapi masa-masa harga lebih tinggi dari yang diantisipasi. Selain itu, diperlukan tindakan afirmatif untuk memastikan turunnya harga internasional dapat juga dirasakan konsumen, dan bukan hanya kenaikan harga saja. Dampak yang amat berbeda dapat terlihat dari volatilitas mikro harian dan masa di mana terdapat apresiasi harga struktural, seperti pada 2005 hingga 2008 ketika harga bahan bakar meningkat secara signifikan.

Kerangka ini dapat digunakan untuk menetapkan berbagai tingkat dampak terhadap perekonomian, kesejahteraan sosial, bisnis dan lingkungan.

Dampak Ekonomi Berbagai model yang menggambarkan dampak reformasi subsidi bahan bakar fosil terhadap PDB dan inflasi telah disimulasikan dalam berbagai penelitian (lihat Tabel 2). Umumnya, diperkirakan bahwa dampak jangka pendek GDP adalah negatif karena efek kejut yang ditimbulkan oleh kenaikan harga. Dampak-dampak ini biasanya kecil, sehingga akan menghasilkan pertumbuhan yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kondisi business-as-usual (BAU). Dalam jangka menengah dan jangka panjang, efek ini positif dan bahkan dapat meningkatkan PDB dibandingkan dengan BAU.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 6

Demikian pula, inflasi diperkirakan akan naik dalam jangka pendek namun akan mereda relatif cepat dalam beberapa bulan pertama setelah kenaikan harga terjadi (Bank Dunia, 2014a). Salah satu penelitian terbaru memperkirakan bahwa indeks harga konsumen pada 2020 akan menjadi 3,2 persen lebih tinggi dibandingkan BAU, namun setelah melewati titik ini, inflasi per tahun akan lebih rendah (ADB, 2015).

TABEL 2. PROYEKSI DAMPAK EKONOMI TERKAIT REFORMASI SUBSIDI BBM

KEBIJAKAN PROYEKSI DAMPAK SUMBER

Perubahan Oktober 2005 (harga bensin naik sebesar 188%, solar 205%, minyak tanah 285%)

1,15% penurunan pertumbuhan PDB, 2,89% penurunan lapangan kerja (jangka pendek) (Susilo, 2013)

Perubahan Mei 2008 (harga bensin naik sebesar 33%, solar 28%, minyak tanah 25%)

0,21% penurunan pertumbuhan PDB, 0,68% penurunan lapangan kerja (jangka pendek) (Susilo, 2013)

Harga bensin naik dari Rp4.500 menjadi Rp5.500 (naik 22%), tahun dasar 2008 0,1% kenaikan pertumbuhan PDB tahunan (Aswichyono

et al., 2011)

Penghapusan total subsidi bensin (harga naik dari Rp4.500 menjadi Rp7.950), tahun dasar 2008 0,8% kenaikan pertumbuhan PDB tahunan (Aswichyono

et al., 2011)

Penghapusan total seluruh subsidi bahan bakar fosil pada 2012 (harga naik 22% untuk seluruh bahan bakar minyak, sementara listrik naik 9%)

Dampak PDB bergantung pada realokasi, antara -2,7% dan +1,0% dalam jangka pendek, -0,09% dan +0,27% dalam jangka panjang. Indeks harga konsumen 3,2 lebih tinggi dari BAU pada 2020, namun setelahnya inflasi per tahun lebih rendah dari BAU

(ADB, 2015)

Dampak terhadap Kesejahteraan Sosial Dalam jangka pendek, harga bahan bakar otomotif yang lebih tinggi secara rata-rata akan membuat penghasilan rumah tangga yang dapat dibelanjakan menjadi berkurang. Dampak hal ini kemungkinan dirasakan terutama pada rumah tangga berpendapatan tinggi, yang lebih memiliki kendaraan dan yang menghabiskan belanja absolut untuk BBM yang jauh lebih besar. Namun rumah tangga miskin juga akan tetap terpengaruh, disebabkan kenaikan biaya yang harus mereka tanggung untuk membayar layanan energi dan juga kenaikan biaya barang dan jasa non-energi yang menggunakan bahan bakar otomotif sebagai input – termasuk makanan, misalnya. Skala persis dampak-dampak ini terhadap rumah tangga berpendapatan rendah amat penting untuk dipahami, karena rumah tangga berpendapatan rendah memiliki kapasitas yang lebih rendah untuk mengubah kebiasaan konsumsi mereka daripada rumah tangga berpendapatan tinggi, bahkan penurunan sedikit saja pada pendapatan mereka dapat menyebabkan mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Secara umum, disarankan agar pemerintah memperkirakan secara berhati-hati dampak rumah tangga berpendapatan rendah dan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan sosial tersasar untuk memitigasi dampak jangka pendek terhadap rumah tangga rentan ini. Untuk mencegah rumah tangga tersebut jatuh ke garis kemiskinan, rumah tangga mendekati miskin dan rumah tangga miskin harus dicakup dalam perhitungan ini. Pengalaman terdahulu dengan perubahan subsidi BBM di Indonesia menunjukkan peningkatan kemiskinan dapat dicegah jika perubahan harga BBM diiringi dengan upaya mitigasi dampak sosial (Bank Dunia, 2014a).

