masalah fisika

Upload: ozal-idrus

Post on 12-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Masalah fisikaFisikawan Gampang Dibajak, Pemerintah Kurang PerhatianRabu, 25 Mei 20110 komentarSumber: http://www.fisika.lipi.go.id/

Tak bisa dipungkiri, saat ini fisikawan Indonesia mulai diakui Dunia. Lewat ajang kejuaraan fisika mancanegara, tak sedikit mereka tampil sebagai jawara.

Namun sayangnya, perhatian pemerintah terhadap mata pelajaran fisika maupun fisikawan berprestasi masih sangat rendah. Hal ini terbukti dari banyaknya fisikawan yang memilih bekerja di luar negeri ketimbang di Indonesia setelah memenangkan sebuah kompetisi.

Ka Sub Bidang Kerjasama Pusat Penelitian Fisika LIPI Dra. Edi Tri Astuti, M.Eng telah mengatakan ilmu fisika yang merupakan ilmu dasar seringkali tersisih dari ilmu yang membawa keuntungan ekonomis kepada masyarakat. Apalagi, penghargaan terhadap para fisikawan yang berprestasi.

"Apresiasi di sini dibandingkan dengan di luar berbeda. Apabila ada tawaran yang menggiurkan dia otomatis tak balik ke Indonesia," ungkapnya kepada www.today.co.id di sela-sela Kompetisi Fisika Atma Jaya Jakarta, Jumat (8/4/2011).

Yang lebih parah, kata Edi Tri Astuti, secara keseluruhan minat pelajar dan mahasiswa terhada mata pelajaran fisika sangat rendah sekali.

"Sebetulnya secara personal masih ada perhatian kita lihat dari lomba di luar negeri. Tapi, porsentasi secara keseluruhan dari jumlah penduduk di Indonesia sangat kurang," tandasnya.

Sementara itu, Peneliti P2 Fisika LIPI Prof Pardamean Sebayang mengatakanpara fisikawan Indonesia saat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Pasalnya, dari beragam kompetisi fisika dunia, Indonesia bisa meraih juara.

"Menurut saya, siswa kita bukan hanya mampu bersaing. Tapi, juga layak menjadi leader di dunia fisika," ungkapnya di sela-sela kompetisi fisika 'Atmajaya Science Fair 2011' di Kampus Unika Atmajaya, Jakarta, kemarin.

Karena itu, untuk mewujudkan Indonesia menjadi yang terbaik di bidang fisika pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap para fisikawan agar mereka mampu berkompetisi di ajang internasional.

"Mesti ada kemauan bersama, kemauan besar, Ini tantangan kita bersama, jadi harus terus dirangsang, kita punya sumber potensi cukup banyak," ujarnya.

Ia telah mengatakan dalam penyelenggara ASF 2011 yang bertajuk 'The Most Electrifiying Festival' dilakukan sebuah kompetisi yang beragam. Di antaranya cerdas cermat untuk menguji ketangkasan menjawab soal-soal fisika.

"Selain itu, ada peragaan fenomena fisika untuk menguji ketepatan dan memprediksi apa yang terjadi pada fenomena tersebut serta menjelaskan alasannya," katanya.

Fisika Tak Disukai SiswaFakta membuktikan, fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang tidak disukai siswa. Banyak alasannya, salah satunya fisika susah dipahami.

Keadaan ini ironis mengingat ilmu fisika adalah salah satu ilmu yang harus dikuasai bagi mereka yang ingin kuliah di perguruan tinggi dalam bidang eksakta (bidang MIPA, kedokteran, teknik, dan ilmu komputer).

Fisika pelajaran lumayan sulit. Karena sulitnya memahami fisika itulah yang menyebabkan mereka membenci pelajaran fisika.

Walaupun penampilan fisik buku pelajaran itu sangat menarik tetapi tidak demikian halnya dengan isinya.Guru sebagai ujung tombak, harus berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan pelajaran fisika itu sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah.

Kadang kadang guru fisika tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar pelajaran fisika. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan waktu yang tersedia.

Tapi, apapun alasan siswa tidak menyukai fisika. Tetapi fisika merupakan mata pelajaran wajib diikuti. Karenanya guru harus tetap semangat, terus berupaya agar siswa menyukai fisika, gunakan berbagai tips agar siswa menyukai fisika. Ada beberapa tip agar fisika disukai.

