masa demokrasi liberal

7
MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 ) Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen. Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden. Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah : a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951) b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952) c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953) d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 ) e. Kabinet Burhanudin Harahap f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957) g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )

Upload: hack

Post on 24-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gggggg

TRANSCRIPT

Page 1: Masa Demokrasi Liberal

MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 )

Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.

Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.

Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :

a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)

b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)

c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)

d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )

e. Kabinet Burhanudin Harahap

f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)

g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )

Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat.

Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :

Page 2: Masa Demokrasi Liberal

a. Pemberontakan Kahar Muzakar

Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan berjuang di Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950 menuntut agar pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya yang memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951, ia bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952 menyatakan diri ikut sebagai bagian anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun memberontak, namun akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi Siliwangi pada bulan Februari 1965.

b. Pemberontakan di Jawa Tengah

Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan yang dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi perembesan pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951). Sebagian dari mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi namaBanteng Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.

c. Pemberontakan di Aceh

Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada tanggal 20 September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur Militer Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai sebagian besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah mengadakan operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M. Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat (Desember 1962).

Page 3: Masa Demokrasi Liberal

d. Peristiwa 17 Oktober 1952

Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan Darat. Kol. Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan dan Presiden dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan meminta agar Kol. A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan mosi agar pemerintah segera membentuk panitia untuk mempelajari masalahnya dan mengajukan pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan alasan tidak ingin menjadi seorang diktator, tetapi akan berusaha segera mempercepat pemilu. Kol. A.H. Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh Mayjen T.B. Simatupang. Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.

e. Peristiwa 27 Juni 1955

Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap bahwa pemerintah belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis. Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang baru, tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira AD yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H. Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955). Peristiwa di Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember 1955. Yaitu ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara Cililitan (Halim Perdanakusuma), segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak pelantikan tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan pembawa panji-panji Angkatan Udara, sehingga upacara batal.

Page 4: Masa Demokrasi Liberal

f. Dewan-dewan Daerah

Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah di Padang (20 November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Padang. Mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah. Larangan KSAD agar tentara tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih pemerintahan daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember 1956).

Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan (Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual). Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.

Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan janji pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak berhasil. Akhirnya operasi militerpun dilancarkan (17 Desember 1957).

g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara

Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam bentuk usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.

Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian terjadi lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret 1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha tersebut sia-sia.

Page 5: Masa Demokrasi Liberal

h. Pemberontakan PRRI dan Permesta

Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein mengultimatum pemerintah agar Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan mandat kepada Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet dan agar Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum tersebut ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15 Februari 1958). Hal tersebut diikuti oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba yang membentuk Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta). Pemberontakan ini ditumpas dengaan operasi militer selama beberapa tahun.

Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam beberapa bidang. Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam bidang:

idak terjadi kesalahpahaman.