Dalam jangka panjang, meningkatnya pertumbuhan PDB karena pengurangan subsidi BBM dapat memberikan dampak positif terhadap tingkat pendapatan. Demikian pula, jika pengurangan subsidi BBM menyebabkan kenaikan pasokan energi – misalnya, di beberapa daerah di Indonesia, pasokan sumber daya bersubsidi terbukti sangat tidak menguntungkan sehingga menyebabkan kelangkaan pasokan berulang kali – maka hal ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan. Masih belum ada konsensus tentang seberapa lama upaya mitigasi terhadap kenaikan harga energi harus disalurkan. Selain itu, pada ekonomi berkembang seperti Indonesia, kemungkinan besar pembangunan jaringan pengaman sosial yang masih berjalan saat ini merupakan prioritas utama untuk setiap rencana pembangunan, dan karenanya dapat dijadikan fokus untuk realokasi anggaran yang dihemat, tanpa harus dikaitkan secara spesifik dengan peningkatan biaya hidup yang disebabkan oleh penghapusan subsidi. Jika upaya-upaya mitigasi ini dilanjutkan dalam jangka panjang, upaya tersebut kemungkinan memerlukan desain kebijakan yang amat berbeda untuk mengompensasi dampak jangka pendek yang mungkin muncul.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 7

Sebuah kaiian terhadap penelitian-penelitian tentang efek subsidi bahan bakar fosil terhadap kesejahteraan sosial di Indonesia merangkum dampak-dampak terpenting yang berhasil dicatat setelah dilakukannya reformasi subsidi di Indonesia pada masa sebelumnya (Pradiptyo, Wirotomo, Permana, & Susamto, 2015). Tabel berikut menyajikan ringkasan dampak yang muncul atau diprediksi akan muncul pada saat sebagai akibat dari perubahan harga BBM yang terjadi di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanpa dilakukannya upaya mitigasi bagi kelompok terentan, kemiskinan akan meningkat dibandingkan dengan skenario BAU. Program-program realokasi subsidi juga dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia dibandingkan dengan BAU, namun besaran pengurangannya bervariasi dari 1 hingga 15 persen bergantung pada uji model yang telah dilakukan (Widjaja, 2009; Yusuf A. A., 2013; Chung, 2011-2013).

TABEL 3. PROYEKSI DAMPAK SOSIAL TERKAIT REFORMASI SUBSIDI BBM

KEBIJAKAN PROYEKSI DAMPAK SUMBER

Kenaikan harga BBM 45% pada 1983

Rumah tangga dengan anggaran lebih dari Rp5.000 per bulan harus menaikkan pengeluaran sebesar sekitar 13% untuk memenuhi kebutuhan dasar yang sama. Rumah tangga dengan anggaran kurang dari Rp5.000 per bulan harus menaikkan pengeluran sebesar 25%.

(Budiman, 1984)

Pengurangan subsidi solar, bensin dan minyak tanah 2005 tanpa Program BLT

Kenaikan tingkat kemiskinan dari 16,66% menjadi 22,05% pada 2005.

(Chung, 2011-2013)

Pengurangan subsidi solar, bensin dan minyak tanah 2005 dengan Program BLT

Penurunan tingkat kemiskinan dari 17,75% pada 2006 menjadi 16,58% pada 2007.

(Chung, 2011-2013)

Pengurangan subsidi BBM (solar, bensin, minyak tanah) senilai Rp50 triliun (US$ 4 miliar) yang disuntik sebagai transfer tunai ke dalam perekonomian

Penurunan koefisien GINI sebesar 0,021 dalam transfer tunai kepada rumah tangga termiskin sebesar 20%, pengurangan sebesar 0,022 dalam kasus transfer tunai kepada rumah tangga termiskin 10%, dan penurunan sebesar 0,015 dalam kasus transfer tunai kepada seluruh rumah tangga (pada tahun terjadinya perubahan).

(Yusuf A. A., 2013)

Pengurangan subsidi BBM (solar, bensin, minyak tanah) dalam berbagai skenario (penurunan 25%, 50%, 75%, dan 100% dikombinasikan dengan realokasi dengan berbagai persentase), tahun dasar 2005

Dalam kasus penghapusan 100% tanpa realokasi ke belanja pemerintah atau transfer bantuan tunai, indeks kesenjangan kemiskinan meningkat sebesar 0,255 poin persen. Dalam kasus penghapusan 25% namun dengan 100% realokasi untuk belanja dan transfer pemerintah, indeks kesenjangan kemiskinan menurun sebesar 0,534 poin dan masyarakat miskin mendapat manfaat dari perubahan-perubahan tersebut.

