masalah gizi di indonesia
DESCRIPTION
textTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,
namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis
dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah
multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan
berbagai sektor yang terkait.
Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan
pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan
pengadaan pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana
kekeringan, perang, kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul
akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan
rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Menyadari hal
itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin
setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlah
dan mutunya. Dalam konteks itu masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah
kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah
kesempatan kerja.
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya
masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah
Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY),
masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-
kota besar. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, telah
terungkap bahwa Indonesia mengalami masalah gizi yang artinya sementara
masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh, udah muncul
masalah baru, yaitu berupa gizi lebih.
Disamping masalah tersebut di atas, diduga ada masalah gizi mikro
lainnya sepeni defisiensi Zink yang sampai saat ini belum terungkapkan,
1
karena adanya keterbatasan Iptek Gizi. Secara umum masalah gizi di
Indonesia, terutama KEP, masih lebih tinggi daripada negara ASEAN lainnya.
Pada tahun 1995 sekitar 35,4% anak balita di Indonesia menderita KEP
(persen median berat menurut umur <80%). Pada tahun 1997, berdasarkan
pemantauan status gizi (PSG) yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, prevalensi KEP ini turun menjadi 23,1%. Keadaan itu tidak dapat
bertahan yaitu pada saat Indonesia mengalami krisis moneter yang berakibat
pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Pada tahun 1998, prevalensi KEP
meningkat kembali menjadi 39,8%. Demikan pula masalah KVA yang
diperkirakan akan meningkat karena masa krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja masalah gizi pada masyarakat ?
1.2.2 Bagaimana penilaian status gizi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mendeskripsikan masalah gizi pada masyarakat.
1.3.2 Mendeskripsikan cara mengatasi masalah gizi pada masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Istilah Yang Berhubungan Dengan Gizi
Deswarni Idrus dan gatot Kunanto (1990), mengungkapkan bahwa ada
beberapa istilah yang berhubungan dengan gizi. Istilah-istilah tersebut akan
diuraikan dibawah ini.
2.1.1 Gizi (Nutrition)
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara nrmal melalui proses digersti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan penegluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ, serta menghasilkan energi.
2.1.2 Keadaan Gizi
Keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan
fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh.
2.1.3 Status gizi (Nutrition status)
Ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dari utriture dalam bentuk variabel tertentu.
Contoh : Gondok endemik merupakan keadaan tidak seimbangnya
pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh.
2.1.4 Malnutrition (Gizi Salah, Malnutrisi)
Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif
maupun absolut satu atau lebih gizi.
Ada empat bentuk malnutrisi :
1. Under nutrition : Kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau
absolut untuk periode tertentu.
2. Spesific deficiency : kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan
vitamin A, Yodium, Fe , dll.
3
3. Over Nutrition : kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu.
4. Imbalance : karena disproporsi zat gizi, misalnya : kolesterol terhjadi
karena tidak seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High
Density Lipoprotein) , dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
2.1.5 Kurang Energi Protein (KEP)
Kurang energi protein atau KEP adalah seorang yang kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut
KEP apabila berat badanya kurang dari 80% indeks berat badan menurut
umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi
dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada
umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan
rendah.
KEP pada orang dewasa disebabkan oleh kelaparan,pada saat ini
sudah tidak terdapat lagi. KEP berat pada orang dewasa dikenal sebagai
honger oedem . KEP pada saat ini terutama terdapat pada anak balita .
hasil analisis data antropometri di 27 provinsi yang dikumpulkan melalui
Susenas pada tahun 1989, 1992, 1995, 1998, dan 1999 dapat dilihat pada
Tabel 13.3. Analisis data dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat,
Departement Kesehatan dengan menggunakan indeks Simpangan Baku
(SB) terhadap rata – rata yang dikenal dengan istilah Z . score.