1. Menguasai materi. Ini salah satu kunci utama, sehebat apapun metode pembelajaran kalau gurunya tidak atau kurang menguasai materi hasilnya pasti tidak memuaskan.2. Menyajikan materi dengan metode pembelajaran yang mudah diterima siswa dan variatif. Hal ini memerlukan kejelian guru dalam memilih metode pembelajaran yang tepat dan variatif agar proses belajar mengajar tidak jenuhkan.

Pengajaran Fisika di Indonesia Membunuh Kreativitas MuridKamis, 30 September 20100 komentarGuru Besar Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Tjia May On mengatakan, pengajaran fisika di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah menengah umum (SMU) yang hanya menekankan satu proses pemahaman fenomena alam saja-yakni proses deduktif-sebagian memang berhasil membuat anak menjadi kritis analitis, tetapi efek sampingnya membunuh kreativitas anak dalam menyisir fakta-fakta dari fenomena rumit untuk menghasilkan konsep hipotesis atau model teori yang sederhana. Ahli fisika partikel dan fisika material itu mengungkapkan hal ini pada hari pertama Konferensi Guru Fisika Indonesia yang berlangsung Sabtu, 29 April lalu di Sekolah Pelita Harapan Karawaci, diikuti 500-an guru fisika SLTP dan SMU berbagai kota di Pulau Jawa dan luar Jawa. Penyelenggaraan konferensi itu sendiri berbarengan dengan Olimpiade Fisika Asia Pertama di Karawaci, Jawa Barat. "Mengapa negara kita semrawut? Jawabannya karena orang hukum hanya bicara bukti, bukan fakta," kata Tjia saat menjelaskan betapa pencarian, pengungkapan, dan pemahaman fakta masih amat kurang dalam pendidikan secara umum di Indonesia. Dalam ceramah yang disampaikan dengan refleksi mendalam dan artikulasi fisika-filosofis yang kuat itu, Tjia menjelaskan betapa perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan fisika khususnya telah berlangsung melalui rute empirik. Pada masa Aristoteles, Plato, dan Socrates, menurut Tjia, kekuatan logika dan penalaran deduktif merupakan bekal dan proses yang dapat "menemukan" kebenaran. Pada paradigma baru yang dirintis oleh Francis Bacon, kemudian diperkuat oleh Galileo dan Newton, proses mencari kebenaran bersifat induktif dengan verifikasi kebenaran yang berdasarkan fakta teramati atau terukur-telah membuka cakrawala baru karena mereka menganut epistemologi sebagai "jalan raya" menuju kebenaran ilmiah.

"Ini berarti fisika adalah ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar fakta, memerlukan verifikasi, dan memiliki keterbatasan validitas," katanya.

Pengajaran fisika di sekolah-sekolah menengah Indonesia, menurut pengamatan Tjia, ditekankan kepada proses deduktif dari model teo kepada ramalan-ramalan teoretik. Anak diajarkan terlatih menurunkan rumus, sebaliknya tidak diberi ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. "Padahal, dalam melakukan generalisasi inilah tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena alam," katanya.

Tjia menyarankan para guru yang mengikuti konferensi ini mulai memperkenalkan proses induktif dalam pengajaran fisika kepada murid. Yang mula-mula terjadi pada murid dengan proses ini, menurut Tjia, adalah mereka berpendapat ngawur. Namun, lama-kelamaan akan tumbuh semacam feeling fisika pada murid bila mereka terlatih melihat fenomena alam, kemudian menyisir fakta-fakta fisika yang ia peroleh, untuk merumuskannya ke dalam suatu model teori.

"Di sini para guru harus mengikis kebiasaannya menyalahkan murid kalau ngomong salah, sebaliknya justru membina murid bagaimana menguliti fakta-fakta yang kompleks hingga menemukan intinya dalam konsep atau model yang sederhana," katanya.

Ceramahnya yang berlangsung satu jam itu juga mengungkapkan betapa interaksi fisika dan teknologi saat ini sangat menguntungkan fisika dan teknologi itu sendiri.

Spektrum perhatian fisika yang luas dari partikel elementer ke jagat raya yang mahaluas dan "kerukunan" fisika dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, menurut Tjia, memperlihatkan betapa fisika-meminjam ungkapan fisikawan terkenal Lord Rutherford-dapat dipandang seperti yang terungkap dalam "all science is either physics or stamp collecting" atau "ilmu itu hanyalah fisika, atau hanya main-main saja seperti mengumpulkan perangko."Belajar Fisika Bersama Guru KreatifKamis, 30 September 20100 komentarBelajar ilmu pasti, haruslah mengedepankan logika sebagai cara berpikirnya. Jika bisa memahami kerangka berpikir logis, maka pembelajaran menjadi mudah dan menarik. Demikian pula jika belajar fisika sebagai bagian ilmu pasti. Guru yang baik dan smart/pintar akan memakai pola kreatif dalam menjelaskan dan menunjukkan cara-cara berpikir logis untuk memahami hukum-hukum dasar fisika.