(Dartanto, 2013)

Penghapusan total seluruh subsidi bahan bakar fosil pada 2012 (22% kenaikan harga untuk seluruh produk BBM, 9% kenaikan harga listrik), dengan asumsi tidak ada realokasi

Diproyeksikan akan mengurangi pendapatan efektif rumah tangga sebesr 4,38% dalam jangka pendek, dan 0,77% dalam jangka panjang. Sebanyak 40% rumah tangga terbawah diproyeksikan akan mengalami penurunan pendapatan riil sebesar 1,6% dalam pendapatan jangka pendek, dengan dampak yang lebih besar dirasakan di perkotaan dibandingkan di pedesaan.

(ADB, 2015)

Saat ini, pemerintah Indonesia memiliki sejumlah pilihan untuk melakukan upaya mitigasi, termasuk pilihan jangka pendek seperti transfer tunai dan investasi kepada sistem jaringan pengaman sosial Indonesia yang semakin berkembang (Bank Dunia, 2014b).

Dampak terhadap Bisnis Upaya untuk memproyeksikan dampak reformasi subsidi BBM di Indonesia selama ini cenderung kurang memberikan perhatian kepada bisnis. Umumnya, dampak diperkirakan akan terfokus di industri-industri yang menggunakan bahan bakar bersubsidi secara intensif dan berorientasi ekspor, karena industri tersebut tidak mampu membebankan kenaikan harga kepada konsumennya (Coady & Newhouse, 2006; ADB, 2015). Sementara terkait dampak makroekonomi secara umum, dampak terhadap bisnis biasanya diperkirakan akan terdiri dari kejutan negatif yang

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 8

mereda seiring waktu, dengan asumsi para pelaku bisnis mampu menyeimbangkan kembali faktor-faktor produksi mereka dan berinvestasi ke dalam teknologi yang menggunakan energi lebih efisien.

Di Indonesia, dampak industri padat energi kemungkinan lebih terbatas dibandingkan di banyak negara, mengingat industri harus membayar harga pasar untuk solar sejak 2005 – walaupun dalam praktiknya masih terjadi aliran bahan bakar bersubsidi yang sebenarnya untuk konsumen untuk tujuan industri. Selain itu, sektor-sektor yang dapat terpengaruh adalah sektor transportasi, yang tidak dapat mengubah struktur hraganya tanpa izin dari pemerintah, serta sektor otomotif. Keduanya terbukti telah terpengaruh secara signifikan oleh kenaikan harga baru-baru ini. Sektor perikanan, yang telah berusaha menolak kenaikan harga solar pada 2014, juga menjadi sektor yang paling terdampak (Clarke, Lontoh, & Beaton, 2014). Lebih lanjut, disarankan pula agar dampak terhadap usaha mikro kecil menengah (UMKM) diperhatikan secara khusus, mengingat besarnya peran UKM dalam diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi rumah tangga berpendapatan rendah. Walaupun demikian, sampai saat ini dampak terhadap UMKM ini masih belum dikaji dengan memuaskan (Tambunan, 2013).

Volatilitas harga yang masih terjadi biasanya tidak dianggap masalah besar bagi bisnis, walaupun bisa jadi dalam jangka pendek usaha kecil memerlukan bantuan untuk dapat menutup kerugian biaya efisiensi energi di muka, khususnya karena secara historis usaha kecil telah terlindungi dari volatilitas harga. Misalnya, ketika Iran melakukan reformasi harga besar-besaran pada 2010, negara tersebut juga menyiapkan kebijakan untuk meningkatkan jumlah kredit murah untuk usaha (Guillaume, Zytek, & Farzin, 2011).

Dampak terhadap Lingkungan Dalam jangka pendek, biaya energi yang lebih tinggi harus mendorong konservasi dan efisiensi penggunaan bahan bakar yang akan menurunkan polusi lokal dan global. Misalnya, polusi udara lokal akan berkurang jika kenaikan harga menyebabkan penurunan pertumbuhan pembelian kendaraan – yang selama enam tahun terakhir ini terus bertumbuh sebesar 10 persen per tahun. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan, khususnya melihat semakin memburuknya kualitas udara di kota-kota di Indonesia, yang dilaporkan semakin banyak menimbulkan penyakit paru-paru dan jantung (The Jakarta Globe, 2014). Apabila dengan mereformasi sistem subsidi BBM dapat menciptakan pasokan bahan bakar berkualitas tinggi – sebagaimana yang direkomendasikan oleh gugus tugas khusus (special task force) baru-baru ini- maka polusi udara lokal tentunya juga akan berkurang secara signifikan.