Tabel 13.3 Status Gizi Balita Indonesia (dalam %)
NO
Tahun
Status Gizi
1989 1992 1995 1998 19991 Gizi Buruk ( < - 3, 00 SB) 6,3 7,23 11,56 10,57 8,112 Gizi Kurang (-3,00 SB hingga -2,00 SB) 31,17 28,34 20,02 19 18,253 Gizi Baik (-2,00 SB hingga + 2,00 SB) 61,67 63,17 65,21 67,23 69,06
Sumber : Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes , 1999
4
Pravalensi gizi buruk (< - 3,00 SB) cenderung menigkat dari tahun 1989
hingga tahun 1995, yaitu 6,30 % (1989) menjadi 7, 25% (1992) dan 11,56%
(1995), akan tetapi menurun pada tahun 1998 dan 1999, yaitu 10,51% (1998) dan
8,11% (1999). Pravalensi gizi kurang (-3,00 SB hingga -2,00 SB) cenderung
menurun secara keseluruhan . Pravalensi gizi buruk / KEP berat tertinggi (> 10%)
pada tahun 1999 terdapat di 6 propinsi yaitu DI Aceh, Sumatra Utara , Sumatera
Barat, NTB,NTT, dan Kalimantan Barat. Pada umumnya KEP lebih banyak
terdapat di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan . di sampin kemiskinan,
faktor lain yang berpengaruh adalah, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan atau pemberian makanan sesdudah bayi
disapih serta tentang pemeliharaan lingkungan yang sehat.
Menurunnya pravalensi gizi buruk dan gizi kurang secara rata – rata ,
walaupun Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak tahun 1997, diduga sebagai
akibat diselerenggarakannya program Jaringan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-
BK) yang dikembangkan sejak tahun 1998, anatara lain dengan pemberian
makanan tambahan (PMP) kepada balita bermasalah melalui rumah sakit dan
puskesmas.
Anemia Gizi Besi (AGB)
Masalah anemia gizi di Indonesia terutama berkaitan dengan , kekurangan
zat besi (AGB) . Angka nasional prevalensi anemia gizi besi baru dikumpulkan
pada tahun 1989 melalui survei kesehatan rumah tangga (SKRT) untuk ibu hamil ,
sebesar 70%. SKRT tahun 1992 mencatat prevalensi AGB untuk ibu hamil
sebesar 63,5% dan balita 55,5% . data lebih lengkap diperoleh melalui SKRT
tahun 1995 , yaitu untuk semua kelompok umur, serta ibu hamil dan ibu menyusui
(lihat Tabel 13.4)
5
Tabel 13.4 Prevalensi Anemia Gizi Besi tahun 1989, 1992, dan 1995 .
No Kelompok 1989 1992 19951 Balita - 55,5 40,52 Usia Sekolah - - 47,53 10 - 14 tahun - - 57,54 15 - 44 tahun - - 48,95 45 - 54 tahun - - 48,96 55 - 64 tahun - - 51,57 > 65 tahun - - 57,98 Ibu Hamil 70 63,5 50,99 Ibu Menyusui - - 45,1
Sumber : Dit. BGM Depkes (1999)
Gangguan Akibat Kekuranagn Iodium (GAKI)
Kekurangan iodium terutama terjadi di daerah pegunungan, dimana tanah
kurang mengandung iodium. Daerah GAKI merentang sepanjang Bukit Barisan di
Sumatra, daerah pegunungan di Jawa , Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Irian Jaya di daerah tersebut GAKI terdapat secara endemik. Pada
pemetaan GAKI pada anak sekolah yang dilakukan secara periodik sejak tahun
1989 melalui Survei Nasional GAKI oleh Departemen Kesehatan, tampak
kecenderungan rata-rata prevalensi gondok total/Total Goitre Rate (TGR). Bila
pada tahun 1989 rata-rata angka TGR adalah sebesar 37,2%, pada tahun 1992
turun menjadi 27,7%, pada tahun 1995 menjadi 18,0%, dan pada tahun 1998
menjadi 9.8%. Angka gondok nyata / Visible Goitre Rate (VGR). Pada tahun 1989
tercatat sebesar 9,3% dan pada tahun 1998 tercatat di NTT dan Maluku, GAKI
sedang (TGR 20,0% - 29,9%) di Sumatra Barat dan Sulawesi Tenggara. GAKI
tidak merupakan masalah kesehatan lagi (TGR<5%) di 9 provinsi yaitu Riau,
Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Provinsi selebihnya menunjukkan
prevalensi GAKI ringan (5%-19,9%).