Pelajaran fisika kelas 8 SMP di semester satu dibahas tentang gaya, pada pelajaran itu muncul pembelajaran tentang gaya gesek statis dan kinetis. Dimana dalam buku pelajaran fisika kelas 8 SMP pada umumnya telah diberikan penjelasan tentang kedua gaya gesek tersebut, yaitu gaya gesek statis bekerja pada benda diam sampai tepat akan bergerak, sedangkan gaya gesek kinetis bekerja pada benda yang sedang bergerak.

Cukupkah penjelasan seperti itu? Jika harus menghafal memang cukup mudah, tetapi mengerti dan memahami pastilah jauh bagi siswa, tanpa penjelasan yang nyata. Seorang guru yang smart bisa membantu siswanya untuk memahami dan mengingat kedua gaya gesek itu. Dengan peragaan di lapangan yang bertumpu pada kinestesik, pemahaman tentang kedua gaya tersebut akan semakin mudah. Guru mengajak murid-muridnya pergi ke jalan raya yang tentunya bisa dikosongkan untuk peragaan. Sediakan sebuah mobil dengan sopirnya untuk menjaga lintasan, sementara mesin mobil dalam keadaan mati. Guru menyuruh seorang siswi untuk mencoba mendorong mobil yang belum bergerak.

Ternyata dengan mengerahkan seluruh tenaganya, siswi itu gagal untuk menggerakkan mobil karena adanya gaya gesek statis. Kemudian guru memanggil tiga siswa untuk membantu siswi mendorong mobil, dan setelah ditambah tiga tenaga siswa akhirnya mobil bisa bergerak dan berjalan. Setelah mobil berjalan tiga siswa diperintahkan untuk melepaskan dorongannya, sementara siswi tetap berada dalam posisi mendorong mobil, ternyata siswi itu mampu terus mendorong mobil yang sedang bergerak, dimana saat itu bekerja gaya gesek kinetis.

Peragaan tersebut akan mampu membantu murid untuk memahami apa yang dimaksud dengan kedua gaya gesek tersebut. Dengan peragaan itu murid mampu menyimpulkan bahwa gaya gesek kinetis lebih kecil dari gaya gesek statis, terbukti dalam keadaan bergerak siswi mampu mendorong mobil sendirian. Daya ingat yang dibantu dengan melihat, mendengar penjelasan, dan melakukan peragaan, akan panjang bahkan sampai di SMA, yang nantinya juga akan mempelajari lebih detil kedua gaya gesek tersebut.

Kecintaan akan suatu mata pelajaran dimulai dari pembelajaran yang menarik dan kreatif. Untuk majunya pendidikan memang dibutuhkan guru-guru yang smart, guru kreatif yang mampu menjelaskan dalil-dalil fisika dengan kejadian nyata di kehidupan sehari-hari. Mari, walaupun telah menjabat sebagai guru, bukan berarti selesainya proses belajar. Teruslah pertajam kemampuan, mengabdi demi terwujudnya generasi cerdas di masa datang, tingkatkan inovasi dengan kreasi-kreasi baru.

Bambang WidriJl Wiroto 2/3 Semarang08562710800

Pembelajaran Fisika Terbelenggu RutinitasSelasa, 28 September 20100 komentarPembelajaran Fisika dinilai belum maksimal. Dalam pelaksanaannya, materi sains yang ada di dalamnya belum disampaikan secara benar kepada siswa sementara guru pengajar masih terbeleunggu dalam rutinitas.

Prof Dr Wiyanto MPd menyatakan hal itu di sela-sela pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unnes di auditorium kampus tersebut, kemarin. Rutinitas yang dimaksud dia tak lain adalah kebiasaan guru dalam memberikan rumus. Guru sekadar menyebut rumus yang dirasa perlu dan dilanjutkan dengan pemberian latihan soal.

Siswa sama sekali tak diajarkan bagaimana proses perolehan rumus tersebut. Sehingga belajar Fisika tak ada bedanya dengan sejarah, semuanya dihafalkan, kata dia. Dalam acara pengukuhan tersebut, Wiyanto menyampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul Pembelajaran Fisika untuk Mengembangkan Kompetensi Unggul.