Kekhawatiran lain terkait dengan deforestasi di Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah memperingatkan bahwa berkurangnya penggunaan bahan bakar fosil karena reformasi subsidi dapat meningkatkan konsumsi – dan produksi – biofuel Indonesia yang sebagian besar dibuat dari minyak kelapa sawit. Pada Revisi APBN-P 2015, pemerintah mengalihkan anggaran subsidi BBM yang dihemat kepada biodiesel dan bioethanol serta anggaran total untuk subsidi biofuel meningkat dari Rp3,09 triliun (US$0,25) menjadi Rp17,4 triliun (US$1,39 miliar). Meskipun rencana tersebut belum tertampung di dalam APBN, namun kemungkinan akan dipertimbangkan di masa depan. Hal ini dapat mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah perkebunan kelapa sawit yang pada gilirannya akan meningkatkan laju deforestasi (Jakarta Post, 2015f), sementara perubahan penggunaan lahan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Terkait polusi global, inventarisasi emisi gas rumah kaca (GHG) nasional memperkirakan bahwa sektor energi berkontribusi terhadap 18,5 persen emisi di Indonesia pada 2005 (Dewi, 2011).2 Perubahan dalam konsumsi energi karenanya dapat mempengaruhi jejak karbon global Indonesia secara signifikan.

Dalam jangka menengah dan panjang, dampak lingkungan sulit untuk diprediksi. Hasilnya bergantung pada bagaimana konsumen mengubah konsumsi mereka ketika harga bahan bakar naik. Jika konsumen berpindah menggunakan kendaraan yang lebih efisien, dan penghematan subsidi digunakan untuk berinvestasi di bidang angkutan umum dan bahan bakar transportasi alternatif, maka penghapusan subsidi dapat memberikan manfaat lingkungan yang signifikan. Namun demikian, realokasi penghematan subsidi juga dapat mengubah komposisi keseluruhan (bukan hanya mengalihkan tetapi meningkatkan) secara signifikan. Misalnya, Program Fast Track Tahap II yang menetapkan 2 Perkiraan ini mencakup perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (land-use change and forestry/LUCF) dalam emisi total. Jika LUCF tidak

dimasukkan, energi berkontribusi 55,5% dalam emisi GRK Indonesia.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 9

rencana untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik energi batu bara dan energi baru dan terbarukan sebesar lebih dari 10.000 megawatt (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], 2014). Jika penghematan subsidi diinvestasikan untuk rencana seperti di atas, dan menghasilkan kapasitas terbangun yang lebih tinggi dibandingkan jika BAU yang dilaksanakan, reformasi dapat meningkatkan polusi lokal dan emisi GRK, walaupun pola distribusinya secara geografis akan berbeda. Namun sebagian besar penelitian memproyeksikan bahwa reformasi subsidi bahan bakar fosil akan menurunkan emisi GRK net (lihat Tabel 4).

TABEL 4. PROYEKSI DAMPAK LINGKUNGAN TERKAIT REFORMASI SUBSIDI BAHAN BAKAR FOSIL

KEBIJAKAN DAMPAK SUMBER

Kenaikan harga bahan bakar (bensin, solar, minyak tanah) sebesar 25% untuk rumah tangga dan sektor transportasi jalan melalui penghapusan subsidi BBM (berdasarkan data 2003)

Penurunan emisi CO2 sebesar 3,0211% (tidak ada tahun referensi)

(Yusuf & Ramayandi, 2008)

Penghapusan total subsidi BBM (solar, bensin, minyak tanah) pada 2009

Penurunan emisi GRK antara 6% hingga 7% pada 2050; Penurunan sebesar emisi CO2 11% pada 2050

(OECD, 2011)

Penghapusan total subsidi seluruh bahan bakar fosil pada 2012 (kenaikan harga 22% untuk seluruh bahan bakar minyak, kenaikan 9% untuk listrik)

Penurunan emisi CO2 antara 5% dan 7% pada 2015; Penurunan emisi CO2 hingga 9,3% pada 2030

(ADB, 2015)

4.0 Implikasi Kebijakan Rumah tangga berpendapatan rendah kemungkinan memerlukan bantuan agar mereka dapat menghadapi dampak kenaikan harga bahan bakar; berbagai dampak lain juga dapat menciptakan tekanan politik kepada pemerintah Indonesia ketika ingin menerapkan harga yang lebih tinggi. Intervensi kebijakan seperti apa yang dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan tersebut?

4.1 Upaya untuk Membantu Rumah Tangga Rentan Menghadapi Kenaikan Biaya HidupTerdapat tiga jenis upaya mitigasi yang dapat dilakukan ketika mereformasi mekanisme harga atau subsidi energi (Beaton, Gerasimchuk, Laan, Lang, Vis-Dunbar, & Wooders, 2013).

Memperbaiki penyasaran subsidi sehingga hanya dinikmati masyarakat miskin: Pendekatan ini masuk akal untuk sejumlah produk energi, namun jarang dapat diterapkan pada BBM. Sebagian besar rumah tangga berpendapatan rendah tidak memiliki kendaraan dan tidak mampu membeli solar dan bensin secara langsung.

Menyubsidi barang dan jasa lain atau pekerjaan umum: Menginvestasikan dana subsidi hasil penghematan ke sektor pendidikan, layanan kesehatan, angkutan umum, pangan, maupun pekerjaan umum dapat menciptakan pendapatan yang membantu rumah tangga rentan menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa subsidi untuk komoditas lain seperti pangan seringkali mengakibatkan masalah yang serupa dengan subsidi energi.