6
Tabel 13.5 Prevalensi GAKI Tahun 1989-1998
No. Tahun Prevalensi
TGR* VGR**
1. 1989 37,2 9,3
2. 1992 27,7 6,8
3. 1995 18 -
4. 1998 9,8 -Sumber: Dit.BGM Depkes (1999)
*Total Goitre Rate
**Visible Goitre Rate
Kurang Vitamin A (KVA)
Kekurangan Vitamin A yang menyebabkan kebutaan , pada akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I sudah hampir tidak ada lagi. Hasil Susenas di 15 Provinsi rawan devesiensi Vitamin A menunjukkan, bahwa prevalensi KVA dengan indikator bercak Bitot (X 1B), yang pada tahun 1978 ada sebesar 1,3%, pada tahun 1992 turun menjadi 0,35% (lihat Tabel 13.6). Prevalensi ini berada di atas kriteria WHO guna menetapkan apakah KVA saat ini tidak merupakan masalah lagi. Tingkat yang lebih parah, xerosis kornea (X2), ulkus kornea (X3A), teratomalasia(X3B) dan parut kornea(XS), sejak tahun 1992 sudah tidak ditemukan lagi.
Tabel 13.6 Prevalensi
2.2 PENILAIAN STATUS GIZI SECARA LANGSUNG
Penilaian gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu : Antropometri, klinis, bokimia, dan biofisik. Masing-masing penilaian
tersebut akan dibahas secara umum sebagai berikut.
2.2.1 Antropometri
1. Pengertian
7
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut panjang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi.
2. Penggunaan
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan prottein dan energi. Ketidkseimbangan ini
terihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
2.2.2 Klinis
1. Pengertian
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi yang di hubungkan dengan
ketidakukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat dari jaringan epitel
(supervicial epithelial tissue) sepeti kulit, mata dan mukosa oral
atau pada organ-organ yang ekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.
2. Penggunaan
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis
secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini di racang untuk
mendeteksi secara cepat tansa-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk
mengetahui tingkat status gizi seseorang degan melakukan
pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symtom) atau
riwayat penyakit.
2.2.3 Biokimia
1. Pengertian
8
Penilian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang di uji secara laboratoris yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh
seperti hati dan otot.
2. Peggunaan
Metode ini digunakan ntu suatu peringtan bahwa
kemungkinan akan terjadi., keadaan malnitrisi yang lebh parah
lagi. Banyak gejala fisik yang kurang spesifik, maka pnetuan
kimia faali dapat lebih banya menolong untuk menentukan
kekurangan gizi yang spesifik.
2.2.4 Biofisik
1. Pengertian
Penentuan status gizi secara biofisik adalah penetuan status
gizi dengan melihat kemapuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan.
2. Penggunaan
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti
kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara
yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
2.3 Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
survei konsumsi makan,statistik vital, dan aktor ekologi. Pengertian dan
penggunaan metode ini akan di uraikan sebagai berikut:
2.3.1 Survei Konsumsi Makanan
1. Pengertian
9
Survei konsumsi makanan adalah metode penetuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi
2. Penggunaan
Pengumpulan data konnsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi.
2.3.2 Statistik Vital
1. Pengertian
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah degan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
2. Penggunaan
Penggunaan dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator
tidak langsug pengukuran Status gizi masyarakat.
2.3.3 Faktor Ekologi
1. Pengertian
Bengoa mengungkapkan bahwa malutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya . Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah , irigasi dan
lain – lain.
2. Penggunaan
10
Pengukuuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi ( Schrimashaw, 1964).
Secara ringkas , penilaian status gizi dapat dilihat pada Bagan 2-1.
Setiap metode penilaian status gizi mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan dan kelemahan masing – masing metode
akan dibicarakan pada setiap Bab 3 ssampai dengan Bab 9 dalam
buku ini.
Berbagai contoh penggunaan penilaian status gizi, seperti antropometri ,
digunakan .untuk mengukur karakteristik fisik seseorang dan zat gizi yang
penting untuk pertumbuhan . Pemeriksaan klinis dan biokimia biasanya
diilakukan untuk melihat atau mengukur satu aspek dari status gizi seperti
kadar mineral dan atau vitamin.