Dia mengungkapkan, pembelajaran Fisika harus diterapkan sesuai dengan yang diamanatkan oleh kurikulum sekolah untuk pengembangan kompetensi. Pembelajaran Fisika di sekolah-sekolah sebaiknya dijalankan seperti halnya pembelajaran seorang ilmuwan yang belajar mencari dan menemukan sesuatu. Bukan sekadar diajarkan untuk menerima teori yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah, tandasnya.PEMBELAJARAN MIPA dan MASALAHNYASelasa, 25 Mei 20100 komentarOleh: Prof. Yohanes Surya

Wemi 17 + 5 berapa? pertanyaan ini saya ajukan pada seorang siswa kelas V di suatu Sekolah dasar di Kabupaten Tolikara Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian ia menghitung banyaknya garis itu satu persatu hingga ia dapatkan hasil 22. Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik, anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.

Di daerah lain di Papua, saya menginterview kali ini anak-anak SMA. Saya bertanya pada anak-anak tersebut berapa 1/2 + 1/3=. Tidak ada satupun yang menjawab 5/6, sebagian besar menjawab 2/5 bahkan ada yang menjawab 1/5. Saya sempat bertanya pada kepala sekolah kenapa anak-anak ini bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab :kualitas guru disini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika. Lalu apa kriteria anak ini naik kelas? tanya saya lebih lanjut. Tidak ada! Semua anak dinaikan kelas kepala sekolah menjawab dengan jujur. Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak, lanjutnya. Orangtua disana merindukan anak-anaknya pintar, itu sebabnya mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.

Pembelajaran Matematika dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan masalah yang besar tidak hanya di daerah-daerah tetapi juga di kota-kota besar. Banyak lembaga pendidikan mengatakan bahwa anak-anak sulit belajar matematika atau IPA karena memang mereka tidak berbakat. Menurut mereka sebaiknya anak-anak yang tidak berbakat IPA dan matematika ini diarahkan pada ilmu-ilmu sosial saja.

Namun yang kami temukan dilapangan ternyata berbeda. Selama tahun 2008/2009 saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan bahkan ribuan guru IPA dan Matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.

Potensi siswa Indonesia

Secara rata-rata kemampuan siswa Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.

Sekitar pertengahan tahun 2009 kami membawa 5 anak dari kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Dari Wamena kami ambil 1 siswa dari desa Kurulu dimana seluruh penduduknya masih mengenakan koteka dan perempuannya masih telanjang dada.

Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika GASING (Gampang Asyik dan Menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang menganggap mereka ini bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju, mereka ingin sepintar anak-anak lain dari pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar. Hasilnya? Hanya dalam waktu 6 bulan mereka sudah mampu menghitung dengan sangat baik. Segala bentuk soal pecahan dapat dikerjakan dengan baik. Semua soal cerita dari buku Matematika kelas 1 hingga kelas 6 SD dapat diselesaikan dengan sangat baik. Ternyata siswa yang selama ini dianggap bodoh itu dapat menjadi hebat sekali hanya dalam waktu 6 bulan asalkan mereka mendapat guru yang berkualitas dan metode pembelajaran yang tepat.

Saya masih ingat, tahun 2004 saya bawa Andrey Awoitauw siswa SMP kelas 1 dari Jayapura. Ketika dibawa ke Surya Institute ia tidak bisa menghitung pecahan. Ia hanya bisa menghitung kali, jumlah dan kurang. Tapi ketika dilatih dengan metode yang tepat dan guru yang berkualitas, Andrey mampu meraih medali emas dalam bidang Matematika SMP Olimpiade IPA Nasional 2005 di Jakarta. Bahkan nilainya melebihi nilai yang diperoleh seorang siswa yang pernah juara menjadi juara dunia matematika.

Hasil Andrey mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu waktu saya pulang dari Amerika Serikat, teman saya bertanya kenapa mau pulang ke Indonesia, bukankah sudah enak kerja di Pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika, teman saya ini tertawa. Ia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.