Transfer tunai: Transfer tunai tanpa syarat maupun bersyarat dapat mengompensasi secara langsung kerugian dalam pendapatan yang disebabkan kenaikan harga energi, serta kenaikan biaya hidup yang disebabkan olehnya. Transfer tunai memiliki efek distorsi yang lebih kecil daripada subsidi, serta memberikan fleksibilitas kepada rumah tangga untuk menggunakan uangnya sesuai dengan prioritas mereka. Akan tetapi, transfer tunai memerlukan sistem administrasi yang baik agar dapat dikelola dengan baik. Transfer tunai dapat bersifat sementara dan ditargetkan untuk mengompensasi kejutan harga jangka pendek, maupun jangka panjang, serta dapat pula menjadi bagian dari strategi besar pengentasan kemiskinan.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 10

Pada tahun 2014, pemerintah meluncurkan kebijakan kesejahteraan baru sebelum menaikkan harga bensin dan solar pada bulan November, yang dimaksudkan untuk mengkompensasi dampak kenaikan harga, serta menyasar tujuan kesejahteraan yang lebih luas. Kebijakan tersebut bernama Program Keluarga Produktif. Program ini mencakup bantuan keuangan, dukungan pendidikan dan layanan kesehatan, yang dibiayai langsung dari anggaran pemerintah yang telah direncanakan, dan bukan dari penghematan subsidi (IISD, 2015). Untuk reformasi 2015, tidak ada upaya mitigasi khusus yang diterapkan, karena perubahannya berbentuk penurunan harga. Masih belum jelas apakah upaya-upaya mitigasi akan digunakan untuk mengkompensasi potensi kenaikan harga di masa depan.

4.2 Komunikasi Penelitian terbaru tentang sikap masyarakat terhadap subsidi BBM di Indonesia menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat umumnya sangat rendah tentang skala subsidi energi dan alasan logis di balik perubahan harga yang dilakukan. Data yang dikumpulkan dari 3.000 responden menunjukkan bahwa kurang dari 19 persen responden yang disurvei mengetahui bahwa pemerintah menyubsidi bahan bakar fosil, dan kurang dari 10 persen yang sadar tentang berapa banyak dana yang dialokasikan untuk subsidi dalam APBN (Pradipto, Wirotomo, Adisasmita, & Permana, 2015). Analisis statistik berdasarkan data survei menunjukkan kurangnya komunikasi oleh pemerintah sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang subsidi bahan bakar fosil (Pradiptyo, Wirotomo, Adisasmita, & Permana, 2015).

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih harus:

• Mengkomunikasikan secara jelas alasan logis di balik penghapusan kontrol harga atas bensin dan solar.

• Menyampaikan pesan yang jelas tentang bagaimana penghematan subsidi benar-benar digunakan untuk memberikan manfaat maksimal kepada masyarakat Indonesia secara umum.

• Menjelaskan bagaimana rumah tangga rentan akan terlindungi ketika terjadi kenaikan harga. .

Pemerintah telah membentuk landasan yang baik untuk komunikasi tingkat tinggi tentang mengapa reformasi harus dilakukan. Dalam kampanye pemilunya, Presiden Jokowi mengumumkan rencananya untuk merealokasi subsidi untuk infrastruktur dan pendidikan. Penting sekali bagi pemerintah Indonesia untuk terus berada dalam koridor ini dan mempersiapkan komunikasi yang jelas untuk mengantisipasi kenaikan harga energi di masa depan.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 11

5.0 Isu-isu Kunci di Masa Mendatang Indonesia adalah salah satu perekonomian terbesar di dunia, dan hingga 2015, adalah salah satu penyubsidi bahan bakar fosil terbesar. Dampak yang telah dialami menyusul reformasi besar-besaran pada bulan November dan Januari menggambarkan dengan dramatis sejauh mana periode harga minyak dunia yang rendah dapat menjinakkan hambatan untuk merubah subsidi bahan bakar fosil, memuluskan proses melewati kejutan terhadap perekonomian dan kesejahteraan, serta menciptakan peluang pembangunan yang signifikan berkat penghematan belanja negara.

Namun demikian, dampak kenaikan harga energi terhadap perekonomian Inodnesia masih harus diantisipasi ketika harga minyak dunia kembali naik. Penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan semaksimal mungkin periode rendahnya harga minyak dunia, dan mempersiapkan upaya mitigasi dan komunikasi untuk kenaikan harga yang diperkirakan akan terjadi kembali dari US$80 menjadi US$100 per barel. Berdasarkan pertimbangan tersebut, berikut adalah rekomendasi yang diberikan untuk 2015:

Pemantauan (Monitoring). Mekanisme subsidi BBM yang baru dirancang untuk melakukan penyesuaian harga setiap bulannya. Sebagian besar penelitian tentang dampak reformasi didasarkan pada model ekonomi, berkat adanya sejumlah kesempatan untuk mengamati perubahan harga bahan bakar real-time di Indonesia. Oleh karena itu penyesuaian bulanan harus dianalisis dengan cermat agar dapat mengembangkan pemahaman yang lebih maju tentang dampak aktualnya terhadap ekonomi, rumah tangga dan bisnis. Penyelidikan tentang dampak-dampak terhadap penetapan harga (termasuk kekakuan harga [price stickiness]) dan kelompok yang selama ini belum cukup banyak diteliti seperti UKM akan membantu dalam mengembangkan intervensi pemerintah berbasis bukti dan tertarget.