Bagan 2-1. Metode Penilaian Status Gizi (Sumber: Disarikan dar
Jelliffe. D.B dan Jelliffe E.F Patrice, 1989.Community Nutrition
Assesment, Oxford University Press )
11
Penilaian Status Gizi
Pengukuran Langsung
Pengukuran Tidak Langsung
1. Antropometri2. Biokimia3. Klinis4. Biofisik
1. Survei Konsumsi 2. Statistik Vital3. Faktor Ekologi
2.4 Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Memilih Metode Penilaian
Status Gizi
Hal mendasar yang perlu diingat bahwa setiap metode penilaian status
gizimempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan menyadari
kelebihan dan kelemahan tiap-tiap metode, maka dalam menentukan diagnosis
suatu penyakit perlu menggunakan beberapa jenis metode. Penggunaan satu
metode akan memberikan gambaran yang kurang komprehensif tntang suatu
keadaan.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan daam memilih dan
menggunakan metode adalah sebagai berikut.
2.4.1 Tujuan
Tujuan pengukuran sangat perlu diperhatikan dalam mermilih metode,
seperti tujuan ingin mlihat fisik seseorang, maka metode yang digunakan adalah
antropometri. Apabila ingin melihat status vitamin dan mineral dalam tubuh
sebaiknya menggunakan metode biokimia.
12
1. Antropometri2. Biokimia3. Klinis4. Biofisik
1. Survei Konsumsi 2. Statistik Vital3. Faktor Ekologi
2.4.2 Unit sampel
Berbagai jenis unit sampel yang akan diukur sangat mempengaruhi
penggunaan metode penilaian status gizi. Jenis unit sampel yang akan diukur
meliuti individual, rumah tangga/keluargga dan kelompok rawan gizi. Apabila
unit sampel yang akan diukur adalah kelompok atau masyarakat yang rawan gizi
secara keseluruhan maka sebaiknya menggunaakan metode antropometri, karena
metode ini murah dan dari segi ilmiah bisa dipertanggung jawabkan.
2.4.3 Jenis Informasi yang Dibutuhkan
Pemilihan metode penilaian status gizi tergantung pula dari jenis informasi
yang diberikan. Jenis informasi itu antara lain: asupan makanan, berat dan tinggi
badan, tingkat hemoglobin dan situasi sosial ekonomi. Apabila menginginkan
informasi tentang asupan makanan, maka metode yang digunakan adalah survei
konsumsi. Dilain pihak apabila ingin mengetahui tingkat hemoglobin maka
metode yang digunakan adalah biokimia. Membutuhkan informasi tentang
keadaan fisik seperti berat badan dan tinggi badan , sebaiknya menggunakan
metode antropomitri. Begitu pula apabila membutuhkan inormasi tentang situasi
sosial ekonomi sebaiknya menggunakan pengukuran faktor ekologi.
2.4.4 Tingkat reliabilitas Dan Akurasi yang Dibutuhkan
Masing-masing metode penilaian status gizi mempunyai tingkat reabilitas
dan akurasi yang berbeda-beda. Contoh penggunaan metode klinis dalam menilai
tingkatan pembesaran kelenjar gdok adalah sangat subjektif sekali. Penilaian ini
membutuhkan tenaga medis dan paramedis yang sangat terlatih dan mempunyai
pengalaman yang cukup dalam bidang ini. Berbeda dengan penilaian biokimia
yang mempunyai reabilitas dan akurasi yang sangat tinngi. Oleh karena itu apabila
ada biaya, tenaga dan sarana-sarana lain yang mendukung, maka penilaian status
gizi dengan biokimia sangat dianjurkan.
2.4.5 Tersedianya Fasilitas dan Peralatan
13
Berbagai jenis fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam penilaian
status gizi. Fasilitas tersebut ada yang mudah didapat dan ada pula yang sangat
sulit diperoleh. Pada umumnya fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam
penilaian status gizi sacara antropometri relatif lebih mudah didapat dibandingkan
dengan peralatan penentuan status gizi dengan biokimia.
Pengadaan jenis fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan, ada yang
diimport dari luar negeri dan ada yang didapat dari dalam negeri. Umumnya
peralatan yang diimport lebih mahal dibandingkan dengan yang produksi dalam
negeri.