Dimulai tahun 1999 Made Agus Wirawan dari Bali merebut medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Italia. Kemudian tahun 2005 Anike Bowaire dari Papua dan Dhina Susanti dari Semarang berhasil meraih medali emas The First Step to Nobel Prize in Physics sekaligus menjadikan Indonesia juara dunia dalam lomba tersebut. Di Tahun 2006 Jonathan Mailoa meraih peringkat 1 dari 386 peserta sekaligus membawa Indonesia menjadi juara pertama diantara 85 negara peserta Olimpiade Fisika Internasional di Singapore. Di tahun 2009 Indonesia menjadi juara dunia dalam lomba karya ilmiah International Conference for Young Scientists di Polandia dengan merebut 6 medali emas. Tahun 2009 juga Indonesia juara dunia dalam lomba Global Enterprise Challenge suatu lomba yang menggabungkan kemampuan entrepreneurship dan IPA. Di tingkat SMP kita beberapa kali juara dunia dalam International Junior Science Olympiad. Sampai tahun 2009 sudah lebih dari 69 medali emas dipersembahkan siswa-siswa Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan ini.

Hasil berbagai olimpiade ini semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi luar biasa.

Kualitas guru

Selama melatih ribuan guru-guru IPA dan matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan yang cukup mencolok dari segi kualitas antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah terutama daerah tertinggal.

Guru di kota besar terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya, bahkan ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran. Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal olimpiade seperti olimpiade fisika, matematika, kimia masih dirasakan terlalu berat untuk mereka. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.

Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan: Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Disini walaupun kami belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati, kami baru sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang Waktu 1 bulan ini kami anggap kurang. Kami ingin belajar lagi. Kami ingin nanti siswa-siswa Aceh jadi siswa yang pintar-pintar.

Seorang guru dari desa di Pulau Jawa menangis waduuuh selama ini ternyata saya mengajar salah, 15 tahun saya mengajar salah o Gusti ampuni saya Guru ini mengaku ia telah mengajar konsep yang salah (miskonsepsi) tentang IPA. Ia tidak tahu bahwa yang ia ajarkan itu salah. Ia menganggap bahwa bumi bisa berputar terus karena dapat energi dari sinar matahari. Ia menganggap bahwa benda terapung karena gaya ke atas lebih besar dari gaya berat. Dan masih banyak lainnya.

Guru dari suatu daerah di Papua mengaku ia selama ini sangat bersalah, telah mengajar salah. Guru ini menghitung 23 + 3 hasilnya 56. Menurut guru ini konsep penjumlahan sama seperti perkalian. Jadi ia harus menambahkan puluhan dan satuan masing-masing dengan 3. Ia menjumlahkan 2 + 3 = 5 dan 3 + 3 = 6. Jadi hasilnya 56!. Dalam pecahanpun mereka keliru menghitung + 1/3. Menurut mereka untuk menghitung penjumlahan ini pembilang dijumlah dan penyebut dijumlah jadi hasilnya 2/5.

Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sangat monoton. Ia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.

Masih banyak kisah-kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar secara GASING (Gampang, Asyik dan menyenangkan). Mereka bingung karena selama ini belum banyak dapat pelatihan yang baik.

Berdasarkan berbagai komentar dari para guru dan pemantauan di lapangan, kami menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru IPA dan Matematika di daerah pinggiran atau daerah tertinggal adalah : 1. Mereka sadar kekurangan mereka; 2. Mereka punya kemampuan untuk berkembang asal diberikan kesempatan; 3) Mereka punya keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik; 4) mereka punya jiwa pendidik yang ingin membuat anak didiknya berhasil; 5) Mereka memerlukan tambahan sarana berupa alat demonstrasi IPA dan matematika + pelatihan menggunakan alat ini untuk membuat pelajaran menjadi lebih menarik; 6). Secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dalam mendidik anak.

Jadi sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik, mereka punya hati, mereka punya keinginan maju tetapi mereka butuh bantuan, dukungan dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

Whats next?

Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan termasuk pemerintah dan masyarakat perlu saling bahu membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas disini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang GASING (Gampang, Asyik menyenangkan). Lewat guru yang berkualitas inilah kita bisa mengubah wajah matematika dan IPA yang selama ini dianggap momok yang menakutkan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Untuk guru-guru dikota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan terus untuk meningkatkan kemampuannya sampai ke level olimpiade.

Untuk guru-guru di daerah terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 harisaja). Pelatihan 6 bulan 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini untuk meng-update konten yang dimiliki dan juga memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap kedepannya kemampuan guru-guru di daerah ini akan mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota besar.

Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana yang cukup besar, tetapi dengan dana 20 % yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu membahu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, maka kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.

(Prof. Yohanes Surya adalah Pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya suatu sekolah untuk mendidik calon guru untuk menjadi guru berkualitas. www.yohanessurya.com)