Evaluasi. Arah pembangunan pada 2015 menciptakan peluang besar bagi pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa ada cara yang lebih baik untuk memanfaatkan dana pemerintah daripada untuk subsidi BBM, serta untuk menunjukkan bahwa kebijakan yang sebelumnya membawa manfaat tetap dijadikan contoh dan kebijakan yang gagal harus ditinggalkan. Oleh karena itu, harus ada dorongan untuk melakukan evaluasi independen terhadap realokasi penghematan subsidi BBM, serta untuk memperlihatkan bahwa pemerintah bersikap aktif untuk mendukung peningkatan kualitas belanja anggaran.

Mitigasi, komunikasi dan regulasi. Penyesuaian harga bulanan pertama yang melibatkan kenaikan harga BBM kemungkinan akan memicu kontroversi. Oleh karena itu, penting sekali memperjelas posisi pemerintah yang siap melakukan intervensi untuk memastikan bahwa dampak negatif, khususnya terhadap rumah tangga, akan ditangani secara total melalui intervensi program kesejahteraan sosial. Pada saat yang sama, komunikasi yang berkelanjutan akan diperlukan di sejumlah lini, seperti yang dilakukan untuk memastikan bahwa masyarakat memahami alasan logis di balik reformasi, serta langkah-langkah apa saja yang diambil pemerintah untuk melindungi masyarakat rentan. Sebagai penutup, diperlukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa harga energi baru diatur dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya, untuk memastikan bahwa kenaikan harga di tingkat konsumen mematuhi peraturan pemerintah, serta memastikan dampak kelekatan harga dapat diminimalkan.

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 12

ReferencesAsian Development Bank (ADB). (2015). Assessment and implications of rationalizing and phasing out fossil-fuel subsidies. Metro Manilla: Asian Development Bank.

Aswichyono et al. (2011). Penyesuaian Subsidi BBM: Pilihan Rasional Penyelamatan Ekonomi. Center for Strategic and International Studies.

Burniaux, J., Chateau, J., & Sauvage, J. (2009). The economics of climate change mitigation: How to build the necessary global action in a cost-effective manner (OECD Economics Department Working Papers no. 701). Paris: OECD.

Bank of Indonesia. (2014). Exchange Rate Transaction. Retrieved from http://www.bi.go.id/id/moneter/informasi-kurs/ transaksi-bi/Default.aspx

Bank of Indonesia. (2015, February 5). Economic growth accelerates in fourth quarter of 2014. Retrieved from http://www.bi.go.id/en/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_170815.aspx

Beaton, C., Gerasimchuk, I., Laan, T., Lang, K., Vis-Dunbar, D., & Wooders, P. (2013). A guidebook to fossil-fuel subsidy reform for policy-makers in Southeast Asia. Geneva: International Institute for Sustainable Development. Retrieved from http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ffs_guidebook.pdf

Budiman, A. (2014). Dampak kenaikan harga BBM bagi golongan termiskin di dua desa. Retrieved from http://www.reocities.com/ekonomipolitik/ekopol/ariefb_bbm.pdf

Chung, K.R. (2013). Fuel subsidy reform in Indonesia. Seoul-Washington: KDI School & World Bank Institute. Retrieved from https://www.kdevelopedia.org/Resources/industry-technology/fuel-subsidy-reform-indonesia--04201311140129007.do?fldIds=TP_IND%20TP_IND_EN%20TP_TER%20TP_TER_EN#.VP9Z8PnF98E

Clarke, K., Lontoh, L., & Beaton, C. (2014). Indonesia energy subsidy review. A biannual survey of energy subsidy policies. March 2014. Retrieved from http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ffs_indonesia_review_i1v1.pdf

Clements, B., Jung, H.-S., & Gupta, S. (2003). Real and distributive effects of petroleum price liberalization: The case of Indonesia (IMF Working paper series No. 204). Washington: International Monetary Fund. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/INTPSIA/Resources/490023-1120845825946/indonesia_petrol_price_lib.pdf

Coady, D., & Newhouse, D. (2006). Evaluating the fiscal and social costs of increases in domestic fuel prices. In A. Coudouel, A. Dani, & S. Paternostro (Eds.), Poverty and social impact analysis of reforms: Lessons and examples from implementation. Washington D.C.: World Bank.

Dartanto, T. (2013). Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal balance on poverty in Indonesia: A simulation analysis. Energy Policy , 58 (C), 117–134.