2.4.6 Tenaga
Ketersediaan tenaga baik jumlah maupun mulutnya sangat mempengaruhi
metode penilaian status gizi. Jenis tenaga yang digunakan dalam pengumpulan
data status gizi antara lain: ahli gizi, dokter, ahli kimia, dan tenaga lain.
Penilaian status gizi secara biokimia memerlukan tenaga ahli kimia atau
analis kimia, karena menyangkut berbagai jenis bahan dan reaksi kimia yang
harus dikuasai. Berbeda dengan penilaian status gizi secara antropometri, tidak
memerlukan tenaga ahli, tetapi tenaga tersebut cukup dilatih beberapa hari saja
sudah menjalankan tugasnya. Kader gizi di posyandu adalah tenaga gizi yang
tidak ahli, tetapi dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, walaupun disana-sini
masih ada kekurangannya. Tugas utama kader gizi adalah melakukan pengukuran
antropometri, seperti tinggi badan dan berat badan serta umur anak. Setelah
mendapatkan data, mereka dapat memasukkan pada KMS dan langsung dapat
menginterpretasi data tersebut.
Penilaian status gizi secara klinis, membutuhkan tenaga medis (dokter).
Tenaga kesehatan lain selain dokter, tidak dapat diandalkan , mengingat tanda-
tanda klinis tidak spesifik untuk keadaan tertentu. Stomatitis anguler, sering tidak
benar di interpretasikan sebagai kekurangan ribiflavin. Keadaan ini di india
diakibatkan dari kebanyakan mengunyah daun sirih atau buah pinang yang banyak
mengandung kapur, yang dapat menyebabkan iritasi pada bibir.
14
2.4.7 Waktu
Ketersediaan waktu dalam pengukuran status gizi sangan mempengaruhi
metode yang sangat digunakan. Waktu yang ada bisa dalam mingguan, bulanan,
dan tahunan. Apabila kita ingin menilai status gizi disuatu masyarakat dan waktu
yang tersedia relatif singkat, sebaiknya dengan menggunakan metode
antropometri. Sangat mustahil kita menggunakan metode biokimia apabila waktu
yaang tersedia sangat singkat, apalagi tidak ditunjang dengan tenaga, biaya dan
peralatan yaang memadai.
2.4.8 Dana
Masalah dana sangan mempengaruhi jenis metode yang akan digunakan
untuk menilai status gizi. Umumnya menggunakan metode biokimia relatif mahal
dibanding dengan metode lainnya. Penggunaan metode disesuaikan dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penilaian status gizi.
Jadi, pemilihan metode status gizi harus selalu mempertimbangkan status
tersebut di atas. Faktor-faktor itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi selalu saling
mengait. Oleh karena itu, untuk menentukan penilaian status gizi, harus
memperhatikan secara keseluruhan dan mencermati kelebihan dan kekurangan
tiap-tiap metode.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah gizi pada umumnya adalah masalah kesehatan masyarakat, dan
penyebabnya dipengaruhi oleh macam-macam factor. Gizi kurang muncul karena
masalah pokok antara lain kemiskinan, dan kurangnya pendidikan. Munculnya
permasalahan gizi dapat dilihat dari tidak seimbangnya antara pejamu, sumber
penyakit, dan lingkungan.
Status gizi adalah perwujudan dari keadaan tubuh yang dipengaruhi oleh
zat-zat gizi tertentu. Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu penilaian secara langsung dan secara tidak langsung.
16
3.2 Saran
Sebaiknya, untuk mengurangi angka kematian akibat masalah-masalah gizi di
atas pemerintah mengadakan program yang lebih efektif dan berkesinambungan
seperti, meningkatkan upaya kesehatan ibu untuk mengurangi bayi dengan berat
lahir rendah, meningkatkan program perbaikan zat gizi mikro, meningkatkan
program gizi berbasis masyarakat, dan memperbaiki sektor lain yang treakit erat
dengan gizi (pertanian, air dan sanitasi, perlindungan, pemberdayaan masyarakat
dan isu gender), sehingga sedikit demi sedikit angka-angka akibat masalah gizi di
atas dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Fajar, Ibnu – Bakri Bachyar, penilaian status gizi. Jakarta:EGC, 2001
17