Dewi, R. (2011, July 13-15). Session I: Report of the latest NCs (Inventories) Recently Submitted. Indonesia’s Second National Communication. Presentation at The 9th Workshop on GHG Inventories in Asia (WGIA9) - Capacity building for measurability, reportability and verifiability, Phnom Penh, Cambodia. Retrieved from: http://www-gio.nies.go.jp/wgia/wg9/pdf/1-1_retno_gumilang_dewi.pdf

Global Post. (2015, January 15). Africa Focus: Kenya’s consumer watchdog calls for further drop in fuel prices. Retrieved from http://www.globalpost.com/dispatch/news/xinhua-news-agency/150115/africa-focus-kenyas-consumer-watchdog-calls-further-drop-fue

Guardian. (2014, August 21). Caltex denies using website to collude with rivals on petrol prices. Retrieved from http://www.theguardian.com/world/2014/aug/21/caltex-denies-using-website-to-collude-with-rivals-on-petrol-prices

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 13

Guillaume, D., Zytek, R., & Farzin, M. (2011, July). Iran - The Chronicles of the Subsidy Reform. Retrieved October 26, 2012, from IMF website: http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2011/wp11167.pdf

Harian Nasional. (2014, November 13). Ini Penjelasan Sistem ‘Kartu Sakti’ dalam Inpres No 7 Tahun 2014. Retrieved from http://www.harnas.co/2014/11/13/ini-penjelasan-sistem-kartu-sakti-dalam-inpres-no-7-tahun-2014

International Energy Agency (IEA). (2014). World energy outlook 2014. Paris: International Energy Agency. Retrieved from http://www.worldenergyoutlook.org/publications/weo-2014/

IEA. (2015). Executive summary. In IEA, Medium-term Oil Market Report 2015. Paris: International Energy Agency. Retrieved from https://www.iea.org/Textbase/npsum/MTOMR2015sum.pdf

International Institute for Sustainable Development (IISD). (2015). Indonesia energy subsidy briefing. February 2015. Retrieved from http:/www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ffs_newsbriefing_indonesia_feb2015_eng.pdf

Jakarta Globe. (2015a, February 15). 2015 Budget Revision Approved. Retrieved from http://thejakartaglobe.beritasatu.com/business/2015-budget-revision-approved/

Jakarta Globe. (2015b, February 15). Commentary: On infrastructure, challenges and opportunities for Jokowi’s administration. Retrieved from http://thejakartaglobe.beritasatu.com/business/infrastructure-challenges-opportunities-jokowis-administration/

Jakarta Globe. (2014, May 9). Jakarta’s air quality takes a toxic turn for the worse. Retrieved from http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/jakarta/jakartas-air-quality-takes-toxic-turn-worse/

Jakarta Post. (2015a, January 19). JCI rises slightly at Monday’s close. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/19/jci-rises-slightly-monday-s-close.html

Jakarta Post. (2015b, February 17). Land rule revised to speed up projects. Retrieved http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/17/land-rule-revised-speed-projects.html

Jakarta Post. (2015c, January 20). Lawmakers support Jokowi’s budget. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/20/lawmakers-support-jokowi-s-budget.html

Jakarta Post. (2015d, January 19). Rupiah Closes Rp 12,590 per dollar on Monday. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/19/rupiah-closes-rp-12590-dollar-monday.html

Jakarta Post. (2015e, January 19). Rupiah Opens Rp 12,603 per dollar on Monday. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/19/rupiah-opens-rp-12603-dollar-monday.html

Jakarta Post. (2015f, February 16). Transfer of subsidy to biofuel accelerates deforestation, says Walhi. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2015/02/16/transfer-subsidy-biofuel-accelerates-deforestation-says-walhi.html

Kojima, M. (2013). Reforming fuel pricing in an age of $100 Oil. Washington: The World Bank. Retrieved from https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/16524

Liputan6. (2014, November 18). BI: BBM Naik, Inflasi 2014 di Level 7,9%. Retrieved from http://bisnis.liputan6.com/read/2135980/bi-bbm-naik-inflasi-2014-di-level-79

Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR). (2014, March). Electricity policy development & investment opportunity in Indonesia. Retrieved from Energy Indonesia: http://energy-indonesia.com/03dge/0140317dge.pdf

Ministry of Finance. (2015a, February 16). Budget Deficit set at 1.9 Percent in APBN-P 2015. Retrieved from http://www.kemenkeu.go.id/en/Berita/budget-deficit-set-19-percent-apbn-p-2015

© 2012 The International Institute for Sustainable DevelopmentReformasi subsidi bahan bakar fosil dan kenaikan harga bahan bakar di Indonesia:Dampak dan ekspektasi 14

Ministry of Finance. (2015b, February 16). DPR Passes the 2015 Revised State Budget Bill into Law. Retrieved from http://www.kemenkeu.go.id/en/Berita/dpr-passes-2015-revised-state-budget-bill-law

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2011). Fossil-fuel support. OECD Secretariat background report to support the report on Mobilizing Climate Finance. G20 Meeting of Finance Ministers, 14-15 October 2011. Paris: OECD.

Pradiptyo, R., Wirotomo, A., Adisasmita, A., & Permana, Y. H. (2015). Does Information Matter in Households’ Perception Towards Fossil-Fuel Subsidy Reform? Evidence from Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Department of Economics, Faculty of Economics and Business. Geneva: International Institute for Sustainable Development.

Pradiptyo, R., Wirotomo, A., Permana, Y. H., & Susamto, A. A. (2015). Fossil-fuel subsidy reform and social welfare in Indonesia: A literature study. Universitas Gadjah Mada, Department of Economics, Faculty of Economics and Business. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Reuters. (2014a, November 23). Higher fuel prices expected to put Indonesia auto sales on slower path. Retrieved from http://uk.reuters.com/article/2014/11/23/uk-indonesia-autos-idUKKCN0J70Z320141123

Reuters. (2014b, November 27). Indonesia’s graft watchdog to target energy sector in 2015. Retrieved from http://www.reuters.com/article/2014/11/27/indonesia-energy-corruption-idUSL3N0TH29Z20141127

Susilo, Y. (2013). The elimination of fuel subsidies to increase the education budget in Indonesia. Journal of Economics and Sustainable Development , 4(3). Retrieved from http://www.iiste.org/Journals/index.php/JEDS/article/view/4344

Tambunan, T. (2013). Fossil-fuel subsidy reform and small and medium-sized enterprises (SMEs): The impacts and possible responses. Geneva: International Institute for Sustainable Development. Retrieved from http://www.iisd.org/gsi/sites/default/files/ffs_indonesia_briefing_SMEs.pdf

Tappata, M. (2009). Rockets and feathers: Understanding asymmetric pricing. The RAND Journal of Economics , 40(4), 673–687.

Widjaja, M. (2009). An economic and social review on Indonesian Direct Cash Transfer Program to Poor Families, Year 2005. Working Paper Department of Economics.

World Bank. (2014a). Indonesia Economic Quarterly. December 2014. Delivering Change. Washington: The World Bank.

World Bank. (2014b, September 18-24). Transitional policies to assist the poor while phasing out inefficient fossil-fuel subsidies that encourage wasteful consumption. Contribution by the World Bank to G20 Finance Ministers and Central Bank Governors. Retrieved from http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/Climate/Transitional-Policies-Assist-Poor-Phasing-Out-Inefficient-Fossil-Fuel-Subsidies.pdf

Yusuf, A. A. (2013). The direct and indirect effect of cash transfers: The case of Indonesia. Department of Economics, Center for Economics and Development. Padjadjaran University.

Yusuf, A., & Ramayandi, A. (2008). Reducing fuel subsidy or taxing carbon? Comparing the two instruments from the economy, environment and equity perspective for Indonesia (Working Paper in Economics and Development Studies No 200808). Center for Economics and Development Studies, Padjadjaran University. Retrieved from http://econpapers.repec.org/paper/unpwpaper/200808.htm

© 2015 The International Institute for Sustainable Development Published by the International Institute for Sustainable Development.

About IISDThe International Institute for Sustainable Development (IISD) contributes to sustainable development by advancing policy recommendations on international trade and investment, economic policy, climate change and energy, and management of natural and social capital, as well as the enabling role of communication technologies in these areas. We report on international negotiations and disseminate knowledge gained through collaborative projects, resulting in more rigorous research, capacity building in developing countries, better networks spanning the North and the South, and better global connections among researchers, practitioners, citizens and policy-makers.

IISD’s vision is better living for all—sustainably; its mission is to champion innovation, enabling societies to live sustainably. IISD is registered as a charitable organization in Canada and has 501(c)(3) status in the United States. IISD receives core operating support from the Government of Canada, provided through the International Development Research Centre (IDRC), from the Danish Ministry of Foreign Affairs and from the Province of Manitoba. The Institute receives project funding from numerous governments inside and outside Canada, United Nations agencies, foundations and the private sector.

International Institute for Sustainable DevelopmentHead Office161 Portage Avenue East, 6th Floor, Winnipeg, Manitoba, Canada R3B 0Y4Tel: +1 (204) 958-7700 | Fax: +1 (204) 958-7710 | Web site: www.iisd.org

About GSIGSI is an initiative of the International Institute for Sustainable Development (IISD). GSI puts a spotlight on subsidies—transfers of public money to private interests—and how they impact efforts to put the world economy on a path toward sustainable development. In cooperation with a growing international network of research and media partners, GSI seeks to lay bare just what good or harm public subsidies are doing; to encourage public debate and awareness of the options that are available for reform; and to provide policy-makers with the tools they need to secure sustainable outcomes for our societies and our planet.

Global Subsidies Initiative International Environment House 2, 9 chemin de Balexert, 1219 Châtelaine, Geneva, SwitzerlandTel: +41 22 917-8373 | Fax: +41 22 917-8054

Further details and contact informationFor further information contact Damon Vis-Dunbar at: [email protected] or +41-22-917-8848